Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN COPING STRESS

TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ANAK SULUNG


DI KELURAHAN X BOGOR

Naomi Revadani Setianingrum1, Anastasia Sri Maryatmi2

Universitas Persada Indonesia Y.A.I


Jl. Diponegoro no. 74, Jakarta Pusat
E-mail : naomireva16@gmail.com1, anasaocie@yahoo.com.au2

ABSTRAK

Psychological well-being adalah keadaan individu yang sejahtera dan mampu mencapai
potensi psikologis yang optimal. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan mengendalikan
diri, bertahan menghadapi frustasi dan kemampuan memotivasi diri, serta menggunakan emosi
secara positif dalam menghadapi orang lain. Coping stress adalah kemampuan individu dalam
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi tekanan, serta mampu memilih pemecahan
masalah yang sesuai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kecerdasan emosi dan coping stress terhadap psychological well-being pada anak sulung di
Kelurahan X Bogor. Sampel pada penelitian ini sebanyak 115 subjek dengan metode
pengambilan data menggunakan accidental sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala
psychological well-being (27 item, α = 0,886), skala kecerdasan emosi (29 item, α = 0,883) dan
skala coping stress (29 item, α = 0,930). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
positif antara psychological well-being dan kecerdasan emosi sebesar 0,293 dan terdapat
hubungan positif antara psychological well-being dan coping stress sebesar 0,608. Selanjutnya
hasil analisis data dengan multivariate correlation diperoleh koefisien korelasi Rx1x2y = 0,627
dan p = 0,000 (p<0,05). Hal ini menyatakan bahwa Ho3 ditolak dan Ha3 “Terdapat hubungan
antara kecerdasan emosi dan coping stress terhadap psychological well-being pada anak sulung
di Kelurahan X Bogor” diterima.

Kata Kunci : Kecerdasan Emosi, Coping Stress, Psychological Well-Being, Anak Sulung

ABSTRACT

Psychological well-being is the condition of an individual who is prosperous and able to


achieve optimal psychological potential. Emotional quotient is the ability to control yourself,
to withstand frustration and to motivate yourself, and to use your emotions positively in dealing
with others. Coping stress is the individual's ability to deal with and adapt to stressful
situations, as well as being able to choose appropriate problem solutions. The purpose of this
study was to determine the relationship between emotional quotient and coping stress on
psychological well-being in the eldest child in Sub-district X Bogor. The sample in this study
were 115 subjects with data collection methods using accidental sampling techniques. The
measuring instruments used were psychological well-being scale (27 items, α = 0.886),
emotional quotient scale (29 items, α = 0.883) and coping stress scale (29 items, α = 0.930).
The results showed that there was a positive relationship between psychological well-being
and emotional quotient of 0.293 and there was a positive relationship between psychological
well-being and coping stress of 0.608. Furthermore, the results of data analysis with

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 111


multivariate correlation obtained the correlation coefficient Rx1x2y = 0.627 and p = 0.000 (p
<0.05). This states that Ho3 is rejected and Ha3 "There is a relationship between emotional
quotient and coping stress on psychological well-being in the eldest child in Sub-district X
Bogor" accepted.

Keywords: Emotional Quotient, Coping Stress, Psychological Well-Being, Eldest Child

penguasaan lingkungan yang baik, otonomi,


hubungan positif dengan orang lain, memiliki
1. PENDAHULUAN makna dalam hidup, serta perasaan bahwa
dirinya terus berkembang (Ryff, 1995).
Kesejahteraan psikologis dapat dibentuk
Setiap keluarga sangat menantikan
dengan enam dimensi, yaitu, penerimaan diri
seorang anak, terlebih apabila anak tersebut
adalah anak pertama atau anak sulung dari (self-acceptance), pengembangan atau
pertumbuhan diri (personal growth), makna
keluarga tersebut. Orang tua dapat belajar cara
mengasuh dan menyayangi anak dari anak dan tujuan hidup (purpose in life), kualitas
hubungan positif dengan orang lain (positive
sulung, sehingga tidak diragukan lagi bahwa
relationship with others), kapasitas untuk
anak sulung mendapatkan cinta kasih dan
perhatian yang lebih besar dari keluarganya mengatur kehidupannya dan lingkungannya
secara efektif (environmental mastery), dan
dibandingkan dengan adik-adiknya. Sehingga,
kemampuan untuk menentukan tindakan
menjadi anak sulung merupakan peran yang
harus dijalani dengan kuat dan tahan banting. sendiri (autonomy). Menurut Perez (2000)
dalam usaha mencapai kesejahteraan psikologis
Karena begitu besar perhatian dan cinta kasih
tentunya terdapat beberapa faktor-faktor yang
yang diberikan kepada anak sulung, tidak
jarang mereka dipenuhi dengan tuntutan dan memengaruhi kesejahteraan psikologis, yaitu:
afektif, sosial, kognitif dan spiritual.
arahan yang beragam dari kedua orang tua dan
keluarga, dengan harapan bahwa mereka dapat
menjadi contoh dan teladan yang baik untuk Kondisi tekanan yang dialami oleh anak
sulung juga akan menimbulkan keadaan tidak
adik-adiknya juga menjaga nama baik keluarga.
seimbang dan tekanan psikologis dalam diri
Tuntutan-tuntutan yang diberikan dapat seseorang. Dalam keadaan tertekan umumnya
individu akan melakukan berbagai usaha untuk
menjadikan anak sulung menjadi kurang bebas
menguasai, meredakan atau menghilangkan
untuk mengekspresikan dirinya dan
mengembangkan bakat-bakatnya, yang berbagai tekanan yang dialaminya. Menurut
Parry (1992) berbagai usaha yang dilakukan
akhirnya memengaruhi bagaimana mereka
bersikap terhadap diri mereka terlebih terhadap individu tersebut dikenal dengan istilah coping.
Lazarus & Folkman (dalam Saptoto, 2010)
orang lain, berpikir dan menentukan kegiatan-
mengklasifikasikan coping menjadi dua bagian
kegiatan yang ingin mereka lakukan.
yaitu approach coping dan avoidance coping.
Berbagai faktor memengaruhi kemampuan
Arahan-arahan orang tua yang dianggap
coping, yaitu strategi coping stress, kesehatan
baik untuk kehidupan anak sulung yang mereka
sayangi, tidak hanya memberikan kemudahan fisik, karakteristik kepribadian, variabel sosial-
kognitif, dan hubungan dengan lingkungan
tetapi juga memberikan kesulitan dalam hidup
sosial (Smet, 1994).
yang dijalani oleh anak sulung tersebut.
Dukungan-dukungan yang diberikan adalah
Kecerdasan emosi adalah salah satu
salah satu bentuk kepercayaan kepada anak
faktor yang memengaruhi kemampuan coping,
sulung untuk menjalani kehidupannya sendiri.
karena menurut Goleman (1999) kecerdasan
emosi merupakan sisi lain dari kecerdasan
Kesejahteraan psikologis atau yang juga
kognitif yang berperan dalam aktivitas
dikenal dengan psychological well-being
adalah bagaimana individu menjadi sehat manusia.
secara psikologis, yang bukan hanya bebas dari
tekanan atau masalah-masalah mental, tetapi Salovey & Mayer (dalam Goleman,
1999) menggunakan istilah kecerdasan emosi
juga dapat memosisikan diri secara positif,

112 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


untuk menggambarkan sejumlah keterampilan Skala psychological well-being disusun
yang berhubungan dengan keakuratan penilaian mengacu pada aspek-aspek psychological well-
tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta being yang meliputi self acceptance, positive
kemampuan mengelola perasaan untuk relations with others, autonomy, environmental
memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan mastery, purpose of life, personal growth.
kehidupan. Goleman (1995) mengatakan Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek
bahwa individu yang baik akan memperoleh dalam skala ini maka menunjukkan semakin
dampak positif dalam berbagai aspek tinggi kesejahteraan psikologis pada subjek,
kehidupannya. dan sebaliknya bahwa semakin rendah skor
yang diperoleh subjek dalam skala ini
Coping stress dan kecerdasan emosi menunjukkan semakin rendah kesejahteraan
menjadi salah satu faktor penting yang harus psikologis pada subjek.
dimiliki oleh anak sulung untuk dapat mencapai
psychological well-being, agar anak sulung Kecerdasan emosi secara operasional
dapat mengambil tindakan-tindakan, diukur menggunakan skala kecerdasan emosi
mengetahui tujuan hidup, menerima diri dengan aspek-aspeknya yang disusun dengan
mereka dan menjalani hubungan sosial positif mengacu pada mengenali emosi diri, mengelola
yang berkualitas dengan orang lain. emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali
emosi orang lain dan membina hubungan.
Anak sulung tersebar luas di Indonesia, Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh subjek
Kelurahan X adalah salah satu kelurahan yang dalam skala ini, maka semakin tinggi juga
berada di Bogor yang memiliki penduduk kecerdasan emosi yang ia punya, dan
sebanyak kurang lebih 23.000 jiwa. Seluruh sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh
orang tua selalu menginginkan yang terbaik oleh subjek dalam skala ini maka semakin
untuk anak-anaknya, termasuk orang tua yang rendah pula kecerdasan emosi yang dimiliki
berada di Kelurahan X. Tidak sedikit anak-anak oleh subjek.
yang berada di Kelurahan X menjadi sukses
dalam pendidikan dan pekerjaan yang mereka Coping stress diukur dengan
jalani. menggunakan skala coping stress yang disusun
mengacu pada aspek-aspek coping stress yang
Melihat fenomena di atas peneliti meliputi problem focused coping dan emotional
memutuskan untuk meneliti hubungan antara focused coping. Dapat dikatakan bila subjek
kecerdasan emosi dan coping stress terhadap mendapat skor yang tinggi pada skala ini, maka
psychological well-being pada anak sulung di semakin tinggi pula coping stress yang
Kelurahan X Bogor. dimilikinya, sebaliknya jika subjek
mendapatkan skor rendah pada skala ini, maka
Mengacu pada rumusan masalah tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah juga
maka tujuan dari penelitian ini adalah: (a) coping stress yang dimiliki subjek.
Untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan
emosi terhadap psychological well-being pada Populasi dan Sampel
anak sulung di Kelurahan X Bogor. (b) Untuk Dalam penelitian ini adalah anak sulung
mengetahui hubungan antara coping stress yang tinggal di Kawasan Kelurahan X Bogor.
terhadap psychological well-being pada anak Dalam penelitian ini besar populasi tidak
sulung di Kelurahan X Bogor. (c) Untuk diketahui jumlahnya. Maka dari itu, peneliti
mengetahui hubungan antara coping stress dan menggunakan teknik incidental sampling, di
kecerdasan emosi terhadap psychological well- mana sampel terkumpul sejumlah 115
being pada anak sulung di Kelurahan X Bogor. responden.

Metode Pengumpulan Data


2. METODOLOGI
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
Definisi Operasional dengan menggunakan skala psikologi.
Psychological well-being akan diukur Skala yang dimaksud dalam penelitian ini
menggunakan skala psychological well-being. adalah skala likert.

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 113


Dari hasil tryout diperoleh hasil pada dimiliki, kualitas hubungannya dengan
skala psychological well-being dinyatakan 27 orang lain dan apakah mereka merasa
item valid dan 9 item gugur, pada skala mempunyai kendali dengan hidupnya
kecerdasan emosi dinyatakan 29 item valid dan sendiri.
7 gugur, serta pada skala coping stress
dinyatakan 29 item valid dan 3 item gugur.
Ryff (1989) merumuskan konsepsi
psychological well-being yang merupakan
Metode Analisis Data integrasi dari teori-teori perkembangan
Metode yang digunakan untuk menguji manusia, teori psikologi klinis, dan
hipotesis dan menganalisis data dalam konsepsi mengenai kesehatan mental (Ryff,
penelitian ini adala Bivariate Correlation dan 1989).
Multivariate Correlation dengan teknik
komputerisasi dengan menggunakan program Berdasarkan teori-teori tersebut, Ryff
Statistical Product and Service Solution (SPSS)
version 25.0 for Mac.
(1989) mendefinisikan psychological well-
being sebagai sebuah kondisi di mana
individu memiliki sikap yang positif
3. LANDASAN TEORI terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat
membuat keputusan sendiri dan mengatur
Psychological Well-Being tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan
Peningkatan minat dalam penelitian- dan mengatur lingkungan yang kompatibel
penelitian mengenai psychological well- dengan kebutuhannya, memiliki tujuan
being didasari oleh kesadaran bahwa ilmu hidup dan membuat hidup mereka lebih
psikologi, sejak awal pembentukannya, bermakna, serta berusaha mengeksplorasi
lebih menaruh perhatian dan pemikiran dan mengembangkan dirinya.
pada rasa ketidak-bahagiaan dan gangguan-
gangguan psikis yang dialami manusia Sehingga dapat disimpulkan bahwa
daripada menaruh perhatian pada faktor- kesejahteraan psikologis adalah keadaan di
faktor yang dapat mendukung dan mana individu mampu menerima keadaan
mendorong timbulnya positive functioning dirinya secara positif, baik keadaan yang
pada diri manusia (Diener, 1984; Jahoda, sedang dijalaninya saat ini maupun
1958, dalam Ryff, 1995). pengalaman hidupnya termasuk
pengalaman yang dianggapnya tidak
Ryff dan Keyes (1995) memberikan menyenangkan dan menerima semua itu
gambaran yang lebih komprehensif sebagai bagian dari dirinya.
mengenai apa itu psychological well-being
dalam pendapatnya di Ryff & Keyes, Psychological well-being merupakan
(1995, hal 725), yaitu comprehensive suatu konsep yang berkaitan dengan apa
accounts of psychological well-being need yang dirasakan individu mengenai aktivitas
[to] probe people’s sense of whether their dalam kehidupan sehari-hari serta
lives have purpose, whether they are mengarah pada pengungkapan perasaan-
realizing their given potential, what is the perasaan pribadi atas apa yang dirasakan
quality of their ties to others, and if they feel oleh individu sebagai hasil dari pengalaman
in charge of their own lives. hidupnya.

Berdasarkan kutipan di atas, dapat Enam dimensi psychological well-


disimpulkan bahwa Ryff dan Keyes (1995) being yang merupakan inti dari teori-teori
memandang psychological well-being positive functioning psychology yang
berdasarkan sejauh mana seorang individu dirumuskan oleh Ryff (dalam Ryff, 1989;
memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah Ryff dan Keyes, 1995) yang mengacu pada
mereka menyadari potensi-potensi yang Maslow, Rogers, Jung dan Allport adalah

114 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


penerimaan diri (self-acceptance), dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan
hubungan positif dengan orang lain emosi menuntut penilikan perasaan untuk
(positive relations with others), otonomi belajar mengakui, menghargai perasaan
(autonomy), penguasaan lingkungan pada diri dan orang lain serta
(environmental mastery), tujuan hidup menanggapinya dengan tepat, menerapkan
(purpose in life) dan pertumbuhan pribadi secara efektif energi emosi dalam
(personal growth). kehidupan sehari-hari. Di mana kecerdasan
emosi juga merupakan kemampuan untuk
Kecerdasan Emosi menggunakan emosi secara efektif untuk
Istilah “kecerdasan emosional” mencapai tujuan untuk membangun
pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 produktif dan meraih keberhasilan.
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University Kemampuan untuk memahami dan
of New Hampshire untuk menerangkan mengatur orang lain untuk bertindak
kualitas-kualitas emosional yang bijaksana dalam menjalin hubungan,
tampaknya penting bagi keberhasilan. meliputi kecerdasan interpersonal dan
Salovey dan Mayer medefinisikan kecerdasan intrapersonal disebut dengan
kecerdasan emosional atau yang sering kecerdasan emosi (Thorndike, dalam
disebut EQ (Emotional Quotient) sebagai Goleman 2002). Kecerdasan interpersonal
himpunan bagian dari kecerdasan sosial adalah kecerdasan untuk kemampuan
yang melibatkan kemampuan memantau memahami orang lain, sedangkan
perasaan sosial yang melibatkan kecerdasan intrapersonal adalah
kemampuan pada orang lain, memilah- kemampuan mengelola diri sendiri
milah semuanya dan menggunakan (Mangkunegara, 2005).
informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan (Yulisubandi, 2009). Kesimpulan yang dapat diperoleh
mengenai pengertian kecerdasan emosi
Secara etimologi kecerdasan berasal adalah kecerdasan emosional atau yang
dari bahasa Inggris intelligence yaitu biasa dikenal dengan EQ (emotional
kemampuan untuk memahami keterkaitan quotient) adalah kemampuan seseorang
antara berbagai hal, kemampuan untuk untuk menerima, menilai, mengelola, serta
mencipta, memperbaharui, mengajar, mengontrol emosi dirinya dan orang lain di
berpikir, memahami, mengingat, sekitarnya. Individu yang memiliki
merasakan dan berimajinasi, memecahkan kecerdasan emosional yang baik, akan
permasalahan dan kemampuan untuk membentuk generasi yang berpendidikan
mengerjakan berbagai tingkat kesulitan. berkarakter.

Kecerdasan emosional sangat Kecerdasan emosional terbagi dalam


dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat beberapa aspek kemampuan yang
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. membentuknya. Aspek-aspek kemampuan
Untuk itu peranan lingkungan terutama yang membentuk kecerdasan emosional
orang tua pada masa kanak-kanak sangat tidak seragam untuk setiap ahli, tergantung
mempengaruhi dalam pembentukan dari sudut pandang pembahasan. Goleman
kecerdasan emosional. (2000) menyatakan bahwa secara umum
ciri-ciri seseorang memiliki kecerdasan
Menurut Cooper dan Sawaf (1999), emosi adalah mampu memotivasi diri
kecerdasan emosi adalah kemampuan sendiri, bertahan menghadapi frustasi,
merasakan memahami dan secara efektif mengendalikan dorongan hati dan tidak
menerapkan daya dan kepekaan emosi melebih-lebihkan kesenangan, mengatur
sebagai sumber energi, informasi, koreksi suasana hati dan menjaga agar beban stres

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 115


tidak melumpuhkan kemampuan berpikir coping sebagai fokus masalah (problem
serta berempati dan berdoa. Aspek-aspek focused coping) atau coping sebagai fokus
kecerdasan emosi menurut Goleman (2000) emosional (emotional focused coping).
adalah mengenali emosi diri, mengelola Strategi coping berfokus masalah bertujuan
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali untuk mengubah atau menghilangkan
emosi orang lain, dan membina hubungan. sumber stres, sedangkan strategi coping
berfokus emosi memfokuskan pada
Coping Stress penyesuaian respons emosional yang
Coping stress menurut Lazarus dan ditimbulkan oleh situasi stres (Skinner,
Folkman (1984) adalah suatu proses di Edge, Altman & Sherwood, 2003).
mana individu mencoba untuk mengelola
jarak yang ada antara tuntutan jarak yang Dari penjelasan di atas dapat
ada antara tuntutan, baik tuntutan yang disimpulkan bahwa coping adalah usaha
berasa dari individu maupun tuntutan yang dan upaya yang dilakukan individu untuk
berasal dari lingkungan, dengan sumber- melindungi diri, menangani, dan mencegah
sumber daya yang mereka gunakan dari situasi yang dianggap membebani atau
menghadapi situasi stressful (dalam Smet, mengancam dirinya.
1994).
Lazarus dan Folkman (1984)
Menurut Sarafino (2006) coping menyatakan aspek-aspek kemampuan
stress adalah proses di mana individu coping stress diambil dari dua bagian
melakukan usaha untuk mengatur situasi strategi coping, yaitu problem focused
yang dipersepsikan adanya kesenjangan coping (berfokus masalah) terdiri dari
antara usaha dan kemampuan yang dinilai coping aktif, perencanaan, pembatasan
sebagai munculnya situasi stress. aktivitas, penundaan, dan pencarian
dukungan sosial untuk mendapatkan
Coping stress adalah bagaimana bantuan, sedangkan emotional focused
reaksi seseorang ketika menghadapi stres coping (berfokus emosi) terdiri dari
ataupun tekanan (Siswanto, 2007). Coping pencarian dukungan sosial untuk alasan-
yaitu proses untuk menata tuntutan yang alasan yang emosional, penginterpretasian
dianggap membebani atau melebihi kembali secara positif, penerimaan,
kemampuan sumber daya individu (Lazarus pengingkaran, dan pengalihan ke agama
& Launier, dalam Taylor, 2009). Coping (dalam Smet, 1994).
merupakan perubahan kognitif dan perilaku
secara konstan dalam upaya untuk Lazarus & Folkman (1986)
mengatasi tuntutan internal dan atau mengidentifikasi strategi problem focused
eksternal khusus yang melelahkan atau maupun emotional focused dalam beberapa
melebihi sumber individu (Folkman & bentuk coping, yaitu : problem focused
Lazarus dalam Krohne, 2002). coping terdiri dari planful problem solving,
confrontive coping, seeking social support
Teori mengenai strategi coping secara dan emotional focused coping yang terdiri
lebih komprehensif dijelaskan oleh Lazarus dari accepting responsibility, distancing,
dan Folkman (1984) yang secara umum escape-avoidance, self-control, dan
mengemukakan bahwa strategi coping positive reappraisal. Berbagai jenis coping
terdiri dari usaha yang bersifat kognitif dan ini dijadikan acuan dalam pembuatan skala
behavioural. Ada beberapa cara untuk Ways Of Coping yang dikembangkan oleh
mengkategorikan strategi coping yang Lazarus (1985).
digunakan individu ketika menghadapi
stres. Salah satu kategorisasi yang paling
umum adalah mengklasifikasikan strategi

116 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020


Hipotesis dan Ha3 “Terdapat hubungan antara kecerdasan
Ha1 : Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dan coping stress dengan psychological
emosi dengan psychological well-being well-being pada anak sulung di Kelurahan X,
pada anak sulung di kelurahan X Bogor. Bogor” diterima. Koefisien determinasi atau R2
(R square) sebesar 0,393 yang berarti bahwa
kecerdasan emosi dan coping stress
Ha2 : Terdapat hubungan antara coping
memberikan kontribusi sebesar 39,3% terhadap
stress dengan psychological well-being psychological well-being anak sulung,
pada anak sulung di kelurahan X Bogor. selebihnya sebesar 100%-39,3%=60,7%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
Ha3 : Terdapat hubungan antara kecerdasan diteliti.
emosi dan coping stress dengan
psychological well-being pada anak sulung Penulis melakukan analisi regresi linear
di kelurahan X Bogor. dengan metode stepwise dengan tujuan untuk
mengetahui kontribusi dari masing-masing
variabel teradap variabel terikat. Berdasarkan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN hasil output stepwise diperoleh kontribusi
coping stress terhadap psychological well-
being sebesar 36,4% dengan hasil R square
Hasil uji analisis yang dilakukan dengan
sebesar 0,364. Sedangkan kontribusi
metode bivariate correlation, diperoleh nilai
kecerdasan emosi sebesar (39,3% - 36,4%) =
korelasi rx1y sebesar 0,293 dengan p = 0,001, p
2,9%. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi
< 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Ho1 yang
efektif coping stress dengan psychological
menyatakan “Tidak ada hubungan antara
well-being lebih besar dibandingkan dengan
kecerdasan emosi dan psychological well-being
kecerdasan emosi.
pada anak sulung di Kelurahan X, Bogor”
ditolak dan Ha1 yang berarti “Terdapat
hubungan antara kecerdasan emosi dan
5. KESIMPULAN
psychological well-being pada anak sulung di
Kelurahan X, Bogor” diterima. Sehingga dapat
disimpulkan adanya hubungan yang signifikan Berdasarkan hasil analisis data dan
dengan arah positif. pembahasan yang telah dijelaskan, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan
Berdasarkan hasil uji analisis yang positif yang signifikan antara kecerdasan
dilakukan dengan metode bivariate correlation, emosional dengan psychological well-being
diperoleh nilai korelasi rx2y sebesar 0,608 pada anak sulung di Kelurahan X Bogor. Hal ini
dengan p = 0,000, p < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat psychological
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang well-being anak sulung di Kelurahan X Bogor
positif. Oleh karena itu Ho2: “Tidak ada dapat ditingkatkan apabila individu memiliki
hubungan antara coping stress dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Lalu
psychological well-being pada anak sulung di terdapat hubungan positif yang signifikan
Kelurahan X, Bogor” ditolak dan Ha2: antara coping stress dengan psycological well-
“Terdapat hubungan antara coping stress dan being pada anak sulung di Kelurahan X Bogor.
psychological well-being pada anak sulung di Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
Kelurahan X, Bogor” diterima. psychological well-being anak sulung di
Kelurahan X Bogor dapat ditingkatkan apabila
Uji analisis ketiga dilakukan dengan individu memiliki coping stress yang tinggi.
metode multivariate correlation, diperoleh nilai
Rx1x2y sebesar 0,627 dan Rx1x2y2 sebesar 0,393 Serta terdapat hubungan yang signifikan
dengan p = 0,000, p <0,05. Hal ini antara kecerdasan emosional dan coping stress
membuktikan bahwa terdapat hubungan yang terhadap psychological well-being pada anak
signifikan. Oleh karena itu Ho3 “Tidak ada sulung di Kelurahan X Bogor dengan koefisien
hubungan antara kecerdasan emosi dan coping Rx1x2y = 0,627.
stress dengan psychological well-being pada
anak sulung di Kelurahan X, Bogor” ditolak

Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020 117


DAFTAR PUSTAKA Being. Journal of Personality and
Social Psychology, 57, 1069-1081
Cooper, C & Sawaf, A. (1999). Executive Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. (1995). The
EQ: Kecerdasan Emosional dalam Structure of Psychological Well-
Kepemimpinan dan Organisasi. Being Revisited. Journal of
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Personality and Social Psychology.
Folkman, S., & Lazarus, R. S. (1985). If it University of Wisconsin, Madison.
changes it must be a process: Study of Vol. 69, No.4, 719-727
emotion and coping during three Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. (1995). The
stages of a college examination. Structure of Psychological Well-
Journal of Personality and Social Being Revisited. Journal of
Psychology, 48, 150-170. Personality and Social Psychology.
Goleman, Daniel. (1995). Emotional University of Wisconsin, Madison.
Intelligence A Bantam Book. Vol. 69, No.4, 719-727
Universitas Michigan: Bantam Saptoto, Ridwan. (2010). Hubungan
Books. Kecerdasan Emosi dengan
Goleman, Daniel. (1999). Kecerdasan Kemampuan Coping Adaptif., Jurnal
Emosional. Terjemaan. Cetakan IX. Psikologi Volume 37, No. 1, Juni
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka 2010: 13 – 22. Yogyakarta: Fakultas
Utama. Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Goleman, Daniel. (2002). Working With Sarafino, E. P. 2006. Health Psychology:
Emotional Intelligence (terjemahan). Biopsychososial Interaction. Fifth
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Edition. New York: John Wiley &
Utama. Sons Inc.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Skinner, E., Edge, K., Altman, J., &
Coping and adaptation. In W. D. Sherwood, H. (2003). Searching for
Gentry (Ed.), The handbook of the structure of coping: A review and
behavioral medicine (pp. 282-325). critique of category systems for
New York: Guilford. classifying ways of coping.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Psychological Bulletin, 129, 216-269
Stress, appraisal, and coping. New Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan.
'York: Springer. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Mangkunegara, Anwar Prabu. (2005). Indonesia.
Perilaku dan Budaya Organisasi, Taylor, S. E. (2009). Health Psychology :
Bandung : Refika Aditama Seventh Edition. New York :
Pargament. K. I, Koenig. H. G & Perez. L. McGraw Hill.
(2000). The many methods of
religious coping: development and
initial validation of the RCOPE. J
Clin Psychology 56(4):519–543
Ryff, C. D. (1989). Happiness Is
Everything, Or Is It? Explorations on .
The Meaning of Psychological Well-

118 Jurnal IKRA-ITH Humaniora Vol 4 No 3 Bulan November 2020

Anda mungkin juga menyukai