ABSTRAK
Tatkala orang ramai berbicara tentang hoax atau berita bohong, ada
fenomena lain yang tak kalah menarik untuk diperhatikan, yakni keriuhan orang
untuk bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap orang merasa dirinya benar dan
orang lain salah-tidak ada niat baik untuk sesekali mencoba memakai sepatu orang
lain. Tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versi masing-
masing, sesuai kepentingan masing-masing, dan menenggelamkan fakta di dasar
laut. Yang ditonjolkan adalah opini dan tafsir terhadap fakta. Apakah kita sedang
hidup di era post-truth?
Butuh langkah serius agar kita tidak terbawa arus post-truth.Media sosial
seperti facebook, whatsapp, twitter, Instagram telah dengan luar biasa mengubah
budaya masyarakat dunia. Melaluinya, lebih jauh lagi orang dapat mempersuasi
dan mengubah cara pandang orang lain. Mengajak orang menjadi baik dan buruk
bisa dilakukan melalui media sosial. Facebook, whatsapp, twitter dan lainnya juga
dapat mengonstruksi realitas kehidupan bermasyarakat. Media sosial juga
memanipulasi realitas dengan cara membentuk sesuatu yang sejatinya tidak ada
tetapi dibuat seakan-akan ada, nyata dan benar serta hasilnya merupakan
informasi bohong atau yang dikenal dengan istilah hoax. Seringkali hoax
menjejali beranda para pengguna facebook, tersebar meluas melalui Whatsapp
dengan berbagai tujuan, seperti menebarkan ketakutan, memberikan terror, rasa
takut, mengganggu keamanan, menyulut kebencian yang akhirnya akan
mengotak-ngotak masyarakat dan tak jarang berujung menjadi ketegangan.
PEMBAHASAN
Literasi Kritis
Pada saat di dunia maya terjadi ledakan atau bom informasi yang luar
biasa pesat, para pengguna yang tidak didukung dan memiliki literasi kritis bukan
tak mungkin terjebak dalam pusaran informasi yang sekadar hoaks, atau informasi
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Rendahnya literasi digital dan karakter otak kita yang malas bekerja keras
itu diperparah dengan lemahnya kemampuan sebagian besar masyarakat Indonesia
untuk berfikir kritis dan menoleransi mereka yang berusaha berpikir kritis. Dalam
berfikir, masyarakat Indonesia masih dominan memakai emosinya yang ada di
sistem limbik otak. Akibatnya, mereka memandang sesuatu secara hitam putih.
Sementara kemampuan berpikir kritis memakai korteks prefrontal di otak bagian
depan kurang terbangun. Dampaknya, kemampuan menganalisis informasi dan
mengecek ulang sulit dilakukan. Dampak jauhnya, orang Indonesia jadi mudah
dibohongi dan dimanipulasi. Hoaks mudah menyebar karena cara kerja otak kita
yang malas bekerja keras. Pada dasarnya manusia suka menyenangkan diri dan
kelompoknya meski sadar itu bohong. Berita bohong mudah diterima otak karena
itu menyenangkan. Di sisi lain, otak manusia bekerja efisien. Jika tindakan
dilakukan berulang, termasuk memproduksi dan menyebarkan berita bohong, otak
akan memasukkan tindakan itu dalam otak bawah sadar. Artinya, tindakan
berbohong akan menjadi perbuatan otomatis tanpa otak perlu mengeluarkan
energi untuk memikirkannya kembali. Itulah membuat tindakan memproduksi dan
menyebarkan berita bohong jadi hal biasa. Kebohongan yang dilakukan berulang
lama-lama akan jadi kebenaran. Kebiasaan berbohong meluas sejak internet
dan media sosial berbagai model muncul. Teknologi informasi memudahkan
manusia berbohong dan menyebar kebohongan. Penguatan pola pikir kritis itu
diharapkan mampu mengatasi bias konfirmasi. Melawan hoaks dengan
memperbanyak berita positif atau memblokir situs tertentu dinilai kurang efektif
jika masalah dasarnya terkait cara kita berpikir tak diselesaikan. Kemampuan
berpikir kritis itu kurang terbangun di pendidikan dan budaya Indonesia.
Ketidakmampuan berpikir kritis itu membuat mereka sulit memecahkan masalah
dengan tuntas. Rendahnya kemampuan berpikir kritis itu memperburuk mutu
manusia Indonesia. Tanpa kekritisan, kemampuan berpikir kreatif untuk
melahirkan inovasi yang merupakan kemampuan otak tertinggi akan kian sulit.
Budaya kita pun kurang menghargai mereka yang berusaha berpikir kritis. Mereka
yang kritis kerap dianggap pengganggu, cerewet, dan tak sopan.
E. Literasi Media
Kovach dan Rosentiel dalam Blur (2012), menyampaikan dua ide penting.
Pertama, satu-satunya penyelamatan publik dari banjir informasi adalah dengan
membekali setiap orang dengan perangkat pengetahuan yang dulu hanya eksklusif
milik wartawan. Kedua, jurnalisme harus mengafirmasi perubahan teknologi dan
mengafirmasi model komunikasi dua arah yang melibatkan audiens. Meski
demikian, Kovach dan Rosentiel menekankan bahwa etika profesionalisme
jurnalis tak boleh ditinggalkan. Menurut penulis, selain meningkatkan
kemampuan literasi media, ada beberapa solusi yang lupa untuk dibicarakan.
Perlu ada pertimbangan tentang bagaimana kita dapat mengonsumsi informasi
yang memang sesuai dengan kebutuhan kita.. Pertama eksistensi serta peran
media komunitas perlu diperkuat kembali. Sebagaimana terminologi media
komunitas itu sendiri yang memang hanya melayani kebutuhan suatu komunitas
dalam arti kesamaan wilayah atau kesamaan kepentingan dan ketertarikan suatu
kelompok masyarakat saja. Kesadaran bahwa kita dapat merebut sirkulasi
informasi dan komunikasi yang bergulir agar sesuai dengan apa yang kita
butuhkan perlu digalakkan dan dikuatkan. Negara tidak boleh alpa dalam
mengakomodir sektor media komunitas. Ketimbang pemerintah kelimpungan
menanggulangi ekses media digital dengan segala peraturan dan perangkat yang
justru memberangus semangat demokrasi, pemerintah juga perlu untuk kembali
menengok dan menguatkan kembali sektor media komunitas sebagai salah satu
solusi kongkret. Hal ini mengingat sejarah kehadiran media komunitas itu sendiri
yang diharapkan menjadi “penyeimbang”.
DAFTAR PUSTAKA
Praeger