Anda di halaman 1dari 10

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Psychological Well-Being
1. Pengertian Psychological Well-Being
Menurut Carol D. Ryff (dalam Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana
Sofiati Utami, 2007:166), penggagas teori Psychological well-being,
mengatakan bahwa psychological well-being merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan
pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological
functioning). Psychological well-being dikaitkan dengan bagaimana kondisi
mental yang dianggap sehat dan berfungsi optimal.
Ryff (2008:19) menjelaskan psychological well-being merupakan
pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan di
mana individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya yang
didasarkan pada enam aspek kebutuhan psikologis yang mewakili kriteria
fungsi psikologi positif yaitu kemandirian (autonomy), pengembangan pribadi
(personal growth), penguasaan lingkungan (enviromental mastery), tujuan
hidup (purposive in life), hubungan positif dengan orang lain (positive relation
with other), dan penerimaan diri (self-acceptance).
Istilah psychological well-being digunakan di seluruh ilmu kesehatan
sebagai semacam akumulasi dari semua pengalaman hidup yang bearti
kepuasan hati, kepuasan dengan semua pengalaman hidup, aktualisasi diri,
perasaan telah mencapai sesuatu yang diinginkan berupa kedamaian hidup dan
kebahagiaan (Sharma, 2013:3). Well-being adalah konsep dinamis yang
mencakup subjektivitas, sosial, dan dimensi psikologis, serta perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan. Individu dengan psychological well-being
yang tinggi dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki perasaan puas dan
bahagia terhadap hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui
pengalaman-pengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional
negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu
menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, mengontrol
kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu
mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989).

Page 1
Okun dan Stock (1984;95) menjelaskan bahwa psychological well being
adalah perasaan bahagia dan kepuasaan diri yang dialami oleh individu yang
terlihat dari cara individu tersebut memiliki tingkat kemandirian yang tinggi,
mampu menguasai lingkungan, memiliki pertumbuhan diri yang baik,
memiliki hubungan positif dengan orang lain, serta memiliki tujuan hidup dan
penerimaan diri yang tinggi.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi
psychological well-being adalah evaluasi dari seorang individu terhadap
kehidupannya serta dapat menerima sisi positif maupun negatif dalam
hidupnya sehingga memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan. Individu
tersebut memiliki kemandirian dalam hidupnya, mampu mengembangkan
potensi yang dimiliki, mampu mengontrol dan memanfaatkan lingkungan
tempat individu berada, memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai, mampu
menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, serta dapat memiliki
penerimaan diri yang baik.1
2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being
Enam dimensi psychological well-being yang merupakan intisari dari
teori-teori positive functioning psychology yang dirumuskan oleh Ryff (1995),
yaitu:
a. Dimensi Penerimaan diri (self-acceptance)
Dalam teori perkembangan manusia, self-acceptance berkaitan dengan
penerimaan diri individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu dalam
literatur positive psychological functioning, self-acceptance juga berkaitan
dengan sikap positif terhadap diri sendiri (Ryff,1989).
Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya
sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik
kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang yang memiliki
nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari
kehidupannya di masa lalu. Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai
yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas
1
Rahmawati Brilianita Sari, Tingkat Psychological Well-Being Remaja Di Panti Sosial Bina Remaja
Yogyakarta, Yogyakarta (Tidak dipublikasikan, 2015), Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Page 2
terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada
kehidupannya dimasa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari
dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri
(Ryff,1995).
b. Dimensi hubungan positif dengan orang lain
Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu
membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain.
Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang
lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip
memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi. Sebaliknya, seseorang
yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai
dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit
untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan
merasa frustasi dalam membina hibungan interpersonal, tidak berkeinginan
untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain
(Ryff, 1995).
c. Dimensi kemandirian (autonomy)
Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik
antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining)
dan mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan
campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam
menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta
dapat mengevaluasi diri dengan standar personal. Sebaliknya, seseorang yang
kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan
harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain
untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan
sosial (Ryff,1995).
d. Dimensi penguasaan lingkungan
Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki
keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat
mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya
termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya. Sebaliknya, seseorang

Page 3
yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan
dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau
meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tak mampu memanfaatkan
peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya.
e. Dimensi Tujuan Hidup ( purpose of life)
Seseorang yang memiliki pemahaman jelas akan tujuan dan arah
hidupnya, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah
dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta
memiliki tujuan dan sasaran hidup.
Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan
kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat
makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak
mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan.
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Seseorang yang memiliki dimensi pertumbuhan yang tinggi ditandai
memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang,
terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam
menyadari potensi diri yang dimiliki serta dapat menjadi pribadi yang lebih
efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang rendah
akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan
pengembangan diri, merasa bosan dan kehilnagan minat terhadap
kehidupannya, serta tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah
laku yang baik.2
3. Kriteria Psychological well-being
Berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Ryff dalam Psychological
Well-being tersebut, maka seseorang individu dikatakan memiliki
psychological well-being yang tinggi adalah individu yang secara psikologis
dapat berfungsi secara positif (positive psychological well-being). Kriteria
individu yang memiliki psychological well-being sesuai dengan dimensi
psychological well-being yang dijelaskan oleh Ryff (2008:8) sebagai berikut:

2
Ibid., hal 14-17
Page 4
a. Penerimaan diri (self-acceptance)
1) Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri
2) Menerima dan menyadari sisi negatif dan positif dalam diri
3) Bersikap positif terhadap pengalaman masa lalu
b. Hubungan positif dengan orang lain ( positive relations with
others)
1) Memiliki kedekatan dengan orang lain
2) Sikap hangat, empati, dan kasih sayang terhadap orang lain
3) Memiliki kepercayaan positif dengan orang lain
c. Penguasaan lingkungan (enviromental mastery)
1) Menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan
2) Mengontrol lingkungan dengan kegiatan fisik dan mental
3) Memanfaatkan lingkungan secara maksimal
d. Tujuan hidup (purpose in live)
1) Mampu memaknai dan menentukan arah hidup
2) Memiliki arah dan tujuan hidup
3) Merencanakan strategi untuk mencapai arah dan tujuan
hidup
e. Pengembangan pribadi (personal growth)
1) Mengembangkan potensi yang dimiliki
2) Terbuka dan menerima tantangan pengalaman baru
3) Memperbaiki diri setiap waktu
f. Kemandirian (autonomy)
1) Memiliki kebebasan dan keyakinan dalam menentukan
pilihan
2) Mampu mengatur tingkah laku
3) Memiliki dan menggunakan standar pribadi
Kriteria-kriteria yang digunakan oleh Ryff tersebut digunakan untuk
menyusun indikator psychological well-being.3

3
Rahmawati Brilianita Sari, Tingkat Psychological Well-Being Remaja Di Panti Sosial Bina Remaja
Yogyakarta, Yogyakarta (Tidak dipublikasikan, 2015), Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Page 5
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Faktor-faktor sosiodemografis yang dapat mempengaruhi psychological
well-being pada diri individu, yakni:
a. Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-
being antara lain perbedaan usia, jenis kelamin, perbedaan kelas sosial, dan
budaya.
b. Dukungan Sosial
Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000), individu, individu yang
mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang
lebih tinggi. Dukungan sosial itu sendiri dapat diartikan sebagai rasa nyaman,
perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang
individu yang didapat dari orang lain atau kelompok (Cobb, 1976; Gentry &
Kobasa, 1984; Wallston, Alagna, DeVellis, & DeVellis, 1983; Wills, 1974,
dalam Sarafino, 1990). Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber,
diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi
sosial. Dari penelitian yang dilakukan oleh Cobb (dalam Sarafino, 1990), ada
empat jenis dukungan sosial diantaranya adalah dukungan emosional,
dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasional.
c. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Mekanisme evaluasi diri sangat berpengaruh pada psychological well-
being individu, diantaranya adalah pertama, mekanisme perbandingan sosial
dimana individu mulai mempelajari dan mengevaluasi dirinya dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain. Kedua mekanisme perwujudan
penghargaan yaitu bahwa individu dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan
orang lain terhadap dirinya, sehingga lama-kelamaan individu akan
memandang diri mereka sendiri sesuai dengan pandangan orang lain terhadap
diri mereka. Ketiga, mekanisme persepsi diri terhadap tingkah laku dimana
individu menyimpulkan mengenai kecenderungan, kemampuan dan
kompetensi mereka dengan cara mengobservasi tingkah laku mereka sendiri.
Observasi diri ini merupakan bagian dari proses dalam pemberian makna
terhadap pengalaman hidup mereka. Mereka yang dapat mempersepsikan

Page 6
perubahan positif dalam diri diharapkan dapat memandang pengalaman secara
lebih positif sehingga dapat menunjukkan penyesuaian diri yang baik.
Keempat, mekanisme pemusatan psikologis, yaitu bahwa konsep diri tersusun
dari beberapa komponen yang tersusun secara hirarki dan sifatnya memusat
pada diri.
d. Locus of Control (LOC)
Suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian
(kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku
tertentu. Didalam locus of control terdapat locus of control internal dan locus
of control eksterenal. Jika individu memiliki locus of control internal pada
umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi
dibanding individu dengan locus of control eksternal.4

B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Santrock (2007) remaja (adolescence) diartikan sebagai masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Ia melanjutkan masa
remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah
menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Papalia
dan koleganya (2008) menyatakan bahwa masa remaja dimulai pada usia 11
atau 12 tahun sampai masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa
tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dengan semua ranah
perkembangan. Sarlito (2002) mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan
antara masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan berbagai perubahan perilaku
yang ditunjukkan seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan
sebagainya. Selanjutnya menurut Monks (2002) masa remaja berlangsung
antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagai menjadi masa remaja awal usia
12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja
akhir usia 18-21 tahun.
4
Rahmawati Brilianita Sari, Tingkat Psychological Well-Being Remaja Di Panti Sosial Bina Remaja
Yogyakarta, Yogyakarta (Tidak dipublikasikan, 2015), Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Page 7
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
individu yang berusia belasan tahun (12-21 tahun) yang tergolong dalam
masa transisi antara masa anak-anak menuju masa dewasa.5
2. Pengertian Remaja Panti Asuhan
Remaja yang tinggal di panti asuhan merupakan remaja yang memiliki
masalah dalam kehidupannya, seperti remaja yang tidak memiliki orang tua,
korban perceraian, ada juga remaja yang masih memiliki ke dua orang tua
tetapi tidak sanggup untuk mencukupi kebutuhan ekonominya sehari-hari, dan
usia mereka masih tergolong remaja dan dari penjelasan tersebut remaja yang
tinggal di panti asuhan As-Suyuti memiliki rentang usia yang berbeda-beda,
antara lain masih berusia remaja awal yaitu (12-15 tahun), remaja pertengahan
(15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun) dan jika melihat usia rentang
remaja panti asuhan yang tinggal di dalam panti asuhan maka dapat diberikan
kesimpulan remaja yang di dalam panti asuhan adalah remaja yang sedang
mencari jatidirinya, masa berkembangnya seorang remaja, hal ini harus diikuti
dengan pola asuh dari pengasuh panti asuhan dimana seorang pengasuh
sebagai salah seorang pengganti orang tua, pelindung, pendidik, memotivasi
dan pembimbing bagi penghuni dengan selalu mengajari hal-hal yang bersifat
positive bagi remaja panti asuhan, karena dalam usia-usia tersebut adalah
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dan berbagai
permasalahan muncul pada masa ini. permasalahan yang dihadapi seorang
remaja panti asuhan adalah cara bergaul, sikap, dan kurangnya kepatuhan.
Sarlito (2002) mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan antara masa
kanak-kanak ke masa dewasa dengan berbagai perubahan perilaku yang
ditunjukkan seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan
sebagainya.
Jika terdapat remaja panti asuhan yang merasa terasing dalam
lingkungannya maka akan menjadi tertutup, takut, kurang bergaul, sulit
menyesuaikan diri dengan orang lain maka akan muncul rasa tidak puas
terhadap kualitas suatu hubungan interpersonal dengan orang lain dan
akhirnya merasa kurang berharga. Pengasuhan dan pendidikan di dalam panti
asuhan sangat penting dan menentukan bagi perkembangan remaja menuju ke
5
Jhon W Santrock, Adolescence, Perkembangan Remaja, (Jakarta : Erlangga, 2004), hal,
113
Page 8
arah pribadi yang utuh, sehat, jasmani, rohani dan sosial (Budiman, 2006). Hal
ini selaras dengan tujuan panti asuhan yang bertujuan untuk memberikan
pelayanan sebagaimana mestinya bagi remaja yang berada di dalam panti
asuhan.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan remaja panti asuhan yang
berusia 12-21 tahun yang di serahkan kepada panti asuhan sebagai akibat dari
tidak memiliki keluarga dan faktor ekonomi. Penerapan pengasuhan dan
pendidikan panti asuhan penting perkembangan remaja menuju arah pribadi
yang utuh sehat jasmani dan rohani.
C. Kerangka Teori
Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa
dengan ditandai beberapa perubahan mulai dari perkembangan biologis,
kognitif, sosial, emosi, moral, dan kemandirian. Selain itu, remaja juga
memilih tugas perkembangan yang harus dituntaskan agar tidak mengalami
masalah di masa dewasa. Tugas perkembangan remaja akan lebih baik jika
berhasil dituntaskan. Apabila tugas perkembangan remaja dapat berhasil akan
membawa kebahagiaan dan kesuksesan ke tugas perkembangan selanjutnya di
masa dewasa, tetapi jika gagal akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada
individu yang bersangkutan dan kesulitan-kesulitan dalam menuntaskan tugas
berikutnya.
Psychological well-being adalah evaluasi dari seorang individu terhadap
kehidupannya serta dapat menerima sisi positif maupun negatif dalam
hidupnya sehingga memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan. Psychological
well-being dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya, status sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, dan keluarga. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa remaja dengan status ekonomi sosial rendah memiliki tingkat
psychological well-being lebih rendah dibanding remaja yang memiliki status
sosial ekonomi yang tinggi (Sharma, 2014). Begitu juga terdapat enam
indikator psychological well-being, diantaranya penerimaan diri, tujuan hidup,
hubungan positif dengan orang lain, perkembangan diri, penguasaan
lingkungan, dan otonomi. Remaja yang mengalami kegagalan tersebut
dimungkinkan memiliki tingkat psychological well-being pada indikator

Page 9
penerimaan diri, tujuan hidup, perkembangan diri, dan hubungan positif
dengan orang lain.
Salah satu panti asuhan yang membantu remaja yang memiliki masalah
adalah Panti Asuhan As-Suyuti Kalidawir Tulungagung. Remaja diberikan
banyak fasilitas di dalam panti yang dapat digunakan untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki dan kemandirian. Remaja diberikan fasilitas berupa
asrama, pelatihan keterampilan, dan bimbingan spiritualitas. Selain itu,
beberapa remaja yang belum paham mengenai potensi yang harus
dikembangkan remaja dan tidak dapat menerima keadaan dirinya serta hal apa
yang harus dilakukan setelah keluar dari panti. Hal itu mengindikasikan bahwa
remaja tersebut memiliki psychological well-being yang rendah.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui konsep psychological weli-being pada remaja yang tinggal di
panti asuhan As-Suyuti.
Bagan 1.1
Remaja yang tinggal di Panti
Asuhan

Penerimaan Diri

Masa Lalu Masa Sekarang

Memiliki Tujuan Hidup dan Makna Hidup

Psychological Well-Being

Page
10

Anda mungkin juga menyukai