Anda di halaman 1dari 4

BAB 8

BIAS BUDAYA

Setelah pembahasan komunikasi verbal dan non verbal pada bab 7, pada bab ini akan
dibahas mengenai hal yang termasuk krusial dalam komunikasi antarbudaya yakni bias budaya.
Selain bias budaya akan dijelaskan pula mengenai konsep persepsi manusia, stereotip, in-group
& out-group, prasangka, diskriminasi dan rasisme.
Bias budaya termasuk hal penting dalam komunikasi antarbudaya karena hal ini
merupakan salah satu penyebab yang membuat umpan balik dari proses pertukaran pesan antar
individu menjadi kurang maksimal. Penyebab ini muncul akibat ketidaksamaan pandangan antar
individu meskipun pada dasarnya perbedaan tersebut tidak bisa dihindari.
Bias budaya terdiri dari dua kata yakni bias dan budaya. Bias memiliki arti
kecenderungan penilaian yang eksklusif atau menempatkan penilaian pribadi lebih baik daripada
penilaian orang lain. Adapun budaya merupakan sekumpulan warisan atau peninggalan berupa
pengalaman, kepercayaan, sikap, pengetahuan, hierarki sosial, agama, benda material dan
lainnya yang diperoleh individu atau masyarakat dari generasi sebelumnya. Dengan demikian
bias budaya dapat dipahami sebagai kecenderungan pandangan, penilaian, dan opini seseorang
yang tidak sama atau tidak netral terhadap nilai budaya yang berbeda. Kecenderungan ini
melahirkan pandangan eksklusif dan istimewa mengenai apa yang diyakininya sebagai penilaian
tunggal. Terbentuknya penilaian tunggal juga tidak terlepas dari adanya persepsi subjektif
seseorang dalam kontak antarbudaya yang dialaminya. Persepsi sangat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan pengalaman manusia.
Persepsi menurut Kreitner dan Kinicki adalah proses kognitif yang memungkinkan setiap
orang dalam memahami dan menginterpretasikan lingkungannya. Robins dan Judge memahami
istilah persepsi sebagai proses seseorang dalam mengorganisir dan menginterpretasikan
tanggapan dan kesan dengan maksud memberi makna pada lingkungan mereka. Persepsi
manusia dalam komunikasi antarbudaya tidaklah terjadi secara langsung. Persepsi merupakan
hasil akhir dari kompleksitas olah pikir dan olah rasa manusia berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya ketika melakukan kontak budaya. Goldstein (2010) menyebutkan bahwa terdapat
4 proses persepsi manusia diantaranya adalah stimulus (rangsangan), electricity (sensor listrik),
experience & action (pengalaman dan tindakan), dan knowledge (pengetahuan). Stimulus
merupakan rangsangan yang diterima seseorang dalam merespon suatu hal. Goldstein membagi
lagi proses stimulus menjadi 3 yakni environmental stimulus, attended stimulus, dan stimulus on
the receptors. environmental stimulus berkaitan dengan rangsangan yang dirasakan manusia saat
melihat lingkungan sekitar. Attended stimulus adalah rangsangan manusia yang lebih spesifik
terhadap hal tertentu. Adapun stimulus on the receptors adalah proses respon indera terhadap
rangsangan melalui sel saraf yang terdapat dalam retina sehingga menghasilkan citra tertentu.
Miftah Thoha (1999) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi persepsi manusia yakni, (1) faktor internal meliputi perasaan, kepribadian dan
sikap individu, prasangka, harapan, keinginan, proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan,
nila dan kebutuhan, minat dan motivasi. (2) faktor eksternal meliputi latar belakang keluarga,
informasi yang diperoleh, pengetahuan, kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan,
pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar. (3) Frame of reference, yakni kerangka
pengetahuan yang dipengaruhi dari pendidikan, sumber bacaan, penelitian, media massa yang
dikonsumsi. (4) Field of experience, yakni faktor yang didasarkan pada pengalaman dari
lingkungan sekitar. Adapun persepsi manusia tidak terjadi dalam waktu yang singkat, melainkan
melalui proses panjang yang pernah dialaminya dari waktu ke waktu.
Setelah memahami konsep persepsi, selanjutnya adalah konsep stereotip. Stereotip adalah
sebuah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang
mapan, dianggap sesuai daripada berdasarkan karakteristik individual mereka. Lippmann (1992)
menyederhanakan istilah ini sebagai “gambaran dalam kepala kita” mengenai orang lain.
Tubbs & Moss (2008) menyatakan bahwa pada umumnya orang melakukan stereotip karena
orang tersebut merasa konsep dirinya terancam.
Sering sekali media massa yang menyajikan informasi berupa budaya-budaya orang lain
melakukan framing. Misalnya, bangsa Arab sering dikesankan sebagai bangsa teroris. Kesan
tersebut kemudian menjadi penyebab stereotip terhadap bangsa Arab yang dinilai sebagai bangsa
teroris.
Adapun stereotip tidak selalu negatif seperti pelit, jorok, bodoh, malas, dan sebagainya.
Stereotip bisa juga positif, misalnya orang berpikir bahwa etnik atau bangsa tertentu itu sebagai
bangsa yang rajin, pintar, pekerja keras, dan sebagainya.
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat pula batasan in group dan out group. Konsep in
group identik dengan kelompok primer, yakni mereka mengidentifikasikan dirinya dengan
kriteria tertentu yang berbeda dan dianggap lebih baik dibandingkan dari kriteria out group.
Konsep batasan in group juga berpotensi memunculkan etnosentrisme, yakni pandangan yang
menilai kriteria kelompoknya lebih baik dan unggul dibandingkan kelompok lain.
Konsep yang terakhir dalam bab ini adalah hal-hal yang seringkali ditemui dalam kontak
budaya yakni prasangka, diskriminasi, dan rasisme. Brewer & Brown (1998) menjelaskan
prasangka sebagai sikap yang ditujukan kepada orang lain karena mereka adalah anggota
kelompok sosial tertentu. Prasangka juga berarti penilaian berdasarkan keputusan dan
pengalaman terdahulu. Dalam komunikasi antarbudaya, prasangka yang berlebihan dapat
memengaruhi cara pandang kita terhadap orang lain. Prasangka bisa berkembang, mulai dari
tingkatan individual hingga sosial.
Diskriminasi memiliki catatan panjang dalam kehidupan manusia terutama berkaitan
dengan kelompok minoritas. Sue (2003) mendeskripsikan diskriminasi sebagai perilaku
seseorang yang memperlakukan orang lain secara berbeda berdasarkan keanggotaan dalam
kelompok sosial. Seseorang dapat dianggap melakukan tindakan diskriminasi jika dia
memalingkan badan ketika berada dalam suatu percakapan, melakukan kekerasan fisik untuk
mengeluarkan orang dari suatu kelompok, atau mengecualikan orang dalam mendapatkan
kesempatan kerja.
Adapun praktik rasisme dalam masyarakat juga telah berlangsung lama. Praktik ini
selaras dengan adanya sistem perbudakan berbasis ras dalam masyarakat Eropa dan Amerika
yang melibatkan warga keturunan Afrika, Hispanik, dan Asia. Steven Rose mendefinisikan
rasisme sebagai klaim superioritas seseorang atau kelompok terhadap populasi manusia melalui
penempatan ras atau kelompoknya di atas populasi manusia lainnya.
Setelah memahami mengenai konsep-konsep bias budaya dalam komunikasi
antarbudaya, dapat disebutkan beberapa contoh konkret mengenai bias budaya di Jerman. Seperti
yang telah diketahui bahwa Jerman adalah salah satu negara terbesar di Eropa barat. Hal tersebut
menjadikan negara ini menjadi salah satu negara tujuan para imigran yang juga menjadikan
negara Jerman menjadi semakin beragam atau multi etnik. Hal tersebut tentunya membuat tindak
diskriminasi dan rasisme menjadi tak terhindarkan. Salah satu kasus diskriminasi dan rasisme
yang paling bersejarah adalah perlakuan Nazi terhadap kaum non arya. Kasus ini tentunya masih
berlanjut hingga saat ini yang ditunjukkan dengan banyaknya aksi protes seperti protes
anti-Muslim, anti-Semit, dan anti-pengungsi. Kasus rasisme juga semakin melonjak pada masa
pandemi Covid-19. Hal tersebut diungkapkan oleh Bernhard Franke selaku kepala Badan
Anti-Diskriminasi Federal. Ia mengatakan bahwa kasus diskriminasi melonjak 78% yang
umumnya terjadi pada orang Asia.
Jerman juga memiliki beberapa stereotip terkenal baik yang positif maupun negatif.
Adapun contoh stereotip Jerman adalah menyukai ketepatan waktu dan taat peraturan, menyukai
sepak bola, menyukai sosis, memiliki makanan yang tidak terlalu enak, orang-orang yang kurang
ramah, gamblang, dan masih banyak lagi.

Daftar Pustaka
Forster, Tim. (2021, Januari 27). 7 German Stereotypes We’re Tired of Hearing. Babbel.
https://www.babbel.com/en/magazine/false-german-stereotypes
Nia, Oliver Towfigh. (2021, Mei 12). Racism on Rise in Germany: Anti-discrimination
Watchdog. Anadolo Agency. http://v.aa.com.tr/2238055
Schäferhoff, Nick. (2022, Februari 3). 9 German Stereotypes That are Straight Up True. FluentU.
https://www.fluentu.com/blog/german/german-stereotypes/

Anda mungkin juga menyukai