Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

FAKTOR PENGHAMBAT PENGEMBANGAN BUDAYA

Oleh
Kelompok 3 :

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES WIRA MEDIKA BALI
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas limpah hidayah, rahmat dan
lindungannya, akhirnya makalah ini saya selesaikan dengan lancar.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kami. Selain itu kami menyusun makalah
ini untuk menambah wawasan untuk memahami tentang “Faktor Penghambat Pengembangan
Kompetensi”.
Mungkin makalah yang kami buat ini belum sempurna karna kami juga masih dalam
proses belajar, oleh karena itu kami menerima saran atau kritikan pembaca supaya makalah
selanjutnya bisa lebih baik dari sebelumnya.
Dalam makalah ini kami membahas tentang Konsep Depresi dan Demensia. Semoga
makalah kami buat ini bisa bermafaat bagi pembaca.
Demikianlah makalah yang kami susun dan jika ada tulisan atau perkataan yang kurang
berkenan (sopan) kami mohon sebesar-besarnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 16 Mei 2023

Penyusun,

2
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................4
1.3 Tujuan.................................................................................................................................4
1.4 Manfaat...............................................................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Faktor Penghambat Pengembangan Kompetensi...............................................................5

BAB III :PENUTUP


3.1 Simpulan...........................................................................................................................12
3.2 Saran.................................................................................................................................12

Daftar Pustaka…………………………………………………………………….………... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang terjadi antar
para peserta komunikasi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda(Mulyana &
Rakhmat, 1990). Pada dasarnya tidak ada manusia yang sama persis.Masing-masing
individu memiliki identitas budaya yang berbeda-beda, termasuk cara pandang dan cara
pikirnya terhadap suatu hal.
Ketika dua orang memiliki perbedaan yang besar terhadap latar balakang budayanya,
maka hambatan yang muncul pada saat mereka melakukan kegiatan komunikasi juga akan
semakin banyak. Semakin mirip latar belakang kemampuan berbicara yang dimiliki oleh
komunikator dan komunikan maka akan mudah tercipta pemahaman dalam kegiatan
komunikasi. Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya antara lain berupa
prasangka, stereotip, rasisme, dan etnosentrisme.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Faktor Penghambat Pengembangan Kompetensi?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa saja fator yang menghambat pengembangan kompetensi.
1.4 Manfaat
1. Agar dapat menjelaskan faktor-faktor penghambat pengembangan kompetensi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Faktor Penghambat Pengembangan Budaya


Komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang terjadi antar
para peserta komunikasi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda(Mulyana &
Rakhmat, 1990). Pada dasarnya tidak ada manusia yang sama persis.Masing-masing
individu memiliki identitas budaya yang berbeda-beda, termasuk cara pandang dan cara
pikirnya terhadap suatu hal.
Ketika dua orang memiliki perbedaan yang besar terhadap latar balakang budayanya,
maka hambatan yang muncul pada saat mereka melakukan kegiatan komunikasi juga akan
semakin banyak. Semakin mirip latar belakang kemampuan berbicara yang dimiliki oleh
komunikator dan komunikan maka akan mudah tercipta pemahaman dalam kegiatan
komunikasi. Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya antara lain berupa
prasangka atau prejudism, stereotip, rasisme, dan etnosentrisme.
1) Prejudism atau prasangka
Prasangka berkaitan dengan perspektif, sikap dan perilaku terhadap seseorang dan
kelompok lain yang berbeda. Kohar (dalam Dianto, 2019) menyatakan bahwa prasangka
sosial dapat muncul karena kecemburuan sosial yang terjadi pada masyarakat
multikultural, yaitu sikap negatif kepada kelompok tertentu karena keanggotaan mereka
dalam masyarakat. Menurut Branston dan Stafford (dalam Dianto, 2019) prasangka
sosial merupakan kecenderungan menilai negatif kepada orang yang memiliki perbedaan
secara etnis, ras, agama, dan perbedaan budaya lainnya.
Prasangka adalah sikap antipasti yang didasarkan pada kesalahan generalisasi atau
generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga dapat
diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya
karena orang itu adalah anggota kelompok tersebut. Efek prasangka adalah menjadikan
orang lain sebagai sasaran prasangka, misalnya mengkambinghitamkan mereka melalui
stereotip, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial.
Prasangka sosial dapat memicu kemunculan peran antagonis dalam masyarakat.
Hal tersebut disebabkan karena prasangka negatif yang ditujukan pada kelompok lain.

5
Kehadrian prasangka juga dapat menimbulkan sikap diskriminasi dan terciptanya jarak
sosial.
Contoh kasus prasangka sosial yaitu konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa
dan etnis Bugis Makassar. Beberapa kasus kriminal yang dilakukan oleh etnis Tionghoa
berujung pada aksi massa dari etnis Bugis, seperti kasus Toko La tahun 1980, kasus
Benny Karre tahun 1997, kasus pembunuhan etnis Bugis tahun 2006, aksi sweeping
mahasiswa tahun 2007, dan peristiwa Latimajong dan Sangir, serta kasus Sinjai.
Menurut Dianto (2019), pakar psikologi sosial membedakan tiga komponen
antagonism kelompok, yaitu komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Ketiga komponen
antagonis tersebut dapat memicu munculnya konflik etnis, jarak sosial, dan pengasingan
suatu kelompok yang menjadi objek prasangka.
Prasangka sosial dapat timbul sebagai upaya suatu kelompok untuk
menggeneralisasikan suatu nilai kepada kelompok lain. Padahal, prasangka sosial tidak
selalu benar karena yang menjadi objeknya adalah manusia, yang dapat berubah-ubah di
setiap waktu dan keadaan.
Prasangka dapat muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki indikasi
kesehatan sosial-psikologis kurang baik. Prasangka yang diekspresikan melalui
komunikasi dalam perspektif komunikasi antar budaya, karena jurang pemisah antara
satu kelompok dengan kelompok lain. Jurang pemisah tersebut dapat menjadi
penghalang terjadinya hubungan komunikasi antar budaya yang terbuka.
2) Stereotyping
Prasangka sering disebut sebagai suatu sikap yang tidak adil terhadap seseorang
atau suatu kelompok. Hal ini menunjukkan prasangka merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari kedudukan sikap seseorang terhadap etnik orang lain. Dalam
proses komunikasi antarbudaya prasangka memegang peran yang sangat besar.
Prasangka yang salah terhadap seseorang akan mengakibatkan perilaku komunikasi
yang keliru, sehingga lahirlah bentuk lain dari prasangka yaitu stereotip. Menurut
Nurkhalis, dkk (2018) stereotip terhadap suatu kelompok yang bersifat serampangan
menganggap semua anggota kelompok itu sama dan memiliki citra yang seragam.
Sehingga manusia cenderung tidak pernah melakukan klarisifikasi kebenaran terhadap

6
kelompok yang distereotipkan melainkan langsung menerima dan mengikukuti apa yang
distereotipkan. Hal tersebut menjadi penyebab adanya konflik antar etnik.
Secara umum stereotip merupakan keyakinan yang terlalu digeneralisasikan,
disederhanakan, atau dilebih-lebihkan terhadap kelompok etnis tertentu. Berdasarkan
pemahaman stereotip di atas, maka ketika melakukan kontak antarbudaya dengan
seseorang, pada dasarnyakita sedang berkomunikasi dengan identitas etnis dari individu
tersebut(Julijanti, 2010). Persoalan besar yang terjadidalam komunikasi antarbudaya
adalah apabila orang yang berbeda latar belakang etnisnya memfokuskan secara
destruktif stereotip negatif yang mereka pegang masing-masing.
Sejak tahun 1922 stereotip mendapat tempat dalam literatur ilmu-ilmu sosial, baik
secara konsekuensi ataupun secara peramal tingkah laku manusia. Stereotip berasal dari
bahasa Latin terdiri kata “stereot” yang artinya kaku dan “tipos” yang artinya kesan. Dari
gabungan kedua kata tersebut stereotip dapat diartikan sebagai suatu anggapan dari
orang lain yang kaku dan seakan-akan tidak berubah terhadap suatu kelompok yang lain.
Dalam kamus psikologi definisi stereotip adalah persepsi terhadap suatu objek, individu
maupun kelompok yang bersifat kaku atau tidak bisa diubah.
Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula
stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola
komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog
menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam
tatanan sosial. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa
penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan
fakta terukur. Berikut ini adalah contoh beberapa stereotip mengenai etnis-etnis di
Indonesia ;
a. Orang Aceh Selatan itu miliki Ilmu Hitam (Gaib)
Kabupaten Aceh Selatan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang terletak
di perbatasan antara Kabupaten Aceh Tenggara di sebelah utara dan Kabupaten Aceh
Barat daya di seberah barat. Sedangkan di sebelah selatan daerah ini berbatasan
dengan Samudera Indonesia dan di sebelah timur berbatasan dengan Kota
Subulussalam dan Kabupaten Singkil (www.Kemendagri.go.id). Ketika
membicarakan orang yang berasal dari Aceh selatan, maka impresi yang sering

7
muncul adalah ‘ilmu hitam’, ‘santet, ‘sihir’, dan ‘guna-guna’. Penilaian berdasarkan
impresi terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok tersebut
dikatakan stereotip. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang
berasal dari daerah Barat-Selatan Aceh khususnya Aceh selatan dan Abdya diyakini
memiliki ilmu hitam, jampi-jampi maupun mantra. Walaupun begitu, salah satu
kelebihan lainnya yang dimiliki oleh orang Aceh adalah kerja keras dan pantang
menyerah. Jika dilihat dari aspek sosial, maka gerak bisnis orang Aceh sudah dimulai
sejak pukul empat pagi, khususnya ketika warung kopi dibuka. Disini dapat diketahui
bahwa mereka yang menjual sarapan pagi tentu bangun lebih pagi daripada jadwal
mereka harus membuka warung. Sehingga kadang kala, mereka boleh jadi bangun
pada jam 2 pagi. Ini menandakan bahwa orang Aceh begitu kuat kemauannya dalam
mencari nafkah. Ini belum lagi jika kita lihat masyarakat nelayan yang pagi buta
sudah pergi berlayar, yang kadang kala juga jarang diselingi dengan shalat subuh.
b. Tiong Hoa
Orang Tiong Hoa selalu dilihat sebagai masyarakat yang rajin, ulet dan serius. Etnis Tiong
Hoa di Indonesia dan di seluruh dunia itu sudah sebagai perantau sejak ratusan tahun yang
lalu. Mau tak mau mereka menjadi rajin dan ulet. Semakin hidup sulit semakin ulet, kalau
tidak akan putus karena mereka mengalami diskriminasi di negara orang lain. Kalau etnis
Tiong Hoa di negaranya sendiri mungkin juga ada yang malas karena merasa santai di negeri
sendiri. Karena keuletannya tersebut semua etnis Tiong Hoa dianggap kelas menengah ke
atas, dianggap orang kaya. Padahal dalam struktur sosial China, menjadi pedagang adalah
pekerjaan yang paling rendah disana. Ada yang mengatakan etnis Tiong Hoa itu bersifat
industrial dan ada juga yang melabel etnis ini sebagai etnis yang komersial. Orang Tiong
Hoa tidak nasionalis, mereka seringkali memakai bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari
bahkan di tempat umum sekalipun. Orang Tiong Hoa selalu ingin duluan, misalnya mereka
tidak mau antri, maunya nyerobot, tidak mau ikut aturan main.
c. Batak
Orang Batak mengaku sebagai suku yang paling toleran di seluruh Indonesia. Karena
itu menurut mereka, kerusuhan dengan motif etnik maupun agama tidak akan masuk
ke “tanah air” mereka. Sudah menjadi hal yang lazim di sana bahwa orang muslim
membantu orang kristen yang merayakan natal, dan sebaliknya orang kristen juga
membantu orang muslim yang merayakan lebaran. Toleransi itu terjadi karena ada

8
pertalian adat atau dalihan na tolu yang sangat kuat dipegang oleh orang Batak.
Secara umum orang Batak mengaku tidak punya masalah dengan etnik-etnik yang
lain, termasuk dengan etnik Tiong Hoa. Orang Batak dikatakan suka berbicara
dengan suara yang keras agar diperhatikan orang lain (bahkan ada yang
mengidentikkan suka berbicara ini dengan suka membual). Orang Batak itu
pemberani dan agresif, mereka berani dalam mengemukakan pendapat sendiri
walaupun mereka berada di dalam kedudukan minoritas, orang batak tidak  akan
terkalahkan oleh kaum yang mayoritas. Orang Batak itu kasar, ini tampak dari
kebiasaan mereka yang suka berbicara keras-keras dan suka berkelahi di depan orang
lain dan pernyataan ini di dukung dengan perawakan mereka misalnya bentuk dan
ekspresi muka.
3) Rasism
Setiap orang atau kelompok manusia cenderung melakukan indentifikasi sesuai
kelompoknya masing-masing. Hal ini disebut dengan in group dan out group.
Identifikasi in group terjadi karena dilandasi perasaan simpati, fanatik, dan menganggap
dirinya menjadi bagian dari kelompok yang dimilikinya. Sebaliknya, identifikasi out
group bersumber dari perasaan berbeda dengan kelompok lain dan cenderung
memunculkan dikotomi antar golongan. Pengklasifikasian seperti ini yang kemudian
kerap menimbulkan sikap etnosentrisme antara kedua kelompok tersebut dan berpeluang
menciptakan konflik kebudayaan. Hal ini yang melatarbelakangi timbulnya tindakan
rasisme.
Rasisme adalah kepercayaan terhadap superioritas yang diwakili oleh ras tertentu
dan memungkinkan seseorang memperlakukan orang lain secara buruk berdasarkan ras,
warna kulit, agama, dan aspek lainnya. Rasisme merupakan salah satu penghalang
suksesnya komunikasi antarbudaya. Bentuk-bentuk rasisme sangat beragam dan sering
terjadi di sekitar kita tanpa disadari, contohnya adalah penghinaan yang dilakukan
kepada etnis lain hingga kekerasan fisik (Paramita & Carissa, 2017).
Rasisme merupakan salah satu bentuk khusus dari prasangka yang memfokuskan
diri pada variasi fisik di antara manusia (Liliweri, 2005). Rasisme dalam komunikasi
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan sosial dalam masyarakat. Akan
terjadi ketidakseimbangan hubungan antara berbagai ras yang ada di masyarakat karena

9
adanya jurang yang memisahkan mereka. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar
tehindar dari rasisme, yaitu menghormati kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu
dan menyatakan tidak setuju setiap kali mendengar hinaan terhadap ras (Agustin
Wulandari, 2018).
Bagi sebuah negara yang terdiri atas berbagai ras seperti Indonesia, dibutuhkan
kesejajaran bahasa sebagai media untuk berkomunikasi. Kesejajaran bahasa ini
dimaksudkan agar tiap individu dari ras yang berbeda dapat menghormati dan
menghargai perbedaan bahasa dan dapat berkomunikasi secara efektif. Dibutuhkan dua
kemampuan berbahasa agar tidak terjadi kesalahpahaman ketika berkomunikasi, yaitu
penggunaan bahasa yang tepat dalam irama tertentu (kejelasan suara dalam percakapan)
dan intonasi atau nada dalam mengucapkan kata dan menggambarkan emosi (Julijanti,
2010).
4) Ethnocentrism
Dalam interaksi sosial yang terjadi di masyarakat, komunikasi memiliki peran
sebagai sarana untuk menyampaikan pesan. Jika dalam komunikasi terjadi masalah
dalam pengiriman dan penerimaan pesan, maka interaksi sosial akan terhambat. Interaksi
sosial yang terhambat dapat mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis diantara
masyarakat. Hal ini dapat memicu munculnya penyakit sosial seperti etnosentrisme.
Etnosentrisme berpengaruh dalam pertukaran pesan yang ditekankan pada pertukaran
simbol-simbol, yakni secara tertulis, lisan, gerak-gerik tubuh yang disampaikan oleh
etnis satu kepada etnis lainnya.
Etnosentrisme muncul dari kesetiaan yang berlebihan terhadap kebenaran nilai
budaya sendiri(Dianto, 2019). Budaya lain dianggap salah karena dasar pandangannya
adalah budaya sendiri. Pandangan negatif seperti ini dapat menghalangi seseorang untuk
berinteraksi dan bersentuhan dengan orang lain dari kelompok budaya yang berbeda
karena terlanjur melabeli budaya lain adalah budaya yang salah.Etnosentrisme dapat
timbul karena adanya perbedaan fisik (biologis), perbedaan lingkungan (geografis),
perbedaan kekayaan (status sosial), perbedaan kepercayaan, dan perbedaan norma sosial.
Dalam komunikasi, etnosentrisme dapat terlihat dari kecenderungan masyarakat
untuk berkomunikasi sesuai dengan budaya atau daerahnya. Hal ini dapat memberikan
dampak positif yaitu dapat melestarikan bahasa daerah dan mewariskannya kepada

10
penerus. Dampak negatif dari kecenderungan ini adalah akan terjadi hambatan dalam
komunikasi antarbudaya yang berbeda karena tadanya batasan ketika berkomunikasi
dengan orang dari budaya lain.
Perlu adanya sikap toleransi dalam memandangan budaya lain agar tidak terjadi
etnosentrisme yang berlebihan. Toleransi atau sikap menghargai pendirian yang berbeda
dengan diri sendiri penting untuk dilakukan agar hak dari individu yang hidup dalam
keberagaman tetap terjaga. Sikap toleransi dan terbuka terhadap perbedaan perlu
dilakukan agar terhindar dari konflik akibat adanya perbedaan (Amanda, 2017).

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang terjadi antar
para peserta komunikasi yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda(Mulyana &
Rakhmat, 1990). Pada dasarnya tidak ada manusia yang sama persis.Masing-masing individu
memiliki identitas budaya yang berbeda-beda, termasuk cara pandang dan cara pikirnya
terhadap suatu hal.
Hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya antara lain berupa prasangka,
stereotip, rasisme, dan etnosentrisme.

3.2 Saran
Jika dalam penuilisan makalah ini terdapat kekuarangn dan kesalahan, kami mohon maaf.
Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami dapat
membuat makalah yang lebih baik di kemudian hari.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agustin Wulandari, T. (2018). Rasisme.


Amanda, A. (2017). ETNOSENTRISME, STEREOTIP DAN PRASANGKA DI KALANGAN
KARYAWAN ETNIS JAWA DAN TIONGHOA DI KOTA SURAKARTA.
Transformasi, 2(32).
Dianto, I. (2019). Hambatan komunikasi antar budaya: Menarik diri, prasangka sosial dan
etnosentrisme. Hikmah, 13(2), 185–204.
Julijanti, D. M. (2010). Bahasa sebagai Medium Komunikasi Antarbudaya. Jurnal Pamator:
Jurnal Ilmiah Universitas Trunojoyo, 3(2), 164–171.
Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik; Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
LKiS Pelangi Aksara.
Mulyana, D., & Rakhmat, J. (1990). Komunikasi antarbudaya. Remaja Rosdakarya.
Nurkhalis, dkk. 2018. Stereotip Budaya Antarmahasis di Lingkungan Fakultas Dakwah. Jurnal
Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1. Jurusan Sosiologi FISIP: Universitas Teuku
Umar.
Paramita, S., & Carissa, R. M. (2017). Hambatan Komunikasi Antar Etnis Etnis Dayak, Melayu,
dan Tionghoa di Kota Pontianak.

13

Anda mungkin juga menyukai