Definisi tentang stereotip lainnya datang dari Dr. Saul McLeod, di mana ia menjelaskan
bahwa istilah tersebut memiliki arti keyakinan seseorang yang tetap dan digeneralisasikan
tentang kelompok atau kelas orang tertentu.
Dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul Stereotype Threat and The Intellectual Test
Performance of African Americans, Claude M. Steele dan Joshua Aronson mendeskripsikan
stereotip sebagai persepsi karakterisasi yang logis atas dirinya sendiri dan orang lain.
Sehingga, dengan stereotip tersebut setiap orang harus memahami ancaman di baliknya,
sekalipun tidak percaya dengan persepsi yang ia miliki. Ancaman dari stereotip dapat
menyebabkan kecemasan yang berujung pada tekanan emosional dan kekhawatiran
berlebihan.
Di bawah ini merupakan beberapa contoh stereotip di Indonesia dan negara-negara lainnya.
1. Rasisme
Jenis pertama dari stereotip adalah rasisme. Rasisme merujuk pada sikap berprasangka
terhadap ras atau kelompok nasional seseorang. Bentuk paling umum dari rasisme adalah
sikap berprasangka yang didasarkan pada warna kulit. Warna kulit memang menjadi salah
satu tanda utama yang paling jelas dari ras seseorang.
Contoh sederhananya adalah ketika melihat seseorang yang berkulit gelap, terkadang muncul
pikiran bahwa orang tersebut jorok dan tidak menjaga kebersihan. Padahal belum tentu
pikiran tersebut benar, belum tentu mereka yang berkulit putih dan cerah lebih menjaga
kebersihan daripada mereka yang berkulit hitam.
2. Seksisme
Seksisme merupakan stereotip berdasarkan gender. Sedari dulu sampai sekarang, seksisme
mayoritas terjadi pada perempuan, walaupun memang sejatinya hal tersebut dapat juga terjadi
pada laki-laki. Contoh sederhananya adalah pandangan sebelah mata dari kaum laki-laki
terhadap perempuan di tempat kerja, menganggap perempuan tidak lebih mampu dibanding
laki-laki ketika berurusan dengan pekerjaan.
3. Classism
Contoh lainnya dari stereotip adalah classism. Jenis ini merujuk pada perlakuan berbeda
terhadap individu atau kelompok sosial lain atas kelas sosial mereka. Classism terjadi karena
mereka yang berada di kelas sosial atas ingin menjadi lebih dominan terhadap mereka yang
berada di kelas sosial bawah. Akibat paling buruk yang dapat ditimbulkan
oleh classism adalah kesenjangan sosial yang memperjauh jarak antara si kaya dan si miskin.
4. Ageism
Ageism merupakan sebuah istilah stereotip yang merujuk pada perlakuan berbeda terhadap
individu atau kelompok sosial lain atas usia mereka, baik itu muda maupun tua.
Istilah ageism pertama kali digagas oleh Robert Neil Butler pada tahun 1969, di mana ia
mendeskripsikan tentang diskriminasi yang dihadapi oleh orang-orang berusia lanjut.
5. Homofobia
Jenis lainnya dari stereotip adalah homofobia. Homofobia secara konstan dihadapi oleh
mereka yang berada dalam kelompok LGBTQIA+. Homofobia merupakan perasaan irasional
seperti ketakutan, kebencian, ketidaknyamanan, dan ketidakpercayaan seseorang terhadap
kaum lesbian, gay, dan biseksual. Stereotip jenis ini sangat membahayakan bagi mereka yang
termasuk dalam kategori LGBTQIA+, di mana stereotip tersebut dapat menimbulkan
persekusi serta mengancam nyawa dan hak hidup mereka.
6. Xenofobia
Xenofobia adalah ketakutan atau kebencian terhadap sesuatu yang dianggap asing atau aneh.
Perasaan ketakutan dan kebencian tersebut dapat berbentuk kecurigaan seseorang terhadap
kegiatan kelompok sosial tertentu, keinginan untuk menghapus keberadaan kelompok sosial
tertentu, dan menghilangkan identitas etnis, ras, serta nasional mereka. Xenofobia dan
rasisme merupakan dua stereotip negatif yang saling berkaitan satu sama lain.
7. Stereotip terhadap agama
Stereotip terhadap agama adalah sikap berprasangka seseorang terhadap agama yang dianut
seseorang atau kelompok tertentu. Contoh sederhananya adalah mengidentikkan umat Islam
yang bercelana cingkrang, berjenggot, dan yang menggunakan pakaian hitam bercadar
dengan kegiatan terorisme atau termasuk anggota kelompok teroris.
8. Nasionalisme
Menurut Bikhu Parekh, kesetaraan adalah prinsip yang mengakui bahwa semua individu
memiliki nilai yang sama dan hak-hak yang sama. Parekh berpendapat bahwa kesetaraan
bukan hanya tentang memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, tetapi juga
tentang mengakui dan menghargai perbedaan yang ada di antara kita.
Contohnya, dalam konteks politik, kesetaraan berarti memberikan hak suara kepada semua
warga negara tanpa memandang ras, agama, atau latar belakang sosial mereka. Dalam
konteks pendidikan, kesetaraan berarti memberikan akses yang sama kepada semua individu
untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, tanpa memandang status ekonomi atau latar
belakang keluarga mereka.
Sumber referensi:
Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political
theory. Harvard University Press.
Parekh, B. (2008). A new politics of identity: Political principles for an intercultural
age. Palgrave Macmillan.