Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nilam Khoerunisa

Nim : 202190024

Kelas : 7a Reguler

Summary 5

Buzzer, Fake News, dan Frame

Penulis : Aliurridha Alhabsyi

Sumber : GEOTIMES

Buzzer, fake news, dan frame adalah beberapa kosakata yang marak kita temukan akhir-akhir ini.
Ketiganya adalah satu kesatuan yang hadir dalam politik pasca-kebenaran. Buzzer politik menggunakan
fake news dalam menggiring opini dan membangun suatu wacana yang menyulut emosi publik.
Beberapa kali buzzer ini mendiskreditkan pihak-pihak yang menentang kekuasaan.

Masihnya maraknya aktivitas buzzer ini semakin meresahkan saja karena setelah Pilpres 2019 berakhir
masyarakat yang mengharapkan adanya ketenangan justru semakin geram. Masyarakat semakin tidak
bisa membedakan mana yang benar dan yang salah dengan banyaknya fake news dan penggiringan
opini yang diproduksi oleh para buzzer poltik. Sehingga banyak yang menginginkan untuk buzzer ini bisa
ditertibkan karena dianggap mengganggu kelangsungan demokrasi.

Sosial Media seringkali disalahkan sebagai penyebab hadirnya apa yang disebut sebagai era pasca-
kebenaran. Hoaks dan fake news yang diproduksi buzzer menggunakan sosial media dianggap sebagai
penyebab datangnya zaman ini. Namun menurut Harari, manusia sebenarnya selalu hidup dalam era
pasca-kebenaran. Pasca-kebenaran bukanlah barang baru yang hadir karena lahirnya sosial media
namun sesuatu yang sudah hadir jauh sebelum itu.

Bagaimana Fake News Bekerja?

Harari menjelaskan sejak zaman batu manusia telah berhasil membangun berbagai fiksi yang digunakan
untuk menyatukan manusia. Bahkan, menurutnya hal inilah yang membuat manusia berhasil berdiri di
puncak rantai makanan dan menaklukan dunia. Fiksi ini dibranding dengan cara menceritakan secara
berulang-ulang sampai manusia meyakini bahwa ini kebenaran.

Dengan menggunakan konsep yang sama fake news diciptakan. Keduanya memiliki tujuan, jikalau fiksi
bisa digunakan untuk tujuan yang baik namun fake news biasanya digunakan untuk mendapatkan
keuntungan dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
Harari memberikan contoh bagaimana Coca-cola yang menjadi sponsor untuk acara olahraga seringkali
disalahtafsirkan sebagai minuman sehat. Padahal meminum Coca-cola justru akan membuatmu
overweight hingga menderita diabetes. Karena yang menjadi model iklan seringkali adalah atlit muda
dan sehat menanamkan gambaran dalam pikiran penonton seolah-olah Coca-cola adalah minuman
sehat.

Fake news hanya bisa bekerja jika informasi cocok dengan frame. Dalam bukunya Don’t Think of An
Elephant, Lakoff (2014) menjelaskan bahwa otak manusia tidak bekerja dengan memproses informasi
berdasarkan fakta dan hanya jika informasi cocok dengan frame maka informasi bisa diterima. Karena
itu perlu apa itu frame dan bagaimana frame bekerja?

Frame adalah struktur mental yang membantu manusia untuk memproses informasi. Informasi hanya
bisa diterima jika dia cocok dengan frame. Jika informasi tidak cock dengan frame maka informasi akan
ditolak, meskipun informasi tersebut merupakan fakta. Sebagai contoh frasa “keringan pajak” yang
digunakan George W. Bush ketika dia terpilih menjadi presiden yang mana diulang-ulang olehnya
maupun timnya sebagai bahan kampanye untuk 4 tahun ke depan.

Ketika kata “keringanan” ditambahkan ke kata “pajak” akan menghasilkan metafora “pajak adalah
beban”. Sehingga siapapun yang memberikan keringan pajak ini adalah pahlawan, dan siapapun yang
akan menghentikan pahlawan ini adalah penjahatnya. Ini adalah frame yang muncul dari frasa “keringan
pajak”. Hasilnya banyak dari masyarakat Amerika dengan senang hati menerima kebijakan Bush, karena
tidak seorangpun suka membayar pajak meskipun faktanya tidak banyak orang yang bisa mendapatkan
keringan pajak ini.

Menertibkan Buzzer

Pemerintah sampai saat ini masih mengandalkan Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai
alat untuk memukul para buzzer. Namun sampai saat ini UU ITE justru lebih sering digunakan untuk
menyerang buzzer dari pihak oposisi. Apakah UU ITE bisa digunakan untuk memukul mundur para
buzzer yang mendukung kekuasaan?

Meski Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menilai perlunya menertibkan buzzer karena dirasakan
justru lebih banyak dekstruktif. Para buzzer pro pemerintah kini dirasakan lebih merugikan ketimbang
menguntungkan. Para buzzer yang memberikan informasi yang tidak diverifikasi kemudian menghapus
informasi tersebut. Aktifitas yang dilakukan para buzzer ini justru membuat kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah menurun.

Sebut saja dua blunder besar para buzzer ini, yang pertama adalah mengatakan ambulans milik Pemprov
DKI Jakarta menyuplai batu dan bensis untuk para demonstran yang kemudia hari terbukti tidak benar.
Yang kedua adalah penyebaran tangkap layar grup WhatsApp anak STM yang setelah diselidiki oleh
netizen dan wartawan justru dimiliki oleh aparat kepolisian.
Namun tentu saja menertibkan buzzer tidak akan mudah karena buzzer tidak selamanya digerakkan oleh
uang semata ada juga yang digerakkan karena faktor ideologis. Ideologi seperti halnya kepercayaan
membawa manusia untuk mempercayai bahwa apa yang mereka lakukan benar, bahwa apa yang
mereka lakukan bermakna.

Menertibkan buzzer sepertinya akan susah dilakukan karena buzzer juga tidak selamanya dalam satu
komando. Tidak semua buzzer digerakkan oleh uang, ada yang bergerak karena kesamaan ideologi yang
diperjuangkannya. Menggunakan UU ITE untuk memukul mundur para buzzer sepetinya akan susah
dilakukan apalagi dengan kecurigaan keterlibatan aparat kepolisian.

Selain itu Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga secara tegas mengatakan bahwa
pihaknya tidak memberikan perhatian khusus terhadap aktifitas buzzer, yang mana hanya memantau
apa yang telah dilakukan. Jadi apa yang harus dilakukan masyarakat?

Solusi yang bisa diambil masyarakat adalah memahami bahwa semua aktifitas yang muncul di sosial
media maupun media arus utama memiliki kepentingan. Baik itu kepentingan politik, ekonomi, maupun
ideologi. Karena itu masyarakat harus kritis dalam memilah informasi. Melihat rekam jejak pemberi
informasi menjadi penting.

Untuk mencegah produksi fake news dan menjaga keberimbangan informasi maka masyarakat dihimbau
untuk jangan terburu untuk menyebarkannya. Karena fake news dibuat oleh orang yang memiliki
kepentingan, disebarkan oleh orang bodoh, dan diterima sebagai kebenaran oleh orang idiot.

Summary 5
buzzers, fake news, and frames are words that are always present in the political. buzzer performs its
action through social media by spreading fake news using frames. because, fake news can only work if
the information is appropriate. buzzer now start to help the government. However, this hasn't been able
to provide benefits to the government. Buzzer provides information to the public whose stories are not
verified and then deleted. Therefore, the buzzer needs to be put in order. in a way not only from the
government but also the public who must be critical in sorting out the information.

Opinion

The rise of fake news that has spread in Indonesia carried out by buzzers, especially when in the
political, makes us as a society have to pay more attention, critically investigate whether it's the
information we read or receive. because, Fake news used to gain advantage by hiding the real facts. This
will harm us as the recipients of the information. Fake news wrapped in a suitable frame will turn a story
that was previously unrealistic into realistic. In addition, society is also advised not to always rush to
spread news that at that time was not certain the truth.

Anda mungkin juga menyukai