Perkembangan post truth yang begitu cepat tidak lain karena juga didorong
dengan penggunaan media sosial yang sedang menjadi trend di masyarakat
Indonesia. Media sosial sekarang bukan saja dijadikan sebagai ajang
berinteraksi, namun juga ladang memperoleh informasi utama. Namun, jika
ditinjau dengan lebih cermat, media sosial ternyata belum mampu menjadi
ladang informasi yang tepat bagi masyarakat, khususnya di Indonesia, karena
mengingat informasi yang ada di media sosial
bersifat trend. Bersifat trend berarti apabila sesuatu menjadi bahan
perbincangan yang viral, maka media sosial akan terus menerus menghasilkan
informasi hal yang menjadi viral tersebut. Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia
saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya
menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Dari data tersebut, bisa
diketahui bahwa pengguna media sosial di Indonesia terbilang cukup besar.
Selain itu, perlu diketahui bahwa media sosial kerap kali menampilkan informasi
yang tidak utuh dan akurat, bahkan cenderung hoax. Hal ini dikarenakan
informasi atau kabar yang ada di media sosial bukan termasuk ke dalam
jurnalisme, sehingga tidak terdapat disiplin verifikasi dan unsur 5W+1H. Selain
tidak sesuai kaidah jurnalistik, media sosial juga menembus ruang pribadi dan
belum ada etika serta regulasinya tentang ini. Belum lagi ditambah dengan
fakta bahwa negara Indonesia masih memiliki tingkat literasi masyarakat yang
tergolong rendah. Hal tersebut juga menjadi faktor mudah terbawanya
masyarakat kepada arus kesesatan informasi yang nyata. Selanjutnya, media
sosial kini disebut-sebut sebagai pilar ke lima demokrasi Indonesia. Jika media
sosial sebagai pilar demokrasi justru menjadi sarang penyebaran post
truth, tentu ini sangat berpengaruh pada demokrasi Indonesia sendiri.
Contoh nyata terkait hal ini adalah ujaran tuduhan dan kebencian kepada
Presiden Joko Widodo melalui twitter dan kasus yang menjerat mantan
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Padahal, dalam
demokrasi, rakyat turut terlibat dalam berbagai keputusan negara yang berarti
di sinilah opini bermain. Jika opini rakyat yang digunakan untuk turut serta
dalam demokrasi hanya emosi belaka karena informasi yang tidak benar, tentu
hal ini akan berdampak buruk bagi demokrasi Indonesia.
Dengan demikian, kita telah mengerti bahwa fenomena post truth bukanlah hal
yang dapat disepelekan. Post truth memiliki potensi besar untuk menggiring
opini masyarakat dengan emosi kepada hal-hal yang belum benar adanya, yang
mana dapat berpengaruh besar di berbagai segi kehidupan, termasuk
demokrasi. Indonesia sebagai negara yang juga mengalami post truth,
semestinya meningkatkan tingkat literasi masyarakatnya agar mereka mampu
membedakan informasi yang benar dan tidak, karena dari contoh kasus yang
telah dipaparkan, demokrasi Indonesia begitu rapuh dengan adanya
fenomena post truth.
Post Truth? Iya, post truth. Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan
berjudul The Government of Lies. Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut,
Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin
hidup di dunia post truth”. Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas
propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang
harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik
global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.
Kemudian di tahun 2004, Ralph Keyes bersama komedian Stephen Colber mempopulerkan
istilah yang kurang lebih sama: truthiness, yaitu sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak
benar sama sekali. Puncaknya adalah di tahun 2016 saat Donald Trump mengikuti pemilihan
presiden di Amerika, dimana para voter di negara Paman Sam bahkan publik global terpolarisasi
dan dibingungkan oleh berita-berita maupun opini-opini yang beredar. Metode
propaganda firehouse of falsehood-nya Donald Trump menciptakan kondisi post truth yang
menggemparkan. Sampai-sampai, kamus Oxford menobatkan post truth menjadi word of the
year, dan mendefiniskan post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh
terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Sederhananya, post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi
kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Apakah Indonesia pernah
mengalaminya? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya. Masih ingat saat
pilihan presiden tahun 2019? Tidak dipungkiri bahwa event tersebut adalah salah satu contoh
momen masifnya perkembangbiakan post truth di nusantara.
Terus, apa hubungannya antara post truth dengan media sosial?
Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial membuat informasi menjadi jauh lebih riuh dan bising.
Tiap menit ada foto atau status baru yang di-update, beredar berita atau tips terbaru atau yang di-
renewal, bahkan berita yang beranak pinak. Melalui media sosial yang lintas tanpa batas, video
apa saja bisa "bersliweran" di akun platform kita. Satu jam akun kita sign out, sewaktu sign
in langsung dipenuhi dengan video-video terbaru. Jadi, putaran informasi saat ini bergerak sangat
cepat. Putaran gelombang dan ombak inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-
kebohongan buatan yang menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah
kebenaran. Seperti ucapan Joseph Goebbels, salah satu loyalis Hitler, yang manyatakan bahwa
“kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan
ribuan kali akan menjadi kebenaran”.
Fenomena post truth pada awalnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Namun semakin
hari, post truth dipergunakan dalam segala lini isu dan agenda. Terdapat kemiripan antara post
truth dengan berita hoax. Baik post truth maupun hoax, biasanya akan dibungkus dengan tajuk
berita yang bombastis, abai terhadap data dan fakta, bahkan mungkin memakai data palsu yang
tidak jelas kebenarannya. Belum lagi jika ada akun-akun bayaran, yang popular disebut
dengan buzzer, yang memang sengaja mengangkat topik itu terus menerus (menyundul), atau
berkomentar tentang berita itu yang mengakibatkan pengguna medsos menjadi bingung bahkan
percaya akan “kebenaran” berita hoax tersebut.
Mungkin parahnya lagi, pengguna medsos juga ikut terpengaruh untuk tidak sekadar
mempercayai berita bohong itu, namun juga dengan secara sukarela mendistribusikannya melalui
akun-akun mereka. Dengan kekuatan pengguna medsos, maka tidak mustahil jika berita-berita
bohong tersebut akan massif beredar di dunia maya. Di Indonesia saja, berdasarkan laporan yang
dipublish oleh agensi marketing “We Are Social” dan platform manajemen media sosial
“Hootsuite”, terungkap bahwa sampai dengan Januari 2021 ternyata lebih dari separuh penduduk
di Indonesia telah “melek” alias aktif menggunakan media sosial. Laporan bertajuk Digital
2021: The Latest Insight Into The State of Digital secara rinci menyebutkan bahwa dari total
274,9 juta penduduk Indonesia, sebesar 61,8% nya (170 juta) telah menggunakan media sosial.
Sebuah angka yang fantastis, apalagi jika disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong
secara intens dan terus menerus. Kondis tersebut tidak dipugkiri akan menimbulkan kecemasan
jika fenomena post truth seperti ucapan Joseph Goebbels akan menjadi kenyataan. Publik akan
dipusingkan dan dibingungkan terhadap kondisi mana yang sebenar-benarnya benar dan mana
yang benar-benar bohong.
Oleh karena itu, dalam event Hari Media Sosial 10 Juni 2021 ini, mari kita semakin bijak dalam
bermedsos, semakin berhati-hati dan memfilter dahulu apa saja yang bersliweran di dunia maya
tersebut. Selain itu, mari giatkan kembali untuk berfikir kritis dan mencari detail atas suatu berita
dari berbagai sisi, karena apa yang disajikan oleh media sosial sudah saatnya kita cerna terlebih
dahulu. Selalu berhati-hatilah pada ranjau-ranjau post truth. Selamat memperingati Hari Media
Sosial.
Artikel ini menjelaskan apa itu post truth, dampak, dan apa saja yang harus kita lakukan agar
tidak terjerumus dalam lubang kegelapan di esok hari. Hihihi.
--
Sebelum mengklik tulisan ini, kamu mungkin bertanya, “Apaan nih? Kok artikel
Ruangbaca berat banget gini topiknya? Ini post truth apanya pos hansip?” Well, pertama. Topik
ini memang tidak secara langsung masuk ke materi sekolah.
Kedua. Judulnya memang terkesan berat dan menakutkan, tapi sebenarnya nggak kok. Coba aja
baca pelan-pelan kalau lagi senggang atau ada waktu. Bisa jadi setelahnya malah jadi bahan
diskusi sama temen sekelas. Atau bukan tidak mungkin topik ini digunakan sebagai ajang
memamerkan kecerdasan ke gebetan. Begitu main ke rumahnya, lalu Nyokapnya nanya, “Mau
minum apa nih?” kamu tinggal jawab: “Di era post truth ini… aku ingin minum kuah soto saja,
Bunda.”
Mantap.
Pertanyaannya sekarang, kenapa kamu harus tahu tentang ini? Materi yang terkesan dipelajari
orang dewasa dan riweuh ini. Karena, ya, tulisan ini dibuat untuk membentuk pola pikir kamu.
Supaya tahu apa yang sedang terjadi saat ini, dan bisa mengira-ngira, “Oh, sekarang tuh lagi
kayak gini. Berarti gue harus jadi orang yang kayak gini dong.”
Dengan paham apa yang terjadi di dunia, kamu jadi tahu harus bersikap seperti apa. Dan
pembentukan sikap ini nggak bisa dilakukan secara instan. Harus paham dulu situasinya, tentuin
mana yang menurut kamu benar, lalu coba lakuin sampai kamu benar-benar into it. Jadi, ya,
memang butuh waktu.
So, setelah tahu tulisan ini ditujukan buat siapa dan kenapa, sekarang kita masuk ke pertanyaan:
Tahun 2004, Ralph Keyes, di The Post Truth Era, bersama komedian Stephen Colber juga
ngomongin hal yang kurang lebih sama: truthiness. Kata ini mengacu kepada sesuatu yang
seolah-olah benar, padahal nggak benar sama sekali.
Sampai post truth mengalami puncaknya di tahun 2016 (ya, emang udah 3 tahun lalu. Tapi gak
ada yang namanya telat buat tahu kan? :p). Dua peristiwa yang menjadi momentum saat itu
adalah keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai
Presiden Amerika Serikat. Di 2016, post truth bahkan menjadi word of the year di kamus
Oxford. Oxford sendiri mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu
berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan
personal.
Simpelnya, post truth adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi
kebenaran. Caranya? Dengan memainkan emosi dan perasaan kita.
Well, inti dari paragraf di atas adalah: saat ini putaran informasi bergerak secepat itu. Berubah,
bergerak, bertambah dan berkembang biak. Arus ini yang kemudian dimanfaatkan oleh
kebohongan-kebohongan buatan yang akhirnya ngebuat kita merasa kalau kebohongan tadi
adalah kebenaran.
Di situlah bahayanya post truth: kita jadi susah membedakan mana informasi yang benar,
dan mana yang nggak.
Biasanya, sih, post truth ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Dia temenan sama berita
hoax, dan korbannya adalah orang-orang yang nggak suka nyimak. Dengan menebarkan bIbit-
bibit hoax ke dalam pusaran arus informasi yang cepet ini, orang bakal ngira kalau berita itu
benar. Belum lagi kalau ada akun-akun bayaran yang memang sengaja “menyundul” atau
berkomentar tentang berita hoax itu. Jadi makin percaya aja deh kita.
Contoh gampangnya gini:
Kamu lagi naik motor ke restoran Makan Sore, tapi kamu nggak tahu jalan. Maka biar tahu,
kamu buka aplikasi google maps. Setelah buka, kamu tahu “Oh, Makan Sore tinggal lurus, lalu
BELOK KIRI.”
Begitu mendekati perempatan, jalanan yang kamu lewati kosong. Hanya terdiri dari rumah
penduduk dan gak ada tanda-tanda restoran. Kamu pun mulai ragu sama si google maps. Tidak
berapa lama, di pinggir jalan ada orang bawa spanduk bertuliskan “RESTORAN MAKAN
SORE BELOK KANAN”.
Kamu makin bingung dong. Padahal sebelum berangkat kamu udah browsing dan liat peta.
Restoran itu berada di kiri, tapi kok kata orang ini belok kanan? Kamu memelankan kendaraan.
Eh, di belakang dia ada tiga orang lain bawa spanduk sama: “KENYANG BANGET NIH ABIS
MAKAN DI MAKAN SORE! POSISI DI KANAN ANDA!” Semakin menuju perempatan,
orang-orang yang bawa penunjuk kalau Makan Sore ada di kanan makin banyak. Tidak hanya
memberikan posisi restoran yang ADA DI KANAN, biar orang percaya, mereka juga
menambahkan informasi lain kayak review, ngasih tahu fasilitas restorannya, serta jam buka dan
tutupnya.
Bukan nggak mungkin gara-gara orang dan spanduk ini, di perempatan nanti, kamu beneran
kepancing untuk belok kanan. Padahal, semua orang dan spanduk tadi adalah berita hoax
yang memang direncanakan untuk menipu kamu.
Baca juga: Salah Kaprah Soal Micin: Benarkah Micin Bikin Bodoh?
Gimana, udah kebayang belum bahayanya post truth ini? Contoh di atas sih cuma masalah
simpel kayak nentuin belok mana, tapi kalo dipakai untuk hal-hal berbau politik gimana?
Runyam juga kan. Yaa, jaman dulu aja ada, kok, masanya kita (kayaknya ini saya aja deh) di-
broadcast buat nyebarin SMS doa ke 10 temen biar lulus UN. Dan buktinya, kita percaya-
percaya aja. Karena balik lagi, “mereka mainin emosi kita.” dan itu lah kampretnya post truth.
Emosi dan kepercayaan bisa jadi variabel yang kuat banget untuk nentuin apakah sesuatu
dianggap kebenaran atau bukan.
Kesimpangsiuran informasi dan susahnya ngebedain mana fakta dan bukan ini sedikit banyak
membuat kita punya keraguan sama kevalidan sumber informasi. Gakpapa kalo kita jadi skeptis
dan selalu mempertanyakan sumber suatu informasi. Lah, kalo sebaliknya gimana?
Bisa jadi, sih, ini salah satu sebabnya data dari ipsos MORI Veracity Index bilang kalau
kepercayaan orang Inggris terhadap jurnalis cuma 26% aja. Jauh di bawah perawat. Kalo
menurut kamu, di Indonesia sendiri gimana?
Sumber: Ipsos.com
Filter Bubble
Hal lain yang bikin post truth bahaya adalah kerja samanya dengan filter bubble.
Filter bubble adalah algoritma yang dibuat oleh media sosial, di mana kita disuguhkan informasi
“sesuai dengan yang kita suka aja”.
Kayak misalnya, kalau kamu sering love postingan mobil di instagram. Di explore kamu akan
banyak konten-konten berbau otomotif. Kalau kamu sering love konten penyanyi/band favorit,
maka explore kamu penuh dengan band atau penyanyi serupa. Kalau kamu demen nge-
love postingan mantan, maka di explore akan berkumpul mantan-mantan kamu dari masa lalu
(lho, kok horor).
Emang, niat awalnya, sih, baik. Supaya kita gak ribet dan merasa nyambung sama konten yang
ditawarkan itu.
Tapi, secara gak langsung ini juga berakibat buruk. Bayangin. Kamu, dengan segala konten hoax
yang disebar tadi, sepakat kalau misalnya, tokoh A jahat atau salah. Akhirnya kamu nge-love,
like, dan share konten yang berpandangan kayak gitu. Nah, ini ngebuat media sosial bakal ngasih
kamu konten yang nunjukin kalau si A jahat/salah terus-terusan.
Alhasil, kebentuk, deh, di mindset kamu kalautokoh A adalah tokoh yang jahat. Kamu percaya
kalau, timbul confirmation bias, dan lama-lama hal itu akan jadi sebuah kebenaran di kepala
kamu.
Pada akhirnya, kita akan terjebak dalam kebenaran semu versi kita sendiri.
Makanya namanya filter bubble. Kita seolah berada dalam gelembung yang berisi informasi
yang itu-itu aja. Kita seperti dipersulit untuk melihat keluar dari gelembung. Dan setiap orang
terperangkap dalam gelembungnya masing-masing. Wajar kalau filter bubble adalah faktor
penting dalam semakin berpengaruhnya fake news, hoax, dan hate speech (Pariser 2011, Rader
dan Gray 2015).
Payahnya lagi, seperti apa yang ditulis oleh Leon Festinger dalam Prophecy Falls, apa yang kita
percaya di dalam lubuk hati terdalam, lama kelamaan akan membentuk komitmen, dan
itu akan menggerakkan kita dalam berbuat sesuatu.
Misal, kita percaya banget kalau Bika Ambon itu adalah makanan yang berasal dari Ambon.
Maka kita akan setengah mati percaya. Bahkan bisa aja kita jadi bohong bilang, “Bokap gue
sering kok ke Ambon. Tiap dia pulang bawanya Bika Ambon! Bahkan orang Ambonnya dua
dibawa ke rumah! (?)” dalam kasus tokoh A tadi, kita jadi akan mencaci dia terus menerus dan
mengabaikan hal lain. Apapun yang tokoh A lakukan akan selalu terlihat buruk di mata kita.
Bukan tidak mungkin kebenaran palsu ini menggerakkan kita untuk melakukan aksi, atau
melaporkan ke polisi, atau hal-hal lain.
Naasnya, masih kata Festinger, orang-orang kayak gini, ketika mengetahui bahwa apa yang dia
katakan salah, justru akan semakin ganas. Dobel serem deh.
Karena sejatinya, post truth itu bukan cuma tentang kebohongan yang disebar, tapi ketakutannya
jauh lebih besar dari itu. Bagaimana era ini mengobarkan kebingungan di tengah arus informasi
yang banyak dan bergerak cepat. Post truth, ngebuat kita jadi “Ini apaan sih? Yang bener tuh
yang mana? Lho, katanya gini?”
Kita jadi ragu akan pengertian kebenaran, dan bisa-bisa ngerasa takut terhadap
pandangan yang berbeda dengan kita.
Kita coba bedah satu lagi ya. Kayaknya ini cukup banyak dilakuin dan udah jadi hal yang lumrah
belakangan ini. Salah satu contoh kebenaran yang jadi blur di dunia pendidikan ada pada
fenomena Anak Selesai Duluan.
Peristiwa:
Momen ujian. Andi duduk di belakang Anton. Andi kesulitan ngerjain ujian. Melihat Anton yang
udah santai (Duduk, naroh kepala di meja, maen gitar nyetel musik reggae… namanya juga
santai. :p), Andi pun nendang kaki Anton.
“Tiga, Ton. Nomor tiga. Ssstt. Eh. Ton. Woy. Uhuk. OKHOHOHEKE! SU!”
Joke seputar Anak Selesai Duluan ini banyak beredar di internet. Dan kebanyakan,
dari jokes tersebut, menyatakan ketidaksukannya terhadap sikap Anton yang "KATANYA
GATAU, KOK TIBA-TIBA NGUMPULIN?!". Ketidaksukaan ini lama kelamaan akan jadi
sesuatu yang wajar bagi sebagian orang. Dan kita gatau apa akibatnya kalau orang itu benaran
ketemu “Anton” di sekolahnya. Bisa aja dia jadi benci, atau orang-orang kayak Anton dianggap
gak asik sama temen-temennya.
Padahal apa? Ya, harusnya Anton yang benar karena poin kebenarannya ada di kejujuran.
--
Nah, berhubung tulisan ini udah panjang banget, semoga kamu jadi paham tentang apa itu post
truth serta dampaknya bagi hidup kita. Tentu, era ini nggak seburuk itu juga. Kita tetap bisa
melawannya. Cara paling gampangnya adalah dengan belajar berpikir kritis. Cari tahu suatu
kejadian dari berbagai sisi. Lalu, jangan mentang-mentang kita berada di era yang serba cepat,
kita jadi minder untuk "terlambat" dan malah jadi terburu-buru. Pastikan kita bisa menyimak
dengan baik. Seringkali kita mendengar untuk melawan. Tapi coba ganti jadi mendengar
untuk mencerna. Jadi, ketika ada suatu hal, kita bisa berpikir dulu sebelum mengambil
keputusan.
Ya udah deh. Segini dulu kali ya. Kalau ada yang mau didiskusiin mengenai topik ini, kita
ngobrol aja di kolom komentar. Kalau pengin mengasah materi-materi yang lebih teknis seputar
mata pelajaran di sekolah, langsung aja tonton di ruangbelajar!
Referensi:
Keyes, Ralph. 2004. The Post Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St.
Martin's Press: New York.
Festinger, Leon. 2008. When Prophecy Falls. Pinter & Martin: London.