Anda di halaman 1dari 17

LITERASI MEDIA DI ERA DISRUPSI DIGITAL DAN POST-TRUTH

RMB UIN Walisongo

Kehidupan beragama di Indonesia menghadapi tantangan semakin serius seiring


menguatnya sikap ekslusivisme dan ekstremisme beragama antara lain sebagai ekses
dari era disrupsi dan post-truth. Kemajuan teknologi informasi mendorong perubahan
kultur dan kebiasaan masyarakat, termasuk salah satunya adalah menyebarkan berita
atau informasi, termasuk dalam ranah keagamaan.
Laporan We Are Social (2020) menyebutkan bahwa pada tahun 2020 terdapat
175,4 juta pengguna internet di Indonesia, yakni 64% dari total populasi yang
berjumlah 272,1 juta jiwa. Masing-maisng mengakses internet rata-rata 3-5 jam/hari
dan sekitar 90% mengakses lewat ponsel pintar. Menurut BPS (Susanti, 2020),
penggunaan internet didominasi penggunaan sosial media dan mendapat informasi
atau berita dengan persentase masing-masing sekitar 79,13 persen dan 65,97 persen.
Meskipun era disrupsi digital membawa banyak dampak positif, namun dampak
negatif yang ditimbulkan juga banyak, antara lain maraknya penyebaran konten yang
bermuatan negatif seperti berita bohong (hoaks), ujaran kebencian (hate speech),
propaganda paham radikal dan aliran-aliran yang mengancam keharmonisan
masyarakat. Kesenjangan antara kurangnya literasi media di tengah banjirnya
informasi, ditambah dengan kebutuhan penyajian berita secara cepat oleh media,
maupun kebutuhan memperoleh perhatian publik atau pemberitaan viral untuk
meningkatkan engagement, media disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk
memproduksi berita yang belum tentu kebenarannya. Minimnya verifikasi kredibilitas
informasi menyebabkan kebohongan diterima dengan mudah melalui celah
kebingungan membedakan antara berita, opini, fakta dan analisis. Akibatnya,
penyebaran informasi yang massif ini menghadirkan sejumlah dampak sosial, memicu
ketegangan dan konflik akibat kurangnya kemampuan mencerna informasi yang
benar.
Era disrupsi digital juga mempengaruhi pola membaca masyarakat. Budaya
instan dan praktis yang tercipta membuat masyarakat cenderung lebih menyukai
pemanfaatan mesin pencari dari pada merujuk kepada sumber-sumber yang otoratif.
Maraknya situs-situs religius, baik berupa website, youtube, akun media sosial dan
lain sebagainya, menjadi pilihan alternatif di tengah kesibukan masyarakat. Akses
internet akhirnya menjadi jalan pintas dalam memperdalam “pemahaman agama”.
Tanpa akses internet, generasi saat ini kesulitan berfikir dan menalar. Pada posisi
inilah lahir disruptive mindset, disruptive culture, dan disruptive marketing (Wahyudi,
2018, hal. 926).
Survei yang dilakukan Varkey Foundation pada tahun 2017 menghasilkan
kesimpulan bahwa mayoritas generasi muda Indonesia menganggap komitmen
terhadap agama sangat mempengaruhi kondisi kebahagiaan mereka dengan skor 93%
(Gazali, 2019, hal. 6). Hasil survey ini membanggakan sekaligus mengkhawatirkan.
Dianggap membanggakan karena berarti generasi muda memiliki semangat yang
tinggi untuk belajar agama. Namun, hasil survey ini mengkhawatirkan mengingat
media digital menyuguhkan berbagai konten yang sebagian merepresentasikan
pemahaman keagamaan yang skriptual-leterlek, parsial dan ekstrem. Kekhawatiran
lain yang muncul adalah apabila pengetahuan agama yang diperoleh dari media
digital berasal dari pihak-pihak yang tidak memiliki keilmuan yang tepat, serta cara
mengajarkannya tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kekhawatiran tersebut terkonfirmasi oleh sejumlah hasil penelitian. Hasil survei
nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2017) di tahun
2017 menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya
intoleransi pada generasi Z. Pelajar yang tidak memiliki akses internet lebih memiliki
sikap moderat dibandingkan yang memiliki akses internet. Sebanyak 54,37% pelajar
dari 84,94% jumlah pelajar yang memiliki akses internet mengaku memperoleh
pengetahuan agama dari internet.
Survei Wahid Foundation (2017) tahun 2016 menjelaskan bahwa 86% aktivis
Rohis SMA yang menjadi responden ingin berjihad ke Suriah. Keinginan ini muncul
akibat terpapar informasi keagamaan yang penuh kecurigaan, kebencian, cenderung
mendukung tindakan dan gerakan radikal dan cenderung mengingkari atau menentang
pemenuhan hak-hak kewarganegaraan terhadap kelompok lain yang tidak disukai.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan apabila melihat hasil survei PPIM UIN
Jakarta (2017) yang menemukan bahwa mayoritas guru beragama Islam memiliki
pemikiran intoleran dan radikal yang cukup tinggi. Sebanyak 10,01 persen guru
memiliki opini sangat intoleran secara implisit dan 53,06 persen berpandangan
intoleran secara implisit. Sebesar 6,03 persen guru memiliki pemikiran intoleran
sementara 50,87 persen memiliki opini intoleran secara eksplisit. Melihat kondisi ini,
begitu terasa bahwa era disruptif menancapkan taringnya dalam ajaran islam. Kondisi
ini tentu mengkhawatirkan, karena Generasi Millenial dan Generasi Z merupakan
cerminan masa depan Indonesia.
PERMASALAHAN
Tantangan era disrupsi dan post-truth berimplikasi ke berbagai lini kehidupan,
hingga merambah pada cara dan ekspresi beragama, termasuk mengubah pendidikan
dan pendalaman pengetahuan agama. Jika dulu belajar agama harus datang kepada
kiai di pesantren, saat ini berbagai pengetahuan sudah disuguhkan melalui internet.
Kebebasan berpendapat yang difasilitasi dengan kemudahan memperoleh informasi
dan pengetahuan juga menumbuhkan sikap kritis sehingga tidak jarang generasi
milenial dan generasi Z mempertanyakan nilai-nilai dan keberagamaan tradisional.
Alhasil, mereka menjadi lebih mandiri untuk berkonsultasi mengenai permasalahan
agama dengan berbagai sumber, bertanya pada situs keagamaan berbasis
online/digital yang dikelola oleh admin yang tidak memiliki otoritas keilmuan agama
yang tepat, atau berselancar membaca tafsir-tafsir keagamaan melalui mesin pencari
google. Otoritas agama baik kyai, ustadz, dan guru agama tidak lagi dianggap penting
kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendalaman agama yang potong kompas seperti ini berarti memutus beberapa
tahapan penting dalam memahami ajaran agama, seperti melakukan penelusuran
sumber yang otoritatif dan klarifikasi atau tabayyun. Merebaknya konten-konten
keagamaan yang radikal dan ekstrem apabila tidak disertai dengan konsultasi kepada
otoritas-otoritas keagamaan tradisional akan berakibat pada pemikiran keagamaan
yang cenderung radikal dan ekstrem. Seringkali, penjelasan obyektif terkait ajaran
agama dikalahkan oleh pilihan-pilihan personal yang diperoleh dari sumber-sumber
yang tidak otoritatif. Pembelajaran instan ini membentuk umat beragama menjadi
terbiasa mengklaim kebenaran tunggal dan cenderung intoleran.
Fenomena-fenomena yang terjadi di atas membangun konstruksi tujuan tulisan
ini untuk memberikan gambaran bagaimana cara menghadapi dan menyikapi konten-
konten informasi dan pengetahuan di era disrupsi digital dan post-truth agar terhindar
dari provokasi, hoaks dan hate speech yang membawa ancaman konflik dan
disharmoni sesama umat (inter) atau antar umat beragama. Perspektif moderat dalam
beragama melalui literasi media menjadi sangat penting untuk dihadirkan demi
menjaga harmoni masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural.
ERA DISRUPSI DIGITAL DAN POST-TRUTH
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan disrupsi sebagai “hal
tercerabut dari akarnya”. Disrupsi cenderung dikaitkan dengan perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi seiring memasuki revolusi industri digital 4.0.
Pada awalnya disrupsi terjadi pada dunia bisnis dan usaha, namun meluas ke berbagai
bidang. Komunikasi yang mulanya dilakukan melalui media massa dan elektronik
mainstream beralih ke media digital.
Era disrupsi dimaknai sebagai fenomena pergeseran aktivitas yang biasanya
dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya yang ditandai dengan kemajuan
teknologi informasi, komputasi, otomasi, dan robotisasi (Kementerian Agama RI,
2019, hal. 89). Kasali (2017, hal. 17) menyebut era disrupsi digital ditandai dengan
empat indikator, yaitu lebih mudah (simpler), lebih murah (cheaper), lebih terjangkau
(accesible), dan lebih cepat (faster). Keempat indikator inilah yang paling dicari dan
diminati, terutama generasi milenial dan generasi Z.
Generasi milenial yang disebut juga sebagai generasi Y merupakan salah satu
penyokong utama era disrupsi. Generasi ini yang paling aktif dalam merespon
perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Menurut Absher dan Amidjaya
(dalam Ali & Purwandi, 2017, hal. 4), milenial merupakan generasi yang lahir
berkisar antara tahun 1982 sampai dengan 2002. Generasi ini merupakan inovator,
karena hidup pada masa perkembangan internet dan media sosial sehingga mencari,
belajar dan bekerja di dalam lingkungan yang sangat mengandalkan teknologi.
Namun di sisi lain, minat baca secara konvensional generasi ini sudah menurun
karena lebih memilih membaca melalui smartphone (Badan Pusat Statistik, 2018, hal.
19).
Badan Pusat Statistik (2018, hal. 22) menyebutkan pada tahun 2017 generasi
milenial mencapai 88 juta jiwa atau 33,75% dari total penduduk Indonesia dan
mendominasi dibandingkan generasi lainnya. Proporsi milenial diperkirakan
mencapai 34% pada tahun 2020 dengan rentang usia 20 hingga 40 tahun dan akan
menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Selain generasi milenial, generasi Z juga menyumbangkan kontribusi besar
sebagai pengguna media digital. Generasi Z menurut Ali & Purwandi (2017, hal. 4)
adalah mereka yang lahir pada kisaran tahun 2001 hingga sekarang. Namun, Badan
Pusat Statistik (2018, hal. 17) menyebut bahwa generasi Z adalah mereka yang lahir
pada rentang tahun 2001 hingga 2010. Pola pikir generasi ini cenderung instan karena
lahir pada saat teknologi sedang berkembang pesat.
Kehadiran era disrupsi digital memberikan banyak dampak positif dalam
kehidupan, secara umum antara lain: (1) mempermudah pencarian dan penyebaran/
publikasi informasi dan pengetahuan; (2) menjadi media belajar yang efektif,
utamanya di masa pandemi; (3) mendukung pembangunan jejaring; (4) memfasilitasi
kebebasan bersuara dan berpendapat; dan (5) tersedianya sarana komunikasi interaktif
yang melibatkan peran aktif manusia.
Di sisi lain, dampak negatif yang timbul akibat disrupsi digital juga banyak,
misalnya media digital menjadi jalan pintas (shortcut) atas bahan referensi informasi
dan pengetahuan, termasuk soal keagamaan tanpa adanya verifikasi. Dalam fungsinya
menjadi media publikasi yang efektif, media digital justru dapat berkontribusi dalam
penyebaran konten informasi dan pengetahuan yang bermuatan negatif seperti ujaran
kebencian (hate speech), berita bohong (hoaks), maupun propaganda, tidak terkecuali
terkait agama yang mengancam keharmonisan masyarakat. Kemudahan dan
kecepatan akses informasi juga melahirkan budaya instan dan praktis yang
mempengaruhi pola perilaku dan pola membaca masyarakat .
Era disrupsi digital dengan demikian menjadi sebuah tantangan tersendiri dan
menghadirkan ancaman bagi masyarakat apabila tidak disikapi dengan bijak.
Pertama, budaya praktis dan instan menyebabkan turunnya literasi masyarakat.
Kedua, kebebasan berbicara dan berpendapat di media digital berpotensi
menimbulkan konflik. Ketiga, produksi konten-konten informasi yang dapat
dilakukan oleh siapa saja, didukung dengan kepentingan dan keinginan menjadi
sorotan atau viral, menyebabkan merebaknya hate speech, hoaks dan propaganda.
Keempat, globalisasi yang didukung dengan teknologi digital menyebabkan dislokasi
intelektual dan kultural, sementara di sisi lain juga mendorong eksklusifitas dan
penguatan identitas kelompok. Kelima, merebaknya post-truth.
Post-truth merupakan istilah yang terbentuk dari dua kata, yakni post artinya
after (setelah) dan truth yang artinya quality or state of being true (kualitas atau
kondisi dalam kebenaran) (Manser, 1996). Istilah 'Post-truth' dimaknai Oxford
Dictionary sebagai kebenaran ditinggalkan, di mana fakta objektif tidak lagi
memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, justru keyakinan pribadi
dan ketertarikan emosional yang mendapatkan dukungan terbanyak dari masyarakat
lah yang dianggap sebagai kebenaran.
Masa ini disebut juga sebagai era post-truth karena objektivitas dan rasionalitas
dikesampingkan, sementara emosi dan sensionalitas mendominasi dalam membentuk
opini, pemikiran, maupun perilaku publik meski fakta menunjukkan sebaliknya.
Publik lebih terpengaruh dengan berita maupun hal-hal yang menyentuh perasaan dan
tidak terlalu peduli dengan kebenaran yang ditegakkan.
Menurut Suharyanto (2019, hal. 40), terdapat lima hal yang menandai era post-
truth. Pertama, kemudahan dan keluasan akses terhadap konten-konten informasi
berkat digitalisasi komunikasi. Kedua, masyarakat dapat membuat dan memproduksi
informasi sendiri melalui media sosial berkat demokratisasi media dan jurnalisme
warga. Ketiga, masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru. Keempat,
teknologi menyebabkan kebenaran menjadi rancu karena sensasionalitas atau viral
dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika. Kelima, kebenaran
dinomorduakan dan tidak perlu bantahan.
Setiawan (2017) menyebutkan enam karakteristik utama dari politik post-truth,
yaitu, pertama, mengaduk-aduk masyarakat dengan hal-hal yang bersifat emosional.
Kedua, lebih mengabaikan data dan fakta. Ketiga, mengutamakan dan menaikkan
berita yang belum tentu kebenarannya. Keempat, mengkombinasikan gerakan populis
dengan teori-teori konspirasi yang masih butuh diuji lagi kebenarannya. Kelima,
mobilisasi narasi fiktif tentang figur atau peristiwa tertentu. Keenam, memoles
ketidakjujuran dalam membangun opini untuk memperkuat posisi figur, kelompok,
atau kepentingan tertentu dalam masyarakat.
Apabila fenomena post-truth tidak diantisipasi, maka akan berpotensi
mempertajam polarisasi di masyarakat. Sampai saat ini, pemberitaan dan konten-
konten yang tendensius mengusung sentimen agama, ras dan kelompok kepentingan
semakin sering muncul. Hal ini tentu menjadi tantangan dan hambatan dalam merawat
kebhinekaan dan harmoni kehidupan berdampingan antar umat beragama.

URGENSI LITERASI MEDIA DI ERA DISRUPSI DIGITAL DAN POST-


TRUTH
Era disrupsi digital menghadirkan banyaknya fitur-fitur media, utamanya media
digital yang sangat menguntungkan sebagai sarana komunikasi dan interaksi dengan
biaya yang relatif murah, mudah, tanpa memikirkan kendala jarak dan waktu. Media
digital juga dapat mempercepat penyebaran informasi. Namun, keberadaan media
digital juga membawa sejumlah dampak negatif, antara lain menyebabkan kurangnya
interaksi secara langsung, kecanduan media sosial, hingga persoalan etika, moral, dan
peraturan-peraturan (Tim Humas Kemendag, 2016, hal. 26).
Kehadiran era disrupsi digital melahirkan perubahan besar dan efek domino
dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan beragama.
Berdasarkan teori religious-social shaping of technology yang digagas oleh Heidi
Campbell (2010), keberadaan media digital mempengaruhi perubahan cara berpikir,
perumusan fatwa-fatwa, ekspresi keagamaan dan hubungan sosial yang terjalin atas
dasar norma agama. Implikasi yang ditimbulkan antar lain problem pemahaman
agama, pergeseran otoritas keagamaan dan perubahan pola perilaku masyarakat.
Pertama, bias-bias pemahaman mengenai ajaran agama muncul tanpa adanya
proses verifikasi dan dialog akibat informasi dan pengetahuan keagamaan dapat
diproduksi dan dikonsumsi oleh siapapun dengan keragaman usia, kompetensi,
kepakaran. Hal ini berbeda dengan masyarakat tradisional yang merujuk pada
sumber-sumber otoritatif baik pakar maupun literatur keagamaan akibat keterbatasan
akses terhadap infomasi.
Kedua, ketika masyarakat menghadapi reduksi pemahaman agama tanpa
kendali, pada saat yang sama keberadaan media menjadikan otoritas keagamaan
bergeser dari personal kepada impersonal. Artinya, keberadaan pada pemegang
otoritas, yakni orang-orang yang mumpuni dalam urusan agama seperti kyai, ustad
ataupun tokoh agama tidak selalu menjadi rujukan sebagaimana muslim tradisional.
Hal ini karena setiap orang dapat memilih sumber pengetahuan agama sesuai dengan
kebutuhan dengan sangat mudah. Pergeseran ini juga menghilangkan interaksi sosial
yang sesungguhnya dapat menghadirkan suasana tersendiri dalam proses belajar
agama.
Perubahan preferensi sumber informasi dan pengetahuan keagamaan juga
sangat berdampak pada reduksi nilai-nilai dan sikap-sikap keberagamaan, misalnya
dalam pergeseran makna „saleh‟ dalam beragama. Jika dalam tataran konvensional
„saleh‟ melekat dengan umat beragama yang rajin beribadah atau hadir di tempat
ibadah, pada era disrupsi kesalehan dikaitkan dengan institusi modern, seperti ormas,
kelompok, unit usaha dan lainnya atau ditampilkan mellaui media sosial.
Ketiga, era disrupsi mengubah pola perilaku masyarakat khususnya melalui
perantara media baru. Keberadaan media baru dengan mendasarkan pada sumber-
sumber yang tidak selalu valid dan otoritatif. Media sosial merupakan yang paling
dominan dalam memberi wawasan baru dan memberikan pengaruh. Media baru ini
secara tidak langsung menjadi agen transformasi berbagai model beragama yang
hidup di tengah masyarakat. Masyarakat merumuskan standar kepatutan baru dalam
berperilaku sesuai yang dicerna di media.
Salah satu dampak dari disrupsi digital adalah merebaknya penyebaran gagasan
dan paham keagamaan yang radikal, termasuk membawa ideologi transnasional.
Ideologi tersebut cukup laris ketika disuguhkan kepada generasi muda yang
mempunyai semangat beragama tinggi. Realita ini menurut Wahyudi (2018, hal. 923)
berdampak luas pada tiga hal, pertama, terjadinya konflik dengan ideologi, pemikiran
dan sikap keagamaan yang diusung oleh tokoh agama dan organisasi masyarakat
Islam moderat yang telah mapan. Kritik dan serangan bahkan menyasar karakter dan
kepribadian tokoh ormas hingga berpotensi memunculkan upaya delegitimasi ulama.
Sikap-sikap intoleransi justru semakin meningkat atas nama kebebasan berpendapat.
Kedua, terbentuknya “pasar baru” yaitu generasi milenial sebagai mayoritas
pengguna internet yang selama ini diabaikan oleh ormas Islam. Pemanfaatan media
digital oleh generasi ini, termasuk dalam peredaran ideologi yang mengusung
kekerasan dan radikalisme berdampak ancaman terhadap wajah Islam yang telah
dibangun mapan melalui strategi konvensional. Akibatnya, tak jarang tokoh dan
ormas Islam mayoritas seperti NU dan Muhammdiyah menjadi sasaran bullying dan
serangan para netizen yang terjerembab dalam juran intoleransi.
Ketiga, disrupsi berdampak pada penurunan harga (deflasi) karena biaya
pencarian (searching cost) dan biaya transaksi (transaction cost) praktis menjadi nol
rupiah. Selain itu, muncul gerakan berbagi (sharing resources) yang mampu
memobilisasi pemakaian barang-barang konsumsi ke dalam kegiatan ekonomi
produktif.
Menghadapi fenomena-fenomena tersebut, literasi media menjadi sangat
penting mengingat adanya dasar kebutuhan manusia terhadap informasi sementara
industri media dapat memanipulasi kesadaran dan pikiran masyarakat. Upaya ini
merupakan benteng agar menumbuhkan sikap kritis terhadap substansi media
sekaligus memilah informasi yang dibutuhkan dari media tersebut (Tim Peneliti
PKMBP, 2013, hal. 16). Pemikiran dan sikap kritis diperlukan untuk dapat
“memahami agenda” media. Literasi media dirancang untuk meningkatkan kontrol
individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan
(Tamburaka, 2013).
Istilah literasi media berasal dari bahasa Inggris yaitu media literacy yang terdiri
dari dua suku kata, yakni media berarti media tempat pertukaran pesan dan literacy
bermakna melek. Menurut Potter (2011, hal. 19), literasi media adalah seperangkat
perspektif yang digunakan secara aktif ketika mengakses media untuk
menginterpretasikan pesan yang terkandung di dalamnya. Literasi media merupakan
suatu upaya yang dilakukan seseorang agar mampu menyadari dan menangkap
berbagai bentuk pesan yang disampaikan oleh media, menganalisanya dari berbagai
sudut pandang kebenaran, mengevaluasinya serta menguasai kecakapan menggunakan
media.
Melek media merujuk pada kemampuan untuk menentukan konten media yang
sesuai dengan kebutuhan dan menghindari yang tidak dibutuhkan. Setidaknya terdapat
tujuh kecakapan (skill) yang diperlukan untuk sadar kritis bermedia melalui literasi
media menurut Potter (2011, hal. 15), yaitu:
1. Kemampuan menganalisa dan memahami konten sehingga mampu mengurai
substansi pesan yang terkandung dalam elemen-elemen.
2. Kemampuan evaluasi untuk menilai makna atas elemen-elemen tersebut. Bisa
berarti juga menilai kualitas informasi baik dalam hal validitas, orisinalitas,
substansi dan nilai positif negatifnya.
3. Kemampuan pengelompokan (grouping), yakni mengelompokkan elemen-elemen
yang memiliki kemiripan ke dalam kategori yang berbeda-beda.
4. Kemampuan induksi, yakni mengambil kesimpulan atas pengelompokan dan
menariknya secara generalisir (menyeluruh) ke dalam pesan yang lebih besar.
5. Kemampuan deduksi, yakni menganalisa isu atau permasalahan menggunakan
prinsip-prinsip umum untuk menjelaskannya secara spesifik.
6. Kemampuan sintesis, yakni merangkai elemen-elemen dan mengumpulkannya
dalam struktur yang baru.
7. Kemampuan abstracting, yakni membuat deskripsi secara lebih singkat, jelas dan
akurat untuk menggambarkan substansi pesan aslinya.
Menurut Silverblatt (1995, hal. 2-3) terdapat lima elemen penting literasi media.
Pertama, kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat. Kedua,
pemahaman mengenai proses komunikasi massa. Ketiga, pengembangan strategi
untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media. Keempat, kesadaran bahwa
konten media sebagai sebuah teks yang menggambarkan budaya kita dan diri kita.
Kelima, mengembangkan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap konten
media.
Generasi milenial dan generasi Z sebagai penyokong utama era disrupsi harus
membekali diri dengan mengembangkan literasi media, utamanya digital. Literasi
media mampu mengurangi potensi paparan informasi salah dan tidak terkontrol.
Literasi media dapat dilakukan oleh siapa saja dan kepada objek siapa saja, baik
komunitas, anak sekolah, mahasiswa, dan masyarakat luas lainnya. Literasi media
digital menjadi upaya preventif-edukatif untuk berinteraksi dengan media digital
sehingga terbangun kemampuan untuk mengenali, memahami, menerjemah,
mencipta, dan berkomunikasi dengan medium cetak dan audio-visual, dengan
mengedapankan nilai-nilai integritas, empati dan spirit membangun sinergitas saling
menghargai (Suharyanto, 2019, hal. 47). Literasi digital akan membantu generasi
milenial dan generasi Z untuk membedakan antara informasi nyata dan bohong,
konten baik dan berbahaya, dan kontak online yang dapat dipercaya maupun yang
diragukan. Literasi media dapat dilakukan dengan mempelajari beberapa hal, antara
lain mengenai industri media, baik kategori, fungsi, pengaruh, dan penggunaan media,
proses produksi hingga etika dan regulasinya.

HOAX DAN AGAMA: ANCAMAN TERHADAP MODERASI BERAGAMA DI


ERA DISRUPSI DIGITAL DAN POST-TRUTH

Salah satu dampak negatif yang timbul di era disrupsi sebagaimana telah
disinggung di atas adalah kemunculan dan penyebaran hoaks. Hoaks merupakan anak
kandung dari post-truth (Ulya, 2018). Hal ini terjadi antara lain sebab pengguna
internet cenderung mengesampingkan nilai-nilai moral dan etika dalam
berkomunikasi dan menyebarkan informasi di media sosial. Hoaks menurut Amalliah
(2018, hal. 4) adalah usaha menipu dan memperdaya pembaca atau pendengar agar
mempercayai sesuatu tidak berdasarkan data yang benar.
Keberadaan konten atau berita hoaks setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa
tujuan, seperti membuat dan menggiring opini publik, membentuk persepsi masyarakat,
menjatuhkan pesaing (black campaign), promosi, atau hanya iseng maupun menguji
kecerdasan dan kecermatan pengguna internet atau media sosial (Amalliah, 2018, hal. 5).
Hoaks dalam hal keagamaan misalnya ajakan untuk melaksanakan amalan berdasarkan
dalil yang tidak jelas kebenarannya, atau mengenai peristiwa-peristiwa dengan narasi
narasi bohong yang menumbuhkan sentimen keagamaan maupun intoleransi.
Fenomena hoaks yang sedemikian masif berkembang di masyarakat tanpa sadar
telah meningkatkan kebodohan, kebencian, permusuhan, pertikaian, hingga
perpecahan. Hoaks menunjukkan masyarakat justru mudah percaya pada beragam
informasi media sosial tanpa mempertanyakan kredibilitas berita, pesan, atau opini
(Amalliah, 2018). Informasi hoaks biasanya selalu masuk akal dan menyentuh sisi
emosional, sehingga orang yang menerima berita tersebut tidak sadar sedang ditipu
atau dibohongi. Kebohongan menyelinap masuk melalui kebingungan orang dalam
membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis.
Hoaks yang menyentuh sisi agama berpotensi menciptakan konflik atau
tindakan kekerasan, karena watak agama yang sangat menyentuh sisi emosional setiap
manusia. Hoaks juga akan sangat destruktif apabila disampaikan oleh tokoh agama
atau tokoh yang dianut oleh masyarakat. Fenomena ini dapat mereduksi nilai-nilai
ajaran agama dan menjadi ancaman terhadap harmoni kehidupan umat beragama.
Secara umum, sekurang-kurangnya ada beberapa langkah yang perlu dilakukan
agar tidak terjebak dalam hoaks, pertama, selektif dengan mempertanyakan
kebenaran informasi yang diperoleh meskipun telah diperkuat dengan dalil yang
tampak meyakinkan, sekaligus berbicara hanya berdasarkan data dan informasi yang
akurat (QS Al-Hujurat: 6). Di sinilah pentingnya literasi media untuk membantu fast
checking, yakni memeriksa pernyataan faktual dalam teks media untuk menentukan
keakuratan dan kebenarannya. Nadirsyah Hosen (Hosen, 2019) menjelaskan,
mekanisme berpikir dan bersikap kritis yang harus ditanamkan manakala menerima
informasi adalah menyaring dan menyeleksi setiap informasi sebelum sharing.
Apabila tidak cukup memiliki pengetahuan agama terkait konten tersebut, maka
sebaiknya menanyakan kepada pakarnya. Upaya ini dapat membantu mencegah dan
menanggulangi paham radikalisme yang disebarkan melalui konten-konten media.
Kedua, tabayyun atau melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait dalam
konten atau berita (QS. Al-Hujurat: 6 dan 12). Ketiga, berkomunikasi dan
bersosialisasi melalui media digital berasas etika Islami, antara lain ikhlas (QS Al-
An‟am: 162; Al-Qashash: 56), berkata baik dan positif (QS. Al-Baqarah: 263), jujur
(QS At-Taubah: 119), dialog (QS An-Nahl: 125) dan melindungi yang lemah (QS At-
Taubah: 6).
Keempat, berdakwah melalui media digital dengan hikmah (QS An-Nahl Ayat
125), misalnya santun dalam bertutut dan merespon (hilm), menghormati keragaman
dan perbedaan pendapat, memperhatikan nilai-nilai universalitas Islam serta
menggunakan metode tadriji (bertahap-berproses) dan „adam al-haraj (tidak
membebani/menyulitkan. Prinsip ini sangat penting mengingat konten media digital
dapat disaksikan oleh siapapun dengan berbagai latar belakang dan intelektualitas.
Kelima, amanah dalam penyampaian informasi, pengetahuan juga bertransaksi
melalui media digital (QS An-Nisa: 52). Keenam, berlaku adil yakni tidak
membedakan perlakuan kepada siapapun dan tidak membenci pihak-pihak tertentu
semata-mata perbedaan pendapat dan pemikiran atau berdasarkan informasi yang
tidak jelas kebenarannya (QS An-Nisa: 52 dan 135). Ketujuh, umat Islam harus
responsif, adaptif dan akomodatif (QS Al-Maidah: 48; Ali Imron: 114) terhadap
perkembangan teknologi dan informasi untuk membendung laju hoaks dan mencegah
penyebaran pemikiran agama yang skriptual-literal (nashi), parsial (juz’i) dan ekstrem atau
berlebihan (tatharruf/ghulwu).
Saat ini tidak hanya pemerintah, namun komunitas non pemerintah juga telah
berinisiatif menjadi bagian dari gerakan membendung laju hoaks melalui media
digital, baik lembaga keagamaan, akademi, maupun organisasi kepemudaan. Namun,
upaya ini faktanya belum cukup mengimbangi netizen yang mayoritas belum melek
media.

LITERASI MEDIA DI ERA DISRUPSI DIGITAL DAN POST-TRUTH:


STRATEGI MODERASI BERAGAMA DI KALANGAN GENERASI
MILENIAL DAN GENERASI Z

Risalah Jakarta yang lahir dari dialog para agamawan, budayawan, akademisi,
dan para generasi milenial pada akhir Desember 2018 menyepakati bahwa era
disrupsi telah membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia, antara
lain menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan
penguatan identitas kelompok. Merespon kondisi ini, moderasi beragama menjadi
kebutuhan untuk diimplementasikan demi kehidupan beragama yang harmonis dan
lebih baik.
Namun sangat disayangkan bahwa pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas
pengetahuan agama, baik dari kalangan agamawan maupun akademisi, dirasakan
kurang hadir mengisi dahaga keberagamaan publik lewat ruang-ruang media sosial.
Risalah Jakarta kemudian mengusulkan strategi pengembangan program-program
untuk menerjemahkan materi atau muatan yang substantif dari tokoh agama,
budayawan dan akademisi, menjadi konten dan sajian keagamaan yang lebih mudah
dipahami generasi muda tanpa kehilangan bobot isinya.
Pengembangan literasi keagamaan yang mengandung muatan ajaran moderat
sangat mendesak dilakukan sebab faktor-faktor yang dapat menyumbang tumbuh
suburnya pemahaman keagamaan yang sempit semakin kompleks dengan adanya
media digital. Kondisi ini merupakan momentum bagi Generasi Milenial dan
Generasi Z muslim untuk mengimbangi konservatisme agama, sekaligus memerangi
gempuran paham-paham radikal, ancaman konflik dan disharmoni yang masif disebar
melalui media. Kelebihan media digital yang tidak membatasi jangkauan jarak dan
waktu dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah pesan-pesan moderasi beragama
yang efektif dengan tidak menghilangkan esensinya. Islam hari ini dituntut untuk
diterjemahkan ke dalam realita kehidupan modern dengan memiliki kemampaun
akomodadtif dan kompatibel yang tinggi (Yazid, 2004, hal. 4).
Pengembangan literasi keagamaan digital yang kreatif perlu untuk menyajikan
materi atau konten yang substantif mengenai ajaran Islam dari tokoh agama,
budayawan dan akademisi yang lebih mudah dipahami generasi muda tanpa
kehilangan bobot isinya. Misalnya, pengembangan situs yang menyajikan konten-
konten ajaran agama yang moderat yang mengedepankan perdamaian. Hal ini akan
membantu generasi muda muslim menyaring informasi digital dari internet dan sosial
media dengan baik sekaligus. Selain itu, perlu kampanye dan propaganda di media
digital yang menarik partisipasi publik menjadi bagian agen perdamaian dengan cara
mengirimkan karya digital dalam bentuk tulisan, grafis, video atau audio.
Pemanfaatan media digital merupakan suatu kebutuhan umat Islam saat ini
sebagai bagian untuk mencapai maqasyid al-syari’ah (tujuan ajaran Islam)
diantaranya menjaga akal (hifz al-‘aql), yakni untuk mendapatkan informasi yang
baik dan benar, sekaligus menjaga agama (hifz ad-din) yakni melawan reduksi nilai-
nilai ajaran agama. Kaidah ushul fikih menyatakan bahwa suatu sarana mempunyai
kedudukan hukum yang sama dengan tujuan itu sendiri (li al-wasail hukm al-
maqashid), juga sesuatu yang menjadikan sempurnanya suatu kewajiban, maka
hukumnya wajib (ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa waajib).
Kosasih dkk. (2020) mengungkapkan beberapa upaya literasi media sebagai
strategi penguatan moderasi beragama, yaitu: Pertama, membangun perpustakaan
digital yang lengkap sebagai rujukan dalam menyebarkan paham moderasi dan
meredam paham radikal. Kedua, membuat grup-grup di media sosial untuk
menyebarkan ajaran-ajaran wasathiyyah dan membangun dialog dengan individu-
individu muslim secara lebih intens. Ketiga, membentuk mimbar digital para da‟i dan
cendikiawan muslim yang secara fisik sudah mulai berkurang. Keempat, pembuatan
konten-konten yang membahas konsep wasathiyyah, narasi yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moderasi, keberagaman-kebhinekaan, semangat kebangsaan melalui
berbagai sarana visual dan audio-visual. Kelima, melakukan kampanye publik agar
ikut andil dalam program edukasi wasathiyyah secara periodik dan sistematis.
Keenam, pengembangan pendidikan dan pembelajaran tentang sikap toleransi
beragama dan menjauhi sikap ekstrim, terutama di kalangan anak muda.
Dalam rangka menjalankan startegi tersebut, dibutuhkan sinergi seluruh
komponen dalam melawan tsunami era post-truth dengan ekses-ekses negatifnya.
Literasi media yang telah dilakukan oleh organisasi masyarakat berbasis agama dan
komunitas keagamaan misalnya pendirian NU Channel dan Ansor Banser Cyber
yang digagas ormas Nahdlatul Ulama untuk menyebarkan berita baik dan menetralisir
konten-konten negatif seperti hoaks, serta talkshow dan literasi sosial media bertajuk
Bincang Digital (BiDig) Tangkal Hoaks yang diselenggarakan Walubi (Wali Umat
Budha Indonesia) bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo). Selian itu, terdapat gerakan-gerakan literasi digital berbasis
keagamaan yang dilakukan oleh individu-individu masyarakat seperti Islami.co yakni
situs yang didirikan pada tahun 2013 oleh Mohamad Syafi‟ Ali atau Savic Ali dan
digawangi oleh anak-anak muda lulusan pesantren. Situs ini didedikasikan untuk
menyebarluaskan informasi dan gagasan toleransi dan kedamaian sebagai bentuk
counter-hegemony atas web-web yang sarat provokasi.

SIMPULAN

Penguatan moderasi beragama melalui media digital merupakan hal yang sangat
penting karena salah satu esensi kehadiran media digital adalah untuk mendekatkan
yang jauh, bukan menjauhkan yang dekat dan meningkatkan gesekan sosial. Oleh
karena itu, potensi konflik yang dapat ditimbulkan melalui penggunaan media sosial
penting untuk diimbangi dengan konten-konten pemikiran dan potret moderasi di
masyarakat. Dengan demikian, literasi mengenai moderasi beragama dapat menjaga
harmoni masyarakat sekaligus memberikan bahan bacaan yang berkualitas bagi
masyarakat di tengah derasnya arus informasi yang kurang mendidik.

REFERENSI

Ali, Hasanuddin, & Purwandi, Lilik. (2017). Millennial Nusantara Pahami


Karakternya, Rebut Simpatinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Amalliah. (2018). Persepsi Masyarakat Terhadap Fenomena Hoaks di Media Online
Pada Era Post Truth. Jurnal AKRAB JUARA, 3(4), 1-15. Diambil kembali dari
http://akrabjuara.com/index.php/akrabjuara/article/view/392
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial
Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Campbell, Heidi A. (2010). When Religion Meets New Media. New York: Routledge.
Gazali, Hatim. (2019). Islam Untuk Gen-Z: Mengajarkan Islam & Mendidik Muslim
Generasi Z; Panduang Bagi Guru PAI (Vol. 1). Jakarta: Wahid Foundation.
Hosen, Nadirsyah. (2019). Saring Sebelum Sharing: Pilih Hadis Sahih, Teladani
Kisah Nabi Muhammad, dan Lawan Berita Hoaks. Jakarta: Bentang.
Kasali, Rhenald. (2017). Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum
Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Diambil kembali dari Jawa Pos.
Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI.
Kosasih, Engkos, & dkk. (2020, Mei 4). Literasi Media Sosial Dalam
Pemasyarakatan Moderasi Beragama Dalam Situasi Pandemi Covid 19.
Diambil kembali dari Digital Library UIN Sunan Gunung Djati:
http://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/30707
Manser. (1996). Oxford Learner's Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University
Press.
Potter, W. J. (2011). Media Literacy. Los Angeles: Sage Publication.
PPIM UIN Jakarta. (2017). Api Dalam Sekam (Executive Summary). Diambil kembali
dari PPIM UIN Jakarta: https://ppim.uinjkt.ac.id/penelitian/survey-ppim-
internet-pemerintah-dan-pembentukan-sikap-keberagamaan-generasi-z/
Setiawan, Ikwan. (2017). Media Sosial, Politik Post-Truth, dan Tantangan
Kebangsaan. Diambil kembali dari Matatimoer Institute:
https://matatimoer.or.id/2017/09/25/media-sosial-politik-post-truth-dan-
tantangan-kebangsaan/
Silverblatt, Art. (1995). Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages.
London: Praeger.
Suharyanto, Cosmas Eko. (2019). Analisis Berita Hoaks Di Era Post-Truth: Sebuah
Review. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi, 10(2), 37-49.
Susanti. (2020). Sensus Penduduk 2020, Sensus Era Digital. Diambil kembali dari
republika.co.id: https://republika.co.id/berita/q3qglj284/sensus-penduduk-
2020-sensus-era-digital
Syuhada, Khaisma Dimas. (2018). Etika Media di Era "Post-Truth". Jurnal
Komunikasi Indonesia, V(1), 75-79. doi:https://doi.org/10.7454/jki.v6i1.8789
Tamburaka, Apriadi. (2013). Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media
Massa. Jakarta: Rajawali Press.
Tempo.co. (2019, Oktober 7). Survei APJII: Pengguna Internet Indonesia Capai 171
Juta Jiiwa. Diambil kembali dari Tempo:
https://tekno.tempo.co/read/1205948/survei-apjii-pengguna-internet-
indonesia-capai-171-juta-jiwa
Tim Humas Kemendag. (2016). Panduan Optimalisasi Media Sosial. Jakarta: PHM
Press.
Tim Peneliti PKMBP. (2013). Model-model Gerakan Literasi Media dan Pemantauan
Media di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer.
Ulya, U. (2018). Post-Truth, Hoax, dan Religiusitas di Media Sosial. Fikrah: Jurnal
Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 6(2), 283-302.
doi:10.21043/fikrah.v6i2.4070
Wahid Foundation. (2017, Oktober 18). Potensi Intoleransi dan Radikalisma Sosial-
Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia. Diambil kembali dari Wahid
Foundation: http://wahidfoundation.org/index.php/publication/detail/Hasil-
Survey-Nasional-2016-Wahid-Foundation-LSI
Wahyudi, W. E. (2018). Tantangan Islam Moderat Di Era Disruption:
Mempromosikan Islam Wasathiyah di Tengah Generasi Milenial. 2nd Annual
Conference for Muslim Scholars (AnCoMS) 2018 (hal. 922-928). Surabaya:
Kopertais Wilayah IV Surabaya.
We Are Social. (2020, January 30). Digital 2020: 3.8 Billion People Use Social
Media. Diambil kembali dari We Are Social:
https://wearesocial.com/blog/2020/01/digital-2020-3-8-billion-people-use-
social-media
Yazid, B. (2004). Islam Akomodatif. Yogyakarta: LKiS.

Anda mungkin juga menyukai