Anda di halaman 1dari 16

DAMPAK BROKEN HOME (PERCERAIAN ORANGTUA) TERHADAP MEKANISME

COPING REMAJA

NAMA : MAIDHA ARAFAH

NPM : 2014720064

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama bagi anak,yaitu tempat
bersosialisasi yang memegang peranan penting bagi perkembangan kepribadian,dalam
keluarga untuk pertama kali anak mengenal arti hidup,cinta kasih,simpati,mendapatkan
bimbingan dan pendidikan serta terciptanya suasana yang aman,sehingga dapat dikatakan
keluarga memegang peranan penting untuk membentuk kepribadian. Pada kenyataannya,
tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Peran keluarga dinilai
sangat penting dalam perkembangan seorang remaja,karena keluarga merupakan sarana
bagi remaja berinteraksi dan belajar untuk mengungkapkan emosi,melihat hubungan
antara kedua orangtua,hubungan anak dengan orangtua,sikap orangtua terhadap
masyarakat dan lingkungan sekitar,penanaman nilai-nilai yang diberikan orangtua serta
mendapatkan dukungan emosional.

Perceraian dapat diartikan sebagai suatu tindakan terakhir dari penyesuaian


perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagii mencari
cara untuk menyelesaikan masalah yang dapat memuaskan kedua belah
pihak(Hurlock,1997). Namun bagi remaja perceraian sering kali menimbulkan
problematika tersendiri. Jumlah perceraian diindonesia mencapai angka sekitar 200.000
pasang setiap tahunnya. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk kawasan asia pasifik.
Angka perceraian di Malang Raya juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dari
tahun ke tahun. Seperti yang dilansir oleh malang-post.com, tahun 2015 saja angka
perceraian di Malang Raya mencapai 8.949, dengan angka 6.844 di Kabupaten Malang
sementara sisanya di Kota Malang dan Kota Batu. Tahun 2016 ini, angka rata-rata
perceraian per bulan juga meningkat. Di Kota Malang dan Kota Batu, angkanya
meningkat sekitar 4,5 persen sementara di Kabupaten Malang, angkatnya meningkat
sekitar 3,1 persen. Terhitung per Agustus 2016, angka perceraian sudah menembus angka
6.175(www.vemale.com).

Strategi koping meliputi bagaimana individu memperlakukan suatu keadaan yang


menjadi beban,mengerahkan segala upaya untuk mengatasi masalah dan mencoba untuk
mengurangi stress(Halonen&Santrock,1999). Jenis strategi coping yang dapat digunakan
untuk mengatasi masalah yaitu problem-focused coping(PFC) dan emotional-focused
coping(EFC). Menurut Lasmono(2003), problem-focused coping yaitu respon yang
berusaha memodifikasi sumber stress dengan menghadapi situsi yang sebenarnya. Hal ini
dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah. Sedangkan emotional-
focused coping adalah respon yang mengendalikan penyebab stress yang berhubungan
dengan emosi dan usaha memelihara keseimbangan yang efekif.

Berdasarkan data yang dapat diteliti,apabila individu menganggap perceraian


orangtuanya sebagai suatu beban dan tidak dapat melakukan koping dengan baik maka
akan menyebabkan tingkah lakunya semakin buruk seperti hamil pranikah pada usia
remaja,penggunaan obat-obatan terlarang,depresi&frustrasi,pergaulan bebas tidak
terkontrol dengan tujuan untuk menenangkan pikiran bahkan sampai bermasalah dengan
hukum. Dengan melihat fenomena tersebut,maka penelitian ini penting dilakukan.
Penelitian ini bermaksud untuk mengeksporasi bagaimna strategi koping yang dilakukan
oleh remaja yang orangtuanya bercerai tersebut. Dukungan sosial dan pandangan positif
merupakan faktor penting yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan koping. Pada
remaja yang orangtuanya bercerai,mereka akan cenderung kehilangan dukungan sosial
yang berasal dari orangtua. Hal tersebut dapat mengakibatkan remaja mengalami
kesulitan dalam melakukan koping.

B. Rumusan masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya strategi coping remaja dalam
menghadapi perceraian orangtuanya di RW X jakarta.

C. Pertanyaan penelitian
1. Bagaimana gambaran stress dan coping stress yang terjadi pada remaja yang
mengalami perceraian pada orangtua?
2. Mengapa remaja yang mengalami perceraian pada orangtua melakukan coping
stress yng demikian?
3. Bagaimana proses perkembangan stress dan coping stress pada remaja yang
mengalami perceraian pada orangtua?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran stressor,stress dan koping stress pada remaja yang
mengalami perceraian orangtua

2. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui bagaimana gambaran stress dan koping stres pada remaja
dalam menyikapi perceraian orangtua

- Untuk mengetahui strategi koping apa saja yang dipakai remaja dalam
menyikapi perceraian orangtua

E. Manfaat penelitian

Untuk dapat memperoleh informasi tentang gambaran koping stress remaja dengan
orangtua bercerai secara umum dan penelitian ini dapat digunakan sebagai bukti
gambaran koping stress remaja dengan orangtua bercerai dan sebagai perbandingan
dengan penelitian yang lain yang berkaitan dengan koping stress.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian koping stress

Koping stress yaitu sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan
yang lebih baik,mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang
mengakibatkan stress. Radley(1994)

 Jenis koping stress

Menurut Lazarus dan Folkman, ada 2 jenis strategi coping stres, yaitu :

A. Emotional-Focused Coping

Coping ini bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional terhadap
situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara behavioral maupun kognitif.
Lazarus dan Folkman (1986) mengemukakan bahwa individu cenderung
menggunakan Emotional-Focused Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa
stresor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Berikut adalah aspek-aspeknya:

- Self Control, merupakan suatu bentukdalam penyelesaian masalah dengan cara


mengen\
dalikan dri, menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak
tergesa dalam mengambil tindakan.

- Seeking Social Support (For Emotional Reason), adalah suatu cara yang dilakukan
individu dalam menghadap masalahnya dengan cara mencari dukungan sosial pada
keluarga atau lingkungan sekitar, bisa berupa simpati dan perhatian.
- Positive Reinterpretation, respon dari suatu individu dengan cara merubah dan
mengembangkan dalam kepribadiannya, atau mencoba mengambil pandangan positif
dari sebuah masalah (hikmah),

- Acceptance, berserah diri, individu menerima apa yang terjadi padanya atau pasrah,
karena dia sudah beranggapan tiada hal yang bisa dilakukannya lagi untuk
memecahkan masalahnya.

- Denial (avoidance), pengingkaran, suatu cara individu dengan berusaha menyanggah


dan mengingkari dan melupakan masalah-masalah yang ada pada dirinya

B. Problem-Focused Coping

Coping ini bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar
sumber daya dan usaha untuk menghadapi stres. Lazarus dan Folkman (1986)
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan Problem Focused
Coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stressor yang ada dapat diubah.
Aspek-aspek yang digunakan individu, yaitu :

- Distancing , ini adalah suatu bentuk coping yang sering kita temui, yaitu usaha untuk
menghindar dari permasalahan dan menutupinya dengan pandangan yang positf, dan
seperti menganggap remeh/lelucon suatu masalah .

- Planful Problem Solving, atau perencanaan, individu membentuk suatu strategi dan
perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan tindakan yang
teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis.

- Positive Reapraisal, yaitu usah untuk mencar makna positif dari permasalahan
dengan pengembangan diri, dan stategi ini terkadang melibatkan hal-hal religi.

- Self Control, merupakan suatu bentukdalam penyelesaian masalah dengan cara


menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam
mengambil tindakan.

- Escape, usaha untuk menghilangkan stress dengan melarikan diri dari masalah, dan
beralih pada hal-hal lain, seperti merokok, narkoba, makan banyak dll.
 Faktor yang mempengaruhi strategi koping individu (suwitra,2007) meliputi :

1. Usia : berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang
paling mengganggu. Usia dewasa lebih mampu mengontrol stress dibanding dengan
usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007). Indonesiannursing (2008)
memaparkan usia berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan,
masa depan dan pengambilan keputusan.

2. Jenis kelamin : wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap
stressor dibanding dengan pria, secara biologis kelenturan tubuh wanita akan
mentoleransi terhadap stres menjadi baik dibanding pria Siswanto, 2007). Jenis
kelamin sangat mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta
penggunaan koping dalam menghadapi masalah.

3. Tingkat pendidikan : Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena


stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan
terhadap stressor lebih baik (Siswanto, 2007). Pendidikan dapat mempengaruhi
seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam
memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin
banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

 Aspek-aspek koping

Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial
(Keliat, 1999) yaitu :

a. Reaksi Orientasi Tugas

Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntunan dan situasi stres secara
realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif. Misal :

1) Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi


rintangan untuk memuaskan kebutuhan.
2) Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumbersumber ancaman
baik secara fisik atau psikologis.

3) Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan, merubah tujuan


atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang.

2. Remaja

Pengertian Remaja atau istilah lain “Adolencent” yang berasal dari kata latin
“adolencere”, yang artinya tumbuh ke arah kematangan (Muss, dalam Sarwono
1994), kematangan disini tidak hanya kematangan fisik (pubertas) akan tetapi juga
mengarah kearah kematangan sosial psikologis antara lain menuju kedewasaan
dan kemandirian.

Masa remaja atau adolescence diartikan sebagai perubahan emosi dan perubahan
sosial pada masa remaja. Masa remaja menggambarkan dampak perubahan fisik,
dan pengalaman emosi yang mendalam. Masa remaja adalah masa yang penuh
dengan gejolak, masa yang penuh dengan berbagai pengenalan dan petualangan
akan hal-hal yang baru termasuk pengalaman berinteraksi dengan lawan jenis
sebagai bekal manusia untuk mengisi kehidupan mereka kelak (Nugraha &
Windy, 1997).

3. Perceraian

Pengertian Menurut Fisher (1974), Perceraian terjadi jika selalu diikuti oleh konflik
yang semakin menimbulkan ketegangan antar pasangan suami istri yang merupakan
proses komplek yang mengawasi berbagai perubahan emosi dan psikologis.

Menurut Handoko (dalam Anas, 2004) perceraian bagi anak adalah “tanda kematian”
keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri” anak telah hilang, hidup tak akan sama
lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan
perasaan kehilangan yang mendalam.

 Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian

a. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga : Alasan tersebut di atas adalah alasan yang
paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami – istri yang akan bercerai.
Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis
akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum
sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.
b. Gagal komunikasi : Komunikasi merupakan hal terpenting dalam menjalin hubungan.
Jika Anda dan pasangan kurang berkomunikasi atau tidak cocok dalam masalah ini, maka
dapat menyebabkan kurangnya rasa pengertian dan memicu pertengkaran. Jika komunikasi
Anda dan pasangan tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin akan berujung pada perceraian.
c. Perselingkuhan : Selingkuh merupakan penyebab lainnya perceraian. Sebelum
melangkah ke jenjang pernikahan, ada baiknya Anda dan pasangan memegang kuat
komitmen dan menjaga keharmonisan hubungan.
d. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) : KDRT tidak hanya meninggalkan luka di
fisik tetapi juga psikis. Oleh karena itu kenalilah pasangan Anda sebaik mungkin sebelum
memutuskan menikah dengannya. Jangan malu untuk melaporkan KDRT yang Anda alami
pada orang terdekat atau lembaga perlindungan.
e. Krisis moral dan akhlak : Selain hal diatas, perceraian juga sering dilandasi krisis
moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri,
poligami yang tidak sehat, dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami
ataupun istri, misal mabuk, terlibat tindak kriminal.
f. Perzinahan : Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya
perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh
suami maupun istri.
g. Pernikahan tanpa cinta: Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna faktor
tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah
ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali pasangan tersebut
tidak mengalami kecocokan. Selain itu, alasan inilah yang kerap dikemukakan oleh suami
dan istri, untuk mengakhiri sebuah perkawinan yakni bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah
pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya,
juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan
yang terbaik.
h. Pernikahan dini : Menikah di usia muda lebih rentan dalam hal perceraian. Hal ini
karena pasangan muda belum siap menghadapi berbagai kesulitan dalam kehidupan
pernikahan dan ego masing-masing yang masih tinggi.
i. Masalah ekonomi : Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa
kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga
seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih
apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan yang menyebabkan pasangan dianggap
tidak mampu memenuhi kebutuhan materi keluarga, sehingga memutuskan untuk
meninggalkannya.
j. Perubahan budaya Zaman semakin modern, jika dahulu perceraian dianggap hal yang
tabu sekarang ini telah menjadi tren dan gaya hidup banyak pasangan.
k. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan: Dalam sebuah perkawinan pasti tidak
akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal
yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara
otomatis akan disusul dengan pisah ranjang.
l. Keturunan : Anak memang menjadi impian bagi tiap pasangan, tetapi tidak semua
pasangan mampu memberikan keturunan, salah satu penyebabnya mungkin kemandulan pada
salah satu pasangan tersebut, sehingga menjadikan sebuah rumah tangga menjadi tidak
harmonis.

Tidak semua remaja beruntung dapat memiliki sebuah keluarga yang utuh. Hal ini
terkait dengan fakta bahwa tidak ada kehidupan pernikahan yang bebas dari masalah.
Berbagai perbedaan pasti akan muncul mengingat pernikahan dibangun oleh dua
individu yang berbeda. Jika suatu pernikahan tidk memiliki fondasi yang kuat, tidak
jarang masalah yang muncul akan berakhir pada perceraian.

Remaja yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala stress serta


kehilangan nafsu makan. Beberapa penelitian mengungkapkan dampak lain dari
perceraian diantaranya adalah banyak kehilangan perasaan kasih sayang,menunjukan
gejala-gejala depresi dan sering terlibat dalam pelanggaran aktivitas sosialnya. Masa
remaja merupakan periode yang dipandang sebagai masa yang penuh dengan “badai
dan tekanan”. Pada tahap perkembangan ini,ketegangan emosi remaja meningkat. Hal
ini dikarenakan remaja sedang menghadapi tekanan sosial dan situasi serta kondisi yang
baru(Hurlock,1997). Pada saat remaja berada dalam situasi yang berubah setelah
erceraian orangtuanya,mau tidak mau mereka dituntut untuk mampu beradaptasi.
Mereka berusaha menyesuaikan diri dalam situasi baru setelah orangtuanya bercerai
melalui perilaku mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu kemampuan untuk
mengatasi permasalahan atau strategi koping. Reaksi setiap orang berbeda dalam
menghadapi stress,maka strategi koping yang dilakukan akan berbeda pada setiap
individu.

BAB III

KERANGKA KERJA PENELITIAN

Faktor yang menyebabkan Strategi/mekanisme koping


perceraian : stress :
1. Ketidakharmonisan - Emotional focused
dalam rumah tangga
coping
2. Perselingkuhan
- Problem focused
3. Kekerasan dalam rumah
coping
tangga
4. Masalah ekonomi
Dependen

Independen

Faktor-faktor yang
mempengaruhi koping
:
- Umur
- Jenis kelamin
- Tingkat
pendidikan

Hipotesis :

Ha : ada dampak broken home (perceraian orangtua) terhadap mekanisme koping remaja

Ho : tidak ada dampak broken home (perceraian orangtua) terhadap mekanisme koping
remaja
Definisi operasional

a. Coping stress

Adalah kemampuan yang dimiliki oleh semua remaja yang dimungkinkan mengalami stress
atau tekanan yang ditunjukkan dengan pemilihan strategi yang tepat dengan menyusun suatu
rencana yang digunakan untuk mengalami stress,dengan cara mengendalikan emosi. Dapat
dilakukan dengan cara problem focused coping yaitu konfrontasi,mencari dukungan sosial
dan merencanakan pemecahan masalah. Sedangkan pengendalian emoso atau emotion
focused coping dapat dilakukan dengan cara mengontrol diri,membuat jarak,penilaian
kembali masalah sscara positif,menerima tamggung jawab dan penghindaran.
DAFTAR PUSTAKA

Marilyn,dkk. (2010). Buku ajar keperawatan keluarga:riset,teori&praktik. Jakarta.


Kedokteran EGC

Mubarokah, lailatul. 2010. Gambaran koping stress remaja dengan orangtua bercerai di SMA
muhammadiyah yogyakarta. Yogyakarta http://digilib.unisayogya.ac.id/1760/1/NASPUB.pdf

Setiadi. (2008). Konsep dan proses keperawatan keluarga. Yogyakarta. Graha Ilmu

Susanto,tantut. (2012). Buku ajar keperawatan keluarga:aplikasi teori pada praktik asuhan
keperawatan keluarga. Jakarta. Cv trans info media

Winda, dwi. 2014. Penerimaan diri dan strategi koping remaja korban perceraian orangtua.
Samarinda http://ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2014/03/JURNAL%20DWI%20WINDA%20(03-04-14-11-11-52).pdf

http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-3264-bab1.pdf
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. DESIGN PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan one group pretest-postest design yaitu penelitian
yang menggambarkan 1 kelompok 1 subyek serta melakukan pengukuran sebelum
dan setelah perlakuan pada subyek. Perbedaan kedua hasil pengukuran dianggap
sebagai efek perlakuan(saryono,2008)

B. TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RW 015 kelurahan sentosa Jakarta.Dengan alasan ditemukan
kasus penyimpangan perilaku remaja akibat perceraian orangtua.

C. WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada tanggal 15-28 november 2017

D. POPULASI DAN SAMPLE


Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah sebagian remaja RW 015 kelurahan sentosa
Jakarta yakni sebesar 80 orang. Responden yang akan diteliti adalah remaja yang
mengalami penyimpangan perilaku.
Sample
Dalam pengambilan sample ini menggunakan cara purposive sampling yaitu suatu
teknik pengambilan sample yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang
dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Notoadmodjo,2010). Untuk kriteria sample yang diambil
adalah sebagai berikut :
b. Klien dengan perilaku menyimpang
c. Jenis kelamin wanita dan pria
d. Klien berusia 15-20 tahun
e. Klien warga RW 015
Untuk mencari standar deviasi dari populasi yang ada,maka digunakan rumus:
SD = √ n( pxq)
SD = standar deviasi
N = jumlah populasi
P = probabilitas yang diinginkan
Q = (p-1)
SD = √ 80(0,5−0,5)
SD = √ 80(0,25)
SD = √ 20
SD = 4,47

E. PENGUMPULAN DATA(ALAT DAN CARA)


1. Alat penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan kuesioner. Kuesioner terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup.
Pertanyaan terbuka yaitu tentang demografi pasien seperti umur,jenis
kelamin,pendidikan dan pekerjaan. Lembar kuesioner diambil berdasarkan
jawaban yang benar disusun atas skala Likert. Data analisa dengan uji T
dependen. Dimana hasil uji T tersebut ada pengaruh penyuluhan terhadap tingkat
coping stress remaja,jika nilai kurang dari nilai mean dan tidak ada pengaruh
penyuluhan terhadap tingkat coping stress remaja jika mean dengan nilai p<0,05.
2. Cara pengumpulan data
Adapun prosedur pengumpulan data sebagai berikut :
1. Peneliti mengajukan surat permohonan izin kebagian akademis FIK UMJ,jika
telah disetujukan/disahkan
2. Peneliti menyerahkan surat izin penelitian dari FIK UMJ ke Bapak RW atau
tokoh masyarakat yang berkepentingan
3. Peneliti melakukan pendekatan kepada calon responden untuk memberikan
penjelasan tentang tujuan,manfaat dan prosedur penelitian.
4. Peneliti mempersilahkan calon responden untuk menandatangani lembar
persetujuan(informed consent) menjadi responden
5. Peneliti memberikan penjelasan seputar penelitian yang dilakukan dan cara
pengisian kuesioner. Responden diberi kesempatan untuk bertanya bila ada
pertanyaan kuesioner yang belum jelas atau tidak dipahami.
6. Peneliti melakukan pengukuran tingkat kemandirian sebelum diberikan
penyuluhan tentang coping remaja dalam menghadapi perceraian orangtua
kepada responden yang dipilih sebagai sampel penelitian dengan cara mengisi
kuesioner.
7. Peneliti membagikan kuesioner dan peneliti berada di didekat responden
selama kegiatan pengisian kuesioner jika ada yang belum jelas responden
dapat langsung menanyakan kepada peneliti
8. Peneliti mengumpulkan kembali kuesioner setelah semua diisi oleh responden
9. Peneliti memberikan penyuluhan tentang coping remaja terhadap perceraian
orangtua selama 15 hari
10. Setelah berapa lama peneliti melakukan pengukuran kembali terhadap koping
remaja dengan mengisi kembali kuesioner penelitian
11. Peneliti mengakhiri pertemuan dengan responden dan memberikan ucapan
terimakasih kepada responden atas kerjasamanya sebagai partisipatif
penelitian.
F. ETIKA PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian ini,peneliti mendapat rekomendasi dari PSIK FIK UMJ
dan permintaan izin ke RW kelurahan sentosa. Menurut Notoatmodjo(2010),setelah
mendapat persetujuan,peneliti dapat melakukan penelitian dengan memperhatikan
etika penelitian sebagai berikut :
1. Informed Consent
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian
dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan
sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk
menjadi responden. Tujuannya adalah agar subjek mengerti maksud dan tujuan
penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia,maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia,maka peneliti
harus menghormati hak pasien.
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden,peneliti tidak mencantumkan nama pada
lembar pengumpulan data,cukup memberi nomor kode pada masing-masing
lembar tersebut.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan membeeikan jaminan kerahasiaan
hasil penelitian,baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua
informasi telah dikumpulakan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti,hanya
kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagi riset dan
responden berhak mengetahui hasil riset.

G. PENGOLAHAN DATA
Pengolahan data dilakukan pada saat pengumpulan data selesai. Data yang telah
terkumpul dalam bentuk lembar observasi yang telah diisi secara lengkap oleh
peneliti,yang meliputi :
1. Editing
Yaitu pengecekan lembar kuesioner tentang kelengkapan isian,kejelasan,relevansi
dan konsistensi jawaban yang diberikan.
2. Coding
Yaitu kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan.hal ini untuk memudaahkan pengolahan data statistik.
3. Scoring
Untuk memberikan nilai dari jawaban lembar quesioner yang telah dikembalikan
oleh responden. Hal ini untuk memudahkan pengelolaan data secara statistik.
4. Processing
Proses data yang dilakukan dengan cara mengentry data dari lembar observasi ke
paket program komputer.

5. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientri untuk melihat
ada kesalahan atau tidak.

H. ANALISIS DATA
1. Analisa univariat
Tujuan analisa ini untuk mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel
penelitian. Untuk data numerik digunakan nilai mean,median,standar
deviasi,minimal dan maksimal dengan 95% confident interval mean. Sedangkan
data kategorik dijelaskan dengan nilai jumlah dan persentase masing-masing
variabel dengan menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan data yang
sudah diperoleh.

2. Analisa bivariat
Analisa bivariat dilakukan dengan menggunakan uji T dependen. Menurut
sastroasmoro & ismail(2010) paired T test digunakan untuk membandingkan
mean kelompok (one group pre post test design) data kategorik dan numerik. Uji
ini digunakan untuk mengetahui coping stress remaja sebelum dan sesudah
diberikan penyuluhan.

Anda mungkin juga menyukai