Anda di halaman 1dari 11

Nama Kelompok :

1. Aris Cahyono (1733143010)


2. Hildan Barabad (1733143020)
3. Rani Marizka (1733143062)

Filsatat Mistisisme
“Beberapa Refleksi Epistemologis terhadap Pengalaman Mistis”
(Donald M. Mackinnon)

Bagi orang yang selama bertahun-tahun secara terus menerus telah


diasyikkan oleh problema-problema epistemologi, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh pengalaman mistis tidak terelakkan lagi membuat mereka
terombang-ambing antara memaksakan diri dengan satu cara sekarang, dan
kemudian dengan cara lain di lain waktu. Meskipun sering mengganggu, pada saat
yang sama mereka selalu memberikan pengingat kepada kekayaan dan
kompleksitas pengalaman manusia. Karena saya sendiri benar-benar tidak
mempunyai keakraban pribadi dengan dunia mistik,saya harus menekankan
bahwa catatan-catatan berikut dilandaskan pada sebuah pengetahuan dari tangan
kedua, berkait tulisan-tulisan yang untuk pengertiannya yang tepat menuntut pada
pembaca agar “berangkat bersama-sama” dengan apa yang mereka baca,
setidaknya untuk memahami apa yang sedang dikatakan.
Karena barang siapa mendalami kajian Teori Pengetahuan Kant, ia akan
mengetahui bahwa para mistikus yang memunculkan pertanyaan tentang status
dari semacam visi yang dipersiapkan dari keseluruhan, yang dimiliki oleh dunia
yang kita alami dan pengalaman kita tentang dunia itu, yang tidak diragukan lagi
diklaim oleh sejumlah mistikus. Penggunaan istilah ‘visi’ untuk pengalaman
mereka dari keseluruhan ini, tentu saja metaforis. Bahasa penglihatan lebih
disukai daripada pendengaran atau sentuhan, karena dianggap mempunyai
kebebasan yang lebih tinggi dari koreksi apapun sesudah itu. Dalam kehidupan
sehari-hari, penglihatan tentu saja tidak menikmati segala sesuatu seakan sebuah
kebebasan total; kita semua akrab dengan pengalaman ‘melihat sesuatu’; tapi jika

1
saya menganggap seorang berada pada jarak yang jauh dan saya ‘mendengar
sesuatu’ daripada saya menduga telah diperdayakan jika saya merespon ketukan
dipintu dan membukanya untuk melihatnya di depan saya. Dalam kasus seperti
itu, penglihatan menunjukkan bahwa keyakinan saya tentang ketidakhadirannya
ternyata keliru. Lebih jauh lagi, kita harus memperhitungkan pengaruh kuat
pembedaan dalam kitab suci (Bible) antara penglihatan dan keyakinan. Keyakinan
dianggap sebagai pengganti penglihatan.

Tapi apakah melihat secara keseluruhan itu, dan apa yang akan kita
katakan tentang keseluruhan yang diduga kita lihat? Disini, penelitian dari
psikolog Gestalt menawarkan banyak, bahwa ia merusak dalam pengertian cara
kita mengorganisasi apa yang mengenai perasaan kita ke dalam keseluruhan yang
kita respon sebagai keseluruhan apa adanya mereka. Misalnya saya sadar tentang
ruang tempat mengetik tulisan ini ketika kerja berlangsung dalam stabilitas yang
relatif, melalui sebuah periode masa tertentu, yang mencapai kedua arah, jauh
melampaui pengetahuan saya sendiri padanya yang amat pendek periodenya.
Lebih jauh lagi, dalam meresponnya sebagai satu keseluruhan, saya mengambil
berbagai macam hal, suatu keseluruhan yang lebih kecil yang menyusunnya
menjadi perkakas. Pergerakan dari keseluruhan kepada bagian, dari bagian kepada
keseluruhan, dalam mempelajari detailnya adalah sangat komlpleks, bahkan
hampir tidak kentara. Sepanjang waktu, ruangan sebagai satu keseluruhan
memberikan konteks pengaturan. Dan dari titik ini kita dapat melangkah pada
contoh lain yang jenisnya berbeda. Misalnya, kita dapat mempertimbangkan apa
yang terkandung dalam memandang sebuah gedung yang kekayaan dan
kompleksitasnya istimewa sebagai satu keseluruhan, tapi masih digabungkan
dengan kegunaan tertentu, misalnya sebuah kuil atau katedral. Di sana mungkin
ada perlengkapan atau sifat-sifat keindahan yang luar biasa atau layak mendapat
pusat perhatian; kita semua mengetahui gereja-gereja di mana keseluruhan
keadaannya sebagian dipertimbangkan kembali oleh keberadaan sebuah lukisan
atau patung yang agung keindahannya. Tapi kita juga akrab dengan bangunan-
bangunan yang tersusun menjadi satu kesatuan desain yang meliputi keseluruhan
dari banyak hal yang dikandungnya, bahkan hingga membawa kita yang relatif
tidak tertarik menjadi menjerit terkesima karena mengagumi keindahannya.
2
Tapi keseluruhan demikian adalah relatif; mereka tidak meliputi
keseluruhan. Hal yang sama pasti dikatakan tentang panorama yang kekayaannya
sangat alami dari jenis yang mungkin kadang-kadang dinikmati seseorang dari
puncak bukit, misalnya di Hebride, di mana dari ketinggian sedang, orang dapat
menikmati pandangan yang sangat lengkap tentang seperti apa mainland dan
pulau-pulau sekitarnya. Orang mungkin dibuat kagum oleh keluasan yang
dilihatnya sekali pandang; tapi orang cukup tahu bahwa, meskipun itu merupakan
presentasi pandangan simultan dari sebuah keseluruhan geografis yang kompleks,
dan meskipun pemahaman dan imajinasi-seketika seseorang sepanjang waktu
memperkaya pandangan yang langsung lepas-bebas, apa yang didapatkan dalam
keutuhan pengalaman seperti itu adalah tidak lengkap, baik ketidaklengkapan
ruang maupun waktu. Sebagai tambahan, sebelum memulai beragumen, harus
ditekankan bahwa dalam sebuah perlakuan sepenuhnya terhadap hubungan
persepsi atas keutuhan seperti yang telah saya sebutkan, keterjalinan elemen-
elemen dalam tiga sintesis Kant tentang pemahaman dalam intuisi, reproduksi
melalui imajinasi, dan pengenalan dengan konsep, harus mendapatkan perhatian
lebih.

Meskipun pengalaman yang diterangkan sejauh ini masih bersifat visual,


jalannya argumen telah memisahkan mereka dari pemusatan pada elemen visual
yang dikandungnya, dan kita lebih menaruh perhatian pada jenis kebutuhan yang
ditunjukkannya. Sekarang tiba waktunya untuk menyebutkan sebuah contoh dari
jenis yang sangat berbeda, yaitu harapan yang diikutsertakan dalam riset
kosmologis untuk membangun peta alam semesta dalam ruang dan waktu. Jika
peta semacam itu dicapai dan membentuk sebuah Gestalt dalam sebuah pengertian
yang sama (meskipun jauh lebih kompleks) dengan yang telah diterangkan di atas,
samar-samar kita dapat membayangkan seperti apakah penguasa dalam lapangan
ini, yang memiliki peta seperti itu di ujung jarinya. Ini bukan lagi perkara
penglihatan dalam pengertian biasa. Ia akan lebih sebagai kemampuan untuk
menggunakan kerangka referensi yang luas yang luar biasa untuk menjadwal dan
menentukan tempat bagi semua peristiwa apapun. Orang dapat berbicara tentang
batas-batas pengetahuan manusia yang telah ditekan kembali pada batas
tertingginya, dan orang dapat memandang manusia seperti itu dalam pengertian
3
yang jelas sebagai penguasa ruang dan waktu. Adalah tidak munkin seorang yang
secara matematis bodoh, untuk membayangkan penguasaan seperti itu; hal ini
berada jauh di luar jangkauan pemahamannya, dan setiap usaha untuk
memahaminya dalam pengertian-pengertiannya sendiri akan mendistorsi
aktualitasnya dengan metafor-metafor yang tidak relevan. Jadi, menyebutnya
sebagai penglihatan pun bahkan akan beresiko kesalahpahaman total dalam
menampilkan sebuah pengalaman di mana saling-penetrasi antara yang konseptual
dengan aspek pengamatan adalah khas dan manusiawi.

Lebih lagi, mungkin dapat dinyatakan bahwa ketika gagasan tentang


sebuah konsep keutuhan diperhatikan, kita perlu menguraikannya lagi dalam
istilah-istilah Gestalt daripada dalam bentuk-bentuk yang disarankan oleh
perlakuan awal Kant tentang pemahaman diskursif dengan konsep-konsep dalam
kemurnian formalnya dalam ‘Deduksi Metafisika dari Kategori-Kategori’. Di sini
signifikansi dari doktrin skematisme yang kabur dapat dilihat memperluas di luar
wilayah sintesis kedua, yaitu reproduksi imajinasi. Perubahan konsep-konsep
apriori melalui skematisasinya tampaknya akan berupa menampilkan pada kita
pengejawantahan khusus yang menjadi tanda peran organisasional mereka dalam
membuat persepsi yang objektif menjadi mungkin. Jika perlakukan Kant tentang
bentuk dunia atas kita mengarah pada arah yang benar, maka aktivitas yang
konstruktif harus dilakukan melalui penyelesaian sedekat mungkin, jika pengertian
terpotong-potong dan terputus dari pengalaman dibaca dengan benar. Dan dalam
aktivitas pensistesaan yang konstruktif ini, kesadaran tentang keseluruhan sebagai
mengandung kerangka-kerangka, tampaknya akan mempersiapkan pembacaan
atau keadaan. Orang bahkan dapat dengan signifikan berbicara tentang jenis
penguasaan ini sebagai sebuah watak.

Maka, bentuk transisi dari pengalaman seperti itu menuju jenis mistik,
akan melibatkan sebuah metabasis eis allo genos. Dalam keduanya, ada sebuah
pelampauan dari batas-batas yang sudah lazim; tapi apakah ada sebuah analogi
antara dua jenis pelampauan yang terlibat tadi? Karena dalam pengalaman mistis
akan tampak bahwa kadangkala klaim dibuat untuk melampaui sudut pandang
sebelumnya, yang darinya kesadaran yang lazim atau bahkan luarbiasa-dinikmati,

4
dikritisi, diubah, dan sebuah tahap yang akan diraih dalam mana pengalaman itu
mendapatkan kritisisme dan transformasi yang berat. Dalam pengertian ini, kita
harus memperhitungkan sebuah tahap kesadaran yang mengklaim bahwa oposisi
antara yang subjektif dengan yang objektif akan diakhiri, dan keterpisahan
biografi si peneliti dari hasil penelitiannya akan terhapuskan tanpa merusak yang
lain.

Dalam hymne cinta yang dimasukkan Paul dalam surat pertamanya pada
Korintus, ia berbicara tentang sebuah pengetahuan tentang diri kita ‘bahkan ketika
kita diketahui’ yang suatu hari akan kita miliki. Jelas bahwa pengetahuan seperti
itu terjalin erat dengan cinta, yang dalam bagian ini dihargainya lebih daripada
iman dan harapan. Meskipun lebih terang bagaimana ia mengira konsep dari
pengetahuan semacam itu untuk menampakkan sikap kesementaraan dari
keimanan dan harapan, daripada ia menduga hal itu dikaitkan dengan cara
perasaan cinta itu ia gambarkan dalam detail yang indah sekali. Akan tampak
bahwa ia menduga rintangan antara pengalaman kita tentang diri kita dalam
hubungannya dengan dunia kita dan pengetahuan tentang diri kita ketika kita
melihat diri kita (sejalan dengan) bagaimana Tuhan melihat kita, remuk redam
merindukan dalam cinta, di mana cinta itu untuk Tuhan atau tetangga kita. Ketika
berkaitan dengan cinta kita kepada Tuhan, bagi Paul adalah selalu sebuah cinta
yang secara mendasar responsif pada orang yang pertama mencintai kita, dan
darinya cinta kreatif yang tidak mempunyai kekuatan merusak, selalu cukup kuat
untuk menarik kita. Untuk melihat diri kita sebagaimana Tuhan memandang diri
kita, bagi kita akan berupa memahami dalam istilah-istilah manusiawi, bahwa kita
berada dalam cinta Tuhan. Pengertian seperti itu sama sekali tidak lengkap, bisa
diperdebatkan apakah ia adalah persoalan persepsi memaksa seketika yang dengan
sulit dicapai, segera diterima, dan dengan cepat pula hilang. Ia menentang
formulasi bukan karena tidak mempunyai semacam objektivitas yang harus
terkandung dalam pernyataan referensial, tapi lebih karena ia memberikan
manusia paradigma tentang objektivitas tertinggi, sebuah penerimaan kepada
benda-benda sebagaimana adanya, sebuah kehadiran pada aktualitas mereka yang
tidak tertahankan dan menakutkan. Hanyalah cinta yang sempurna yang
menghapuskan ketakutan, dan cinta semacam itu sangat langka. Dan bahkan
5
ketika ada, ia hanya sekejap, lebih cepat dipalsukan daripada disadari dalam
aktualitasnya.

Dalam surat keduanya kepada Korintus, yang merupakan permintaan


maafnya yang paling mendalam atas kehidupan dan karyanya sebagai seorang
rasul, Paul membicarakan bahwa ia telah ‘dibawa menuju langit ketujuh’ dan
dapat melihat apa yang tidak terbahaskan. Kemudian pengalaman ini sedikit
memberi bobot sebagai sebuah landasan bagi apologi kerasulannya, bila
dibandingkan dengan paksaan keasyikan imajinasinya dengan kebutuhan dan
kelemahan dari banyak manusia kelas-kedua yang terkumpul dalam persahabatan
gereja yang telah ia temukan atau yang ia perhatikan kesejahteraannya. Baik
kegembiraan maupun klaim yang mengganggu dari cinta ini, memecahkan pola
biasa dari hari-hari dan tujuan hidupnya. Tapi ketika imaji-imaji mungkin
ditangkap sebagian, setidaknya penyingkapan yang menyeluruh dari sebuah
pengalaman sekejap, hanya kecanggungannya sendiri dan kelemahannya yang
membantu menandai, baik untuk dirinya maupun masuknya ia pada rahasia cinta
Tuhan. Jadi, dalam kelemahannyalah, kekuatan menjadi lengkap.

Dalam catatan-catatan tradisional jalan mistik, kita akrab dengan


perbedaan antara jalan penyucian, jalan pencerahan dan jalan penyatuan. Seorang
ahli epistemologis akan menulis, pada jalan penyucianlah perhatiannya akan
diberikan. Karena pada tahap inilah tampaknya mengandung semua tiga fase yang
berturutan secara bersamaan, ketika hal-hal yang tidak berhubungan dihilangkan
dan para pejalan menyediakan apa yang tidak dapat diniatkannya dengan apa yang
dia klaim untuk dicari atau apa yang menurutnya mencari dia. Lebih jauh,
sebagaimana akan kita lihat, penghilangan yang tidak berhubungan adalah
menjadi bagian pengalaman mistis yang difokuskan pada dugaan imaji-imaji
visual, yang untuk tiap-tiap imaji dari setiap bentuk merupakan pecahan dari jenis
yang secara total memurnikan kesempurnaan pemahaman tertinggi, yang
dijadikan sebagai tujuan. Jadi Paul dapat melihat apa yang tidak dapat ia katakan.
Tidak ada kemajuan yang dicapai oleh jenis asketisme kombinasi moral dan
intelektual atas filosof Plato yang memenangkan ‘gagasan tentang Tuhan’; dari
pemberian bebas Tuhan sajalah rasul itu mendapatkan pengalamannya. Tapi

6
sampai pada tingkat ketika ia memberi dirinya pada penggambaran dalam istilah-
istilah visual, ini adalah komunikasi yang lebih sedikit dengan kehadiran Tuhan
daripada yang terus-menerus terjadi padanya dalam kesakitan dan kebingungan
atas misinya. Jadi Isaiah mempelajari kesempurnaan visi yang dinikmatinya pada
tahun kematian Raja, selama dan melalui usaha yang menjadikannya diangkat
sebagai nabi melalui pengalamannya tentang Tuhan yang ‘agung dan mulia’.
Dengan membuang pengalaman tertentulah sesuatu yang aslinya tidak dapat
dikomunikasikan, menjadi dapat dikomunikasikan. Jika pengalaman mistis
dibicarakan dengan tepat seperti ketika oposisi antara subjek dan objek diakhiri, ia
harus pula digolongkan sebagai sebuah pengalaman di mana objeknya sepenuhnya
begitu jelas sehingga orang harus berbicara tentang subjek sebagai dikurangi
menuju lokus dekat kejelasannya. Atau (dengan menggunakan metafora yang
disukai Paul) bejana carthen tempat menyimpan harta karun dan yang ketika
ditengahi pecah berkeping-keping. Semua yang kita lihat kadangkala pecahan-
pecahan, dan perbandingan yang ditawarkan dengan kesempurnaannya yang tidak
dapat ditawar-tawar, dengan kesederhanaan yang aneh dari kata-kata mistik.
Kesederhanaan ini adalah salah satu akhir dan bukannya permulaan, dan sangat
sedikit yang bisa mencapainya.

Ketika alam raya ini diperhatikan, para epistemologis berdiri pada garis
samping, satu-satunya perannya adalah menulusuri jejak di mana bahasa visi,
persepsi, dari keseluruhan yang absolut diambil dan disimpulkan untuk membantu
mengungkapkan sebuah pengalaman yang merupakan perkara yang asik dan unik.
Dan semua ini karena dalam pengalaman itu, semua perbedaan konvensional
antara jauh dan dekat, akrab dan asing, alami dan transeden, akan lebur. Imaji
visual sangat penting di sini, karena dengan mengenali imaji (dan imaji seperti itu
sangat beragam) dengan realitas, bahkkan dengan melampaui realitas, bahwa
mistikus telah diperhatikan. Karena apa yang dikonukasikannya bukanlah dalam
visinya melainkan dalam hidupnya, dan bahasanya tidak dapat dielakkan lagi
menjadi puitis daripada deskriptif.

Dalam kesimpulan, saya harus mengartikan hal ini dengan rujukan pada
Revelation of Divine Love (Pembukaan Rahasia Cinta Tuhan) karta Mother Julian

7
dari Norwegia. Tapi pertama saya harus menambahkan sebuah catatan perihal
pertanyaan yang sangat kontroversial tentang status gambaran-gambaran mental.
Sebagai perkara fakta empiris, gambaran-gambaran itu terjadi, dan memainkan
peranan yang penting dalam mengingat apa yang telah lewat. Ketika sebagian
besar memori jelas-jelas bersifat susunan dan tidak aktual, kita harus
memperhitungkan tindakan pengingatan yang kadang-kadang dan seringkali tanpa
sengaja. Jadi sebagaimana saya menyusun paper ini, dapat saja saya teringat
peristiwa jatuh di trotoar yang dingin, di sebuah lapangan terbuka kota West
Highland di Oban dua hari sebelum Natal 1925 ketika saya beru berusia dua belas
tahun. Saya dapat mempunyai-saya tahu diri saya dapat mempunyai-sebuah
gambaran tentang tubuh saya yang jatuh pada trotoar. Tapi yang saya ingat
bukanlah gambaran ini; tindakan ingatan saya dalam kasus ini, adalah lebih
kompleks dan lebih seksama daripada sebuah gambaran. Lalu, seperti dikatakan
oleh Profesor G.F.Stout dengan sangat tajam, meskipun imaji bukanlah peristiwa
tindakan mengingat, ia mempunyai fungsi mengarahkan perhatian pada benda
atau peristiwa yang sedang saya ingat. Jika saya memperlakukan imaji sebagai
sebuah salinan representatif dari apa yang saya ingat, demikian juga saya tahu diri
saya segera berada dalam kesalahan. Terlalu samar dan skematis untuk
menyampaikan objek ingatan. Lalu, dengan kejadiannya perhatian saya terfokus,
dalam contoh saya pada peristiwa 23 Desember dan tidak, misalnya pada hadiah-
hadiah yang saya dapatkan dua hari kemudian! Untuk mengatakan bahwa fungsi
imaji-imaji memori dalam cara ini untuk menguatkan sebuah proposisi empiris,
dan orang yang mempunyai kondisi-kondisi verifikasi adalah tidak mudah untuk
menentukan. Tapi ia bisa dipertahankan karena sangat banyak orang yang
mengklaim bahwa ia adalah sebuahdeskripsi pengalaman mereka sendiri.

Saya tidak pernah berpendapat bahwa pengalaman visual yang diduga


keras dialami oleh Mother Julian adalah dianggap sebagai imaji-imaji memori.
Jadi pengertian ketika sebuah imaji memori dapat dianggap sebagai sebuah
pengalaman visual adalah sepenuhnya jelas; kita bahkan tidak secara gampang
membicarakannya sebagai sebuah mimpi yang dapat dibicarakan sebagai pada
dasarnya visual. Maka imaji-imaji seperti itu (jika memang terjadi) adalah
semakin serupa dengan pengalaman visual daripada jenis pengalaman lain.
8
Meskipun mempunyai sifat samar-samar dan cepat berlalu, tapi sulit untuk
membiarkan mereka sama dengan ketegasan garis yang kita temukan dalam
pengalaman mimpi yang sulit diingat. Maka, dalam visi-visi yang diklaim dialami
oleh Mother Julian tentang penderitaan Kristus, ada sebuah peran dengan melihat
pengalamannya dapat disamakan dengan yang dipenuhi oleh imaji-imaji memori
dalam analisis Stout tentang pengingatan. Ia dapat menjelaskan apa yang
dilihatnya; tapi penggambaran seperti itu hampir sepenuhnya tidak tepat intuk
wahyu yang diklaim telah diterimanya. Karena pewahyuan ini menyentuh
hubungan antara yang sementara dengan yang abadi, ditetapkan bagi seorang
perempuan yang saleh dari Abad Pertengahan dalam istilah-istilah rahasia
penitisan Kristus yang tidak dapat diungkapkan. Baginya, wahyu-wahyu dari cinta
Tuhan yang telah diklaimnya adalah wahyu-wahyu dari kedalaman gairah Kristus.
Tapi mereka diterima seakan untuk memungkinkannya menyadari, dalam sebuah
cara yang secara spiritual amat dalam sekaligus kuat secara intelektual, apa yang
dapat saya sebut sebuah dimensi baru dari temporalitas. Orang berusaha
mengatakan apa yang dia tulis seakan-akan masa depan sudah terjadi, menurutkan
dalam setiap jenis paradoks untuk menegaskan realitas waktu, dan pada saat yang
sama menyangkal kekebalannya pada jenis tertentu dari tidak keterjangkauan
Tuhan. Dalam usahanya untuk mengerangkakan melalui penggunaan konsep
transadensi ini, ia membuat sumbangannya pada diskusi masalah-masalah
metafisik dan teologis dari status waktu. Ini hanya merupakan semata-mata
permulaan untuk mengatakan bahwa bagi ya, dengan membaca rahasia semangat
Kristus, kita dapat berharap mempelajari hubungan antara waktu dengan Tuhan,
dan Tuhan dengan waktu, dan dengan mempelajari apa yang kita dapat dari
rahasia-rahasia ini, untuk menembus signifikansi bagi kita dari realitas
kesementaraan kita yang tidak terungkapkan.

Jenis pengalaman Mother Julian adalah sebuah contoh yang dengan tepat
bisa disebut intrusif (dipaksakan). Artinya, ia mendobrak apa yang kita sebut
pengalaman biasa, karena untuk mengungkapkannya kita mengambil urutan-
urutan konseptual yang biasa, dan memelintirnya serta mengubah mereka pada
satu arah pada satu kesempatan, dan arah lain pada kesempatan berikutya.
Sehingga, dalam menampilkan pada kita keseluruhan yang dikatakan pada
9
permulaan catatan ini, kita temukan diri kita terlibat dalam semacam tarian verbal
atau intelektual ketika kita ikut serta di dalamnya, mengajarkan kita ritme dan
langkahnya sendiri, tapi kita kemudian kembali pada langkah kaki kehidupan
sehari-hari, membuat kita tercengang dengan bentuk dan gaya langkah yang telah
kita buat sedemikian cepat. Kemudian, setidaknya cinta menyisakan
kemungkinan-kemungkinan ketidaktertarikan total, yang pada saat yang sama
kemungkinan keikutsertaan total kita. Seorang moralis besar dengan cara berbeda
telah mengakui kearifan Plato dalam berpendapat bahwa visi yang tidak bisa
terkomunikasikan tentang ‘gagasan tentang Tuhan’tertinggi, hanya bisa dipenuhi
dengan kembali pada ‘Gua’ orang-orang yang telah mengalaminya. Apa yang
mereka alami hanya bisa dimiliki dalam komunikasi, dan komunikasiadalah
dalam dunia manusia. Kita sudah sepantasnya kritis pada otoritarianisme filsafat
politik Plato yang tidak menghasilkan; tapi karenanya kita tidak boleh kehilangan
pandangan pada kejelasan yang dengannya ia memahami masalah hubungan
langsung dari visi kontempaltif, tentang aktivitas intelektual kritis, dan tindakan
manusia. Dalam komunikasi yang terakhir mengandung (yang dapat dipandang
sebagai cinta dengan cara yang tidak dilakukannya) bahwa masalah-masalah
hubungan dari ketiganya tampaknya tidak diselesaikan atau bahkan tidak
dibubarkan, tapi diberikan konteks tempat pengertian terdalam mereka
ditunjukkan. Melalui tindak komunikasilah visi inklusif seorang mistikus
didefinisikan, bukan seketika, tapi dalam ketidaksempurnaan yang membutuhkan
koreksi terus-menerus. Dan menunjukkan pada tingkat praktis, betapa sulit
pebatasan semacam itu seperti diyakini disini sebagai memotong sisi cakrawala
akihir dari kematian. Kemudian, untuk memahami perbatasan tentang apakah
mereka itu dan untuk membuat orag lain tahu sedikit tentang apa yang terkandung
dalam bagian mereka, suatu ketika tentang biaya dan kejayaan, bukanlah
pelayanan terakhir yang ditawarkan mistikus sejati pada manusia.

Demikian juga dengan Mother Julian; ketika apa yang diketahui dia
mampu untuk mengatakannya dalam bahasa yang sering memperlihatkan
kesederhanaan, perhatiannya dan perhatia para pembaca diikat kuat oleh apa yang
diterangkannya. Tapi apa yang hendak diungkapkannya bukanlah berada pada
perincian keterangannya. Perincian itu harus sebutkan jika kita tidak ingin
10
melupakan bahwa rahsia tertinggi yang berani ia ungkapkan harus mempunyai
dan terus-menerus membutuhkan daging dan darah pengungkapan. Karena jika
dengan bahasa ia mencapai wilayah di luar ketertentuan visi-visi ya, bahasa itu
masih merupakan alat manusia. Bahkan ketika imaji tidak cukup layak untuk apa-
apa yang diwakilinya, demikian pun bahasa tida cukup layak untuk apa yang
diharapkan dapat disampaikannya, dan hanyalah dalam kesederhanaan, manusiawi
final dari kehidupan seorang suci (yang kata-katanya juga menjadi bagian )bahwa
harapan yang berani diakuinya telah diteguhkan dengan efektif. Maka, imaji-imaji
dan kata-kata merupakan peralatan dan jenjang yang musti dipakai manusia;
karena meskipun objek harus menang dari subjek, kemenangan itu harus
dinyatakan dalam hubungan dengan kata dan imaji, seperti hanlnya dalam
kehidupan sehari-hati, yang tentu saja memberikan latar bagi satu kejadian dan
kupasan orang lain.

Sumber:

Smart,Ninian.2007.Memperebutkan Tuhan.Yogyakarta:Unggun Religi

11

Anda mungkin juga menyukai