Salah satu dampak negatif yang timbul di era disrupsi sebagaimana telah
disinggung di atas adalah kemunculan dan penyebaran hoaks. Hoaks merupakan anak
kandung dari post-truth (Ulya, 2018). Hal ini terjadi antara lain sebab pengguna
internet cenderung mengesampingkan nilai-nilai moral dan etika dalam
berkomunikasi dan menyebarkan informasi di media sosial. Hoaks menurut Amalliah
(2018, hal. 4) adalah usaha menipu dan memperdaya pembaca atau pendengar agar
mempercayai sesuatu tidak berdasarkan data yang benar.
Keberadaan konten atau berita hoaks setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa
tujuan, seperti membuat dan menggiring opini publik, membentuk persepsi masyarakat,
menjatuhkan pesaing (black campaign), promosi, atau hanya iseng maupun menguji
kecerdasan dan kecermatan pengguna internet atau media sosial (Amalliah, 2018, hal. 5).
Hoaks dalam hal keagamaan misalnya ajakan untuk melaksanakan amalan berdasarkan
dalil yang tidak jelas kebenarannya, atau mengenai peristiwa-peristiwa dengan narasi
narasi bohong yang menumbuhkan sentimen keagamaan maupun intoleransi.
Fenomena hoaks yang sedemikian masif berkembang di masyarakat tanpa sadar
telah meningkatkan kebodohan, kebencian, permusuhan, pertikaian, hingga
perpecahan. Hoaks menunjukkan masyarakat justru mudah percaya pada beragam
informasi media sosial tanpa mempertanyakan kredibilitas berita, pesan, atau opini
(Amalliah, 2018). Informasi hoaks biasanya selalu masuk akal dan menyentuh sisi
emosional, sehingga orang yang menerima berita tersebut tidak sadar sedang ditipu
atau dibohongi. Kebohongan menyelinap masuk melalui kebingungan orang dalam
membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis.
Hoaks yang menyentuh sisi agama berpotensi menciptakan konflik atau
tindakan kekerasan, karena watak agama yang sangat menyentuh sisi emosional setiap
manusia. Hoaks juga akan sangat destruktif apabila disampaikan oleh tokoh agama
atau tokoh yang dianut oleh masyarakat. Fenomena ini dapat mereduksi nilai-nilai
ajaran agama dan menjadi ancaman terhadap harmoni kehidupan umat beragama.
Secara umum, sekurang-kurangnya ada beberapa langkah yang perlu dilakukan
agar tidak terjebak dalam hoaks, pertama, selektif dengan mempertanyakan
kebenaran informasi yang diperoleh meskipun telah diperkuat dengan dalil yang
tampak meyakinkan, sekaligus berbicara hanya berdasarkan data dan informasi yang
akurat (QS Al-Hujurat: 6). Di sinilah pentingnya literasi media untuk membantu fast
checking, yakni memeriksa pernyataan faktual dalam teks media untuk menentukan
keakuratan dan kebenarannya. Nadirsyah Hosen (Hosen, 2019) menjelaskan,
mekanisme berpikir dan bersikap kritis yang harus ditanamkan manakala menerima
informasi adalah menyaring dan menyeleksi setiap informasi sebelum sharing.
Apabila tidak cukup memiliki pengetahuan agama terkait konten tersebut, maka
sebaiknya menanyakan kepada pakarnya. Upaya ini dapat membantu mencegah dan
menanggulangi paham radikalisme yang disebarkan melalui konten-konten media.
Kedua, tabayyun atau melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait dalam
konten atau berita (QS. Al-Hujurat: 6 dan 12). Ketiga, berkomunikasi dan
bersosialisasi melalui media digital berasas etika Islami, antara lain ikhlas (QS Al-
An‟am: 162; Al-Qashash: 56), berkata baik dan positif (QS. Al-Baqarah: 263), jujur
(QS At-Taubah: 119), dialog (QS An-Nahl: 125) dan melindungi yang lemah (QS At-
Taubah: 6).
Keempat, berdakwah melalui media digital dengan hikmah (QS An-Nahl Ayat
125), misalnya santun dalam bertutut dan merespon (hilm), menghormati keragaman
dan perbedaan pendapat, memperhatikan nilai-nilai universalitas Islam serta
menggunakan metode tadriji (bertahap-berproses) dan „adam al-haraj (tidak
membebani/menyulitkan. Prinsip ini sangat penting mengingat konten media digital
dapat disaksikan oleh siapapun dengan berbagai latar belakang dan intelektualitas.
Kelima, amanah dalam penyampaian informasi, pengetahuan juga bertransaksi
melalui media digital (QS An-Nisa: 52). Keenam, berlaku adil yakni tidak
membedakan perlakuan kepada siapapun dan tidak membenci pihak-pihak tertentu
semata-mata perbedaan pendapat dan pemikiran atau berdasarkan informasi yang
tidak jelas kebenarannya (QS An-Nisa: 52 dan 135). Ketujuh, umat Islam harus
responsif, adaptif dan akomodatif (QS Al-Maidah: 48; Ali Imron: 114) terhadap
perkembangan teknologi dan informasi untuk membendung laju hoaks dan mencegah
penyebaran pemikiran agama yang skriptual-literal (nashi), parsial (juz’i) dan ekstrem atau
berlebihan (tatharruf/ghulwu).
Saat ini tidak hanya pemerintah, namun komunitas non pemerintah juga telah
berinisiatif menjadi bagian dari gerakan membendung laju hoaks melalui media
digital, baik lembaga keagamaan, akademi, maupun organisasi kepemudaan. Namun,
upaya ini faktanya belum cukup mengimbangi netizen yang mayoritas belum melek
media.
Risalah Jakarta yang lahir dari dialog para agamawan, budayawan, akademisi,
dan para generasi milenial pada akhir Desember 2018 menyepakati bahwa era
disrupsi telah membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia, antara
lain menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan
penguatan identitas kelompok. Merespon kondisi ini, moderasi beragama menjadi
kebutuhan untuk diimplementasikan demi kehidupan beragama yang harmonis dan
lebih baik.
Namun sangat disayangkan bahwa pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas
pengetahuan agama, baik dari kalangan agamawan maupun akademisi, dirasakan
kurang hadir mengisi dahaga keberagamaan publik lewat ruang-ruang media sosial.
Risalah Jakarta kemudian mengusulkan strategi pengembangan program-program
untuk menerjemahkan materi atau muatan yang substantif dari tokoh agama,
budayawan dan akademisi, menjadi konten dan sajian keagamaan yang lebih mudah
dipahami generasi muda tanpa kehilangan bobot isinya.
Pengembangan literasi keagamaan yang mengandung muatan ajaran moderat
sangat mendesak dilakukan sebab faktor-faktor yang dapat menyumbang tumbuh
suburnya pemahaman keagamaan yang sempit semakin kompleks dengan adanya
media digital. Kondisi ini merupakan momentum bagi Generasi Milenial dan
Generasi Z muslim untuk mengimbangi konservatisme agama, sekaligus memerangi
gempuran paham-paham radikal, ancaman konflik dan disharmoni yang masif disebar
melalui media. Kelebihan media digital yang tidak membatasi jangkauan jarak dan
waktu dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah pesan-pesan moderasi beragama
yang efektif dengan tidak menghilangkan esensinya. Islam hari ini dituntut untuk
diterjemahkan ke dalam realita kehidupan modern dengan memiliki kemampaun
akomodadtif dan kompatibel yang tinggi (Yazid, 2004, hal. 4).
Pengembangan literasi keagamaan digital yang kreatif perlu untuk menyajikan
materi atau konten yang substantif mengenai ajaran Islam dari tokoh agama,
budayawan dan akademisi yang lebih mudah dipahami generasi muda tanpa
kehilangan bobot isinya. Misalnya, pengembangan situs yang menyajikan konten-
konten ajaran agama yang moderat yang mengedepankan perdamaian. Hal ini akan
membantu generasi muda muslim menyaring informasi digital dari internet dan sosial
media dengan baik sekaligus. Selain itu, perlu kampanye dan propaganda di media
digital yang menarik partisipasi publik menjadi bagian agen perdamaian dengan cara
mengirimkan karya digital dalam bentuk tulisan, grafis, video atau audio.
Pemanfaatan media digital merupakan suatu kebutuhan umat Islam saat ini
sebagai bagian untuk mencapai maqasyid al-syari’ah (tujuan ajaran Islam)
diantaranya menjaga akal (hifz al-‘aql), yakni untuk mendapatkan informasi yang
baik dan benar, sekaligus menjaga agama (hifz ad-din) yakni melawan reduksi nilai-
nilai ajaran agama. Kaidah ushul fikih menyatakan bahwa suatu sarana mempunyai
kedudukan hukum yang sama dengan tujuan itu sendiri (li al-wasail hukm al-
maqashid), juga sesuatu yang menjadikan sempurnanya suatu kewajiban, maka
hukumnya wajib (ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa waajib).
Kosasih dkk. (2020) mengungkapkan beberapa upaya literasi media sebagai
strategi penguatan moderasi beragama, yaitu: Pertama, membangun perpustakaan
digital yang lengkap sebagai rujukan dalam menyebarkan paham moderasi dan
meredam paham radikal. Kedua, membuat grup-grup di media sosial untuk
menyebarkan ajaran-ajaran wasathiyyah dan membangun dialog dengan individu-
individu muslim secara lebih intens. Ketiga, membentuk mimbar digital para da‟i dan
cendikiawan muslim yang secara fisik sudah mulai berkurang. Keempat, pembuatan
konten-konten yang membahas konsep wasathiyyah, narasi yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moderasi, keberagaman-kebhinekaan, semangat kebangsaan melalui
berbagai sarana visual dan audio-visual. Kelima, melakukan kampanye publik agar
ikut andil dalam program edukasi wasathiyyah secara periodik dan sistematis.
Keenam, pengembangan pendidikan dan pembelajaran tentang sikap toleransi
beragama dan menjauhi sikap ekstrim, terutama di kalangan anak muda.
Dalam rangka menjalankan startegi tersebut, dibutuhkan sinergi seluruh
komponen dalam melawan tsunami era post-truth dengan ekses-ekses negatifnya.
Literasi media yang telah dilakukan oleh organisasi masyarakat berbasis agama dan
komunitas keagamaan misalnya pendirian NU Channel dan Ansor Banser Cyber
yang digagas ormas Nahdlatul Ulama untuk menyebarkan berita baik dan menetralisir
konten-konten negatif seperti hoaks, serta talkshow dan literasi sosial media bertajuk
Bincang Digital (BiDig) Tangkal Hoaks yang diselenggarakan Walubi (Wali Umat
Budha Indonesia) bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo). Selian itu, terdapat gerakan-gerakan literasi digital berbasis
keagamaan yang dilakukan oleh individu-individu masyarakat seperti Islami.co yakni
situs yang didirikan pada tahun 2013 oleh Mohamad Syafi‟ Ali atau Savic Ali dan
digawangi oleh anak-anak muda lulusan pesantren. Situs ini didedikasikan untuk
menyebarluaskan informasi dan gagasan toleransi dan kedamaian sebagai bentuk
counter-hegemony atas web-web yang sarat provokasi.
SIMPULAN
Penguatan moderasi beragama melalui media digital merupakan hal yang sangat
penting karena salah satu esensi kehadiran media digital adalah untuk mendekatkan
yang jauh, bukan menjauhkan yang dekat dan meningkatkan gesekan sosial. Oleh
karena itu, potensi konflik yang dapat ditimbulkan melalui penggunaan media sosial
penting untuk diimbangi dengan konten-konten pemikiran dan potret moderasi di
masyarakat. Dengan demikian, literasi mengenai moderasi beragama dapat menjaga
harmoni masyarakat sekaligus memberikan bahan bacaan yang berkualitas bagi
masyarakat di tengah derasnya arus informasi yang kurang mendidik.
REFERENSI