Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terdiri dari teori mengenai psychological well being, forgiveness,

gratitude, remaja, dan panti asuhan. Penjabaran teori ini dipaparkan dengan tujuan

sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

A. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Beberapa tahun terakhir tingkat depresi yang dialami oleh masyarakat

meningkat. Terutama pada masyarakat di usia – usia produktif. Salah satu faktor

seseorang memiliki tingkat depresi yang tinggi adalah psychological well-being

nya yang rendah. psychological well-being memang memiliki korelasi dengan

depresi. Sehingga menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki psychological

well-being yang rendah memiliki resiko untuk mengembangkan kekacauan.

Psychological well-being termasuk dalam kajian psikologi positif yang

diusung oleh Carol D. Ryff. Konsep dari psychological well-being berdekatan

dengan konsep eudaimonia (Ryff & Singer, 2008). Kata eudaimonia berasal dari

Yunani yaitu kebahagiaan, dimana kebahagiaan itu sendiri adalah suatu

pencapaian paling tinggi yang bisa dicapai oleh tindakan manusia.

Dalam Bahasa Indonesia, kesejahteraan psikologis diartikan sebagai

kesejahteraan manusia, yang diartikan sebagai keadaan sejahtera dalam segi

keamanan, keselamatan, ketentraman, dan kesehatan jiwa. Pengertian

kesejahteraan psikologis adalah didefinisikan sebagai suatu evaluasi positif


mengenai kehidupan seseorang yang diasosiasikan dengan diperolehnya perasaan

menyenangkan (Pinquart & Sorenson, 2000).

Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam

menerima diri apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain,

mandiri terhadap tekanan sosial, mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti

dalam hidup, serta merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu Ryff & Keyes

(1995).

Menurut Ryff (1989) psychological well being atau kesejahteraan psikologis

merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis

individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif.

Berdasarkan uraian teori-teori di atas dapat disimpulkan psychological well-

being sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif

terhadap dirinya sendiri, tidak bergantung kepada orang lain, memiliki tujuan

hidup serta sejahtera dari segala sisi.

2. Aspek Psychological Well-Being

Ryff (1989) menyebutkan bahwa aspek dari psychological well-being adalah

sebagai berikut :

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Penerimaan diri ialah suatu sikap menerima keseluruhan dirinya dalam hal

yang baik maupun buruk. Aspek ini berkaitan dengan penerimaan masa lalu dan

masa kini dengan sikap yang positif (Ryff, 1989). Penerimaan diri menjadi sifat

pokok dari kesehatan mental dan karakteristik dalam pandangan aktualisasi,

fungsi optimal diri, serta kematangan. Seseorang dengan penerimaan diri yang

tinggi, adalah orang yang memiliki sikap positif mengenai dirinya, sedangkan
seseorang dengan penerimaan diri yang rendah adalah orang yang rentan putus asa

terhadap dirinya, dan kecewa terhadap hal-hal yang terjadi di masa lalu.

b. Hubungan Positif Dengan Orang Lain (Positive Relations With Others)

Kategori teori perkembangan orang dewasa juga menekankan ketercapaian

dari hubungan yang akrab dengan orang lain (intimacy) serta adanya bimbingan

dan arah dari orang lain (generativity). Memiliki hubungan positif dengan orang

lain merupakan komponen penting dalam pengembangan percaya dan

berlangsung hubungan serta milik jaringan komunikasi dan dukungan. Pendekatan

yang tenang dan santai mencerminkan jatuh tempo, menyebabkan interaksi

ditingkatkan dan pertimbangan yang lebih baik dari orang lain. Sementara

hubungan yang baik menghasilkan pemahaman orang lain, hubungan yang buruk

dapat menyebabkan frustrasi. Kemampuan untuk memiliki hubungan manusia

yang baik adalah salah satu fitur kunci kesehatan mental dengan patologi sering

ditandai dengan penurunan fungsi sosial .

c. Kemandirian (Autonomy)

Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan

mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan cara

yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri dan

mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Penguasaan lingkungan adalah adaptasi untuk membuat lingkungan menjadi

nyaman bagi dirinya sendiri. Individu yang mampu menguasai lingkungan

memiliki kemampuan dalam mengelola lingkungan, mampu mengontrol situasi


eksternal yang kompleks, dapat memanfaatkan kesempatan yang efektif untuk

memiliki atau membuat konteks yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.

e. Tujuan Dalam Hidup ( Purpose In Life)

Tujuan hidup merupakan target atau rancangan masa depan dan pemaknaan

terhadap masa lalu. Individu yang mempunyai tujuan hidup ialah individu yang

mampu meresapi makna kehidupan di masa lalu dan saat ini, memegang

keyakinan dan memiliki maksud yang positif terhadap tujuan hidupnya. Individu

yang tidak memiliki tujuan hidup, akan merasa kehilangan dan cenderung ragu

dalam setiap mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu dalam hidupnya.

f. Pengembangan Pribadi (Personal Growth)

Pertumbuhan pribadi adalah kemampuan untuk mengembangkan dan

memperluas diri, untuk menjadi sepenuhnya berfungsi orang, untuk

mengaktualisasikan diri dan mencapai tujuan. Sebuah pertumbuhan pola pikir

memerlukan keterbukaan terhadap berbagai pengalaman baru dan beragam.

Pertumbuhan pribadi berpotensi menjadi dimensi kesejahteraan psikologis yang

paling dekat dengan eudemonia.

Aspek ini bernilai tinggi jika mempunyai firasat pengembangan, melihat dari

suatu pertumbuhan dan perkembangan, terbuka dengan pengalaman baru,

mempunyai perasaan merealisasikan potensinya, melihat peningkatan diri dan

perilaku dari waktu ke waktu, sedang mengubah dalam cara-cara yang

mencerminkan self-knowledge dan efektivitas. Sedangkan dimensi ini bernilai

rendah jika suatu perasaan dari stagnasi pribadi, kekurangan peningkatan atau

perluasan pengertian dari waktu ke waktu, merasakan tak tertarik dan bosan
dengan hidup, merasakan tidak mampu untuk mengembangkan perilaku atau

sikap baru.

Dayton et al (2001) beranggapan ada perbedaan antara aspek-aspek

kesejahteraan psikologis pada masyarakat barat dan asia, yaitu :

a. Harmony

Keharmonisan dalam bergaul dengan orang lain, seperti keluarga, teman, atau

tetangga. Bagi para orangtua, keharmonisan merupakan hal yang sangat penting

dalam keluarga agar tidak terjadi pertengkaran, terutama pada anak-anak mereka.

b. Interdependence

Perasaan saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain.

c. Acceptance

Penerimaan diri terhadap kehidupan, dimana dengan menerima, seseorang

akan lebih tenang dan damai.

d. Respact

Adanya rasa hormat dari orang lain. Apabila seseorang merasa dihormati

orang lain, maka hal ini akan memunculkan kesejahteraan psikologis.

Penghargaan atau rasa hormat menunjukkan bahwa keberadaan seseorang

dihargai dalam kelompok atau komunitas.

e. Enjoyment

Kemampuan seseorang dalam menikmati hidupnya secara keseluruhan.

Menikmati kehidupan daapt dilakukan dengan berbagai cara, bahkan pada hal-hal

kecil seperti berkumpul dan bercanda dengan keluarga lingkungan sekitar.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989) adalah penerimaan diri, hubungan


yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan

dalam hidup dan pengembangan pribadi. Sedangkan aspek-aspek kesejahteraan

psikologis menurut Dayton ialah harmony, acceptance, interdependence, respect,

dan enjoyment. Pada penelitian ini, peneliti memutuskan untuk menggunakan

teori dari Ryff (1989) karena aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang sudah

ditentukan, nampak pada fenomena di di dalam penelitian ini.

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang antara

lain :

a. Usia

Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi

perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being. Dalam penelitiannya,

Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan

dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama

dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan orang

lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi

tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring

bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga

dewasa akhir. Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang

signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga

dewasa akhir.

b. Jenis Kelamin
Berdasarakan penelitian Ryff dan Keyes (1995), disebutkan bahwa wanita

memiliki skor yang lebih tinggi pada aspek pertumbuhan pribadi dan aspek

hubungan positif dengan orang lain dibandingkan dengan pria.

c. Tingkat Sosial Ekonomi dan Pendidikan

Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi psychological well-being

seorang individu. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study

memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi wellbeing pada dewasa madya. Data

tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan

meningkatkan psychological well-being, terutama pada dimensi penerimaan diri

dan dimensi tujuan hidup (Ryff, 1994). Mereka yang menempati kelas sosial yang

tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu

mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan

mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

Tingkat pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

kesejahteraan psikologis, karena Individu yang memiliki tingkat pendidikan dan

mengenal lingkungan yang lebih baik, akan berdampak pada kesejahteraan

psikologis yang lebih baik.

d. Evaluasi Terhadap Pengalaman Hidup

Pengalaman hidup yang dialami seseorang baik itu pengalaman hidup positif

ataupun negatif dalam berbagai periode kehidupan mampu menjadi hal yang

berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu (Ryff, 1989). Interpretasi dan

evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh

Rosenberg (Ryff & Essex, 1992) dan dimensi-dimensi psychological well-being

digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu. Hasil penelitian ini


menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri ini berpengaruh pada psychological

well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan

hidup, dan hubungan yang positif dengan orang lain.

e. Budaya

Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan

Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor

yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang

rendah pada dimensi penerimaan diri. hal ini dapat disebabkan oleh orientasi

budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya,

responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan

pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden

pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun

wanita (Ryff, 1994).

f. Kepribadian

Schumutte dan Ryff (1997) melakukan penelitian mengenai hubungan antara

lima tipe kepribadian (the big five traits) dengan aspek-aspek kesejahteraan

psikologis. Hasilnya menunjukkan bahwa individu yang termasuk dalam kategori

extraversion, conscientiousness dan low neouroticism memiliki skor tinggi pada

dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan keberarahan hidup. Individu

yang termasuk dalam kategori openness to experience memiliki skor tinggi pada

dimensi pertumbuhan pribadi. Individu yang termasuk dalam kategori

agreeableness dan extraversion memiliki skor tinggi pada dimensi hubungan

positif dengan orang lain dan individu yang termasuk kategori low neuriticism

mempunyai skor tinggi pada dimensi ekonomi.


g. Dukungan Sosial

Dukungan sosial diartikan sebagai penghargaan, perhatian, dan rasa nyaman

yang diberikan oleh orang lain khususnya orang-orang terdekat dari individu.

Dukungan sosial yang tinggi turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis

seseorang.

h. Religiusitas

Dalam penelitian yang berjudul Religious Involvement Among Older African

Americans yang ditulis oleh Levin (Chatters & Taylor, 1994) ditemukan beberapa

hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama yang antara lain:

1. Doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah

pribadi,

2. Partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi

rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem,

3. Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor faktor yang

dapat mempengaruhi psychological well being adalah usia, jenis kelamin, evaluasi

terhadap pengalaman hidup, status sosial ekonomi dan pendidikan, budaya,

kepribadian, dukungan sosial, dan religiusitas.

B. Forgiveness

1. Definisi Forgiveness

Menurut McCullough (dalam Synder & Lopez, 2002) forgiveness sebagai

perubahan prososial pada pemikiran, emosi, dan perilaku korban terhadap pelaku.

Gani (2011) memandang pemaafan sebagai state of mind yang melibatkan

perasaan, pikiran, dan tindakan tertentu. Menurut Gani (2011) makna dari
forgiveness itu sendiri ialah proses melepaskan kemarahan, rasa nyeri, dan

dendam yang ditimbulkan oleh orang lain. North (dalam Baskin dan Enright,

2004), menegaskan bahwa forgiveness merupakan suatu proses dengan alur waktu

tertentu yang berkembang dari amarah atau dendam, sampai keputusan untuk

mencintai dan berbelas kasih terhadap orang yang sulit untuk dicintai karena

perbuatannya.

Forgiveness didefinisikan sebagai pilihan sadar untuk menghilangkan rasa

sakit, sakit hati, kebencian, dan balas dendam yang dilatar belakangi oleh

ketidakadilan, sakit hati, pelanggaran atau penghianatan (Pareek & Mangnani,

2016).

Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness

merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan oleh individu untuk merubah

perasaan marah, dendam, kecewa, dan segala emosi negatif dengan sikap yang

netral tanpa menyakiti perasaan orang lain.

2. Dimensi Forgiveness

a. Dimensi emosional

Berkaitan dengan perasaan orang-orang yang menjadi korban terhadap orang-

orang yang menjadi pelaku. Adapun indikator-indikator yang meliputi dimensi

emosional adalah (a) meninggalkan perasaan marah, sakit, dan benci, (b) mampu

mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan, (c) perasaan iba dan

kasih sayang terhadap pelaku, dan (d) perasaan nyaman ketika berinteraksi dengan

pelaku.

b. Dimensi Kognisi
Berkaitan dengan pemikiran seseorang atas peristiwa yang tidak

menyenangkan yang dialami. Adapun indikator-indikator yang meliputi dimensi

kognisi adalah (a) meninggalkan penilaian negatif terhadap pelaku, (b)

mempunyai penjelasan nalar atas perlakuan yang menyakitkan, dan (c) memiliki

pandangan yang berimbang terhadap pelaku.

c. Dimensi Interpersonal

Berkaitan dengan dorongan dan perilaku antar pribadi seseorang untuk

memberi pemaafan terhadap orang lain. Adapun indikator-indikator yang meliputi

dimensi interpersonal adalah (a) meninggalkan perilaku atau perkataan yang

menyakitkan terhadap pelaku, (b) meninggalkan keinginan balas dendam, (c)

meninggalkan perilaku acuh tak acuh, (d) meninggalkan perilaku menghindar, (e)

meningkatkan upaya konsiliasi atau rekonsiliasi hubungan, (f) motivasi kebaikan

atau kemurahan hati, dan (g) musyawarah dengan pihak yang pernah jadi pelaku.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness

memiliki tiga dimensi yaitu dimensi emosional, dimensi kognisi dan dimensi

interpersonal.

3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Forgiveness

Menurut McCullough (Nashori, 2012) faktor-faktor yang mempengaruhi

pemaafan dibagi menjadi dua yaitu :

a. Faktor internal yaitu :

1. Karakteristik kepribadian

Sesuatu yang terorganisasi dan terpola. Kepribadian bukan suatu organisasi

yang statis, melainkan sesuatu yang tumbuh teratur dan mengalami perubahan.

2. Religiusitas
Internalisasi nilai-nilai agama (Islam) yang meliputi dimensi akidah, ibadah,

akhlak, ihsan, dan ilmu agama.

3. Jenis kelamin

Beberapa penelitian mengatan bahwa laki-laki dan perempuan dalam hal

memaafkan memiliki pemaafan yang tidak jauh berbeda, hanya saja laki-laki lebih

mudah memaafkan dibandingkan perempuan. Hal tersebut terjadi karena

perempuan memiliki ekspektasi atau pengharapan lebih tinggi dibandingkan laki-

laki.

4. Usia

penentu pemaafan berdasarkan pengalaman dan kematangan emosi

seseorang.

b. Faktor eksternal, yaitu :

1. Keterikatan interpersonal

Suatu situasi dimana individu sangat mempertimbangkan kehadiran orang

lain yang telah dikenalnya dalam usaha melakukan pengambilan keputusan atas

hal-hal yang penting dalam kehidupannya, khususnya yang berkaitan dengan

relasi interpersonal dengan orang lain. Sehingga ketika akan memaafkan orang

lain, sebelumya individu tersebut meminta saran dan nasihat dari orang

terdekatnya hal apa yang sebaiknya dilakukan kepada orang yang menyakitinya.

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pemaafan seseorang karena

semakin tinggi tingka pendidikan maka akan lebih mudah untuk memaafkan. Hal

tersebut dikarena orang yang memiliki pendidikan yang tinggi otomatis memiliki

pengalaman, ilmu yang luas yang mengajarinya mengenai manfaat pemaafan.


Menurut McCullough, dkk (1998) faktor penentu yang mempengaruhi

munculnya perilaku memaafkan pada individu, yaitu:

a. Social Cognitive Determinant of Forgiving (Sosial Kognitif)

Faktor penentu sosial kognitif meliputi afektif, empati terhadap orang lain,

dan rumination (mengingat-ngingat kejadian yang tidak menyenangkan) baik itu

berupa gambaran dari peristiwa yang terjadi dan pengaruh yang diakibatkannya.

Rumination yang terjadi pada seseorang yang memiliki perselisihan secara

interpersonal akan menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun

melakukan penolakan baik menghindar atau mengabaikannya. Hal tersebut terjadi

karena secara kognitif individu belum bisa melupakan kejadian buruk yang masih

tergambar jelas dalam kognitifnya.

b. Offense Related Determinant of Forgiving (Tingkat Kelukaan atau Serangan)

Faktor ini timbul dari individu yang mempersepsi tingkat kelukaan atau

serangan yang dirasakan atas kesalahan yang memberikan penderitaan bagi

korban oleh pelaku, maka akan lebih sulit kemungkinan bagi pelaku untuk dapat

memaafkan, jika kesalahan yang terjadi sangat berat. Untuk mendapat pemaafan

biasanya didukung dengan sejauh mana kesungguhan pelaku meminta maaf dan

mencari pemaafan untuk kesalahan yang diperbuatnya.

c. Relational Determinant of Forgiving (Hubungan Interpersonal)

Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah

sejauhmana kedekatan yang dimiliki oleh seseorang terhadap pihak yang bertikai

dengannya. Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh keterkaitan antara perilaku

memaafkan dengan motivasi untuk berhubungan interpersonal dengan orang lain.


Hubungan interpersonal sebagian besar terbentuk oleh kedekatan, kepuasan dan

komitmen antara korban dan pelaku yang bertikai.

d. Personality Determinant of Forgiving (Kepribadian)

Faktor kepribadian merupakan faktor internal seseorang ketika menyikapi

sebuah permasalahan, hal tersebut terkait memberikan maaf untuk orang lain.

Dikatakan dalam beberapa penelitian bahwa seseorang dengan kepribadian

agreeableness (kebaikan hati) akan memiliki pemaafan yang baik terhadap orang

lain, sedangkan seseorang dengan kepribadian neurotisme akan sulit untuk

memaafkan kesalahan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemaafan dipengaruhi

oleh banyak faktor yang mencakup faktor internal ( karakter kepribadian,

religiusitas, jenis kelamin, dan usia ) dan faktor eksternal ( ketertarikan

interpersonal dan pendidikan ). Sementara faktor penentu yang mempengaruhi

munculnya perilaku memaafkan pada individu menurut McCullough adalah sosial

kognitif, tingkat kelukaan atau serangan, hubungan interpersonal, dan

kepribadian.

C. Gratitude

1. Definisi Gratitude

Kebersyukuran dalam bahasa Inggris disebut gratitude. Kata gratitude

diambil dari akar Latin gratia, yang berarti kelembutan, kebaikan hati, atau

berterima kasih. semua kata yang terbentuk dari akar Latin ini berhubungan

dengan kebaikan, kedermawanan, pemberian, keindahan dari memberi dan

menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa tujuan apapun (Emmons &

McCullough, 2003). Menurut Emmons dan Shelton (dalam Synder & Lopez,
2005) mengartikan gratitude sebagai perasaan takjub, berterima kasih, dan

apresiasi untuk kehidupan, dan dapat diekspresikan terhadap orang lain ataupun

sumber yang bukan manusia (Tuhan, hewan, dll).

Menurut Rosenberg (dalam McCullough, Tsang dan Emmons 2004)

kebersyukuran sebagai konstruksi kognitif adalah mengakui kemurahan dan

kebaikan hati atas berkah yang telah diterima dan fokus terhadap hal positif di

dalam dirinya saat ini.Sebagai konstruksi emosi, kebersyukuran adalah mengubah

respon emosi pada suatu peristiwa sehingga menjadi lebih bermakna. Wood,

Joseph, & Maltby (2009), menyatakan kebersyukuran adalah sebagai bentuk ciri

pribadi yang berpikir positif, mempresentasikan hidup menjadi lebih positif.

Sementara Emmons (Putra, 2014) mengutarakan bahwa gratitude sering diartikan

sebagai rekognisi positif ketika menerima sesuatu yang menguntungkan, atau nilai

tambah yang berhubungan dengan judgment atau penilaian bahwa ada pihak lain

yang bertanggung jawab akan nilai tambah tersebut.

Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa gratitude adalah

kesadaran individu atas andil orang lain yang memberikan manfaat kepada

mereka sehingga mereka dapat hidup lebih bermakna pada saat ini.

2. Aspek – aspek yang mempengaruhi gratitude

Menurut McCullough , Emmons, & Tsang (2002) mengungkapkan aspek-

aspek bersyukur terdiri dari empat unsur, yaitu:

1. Intensity: Kekuatan emosi gratitude yang dirasakan individu.

Individu yang memiliki grateful disposition akan merasakan gratitude yang

lebih intens daripada individu yang tidak memiliki grateful disposition.


2. Frequency: Jumlah pengalaman emosi gratitude yang dirasakan dalam jangka

waktu tertentu.

Individu yang memiliki grateful disposition akan lebih banyak mengalami

emosi gratitude dalam satu hari, dan dapat muncul walau hanya dari kebaikan

orang lain yang sederhana.

3. Span: Jumlah sumber datangnya emosi gratitude dalam jangka waktu tertentu.

Individu yang memiliki grateful disposition akan menyebutkan aspek

bersyukur yang lebih banyak. Contohnya, dalam satu hari ia akan bersyukur atas

aspek kesehatan, keluarga, pekerjaan, sedangkan individu yang memiliki grateful

disposition lebih kecil mungkin hanya akan bersyukur atas aspek pekerjaan saja.

4. Density: Merujuk pada jumlah orang yang disyukuri atas satu manfaat positif

yang ia dapatkan.

Misalnya, untuk peringkat satu yang diraih, seorang anak akan bersyukur atas

dukungan orangtuanya, cara pengajaran gurunya, dan bantuan kelompok

belajarnya, sedangkan individu yang memiliki grateful disposition lebih rendah

mungkin hanya akan bersyukur atas cara pengajaran gurunya.

Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa aspek – aspek dari

gratitude adalah intensity, frequency, span, dan density .

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi gratitude

McCullough dkk (2002) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi gratitude yaitu:

1. Emotionality yaitu suatu kecenderungan dimana seseorang merasa emosional

dan menilai kepuasan hidupnya.


2. Prosociality yaitu kecenderungan seseorang untuk diterima di lingkungan

sosial.

3. Religiousness yaitu sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai transendental,

keagamaan dan keimanan seseorang.

Sedangkan menurut Froh dkk (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi

gratitude yaitu:

1. Afek positif yakni perasaan positif individu yang dapat menimbulkan

gratitude.

2. Persepsi teman sebaya yang memberikan pengaruh kepada individu untuk

bersyukur.

3. Peran keluarga dalam memberikan dukungan terhadap individu ketika

menghadapi permasalahan sehingga individu akan merasa lebih bersyukur

karena adanya dukungan dan perhatian yang diterima.

4. Rasa optimis yang menjadikan individu cenderung menilai segala sesuatu

secara positif.

Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang

mempengaruhi gratitude adalah emotionality, prosociality, religiousness

D. Remaja

1. Definisi remaja

Elizabeth B. Hurlock (2003:206) mengungkapkan istilah adolescence atau

remaja berasal dari kata latin (adolescene), kata bendanya adolescentia yang

berarti remaja yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa bangsa orang-

orang zaman purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda

dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan anak dianggap sudah


dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Menurut Sarwono (2004 :

9) Remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali

ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual.

Hal senada juga di kemukakan oleh Jhon W. Santrock (2002:23), masa

remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa kanak-kanak

hingga masa dewasa yang mencakup perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan

sosial emosional.

Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merukan

masa peralihan dari masa anak – anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan

perubahan biologis, kognitif, sosial emosional serta kematangan seksual.

E. Panti Asuhan

Panti asuhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan

rumah tempat memelihara dan merawat anak yatim atau yatim piatu dsb.

Sementara menurut Departemen Sosial RI (2004), panti sosial asuhan anak

adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung

jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar

dengan melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak terlantar, memberikan

pelayanan pengganti orang tua atau wali anak dalam memenuhi kebutuhan fisik,

mental dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang

luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya.

Menurut Departemen Sosial RI (1997), sistem pengasuhan di panti asuhan

dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu :


1. Sistem pengasuhan berbentuk asrama.

Pada panti asuhan dengan sistem ini, anak asuh dikelompokkan dalam jumlah

yang besar dan ditempatkan didalam bangunan yang berbentuk asrama. Anak asuh

dibentuk dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 15 sampai 20 anak dan

ditempatkan dalam satu tempat, dengan hanya ada satu atau beberapa petugas

yang bertindak sebagai bapak atau ibu asuh. Sistem asuhan ini mempunyai

kelebihan yaitu dapat menampung anak dalam jumlah yang besar dengan

pembiayaannya relatif lebih murah karena tidak memerlukan banyak staf atau

keluarga asuh. Kelemahannya adalah kurang intensif dan meratanya pengawasan

dan bimbingan kepada anak asuh. Selain itu suasana keluarga pada umumnya juga

sulit untuk diciptakan.

2. Sistem pengasuhan berbentuk cottage atau pondok.

Sistem asuhan cottage ini lebih menjamin adanya kemiripan dengan

kehidupan keluarga pada umumnya. Pola berbentuk cottage ini merupakan unit

rumah dengan keluarga asuh yang bersifat lebih kecil. Anak-anak dalam

kelompok kecil yang ditempatkan dalam satu rumah ini mempunyai orang tua

pengganti. Anak asuh dalam sistem cottage ini lebih memiliki kesempatan untuk

mengembangkan identitas kepribadiannya, karena mendapat bimbingan,

pengawasan dan perhatian yang lebih intensif. Namun kelemahan yang mungkin

timbul adalah masalah biaya dan rekrutmen karena jumlah pengasuh yang

dibutuhkan lebih banyak, serta kemungkinan munculnya konflik fundamental

dalam hubungan antara anak dengan orang tua atau keluarga asuh, anak asuh

dengan anak kandung, dan anak asuh dengan anak asuh.

Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa panti asuhan


merupakan tempat untuk menjaga dan merawat anak dengan yatim piatu atau anak

terlantar dengan memberikan pelayanan yang layak serta pendampingan sebagai

pengganti orang tua.

F. Kerangka Berpikir

Keluarga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk mendapatkan

kasih sayang dari kedua orang tuanya. Selain itu orang tua juga dapat

memberikan pendidikan sejak dini agar kelak anak – anaknya tumbuh menjadi

anak yang bertanggung jawab. Saat beranjak remaja fungsi orang tua adalah

sebagai teman. Teman berbagi cerita dan teman berdiskusi bagi anak. Sehingga

anak akan mendapatkan informasi yang akurat serta terpercaya atas

kebingungannya.

Masa remaja adalah masa yang paling indah. Begitu ungkapan masyarakat

saat diminta untuk menggambarkan masa remaja. Kebanyakan orang

menghabiskan masa remajanya dengan melakukan hal – hal baru yang belum

pernah ia coba sebelumnya. Tanpa berpikir panjang dan tanpa

mempertimbangkan resikonya mereka terlena terbawa oleh pergaulan teman

sebayanya yang menjerumuskan mereka kepada hal – hal yang negatif. Maka

dari itu peran orang tua dalam mendampingi anaknya selama masa remaja

sangat dibutuhkan.

Menurut Gumede (2009) pola asuh orang tua yang baik merupakan hal yang

vital jika ingin remaja dapat menyesuaikan diri secara dengan baik dalam proses

baru yang sedang mereka jalani. Pola perkembangan yang sehat juga bergantung

pada bagaimana orang tua memberikan cinta, berkomunikasi, dan memenuhi

kebutuhan anak mereka (Patterson dkk,1990; Rutledge, 1990, dalam Turner &
Helms 1995). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hubungan

dalam keluarga, terutama dengan orangtua merupakan faktor penentu utama

psychological well-being pada remaja (Shek, 1997; Ferriere & Sastre, 2000;

Abma, Linssen, & Van Wel, 2000 dalam Rathi & Rastogi, 2007).

Namun bagaimana jika seorang remaja yang tidak tinggal dengan orang

tuanya? Atau bahkan mereka tidak pernah tau siapa orang tua kandung mereka.

Begitulah sekiranya yang dirasakan remaja yang tinggal di panti asuhan.

Keberadaan mereka di panti asuhan tidak serta merta datang secara kebetulan.

Mereka adalah anak – anak yang telah ditinggal meninggal oleh orang tuanya

sehingga tidak ada lagi yang merawat mereka. Atau mungkin orang tua mereka

tidak cukup memiliki biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya sehingga

menitipkannya di panti asuhan dan yang paling miris adalah mereka yang sama

sekali tidak pernah mengenal orang tuanya karena sudah sejak lama

ditelantarkan, sehingga mereka tumbuh tanpa pendampingan dari orang tuanya

hingga menginjak masa remaja.

Penelitian Yi, Lee, dan Sung (2001) menemukan bahwa anak yang

memiliki orang tua yang masih hidup, tetapi meninggalkan mereka di lembaga

pengasuhan menunjukkan lebih banyak masalah internal dibandingkan anak-

anak yang orang tuanya meninggal atau tidak diketahui keberadaannya.

Meskipun orang – orang disekitar panti asuhan memberikan dukungan

emosional pada anak yang memasuki masa remaja, namun nampaknya peran

dari kedua orang tua masih memiliki dampak yang besar dalam membantu

remaja dengan menyediakan lingkungan rumah yang stabil, mendukung, dan

mempertahankan hubungan yang terbuka serta saling percaya.


Tidak jarang mereka lebih tampak murung dan menarik diri dari pergaulan

di lingkungan panti sehingga membuat psychological well-being mereka

menjadi rendah.

Psychologicall well-being diartikan sebagai keadaan sejahtera dalam segi

keamanan, keselamatan, ketentraman, dan kesehatan jiwa. Pengertian

kesejahteraan psikologis adalah didefinisikan sebagai suatu evaluasi positif

mengenai kehidupan seseorang yang diasosiasikan dengan diperolehnya

perasaan menyenangkan (Pinquart & Sorenson, 2000). Adapun aspek – aspek

psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989) adalah

penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian,

penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup dan pengembangan pribadi.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan psychological well-being

seseorang adalah forgiveness. Menurut North (dalam Baskin dan Enright, 2004)

forgiveness merupakan suatu proses dengan alur waktu tertentu yang berkembang

dari amarah atau dendam, sampai keputusan untuk mencintai dan berbelas kasih

terhadap orang yang sulit untuk dicintai karena perbuatannya.

Memang tidak mudah untuk memaafkan seseorang jika telebih lagi pelakunya

telah melakukan hal yang menyakitkan. Seperti hal nya yang dirasakan remaja

yang tinggal di panti asuhan. Luka yang mereka peroleh tentunya tidak dengan

mudah sembuh dengan sendirinya. Harapan hidup bersama keluara yang utuh

dengan limpahan kasih sayang terpaksa hanya bisa mereka nikmati dalam mimpi.

Enright (2002) menyebutkan bahwa individu yang enggan memberi maaf

kemungkinan melakukan pertahanan diri yang menyebabkan melemahnya sumber

kekuatan dalam dirinya, seperti distorsi kognitif, kesulitan menyesuaikan diri


dengan keadaan, kondisi kesehatan yang menurun, dan munculnya berbagai emosi

negatif. Sebaliknya, individu yang mudah memberi maaf akan terbebas dari

penjara emosional yang mengekangnya dan memiliki pandangan hidup yang lebih

positif.

Namun hidup dalam kemarahan dan rasa dendam tentunya membuat hidup

mereka menjadi lebih sulit karena kehidupan di masa depan telah menanti mereka.

Maka dari itu forgiveness merupakan hal yang harus mereka lakukan agar

terbebas dari perasaan emosional.

Selain forgiveness, ternyata gratitude juga dapat membuat psychological

well-being pada remaja meningkat. Individu yang bersyukur, menunjukkan sikap

menerima apapun yang terjadi pada dirinya. Hal ini sejalan dengan salah satu

aspek psychological well being yaitu penerimaan diri. Remaja yang tinggal di

panti asuhan tentunya wajib memiliki rasa syukur atas apa yang telah mereka

dapatkan saat ini. Walaupun tidak sesempurna keluarga yang lainnya, setidaknya

mereka masih memiliki tempat tinggal, bersekolah dan mendapatkan kasih

sayang. Dengan banyak bersyukur remaja akan cenderung terhindar dari rasa –

rasa iri dan lebih mudah untuk menerima kehidupan saat ini.

Dengan adanya rasa syukur mampu membantu meningkatkan pertumbuhan

pribadi. Seseorang dengan psychological well being tinggi memiliki perasaan

bahwa diri itu tumbuh dan berkembang, terbuka untuk pengalaman baru,

menyadari potensi pada dirinya, melakukan perbaikan dalam diri dan perilaku dari

waktu ke waktu. Menurut Watkins dkk (Theresianana, & Wahyuningrum 2016).

Menurut penelitian yang dilakukan Wood, Joseph, dan Maltby (2009),

dimensi psychological well-being yang berhubungan dengan gratitude adalah


environmental mastery dan purpose in life (berkorelasi sedang), serta personal

growth, positive relations with others, dan self acceptance (berkorelasi kuat).

Dimensi yang tidak berkorelasi dengan gratitude adalah autonomy. Hal tersebut

kemungkinan disebabkan karena gratitude berkaitan dengan rasa hutang budi dan

ketergantungan (dependency) pada pihak lain (Solomon, 1995). Gratitude

melibatkan pengakuan akan kelemahan diri dan ketergantungan terhadap orang

lain (Solomon, 2004).

Selain itu hasil penelitian Putri (2012), menyatakan bahwa terdapat hubungan

positif yang signifikan antara gratitude dan psychological well-being pada

mahasiswa. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Murniasih (2013)

menunjukkan ada pengaruh positif signifikan kecerdasan emosi dan rasa syukur

terhadap psychological well-being pada mahasiswa yang kuliah sambil bekerja.

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut akhirnya peneliti tertarik untuk

menguji apakah terdapat hubungan antara forgiveness dan gratitude terhadap

psychological well-being pada remaja yang tinggal di panti asuhan.

G. Hipotesis

Hipotesis merupakan pernyataan mengenai dugaan hubungan antara dua atau

lebih variabel (Kerlinger & Lee, 2000 dalam Senanti, Yulianto, dan Setiadi, 2015:

46). Dua karakteristik hipotesis yang baik, yaitu menyatakan hubungan

antarvariabel dan harus dapat diuji sehingga memungkinkan dilakukannya

pengukuran hubungan variabel. Oleh karena itu, hipotesis pada penelitian ini,

merupakan:

Ha1: Terdapat hubungan yang signifikan antara forgiveness dengan psychological

well being pada remaja yang tinggal di panti asuhan “ X” Bekasi


Ha2: Terdapat hubungan yang signifikan antara gratitude dengan psychological

well being pada remaja yang tinggal di panti asuhan “X” Bekasi.

Ha3: Terdapat hubungan yang signifikan antara forgiveness dan gratitude dengan

psychological well being pada remaja yang tinggal di panti asuhan “X” Bekasi.

Anda mungkin juga menyukai