Anda di halaman 1dari 4

Media Sosial dan Demokrasi Harapan atau Ancaman?

Sudah sejak satu dekade lalu media sosial diprediksi akan turut menyemarakkan
kontestasi politik di negeri ini. Penggunaan media sosial untuk penggalangan masyarakat,
penanganan bencana, penyebarluasan simpati kepada yang tidak didengar, sudah sering kita
dengar sejak bermunculan kasus ‘Koin untuk Prita’, ‘Perlawanan Cicak Vs Buaya’, dan lain-
lain. Tak ayal dunia politik pun turut mempergunakan sarana media sosial sebagai bagian
penting dari kampanye politik, bahkan menjadi suatu kancah baru kontestasi di antara politisi.
Sudah sejak dua pemilihan umum nasional terakhir (2009 dan 2014) media sosial
menjadi suatu ranah baru yang perlu diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu
terakhir itu kita melihat penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan
besar di lapangan terbuka, dan sebagainya, mendapat saingan berat dengan adanya media
sosial, yang telah menghasilkan lapangan baru untuk berkompetisi, saling cari simpati, serta
mencerca para pesaing.
Pertanyaannya kemudian adalah, ketika media sosial makin berkembang dan mulai
mengungguli pertemuan massal yang bersifat fisik, apakah kompetisi atau kontestasi politik
ini menjadi berjalan lebih baik atau menjadi lebih anarkis?
Atau dalam bahasa lain, apakah media sosial betul memberikan suatu sumbangan bagi
situasi demokrasi deliberatif, di saat berbagai pihak yang berkontestasi mendapat ruang untuk
didengar dan akhirnya, mereka yang terbaiklah yang kemudian menjadi pilihan masyarakat?
Jika kita bicara dari konteks yang negatif, mana yang lebih merugikan, pengerahan
massa lewat pawai yang rentan berbenturan dengan kelompok massa lainnya atau pengerahan
opini, misinformasi, fabrikasi yang dihasilkan dalam bentuk informasi lewat media online
atau media sosial, yang bisa menghasilkan kecurigaan lebih dalam, antipati pada kelompok
lain, dan ketidakmauan mendengar pandangan yang berbeda?
Sebelum menjawab itu dalam konteks Indonesia, kita mungkin perlu mencermati
mengapa majalah asal Inggris, The Economist, dalam edisi 4-10 November 2017 sampai
menulis headline ‘Social media’s threat to democracy?’ Apakah sedemikian parahnya situasi
media sosial yang ada saat ini sehingga The Economist tak ragu menyebutnya sebagai
‘ancaman bagi demokrasi’. Dalam konteks apa, The Economist sampai pada kesimpulan
demikian?
Editorial yang diajukan The Economist menyebutkan ‘media sosial pernah tampil
dengan suatu harapan bahwa mereka akan memberikan pencerahan pada dunia politik,
penyampaian informasi yang akurat, dan komunikasi yang tak henti-hentinya ditujukan untuk
membantu orang-orang baik untuk memberantas korupsi, memerangi kebodohan, serta
mengungkap kebohongan’. Akan tetapi, melihat kenyataannya, harapan tadi tinggallah
harapan yang menjadi niatan baik, tetapi sulit terwujud sebagai kenyataan.
Berkaca pada pemilihan umum di Amerika pada 2015, data yang dikutip The
Economist menunjuk pada kenyataannya banyak sekali warga Amerika yang mengakses
misinformasi yang dilakukan Rusia dalam platform seperti Facebook dan kanal Youtube. The
Economist menambahkan fenomena politik menjadi makin buruk tidak hanya terjadi di
Amerika, tetapi juga di Spanyol dan Afrika Selatan.
The Economist menyimpulkan ‘penggunaan media sosial tidak hanya menyebabkan
keterbelahan dalam masyarakat, tetapi juga penyebarluasan keterbelahan itu’. Majalah ini
berharap media sosial, walaupun telah disalahgunakan sejumlah pihak, dengan suatu
keinginan kuat, masyarakat dapat meredamnya dan mimpi tentang pencerahan dalam
masyarakat masih akan bisa terwujud.
Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoaks telah mencemari atau menebar racun
dalam demokrasi yang kita jalani saat ini. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, percaya bahwa
masyarakat perlu menerapkan apa yang ia sebut sebagai demokrasi deliberatif, yaitu
kesempatan kepada banyak pihak untuk menyampaikan pendapat mereka, yang paling
berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan masyarakat mengambil keputusan atas
informasi yang beragam tersebut.
Hoaks di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat
pendekatan kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu
memiliki informasi yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai
aspek kehidupannya.
Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi
yang tak akurat, sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi suatu kebebasan
memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh
informasi adalah oksigen bagi demokrasi.
Media sosial di Indonesia yang terkait dengan politik berkembang atas tiga motif dasar
menurut saya. Pertama ialah sebagai bagian dari perluasan pengaruh politik dari kandidat
tertentu kepada para konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan.
Kedua, sebagai bagian dari strategi kampanye sekaligus strategi menyerang yang
ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang bisa
bertumpang tindih dengan motif lainnya.
Atas dasar itulah, kita akan melihat media sosial bakal semakin masif dipergunakan
politisi, para pendukung, dan elemen lainnya untuk memenangi pertarungan politik.
Pembuatan konten tertentu untuk menjatuhkan lawan, mempromosikan kandidat sendiri,
pastilah akan marak dalam tahun mendatang dan hal ini tak mengherankan. Kelihatannya
problem soal hoaks tidak akan berhenti sampai di sini, malah ia menemukan momentum
untuk terus berkembang dan dimanfaatkan kelompok mana pun.
Apakah di sini lalu kita bisa menilai, apakah media sosial memberikan kontribusi
positif pada pembentukan jembatan untuk memperkecil rasa curiga, memperbesar apresiasi,
dan mencari titik-titik temu di antara dua atau tiga kubu yang bertarung? Rasanya kita harus
jujur untuk mengatakan media sosial cenderung memperluas jurang perbedaan antar
kelompok yang ada dan media sosial tak lebih dari suatu ekstensi (perpanjangan) dari politik
elite yang dilakukan para kandidat dan menyebarluaskan kepada para pendukung mereka.
Dengan logika algoritma yang ada dalam media sosial, kita akan cenderung
mengonsumsi apa yang ‘sejalan dengan pikiran kita’ dan kita cenderung ‘menghindar atau
tak mau mengonsumsi apa yang datang dari seberang’.
Jika bicara politik dalam arti elite, kita mungkin akan jatuh pada pesimisme karena lalu
kita akan terjebak pada politik ‘zero sum game’. Dia menang atau kita menang. Tak ada
ruang dialog, tak ada ruang bargaining, tak ada ruang dialog argumentatif yang memberi
ruang-ruang untuk saling mendengar dan menerima pandangan pihak lain. Media sosial
menjadi tempat semua kekesalan itu ditumpahkan.
Dalam kondisi semacam ini, lalu apa yang perlu kita lakukan? Jika media sosialnya
sendiri lewat hukumnya yang berlaku memang sulit melakukan perubahan, yang perlu
diintervensi adalah para penggunanya. Ya, kita sendiri. Jika kita menjuluki perangkat gadget
yang kita pegang itu sebagai ‘smartphone’, apakah penggunanya (ya, kita sendiri) sudah lebih
pandai daripada gadget itu sendiri? Jangan-jangan kita malah tertinggal jauh.
W James Potter menulis Media Literacy (2013, 6th Ed) dan ia mengatakan literacy
awalnya merujuk pada kemampuan seseorang untuk membaca bahan yang tertulis. Dalam
perkembangannya literacy berkembang menjadi visual literacy, story literacy, computer
literacy, dan kini digital media literacy.
Jadi digital media literacy berarti kemampuan seseorang untuk bisa memproses
informasi yang datang dari aneka jenis platform (mulai yang mainstream hingga yang
digital).
Satu hal yang ditekankan Potter--walau ia mengambil sisi yang lebih seimbang konsep
media literacy berangkat dari asumsi ‘media itu bisa merusak’. Namun, Potter mencoba ingin
menyeimbangkan pendapat bahwa media bisa merusak, tapi media juga bisa membantu, bisa
mencerahkan, bisa berguna, dan lain-lain.
Dalam konteks ini media sosial yang sama, yang bisa dipergunakan untuk menyerang
lawan, merusak reputasi dan lain-lain, juga bisa dipergunakan untuk membangun
kebersamaan, menjembatani disharmoni, serta menyebarluaskan pencerahan bagi masyarakat.
Butuh pihak yang memikirkan dan bekerja untuk hal ini karena percepatan kepemilikan
dan penggunaan media sosial sedemikian masif di Indonesia dan secepat itu pula kita
membutuhkan pendidikan digital media literacy bagi para pengguna gadget di sekitar kita.
Dengan pengetahuan serta ketrampilan digital media literacy, kita akan diajak untuk
menggunakan media secara bijak, tidak jatuh dalam perangkap menyebarluaskan ungkapan
kebencian (hate speech), tidak jadi konsumen dan distributor hoaks. Sebaliknya, bisa menjadi
peredam efek negatif media sosial dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih
produktif dan bermanfaat dari media sosial yang kita miliki, dan kita pergunakan sehari-hari
itu.
Lewat pendekatan nonelite seperti ini, mungkin kita bisa kembali menaruh harapan
pada media sosial sebagai sesuatu yang mencerahkan, punya kekuatan dan daya jangkau yang
luar biasa mengagumkan. Niatan-niatan baik akan bisa disokong siapa pun walaupun kita
memiliki pilihan politik yang berbeda.
Media sosial perlu dikembalikan pada fungsi mencerahkan seperti ini, setelah sekian
lama diperalat untuk pengabdian pada kepentingan politik kekuasaan semata. Untuk itu, mari
kita bersiap untuk turut berpartisipasi memanfaatkan media sosial yang lebih mencerahkan
itu.
Sumber: https://mediaindonesia.com/indonesia-2018/135752/media-sosial-dan-demokrasi-
harapan-atau-ancaman

Anda mungkin juga menyukai