Anda di halaman 1dari 13

HOAX DAN RELIGIUSITAS DI MEDIA SOSIAL PADA ERA POST-

TRUTH

Hanif Fitri Yantari

Prodi Aqidah dan Filsafat Islam Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang fenomena religiusitas di masyarakat yang erat


dengan hoax di era Post-truth.Fenomena Post-truthtidak bisa terlepas dari
produksi berita palsu atau hoax, dimana kebenaran tidak lagi bersandar pada fakta
melainkan bersifat subyektif. Hal ini membuat kita semakin sulit membedakan
antara yang fakta dengan hoax yang beredar.Pergeseran ini tidak terlepas dari
pengaruh perkembangan dunia digital dimana manusia saling terkoneksi antara
satu dengan yang lain dalam satu jaringan internet. Perkembangan teknologi
internet ini telah membuat masyarakat lebih mudah untuk menyampaikan gagasan
dan perasaannya melalui media sosial. Metode wacana kritis digunakan untuk
memaparkan sejauh mana dampak dari hoax bagi masyarakat dan memberikan
beberapa solusi penyelesaian. Maraknya isu radikalisme yang tersebar di
masyarakat menjadi temuan dalam tulisan ini. Menilai informasi berdasarkan
logika dan mencermatinya secara kritis diperlukan untuk menumbuhkan sikap
masyarakat bahwa dunia nyata tidak bisa digantikan oleh dunia maya.

Kata Kunci: Post- Truth, hoax, media sosial, religiusitas

1
LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan teknologi digital yang pesat telah membuat semuanya


menjadi instan, banyaknya media sosial yang kini hadir telah memudahkan
masyarakat dalam berkomunikasi, seperti facebook, twitter, instagram, dan
whatsapp. Jika sebelumnya untuk berhubungan dengan orang lain membutuhkan
waktu yang lama untuk saling berkirim kabar, dengan adanya media sosial kini
menjadi semakin mudah untuk berhubungan dengan siapapun. Dahulu jika
seseorang ingin mempromosikan produk harus mendatangi konsumen, kini
dengan perkembangan teknologi mempromosikan produk menjadi mudah, hanya
dengan men-share iklan produk kita ke media sosial semua orang dapat
mengetahui produk yang kita jual.

Semua media sosial tersebut telah mengubah budaya masyarakat di dunia.


Bahkan dengan media sosial dapat mengajak dan mengubah keberagamaan
seseorang. Mengajak orang lain untuk hijrah menjadi pribadi yang baik dan lebih
religius dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial, misalnya dengan
mengajak orang lain untuk bergabung ke dalam grup hijrah di whatsapp yang
dengan tidak sadar pesan-pesan yang disampaikan ke dalam grup tersebut telah
dibubuhi dengan nilai-nilai radikalisme. Hal tersebut yang melahirkan para teroris
yang berpikiran radikal.

Media sosial juga dapat membentuk realitas keberagamaan. Dengan media


sosial realitas juga dapat dimanipulasi dengan cara menyebarnya informasi
bohong atau hoax.Hoax menyebar luas di berbagai media sosial, seperti
instagram, facebook, whatsapp, dan twitter dengan tujuan mengganggu rasa aman,
menyebarkan kebencian, dan ketakutan. Hoax dan era post-truth keduanya
memiliki kesamaan yaitu sama-sama menomorduakan kebenaran.

Dalam tulisan ini akan membahas tentang apa pengertian dari era post-
truth; bagaimana hubungan antara hoax dan era post-truth; apa saja problem
religiusitas di tengah adanya hoax yang menyebar pada era post-truth; dan
bagaimana solusi penyelesaian dari problem religiusitas di tengah adanya hoax
yang menyebar di era post-truth tersebut.

2
METODE

Artikel ini menggunakan metode analisis wacana kritis yaitu suatu


pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkap kegiatan, pandangan,
dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana (Badara, 2012,
hal. 26).

PEMBAHASAN

1. Pengertian Era Post- Truth

Era post-truth dapat digambarkansebagai pergeseran sosial


yangmelibatkan media arus utama dan parapembuat opini. Pergeseran ini tidak
lepasdari pengaruh menguatnya dunia digitaldimana manusia terkoneksi satu
samalain dalam jaringan bernama internet.Kondisi ini membuat produksi
informasitidak lagi menjadi monopoli media arusutama, melainkan juga media
sosial yangdikelola oleh masyarakat. Media mainstreamyang dulu dianggap
salah satusumber kebenaran harus menerimakenyataan semakin tipisnya
pembatasantara kebenaran dan kebohongan, kejujurandan penipuan, fiksi dan
nonfiksi.Fakta-fakta bersaing dengan hoax dankebohongan untuk dipercaya
publik.
Kamus Oxford menjadikan post-truthsebagai “Word of the Year” tahun
2016. Berdasarkan keterangan editornya,jumlah penggunaan istilahtersebut di
tahun 2016 meningkat2000 persen bila dibandingkan 2015.Sebagian besar
penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momenpolitik paling
berpengaruh di tahun2016: keluarnya Inggris Raya dari UniEropa (Brexit) dan
terpilihnya DonaldTrump sebagai presiden AmerikaSerikat.
Post-truth didefiniskan Kamus Oxford sebagai kondisi di mana fakta
tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan
keyakinan personal. Kondisi ini memang memuncak dalam dua momen politik
tersebut yang digerakkan oleh sentimen emosi. Dalam situasi tersebut,
informasi-informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang
fakta yang sebenarnya.

3
Dalam penjelasan Kamus Oxfordistilah post-truth pertama kali
digunakan pada tahun 1992. AdalahSteve Tesich yang menggunakanistilah
post-truth di majalah TheNation ketika merefleksikan kasusPerang Teluk dan
kasus Iran yangterjadi di periode tersebut. Tesichmenggarisbawahi bahwa “kita
sebagaimanusia yang bebas, punya kebebasanmenentukan bahwa kita ingin
hidup didunia post-truth.
Sementara itu Ralph Keyesdalam bukunya The Post-truthEra (2004) dan
pelawak StephenColber mempopulerkan istilah yangberhubungan terkait
dengan post-truthyaitu truthiness yang kuranglebih sebagai sesuatu yang
seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.Selain ditandai dengan
merebaknyaberita hoax di media sosial,era post-truth juga ditandai
dengankebimbangan media dan jurnalismekhususnya dalam
menghadapipernyataan-pernyataan bohong daripara politisi. Jika di luar negeri
namaPresiden AS Donald Trump acapkalidikaitkan dengan hoax dalam
setiappernyataan politiknya, di Indonesiafenomena post-truth juga ditemui
dengan tertangkapnya sekelompokorang yang tergabung dalam
Saracen.Mereka adalah orang-orang yangsecara sengaja menyebarkan hoax
aliasberita bohong untuk memenuhikepentingan klien yang membayarnya.Al
Rodhan dalam Setiawan (2017) menyebutkan karakteristik utama daripolitik
post-truth adalah: (1.) Mengaduk-aduk masyarakat denganhal-hal yang bersifat
emosional, (2.) Mengabaikan data dan fakta, (3.) Mengutamakan dan mem-
viral-kanberita yang belum tentu kebenarannyaatau palsu, (4.)
Mengkombinasikan gerakan populisdengan teori-teori konspirasi yangmasih
butuh diuji lagikebenarannya, (5.) Mobilisasi narasi fiktif tentang figur atau
peristiwa tertentu, dan (6.) Memoles ketidakjujuran dalammembangun opini
untukmemperkuat posisi sosial figur,kelompok, atau kepentingantertentu dalam
masyarakat yangsemakin terbiasa dalam peradabantelevisual, online, android,
danmedia sosial.
Di sisi lain post-truth jugamemunculkan perdebatan klasik tentangnilai
kebenaran itu sendiri. Dalam perspektif konstruktivisme kebenaranberkelindan
dengan subjektivisme danrelativisme. Sehingga kebenarannyamenjadi

4
kebenaran yang selalu diperebutkan.Fakta kemudian mengalamitantangan dan
ditafsirkan secara berbeda.Kebenaran kemudian menjadi sebuahkepercayaan
dalam suatu masyarakattertentu.1
2. Hubungan Hoax dan Era Post- Truth
Post-truthadalah masa dimana cenderung mengabaikan fakta dan
kebenaran, sedangkan istilah hoax berasal dari kata hocus, yang merupakan
kata latin merujuk pada hocus pocus. Pada kata hocus, dibubuhkan arti “to
cheat” atau “menipu”. Istilah hocus pocus mengacu pada mantra para penyihir
yang kemudian dipakai para pesulap ketika memulai trik. Pengertian “menipu”
di sini ditujukan untuk mengacaukan orang lain demi hiburan. Dengan artian
orang yang ditipu tidak merasa dirugikan dan paham bahwa ia sedang
dikacaukan. Namun, kata hoax saat ini ditafsirkan sebagai informasi yang tidak
benar tetapi diyakini sebagai sebuah kebenaran2.Hoax biasanya disebarkan
dengan tujuan mengganggu rasa aman, menyebarkan kebencian, dan ketakutan.
Hoax biasanya disebarkan dengan kalimat-kalimat yang hiperbola tetapi miskin
data. Kalimat-kalimat tersebut digunakan untuk menyulut emosi publik
sehingga langsung tergerak untuk menanggapi dengan cara menyukai,
mendukung, membenci, membagikan, dan lain-lain.
Menurut Rahadi (2017:62), terdapat 7 jenis informasi yang termasuk
dalam hoax, yaitu: 1). fake news (berita palsu); 2). Clickbait (tautan jebakan);
3). Confirmation bias (bias konfirmasi); 4). misinformation(informasi yang
salah); 5). Satire (sindiran); 6). Post-truth (pasca kebenaran); serta 7).
Propaganda (berita provokasi). Dari ketujuh jenis informasi yang tergolong
hoax tadi harus disertai langkah nyata untuk mengantisipasinya, karena sangat
meresahkan dan menjadi ancaman bagi semua.3

1
Dudi Hartono, “Era Post-truth: Melawan Hoax dengan Fact Checking”, dalam Prosiding
Seminar Nasional Prodi Ilmu Pemerintahan 2018.
2
Nita Siti Mudawamah, “Membekali Diri Untuk Menghadapi Era Post-truth”, dalam Indonesian
Journal of Academic Librarianship”, Vol. 2, (Februari 2018), h. 22.
3
Godham Eko Saputro dan Toto Haryadi, “Edukasi Kampanye Anti Hoax Melalui Komik Strip”,
dalam Jurnal Komunikasi Visual, Manajemen Desain, dan Periklanan, Vol. 03, no. 02 (September
2018), h. 97.

5
Beberapa contoh pernyataan yang telah ditetapkan Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sebagai berita hoaxyang beredar
sepanjang hari Kamis 4 April 2019, antara lain (1.) Informasi Rumput Belalai
Gajah Bisa Mengobati Kanker: Telah beredar postingan berantai di sosial
media Faccebook tentang kegunaan dari rumput belalai gajah adalah bisa
mengobati kanker dan getah bening stadium 3 juga bisa sembuh.Seiring
perkembangan teknologi, makin banyak penelitian yang melaporkan daun
belalai gajah memiliki sifat antivirus, anti peradangan, dan anti oksidan. Di
China sendiri tanaman ini digunakan untuk mengobati kondisi peradangan
seperti hermatoma, geger otak ringan terkilir dan reumatik.Meskipun belum
ada yang dapat menentukan apa sejatinya penyebab kanker, paparan radikal
bebas dicurigai sebagai salah satu faktor utamanya. Daun belalai gajah
diketahui mengandung antioksidan tinggi, misalnya saja terpenoid, flavonoid,
steroid, saponin, asam fenolik, dan tanin. Antioksidan telah lama dikenal
manfaatnya untuk menangkal radikal bebas dalam tubuh sehingga mampu
mencegah efek domino yang bisa menyebabkankanker.Namun demikian bukti
ilmiah untuk mendukung klaim manfaat daun belalai gajah untuk mengobati
atau mencegah kanker sampai saat ini masih kurang kuat, oleh karena itu masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. (2.) Informasi Server
KPU Disetting Agar Loloskan Paslon 01:Beredar informasi server KPU yang
berada di luar negeri telah diseting agar 01 menang 57% pada hasil Pilpres
2019 nanti.Namun, ternyata hal tersebut dibantah Ketua KPU Arief Budiman
yang menyebutkan bahwa server KPU ada di dalam negeri dan tidak disetting
agar memenangkan salah satu Paslon pada Pilpres 2019. (3.) Informasi Polisi
Bagi-Bagi Sembako Jelang Pilpres 2019: Beredar informasi ada oknum polisi
yang tengah membagi-bagikan sembako jelang pilpres 2019 di media sosial
beserta foto dan narasi yang dibuat oleh pemilik akun @dektempu.Ternyata
foto pembagian sembako itu terjadi pada Hari Raya Idul Fitri 2017 lalu saat
polisi membantu mengamankan pembagian sembako. Meskipun peristiwa di

6
dalam foto sama-sama pembagian sembako, namun tidak berkaitan dengan
Pilpres 2019.4
Dengan banyaknya media sosial menjadi sangat efektif untuk
menyebarkan hoax. Melalui media sosial menjadi sangat mudah untuk
mengakses informasi dengan cepat, oleh dan dari siapapun, kapanpun, dan
dimanapun tanpa adanya hambatan. Ditambah lagi sekarang ini memasuki era
post-truth, dimana interkasi menggunakan media sosial semakin mudah, hal ini
membuat informasi yang kita terima apa adanya, tanpa adanya koreksi ataupun
filter.Hoax yang ada di era post-truth menggunakan media sosial sebagai
perantara untuk menyebarkan kebohongan, menggiring emosi publik sehingga
saling membenci, dan akhirnya timbul perilaku kekerasan.

3. Religiusitas di Tengah Adanya Hoax Era Post-Truth: Problem dan


Solusi

Menurut Zakiyah Darajat religiusitas merupakan sebuah perasaan,


pikiran danmotivasi yang mendorong terjadinya perilaku beragama.5 Istilah
religiusitas juga disebut dengan pengalaman beragama. Menurut Wach,
pengalaman keagamaan agar menjadi pengalaman yang terstruktur setidaknya
memerlukan 4 macam kriteria, yaitu (a.) Pengalaman tersebut merupakan
responterhadap suatu yang dipandang sebagairealitas mutlak; (b.) Pengalaman
tersebut melibatkan pribadisecara utuh (integral),baik pikiran, emosimaupun
kehendaknya; (c.) Pengalaman tersebut memiliki intensitasyang mengatasi
pengalaman-pengalamanmanusia yang lainnya. (d.) Pengalaman tersebut
dinyatakan dalamperbuatan karena memiliki sifat imperativedan merupakan
sumber utama motivasidan perbuatan.Berdasarkan hal di atas maka
dapatdisimpulkan bahwa yang dimaksud denganpengalaman keagamaan adalah
hubunganbatin atau aspek bathiniah antara manusiadengan fikirannya terhadap
Tuhan danhubungan batin tersebut ditimbulkan karenamelaksanakan ajaran-

4
Sholahuddin Al-Ayyubi, “14 Hoakas yang Bikin Heboh pada 4 April 2019”, Bisnis.com, 5 April
2019, https://kabar24.bisnis.com/read/20190405/15/908253/14-hoaks-yang-bikin-heboh-pada-4-
april-2019
5
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 13.

7
ajaran agamanya dengan semua bentuk praktik keagamaanseperti sholat, puasa,
doa-doa dansebagainya.6

Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah


melahirkan berbagai media sosial, seperti instagram, facebook, whatsapp, dan
twitter yang selanjutnya dapat mempengaruhi religiusitas publik yang
berkeinginan menjadi lebih religius. Sekarang ini jarang sekali ditemui orang-
orang yang berbondong-bondong pergi ke masjid untuk mendengarkan
pengajian, mereka lebih memilih mengaji dengan ulama-ulama yang menarik
yang bertebaran di media sosial, mereka belajar agama dari internet karena
lebih praktis. Dengan begitu pada saat ini teknologi telah membentuk
religiusitas publik.

Religiusitas hasil bentukan dari media sosial tersebut menimbulkan


permasalahan. Di satu sisi, di media sosial siapapun berhak menjadi
narasumber tentang persoalan agama tanpa pernah tahu bahwa dirinya
sebenarnya tidak memiliki kompeten dalam bidang agama, dan tidak adanya
seleksi untuk menjadi narasumber keagamaan yang kompeten dalam
bidangnya. Hal seperti itu menjadikan tidak adanya kejelasan sumber
keberagamaan mereka.

Di sisi yang lain, publik dalam menerima informasi keagamaan


mengalami kesulitan karena tidak bisa membedakan dan menyaring mana
informasi keagamaan yang benar dan yang sekedar opini seseorang, mana
informasi yang berdasarkan fakta dan yang hoax. Antara yang hoax dan tidak
sangat susah untuk dibedakan. Informasi tentang persoalan agama menjadi
sangat rawan untuk dijadikan hoax. Hoax dan era post-truth sama-sama
mengabaikan fakta, keduanya tampil dengan menggugah emosi dengan cara
provokasi untuk mendapatkan perhatian publik. Hoax yang dibungkus dengan
persoalan-persoalan agama membahayakan kehidupan sosial-keberagamaan
yang menyebabkan seseorang menjadi intoleran.

6
Triyani Pujiastuti, “Konsep Pengalaman Keagamaan Joachim Wach”, dalam Jurnal Syi’ar, Vol.
17, no. 02 (Agustus 2017), h. 66.

8
Salah satu contohnya, yaitupelaku teroris yang saat ini menyadari
kemudahan dari fitur media sosial yang kemudian memanfaatkannya untuk
menaklukkan sikap dan perilaku publik, khususnya generasi muda saat ini,
mereka sering sekali menyebarkan ajarannya melalui pesan-pesan,
menyusupkan ideologi khilafah, dan ajakan untuk ikut dalam aksi kelompok
teroris. Rofik Asharuddin, pelaku bom bunuh diri di Kartasura, pada hari Senin
3 Juni 2019, dibaiat kepada ISIS via media sosial. Hoax di era post-truth telah
berhasil menebarkan ketakutan, kebencian, bahkan melahirkan sikap
radikalitas keberagamaan.

Hasil Survey Wabah Hoax Nasional 2019 yang dilakukan oleh


Masyarakat Telematika Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 88% berita
hoax diproduksi dengan cara yang disengaja. Sedangkan 93,2% hoax berisi isu
politik. Sementara 70,7% hoax berbentuk tulisan; 69,2% berita/ foto/ video
lama diposting ulang, dan 66,3% foto dengan caption palsu. Media sosial
menjadi saluran penyebaran hoax tertinggi dengan persentase 87,50%. Pada
survey tersebut diikuti oleh 941 responden dengan umur, jenis kelamin,
pendidikan, dan profesi yang berbeda-beda, responden yang menjawab sangat
setuju bahwa hoax mengganggu kerukunan masyarakat sebanyak 81,90% dan
yang tidak setuju sebanyak 1,50%.

Hoax di tengah era post-truth sangat membahayakan. Perusahaan besar


pemilik media sosial pun turut andil dalam memeranginya, seperti facebook
telah memberikan fitur laporkan postingan untuk melaporkan postingan yang
berisi berita palsu. Untuk Google, bisa menggunakan fitur feedback untuk
melaporkan situs dari hasil pencarian apabila mengandung informasi palsu.
Twitter memiliki fitur Report Tweet untuk melaporkan twit yang negatif,
demikian juga dengan Instagram. Kementerian Komunikasi dan Informatika
telah membekukan beberapa akun media sosial yang menebarkan kebencian
dan hoax pada tahun 2018,sekitar 280 akun yang sudah dibekukan di
Telegram, 300 akun di Facebook, 250 lebih di YouTube, dan sekitar 70 akun di
Twitter.

9
Beberapa Solusi

Memasuki era post-truth yang kental dengan hoaxperlu dilakukan upaya


untuk mengembalikan iklim kehidupan sosial-keberagamaan, antara lain
pertama dengan check and recheck, istilah ini sudah sangat populer kita
dengar, check and recheck diperlukan untuk mengetahui apakah berita itu
benar atau tidak. Hal itu sangat penting karena sekarang ini perkembangan
teknologi sangat pesat, dimana informasi sangat mudah didapatkan melalui
berbagai media sosial.

Di dalam Al-Qur’an pun juga ada perintah untuk melakukan check and
recheck yang di dalam Islam dinamakan tabayyun. QS. Al-Hujurat ayat 6
berpesan “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Paling tidak ada dua hal yang perlu digarisbawahi oleh pesan ayat di atas.
Pertama, pembawa berita dan kedua isi berita. Orang yang menyampaikan
kabar yang perlu di-tabayyun jika orang tersebut adalah jenis seorang fasiq,
yakni yang aktivitasnya diwarnai pelanggaran agama; ia yang melakukan dosa
besar atau sering kali melakukan dosa-dosa kecil dan pelanggaran budaya
positif masyarakat. Sedang yang kedua menyangkut isi berita, khususnya berita
yang penting. Ini karena kalau semua berita yang penting dan tidak penting
harus diselidiki kebenarannya, maka akan tersita banyak sekali waktu untuk itu
dan hasil yang ditemukan pun tidak banyak manfaaatnya. Bukankah beritanya
tidak penting? Dari sini, Islam menekankan perlunya menyeleksi informasi.
Penyeleksian harus dilakukan oleh penyebarnya maupun penerimanya. Itu agar
tidak terjadi dampak buruk bagi siapa pun.7

Kedua, menumbuhkan kembali kesadaran publik yang beragama bahwa


ruang publik atau dunia nyata tidak akan bisa digantikan oleh dunia maya.

7
Muhammad Quraisy Shihab, “Kewajiban Untuk Melakukan Tabayyun”, tirto.id, 18 Juni 2018,
https://tirto.id/kewajiban-untuk-melakukan-tabayyun-cqX9

10
Banyak kasus yang muncul saat ini ketika berkumpul dengan teman maupun
keluarga, masing-masing asyik dengan gadget sendiri-sendiri tanpa
memedulikan lingkungan disekitarnya. Perlu disadari bahwa dunia maya hanya
mampu menciptakan koneksi, bukan relasi. Oleh karena itu dunia maya tidak
akan bisa menggantikan kehidupan di dunia nyata.

Ketiga, mengembangkan sikap kritis dalam menggunakan media sosial.


Era post-truth dan era digital sama-sama membuat semuanya serba instan,
cepat, dan mudah, sehingga mengesampingkan berpikir mendalam dan kritis.
Hal ini menyebabkan publik mudah termakan hoax.Kemampuan seseorang
dalam berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam menerima informasi, hal tersebut
digunakan untuk mencegah pengguna media sosial terjerumus pada informasi
yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Seseorang yang awam
ketika ia mendapatkan informasi akan segera menelan mentah-mentah
informasi yang didapatkannya.

Ada tiga pendekatan penting yang diperlukan untuk mengantisipasi


penyebaran berita hoax di masyarakat yaitu pendekatan kelembagaan,
teknologi, dan literasi. Pendekatan kelembagaan, dengan terus menggalakkan
komunitas anti hoax. Dari sisi pendekatan teknologi, dengan aplikasi hoax
cheker yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk mengecek kebenaran berita
yang berindikasi hoax. Pendekatan literasi, dengan gerakan anti berita hoax
maupun sosialisasi kepada masyarakat mulai dari sekolah hingga masyarakat
umum yang ditingkatkan dan digalakkan, bukan saja oleh pemerintahtetapi
juga oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk institusi-institusi non
pemerintah.8

8
Christiany Juditha, “Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya”, dalam
Jurnal Pekommas, Vol. 3, no.1 (April 2018), h. 42-43.

11
KESIMPULAN

Keseluruhan dari pembahasan diatas dapat dicatat bebrapa poin penting,


hoax dan era post-truth keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama
menomorduakan kebenaran. Hoax yang disebarkan melalui media sosial bertujuan
untuk mengganggu rasa aman, menyebarkan kebencian, dan ketakutan. Dengan
berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat menyebabkan pada saat ini
teknologi telah membentuk religiusitas publik hal tersebut menimbulkan
permasalahan. Di satu sisi, di media sosial siapapun berhak menjadi narasumber
tentang persoalan agama tanpa pernah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak
memiliki kompeten dalam bidang agama, dan tidak adanya seleksi untuk menjadi
narasumber keagamaan yang kompeten dalam bidangnya. Hoax di era post-truth
telah berhasil menebarkan ketakutan, kebencian, bahkan melahirkan sikap
radikalitas keberagamaan. Memasuki era post-truth yang kental dengan hoaxperlu
dilakukan upaya untuk mengembalikan iklim kehidupan sosial-keberagamaan,
antara lain check and recheck yang di dalam Islam dinamakan tabayyun,
menumbuhkan kembali kesadaran publik yang beragama bahwa ruang publik atau
dunia nyata tidak akan bisa digantikan oleh dunia maya, mengembangkan sikap
kritis dalam menggunakan media sosial.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ayyubi, Sholahuddin. 14 Hoakas yang Bikin Heboh pada 4 April 2019.


Bisnis.com. 5 April 2019. Jakarta.

Daradjat, Zakiyah. 1973. Ilmu Jiwa Agama. Edisi Pertama. Cetakan Ketujuh.
Bulan Bintang. Jakarta.

Hartono, Dudi. 2018. Era Post-truth: Melawan Hoax dengan Fact Checking.
Prosiding Seminar Nasional Prodi Ilmu Pemerintahan 2018. Universitas Mercu
Buana: 73-74.

Juditha, Christiany. Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta


Antisipasinya. Jurnal Pekommas 3(1): 42-43.

Mudawamah, Nita Mudawamah. Membekali Diri Untuk Menghadapi Era Post-


truth. Indonesian Journal of Academic Librarianship (2): 22.

Pujiastuti, Triyani. Konsep Pengalaman Keagamaan Joachim Wach. Jurnal Syi’ar


17(2): 66.

Saputro, Godhan Eko dan Toto haryadi. Edukasi Kampanye Anti Hoa Melalui
Komik Strip. Jurnal Komunikasi Visual, Manajemen Desain, dan Periklanan
3(2): 97.

Shihab, Muhammad Quraisy. Kewajiban Untuk Melakukan Tabayyun. Tirto.id. 18


Juni 2018. Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai