PENERBIT : ANDI
TAHUN : 2018
NIM : 1871511216
KONVERGENSI MEDIA (Halaman 1)
Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi,dan bahkan
bermetamorfosis. Roger Fiddler menyebut fase berbagai perkembangan media dengan nama
mediaformosis. Media morfosis memiliki tiga konsep yaitu: koevolusi, konvergensi, dan
kompleksitas. Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri atau memiliki orgnisasi
dn manajemen mandiri, kni mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan
konvergensi.
Konvergensi media adalah konsep yang ambiguitas. Istilah ini dipergunakan secara
berbeda. Disatu sisi, ia sebagai tempat bertemu (jaringan, berkumpul, termasuk untuk wilayah
social) dan apa yang terjadi ketika suatu itu dikumpulkan (kompleksitas berita/peristiwa).
Teoritikus konvergensi media Henry Jenkins mendefinisikankonvergensi sebagai penyatu yang
terus-menerus terjadi diantara berbagai bagian media seperti tekhnologi, industry, konten, dan
khalayak. Selain itu, Burnett and Marshall mendefinisikan konvergensi sebagai penghubungan
industry media, telekomunikasi dan computer menjadi sebuah bentuk yang bersatu dan berfungsi
sebagai media komunikasi dalam bentuk digital. Senada dengan dua definisi diatas, Key concepts
in jurnslism studies menegaskan konvergensi media adalah pertukaran media diantara semua
media yang berbedakarateristik dan platform-nya.
Konvergensi media ternyata bukan hanya berpengaruh pada perubahan proses jurnalistik,
tetapi juga menyangkut ke berbagai aspek kehidupan. Ia akan berdampak pada konsumsi media
masyarakat, persepsi public, penyebaran informasi, dan literasi media. Singat kata, konvergensi
mdia bakal menghadirkan konstruksi social media baru yang belum pernahterjadi sebelumnya.
MEDIA SOSIAL
Blog JURNALISTIK
MEDIA SEBAGAI IDEOLOG DAN AKTOR POLITIK (Halaman 217)
Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada
istilah, ada juga istilah episteme, kuasa, pengetahuan, arkeologi, dan genealogi. Istilah-istilah itu
sulit dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Dalam wacana Foucault, istilah-istilah tersebut kerap
berkelindan, saling silang, dan berebut muncul ke permukaan. Wacana merupakan kumpulan
pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang
bersifat plural, produktif, dan menybar serta dikonstruksi dengan cara stimulasi.
Epistemology yangberkenaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada di
baliknya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan. sementara itu, genalogi menjadi
model analisis yang melihat relasi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam satu bingkai wacana
dalam satu situasi dan kondisi tertentu. Dalam konteks inilah kekuasaan media membuat lima
wacana yang diangkat, wacana-wacana itu adalah kecurangan kampanye pilpres, dugaan
pelanggaran HAM Prabowo, debat capres-cawapres, koser salam 2 jari, dan keberpihkan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kelima wacana itu merupakan representasi dari pola piker
redaksi Kompas Grup, Media Grup, dan MNC Grup sebagai subjek atau pemroduksi wacana
(level meso dalam konsep Norman Fairclough).
Kekuasaan versi Foucault yang menyebar melalui bahasa dari berbagai sector
membentuk wacana yang dibuat oleh beragam media. Inilah yang disebut representasi ideology
kekuasaan dalam konvergensi media seperti yang dipaparkan John B. Thompson. Ideology
adalah makna yang dipakai untuk kekuasaan. Model umum yang dilakukan sebuah ideology
adalah legitimas, penipuan, dan fragmentasi.
Seperti Foucault wacana bersifat ideologis karena menyimpan sesuatu yang tersembunyi.
Artinya, selain mengonstuksi wacana, melalui berita juga menyimpan agenda ideology media
seperti yang disebutkan juga oleh John B. Thomas, bahwa ideology memiliki tiga perangkat,
yakni system keyakinan yang menandai kelas tertentu , suatu system keyakinan ilusioner, dan
proses umum produksi makna dan gagasan. Ideology memiliki tiga tempat bersemayam, yakni di
dalam bahasa, teks, dan representasi ; kelembagaan material dan seluruh praktiknya; serta di
setiap afeksi dan kognisi sesorang.
POST – JOURNALISM ( Halaman 249 )
Jurnalisme ditantang oleh teknologi komunikasi yang lebih baru yang menyebabkan
jurnaisme harus menyesuaikan dirinya. Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa
dipotret sebagai cikal bakal fenomena post-jurnalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-
truth. Amus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai kondisi ketika fakta -dalam jurnalistik-
tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini public disbanding emosi dan keyakinan
personal.
Dalam konteks hubungan media dengan jurnalistik politik realitas, kepentingan public
sangat sulit dipisahkan dari kepentingan partai politik atau kandidat ketika dibungkus oleh media
televise, khususnya. Realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-
journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu pening lagi, tetapi yang penting sentiment yang
dibangunnya. Dari fakta ke sentiment, jadi yang dibutuhkan adalah efek subjektif.
Media social paling mudah menyampaikan keriuhan yang menjadi ciri khas post-truth.
Didunia jurnalisme berita hoax adalah salah satu indikasi post-truth. Hal ini menunjukkan
kegamangan jurnalisme dalam menghadapi realitas politik yang penuh dengan kebohongan dan
tipu daya. Dengan demikian, post-truth dan post-jornalism adalah satu jalur berbeda nama.
Dalam post-journalism tidak ada standard etika dan moralitas yang bisa dipegang.
Realitas jurnalisme ini disebut Agus Sudibyo dengan Nihilisme Moralitas Bermedia. Masyarakat
kesulitan membedakan antara berita dan hoax. Dalam post-journalism jurnalisme terjebak dalam
kontestasi dengan media social, khususnya dalam proses penyebaran informasi.
Kini Indonesia berada di post-journalism. Pertarungan sarkastis, vulgar, dan tuna etika dibidang
media bukan tidak mungkn terjadi pada Pilpres 2019, bahkan dengan lebih dahsyat lagi.