Anda di halaman 1dari 4

RESENSI BUKU

JUDUL : KONVERGENSI MEDIA

PENULIS : DUDI ISKANDAR

TEBAL : 333 Halaman

PENERBIT : ANDI

TAHUN : 2018

NAMA : SHEILA RAHAYU NURANI

NIM : 1871511216
KONVERGENSI MEDIA (Halaman 1)
Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi,dan bahkan
bermetamorfosis. Roger Fiddler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama
mediaformosis. Media morfosis memiliki tiga konsep yaitu: koevolusi, konvergensi, dan
kompleksitas. Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri atau memiliki orgnisasi
dn manajemen mandiri, kni mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan
konvergensi.

Konvergensi media adalah konsep yang ambiguitas. Istilah ini dipergunakan secara
berbeda. Disatu sisi, ia sebagai tempat bertemu (jaringan, berkumpul, termasuk untuk wilayah
social) dan apa yang terjadi ketika suatu itu dikumpulkan (kompleksitas berita/peristiwa).
Teoritikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikankonvergensi sebagai penyatu yang
terus-menerus terjadi diantara berbagai bagian media seperti tekhnologi, industry, konten, dan
khalayak. Selain itu, Burnett and Marshall mendefinisikan konvergensi sebagai penghubungan
industry media, telekomunikasi dan computer menjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi
sebagai media komunikasi dalam bentuk digital. Senada dengan dua definisi diatas, Key concepts
in jurnslism studies menegaskan konvergensi media adalah pertukaran media diantara semua
media yang berbedakarateristik dan platform-nya.

Konergensi media memungkinkan satu group perusahaan selain memiliki media


konvensional, juga termasuk media social, misalnya Kompas Group, memiliki Kompasiana.
Konvergensi juga mrupakan aplikasi dari teknologi digital, yaitu intergrasi teks,suara, angka, dan
gambar; berita diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Dailey, Demo, dan Spillman
menjelaskan aktivitas konvergensi media meliputi antara lain cross-promotion (lintas promosi),
cloning (penggadaan), coopetition (kolaborasi), content sharing (berbagi isi), dan full
convergence (penyatuan).

Konvergensi media ternyata bukan hanya berpengaruh pada perubahan proses jurnalistik,
tetapi juga menyangkut ke berbagai aspek kehidupan. Ia akan berdampak pada konsumsi media
masyarakat, persepsi public, penyebaran informasi, dan literasi media. Singat kata, konvergensi
mdia bakal menghadirkan konstruksi social media baru yang belum pernahterjadi sebelumnya.

MEDIA KONVENSIONAL ORGANISASI MEDIA Produksi Media


Surat kabar Konsumsi Media
Televisi Distribusi Media
Radio Persepsi Publik
Situs Berita Penetrasi Ideologi
KONVERGENSI MEDIA
Penyebaran Informasi
Penyebaran Kekuasaan

MEDIA SOSIAL
Blog JURNALISTIK
MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN AKTOR POLITIK (Halaman 217)
Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada
istilah, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan genealogi. Istilah-istilah itu
sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Dalam wacana Foucault, istilah-istilah tersebut kerap
berkelindan, saling silang, dan berebut muncul ke permukaan. Wacana merupakan kumpulan
pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang
bersifat plural, produktif, dan menybar serta dikonstruksi dengan cara stimulasi.

Epistemology yangberkenaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada di
baliknya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan. sementara itu, genalogi menjadi
model analisis yang melihat relasi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam satu bingkai wacana
dalam satu situasi dan kondisi tertentu. Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima
wacana yang diangkat, wacana-wacana itu adalah kecurangan kampanye pilpres, dugaan
pelanggaran HAM Prabowo, debat capres-cawapres, koser salam 2 jari, dan keberpihkan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kelima wacana itu merupakan representasi dari pola piker
redaksi Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup sebagai subjek atau pemroduksi wacana
(level meso dalam konsep Norman Fairclough).

Kekuasaan versi Foucault yang menyebar melalui bahasa dari berbagai sector
membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media. Inilah yang disebut representasi ideology
kekuasaan dalam konvergensi media seperti yang dipaparkan John B. Thompson. Ideology
adalah makna yang dipakai untuk kekuasaan. Model umum yang dilakukan sebuah ideology
adalah legitimas, penipuan, dan fragmentasi.

Seperti Foucault wacana bersifat ideologis karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi.
Artinya, selain mengonstuksi wacana, melalui berita juga menyimpan agenda ideology media
seperti yang disebutkan juga oleh John B. Thomas, bahwa ideology memiliki tiga perangkat,
yakni system keyakinan yang menandai kelas tertentu , suatu system keyakinan ilusioner, dan
proses umum produksi makna dan gagasan. Ideology memiliki tiga tempat bersemayam, yakni di
dalam bahasa, teks, dan representasi ; kelembagaan material dan seluruh praktiknya; serta di
setiap afeksi dan kognisi sesorang.
POST – JOURNALISM ( Halaman 249 )
Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan
jurnaisme harus menyesuaikan dirinya. Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa
dipotret sebagai cikal bakal fenomena post-jurnalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-
truth. Amus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta -dalam jurnalistik-
tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini public disbanding emosi dan keyakinan
personal.

Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik politik realitas, kepentingan public
sangat sulit dipisahkan dari kepentingan partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media
televise, khususnya. Realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-
journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu pening lagi, tetapi yang penting sentiment yang
dibangunnya. Dari fakta ke sentiment, jadi yang dibutuhkan adalah efek subjektif.

Kamus Oxford melanjutkan berdasarkan keterangan editornya, juga penggunaan istilah


tersebut ditahun 2016 meningkat 2000 persen bila disbandingkan 2015. Bahkan pada 2016,
post-truth menjadi “Word of the year”tahun 2016. Pemicu terbesar pemakaian istilah post-truth
adalah pada dua peristiwa politik, yaitu keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa atau dikenal
dengan istilah Brexit dan terpilihnya Donal Trump sebagai presiden Amerika Serikat
mengalahkan Hillary Clinton yang lebih dijagokan oleh media.

Media social paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas post-truth.
Didunia jurnalisme berita hoax adalah salah satu indikasi post-truth. Hal ini menunjukkan
kegamangan jurnalisme dalam menghadapi realitas politik yang penuh dengan kebohongan dan
tipu daya. Dengan demikian, post-truth dan post-jornalism adalah satu jalur berbeda nama.

Dalam post-journalism tidak ada standard etika dan moralitas yang bisa dipegang.
Realitas jurnalisme ini disebut Agus Sudibyo dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat
kesulitan membedakan antara berita dan hoax. Dalam post-journalism jurnalisme terjebak dalam
kontestasi dengan media social, khususnya dalam proses penyebaran informasi.

No Aspek Jurnalisme Media Sosial


1 Orientasi Ketepatan Kecepatan
2 Metode Verifikasi Histeria
3 Tujuan Kebenaran Kemenangan
4 Sosial Pertanggungjawaban Hit and Run
5 Ekonomi Membayar Pajak Penghasilan Individu
6 Nilai Etika dan Moralitas Fake dan hoax

Kini Indonesia berada di post-journalism. Pertarungan sarkastis, vulgar, dan tuna etika dibidang
media bukan tidak mungkn terjadi pada Pilpres 2019, bahkan dengan lebih dahsyat lagi.

Anda mungkin juga menyukai