Anda di halaman 1dari 12

WELL BEING

A. Latar Belakang

Di dalam kehidupan ini jika seseorang ditanya, apakah yang mereka inginkan.
Kebanyakan dari mereka akan mengatakan bahagia, keadaan dimana seseorang
merasakan perasaan senang, nyaman, dan gembira. Kebahagiaan akan menjadi suatu
prioritas utama untuk dicapai dalam kehidupan setiap orang. Kebahagian merupakan
hal yang tidak dapat dibayar, karena kebahagiaan merupakan perasaan senang yang
tidak dapat ditukar oleh apapun. Setiap orang memiliki tolak ukur tersendiri terhadap
suatu hal yangg membahagiakan bagi dirinya. Ryff (dalam Kartikasari, 2013)
happinnes atau well being merupakan suatu keadaan dimana individu mampu
memerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan
orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengantrol
lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi
dirinya secara berkelanjutan.

Kebahagian adalah hak setiap individu yang hidup didunia, tanpa


pengecualian pada kelompok minoritas apapun. Adanya stigma-stigma yang
mengungkap bahwa banyak dari individu yang merasa tidak bahagia dalam hidupnya.
Segala bentuk permasalahan pada dilema kehidupan membuat beberapa kelompok
tidak merasa bebas dalam mendapatkan kebahagian. Banyaknya perlakuan sosial
yang tidak mendukung sehingga mayoritas individu merasa tidak nyaman dalam
menjalani kehidupannya baik itu, permasalahan yang datang dari faktor internal
maupun eksternal, seperti: bronken home dalam rumah tangga, ketidakpuasan dalam
bekerja, kurangnya motivasi, kurangnya rasa percaya diri dan kurangnya rasa
menghargai antar sesama dan banyak lagi hal yang menghambat kebahagian seorang
individu.

Melihat permasalahan dalam lingkungan sosial yang sering dialami oleh


beberapa individu dan kelompok, maka timbul pertanyaan besar yang mendasari
beberapa penelitian dalam psikologi positif tentang bagaimana seseorang yang
memiliki berbagai macam permasalahan bisa memperoleh kebahagiaan atau well
being.

B. Pengertian Well Being

Well being adalah suatu konstruk yang kompleks menyangkut pengalaman


optimal dan pemfungsian. Konsep dari well being mengacu pada pemfungsian
psikologis yang optimal (dalam Sumule, 2008). Kosepsi well being dan fungsi
psikologis yang optimal (Ryan & Dec, dalam Taylor, 1988), terdapat dua paradigma
dan perspektif besar mengenai well being yang diturunkan dari dua pandangan filsafat
yang berbeda.

Pandangan pertama disebut hedonic, memandang bahwa tujuan hidup yang


utama adalah memandang kenikmatan secara optimal dan mencapai kebahagiaan.
Pandangan kedua adalah eudaimonic, Waterman (dalam Taylor, 1988)
mengemukakan bahwa konsepsi well being dalam pandangan eudaimonic
menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimonyaatau dirinya
yang sejati.

C. Psychological Well Being


1. Pengertian Psychological Well Being

Well being (kesejahteraan psikologis) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989
(dalam Snyder, 2007). Psychological well being merupakan salah satu konsep dari
psikologi positif. Ryff & Singer (dalam Snyder, 2007), secara singkat menyoroti
temuan empiris yang muncul dari kesejahteraan psikologis, diberikan penekanakana
pada dua poin utama yaitu :

a. Kesejahteraan diartikan sebagai pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan


batin individu yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya dalam konteks
kehidupan masyarakat.
b. Kesejahteraan diartikan sebagai konsekuensi untuk kesehatan dengan
mempromosikan peraturan yang efektif dari beberapa sistem fisiologis.

Menurut Ryff (dalam Snyder, 2007) psychological well being


merupakan keadaan dimana seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
untuk menjadi sehat secara psikologis. Psychological well being merupakan
realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu, dimana individu dapat
menerima kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu mebina
hubungan positif dengan orang lain, dapat menguasai lingukungannya dalam
arti memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki
tujuan hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.

2. Dimensi Psychological Well Being

Ryff (dalam Amawidyati) mengkronstruksikan psychological well being


dengan mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis, yaitu :

a. Penerimaan diri

Penerimaan diri disini berkaitan dengan penerimaan individu dengan


masa kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan adanya penilaian
positif atas kondisi dirinya sendiri. Sebuah konsep tradisional tentang
kesehatan mental menegaskan bahwa individu yang disesuaikan dengan baik
memiliki pandangan tentang diri yang mencakup kesadaran dan penerimaan
baik aspek positif dan negatif diri. Berbeda dengan penggambaran ini, Bukti
menunjukkan bahwa kebanyakan individu memiliki hal yang sangat positif
Pandangan diri (Shelley & Jonathon, dalam Amawidyati).
b. Hubungan positif dengan orang lain

Kemampuan untuk mencintai orang lain dipandang sebagai komponen


utama kesehatan mental. Psychological well being seseorang itu tinggi jika
mampu bersikap hagat dan percaya dalam hubungan dengan orang lain,
memiliki empati, afeksi, dan keintimn yang kuat, memahami pemberian dan
penerimaan dalam suatu hubungan antar pribadi.

c. Kemandirian

Kemandirian merupakan kemapuan individu dalam mengambil


keputusan sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berfikir
dan bersikap dengan cara yang benar, berprilaku sesuai dengan standar nilai
individu itu sendiri, dan mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.

d. Penguasaan lingkungan

Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu


berkompetensi mengatur lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks
terhadap aktivitas eksternal, menggunakan secara efektif kesempatan dalam
lingkungan, mampu memilih dan menciptakan konteks yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai individu itu sendiri.

e. Tujuan hidup

Kesehatan mental didefenisikan mencakup kepercayaan-kepercayaan


yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan
dan makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan
arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna.
f. Pengembangan pribadi

Merupakan perasaan mampu dalam melalui tahap-tahap


perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada
dalam dirinya, melakukan perbaikan dalam hidupnya dalam setiap waktu.

3. Kontribusi Psychological Well Being

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah


individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif,
mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan
kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain,
mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain,
mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan
mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, dalam Effendy, 2016).
Banyak penelitian yang meneliti bagaimana pentingnya kontribusi
Psychological well being dalam kehidupan. Dalam dunia pekerjaan dan
organisasi, Psychological well being memiliki hubungan yang signifikan
dengan kepuasan kerja dalam penelitian Wright dan Bonnet (dalam Afrianto)
karena ketika seseorang menilai lingkungan kerja sebagai lingkungan yang
menarik, menyenangkan, dan penuh dengan tantangan, maka ia akan merasa
bahagia dan menunjukan kinerja yang optimal. Judge dan Locke (dalam
Afrianto) menjelaskan hubungan yang saling mempengaruhi ini terjadi karna
well being yang dirasakan oleh individu mempengaruhi mereka dalam
mengumpulkan dan mengingat kembali informasi tentang pekerjaan mereka.
semakin tinggi psychological well being seseorang maka semakin tinggi pula
kepuasan kerja, dan semakin rendah psychological well being seseorang maka
semakin rendah pula kepuasan kerja.
Ketidakpuasan pada bentuk tubuh menurut Rosen dan Reiter (dalam
Kartikasari, 2013) adalah keterpakuan pikiran akan penilaian yang negatif
terhadap tampilan fisik dan adanya perasaan malu dengan keadaan fisik ketika
berada di lingkungan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Sujoldzic dan
Delucia (Kartikasari, 2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara BMI (Body Mass Indeks) dengan ketidakpuasan tubuh, antara body
image dengan kebiasaan diet, dan efek yang kuat dari body image pada semua
indikator kesehatan psikososial. Penelitian yang dilakukan oleh Eliana,
Markland, et al. (dalam Kartikasari, 2013) menyatakan bahwa investasi
disfungsional citra tubuh dapat merusak kesejahteraan pada perempuan yang
mengalami kelebihan berat badan. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Palmeira, et al. (dala Kartikasari, 2013) menunjukkan bahwa, selama
pengobatan (treatment) pada perilaku obesitas, perubahan yang signifikan dan
positif yang diamati adalah pada prediktor psikososial. Konstruksi ini
memberikan karakterisasi kesejahteraan pada peserta dan fungsi psikologis
yang paling terkait dari obesitas dan penelitian kesehatan psikologi. Jadi,
berdasakan dari kasus-kasus dalam penelitian ini terutama bagi para wanita,
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya memiliki
psychological well being pada wanita sehingga mampu menghargai dan
menerima fisik mereka.
D. Subjective Well Being
1. Pengertian Subjective Well-Being

Subjective well-being merupakan evaluasi atau penilaian terhadap


kehidupan individu, penilaian terhadap kepuasan hidupnya dan evaluasi
terhadap suasana hati dan emosi individu tersebut (Diener & Lucas, dalam
Effendy, 2016). Diener, Lucas dan Oishi (2009) mendefinisikan subjective
wellbeing atau kesejahteraan subjektif sebagai hasil evaluasi atau penilaian
seseorang secara kognitif dan afektif terhadap seluruh pengalaman hidup
seseorang. Evaluasi kognitif merupakan penilaian terhadap kepuasan hidup
seseorang dan evaluasi afektif merupakan respon emosional yang timbul dari
setiap pengalaman hidup seseorang. Kepuasan hidup terdiri dari kepuasan
hidup secara global dan kepuasan hidup dalam domain khusus, seperti
pendapatan, keluarga dan relasi sosial, pekerjaan, dan kesehatan. Kemudian,
respon emosional terdiri dari respon emosional positif misalnya perasaan
senang dan respon emosional negatif misalnya perasaan sedih atau cemas.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa subjective well-being adalah hasil evaluasi individu secara kognitif
(kepuasan hidup) dan afektif (positive & negative affect) terhadap seluruh
pengalaman hidup individu. Konsep subjective well-being sesuai dengan
perspektif atau pendekatan hedonic yang mendifinisikan sebagai hal yang
fundamental tentang memaksimalkan kenikmatan dan menghindari atau
meminimalkan sakit/pain.
2. Komponen-Komponen yang Membentuk Subjective Well-Being
Subjective well-being merupakan istilah umum untuk menggambarkan
tingkat kese-jahteraan pengalaman seseorang sesuai de-ngan evaluasi
subjektif dari kehidupannya (Diener & Ryan, dalam Khairat, 2015). Dimensi
dari subjective well-being mencakup dua, yaitu dimensi afektif berupa afek
positif dan afek negatif, serta dimensi kognitif yaitu kepuas-an hidup.
a. Dimensi afektif, mencerminkan sejumlah perasaan menyenangkan dan
tidak menyenangkan yang dialami individu dalam kehidupannya.
b. Dimensi kognitif, berupa evaluasi kognitif dari kepuasan berbagai domain
dalam kehidupan seseorang (Schimmack, dalam Khairat, 2015).
Oleh karena itu, dari konsep well-being dijelaskan bahwa subjective
well-being dikaitkan dengan pendekatan hedonic (Deci & Ryan, dalam
Khairat, 2015). Pendekatan hedonic menegaskan tentang pengalaman
subjektif dari kebahagiaan atau kesenangan, yang dikenal juga dengan
subjective well-being (SWB) yang terdiri dari komponen afektif (afek
positif dan negatif) dan kognitif atau kepuasan hidup (Mitchell, Vella-
Brodrick, & Klein, dalam Khairat, 2015).
3. Kontribusi Subjective Well Being

Teori top-down dari teori yang melandasi subjective well-being bahwa


individu memiliki pikiran yang positif dalam menafsirkan berbagai peristiwa
dalam hidupnya sehingga menimbulkan rasa bahagia dan kepuasan (Diener &
Ryan, dalam Khairat, 2015). Pikiran positif yang dimaksud dalam teori ini
berasal dari adanya kecenderungan yang melekat pada individu, yang dilihat
pada trait kepribadian, sikap, atau cara individu menginterpretasikan
pengalaman hidupnya (Compton, 2005). Self-esteem merupakan salah satu
variabel kepribadian yang cukup konsisten berkaitan dengan subjective well-
being. Hipotesis dari penelitian ini adalah self-esteem dan prestasi akademik
dapat memprediksi subjective well being remaja awal.
E. Well Being Theory

Well-Theory Theory adalah sebuah konstruksi kebahagiaan yang nyata


dan dapat diukur secara langsung. Teori kebahagiaan otentik adalah suatu
usaha untuk menjelaskan kebahagiaan yang nyata yang ditentukan oleh
kepuasan hidup. Yang mana memiliki rentang penilaian dari 1-10 dan
kemudian mereka menilai sudah mencapai angka berapa kepuasan hidup
mereka. Orang yang memiliki emosi yang positif, yang menganggap hidup
berarti, dan yang bahagia merupakan orang yang memiliki tingkat kepuasan
hidup yang paling tinggi.

Kesejahteraan sama seperti “cuaca” dan “kebebasan” yang dalam


strukturnya tidak ada ukuran tunggal yang dapat mendefenisikannya secara
mendalam. Kesejahteraan memiliki beberapa elemen pendukung yang
membawa kita menjauh dari monisme. Setiap elemen kesejahteraan harus
memiliki tiga sifat:
1. Berkontribusi pada kesejahteraan
2. Banyak yang menegjarnya demi kepentingan sendiri, tidak hanya untuk
mendapatkan elemen lain.
3. Didefenisikan dan diukur secara indepeden dari unsur-unsur lain (
ekslusivitas.

Adapun lima pilar PERMA sebagai high level of Well-being (dalam


Effendy, 2016) adalah:
1. Positive Emotion, adalah bagian esensial dari kesejahteraan/well being,
termasuk didalamnya ada kesenangan, keceriaan, kebahagiaan, dan lain-
lain yang merupakan bagian dari emosi positif.
2. Engagement, adalah fokus pada sesuatu yang dikerjakan dan benar-benar
merasa kesenangan dalam keterlibatan penuh dengan yang sedang
dikerjakan.
3. Relationship/Positive Relationship, setiap orang memerlukan orang lain
dan meningkatkan kesejahteraannya dengan membangun hubungan yang
kuat dengan keluarga, teman, ataupun tetangga.
4. Meaning, kehidupan menjadi terbaik jika dapat mendedikasikan lebih
besar pada hal lebih luas yang berdampak pada`orang lain, bukan hanya
pada diri sendiri, sehingga kehidupan menjadi lebih bermakna.
5. Accomplisment/Achievement¸adalah tujuan-tujuan yang dapat diperoleh,
baik tujuan kecil, sedang atau besar.
Pada lima dasar PERMA di atas tidak semua bisa dimasukkan secara
penuh dalam hedonic dan eudaemonic pada konsep subjective well-being.
Misal, positive emotion dan engagement dalam konsep flourishing dari
Seligman, yaitu PERMA tidak bisa sepenuhnya masuk pada hedonic maupun
eudaimonic.
F. Kesimpulan

Konsep dari well being mengacu pada fungsi psikologis yang optimal (dalam
Sumule, 2008). Kosepsi well being dan fungsi psikologis yang optimal(Ryan & Dec,
dalam Taylor, 1988), terdapat dua paradigma dan perspektif besar mengenai well
being yang diturunkan dari dua pandangan filsafat yang berbeda. Pandangan pertama
disebut hedonic, memandang bahwa tujuan hidup yang utama adalah memandang
kenikmatan secara optimal dan mencapai kebahagiaan. Pandangan kedua adalah
eudaimonic, Waterman (dalam Taylor, 1988) mengemukakan bahwa konsepsi well
being dalam pandangan eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk
hidup dalam dirinya yang sejati.

Psychological well being merujuk pada perasaan seseorang mengenai


aktivitas hidup sehari-hari. Dalam proses tersebut, terjadi fluktuasi pikiran dan
perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif,
misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup (Bradburn dalam Ryff &
Keyes,1995). Ryff (dalam Effendy, 2016) mendefinisikan psychological well being
sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan.

Konsep psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989.


Kesejahteraan psikis (psychological wellbeing) dapat dilihat dari 6 dimensi, yaitu self
acceptance, autonomy, interpersonal relation, environmental mastery, purpose in
life, dan personal growth. Individu yang memiliki psychological well-being yang
tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang
positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan
kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain,
mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain,
mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu
mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989 dalam Effendy, 2016).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa psychological well-being
merupakan persepsi individu terhadap pengalaman hidup dirinya. Well being ini
kemudian menjadi landasan hidup dan standarnya dalam menikmati hidup.
Sedangkan, Subjective well-being merupakan istilah umum untuk menggambarkan
tingkat kesejahteraan pengalaman seseorang sesuai dengan evaluasi subjektif dari
kehidupannya (Diener & Ryan, dalam Khairat, 2015). Dimensi dari subjective well-
being mencakup dua, yaitu dimensi afektif berupa afek positif dan afek negatif, serta
dimensi kognitif yaitu kepuas-an hidup.

Kemudian pada bagian well being theory kesejahteraan pada Psikologi Positif
dikembangkan oleh Martin Seligman dikenal dengan PERMA, yaitu positive
emotion, engagement, relationship, meaningfullness dan accomplishment (dalam
Effendy, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Aden Rahmat, dkk. Hubungan Antara Psychologicall well Being


(Kesejahteraan Psikologi) dengan Kepuasan Kerja pada PNS dinas Sosial
Provinsi Lampung. Jurnal Psikologi Universitas Bhayangkara.

Amawidyati, Sukma Adi Galuh & Muhana Sofiati Utami. Religiusitas dan
Psychologycal Well-Being pada Korban Gempa. Vol 34, No.2, 164-176.
Jurnal. Fakultas Psikologi UGM.

Diener, Ed. dkk. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Jurnal


University of Illnois at Urbana-Champign. Vol. 125, No. 22, 276-302.

Effendy, Nurlaila.2016. Konsep Flourishing dalam Psikologi Positif: Subjective Well


Being atau Berbeda ?. Universitas katolik Widy Mandala, Surabaya.

Kartikasari, Nina Yunita. 2013. Body Dissatisfaction terhadap Psychological Well


Being Pada Karyawati. Jurnal Fakultas Psikologi Malang. Vol.01, No.02.

Khairat, Masnida dan MG Adiyanti. 2015. Self-esteem dan Prestasi Akademik


sebagai Prediktor Subjective Well Being Remaja Awal. Journal of Psychology
UGM. Vol. 1, NO. 3.

Ryff, Carol’D. & Corel Lee M.Keyes. 1995. The Structure of Psychologica Well
Being pada Karyawati. Jurnal ilmiah psikologi terapan. Vol.01, No.02.

Snyder, C.R. & Shane J.Lopez. 2007. Positive Psychology : The Scientific and
Pratical Explorations Of Human Strengths. Sage Publications, lnc.

Taylor, Shelley E, & Jonathon D. Brown. (1988). Illusion and Well Being: A Social
Psychological Perspective on Mental Health. Journal by American
Psychological Association, 103(4), 193-210.

Anda mungkin juga menyukai