Makalah
“Konflik Dalam Keluarga”
Medan, 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kami rahmat kesehatan dan kesempatan. Sehingga kami bisa
menyusun atau menyelesaikan tugas Konseling Keluarga. Penulisan ini kami
sajikan secara ringkas dan sederhana sesuai dengan kemampuan yang kami miliki,
dan tugas ini disususun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Konseling Keluarga.
Dalam penyusunan tugas ini ada kekurangan, oleh karena itu kritik yang
membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan tugas ini,
dan dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak
yang telah membantu dan secara khusus kami berterimakasih kepada ibu Dosen
pengampu yaitu Dra. Nur Arjani, S. Pd., M.Pd. Dengan mata kuliah Konseling
Keluarga karena telah memberikan bimbingannya kepada kami untuk
menyelesaikan tugas ini hingga selesai.
Dan harapan kami semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Kelompok 1
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................2
3.1...................................................................................Kesimpulan 9
3.2............................................................................................Saran 9
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Defenisi Konflik
Konflik merupakan masalah yang dapat menyebabkan pertengkaran, perselisihan atau
benturan di antara kedua belah pihak, sehingga terjadi permusuhan. Jika konflik tidak
diatasi dengan sedini mungkin dan dengan solusi yang baik, maka akan menimbulkan
masalah yang jauh lebih parah dari pada sebelumnya.
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan
waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena
konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab
itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan
sosial.
Konflik sering kali terjadi dalam pernikahan, sehingga menyebabkan pertengkaran
dan perselisihan, apalagi pernikahan "pasang-an muda" selalu terjadi perbedaan-
perbedaan yang tidak dipahami dan tidak diklarifikasi dengan baik, maka menimbul-kan
konflik. Ada beberapa faktor penyebab konflik hubungan suami isteri.
Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber kemasyarakatan
(ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas. Dari berbagai pengertian
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan
pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai
sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan.
2
menantu dan mertua, dengan saudara ipar, dengan paman, dengan bibi atau bahkan
dengan sesama ipar/sesame menantu. Faktor yang membedakan konflik di dalam
keluarga dengan kelompok sosial yang lain adalah karakteristik hubungan didalam
keluarga yang menyangkut tiga aspek, yaitu: intensitas, kompleksitas dan durasi
(Vuchinich, 2003).
Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis hubungan yang
sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi. Keterikatan antara pasangan ,
orang tua-anak, atau sesama saudara berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan,
afeksi maupun komitmen. Ketika masalah yang serius muncul dalam hubungan yang
demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah
menjadi perasaan negatif yang mendalam juga. Penghianatan terhadap hubungan kasih
sayang, berupa perselingkuhan atau perundungan seksual terhadap anak, dapat
menimbulkan kebencian yang mendalam sedalam cimta yang tumbuh sebelum terjadinya
pengkhianatan.
Benci tapi rindu adalah sebuah ungkapan yang mewakili bagaimana pelik atau
kompleksnya hubungan dalam keluarga. Sebagai misal, seorang istri yang sudah
mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan melaporkan suaminya ke
polisi, bahkan masih mau setia mengunjungi suaminya di penjara dengan membawakan
makanan kesukaanya, atau seorang anak yang tetap memilih tinggal dengan orang tua
yang melakukan kekerasan daripada tempat yang lain. Hal ini dikarenakan ikatan emosi
yang positip yang telah dibangun lebih besardaripada penderitaan yang muncul karena
konflik.
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal. Orang tua akan
selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah mantan orang tua atau
mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan dari konflik keluarga seringkali
bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri
hubungan persaudaraan, misalnya berupa perceraian atau lari dari rumah (minggat) sisa-
sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas dan sulit dihilangkan.
Konflik di dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan dengan
konflik dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk, 2004). Misalnya penelitian Adam dan
Laursen (2001) menemukan bahwa konflik dengan orang tua lebih sering dialami remaja
bila dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya (Rafaelli, 1997) mengungkapkan bahwa
konflik dengan sibling meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kontak. Selain itu
jumlah waktu yang dihabiskan bersama lebih signifikan memprediksi konflik sibling
3
dibandingkan dengan factor usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan variabel
lainnya. Walaupun demikian penelitian Stocker Lanthier dan Furman (1997)
mengungkapkan bahwa meningkatnya interaksi sibling berasosiasi positip dengan
persepsi terhadap kehangatan. Oleh karena sifat konflik yang normative, artinya tidak
bisa dielakkan, maka vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung pada respon
masing-masing terhadap konflik.
4
dan Sri mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang secara signifikan
berhubungan dengan kesiapan menikah, yaitu usia saat menikah, tingkat kedewasaan
pasangan, waktu pernikahan, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk sexual
exclusiveness, dan tingkat pendidikan serta aspirasi pekerjaan dan derajat
pemenuhannya.
2.3.2. Hubungan Dengan Orang Tua
Hurlock (1998) mengatakan bahwa sering kali orang tua tidak memperbaiki
konsep tentang perkembangan psikososial yang dibutuhkan remaja, sehingga orangtua
masih memperlakukan siswa seperti ketika anak-anak yang selalu harus mematuhi
peraturan yang dibuat dengan persetujuan orangtua dan si anak harus mengikutinya.
Meskipun ada banyak sumber pertentangan antara siswa dan anggota-anggota
keluarga, tetapi ada sifat-sifat tertentu dalam hubungan keluarga yang baik bagi
remaja. Anak yang sudah siswa lebih mementingkan hubungan dengan teman sebaya
dari pada keluarganya. Hal tersebut juga sejalan dengan perubahan budaya dan
sebagian disebabkan karena kenyataan bahwa siswa sekarang memiliki banyak
kesempatan untuk berpendidikan.
Pada orang tua yang menetapkan keotoriteran pola asuh orangtua mempunyai
ciri kaku, tegas, suka menghukum, kurang kasih sayang serta kurang simpatik
(Stewart dan Koch, 1983). Hal ini berdampak pada anak remaja, seperti hasil
penelitian yang ditemukan oleh Lewin dkk., (dalam Gerungan, 1987) dan diteruskan
oleh Meuler (Gerungan, 1987), ditemukanhasil bahwa anak-anak yang diasuh oleh
orangtua otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah
segala-galanya pada pengasuhnya. Watson (1967), mengatakan bahwa disamping
sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan, dan mudah
putus asa, dan terhambat dalam motivasi berprestasinya. Baldin (dalam Gerungan,
1987) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang
berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan
dari orangtua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, giat, dan lebih
bertujuan.
2.3.3. Ekonomi dan Pendidikan
Ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor penentu berhasilan tidaknya
studi seseorang anak, karena persediaan sarana dan prasarana belajar dapat terpenuhi
apabila tingkat perekonomian keluarga cukup memadai. Semakin tinggi taraf ekonomi
keluarga seorang anak akan semakin mudah baginya melengkapi segala kebutuhan
5
belajar baik dirumah maupun disekolah, terutama biaya pendidikan karena semakin
tinggi pendidikan semakin tinggi pula biaya yang dibutuhkan.
Keberhasilan studi seorang anak sangat tergantung pada kemampuan
ekonominya, artinya bahwa melalui ekonomi itulah sehingga seseorang dapat
membiayai pendidikannya sejak sekolah dasar hingga ke Perguruan Tinggi, jadi
sangat jelas bahwa tanpa ekonomi dan keberhasilan pendidikan formal seseorang
tidak akan tercapai karena faktor pembiayaan dan harga kebutuan pendidikanlainya
semakin meningkat pula dan peningkatannyabiaya ini mengikuti jenjang pendidikan
yang ditempuh seseorang. Yang jelas semakin tinggi jenjang pendidikan yang
ditempuh seseorang akan semakin tinggi pula biaya yang dibutuhkan.
Berbagai cara yang ditempuh dalam rangka meningkatkan perekonomian
keluarga. Antara lain adalah berusaha atau bekerja baik pekerjaannya itu dengan cara
berniaga, pegawai swasta ataupun pegawai negri. Namun yang terpenting adalah
usaha yang dilakukan oleh setiap keluarga adalah penghsilan yang mereka peroleh
dalam memenuhi kebutuhan pokok dan keperluan pembiayaan pendidikan anak
mereka adalah penghasilan yang halal.
Proses pendidikan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan, yaitu lingkungan
pendidikan. Lingkungan ini mencakup lingkungan fisik, sosial, intelektual, dan lain-
lain. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat serta lingkungan-lingkungan kerja. Keluarga seringkali disebut sebagai
lingkungan pertama, sebab dalam lingkungan inilah pertama-tama anak mendapatkan,
pendidikan, bimbingan, asuhan, pembiasahan, dan latihan. Semua aspek kehidupan
masyarakat ada di dalam kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, sosial, politik,
keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan.
Pada hakikatnya tujuan pendidikan tidak terlepas dari pendidikan yang berada
didalam konteks kehidupan masyarakat, pendidikan adalah produk suatu masyarakat
tertentu. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat
yang memilikinya dan proses pendidikan mengandalkan nilai-nilai yang hidup
didalam masyarakat maka dengan sendirinya proses pendidikan adalah penghayatan
dan perwujudan nilai-nilai tersebut.
6
satu sama lain sebagaimana keduanya berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang.
Melalui pekerjaan, seseorang mengubah tidak hanya lingkungan namun juga dirinya,
memperkaya dan menumbuhkan hidup dan semangatnya. Sedangkan keluarga
dipandang sebagai hal yang pertama dan paling penting dalam human society.
Keluarga juga dikaitkan dengan kasih sayang dimana seseorang dapat
mengembangkan diri dan memperoleh pemenuhan dirinya, serta merupakan tempat
yang penting bagi sebuah kebahagiaan dan harapan.
Sedangkan pekerjaan adalah kondisi dan kebutuhan dasar bagi kehidupan
keluarga, dan pada sisi lain merupakan sekolah pertama bagi pekerjaan untuk setiap
orang. Jadi pekerjaan ditujukan bagi seseorang dan keluarga. Seberapa baik human
society dengan implikasinya pada bisnis dan perekonomian, tergantung pada keluarga
(Guitian, 2009).
Pembagian peran pekerjaan dan tugas keluarga dimasa lalu sangatlah jelas.
Dimana suami adalah pencari nafkah melalui pekerjaannya sedangkan istri merawat
keluarga dan anak-anak. Sejalan dengan perkembangan bisnis dan dunia usaha,
kesempatan menempuh pendidikan dan bekerja terbuka tidak hanya bagi lelaki namun
juga perempuan. Saat ini makin banyak perempuan yang bekerja di berbagai bidang
dan memiliki karir tersendiri.
2.3.5. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Rumah tangga tempat kekerasan sering berlangsung adalah wadah dari suatu
kehidupan penghuninya yang terdiri dari berbagai status, seperti suami-istri, orangtua,
anak-anak, orang-orang yang mempunyai hubungan darah, orang yang bekerja
membantu kehidupan rumah tangga bersangkutan, orang lain yang menetap, dan
orang yang masih atau pernah hidup bersama di sebuah rumah tangga. Sementara itu,
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab 1 Tentang
Ketentuan Umum Pasal 2 meliputi suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai
hubungan dengan suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat
universal karena dapat terjadi dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya,
agama, suku bangsa, dan umur pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi
7
dalam rumah tangga keluarga sederhana, miskin dan terkebelakang maupun rumah
tangga keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat
dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan masing-masing, atau terhadap
anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu mereka secara
berlainan maupun bersamaan. Perilaku merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan rumah tangga dengan sederetan akibat di belakangnya,
termasuk yang terburuk seperti tercerai-berainya suatu rumah tangga.
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari materi yang sudah dijabarkan di atas, kami menyimpulkan bahwa pengetahuan
mengenai konflik dalam keluarga terbatas. Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang
terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan
dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun
manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan,
kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya
yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat
diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang
terkecil hingga peperangan.
3.2. Saran
Saran yang kami berikan adalah dapat menjalin hubungan dan saling menciptakan
komunikasi dengan baik supaya tidak terjadi adanya kesalah pahaman dan kecurigaan
terhadap sesama pasangan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Guitian, Gregorio. 2009. “Conciliating Work and Family: a Catholic Social Teaching
Perspec- tive”. Journal of Business Ethic, 88: 513-524.
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hal 345.
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1998),hal.156
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal.99.
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Kencana
Prenada Media Group, 2005), hal 68.
Ma’ruf Zurayik, Aku dan Anakku, (Bandung : Al Bayan 1994), hal. 23
Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan Anak Prasekolah, (Jakarta : Rineka Cipta 2003), hal. 54
10