Anda di halaman 1dari 2

Catatan Demokrasi Indonesia versi Pakar UNESA

Unesa.ac.id, SURABAYA-Hari Demokrasi Internasional atau International


Democracy Day diperingati setiap 15 September. Ini ditetapkan PBB pada 2007 dengan
tujuan untuk mendorong pemerintahan di berbagai negara untuk memperkuat dan
mengkonsolidasi demokrasi. Peringatan tahun ini mengusung tema “Melindungi Kebebasan
Pers untuk Demokrasi.”
Pakar Sosiologi Politik UNESA, Dr. Agus Machfud Fauzi, M.Si., mengatakan, merujuk
pada spirit dan tujuan penetapannya, Hari Demokrasi Internasional harusnya menjadi
momentum untuk merefleksikan kembali perjalanan demokrasi di berbagai negara, tidak
terkecuali di Indonesia.
Menurutnya, perjalanan demokrasi tidak lepas dari perjalanan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa orde lama, kepemimpinan Soekarno lewat demokrasi terpimpinnya dianggap
gagal menerapkan sistem demokrasi. Kemudian, pada masa orde baru pun demikian yang
melahirkan demokrasi semu atau jadi-jadian.
Baru pada dan pascareformasi hingga saat ini demokrasi mendapat tempatnya dalam
sistem kenegaraan. Kendati sempat terjadi beberapa gejolak, demokrasi di Indonesia dinilai
cukup kondusif. “Namun, kalau kita lihat dari nilai-nilai ideal dari demokrasi itu sendiri,
demokrasi di Indonesia masih jauh dari yang seharusnya,” tukasnya.
Demokrasi menempatkan rakyat sebagai dasar dalam setiap hajat kenegaraan. Rakyat
adalah ‘sasaran’ yang diangkat derajat hidupnya, diberikan pendidikan dan pekerjaan yang
layak dan dipastikan kesejahteraannya. Bukan sebaliknya, rakyat kadang menanggung beban
perilaku pejabat dan perwakilannya di atas sana.
Belu lagi, lanjutnya, secara sistem, demokrasi di Indonesia banyak yang perlu dikritisi.
Seperti keberadaan kepala daerah yang di ambang purnatugas masih
menampilkan/mencalonkan keluarganya, entah itu istri, anak, saudara atau bahkan cucunya
untuk meneruskan karir jabatannya. Hal ini memang tidak dilarang, tetapi secara tidak
langsung ini menimbulkan persaingan politik yang tidak sehat dan cenderung ke arah
oligarki.
Selain itu, maraknya money politic masih terasa seakan menjadi hal yang lumrah.
Sekalipun secara aturan ini dilarang, tetapi serangan fajar menjadi senjata meraih banyak
suara. Ada banyak laporan yang masuk tentang itu, tetapi tidak responsif. Bahkan masyarakat
yang ingin melapor menjadi takut dengan adanya sejumlah ancaman dari yang ‘terlapor’.
Tradisi mahar dan money politic ini, kata Agus menjadi ancaman dan membuat
demokrasi semakin terpuruk. Selain hal itu, konsistensi regulasi baik dalam pilkada maupun
pemilihan-pemilihan level nasional banyak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Ini
menimbulkan citra regulasi yang kurang baik di mata rakyat. Alih-alih aturan untuk
memudahkan dan mensejahterakan masyarakat, tetapi kesannya seperti ‘mencekik’ rakyat
kecil.
Membangun demokrasi yang ideal di Indonesia harus dimulai dari kesadaran dan
komitmen bersama. Kesadaran itu harus hadir baik secara vertikal maupun horizontal. Bisa
dari bawah ke atas atau dari masyarakat yang mempengaruhi kebijakan dan dari atas ke
bawah lewat kebijakan.
“Demokrasi yang ideal adalah yang mengakomodir aspirasi dan kebutuhan rakyatnya.
Demokrasi belum final, kita masih proses. Butuh komitmen bersama sampai kita benar-benar
menemukan pattern demokrasi yang ideal berdasarkan karakteristik bangsa kita sendiri,”
tutupnya. [HUMAS UNESA]

Anda mungkin juga menyukai