Psychological well being merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya apa
adanya (self-acceptance). Membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain
(positive relation with others). Memiliki kemandirian dalam menghadapi tekanan sosial
(autonomy), mengontrol lingkungan eksternal (environmental mastery), memiliki tujuan
dalam hidupnya (purpose in life), serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara
continue (personal growth) (Ryff C. , 1989). Psychological well being didefinisikan
sebagai suatu evaluasi positif mengenai kehidupan seseorang yang diasosiasikan
dengan diperolehnya perasaan menyenangkan (Pinquart & Sorenson, 2000). Hurlock
(1999) mendefinisikan psychological well being sebagai sebuah kebutuhan untuk
memenuhinya ketiga kebahagiaan yaitu penerimaan, kasih sayang dan pencapaian.
Menurut Ryff & Keyes (1995) menyatakan bahwa psychological well being adalah suatu
keseimbangan afek positif dan negatif dan suatu fungsi kepuasan hidup seseorang atau
appraisal kognitif seseorang. Hauser (2005), juga menjelaskan bahwa psychological
well being didefinisikan sebagai kesejahteraan psikologis individu yang memfokuskan
pada realisasi diri (self realization), pernyataan diri (personal expressiveness) dan
aktualisasi diri (self actualization).
Menurut WHO, Psychological Well Being adalah sebuah appraisal subyektif fungsi
seorang individu dalam realisasi-diri (Keyes, 2013). Psychological Well Being (PWB)
merupakan salah satu bagian dari area psikologi positif umum yang disebut sebagai
subjective well being (SWB) yang mana merupakan suatu ukuran berfungsi secara
positif dalam tingkat individu
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan psychological well being adalah
keadaan individu yang mampu menerima diri apa adanya, mampu membentuk
hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian, mampu mengontrol
lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi
dirinya secara continue.
B. Dimensi Psychological Well Being
Individu yang memiliki penerimaan diri berarti individu tersebut memiliki sikap
positif terhadap diri sendiri, mengenali dan menerima segala aspek diri yang
baik dan buruk serta merasa positif tentang masa lalunya (Keyes, 2005).
Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini dapat dikatakan sebagai
individu yang memiliki pemikiran positif terhadap dirinya. Individu juga mengetahui
dan menerima segala aspek dalam dirinya baik aspek positif maupun negatif serta
menerima masa lalu dirinya secara positif. Sedangkan apabila individu memiliki skor
yang rendah pada dimensi ini merupakan individu yang merasa tidak puas dengan
dirinya. Individu juga merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi di masa lalu,
serta merasa khawatir dengan beberapa kualitas personal sehingga berharap dirinya
merupakan individu yang berbeda dari dirinya saat ini. (Engger, 2015)
Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini dapat dikatakan sebagai
individu yang memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, dan terpercaya dengan
orang lain. Individu juga memiliki kekhawatiran dengan kesejahteraan orang lain
serta memiliki empati yang kuat. Individu memiliki kasih sayang dan keintiman serta
mengerti konsep menerima dan memberi dalam relasi interpersonal. Sedangkan
apabila individu memiliki skor yang rendah pada dimensi ini merupakan individu yang
memiliki sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan orang lain. Individu
juga merasa kesulitan untuk hangat, terbuka, dan peduli mengenai orang lain.
Individu juga merasa frustasi dan terisolasi dalam hubungan interpersonal serta tidak
ingin membuat perjanjian untuk mempertahankan suatu ikatan yang penting dengan
orang lain. (Engger,2015)
3. Autonomy (otonomi)
Individu yang otonomi berarti individu tersebut memiliki determinasi diri dan
bebas, mampu mengatasi tekanan sosial dengan tetap berpikir dan bertindak
sesuai dengan keyakinan, mengatur perilaku dari dalam, serta mengevaluasi diri
berdasarkan standar pribadi. Individu yang sehat melihat dirinya sendiri dalam
melakukan suatu perilaku berdasarkan standar dan nilai pribadi (Keyes, 2005).
Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini dapat dikatakan sebagai
individu yang dapat mengendalikan dirinya sendiri dan independen. Individu juga
mampu bertahan dari tekanan sosial mengenai cara berpikir dan berperilaku, serta
mengendalikan perilaku dari dalam dirinya sendiri serta mengevaluasi diri
menggunakan standar yang dikembangkannya sendiri. Sedangkan apabila individu
memiliki skor yang rendah pada dimensi ini merupakan individu yang memiliki
perhatian khusus atas ekspektasi dan evaluasi- evaluasi dari orang-orang lain.
Individu juga bergantung kepada keputusan- keputusan orang lain untuk membuat
keputusan yang penting, serta berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh tuntutan sosial. (Engger, 2015)
Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini dapat dikatakan sebagai
individu yang mampu menguasai serta mengendalikan lingkungan di sekitarnya.
Individu juga mampu mengendalikan serangkaian aktifitas di luar dirinya yang
kompleks, mampu menggunakan kesempatan di sekitarnya secara efektif, serta
mampu memilih atau menciptakan situasi yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai
pribadi. Sedangkan apabila individu memiliki skor yang rendah pada dimensi ini
merupakan individu yang memiliki kesulitan dalam menangani permasalahan sehari-
hari. Individu juga merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
lingkungan sekitarnya, tidak menyadari mengenai kesempatan-kesempatan di
sekitarnya, serta kurangnya kemampuan untuk mengendalikan dunia di luar dirinya.
(Engger, 2015)
Individu tersebut memiliki tujuan dalam hidup dan perasaan terarah, merasakan
makna dan tujuan dari kehidupan yang sedang dan telah dilaluinya serta mempunyai
tujuan hidup. Individu yang sehat memandang kehidupan sehari-harinya sebagai
pemenuhan suatu tujuan, oleh sebab itu mereka memandang kehidupan pribadinya
sebagai sesuatu yang berarti (Keyes, 2005).
Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini dapat dikatakan sebagai
individu yang memiliki tujuan dalam hidupnya dan mampu mengetahui apa yang baik
dan buruk. Individu juga dapat mengetahui makna dalam masa lalu dan
kehidupannya saat ini serta memiliki keyakinan bahwa terdapat tujuan dalam
hidupnya serta memiliki tujuan dalam hidupnya. Sedangkan apabila individu memiliki
skor yang rendah pada dimensi ini merupakan individu yang kemampuan yang
kurang dalam memaknai hidup. Individu juga memiliki sedikit tujuan atau harapan,
memiliki kemampuan untuk melihat kedepan yang rendah. Individu tidak melihat
tujuan dalam masa lalunya serta tidak memiliki keyakinan bahwa hidup memiliki
makna. (Engger, 2015)
Ryff menyatakan bahwa individu yang memiliki pertumbuhan diri akan merasakan
perkembangan yang berkelanjutan, melihat dirinya tumbuh dan berkembang, terbuka
pada pengalaman baru, menyadari potensi dalam dirinya serta melihat peningkatan
dalam diri dan perilakunya. Individu yang sehat sangatlah terbuka dengan
pengalaman baru dan memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi tantangan di setiap
waktu (Keyes, 2005).
Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini dapat dikatakan sebagai
individu yang merasakan adanya pertumbuhan yang terus berlanjut. Individu juga
melihat dirinya terus bertumbuh dan berkembang, terbuka dengan pengalaman baru
dan mampu menyadari potensi dalam dirinya. Individu juga mampu melihat
perkembangan dan perilakunya seiring berjalannya waktu, serta berkembang
menjadi individu yang lebih mencerminkan pengetahuan akan diri sendiri dan efektif.
Sedangkan apabila individu memiliki skor yang rendah pada dimensi ini merupakan
individu yang merasakan adanya stagnansi dalam dirinya dan kurang memiliki
kebutuhan untuk berkembang atau memperluas dirinya seiring berjalannya waktu.
Individu juga merasa bosan dan tidak tertarik dengan hidup serta merasa tidak
mampu mengembangkan sifat atau perilaku baru. (Engger, 2015)
Berbagai penelitian mengenai psychological well being telah banyak dilakukan dan
dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi
psychological well being seseorang. Ryff dan Singer (2008) dalam (Keyes, 2013)
menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being seseorang.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being antara lain :
2. Perbedaan jenis kelamin, perempuan memiliki Psychological Well Being lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki. Wanita cenderung lebih memiliki kesejahteraan
psikologis dibandingkan laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang
berpengaruh terhadap strategi koping yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang
dilakukan, dimana wanita memiliki kemampuan interpersonal yang lebih baik
daripada laki-laki oleh Ryff & Singer (dalam Ryff, 1989; Synder & Lopes, 2002;
Papalia et al, 2002). Selain itu wanita lebih mampu mengekspresikan emosi dengan
bercerita kepada orang lain, dan wanita juga lebih senang menjalin relasi sosial
dibanding laki-laki. Wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan
yang positif dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995).
3. Usia, dikatakan bahwa orang dewasa tua memiliki autonomi dan penguasaan
lingkungan, serta hubungan yang positif lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa
muda. Ryff & Keyes (dalam Ryff & Keyes, 1995; Snyder & Lopes, 2002) menjelaskan
bahwa terdapat perbedaan tingkat psychological well-being didasarkan pada
perbedaan usia. Perbedaan usia ini terbagi dalam tiga fase kehidupan masa dewasa
yakni dewasa muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Individu-individu yang
berada di masa dewasa madya dapat menunjukkan psychological well-being yang
lebih tinggi dibandingkan mereka yang berada di masa dewasa awal dan dewasa
akhir pada beberapa dimensi dari psychological well-being (Papalia, Sterns,
Feldman dan Camp, 2002).
4. Status ekonomi, Penelitian Ryff dan Koleganya (1999) menjelaskan bahwa status
sosial ekonomi yang meliputi : tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan
keberhasilan pekerjaan memberikan pengaruh tersendiri pada psychological well-
being, dimana individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan memiliki
pekerjaan yang baik akan menunjukkan tingkat psychological well-being yang lebih
tinggi pula (dalam Synder & Lopes, 2002).
5. Dukungan Sosial, Dukungan sosial termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi
psychological well being seseorang. Dukungan sosial atau jaringan sosial, berkaitan
dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-
pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan
dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000). Sejalan dengan
hal tersebut Hume menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antar
interaksi sosial dengan psychological well-being (Bauer-Jones, 2002).
Psychological well-being scale (PWBS) merupakan suatu alat ukur psikologis yang
terdiri dari enam dimensi yang terdiri dari otonomi (autonomy), penguasaan atas
lingkungan (environmental mastery), pertumbuhan pribadi (personal growth), hubungan
positif dengan orang lain (positive relations with others), Tujuan hidup (purpose in life),
dan penerimaan diri (self-acceptance). Keenam dimensi ini disusun menjadi enam sub
skala yang menyusun PWBS. PWBS sendiri dapat dikatakan sebagai sebuah instrumen
self-report yang disusun dari pengacakan dan penggabungan enam buah sub skala
tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa PWBS merupakan suatu skala
multidimensional dengan dimensi yang saling berkorelasi. Sifat tersebut menunjukkan
bahwa dalam penggunaannya PWBS tidak dapat dibaca sebagai satu kesatuan, namun
sebagai enam sub skala yang saling berkaitan.
Berdasarkan bentuk skala, PWBS merupakan suatu skala Likert dengan enam pilihan
jawaban. Enam pilihan jawaban tersebut terdiri dari STS (Sangat Tidak Setuju), TS
(Tidak Setuju), ATS (Agak Tidak Setuju), AS (Agak Setuju), S (Setuju), dan SS (Sangat
Setuju). Keenam pilihan jawaban tersebut memiliki penilaian yang berbeda pada dua
tipe item yakni item favorable dan unfavorable. Dalam item favorable, STS bernilai 1, TS
bernilai 2, ATS bernilai 3, AS bernilai 4, S bernilai 5, dan SS bernilai 6. Sedangkan pada
item unfavorable, berlaku sebaliknya dimana STS benilai 6, TS bernilai 5, ATS bernilai
4, AS bernilai 3, S bernilai 2, dan SS bernilai 1.
Setelah didapatkan skor, PWBS kemudian dinterpretasikan dengan cara melihat skor
total PWBS. Skor total PWBS kemudian dipecah dalam enam sub skala tersebut. Akan
tetapi PWBS tidak memiliki norma yang baku mengenai apakah skor yang didapatkan
subjek tinggi atau rendah. Ryff menyarankan kepada para peneliti untuk menggunakan
distribusi data yang dimiliki sebagai patokan apakah skor yang didapatkan subjek tinggi
ataukah rendah. Penggunaan distribusi dapat menggunakan dua cara yakni
menggunakan kuartil maupun menggunakan standar deviasi. PWBS memiliki kualitas
psikometrik yang baik, khususnya dalam versi 14 item pada enam sub skala atau 84
item. Hal tersebut terlihat dari reliabilitas yang dimiliki oleh sub skala PWBS yakni 0,83
pada otonomi (autonomy), 0,86 pada penguasaan atas lingkungan (environmental
mastery), 0,85 pada pertumbuhan pribadi (personal growth), 0, 88 pada hubungan
positif dengan orang lain (positive relations with others), 0,88 pada tujuan hidup
(purpose in life), dan 0,91 pada penerimaan diri (self-acceptance).
The following set of questions deals with how you feel about yourself and your life. Please
remember that there are no right or wrong answers.
Petunjuk Pengisian
Berikut terdapat sejumlah pernyataan yang terkait dengan perasaan anda tentang diri
anda sendiri dan hidup anda dan pada setiap pernyataan terdapat enam pilihan
jawaban. Berikan tanda () pada kotak yang Anda anggap paling menggambarkan diri
Anda. Pilihan jawabannya adalah :
STS : Sangat Tidak Setuju
TS : Tidak Setuju
ATS : Agak Tidak Setuju
AS : Agak Setuju
S : Setuju
SS : Sangat Setuju
Dalam Skala ini, tidak ada jawaban yang benar maupun salah untuk setiap pernyataan.
Semua jawaban yang anda pilih merupakan jawaban yang paling sesuai dengan diri
Anda. Kami berharap Anda menjawab dengan jujur. Terimakasih atas kerjasama, serta
kesediaannya untuk mengisi skala ini
No Pertanyaan STS TS ATS AS S SS
Referensi :