Anda di halaman 1dari 17

MENGHADAPI ERA POST-TRUTH : PENTINGNYA LITERASI

MEDIA PADA MASYARAKAT

ABSTRAK

This article attempts to explain the formation of information in the post-


truth era, where truth is not based on facts. The post-truth era is a time when
people live in deception and consider it no longer a significant issue. It can be said
that the post-truth era gives birth to a banality of lies that makes it difficult for
human reason to see clearly. Indonesia itself has suffered from the negative
impacts of the post-truth era. Without ignoring the spread of hoaxes in the past,
the onslaught of hoax information is scattered across social media. Media and
digital literacy is one of the solutions that can be provided and is relevant to the
collective problem that we must solve together.

Artikel ini berupaya untuk menguraikan terbentuknya informasi di era


post-truth, kebenaran yang diyakini bukanlah berdasarkan fakta. Era post-truth
adalah era dimana manusia hidup di dalam kebohongan dan menganggap hal
tersebut tidak lagi sebagai masalah besar. Bisa dikatakan bahwa era post-
truthmelahirkan suatu banalitas kebohongan yang membuat akal budi manusia
kesulitan untuk melihatnya secara jelas. Indonesia sendiri mengalami dampak
buruk dari era post-truth. Tanpa mengabaikan penyebaran hoaks pada masa
sebelumnya, gempuran informasi hoax bertaburan di media sosial. Literasi media
dan digital merupakan salah satu solusi yang dapat diberikan serta relevan bagi
masalah bersama yang harus kita pecahkan bersama

Kata Kunci: Hoax, Post-Truth, Literasi Media.


PENDAHULUAN

Tatkala orang ramai berbicara tentang hoax atau berita bohong, ada
fenomena lain yang tak kalah menarik untuk diperhatikan, yakni keriuhan orang
untuk bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap orang merasa dirinya benar dan
orang lain salah-tidak ada niat baik untuk sesekali mencoba memakai sepatu orang
lain. Tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versi masing-
masing, sesuai kepentingan masing-masing, dan menenggelamkan fakta di dasar
laut. Yang ditonjolkan adalah opini dan tafsir terhadap fakta. Apakah kita sedang
hidup di era post-truth?

Kamus Oxford menjadikan post-truth sebagai “Word of the Year” tahun


2016. Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di
tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. Sebagian besar
penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling
berpengaruh di 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan
terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Istilah post-truth menurut penjelasan Kamus Oxford digunakan pertama


kali tahun 1992. Istilah itu diungkapkan Steve Tesisch di majalah The Nation
ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode
tersebut. Tesich menggarisbawahi bahwa “kita sebagai manusia yang bebas,
punya kebebasan menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post-truth.”
Dilansir melalui Remotivi.or.id, Ralph Keyes dalam bukunya Post-truth Era
(2004) dan komedian Stephen Colbert mempopulerkan istilah yang berhubungan
dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-
olah benar, meski tidak benar sama sekali.

Indonesia telah memasuki era post-truth, ditandai dengan merebaknya


berita hoax di media sosial, kebimbangan media dan jurnalisme khususnya dalam
menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari politisi. Fenomena post-truth
terkait mudahnya informasi dibuat oleh siapapun dan menyebar di media sosial,
mengikuti kecenderungan emosi masyarakat. Hoax dan tuduhan tak berdasar
sering menyebar dan viral. Celakanya, pernyataan bohong dari politisi pun sering
menjadi headline berita di media online. Pembaca yang belum memliki literasi
media yang baik akan mudah.

Butuh langkah serius agar kita tidak terbawa arus post-truth.Media sosial
seperti facebook, whatsapp, twitter, Instagram telah dengan luar biasa mengubah
budaya masyarakat dunia. Melaluinya, lebih jauh lagi orang dapat mempersuasi
dan mengubah cara pandang orang lain. Mengajak orang menjadi baik dan buruk
bisa dilakukan melalui media sosial. Facebook, whatsapp, twitter dan lainnya juga
dapat mengonstruksi realitas kehidupan bermasyarakat. Media sosial juga
memanipulasi realitas dengan cara membentuk sesuatu yang sejatinya tidak ada
tetapi dibuat seakan-akan ada, nyata dan benar serta hasilnya merupakan
informasi bohong atau yang dikenal dengan istilah hoax. Seringkali hoax
menjejali beranda para pengguna facebook, tersebar meluas melalui Whatsapp
dengan berbagai tujuan, seperti menebarkan ketakutan, memberikan terror, rasa
takut, mengganggu keamanan, menyulut kebencian yang akhirnya akan
mengotak-ngotak masyarakat dan tak jarang berujung menjadi ketegangan.

Hoax dan era post-truth merupakan sebuah rentang masa yang


menomorduakan kebenaran, menjadi dua hal yang berkait, yang sangat tidak
menguntungkan kehidupan sosial keberagamaan. Jika dicermati istilah post-truth
berdasarkan etimologi berasal dari Bahasa inggris. Oxford Dictionary menyatakan
post artinya after (setelah) sebagaimana dijelaskan dalam kosa kata post- modern
yang diartikan sebagai review of an event after it has happened (simpulan atas
sebuah peristiwa itu terjadi) (Manser, 1996: 322) dan truth berarti quality or state
of being true (kualitas atau dalam keadaan benar atau kebenaran) (Manser, 1996).
Truth ini merupakan kata benda dari kata sifat true. Sehingga post-truth artinya
setelah atau pasca kebenaran karena dalam rentang masa ini penggunaan akal
yang melandasi kebenaran dan pengamatan fakta sebagai basis pengukuran
obyektifitas seakan-akan tak penting dalam memengaruhi opini, pemikiran
maupun perilaku publik.

Artikel ini mencoba untuk menguraikan permasalah aktual terkait hoax


yang menyebabkan carut marutnya kehidupan manusia, kebenaran yang dapat
diciptakan pada era post-truth yang belum tentu berdasarkan pada fakta. Sehingga
perlu adanya literasi media sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan hoax.

PEMBAHASAN

Era Post Truth

Era digital ditandai dengan perkembangan teknologi informasi dan


komunikasi terus berlangsung dan berkembang begitu cepat, dimulai antara lain
dari penemuan bluetooth (2001), Mozilla (2002), Skype (2003), MySpace (2003),
Facebook (2004), Youtube (2005), Twitter (2006), Apple iPhone (2007), Google
Android (2008), Apple iPad (2010), Instagram (2010), Google Glass (2012),
Google Driverless Car (2012), Sophia the artificial intelligence robot (2015), Tesla
Model 3 (2016), ke depan diprediksi akan terus berkembang inovasi teknologi
baru lainnya.

Perkembangan digital dengan masifnya penggunaan internet


sebagai media baru, membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak menjadi
audience, khalayak tidak lagi obyek pasif, namun dapat berperan menjadi
produsen informasi (prosumer) dan dapat membentuk opini publik via
platform media sosial. Melalui media sosial memungkinkan pengguna
berinteraksi, berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara
virtual dalam masyarakat jejaring (networking society) yang ditandai dengan
munculnya jurnalisme warga (citizen journalism), fenomena ini
menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru
sekaligus berperan membentuk opini publik. Lebih ekstrim Aylin Manduric dalam
tulisannya “Social Media as a tool for information warfare” menyatakan bahwa
madia sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik,
berperan sebagai senjata kata-kata yang mempengaruhi hati dan pikiran audiens
yang ditargetkan.
Melalui media sosial, berbagai informasi membanjiri ruang
publik media sosial, arus informasi yang deras tanpa batas tersebut, ibarat
sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, media sosial satu
sisi dapat bersifat positif apabila dimanfaatkan secara benar, untuk mengedukasi
masyarakat dan mengoptimalkan manfaat praktis media sosial, bagi peningkatan
pembangunan bangsa.

Digitalisasi proses komunikasi dan diseminasi informasi memungkinkan


setiap orang yang terakses internet masuk dalam arus informasi yang berjalan.
Ketika perang strategi untuk memenangi pilkada mendominasi wacana yang
berkembang di ruang komunikasi maya, warga pengguna internet cenderung
tersedot mengikutinya. Disisi lain kita memasuki hidup di era post truth, yang
menurut Oxford Dictionaries, fakta obyektif kurang berpengaruh dalam
membentuk opini publik jika dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat
emosional dan pribadi. Oleh karena itu, kebenaran wajar saja apabila masyarakat
Indonesia masih mudah untuk dikelabui dengan berbagai informasi yang notabene
hoaks. Kepercayaan akan suatu informasi pada era sekarang tidak didasarkan akan
suatu kebenaran atau fakta yang disajikan. Sikap suka dan tidak suka lebih kepada
diri manusia itu sendiri, wajar saja hoaks menjadi suatu informasi viral di tengah
dunia media sosial.

English Oxford Dictionary mendefinisikan pasca kebenaran (post truth)


sebagai “berkaitan atau menunjukkan keadaan saat fakta obyektif kurang
berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan
kepercayaan pribadi”. Ralph Keyes dalam buku The Post Truth Era, Dishonesty
and Deception in Contemporary Life (2004) menyatakan era ini ditandai dengan
kebenaran diganti dengan yang sekedar dapat dipercaya. Manipulasi kreatif dalam
kebohongan dilakukan, termasuk penggunaan eufimisme (misalnya kata “gusur”
diganti dengan “geser”). Data yang diinginkan dipotong, dipilih, disunting untuk
suatu kesimpulan yang diinginkan pelaku bagi pendengarnya. Dusta pun berganti
dengan istilah yang indah: “kebenaran alternatif” atau “fakta alternatif”.

Oxford Dictionaries melacak asal muasal istilah post truth dan


menemukan fakta bahwa seorang penuslis keturunan Serbia bernama Stave Tesich
memakainya pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992 tentang skandal Iran-
Contra dan Perang Teluk. Secara sederhana, post truth digunakan ketika fakta-
fakta tidak lagi relevan dalam politik. Di era pasca kebenaran (post truth) ini,
perbedaan penulis (writers) dan author semakin terang (distinctive). Penulis
banyak yang mungkin belum dianggap authoritative, artinya mereka bisa saja
menulis apa yang diketahui, tapi mereka belum memiliki otoritas terhadap
pemikiran atau ranah yang ditulisnya, sedangkan author ialah penulis yang
sekaligus memiliki otoritas terhadap keilmuan/pemikiran yang dituangkan dalam
tulisan baik itu dalam format buku, jurnal ilmiah, maupun tulisan lainnya. Setiap
kalimat yang digoreskan (authors) melalui pena selalu akan
dipertanggungjawabkan sebagai perwujudan integritas diri sebagai seorang
ilmuwan/cendekiawan.

Di era posttruth yang ditandai dengan membludaknya informasi


berkualifikasi berita palsu (fake news), nirfakta, anonymous, dan unauthoritative-
dapat disaksikan juga bagaimana masyarakat di negara-negara maju sekali pun,
ternyata dapat dengan mudah termakan berita dan informasi palsu, yang dapat
menggerus dan menggoyahkan nilai-nilai demokrasi dan tatanan sosial dan
ekonomi yang selama ini sudah terbukti mampu menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan. Jika negara-negara maju saja bisa terkena imbas pasca kebenaran
dengan dampak cukup serius. Dampak post truth sekarang ini telah merasuk
hampir ke setiap sudut ruang dan relung kehidupan masyarakat.

Literasi Kritis

Ada empat hal yang tercakup dalam literasi kritis :

(1) literasi kritis berfokus pada isu-isu kekuasaan (power) dan


mementingkan

refleksi, transformasi dan aksi.

(2) literasi kritis berfokus pada problem dan kompleksitasnya


(3) strategi literasi kritis adalah dinamis dan beradaptasi pada konteks
yang digunakan (4) literasi kritis memeriksa dan mengevaluasi dari berbagai
perspektif.

Literasi disini, kemampuan seseorang dalam memahami sebuah informasi


saat melakukan proses membaca dan menulis. Mendidik masyarakat sejak dini
untuk selalu bersikap skeptis dan kritis pada informasi bohong niscaya akan jauh
lebih bermanfaat daripada semata hanya menekankan kasus penindakan
hukumnya.

Pada saat di dunia maya terjadi ledakan atau bom informasi yang luar
biasa pesat, para pengguna yang tidak didukung dan memiliki literasi kritis bukan
tak mungkin terjebak dalam pusaran informasi yang sekadar hoaks, atau informasi
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Literasi Kritikal merupakan suatu pendekatan instruksional yang


menganjurkan untuk adopsi perspektif secara kritis terhadap teks, atau dengan
kata lain, jenis literasi yang satu ini bisa kita pahami sebagai kemampuan untuk
mendorong para pembaca supaya bisa aktif menganalisis teks dan juga
mengungkapkan pesan yang menjadi dasar argumentasi teks. Literasi kritis
dimaksud, proses berfikir kritis terhadap informasi yang diperoleh. Istilah kritis
yang melekat pada istilah literasi informasi sehingga menjadi literasi informasi
dan kritis (LIK, atau dalam istilah asing information and critical literasi)
memberikan penekanan kepada aspek criticality atau kemampuan untuk tidak
mudah menerima, atau bersifat kritis terhadap informasi yang diterima dengan
cara mengevaluasi informasi tersebut.

Banyak literatur menampilkan istilah kritis ini sebagai bagian terpenting


dari skill dalam literasi informasi. Sebagai contoh, Koltay menyebutkan bahwa
kemampuan berpikir kritis merupakan elemen terpenting dalam mengakses,
mengevaluasi, mengolah serta menggunakan informasi yang didapat. Secara
spesifik Koltay (2011) menyarankan pentingnya sikap kritis dalam mengevaluasi
kualitas informasi dan sumber informasi. Dalam pandangan Kellner dan Share
(2003: 369), literasi disebutkan sebagai “berkaitan dengan perolehan keterampilan
dan pengetahuan untuk membaca, menafsirkan dan menyusun jenis- jenis teks dan
artifak tertentu, serta untuk mendapatkan perangkatdan kapasitas intelektual
sehingga bisa berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan kebudayaan.”
Artinya, dengan literasi orang bisa meningkatkan harkat, martabat dan perannya
ditengah masyarakat. Literasi ini terkait dengan perolehan kompetensi-kompetensi
yang saling terkait untuk belajar secara efektif dan secara sosial memanfaatkan
bentuk-bentuk komunikasi serta representasi yang konstruksi.

Rendahnya literasi digital dan karakter otak kita yang malas bekerja keras
itu diperparah dengan lemahnya kemampuan sebagian besar masyarakat Indonesia
untuk berfikir kritis dan menoleransi mereka yang berusaha berpikir kritis. Dalam
berfikir, masyarakat Indonesia masih dominan memakai emosinya yang ada di
sistem limbik otak. Akibatnya, mereka memandang sesuatu secara hitam putih.
Sementara kemampuan berpikir kritis memakai korteks prefrontal di otak bagian
depan kurang terbangun. Dampaknya, kemampuan menganalisis informasi dan
mengecek ulang sulit dilakukan. Dampak jauhnya, orang Indonesia jadi mudah
dibohongi dan dimanipulasi. Hoaks mudah menyebar karena cara kerja otak kita
yang malas bekerja keras. Pada dasarnya manusia suka menyenangkan diri dan
kelompoknya meski sadar itu bohong. Berita bohong mudah diterima otak karena
itu menyenangkan. Di sisi lain, otak manusia bekerja efisien. Jika tindakan
dilakukan berulang, termasuk memproduksi dan menyebarkan berita bohong, otak
akan memasukkan tindakan itu dalam otak bawah sadar. Artinya, tindakan
berbohong akan menjadi perbuatan otomatis tanpa otak perlu mengeluarkan
energi untuk memikirkannya kembali. Itulah membuat tindakan memproduksi dan
menyebarkan berita bohong jadi hal biasa. Kebohongan yang dilakukan berulang
lama-lama akan jadi kebenaran. Kebiasaan berbohong meluas sejak internet
dan media sosial berbagai model muncul. Teknologi informasi memudahkan
manusia berbohong dan menyebar kebohongan. Penguatan pola pikir kritis itu
diharapkan mampu mengatasi bias konfirmasi. Melawan hoaks dengan
memperbanyak berita positif atau memblokir situs tertentu dinilai kurang efektif
jika masalah dasarnya terkait cara kita berpikir tak diselesaikan. Kemampuan
berpikir kritis itu kurang terbangun di pendidikan dan budaya Indonesia.
Ketidakmampuan berpikir kritis itu membuat mereka sulit memecahkan masalah
dengan tuntas. Rendahnya kemampuan berpikir kritis itu memperburuk mutu
manusia Indonesia. Tanpa kekritisan, kemampuan berpikir kreatif untuk
melahirkan inovasi yang merupakan kemampuan otak tertinggi akan kian sulit.
Budaya kita pun kurang menghargai mereka yang berusaha berpikir kritis. Mereka
yang kritis kerap dianggap pengganggu, cerewet, dan tak sopan.

E. Literasi Media

Kondisi masyarakat Indonesia yang plural terdiri dari berbagai suku


bangsa yang hidup terpencar dan tersebar di ribuan pulau masih banyak yang
diantara mereka berpendidikan rendah dan
menyandang media illiterate (buta media) yang kurang mampu mengakses secara
kritis terhadap media massa/konvensional maupun media baru (internet).

Prinsipnya media literacy adalah kemampuan yang efektif dan efesien


untuk memahami dan pemanfaatan konten mediamassa atau the ability to
effectively and efficiently comprehend and utilize mass media content (Baran,
2006:35). Khalayak media harus mengembangkan kemampuan atau memfasilitasi
diri untuk menjadi penafsir isi media yang baik.

Untuk apa media literasi dibangun? Hobbs menyimpulkan


tujuan media literasi, antara lain:

(1) penguatan akses terhadap informasi;

(2) mendukung dan menumbuh kembangkan lingkungan pendidikan;

(3) menginspirasikan untuk mengembangkan akses terhadap berbagai


sumber informasi (Hobbs, 1998:2).

O’Neill (2000:58) melihat adanya pergeseran dalam tujuan


media literasi dari paradigm “proteksionis” yang bertujuan melindungi dari
berbagai pengaruh buruk media massa menjadi paradigma “kritis” yang berupaya
memberdayakan masyarakat dengan menumbuhkembangkan kesadaran kritis
dalam menikmati setiap sajian media massa. Sedangkan Baran mengemukakan
beberapa elemen dari media literasi dengan cara menambahkan dua elemen dari
lima elemen media literacy yang sebelumnya telah diidentifikasi Media Schoolar
Art Silverblatt (1995). Literasi media dibangun berdasarkan beberapa elemen
diantaranya: (1) An awareness of the impact of media, kesadaran atas
dampak media pada individu dan masyarakat; (2) An understanding of the process

of mass communication, pemahaman pada proses komunikasi massa;


(3) Strategies for analyzing and discussing media messages, strategi-strategi yang
digunakan untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media; (4) An
understanding of media content as a text that provides insight into our culture and
our lives, pemahaman pada konten media sebagai sebuah teks yang memberi
wawasan kedalam kultur dan kehidupan kita; (5) The ability to enjoy, understand,
and appreciate media content, kemampuan untuk menikmati, memahami dan
mengapresiasi konten media; (6) An understanding of the ethical and moral
obligations of media practitioners, memahami tuntutan etika dan moral bagi para
praktisi media; (7) Development of appropriate and effective production skills,
mengembangkan kemampuan-kemampuan produksi secara memadai dan efektif.

Disisi lain, khalayak media diharapkan memiliki skill dalam menyimak


isi media. Agar khalayak dapat memahami dan memperoleh manfaat positif
konten media maka sebaiknya khalayak memiliki skill yang terkait
dengan media literacy. Baran mengemukakan beberapa skill yang seharusnya
dikuasai oleh khalayak pengguna media massa, diantaranya: (1) The ability and
willingness to make an effort to understand content, to pay attention, and to filter
out noise, kemampuan dan kemauan untuk berupaya memahami konten,
memperhatikan secara seksama dan memfilter yang tidak baik; (2) An
understanding of and respect for the power of the media messages, memahami dan
mewaspadai terhadap kekuatan dari pesan-pesan media; (3) The ability to
distinguish emotional from reasoned reactions when responding to content and to
act accordingly, kemampuan membedakan emosional dan reaksi yang beralasan
ketika merespon konten dan tindakan terkait; (4) Development of heightened
expectations of media content, mengembangkan expektasi-expektasi
konten media yang ditinggikan; (5) A knowledge of genre conventions and the
ability to recognize when they are being mixed, sebuah pengetahuan tentang
“genre” dan kemampuan untuk mengenalinya ketika dicampurkan; (6) The ability
to think Critical about media messages, no metter how credible their sources,
memiliki kemampuan berfikir kritis terhadap pesan-pesan media, sekalipun dari
sumber-sumber yang sangat terpercaya; (7) A knowledge of the internal language
of various media and the ability to understand its effects, no metter how complex,
memiliki pengetahuan tentang berbagai gaya bahasa dari berbagai macam
media dan berkemampuan untuk mengerti berbagai efek yang ditimbulkannya,
sekalipun begitu rumitnya (Baran, 2006: 42).

1. Post-truth dan Pentingnya Literasi Media di Indonesia

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, terjadi perubahan


landscape jurnalisme. Kehadiran internet memungkinkan siapa saja bisa
mempublikasikan informasi dengan cepat dan instan dengan biaya kecil (zero
cost). Internet melahirkan jurnalisme online dan menawarkan saluran informasi
baru berupa media online. Perkembangan itu memaksa kita bergulat dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti; mungkinkah etika jurnalisme konvensional masih
diperlukan di era yang mengutamakan kecepatan ketimbangan ketepatan
informasi? Bisakah kita berharap peran media sebagai pengawal demokrasi ketika
media baru membanjiri publik dengan prasangka, informasi sepotong-sepotong,
dan opini yang disamarkan sebagai berita?
Seperti yang telah dibahas di awal, Indonesia telah memasuki era post-
truth. Di era digital ini, arus informasi melalui berbagai media sosial dan
konvensional menyesaki ruang publik. Sebagian informasi kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan karena didukung fakta. Namun, banyak pula dari
pemberitaan yang sampai ke masyarakat, baik melalui media cetak, visual
maupun audio yang disajikan dengan ketergesaan dan mengabaikan pentingnya
data dan informasi yang kuat. Berita atau informasi semacam ini disebut
‘pascakebenaran’ atau post-truth. Ironisnya, kebanyakan masyarakat yang
tergolong terpelajar sekalipun sering menelan begitu saja berita/informasi ini
sebagai kebenaran. Post-truth sengaja dikembangkan guna mengolah sentimen
masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah terpengaruh
yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda politik
tertentu yang sedang diskenariokan. Berita/informasi yang disampaikan,
meskipun menjanjikan sesuatu yang indah dan menyenangkan, belum dapat
dikatakan suatu kebenaran. Sebaliknya, bukan pula sesuatu yang nyata akan
terjadi, apabila diungkapkan berupa ancaman atau sesuatu yang dapat
menimbulkan keresahan dan ketakutan.

Dilansir dari Bulaksumurugm.com, perkembangan post-truth yang begitu


cepat tidak lain karena juga didorong dengan penggunaan media sosial yang
sedang menjadi trend di masyarakat Indonesia. Media sosial sekarang bukan saja
dijadikan ajang berinteraksi, namun juga ladang memperoleh informasi utama.
Namun, jika ditinjau dengan lebih cermat, media sosial ternyata belum mampu
menjadi ladang informasi yang tepat bagi masyarakat, khususnya di Indonesia
karena mengingat informasi yang ada di media sosial bersifat trend. Bersifat trend
berarti apabila sesuatu menjadi bahan perbincangan yang viral, maka media sosial
akan terus menerus menghasilkan informasi hal yang menjadi viral tersebut.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)


mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang.
Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses
jejaring sosial. Dari data tersebut, bisa diketahui bahwa pengguna media sosial di
Indonesia terbilang cukup besar. Selain itu, perlu diketahui bahwa media sosial
kerap kali menampilkan informasi yang tidak utuh dan akurat, bahkan cenderung
hoax. Hal ini dikarenakan informasi atau kabar yang ada di media sosial bukan
termasuk ke dalam jurnalisme, sehingga tidak terdapat disiplin verifikasi dan
unsur 5W+1H. Selain tidak sesuai kaidah jurnalistik, media sosial juga menembus
ruang pribadi dan belum ada etika serta regulasinya tentang ini. Belum lagi
ditambah dengan fakta bahwa negara Indonesia masih memiliki tingkat literasi
masyarakat yang tergolong rendah. Hal tersebut juga menjadi faktor mudah
terbawanya masyarakat kepada arus kesesatan informasi yang nyata. Selanjutnya,
media sosial kini disebut-sebut sebagai pilar ke lima demokrasi Indonesia. Jika
media sosial sebagai pilar demokrasi justru menjadi sarang penyebaran post-truth,
tentu ini sangat berpengaruh pada demokrasi Indonesia sendiri. Contoh Kasus
Lemahnya Literasi Media di Indonesia Efek dari post-truth ini sendiri pun sudah
sangat beragam. Contoh teranyar bagaimana peliknya situasi bernama post-truth
ini juga terjadi beberapa waktu lalu ketika kantor Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta dikepung oleh massa karena dianggap
menjadi tempat kumpul-kumpul Partai Komunis Indonesia (PKI), partai politik
yang sudah mati puluhan tahun lalu. Laman Tirto.id melansir, penyerbuan dan
pengepungan acara tersebut tak lepas dari kabar yang beredar melalui sosial media
dan aplikasi chatting di kalangan masyarakat bahwa gedung YLBHI menjadi
tempat menyanyikan lagu “Genjer-genjer” pada acara seni “Asik Asik Aksi”.
Eksesnya para pengunjung acara malam itu terkepung selama lima jam hingga
Minggu bersalin Senin. Meskipun para hadirin bisa keluar dari gedung tersebut,
namun pengepungan dan penyerbuan tersebut memakan beberapa korban luka-
luka

KESIMPULAN DAN SARAN

Pentingnya Literasi Media di Indonesia Lantas bagaimana kita


menghadapi kondisi ketika informasi dimanfaatkan, dipelintir sedemikian rupa
dan menderu sebegitu derasnya? Secara normatif, orang akan dengan mudahnya
menganjurkan bahwa verifikasi ulang sebuah informasi menjadi cara yang bisa
dilakukan untuk menanggulangi kabar bohong. Namun kita perlu melihat lebih
luas bahwa kerap kali kita mengalami disorientasi dalam menerima sebuah
informasi. Tanpa sadar kita sebegitu mudahnya melahap informasi yang sejatinya
tidak kita butuhkan. Tentu ini merupakan ekses ketika banyak media massa, tak
terkecuali media daring, terkena wabah mimetisme. Haryatmoko dalam bukunya
Etika Komunikasi,memaparkan bahwa mimetisme ialah kondisi ketika media
terjangkit gairah yang tiba-tiba mendorongnya untuk membahas sebuah topik
sebelum media lain membahasnya. Kecenderungan yang terjadi ialah media
massa lantas mengabaikan nilai-nilai serta signifikansi dari informasi itu sendiri.
Wabah ini menjangkiti media ketika persaingan antar media massa tak
terhindarkan lagi.

Kovach dan Rosentiel dalam Blur (2012), menyampaikan dua ide penting.
Pertama, satu-satunya penyelamatan publik dari banjir informasi adalah dengan
membekali setiap orang dengan perangkat pengetahuan yang dulu hanya eksklusif
milik wartawan. Kedua, jurnalisme harus mengafirmasi perubahan teknologi dan
mengafirmasi model komunikasi dua arah yang melibatkan audiens. Meski
demikian, Kovach dan Rosentiel menekankan bahwa etika profesionalisme
jurnalis tak boleh ditinggalkan. Menurut penulis, selain meningkatkan
kemampuan literasi media, ada beberapa solusi yang lupa untuk dibicarakan.
Perlu ada pertimbangan tentang bagaimana kita dapat mengonsumsi informasi
yang memang sesuai dengan kebutuhan kita.. Pertama eksistensi serta peran
media komunitas perlu diperkuat kembali. Sebagaimana terminologi media
komunitas itu sendiri yang memang hanya melayani kebutuhan suatu komunitas
dalam arti kesamaan wilayah atau kesamaan kepentingan dan ketertarikan suatu
kelompok masyarakat saja. Kesadaran bahwa kita dapat merebut sirkulasi
informasi dan komunikasi yang bergulir agar sesuai dengan apa yang kita
butuhkan perlu digalakkan dan dikuatkan. Negara tidak boleh alpa dalam
mengakomodir sektor media komunitas. Ketimbang pemerintah kelimpungan
menanggulangi ekses media digital dengan segala peraturan dan perangkat yang
justru memberangus semangat demokrasi, pemerintah juga perlu untuk kembali
menengok dan menguatkan kembali sektor media komunitas sebagai salah satu
solusi kongkret. Hal ini mengingat sejarah kehadiran media komunitas itu sendiri
yang diharapkan menjadi “penyeimbang”.
DAFTAR PUSTAKA

Chaplin, R. 1981. Perkembangan Intelektual Anak. Jakarta: Erlangga.

Hagan, Frank. 2013. Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku


Kriminal. Jakarta: Kencana.
Poloma. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dhani, Arman. (2017). 5 Jam Terjebak Pengepungan Gedung YLBHI.

KEMKOMINFO. 2013. ““Kominfo : Pengguna Internet di Indonesia 63


Juta Orang”.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2012). Blur: Bagaimana Mengetahui


Kebenaran di Era Banjir Informasi. Jakarta: Dewan Pers (dikerjakan bersama
Yayasan Pantau).

Malinda, Septiana. (2018). Efek Post Truth di Media Sosial terhadap


Demokrasi Indonesia.

Potter, W. James. (2013). Media Literacy. Sixth Edition. London: Sage.

Silverblatt, Art. (1995). Media Literacy: Keys to


Interpreting Media Messages. London:

Praeger

Utomo, Wisu Prasetya. (2017). Selamat Datang di Era Post-Truth.

Anda mungkin juga menyukai