Anda di halaman 1dari 19

DINAMIKA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA

YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA

PROPOSAL PENELITIAN

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Metodologi Penelitian Kualitatif

Dosen pengampu:
Gemala Nurendah, S.Pd., M.A.
Muhammad Ariez Musthofa, M.Si.

oleh
Khofifah Al Adawiyah
1800482

DEPARTEMEN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah Penelitian ........................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kajian Teori .................................................................................................. 4
1.Kajian Tentang Psychological Well-being ................................................. 4
2.Kajian Tentang Perceraian Orang Tua ....................................................... 7
B. Penelitian Terdahulu ..................................................................................... 9
C. Posisi Teoritis ............................................................................................... 12

BAB III METODE PENELITIAN


A. Desain penelitian .......................................................................................... 13
B. Partisipan dan Tempat Penelitian ................................................................. 13
C. Pengumpulan Data ....................................................................................... 13
D. Analisis Data ................................................................................................ 14
E. Isu Etik ......................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16

i
BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan uraian mengenai pendahuluan penelitian yang


mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan
penelitian, serta manfaat penelitian.
A. Latar Belakang Penelitian
Anak adalah anugerah yang dititipkan dan diamanahkan oleh Tuhan
kepada orang tua dan keluarga. Keluarga merupakan lingkungan yang sangat
erat kaitannya dengan pembentukan diri dan keadaan anak (Praptomojati,
2018). Keadaan anak ini merupakan cerminan dari keadaan keluarganya.
Keluarga yang utuh dengan keluarga yang tidak utuh pasti berbeda tingkat
kesejahteraan keluarganya. Salah satu hal yang menyebabkan
ketidakutuhannya sebuah keluarga adalah karena perceraian. Perceraian
merupakan perpisahan antara suami istri sebelum kematian yang akan
membawa perubahan dalam kehidupan keluarga, terutama perubahan dalam
kehidupan anak (Rice & Dolgin, 2002).
Di Negara Indonesia memiliki tingkat perceraian yang cukup tinggi.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015 di Jawa Barat terdapat
65.848 kasus yang terjadi, sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi
70.267 kasus perceraian (https://www.bps.go.id /linkTableDinamis/
view/id/893, diakses pada tanggal 2 Desember 2020). Ketika orang tuanya
mengalami perceraian, tidak semua anak bisa menerimanya dengan begitu
saja. Pada struktur keluarga yang tidak utuh akibat perceraian, anak akan
berisiko tinggi dalam mengalami permasalahan kesehatan mental seperti
depresi, dan gangguan penyesuaian lainnya (Ahrons, 2011).
Fagan dan Churchill (dalam Praptomojati, 2018) menyatakan bahwa
perceraian bisa memberikan dampak bagi anak mulai dari dampak ringan
sampai berat, dan dari yang jangka pendek hingga jangka panjang. Salah satu
hal yang utama akibat perceraian adalah berubahnya dinamika kesejahteraan
psikologis atau psychological well-being pada anak. Psychological well-being

1
2

merupakan konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari yang mengarah pada pengungkapan perasaan-
perasaan pribadi berdasarkan pengalaman hidupnya. Kesejahteraan anak
merupakan bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan keluarga sehingga
kesejahteraan keluarga merupakan utama dalam mengembangkan
kesejahteraan anak (Praptomojati, 2018).
Anak yang mengalami perceraian orang tua akan merasakan dampak
dari perceraian yang menimpa kedua orangtuanya terlebih mereka yang berada
di usia remaja. Mereka akan merasakan kemarahan, ketakutan, tertekan, dan
merasa bersalah. Selain itu, anak remaja juga akan merasa terganggu dalam
melaksanakan tugas perkembangannya apabila keluarganya sedang dalam
keadaan tidak harmonis akibat dari perceraian. Hal ini berakibat pada turunnya
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) remaja dikarenakan
kegagalan dalam menjalankan peran dan tanggung jawab yang mereka emban
(Ramadhani et al., 2016). Dalam penelitian bidang akademik mengenai efek
perceraian orang tua terhadap performansi anak di kelas, disimpulkan bahwa
anak dengan orang tua yang bercerai memiliki nilai performansi yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak bercerai (Dewi &
Utami, 2015).
Adofo dan Etsey (2016) juga dalam studinya menguraikan bahwa
dampak perceraian orang tua bagi remaja dapat termanifestasikan dalam dua
keadaan, yaitu internalizing behavior ataupun externalizing behavior.
Internalizing behavior meliputi rasa takut, malu, depresi, rendahnya harga
diri, sedih, cemas, bingung, tidak aman, sakit hati, dan rendahnya kepercayaan
diri. Sedangkan Externalizing behavior meliputi perilaku agresi, kesulitan
dalam menjalin hubungan dengan orang lain, ketidakmampuan untuk
menyesuaikan diri, perilaku bermasalah di sekolah, perilaku seksual berisiko,
dan kenakalan remaja lainnya.
Sehubungan dengan fenomena tersebut, keadaan keluarga menjadi hal
yang sangat penting terhadap psychological well-being pada seorang anak
karena lingkungan pertama untuk menumbuhkan kesejahteraan anak adalah
3

keluarga terutama kedua orang tua. Sehingga peneliti tertarik untuk


mengetahui bagaimana dinamika psychological well-being remaja yang
mengalami perceraian orang tua.

B. Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan rumusan
masalah yaitu “Bagaimana dinamika Psychological Well-being pada remaja
yang mengalami perceraian orang tua?”.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah diajukan, penelitian
ini bertujuan untuk mengindentifikasi bagaimana dinamika psychological
well-being pada remaja yang mengalami perceraian orang tua.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengayaan dalam
bidang psikologi khususnya berkaitan dengan psychological well-being
pada remaja dan berkaitan juga dengan perceraian orang tua.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat secara praktis
diantaranya:
a. Bagi Orang tua
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
orang tua bahwa perceraian ini memiliki dampak tersendiri terhadap
anaknya terutama anak remaja.
b. Bagi Peneliti lain
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dan
informasi baru yang berkaitan dengan psychological well-being pada
remaja dan berkaitan juga dengan perceraian orang tua.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan uraian mengenai tinjauan pustaka yang mencakup


kajian teori, penelitian terdahulu, dan posisi teoritis.
A. Kajian Teori
1. Kajian Tentang Psychological Well-being
a. Definisi Psychological Well-being
Schultz (dalam Ramadhani et al., 2016) menjelaskan bahwa
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan fungsi
positif individu yang mengarah untuk memiliki tujuan yang dicapai oleh
individu yang sehat. Ryff (dalam Ryff dan Singer, 2008) berpendapat
bahwa terdapat dua poin utama dalam menjelaskan psychological well-
being atau kesejahteraan psikologis. Poin yang pertama, yaitu
kesejahteraan yang menekankan pada proses pertumbuhan dan pemenuhan
individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Sedangkan poin
yang kedua, yaitu eudaimonic, yang menekankan pada pengaturan yang
efektif dari sistem fisiologis untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Snyder (dalam Ramadhani et al., 2016) mengatakan bahwa
kesejahteraan psikologis ini bukan hanya merupakan ketiadaan
penderitaan, namun kesejahteraan psikologis ini bisa meliputi keterikatan
aktif dalam lingkungan, memahami arti dan tujuan hidup, dan hubungan
seseorang dalam obyek ataupun orang lain. Menurut Bradburn (dalam
Ryff & Keyes, 1995), psychological well-being ini merujuk suatu konsep
yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitasnya
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat disimpulkan bahwa
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan kondisi
atau keadaan psikologis individu yang menghasilkan sisi baik dan positif.
Individu yang memiliki psychological well-being baik, individu tersebut
akan bersikap positif terhadap diri sendiri, orang lain, memiliki tujuan

4
5

dalam hidupnya, serta berusaha mengembangkan diri semaksimal


mungkin.
b. Dimensi Psychological Well-being
Ryff (1989) mendefinisikan konsep psychological well-being atau
kesejahteraan psikologis dalam enam dimensi, yaitu:
1) Penerimaan diri
Penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap diri dan masa
lalu individu yang bersangkutan. Penerimaan diri ini menggambarkan
evaluasi diri yang positif, kemampuan mengakui aspek diri sendiri,
dan kemampuan menerima positif dan negatif kemampuan seseorang.
2) Hubungan yang positif dengan orang lain
Hubungan positif dengan orang lain ini mencakup kemampuan
menjalin hubungan antar individu yang hangat dan saling
mempercayai. Hubungan yang positif dengan orang lain ini sangat
menggambarkan dirinya mempunyai perasaan empati dan kasih
sayang.
3) Otonomi
Otonomi merupakan kemampuan untuk menentukan nasib sendiri,
mandiri, dan mengatur perilakunya sendiri. Dimensi otonomi ini
meliputi independen dan determinan diri, kemampuan individu dalam
mengatasi tekanan sosial, dan kemampuan mengatur pelakunya.
4) Penguasaan lingkungan
Dimensi penguasaan lingkungan ini meliputi rasa penguasaan,
kompetensi, serta kemampuan memilih situasi atau lingkungan yang
kondusif. Dalam penguasaan lingkungan ini menekankan perlunya
keterlibatan dalam aktivitas di lingkungan, kemampuan untuk
memanipulasi, dan mengendalikan lingkungan yang rumit.
5) Tujuan hidup
Dimensi ini meliputi kesadaran akan tujuan dan makna hidup, serta
arah dan tujuan dalam hidup. Keyakinan-keyakinan yang memberikan
perasaan pada individu bahwa ada tujuan dan makna dalam hidupnya.
6

6) Pertumbuhan pribadi
Dimensi ini merupakan kemampuan diri mengembangkan potensi
dirinya untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu secara efektif
meliputi kapasitas mengembangkan potensi, serta perubahan pribadi
dari waktu ke waktu mencerminkan pengetahuan diri, tumbuh dan
efektivitas.

c. Faktor-faktor yang memengaruhi Psychological Well-being


Faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) seseorang antara lain:
1) Faktor Demografis (Ryff & Keyes, 1995)
Faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) yaitu usia, jenis kelamin, status sosial
ekonomi, dan budaya.
2) Dukungan Sosial (Ryff & Keyes, 1995)
Dukungan sosial diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian,
penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang
individu yang didapat berbagai sumber diantaranya pasangan,
keluarga, teman, maupun organisasi sosial.
3) Religiusitas (Amawidyati, 2015)
Religiusitas ini sangat berkaitan dengan psychological well-being.
Dengan kata lain, individu dengan religiusitas yang kuat, tingkat
psychological well-being juga akan lebih tinggi, sehingga akan
semakin sedikit dampak negatif yang dirasakan dari peristiwa
traumatik dalam hidup.
4) Locus Of Control (LOC) (Ryff & Keyes, 1995)
Locus Of Control didefinisikan sebagai ukuran harapan umum
seseorang mengenai pengendalian terhadap penguatan (reinforcement)
yang mengikuti perilaku tertentu yang bisa memengaruhi
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) seseorang.
7

5) Kepribadian (Ryff & Keyes, 1995)


Individu yang memiliki kepribadian yang sehat adalah individu
yang memiliki coping skill yang efektif, sehingga individu tersebut
mampu menghindari stres dan konflik, memiliki banyak kompetensi
pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, dan mampu menjalin
hubungan yang harmonis dengan lingkungan.

2. Kajian Tentang Perceraian Orang Tua


a. Definisi Perceraian Orang Tua
Perceraian (divorce) merupakan suatu perpisahan secara resmi
antara pasangan suami-istri dan mereka tidak memiliki tugas dan
kewajiban sebagai suami-istri, tidak lagi hidup dan tinggal serumah
bersama (Dariyo, 2004).
Menurut Hurlock (1999), perceraian merupakan kulminasi dari
penyesuaian perkawinan yang buruk. Perceraian akan terjadi bila antara
suami dan istri tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang
memuaskan bagi kedua belah pihak. Sementara Cohen (dalam Ramadhani
et al., 2016) menyatakan bahwa perceraian adalah pemutusan atau
pembubaran unit keluarga.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
perceraian adalah berakhirnya ikatan pernikahan formal karena pasangan
sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupan pernikahan dengan
sebagaimana mestinya.

b. Dampak Perceraian Orang Tua


Dariyo (2003) menyatakan bahwa perceraian akan membawa
dampak negatif. Hal-hal atau dampak-dampak terjadinya perceraian
tersebut diantaranya:
1) Traumatis pada salah satu pasangan hidup
Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam
menjalankan kehidupan pernikahan dan ternyata harus berakhir dalam
8

perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak


nyaman, tidak tentram, dan khawatir dalam diri.
2) Traumatis pada anak
Anak-anak yang ditinggalkan orang tua yang bercerai juga
merasakan dampak negatif. Mereka mungkin mempunyai pandangan
negatif terhadap pernikahan, mereka akan merasa takut mencari
pasangan hidupnya, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi
rasa kekhawatiran jika perceraian itu juga terjadi pada dirinya.
3) Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan
Setelah bercerai, individu merasakan dampak psikologis yang
tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ditandai oleh perasaan tidak
nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya
secara fisiologis mereka tidak dapat tidur dan tidak dapat
berkosentrasi dalam bekerja sehingga mengganggu kehidupan
kerjanya.

Menurut Dariyo (2004), orang tua yang telah bercerai tetapi


belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak
traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun bagi orang tua yang telah
memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-
emosional bagi anak-anak. Berbagai studi menunjukkan bahwa
perceraian memberikan dampak yang besar bagi anak-anak. Berikut ini
merupakan beberapa dampak perceraian orang tua bagi anak, terutama
anak remaja:
1) Permasalahan perilaku pada anak (Aseltine, 1992)
2) Permasalahan penyesuaian diri (Landsford, 2009)
3) Rendahnya kesejahteraan subjektif (Dewi & Utami, 2008)
4) Permasalahan emosi (Aseltine, 1992)
5) Rendahnya kualitas hidup (Eymann et. al, 2009)
6) Rendahnya harga diri (Esmaeili & Yaacob, 2012)
7) Risiko tinggi terhadap depresi (Uphold-Carrier & Utz, 2012)
9

8) Kecemasan (Pálmarsdóttir, 2015)


9) Kesepian dan ketidakpuasan hidup (Çivitci, Çivitci, & Fiyakali,
2009)
10) Prestasi yang rendah di sekolah (Aseltine, 1992; Babalis et al., 2014)
11) Ketergantungan alkohol (Thompson Jr., Lizardi, Keyes, & Hasin,
2008)
12) Risiko yang tinggi terhadap keterlibatan obat-obat terlarang (Needle,
Su, & Doherty, 1990)
13) Risiko munculnya perilaku antisosial dan kriminal (Wells & Rankin,
1991).

B. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memiliki tujuan untuk membandingkan kenyataan yang ada
di lapangan dengan teori yang relevan, pendekatan penelitian ini didasarkan
pada penelitian-penelitian terdahulu sebagai berikut:
1. (Ramadhani et al., 2016)
Penelitian yang dilakukan oleh Tia Ramadhani, Djunaedi, Atiek
Sismiati pada tahun 2016 ini berjudul Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-Being) Siswa yang Orangtuanya Bercerai. Subjek
dalam penelitian ini 33 siswa SMK Negeri 26 Pembangunan Jakarta yang
memiliki latar belakang orang tua bercerai. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 52% siswa memiliki kesejahteraan psikologis yang
rendah, sebesar 42% siswa memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi,
dan 6% siswa memiliki kesejahteraan psikologis yang sedang/cukup.
Kesejahteraan psikologis siswa yang orangtuanya bercerai pada penelitian
ini berada dalam taraf rendah yang berarti perlu adanya penanganan lebih
lanjut agar kesejahteraan psikologis siswa menjadi tinggi.
2. (Praptomojati, 2018)
Penelitian ini dilakukan oleh ardian praptomojati pada tahun 2018
yang berjudul Dinamika Psikologis Remaja Korban Perceraian: Sebuah
Studi Kasus Kenakalan Remaja. Subjek penelitian merupakan seorang
10

anak laki-laki berusia 13 tahun dengan orang tua yang telah bercerai dan
tinggal di Panti Asuhan. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi
kasus, data diambil melalui observasi, wawancara, dan tes psikologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan remaja terjadi karena
didasari oleh kebutuhan subjek untuk mendapatkan perhatian dari
lingkungannya. Adanya pola pikir yang salah, yaitu “Aku akan
mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain”
menjadi dasar kenapa subjek berperilaku negatif.
3. (Dewi & Utami, 2015)
Penelitian ini dilakukan oleh Pracasta Samya Dewi dan Muhana
Sofiati Utami pada tahun 2015 dengan judul Subjective Well‐Being Anak
Dari Orang Tua Yang Bercerai. yang bercerai. Ada dua jenis subjek yang
digunakan dalam penelitian ini, subjek pertama mempunyai karakteristik
utama yaitu merupakan anak dari orang tua yang bercerai yang
selanjutnya kemudian disebut sebagai subjek. Subjek ke dua yaitu orang‐
orang terdekat subjek (significant person) yang berfungsi sebagai sarana
pengkroscek informasi yang selanjutnya disebut sebagai informan. Dalam
penelitian ini, peneliti mengambil tiga subjek.
Hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa terdapat beberapa
kondisi yang dapat meningkatkan dan menurunkan subjective well‐being
anak dari orang tua yang bercerai. Kondisi‐kondisi yang dapat
meningkatkan subjective well‐being anak dari orang tua yang bercerai,
antara lain sikap orang tua yang memahami anak, adanya pemahaman
anak terhadap perceraian orang tuanya, adanya dukungan emosional yang
dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya, serta strategi coping yang
lebih bersifat problem focused coping.
Adapun kondisi‐kondisi yang dapat menurunkan subjective well‐
being anak dari orang tua yang bercerai, antara lain adanya konflik orang
tua, situasi keluarga yang jarang berkumpul dan jarang beraktivitas
bersama, perceraian orang tua, sikap orang tua yang tidak memberikan
pemahaman kepada anak atas perceraian yang terjadi, hubungan orang tua
11

yang memburuk pasca terjadinya perceraian, serta adanya kondisi


pembanding yang lebih baik dari lingkungan sekitar.
4. (Amato & Sobolewski, 2001)
Penelitian ini dilakukan oleh Paul R. Amato dan Juliana M.
Sobolewski pada tahun 2001 dengan judul “The Effects Of Divorce And
Marital Discord On Adult Children's Psychological Well-Being”. Sampel
dalam penelitian ini adalah 655 orang dewasa awal. Hasil menunjukkan
bahwa perceraian dan perselisihan perkawinan memprediksi tingkat
kesejahteraan psikologis yang lebih rendah di masa dewasa. Hubungan
orang tua-anak memediasi sebagian besar hubungan antara perceraian dan
perceraian orang tua dan hasil psikologis anak-anak selanjutnya.
Perselisihan perkawinan tampaknya mengikis ikatan emosional anak-anak
dengan ibu, sedangkan perceraian dan perselisihan perkawinan
tampaknya mengikis ikatan emosional anak-anak dengan ayah.

C. Posisi Teoritis
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang berkontribusi terhadap
kesejahteraan anak. Jika keluarganya harmonis, maka anak pun akan merasa
sejahtera. Ketidakharmonisan dalam keluarga merupakan wujud dari keluarga
yang tidak bahagia. Keadaan keluarga yang tidak bahagia dapat menimbulkan
pertengakaran yang memicu terjadinya perceraian. Perceraian merupakan titik
puncak dari berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu
sebelumnya sehingga jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan
perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi (Dariyo dalam Giovanie,
2019). Perceraian yang terjadi pada orang tua dapat memberikan dampak
negatif terutama bagi perkembangan psikologis anak.
Dalam penelitian yang telah dilakukan Ramadhani (2016),
menunjukkan bahwa remaja dengan orang tua yang bercerai mengalami
tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah dibandingkan dengan remaja
yang memiliki orang tua utuh. Kesejahteraan psikologis (psychological well-
being) berhubungan dengan kesehatan mental seseorang. Psychological well-
12

being merupakan sebuah kondisi individu yang memiliki sikap positif


terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri dan
mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur
lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya.
Seorang anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga dengan orang tua
bercerai akan tetap melalui masa-masa perkembangan beserta tugas-tugas
perkembangan yang harus dipenuhi beriringan dengan bertambahnya usia
mereka. Masa perkembangan itulah yang seharusnya didampingi oleh orang
tua, terutama masa remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan antara
masa anak dan masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan mulai adanya
keinginan menjalin suatu hubungan yang baru baik pada laki-laki maupun
perempuan dan akhirnya mulai mempersiapkan perkawinan dan membentuk
sebuah keluarga.
Hidup berkeluarga adalah suatu pilihan yang prosesnya tidak mudah
untuk diputuskan. Seorang anak dengan latar belakang keluarga yang tidak
harmonis mungkin akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap
kehidupan berkeluarga. Pengalaman kegagalan orang tuanya mungkin akan
tetap menjadi bayangan tersendiri hingga menjadikan pertimbangan yang kuat
dalam kehidupan untuk menjalankan tugas-tugas perkembangannya terutama
pada masa remaja (Giovanie, 2019). Penelitian ini akan mengidentifikasi
bagaimana dinamika psychological well-being remaja yang mengalami
perceraian orang tua.
BAB III
METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan uraian mengenai metode penelitian yang mencakup


desain penelitian, partisipan dan tempat penelitian, pengumpulan data, analisis
data, serta isu etik.
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus
(case study). Studi kasus adalah suatu penelitian yang dilaksanakan untuk
mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, serta
interaksi lingkungan suatu unit sosial yaitu individu, kelompok, lembaga, atau
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran atau
mengidentifikasi mengenai dinamika psychological well-being remaja usia 17-
22 tahun yang mengalami perceraian orang tua.

B. Partisipan dan Tempat Penelitian


Pengambilan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan atau
karakteristik tertentu. Karakteristik atau kriteria partisipan dalam penelitian ini
adalah anak remaja yang berusia 17-22 dan pernah mengalami perceraian
orang tua. Sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak tiga orang. Tempat
dalam penelitian ini yaitu di Kota Sumedang.

C. Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, penulis akan mengumpulkan data dengan beberapa
teknis, diantaranya:
1. Wawancara
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi terstruktur dengan pedoman umum (Interview Guide)
yang berisi pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan psychological well-
being remaja dari orang tua yang bercerai. Pedoman umum wawancara

13
14

pada penelitian ini didasarkan pada enam dimensi psychological well-


being dari Ryff (1989) diantaranya penerimaan diri, hubungan yang positif
dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
pertumbuhan pribadi.
2. Observasi
Observasi dilakukan pada tempat dan waktu yang sama dengan
dilangsungkannya proses wawancara. Observasi dilakukan dengan fokus
pada respon nonverbal responden selama proses wawancara yang terlihat
seperti perilaku dan sikap yang ditunjukkan oleh responden serta ekspresi
wajah saat menjawab pertanyaan.

D. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif yang mengacu pada konsep Milles dan Huberman (1992),
memiliki tiga tahap diantaranya reduksi data, display data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi.
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dalam catatan tertulis dilapangan. Adapun data yang direduksi
pada penelitian ini adalah data yang didapatkan dari informan yang
didapatkan dari hasil wawancara dan observasi.
2. Display Data
Display data merupakan suatu kumpulan informasi yang tersusun.
Dalam tahap ini, data sudah berupa rangkuman, uraian singkat, bagan,
dengan maksud agar data telah dikumpulkan dikuasai oleh peneliti dasar
untuk mengambil kesimpulan yang tepat. Adapun data yang didisplay
pada penelitian ini adalah data yang didapatkan dari hasil wawancara yang
berisikan tentang dinamika psychological well-being dari ketiga
responden.
15

3. Penarikan Kesimpulan/verifikasi
Penarikan kesimpulan ini dimulai dari permulaan pengumpulan
dan menyusun atau mengelompokkan data. Adapun yang dilakukan dalam
hal ini adalah mengambil kesimpulan mengenai dinamika psychological
well-being pada ketiga responden yang diperoleh dari hasil wawancara dan
observasi.

E. Isu Etik
Penelitian ini tidak menimbulkan dampak negatif baik fisik maupun
non fisik kepada subjek yang diteliti. Kerahasian subjek yang diteliti akan
dijaga demi menjaga kode etik subjek yang diteliti. Peneliti menjelaskan
tujuan, manfaat dalam penggunaan alat perekam, dan penggunaan data
penelitian, serta jika partisipan menyetujui, maka partisipan menandatangani
surat ketersediaan dalam berpartisipasi atau Informed Consent.
Selama proses wawancara berlangsung, peneliti memerhatikan
beberapa hal yang dapat merugikan partisipan seperti kenyamanan, dan
perubahan perasaan. Apabila kondisi tersebut membahayakan partisipan, maka
peneliti menghentikan wawancara terlebih dulu dan memulainya kembali
ketika kondisi sudah stabil dan partisipan siap untuk melakukan wawancara.
DAFTAR PUSTAKA

Adofo, P. Y. & Etsey, Y. K. A. (2016). Family processes in one-parent, step


parent, and intact families: The child's point of view. Pyrex Journal of
Psychology and Counseling, 2(4), 21-27.
Ahron, C. R. (2011). Divorce: An unscheduled family transition. In M.
McGoldrick, B. Carter, & N. Garcia-Preto (Eds). Individual, family, and
social perspectives: The expanded family cycle. Fourth edition. Boston, MA:
Allyn & Bacon.
Amawidyati, S, A., & Utami M. (2015). Religiusitas dan Psychological Well‐
Being Pada Korban Gempa. Jurnal Psikologi. Vol. 34, No. 2, 164 – 176.
Aseltine, R. H. (1992). The impact of parental divorce on adolescents. Michigan:
University of Michigan.
Babalis, T., Tsoli, K., Nikolopoulos, V., & Maniatis, P. (2014). The effect of
divorce on school performance and behavior in preschool children in Greece:
An Empirical Study of Teachers’ Views. Scientific Research, Psychology,
5(1), 20-26.
Badan Pusat Statistik. (2020). Data statistik: Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk,
2007–2016. [Online]. Diakses dari https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/
view/id/893.
Çivitci, N., Çivitci, A., & Fiyakali, N. C. (2009). Loneliness and life satisfaction
in adolescents with divorced and nondivorced parents. Educational Sciences:
Theory & Practice 9(2), 513-525.
Dariyo, A. (2004). Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan Keluarga.
Jurnal Psikologi, 2(2), 94–100. http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=62924&val=4564.
Dewi, P. S. & Utami, M. S. (2008). Subjective well‐being anak dari orang tua
yang bercerai. Jurnal Psikologi, 35(2), 194 – 212
Esmaeili, N. S. & Yaacob, S. N. (2012). Correlates of self-esteem among
adolescents of divorced families. Archives Des Sciences, 65(8), 52-59.
Eymann, A., Busaniche, J., Llera, J., Cunto, C. D., & Wahren, C. (2009). Impact

16
17

of divorce on the quality of life in school age children. Jornal de Pediatria,


85(6), 547-552.
Giovanie, Euneke Leonora. (2019). Psychological Well-Being Remaja Dengan
Orang Tua Yang Bercerai. Skripsi thesis, Universitas Mercu Buana:
Yogyakarta.
Lansford, J. E. (2009). Parental divorce and children's adjustment. Perspectives on
Psychological Science, 4(2), 140-152.
Milles dan Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Moloeng, L. J. (2005). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Needle, R. H., Su, S. S., & Doherty, W. J. (1990). Divorce, remarriage, and
adolescent substance use: A prospective longitudinal study. Journal of
Marriage and Family, 52(1), 157-169.
Pálmarsdóttir, H. M. L. (2015). Parental divorce, family conflict and adolescent
depression and anxiety. Reykjavik: Reykjavik University.
Praptomojati, A. (2018). Dinamika Psikologis Remaja Korban Perceraian: Sebuah
Studi Kasus Kenakalan Remaja. Jurnal Ilmu Perilaku, 2(1), 1. https://doi.org
/10.25077/jip.2.1.1-14.2018.
Ramadhani, T., Djunaedi, & S, A. S. (2016). Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-Being) Siswa Yang Orangtuanya Bercerai. Bimbingan
Konseling, 5(1), 108–115.
Rice, F. P; & Dolgin, K. G. 2002. The Adolescent: Development, Relationship and
The Culture, 10th edition. USA: Allyn & Bacon Company.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning
of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology,
57(6), 1069–1081. https://doi.org/10.1037/0022-3514.57.6.1069.
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The Structure of Psychological Well-
Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719–
727. https://doi.org/10.1037/0022-3514.69.4.719.

Anda mungkin juga menyukai