Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN KEDUA

KRITIK ATAS AKAL INSTRUMENTALIS:


METADISKURSIF TENTANG FILSAFAT KRITIS

Sensualitas Ontologis

Pengertian sensualitas benda disini bukan pengertian psikologis empirikal, tetapi pengertian
menurut hukum akal murni. Orang-orang yang mengerti keadaan berarti menyediakan
dirinya untuk persembahan kepada suatu kepalsuan yang atraktif, hingar bingar, dan
mengendapkan jiwa seseorang untuk selalu dalam kehangatan yang tidak menyenyakkan
tidurnya dalam dirinya sendiri. Perasaan tidak mengambil tempat suatu, dan terlempar dari
iluminasi intelektual. Ketika terjadi penyusupan intelijensia struktural ke dalam sarang
musuh, menggunakan pengamatan superfisial, pelan-pelan tapi pasti, ia dapat menangkap
hubungan internal antara rasionalitas transontologis tersembunyi dibalik kata dan struktur
rasionalitas instrumentalis. Rasionalitas transontologis menumbuhkan fonologi (struktur
bunyi) dan struktur tujuan (pragmatikalogi praktis) yang tidak menjamin suatu tindakan
kedalam serangkaian pengertian teoritis dan praktis. Karena kita menangkap sesuatu yang
ada tidak hanya melalui kata: verbal, tetapi juga non verbal: kejadian di dalam alam dan
dirinya sendiri. Demikian pula suatu tindakan, pengertian ditangkap dan diresapi melalui
ekstra ekspresitas jiwa ditandai simbolicum, isyarat (bahasa tubuh) dan bahkan firasat positif
atas suatu kejadian atau gambaran yang mengurung dirinya sendiri. Saya sependapat, bahwa
perasaan tidak dapat menjadi dasar mutlak untuk suatu totalitas pengertian yang benar atau
pengetahuan pasti terhadap sesuatu, kecuali akalnya sendiri. Angan-angan dan khayalan
benar ada dalam ilustrasi hasrat, bagi penyembah kemajuan, ia datang dengan sebuah tangan
hampa mencekik prediksi logis yang bermodel statistika dan silogisme memuakkan peralatan
subyek. Stimulasi hayalan begitu juga hukumannya, ia bukan sarana efektif dalam rangka
akumulasi pemuasan dari struktur kebenaran singular sesaat dalam ketersiksaan eksistensi,
sehingga ia milik semua orang, kecuali akalnya sendiri. Didalamnya bergumul aneka
pengertian yang rancu yang diperkenalkan para filosof kita. Orang-orang berkeyakinan kuat
akan hal ini, kecuali orang yang sangat puas terhadap pengertian struktur universalitas logis:

1
pengertian negatif dan pengertian positif menghembuskan takdir yang dicampuradukkan
dengan kegairahan akal sehat dan kehendak praktis itu sendiri. Subtansi, apa yang menjamin
kebenarannya. Ia berkawan dengan struktur bunyi dan makna leksikal di dalamnya masih
bersembunyi. Atau pengertian yang menunjuk sesuatu yang adanya pada adanya sendiri,
seperti manusia, binatang, batu dan lainnya berada dalam struktur bunyi yang berlainan,
tergantung siapa menggunakan akal instrumentalis. Apabila ruang dan waktu terus menerus
berjalan sebagaimana adanya, kemungkinan masih menempatkan sketsa ide sebagai bagian
prasyarat penentuan diri dan segala yang ada, mencakup hal-hal non atribut, subyek berpikir
dan susunan obyek luar dari pikiran kita. Sebagian lainnya menjadi identifikasi obyek-obyek
yang dimunculkan oleh pikiran. Apakah setiap identitas obyek bendawi, kebenaran logis dan
hal-hal yang belum diketahui dalam wujud asli ad infinitum, dari dan oleh pikiran kita selama
ini memunculkan pertanyaan, diantarnya: setelah alam terbentuk, apakah identitas dan atribut
realitas eksternal menyatakan ada, ataukah ide yang menggambarkan dan menjelaskan
kenyataan obyektif luar? Ini pertanyaan aneh. Selain itu, obyek dunia inderawi yang kita
kenal masih banyak yang belum terjangkau oleh gagasan baru. Sehingga saya mencoba
meragukan sesuatu teridentifikasikans sebagai ”dunia jasmani” yang mengakibatkan
keraguan subyek di daerah demarkasi keputusan jiwa. Seonggok keputusasaan melihat obyek
luar, kemuliaan dan oposisinya meratakan jalan bagi para pendusta subyek berpikir. Ia sangat
mengasyikkan dengan mengeksplorisasikan ide dalam akal. Selanjutnya untuk apa terbentuk
alam, yang diketahui maupun yang belum diketahui. Padahal subyek berakal melalui filsafat
ide terhadap sesuatu yang alamiah dan riil. Sehingga ia dengan dasar esensialnya memahami
dirinya sendiri, melingkupi dan mewadahi setiap ”dunia ada”. Hal ini berarti tidak
selamanya alam misterius dan wujud esensial ini dapat ditaklukkan oleh subyek potensial
dengan mengarahkan kemampuan akal budi untuk menghasilkan pengetahuan manusia.
Memang saat ini, kita terlalu berani mengungkapkan kebenaran berlandaskan teori
pengetahuan terhadap obyek luar atau persepsi inderawi yang diproyeksikan akal.
Disamping itu, fakultas intelektual kita memenuhi pikiran manusia sampai mengenal sarana-
sarana obyek luar sebagai kemajuan kodrati yang fantastik. Tetapi kehadirannya meloloskan
berbagai pertanyaan sekiktar mengapa dan ide kemajuan sebagai sesuatu absurd, memalukan.
Sedangkan akal budi hanya menegaskan sesuatu yang ada menjadi prasyarat berlakunya
kemampuan ide yang mempengaruhi dan mengarahkan pengetahuan logis dan pasti terhadap

2
setiap obyek artifisial dan superfisial. Selanjutnya, sudah menjadi pengetahuan umum,
bahwa kemaujudan alam dan diri lebih memberikan pemahaman yang mendalam jika
ditelesuri dengan prinsip-prinsip filsafati, bahwa ide juga dapat mengatasi keraguan melalui
alur mengapa sesuatu ada dan mengada. Karena keabsahan segala sesuatu yang wujud tidak
bisa dipastikan dengan prinsip ada, mestilah melangkah pada mengada. Sejauh ini, hubungan
pikiran dan obyek luar mengambil bersumber dari keduanya sehingga terungkap sebab-sebab
mengapa segala sesuatu itu ada. Ketidakmustahilan menghilangkan jejak ada tanpa
menggunakan prinsip mengada pada sesuatu dalam alam dan diri kita. Keteguhan jiwa yang
paling mengasyikkan jika kita mengenal sejauh mungkin ide menyiksa daripada harga
sebuah permen karet di toko serba ada. Karena ide merupakan pengetahuan pasti
dibandingkan persepsi dan realitas obyektif lainnya. Mendahului berarti dapat diperhadapkan
kepada keserbaadaan logika formal dengan ketertarikan dalam mengungkapkan efek pesan
metabolitas fantasional benda berdasarkan pengingkaran atas ”dunia jiwa” tanpa henti
mengawasi pergerakan-pergerakan inderawi yang membius dirinya sendiri.
Pada awalnya, kehidupan ini dilahirkan dalam suatu kecurigaan universalitas
romantisme pilihan dinamis yang dinamakan ide persaksian (testimony idea) sebagai titik
tolak pemikiran subyek. Akal sehat instrumentalis tidak mengambil ide persaksian ini
sebagai diskursif metodis dan praktis. Karena dia adalah bukan sumber dari seluruh
kesadaran ”realitas” di dalam internal dan ekternal subyektif yang mengarahkan setiap
pikiran, kehendak dan realitas lain. Jadi menurut saya, suatu ide persaksian mendahului
dasar-dasar akal asali dan/atau ide bawaan (innate idea) pada diri makhluk berpikir.
Sebagaimana akal murni, Platonian dan Cartesian menetapkan ide bawaan memungkinkan
mengetahui setiap ”bentuk” atau ”atribut” dibalik ”dunia materi” yang berada disekitar obyek
inderawi kita. Mengetahui, bahwa ide bawaan mempertegas pemikiran segala sesuatu sudah
ada sebelum pikiran kita membenarkan sesuatu yang ada menurut persepsi inderawi.
Sedangkan ide persaksian lebih memungkinkan untuk mengetahui setiap ”gejala” maupun
”wujud esensi” dibalik dunia materi dan immaterial. Ide persaksian sebagai wujud esensi
teristimewa karena melampaui terminologi atau pengertian akal itu sendiri. Dalam
eksistensinya, ia mengetahui segala sesuatu sebelum ide bawaan mengungkapkannya.
Singkatnya ide persaksian melingkupi segala apa yang melingkupi di dalam ”dunia materi”
dan ”dunia immateri”. Karena kehadirannya esensial, ia tercipta sebagai ”pembimbing

3
segala ide”. Sekalipun ada dalil yang mengatakan, bahwa ide bukan untuk menciptakan dan
berbuat sesuatu. Tetapi, jika ide persaksiaan mengetahui dengan benar dan pasti sebelum
pengetahuan manusia mengenali sesuatu, maka ia sangat memungkinkan mengarahkan setiap
pengetahuan dan tindakan manusia. Ide persaksian mengetahui sesuatu hal atas ”dunia lama”,
”dunia baru”, dan ”dunia disana”. Dalam kesempatan ini, tidak mustahil dalam pembahasan
ini diarahkan untuk menumbuhkan serangkaian kritik nalar atas alam sebagai maujud
majemuk. Apalagi berkaitan dengan kebutuhan untuk memahami sketsa ide dalam kurun
waktu yang cukup lama masih terpesonanya teori pengetahuan terhadap struktur hubungan
logis antara amukan psikis yang nmenghinggapi pikiran posmodernisme dan logika
fungsional (pengetahuan teknis) dalam menyemangati subyek berkecamuk jiwanya. Pada
tahapan selanjutnya, suatu ide dasar menjadikan prinsip-prinsip ”ada” sebagai rangkaian titik
balik dalam menumbuhkan nalar kritik dalam beberapa peristiwa penting, diantaranya
pengetahuan terhadap logika formal dan logika fungsional dalam menghadapi semangat
posmodernisme merayakan kemenangannya atas semua hal in abstracto1 dalam
pengembaraan panjang berdasarkan trayek-tryek khusus dan umum dalam ”dunia kini” dan
”dunia ragawi”. Saya memahami, bahwa keperluan kita sebagai makhluk berpikir, yakni
kemungkinan peneguhan subtansial dalam struktur kehidupan ganda, sebelum dan setelah
logika posmodernisme, yaitu struktur vulgar melankolia yang logis. Oleh karena itu,
berdasarkan keperluan ini, kiranya perlu melakukan kesadaran kritis atas akal instrumentalis
yang masih sangat menarik untuk dikembangkan dalam berbagai studi filsafat, yaitu pesona
struktur rasionalitas kritis, yaitu:

Akal Sebagai Fondasi Abstraksi Bagi Kealamiaan Instrumentalis

Ide dimaksud tersebut diatas adalah sebelum lahirnya diskursif nalar metafisika yang
dekil, nalar aktif dan seluruh metabolisme pikiran-pikiran logis lain. Menyadiri betapa
pentingnya suatu pertumbuhan realitas eksternal menampik ”ada” yang lain. Pikiran orang
waraspun meyakini kebenaran logis yang tegar diproyeksikan oleh pengalaman obyek
inderawi yang kadangkala menipu kesadaran. Satu hal, kita dapat menuduh tanpa
pertimbangan akal, bahwa nalar posmodernisme sebagai dua realitas: realitas kesadaran dan
realitas naluriah. Realitas kesadaran berpapasan dengan adanya abstraksi akal yang bukan
saja melekat tetapi juga menggelora dalam akal. Realitas naluriah menelanjangi dan

4
mengemasi kembali fantasi, ilusi dan pengetahuan teknis dalam kritik atas akal
instrumentalis. Disebabkan oleh struktur kesadaran, pengetahuan manusia ternampakkan ide
sebagai abstraksi akal sudah tentu ada dalam struktur fonologis. Sebagaimana bagian dari
refleksi metodis, struktur kesadaran ini dikembangkan juga dalam nalar posmodernisme yang
mencampakkan struktur naluri. Dalam realitas luar, perseptual mendekam dalam
pengalaman inderawi, seperti: sentuhan, penciuman, penglihatan, dan persepis inderawi
lainnya. Kritik atas akal instrumentalis menisbahkan sesuatu yang ada sebagai realitas
kesadaran yang dilingkupi ide. Jika terjadi keganjilan, bukan ide yang menggambarkan
dunia, tetapi ide itu sendiri mengingkari penyatuan diri subyek dan alam kodrati. Singkat
kata, kekeliruan besar lebih cenderung kepada pikiran praktis. Berkaitan dengan itu, setiap
struktur ide-ide bawaan mustahil menjadi kategori-kategori benda majemuk dan sintesis
belaka. Dia menjadi ”ada” karena subtansi jiwa membentuknya. Seperti yang saya pernah
dengar, telah terbangun suatu ide berkesinambungan dan kritik reflektif menyangkut
kegagalan akal sehat kita dalam perikehidupan modern. Struktur makna denotasi (apa
adanya) tidak banyak memancing ide dalam metode nalar posmodernisme. Saya memilih
kata pos (post) sesuai dengan kemewahan morfologi (struktur kata) aslinya, berarti
setelah/sesudah. Pikiran terhadap realitas kesadaran dan realitas naluriah menempatkan kritik
atas akal instrumentalis yang serba kontradiksional yang dangkal. Kritik atas akal
instrumentalis memungkinkan melampaui ”bentuk” dan ”makna” sesuatu yang ada.
Sementara realitas naluriah tergiring kedalam makna sesuatu yang ada. Ide sebagai abstraksi
akal mempertontonkan kegilaan dalam realitas kesadaran dan realitas naluriah yang
mengasyikkan. Ide sebagai abstraksi akal tidak menguasai tetapi menyusun sesuatu yang
ada. Pikiran kita kepada sesuatu yang ada dibalik obyek benda membuka jalan bagi akal
instrumentalis untuk mementaskan berbagai struktur naluriah kedalam struktur depresif. Ide
sebagai abstraksi akal yang membentangkan struktur depresif dinobatkan oleh realitas
naluriah yang menggelora. Keadaan saat ini lebih sering beralasan kepada pembenaran
rasional padahal mengacaukan segala sesuatu atas nama konotasi kelaziman. Pada ungkapan
lain, bahwa metode nalar posmodernisme mengandung intisari subyek berpikir yang
diungkapkan melalui struktur makna konotasi. Demikian juga kata modern memiliki struktur
wacana dari struktur denotatif menjadi struktur nalar. Kita semestinya memisahkan
pembahasan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dalam menjelaskan metode nalar

5
posmodernisme. Argumenatasi logis juga menjawab keraguan nalar, bahwa wacana
posmodernisme lahir ketika terjadi netralitas ilmiah dalam pikiran kita. Prinsip nalar tentang
”ada” digambarkan menurut kesadaran ”Aku” ditampilkan juga dalam daya abstraksi ide
bawaan kita. Dari ide bawaan melahirkan realitas dalam kemudian membentuk pola
destrukturisasi nalar kemajemukan realitas luar. Jadilah, prinsip nalar ”ada” sesuai dengan
ide asali itu sendiri. Singkatnya, prinsip nalar ”ada” diletakkan didepan realitas dalam dan
realitas luar, dan diantara ide dasar dan ide bawaan. Disamping itu, ide-ide dasar
memproyeksikan nalar posmodernisme untuk mengungkapkan realitas luar. Selayaknya
dalam hal ini, nalar posmodernisme tidak disebabkan oleh hasil identifikasi dunia luar atau
kondisi obyektif, tetapi terbentuk dari ide-ide bawaan. Karena realitas luar adalah ekstra
subtansial kesadaran didepan keyakinan positivisme logis. Pandangan lain, nalar ”ada”
berasal dari ide bawaan yang menjadi intra subtansial kesadaran kita. Dari realitas luar
membentuk ekpresi dan pencitraan diri menyambut datangnya nalar posmodernisme. Oleh
karena itu, sketsa nalar posmodernisme ini berusaha untuk menegaskan hukum akal dan
hukum alam. Andaikata bukan kegilaan subyek modernisme logis, mustahil pembicaraan
”posmodernisme” masih dianggap ganjil dan membisu. Pada situasi tertentu, obyek jasmani
mengguncangkan nalar posmodernisme, tersubtansikan berkat stimuli gagasan ini pernah
dahulu dikonstruktisasi oleh keingintahuan subyek sang filosof. Subyek ideal yang harmoni
diciptakan yang dengan pandangan sebegitu menawan tarikan imajinasi dalam
menggambarkan pikiran maju manusia menurut hukum akal dan hukum alam. Nalar
posmodernisme ditentukan oleh metode nalar apa paling mengemuka, sehingga sering
dipahami sebagai bentuk impian atau cita-cita yang tinggi yang tidak terlepas dari manipulasi
prinsip-prinsip nalar yang subyektif untuk membentuk dunia obyektif. Keraguan subyek juga
akan lahir ketika ”Aku” sebagai prinsip ”ada”, diidealisasikan yang pasti tidak menggunakan
nalar eksentrik untuk mengelolah nalar posmodernisme. Begitulah cara kreatif untuk
menentukan prinsip nalar posmodernisme, yakni pengukuhan akal budi sebagai dasar
tindakan agar dapat menyatakan ide ”dunia lama” berada dalam batas terjauh yang
dimungkinkan terbentuknya ”dunia baru”. Oleh karena gagasan tentang metafisika
mempengaruhi kehendak, tidak bersinggungan dengan negasi logis. Dalam menggambarkan
secara riil sebagai bagian dari hukum universal, hukum estetika bukan hanya dibentuk oleh
akal budi melainkan juga suatu keniscayaan. Pengecualiaan hukum moral ini, bersumber dari

6
akal budi tidak harus didudukkan atas prinsip akal. Pengecualian prinsip-prinsip akal
ditujukan kepada orang-orang yang tidak melihat dibalik konsekuensi logis dari gagasan
tentang metafisika. Kadangkala kerangka dasar pikiran mengenai pandangan masa depan
yang diinginkan yang disebut cita-cita membentuk dorongan impulsif seseorang dalam
menggapai sebuah harapan yang justeru hanya sebuah mimpi tak terkendali dan
terekflesikan.
Dalam kesiapsiagaanya dibaris terdepan, vera causa2, tak diragukan lagi, bahwa
penggambaran wujud ideal ditampilkan hanya oleh sinonim fonologi yang kering sebangsa
universalisme akal. Sementara gagasan tentang utopia sangat determinatif dalam membentuk
suatu keadaan jiwa, dari dunia obyek luar, realitas luar ke realitas dalam. Pada umumnya,
kerangka nalar posmodernisme yang melewati akal aktif dan kehendak bersifat keterburu-
buruan, sekejap ada untuk dipersepsi inderawikan dapat mengubah sketsa akal sehat itu
sendiri. Seperti seorang pelukis membuat suatu komposisi warna pada suatu obyek lukisan,
yang dipaksakan menurut warna baju yang dipesan oleh kolektor lukisan. Abstraksi ide dari
seseorang yang menggambarkan obyek impian akhirnya berbeda nilai intriksinya dengan
ekspresi personal seorang kolektor lukisan. Meskipun demikian, filsafat ontologis
menempatkan nalar ”ada” berbeda dengan hubungan subyek dan obyek benda belaka yang
mempengaruhi pikiran manusia. Legitimasi moral mendurhakai segenap penuntut balas, dan
akhirnya kuasa, harta, dan seksualitas adalah medium-medium kancah kenikmatan akal
instrumentalis tertua di alam ini. Legitimasi moral sama pentingnya dengan makan adalah
realitas dasar eksistensial bagi para penantang yang paling aktual dari kebutuhannya.
Hingga kini, bukan karena hanya manusia dibentuk oleh alam, tetapi juga telah
digerakkan oleh suatu ide dalam dirinya sendiri (I am in myself) diluar ide supra-alam yang
tidak sama dengan gelombang elektromagnetik dalam ilmu alam (fisika). Akal budi
memindahkan obyek hasratnya kepada gagasan tentang metafisis, dan darinya membentuk
tindakan-tindakan yang sesuai dengan kehendak alam. Atau dikatakan ada kemungkinan
sesuatu yang belum terjadi berdasarkan dunia material lebih merupakan unsur molekul yang
tidak bersenyawa. Sudah bukan rahasia bagi kebanyakan orang, bahwa sebelum alam fisik
ini diciptakan hingga pada tahap paling sempurna, banyak diantara pelopor ilmiah terasa
menyiksa dengan sulit mengjawab apabila ditanyakan tentang asal-usul jiwa dan kehendak
bebas, terutama berdasarkan dari kesimpulan kuat dari pandangan biologis manusia.

7
Kelihatannya, bentuk-bentuk realisme kurang memiliki alasan untuk menyingkirkan
pengetahuan abadi manusia yang mengandung keajaiban yang jauh berbeda dengan
keajaiban bendawi. Demikianlah struktur imitasi para pembela rasionalisme telah bergegas
mengumandangkan intelektualisme untuk bersekutu dengan figur-figur idealisme.
Kelanjutan sebuah gagasan jika instrinsitas subyek X terdapat unsur intensitas pikiran
sebelum mencerapi obyek inderawi dan hayalan. Lihatlah, lintasan peristiwa dan
pengalaman inderawi diperhatikan sampai kepada pemenuhan logika dan menjadikan pilihan
tepat dari pengetahuan baru. Subyek Y memahami suatu jalan terbaik melalui apa bukan
hayali dan pengalan inderawi belaka. Prinsip ada dalam Ide meragukan semua impian dan
harapan bersimbiosis dengan obyek materi. Sebaliknya dia menyerukan penyangkalannya
terhadap pikiran dan obyek-obyek metafisika yang didasarkan pada akal. Gagasan metafisis
adalah ”ide murni” dan kehendak dalam dunia dalam. Akhirnya prinsip nalar ”ada” sebagai
dasar kesadaran subyektif. Alangkah besarnya kenikmatan temporalis dengan pertimbangan
logis didalam kondisi keterpaksaan eksistensi yang merona, beraura disekujur struktur dunia
ragawi kita.
Kebahagian dan keindahan tidak dilukiskan menurut psikologi, tetapi ”ada” dalam ide
bawaan kita sendiri. Karena ungkapan kebahagian dan keindahan adalah menyatu dengan
jiwa dan pikiran sebagai intisari kesadaran subyek dalam mimpi dan bukan mimpi itu sendiri.
Setiap materi dan non materi terdapat ilusi. Dan ide yang paling baik adalah ide yang
terbebas dari ilusi. Demikian pula nalar posmodernisme, ia memiliki subtansi tersendiri dan
diluar ide identitas obyek. Ide tentang posmodernisme menentukan juga kelanjutan dari ide-
ide orisinil dalam mempengaruhi keunikan realitas dalam dan realitas luar. Setidaknya ada
dua penjelasan tentang prinsip filsafat yang pertama ”ada” dalam ide yang berkaitan dengan
nalar posmodernisme ini. Pertama, Keputusan Ide Subyek. Dalam Ide Subyek inilah yang
membentuk ”inti kesadaran” (intellectio nucleus). Sedangkan ”ada” dalam Ide (esse est
Idea) terbentuk setelah ide pra bawaan dan sebelum kelahiran ide bawaan. Dalam subtansi
ide ini, saya menemukan kepatutan yang pasti terhadap kesempurnaan subyek. Tidak
mungkin suatu ide terkikis oleh perjalanan waktu, dan tidak mungkin juga bersifat material
karenanya menghilangkan kesempurnaan ide yang bersifat abadi. Dan kedua, Keputusan Ide
Obyek. Terdiri dari obyek luar dan multistruktural. Ide ini bukan menggambarkan hubungan
hirarkis dunia dan diri. Ide ini bagian yang membedakan pengetahuan dasar kita tentang

8
sesuatu yang nyata dalam ide maupun supra ide, dunia luar kita. Dunia luar, pemahaman
bergabung antara ide superfisial dan ide artifisial dalam tindakan. Kedua ide ini merupakan
tipologi ”akal instrumentalis”. Keduanya adalah bayangan akal instrumentalis yang pertama.
Ketika kita menggambarkan berdasarkan pengalaman melalui persepsi inderawi maka
membentuk obyek yang disebabkan oleh ide bawaan. Disinilah kita beranjak yang
menegaskan, ide dasar berbeda dengan ide bawaan. Sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa
ide persaksian adalah segala bentuk pengetahuan sebelum subyek itu mengenal realitas
”ada”. Berarti sebelum wujud Si X berpikir di dalam dirinya sendiri, dia telah inheren
dengan pikiran sebagai metode untuk menemukan ”Aku”. Bahwasanya, sejak mengetahui
dengan pasti, bahwa ada ide yang belum kita ketahui tentang ide bawaan, yang hanya
dimiliki Penggagas Prima (eidos prima) yang menawan. Dari kodratnya yang abadi,
Penggagas Prima inilah menurunkan ”subtansi majemuk” kepada kita sebagai makhluk
berpikir untuk menyelidiki dan mengungkap ”bentuk-bentuk” segala sesuatu dibalik ”dunia
materi”. Untuk menumbuhkan analitika obyek luar terhadap ”realitas tunggal” ini, makhluk
berpikir sebagai pelanjut ide sehingga kita berupaya mendekati pengetahuan sejati tentang
obyek luar ”dunia materi”. Causa sui3 adalah bukan lagi kontradiksi internal terpuji yang
telah menguasai melainkan kontadiksi ekternal karena obyek luar sebagai dasar-dasar
kedaulatan obyek materia dalam sesuatu.
Penyelarasan defensif menyeruak, diantara ide penggulingan dramatis tentang adanya
prinsip nalar posmodernisme dengan ide superfisial hanya terpenuhi jika ”ada” dalam ide.
Nampaknya, mustahil berlawanan dalam dirinya sebagai subtansi yang berbeda. Persyaratan
prinsip ada dalam Ide tentang utopia tidak jauh beda dengan filsafat Kantian-das Ding an
Sich (benda dalam dirinya sendiri). Dalam prinsip filsafat ini, saya lebih mengkhususkan,
bahwa semua yang ”ada” dalam ide itu sendiri (allthings-being in Idea). Seluruh ide dan
benda terpilah dan terbentuk suatu ”ada” dalam Ide yang khas. Misalnya, ide tentang baju
sangat bermanfaat bagi kesehatan, terutama di daerah beriklim dingin. Baju merupakan ide
dan maujud, dan adanya prinsip ”ada” tentang baju tidak masuk dalam ide sebagai subtansi
tersendiri. Baju sebagai struktur makna konotatif bernalar lebih melekat pada akal murni
daripada ”formalitas baju” sebagai struktur bahasa bermakna denotatif ganjil yang menarik
penjelasan logis.

9
Penjelasan yang cukup berarti bagi ide utopia ini diantar oleh keragaman ekspresi jiwa
atau imaji mental. Utopia tempat pelariannya, demi menyesuaikan apa keinginan para
ilmiawan, dan tidak menghiraukan apa keinginan para dogmatis. Untuk itulah pandangan
dunia saat ini sedang mengalami pilihan sulit kemana arah pikiran yang ideal manusia pada
hari esok, bertarung antara subyek dan obyek pikiran. Pikiran dari material (isme) sudah
memuaskan sebagian peradaban umat manusia, bukan saja membakar pikiran keselamatan,
tetapi juga menggiurkan subyek ilusi manusia. Salah satu cita luhur dari kritik wacana atas
nalar posmodernisme ialah untuk memudahkan dalam mendiagnosis jiwa kebahagian kaum
meterialis, agar ketidaktergantungannya pada obyek benda merupakan wujud dari kehendak.
Akal subyek yang otonom memberikan cara berkehendak dalam membangun gagasan yang
melampaui batas nalar modern bagaikan kepingan emas utopia nun jauh dari realitas diri.
Subyek yang membutuhkan kehendak, misalnya, realitas konsumsionalitas logis
berkehendak untuk menghilangkan rasa sakitnya dengan tidak melihat lagi rintihan dunia
antar subyek berkehendak. Kemungkina terjadi pendustaan legasi logis, mengapa penyeru
kebajikan berjubah sangat manusiawi. Umpamanya, Si Komunis yang baik hati dan menjadi
otoriter buas, dan subkontradiksi di alamatkan pada Si subyek yang terotomatisasi (sang
Kapitalis serakah menjadi sang dermawan sosialis). Keduanya mengandung ”jiwa” subyek
metaposmodernisme yang mereka dambakan, yakni kebahagian yang dipantulkan oleh sketsa
ide yang terdamaikan dalam benda-benda jumud. Para tokoh idealis besar menganggap cita
metafisika adalah energi kehidupan. Banyak orang mengarahkan wawasan metafisis kepada
prinsip-prinsip ideal, keunggulan ilmiah raksasa atau eksplorasi luar angkasa. Pada ide-ide
dunia luar (negara-negara Dunia Ketiga), prinsip pertama ”ada” menghidupkan subyek
berpikir dengan menanyakan tentang prinsip ”dunia benda” bersifat ekstrinsik sering menipu
akal sehat. Pada aspek intrinsikal, obyek luar yang terbentang di depan matanya bukanlah
dikategorikan ”ada”. Sebenarnya apa yang menjadi kelebihan tubuh sebagai obyek luar dari
pengetahuan subyek di dalam membela kemajuan ide? Imaginasi hampir tak memiliki ruang.
Disitulah imajinasi menarik perhatian dari ”subyek” dan obyek sekaligus, seperti kelompok
negara industri maju seperti pengimpor barang yang merangsang daya imajinasi atau cerita
fiksi yang mencairkan kebekuan otak mereka. Atas nama ketidakpuasan pada eksistensi
utopisnya terhadap realitas eksternal, sehingga dia secara sadar mendorong daya imaji atas
obyek benda, sekalipun itu sebuah bentuk kerancuan pikiran kita. Berharap dari ide, daya

10
kreasi bisa berkembang lewat instrumentalitas gagasan tentang ”ada” dalam gelombang
magnetude ide dasar. Dengan demikian, nalar posmodernisme menghindari bekerjasama
dengan hanya ikatan material sebagai obyeknya. Keraguan ”Aku” sebagai ”ada” dalam ide
terwariskan pada nalar posmodernisme di dalam kenyataan-kenyataan eksternal (masyarakat
pascaindustrial sebagai ide kemajuan yang tidak dibentuk dari dunia tunggal dari pengalaman
inderawi). Setelah itu, akibat hasil evolusi alam ini peralahan-lahan dapat menciptakan kota
metropolis termegah dalam satu dua hari saja. Sepintas lalu, ia meninggalkan persepsi
dimana gambaran ini hanya ilustrasi fantasi yang membisu, yang memungkinkan bisa
melarikan dari kenyataan obyektif. Suatu skema impian manusia ditandai dengan
meninggalkan suatu subyek yang mengandalkan fosil-fosil hayalan purba sifatnya. Eksistensi
subyek aktif dialamatkan kepada pewarisan kesangsian metodis menjadi susunan ”kehendak
praktis” dari kebesaran pribadi idealis sebagai satu sisi kenyataan dalam analitika obyek luar
dengan penuh keunikan yang gemilang.
Hipotesis kritikal membuat orang tidak mengerti. Apakah nalar posmodernisme hanya
dimiliki oleh golongan “intelengensia unggul”, dan mampukah orang-orang pedalaman
menjangkau gagasan tentang posmodernisme? Pertanyaan tersebut kurang obyektif, karena
tingkat subyektif di miliki oleh semua orang, hanya berbeda daya tanggapnya atas suatu
obyek, khususnya dalam gagasan tentang utopia. Sedangkan para astronot yang telah
menginjakkan kakinya di bulan, dan bertamasyia di luar angkasa masih memendam dalam
ingatannya, yang membentuk daya imajinasi tersendiri atas beberapa obyek di sana. Tetapi
diingat, mereka tidak memutlakkan impiannya hanya sampai di alam fantasi yang berobyek
semu sifatnya. Pikiran supra ideal menempatkan dirinya sebagai subyek yang bertindak
secara imaji bernalar dan kreatif, dan dia juga bukan disamakan dengan perumpamaan batu
karang yang kuat menahan amukan ombak laut. Jika pikirannya sudah terwujud ke dalam
subyek yang berkehendak di dalam diri, mesti didukung oleh realitas luar. Sebagai contoh,
seseorang mendambakan persaudaraan universal, maka realitas eksternalnya ialah seluruh ras
manusia harus mengakui melaksanakan cita-cita persaudaraan dengan jalan tidak ada sama
sekali perbedaan ras. Seorang yang mengimpikan dapat hidup di planet Mars atau di planet
lain, dimana jalan keluarnya ialah bagaimana dia membayangkan dirinya menjadi kehendak
secara nyata dan secara ilmiah hidup di planet tersebut. Sebenarnya, gagasan tentang utopis
ini tidak menjanjikan bukti-bukti empiris, dan bukan dialamatkan ke salah satu dimensi

11
ruang dan waktu yang ada saat ini, tetapi dicitakan kehadirannya di masa depan. Dengan
tidak bermaksud bahwa saya telah menemukan apalagi mendahului kebenaran sebagai
teoritis, hal ini bukanlah pertama kali, seperti diungkapkan sebelumnya, telah ada tokoh
pemikir Barat yang menyinggung sebuah pemikiran utopia. Konsepsi apa yang
dikembangkan oleh gagasan tentang utopis diibaratkan kedalam “dunia baru” (nuveu etre).
Golongan skeptisisme kurang mendapat legitimasi pengetahuan di dalam pengembangan
gagasan ini. Seperti juga kaum utopis, literalisme pikiran tidak bertahan menghadapi
gagasan yang utopis oleh karena memang tidak ada “subyek” dilihat di dalamkenyataan
obyektif. Alam nalar paradoksal ini oleh para filosof dan sebagian ilmuan jenius
menghadapi pertanyaan baru masih adakah kehidupan selain di dunia ini?

Akal Sebagai Stimulan Antitesis Logika Etis

Prinsip metadiskursif kedua, yaitu menyangkut prinsip “ada” dan logis berdasarkan ide
yang melekat dalam akal. Satu sisi, struktur antesis logika etis menempatkan subyek yang
memahami posisi sentral dalam surplus reproduksi mental sebagai kesadaran baru, dengan
menggunakan metode reflektif untuk melahirkan struktur futurologis. Di sisi lain, pola
hubungan antitesis logika etis dengan ontologi praktis menjadikan instrumentalitas
pencerapan sebagai tujuan kesadaran. Prinsip “ada” sebagai “Aku” dalam ide bagaikan
seorang Astrolog yang memandang jauh ke cakrawala nan luas, seakan tak bertepi, sebagai
rahasia pengetahuan kosmik. Mengapa terjalin keharmonisan benda-benda jagad raya,
berjalan sesuai dengan garis koordinatif antar anggota tata surya lain? Sebagaimana hukum
universal yang berlaku kemudian dimanfaatkan untuk keselamatan subyek kehendak
manusia. Kita telah mengetahui, bahwa setelah nalar subyek itu, ia mencoba mengamati,
menganalisis, memecahkan masalah obyektif dan menemukan hukum-hukum yang berlaku
bagi makhluk berakal. Kehendak subyek dapat dipengaruhi oleh kemungkinan-
kemungkinan impresif. Seperti bola di lapangan tidak bisa menggelinding jika tidak
berbentuk bulat padat menurut akal murni/ide bawaan yang menurunkan kepada pengalaman
inderawi kita. Misalnya, seseorang dengan bayangan semu menghadirkan makhluk unggul
mampu bertamasya di luar angkasa tanpa oksigen. Prinsip filsafat tentang ide juga sebagai
sarana pengabsahan kesadaran murni (intellectio pura,) menjadi kenyataaan obyek luar tanpa
ada pemutlakan di dalamnya. Bukan saja dia menggunakan teori pengetahuan mengenai

12
realitas, tetapi juga pengetahuan berdasar akal budi atau orisinalitas jiwa yang belum banyak
bersentuhan dengan struktur pemikiran modern.
Ide-ide bawaan para pemangku pikiran kembara tidak memikirkan peninggalan spesies
lama, tetapi memikirkan susunan alam dan dirinya yang baru dan terjabarkan ke dalam
proyeksi benda (peradaban fisik). Dengan menggunakan daya akal (homo sapiens),
keputusan-keputusan pengetahuan teknis akan mengalami ketidakmampuan dalam
menghadapi setiap potensi, struktur dan pergerakan “dunia benda”. Karena semuanya itu
bersifat sementara. Tetapi, realitas ide-ide bawaan Si X diarahkan sebagai struktur
pengetahuan murni, maka ia dapat menciptakan homo faber yang senantiasa menciptakan
alat-alat teknis hingga melampaui keajaiban pasca era informasi. Melalui ide tanpa ruang
dan waktu, sains dan teknologi menaklukkan alam. Sekurangnya ada dua ide-ide bawaan
tentang “Ada” dalam Ide sebagai totalitas keputusan dialogis penting, yaitu: Pertama,
Antitesis Logika Instruksionalitas. Suatu interpretasi berserakan akan diletakkan kedalam
episentrum intelektualitas di bawah bimbingan prinsip ide bawaan yang mendasar untuk
membentuk kembali pengetahuan manusia sewajarnya dengan menghasilkan kehendak
praktis yang mengjenuhkan dunia nyata. Kelanjutan dari struktur nalar instruksionalitas
menghasilkan sarana-saran fisik yang luar biasa, yaitu kebudayaan saintis dan benda lain
bagi dirinya sendiri (nothing for itself). Bisakah pikiran modern saat ini melakukan
pembantahan terhadap fenomena teknologi super membuncah diri sendiri dan dunia lain
dibawah produk pengetahuan cybernetics: komputer, robot, saran komunikasi seluler, dan
seluruh wujud realitas virtual yang dicanangkan para penakluk takdir di era informasi. Di
dalam institusi-institusi sejarah atau masyarakat, terjadi suatu bentuk perubahan konsepsi,
dari suatu kehendak menjadi kebencian, atau sebaliknya. Gagasan yang supra rasional juga
berada dalam posisi nalar ambiguitas. Pada satu sisi sangat diragukan oleh epistemologi, di
sisi lain, dia sebagai ide dalam seluruh yang riil. Tidak selamanya realitas menampakkan
benda dan rasional. Sebab kebajikan juga sering dibantah oleh positivisme logis.
Menaklukkan kehendak subyek yang baik cara berpikirnya, berarti dia selalu member
peluang kepada kejahatan. Di dalam eksistensi diri subyek, prinsip ide mengenai metafisis
berubah menjadi luapan ekstensifikasi hasratnya berjasmani. Tidaklah keliru bagi orang
yang berlaku baik pasti menerima akibat kebaikan itu, dan sebaliknya orang berlaku jahat,
sudah pasti akan berakibat jahat pada dirinya pula, demikian seterusnya. Kalau kita masih

13
percaya dengan akal kita, mengapa di zaman ini sudah terjadi perubahan drastis
dibandingkan dengan tempo dulu.
Kedua, Antitesis Logika Kondisional. Tidak jauh perbedaaanya dengan pandangan
eksistensi subyek berpikir, ide juga menumbuhkan serangkaian konfirmasi dan negasi logis
atas kondisi obyek luar yang disebut nalar kondisional. Bahwa suatu prinsip ide dari akal
aktual yang ada atau tidak beridentitas tergantung terhadap apa disebut nalar kondisional
sebagai perpanjangan dari nalar dialektis, didalamnya terbentuk peneguhan dan peniadaan
eksistensi praktis, yaitu tindakan. Dia bereksistensi dengan tegar jika diprasyaratkan oleh
demontrasi mode kesadaran yang agung (le grand pensée). Kesadaran dan pengetahuan
subyektif tertinggi melalui daya penalaran dalam dirinya sendiri. Kekeliruan saya selama ini,
bahwa jalan pikiran bukan subtansi, tetapi kasiden. Sejak pemahaman dari dalam diri,
subyek inti “ada” pada puncak eskalasi logika yang berdasar jiwa begejolaj disebut antitesis
logika kondisonal. Meskipun menjadi salah satu bagian nalar dialektis, tetapi nalar
kondisional memiliki wujudnya sendiri. Bahkan ia dapat melampaui nalar kritis yang pada
tingkatan berikutnya akan membentuk esksistensi subyek bersatu dengan kenyataan
eksternal. Selain ada struktur kenyataan material, pada aspek lain ada sketsa yang pasti
dalam akal budi dan ide. Kita menyelami pengetahuan dalam satu tema penting, ide yang
menjadi hukum universal yakni perdamaian. Sudah banyak pemikir besar membedah
dengan analisis sangat tajam terhadap nasib keberadaan manusia, terutama setelah manusia
bersentuhan dengan mesin. Filsafat modern juga mengakui pikiran dan kehendak bebas
seseorang sangat berhubungan dengan dinamika jiwa. Status pasif melonggarkan bagi
eksistensi subyek, terstrukturisasi (teknologisme manusia) rupanya telah mengeyangkan
kumpulan subyek yang terobyektifikasikan (perut golongan industriwan, para pebisnis dan
orang-orang yang memburu status dan kenikmatan bendawi sifatnya). Misalnya, apa yang
dikisahkan seorang buruh pabrik yang dulunya menikmati bersama keluarganya hanya
dengan mendapatkan gaji sebesar 10 Dollar atau sekitar 90.000 Rupiah dan juga berlaku pada
mata uang lainnya (asumsi 1 Dollar AS = 9,000 Rupiah). Barangkali dapat dibayangkan,
pendidikan anak-anaknya mungkin hanya sampai ke jenjang pendidikan sekolah menengah.
Dia dengan rutinitas kerja, berusaha makan walau pas-pasan di dalam seminggu. Dengan
gaji pas-pasan itu, mereka terpaksa melalui kehidupan di bawah standar hidup layak atau
sejahtera. Si buruh (subyek) terlingkari oleh kebutuhan pokok untuk kehidupan keluarganya.

14
Suatu waktu ada keadaan yang sangat menyulitkan posisi kehidupan buruh pabrik tersebut,
sebab semakin hari indeks biaya hidup semakin melonjak naik, berbanding terbalik dengan
tingkat upah yang mengkuatirkan. Sementara harga kebutuhan ikut melambung tinggi.
Masa-masa sulit harus dia lalui, dia memiliki pikiran maju dan kehendak subyektif, agar
dapat melangsungkan hidup mereka. Pada tahap hasratnya memuncak, dia harus memiliki
determinisme diri untuk menentukan nasib tanpa menyerah lari dari kenyataan. Si Buruh
berhasrat untuk bertindak kreatif, yakni eksistensi Si Buruh harus memperbaiki kualitas
kerjanya supaya meningkatkan produksi perusahaan. Ketika ada yang muncul di dalam diri
Si Buruh untuk menggapai impian terindah. Pikiran sederhana buruh itu, di perusahaan
tempat bekerja sehari-harinya, berhak atas penghidupan yang layak. Harapan melangit tak
terbendungi, jenis pekerjaan kasarnya begitu dihargai sebagimana pimpinan perusahaannya
menginginkan perusahaan maju pesat. Terbetiklah di dalam akal si buruh, bahwa keadilan
harus ditegakkan, keselamatan dan kenyamanan dalam bekerja harus terwujud meski
perjuangannnya berat. Hubungan harmonis tewujud berdasarkan hukum kemanusiaan
unuversal. Mr. White sama derajatnya dengan Mr. Black, sang majikan harus menjalin
persaudaraan dengan para pekerjanya. Sama saja eksistensi nalarnya, antara ilustrasi
paradoksal, Si Kaya menolong Si Miskin. Tanpa kecuali seluruh makhluk yang bernama
manusia diciptakan suatu akal dalam memilih gagasan apa yang terbaik bagi masa depannya
yang mengabadi, seperti gagasan tentang lika-liku utopis. Perdamaian untuk selamanya.
Suatu ungkapan yang lahir dari ide, dan darinya mengembangkan pola dan struktur
pengalaman atas “realitas”. Tahap ini dirumuskan berdasarkan besaran idealisasi terhadap
“dunia luar”yang dimpikan oleh akal subyek-subyek untuk melaksanakan tindakan yang
menentukan persepsi indera kita. Contohnya, sudah berapa tingkat kedalaman ide yang
menyangkut sketsa kesadaran dan kehendak dari “subyek-subyek” terhadap kekerasan.
Seperti sketsa “ide umum”, bahwa di dunia ini “prilaku korupsi telah musnah”. Ide yang tak
terbatas meliputi apa yang belum dijangkau oleh akal. Nalar kritis yang diidealisasikan tanpa
ada rasa kekuatiran sebagai kenyataan berarti mempercepat maut menjemput. Sebagian
metode filsafat terbebas dari purbasangka filsafat lainnya. Untuk mencapai metode filsafat
murni, subyek memisahkan akal murni dari setiap prasangka dan kesadaran semu. Apakah
”Aku” berkesadaran subyek mobilitas masih mengingkarinya?

15
Perpindahan transisional, dari ide dasar ke ide pendukung berikutnya tidak mengubah
subtansi akal budi di depan adanya kemajemukan obyek. Saya berada di ruang gelap dan
menjauhi ruang gelap sama pentingnya dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami
selama berjam-jam. Di ruang gelap tidak menunjukkan struktur ide bawaan melainkan
struktur obyek keterangan. Tumpukan jerami selama berjam-jam menunjukkan struktur
obyek keterangan waktu berkaitan dengan struktur obyek sebelumnya (ruang gelap +
tumpukan jerami = transfomasi ide nomad tentang bendawi). Struktur nalar dalam prinsip
“ada” sebagai subyek berpikir menyangkut kesadaran apa yang menilai “Diri” sebelum
mengajukan penilaian terhadap sebab adanya lain di luar subyek. Nalar postmodernisme
dijangkau oleh identitas-identitas benda menggambarkan bahwa ia merupakan alur logika
yang tidak dimengerti oleh “ada”. Kerancuan-kerancuan nalarpun terbentuk karena bukan
sebab subyek melainkan kita sebagai bukan lagi prinsip “ada” sebagai subtansi dalam Ide
Persaksian. Sebenarnya, ide persaksian adalah pengetahuan fundamental dalam
mengarahkan suatu nalar kritik. Dari nalar kritik juga pada dasarnya ditujukan kepada
“obyek bendawi” yang dipengaruhi oleh entitas obyek apalagi kondisi-kondisi psikologi
seseorang. Seorang telah mengungkapkan ide-ide bawaan, menegaskan betapa kita baru
memulai mengunakan akal budi sebenarnya. Akal budi menjadi pilihan metode nalar kritik
terhadap setiap relaitas “ada” sebelum pikiran tentang adanya “pikiran” perihal ada. Tanpa
sebab mengapa pikiran dari salah satu subyek penggagas “rasionalitas” itu ada sebelum “ada”
dalam “Aku” yang dikukuhkan oleh akal universal. Semuanya itu terdiri dari atom-atom,
terbagi-bagi dalam dunia luar yang dibentuk oleh “ide asali”. Saya menyadari, bahwa “ide
asali” menyertai makhluk berpikir, dan sebelumnya pengetahuan sejati ada telah
digambarkan oleh ide-ide bawaan. Sebesar apapun realitas luar yang kita bayangkan,
semuanya itu menuntut adanya kritik atas pengetahuan teknis. Tidak mengherankan,
kausalitas realitas tunggal tidak memberikan pengharapan kepada kita apabila belum
tertuntaskan kebenaran ide asali dalam kritik atas akal instrumentalis. Rangkaian akal
instruksionaltas dan akal kondisional adalah perwujudan akal instrumentalis dalam kritik ini
yang kedua. Jadi kebahagian tertinggi diantara kebahagian bendawi adalah antithesis logika.

Akal Sebagai Fondasi Imajinisasi Simbolikal Logis

16
Kritik atas akal instrumentalis yang ketiga, berarti bangunan akal secara leluasa didiami
oleh “realitas lain”. Realitas lain yang dimaksud adalah imajinasi, mencakup akal mobilitas,
logika fungsional dan psikoanalisis dalam pengetahuan teknis. Karena imajinasi terkait
dengan unsur kejiwaan dalam subyek berakal. Prinsip ketiga adalah pereferensi subtansial
dari ide asali (dasar makhluk berpikir) yang dapat menerbangkan daya imajinasi seseorang.
Pada saat tiba musimnya, kita membuat sebuah layang-layang yang terbuat dari aneka bahan
dan bentuknya, sebenarnya kita sudah berada pada tahap awal membangun daya imajinasi
berbasis akal murni itu sendiri. Oleh karena keyakinan kita dapat menjangkau hal dunia luar
yang bersumber dari hukum akal, maka sejalan dengan hukum akal tersebut memandang
betapa pentingnya suatu kehidupan baru. Kehidupan baru yang mendukung prinsip “ada”
dalam Ide, diantaranya dari sketsa ide bawaan ke imajinasi. Jalannya imajinasi bagaikan
lautan tak bertepi. Ide asali adalah arus pikiran tidak kehilangan kesadaran atas realitas
dengan menerbangkan imajinasi.
Realitas “Akal murni fungsional” ditampilkan untuk menjalankan kritik teks dan
kontekstual. Akal murni fungsional memungkinkan bahasa ditempatkan dibelakang struktur
kata dan kalimat. Makna dibalik bentuk kata atau struktur bunyi. Akal murni membentuk
susunan obyek dan alam lainnya ke dalam sistem pengetahuan yang berstruktur logis dan
analitis. Akal murni sampai kepada pernyataan angka-angka atau bilangan yang terukur dan
logis, diantara kepercayaan dan pengetahuan yang ada dibalik alam. Sedang, imajinasi
memungkinkan untuk melampaui segala bentuk keniscayaan. Keberadaannya tidak
dijangkau oleh ungkapan bahasa dan kata. Imajinasi tidak menguraikan susunan obyek dan
alam sebagai pengetahuan logis dan analitis, melainkan mengembara ke dalam kesemestaan
alam. Bersama-sama dengan ide, akal murni sudah ada sebelum penciptaan eksistensi alam.
Imajinasi mampu mengukir dan menetapkan suprastruktur dunia yang ia inginkan. Seorang
anak kecil bermain dengan pesawat mainan terbuat dari kertas. Kritik atas akal sehat
instrumentalis melalui logika induktif dapat mengukur kedalaman lautan dan menetapkan
jumlah dan jenis organisme atau spesies di dalamnya. Sementara imajinasi bebas bertamasya
dan memikirkan sebuah bangunan yang lebih indah di bawah dasar lautan, dimana ada wujud
spesies asing yang tidak pernah dipikirkan dan diinderakan manusia di atas daratan bumi.
Sampai saat ini, pikiran paling majupun belum menetapkan, apakah akal murni mendahului
imajinasi atau sebaliknya. Filsafat apa yang bisa menerangkan bahwa materi pada intinya

17
berasal dari akal murni, dan karenanya alam harus takluk kepada akal murni yang
memberinya pemahaman. Disamping nalar, imajinasi juga bagian dari kesadaran subyektif.
Memang belum lengkap uraian filosofis, jika dibandingkan pergulatan nalar. Seperti daya
imajinasi, mengeyampingkan persoalan apa eksistensi mendahului esensi dan esensi
mendahului eksistensi? Lantas kita tidak mengatakan secara analitis dan sintesis, bahwa
keduanya sangat mempengaruhi cara pandang kita terhadap suatu kenyataan eksternal.
Paling tidak, akal murni dan imajinasi telah mencengangkan bagi orang yang meragukan
sama sekali setiap tipuan ilusi, tahyul dan setiap irrasional lainnya. Seakan-akan akal murni
dan imajinasi hanya menjadi milik masa depan. Imajinasi simbolikal logis bukan hanya
berasal dari abstraksi nalar, melainkan juga abstraksi jiwa. Oleh karena untuk
menerbangkan ide, akal murni dan imajinasi merupakan stasiun “realitas dalam” yang
berbeda-beda dalam mengungkapkan “realitas luar”. Kebutuhan akal lain juga, tidak ada
keberatan filosofis (epistemologi) apabila dimulai dari akal murni ke imajinasi. Prinsip asali
akal budi subyek (totalitas individu manusia) menyebutkan bahwa pertumbuhan sesuatu yang
“ada” akan selaras apabila ia diarahkan kepada “ada” yang sama sebelumnya. Demikian pula
akal murni dan imajinasi tersebut. Pada dasarnya, entitas obyektif dapat diterangkan oleh
akaldan imajinasi. Sebab itulah akal murni dan imajinasi sejalan rasionalisme dan idealisme
yang tertuang dalam prinsip-prinsi ada dalam ide manusia.
Puncak-puncak realitas logika imajinasi simbolis yang berkehendak itu ada dalam film
fiksi ilmiah seperti Star Trek, Robocops, Bionics Woman, Superman, Matrix dan
sebangsanya. Bila diamati, semuanya ada dalam gagasan tentang utopis. Bandingkanlah
dengan peninggalan monumental ide yang maju pada zamannya, seperti jenis kendaraan,
yang terbuat dari kayu atau logam bertenaga hewan, senjata pedang, bahasa sandi, dan
simbol-simbol tradisional yang dibentuk oleh mode kesadaran yang diefektifkan oleh ide.
Dalam akal, saya mengamati obyek luar sebagai puncak kenikmatan ragawi berawal dari ide
disamping imagi terkobarkan.
Gambaran dunia di awal abad ke-21, kurang lebih sama dengan sebuah alur cerita
dalam sebuah film fiksi ilmiah (Barat) yang spektakuler, berdurasi kurang lebih dua jam,
berjudul Artificial Intellegence. Pada dasarnya, alur cerita film itu cukup berhasil
memancing hukum akal dan daya imajinasi sekaligus membuncah jiwa kesadaran,
sekurangya oleh para penonton yang secara langsung menyaksikan di layar lebar. Sedangkan

18
jiwa adalah identitas sublime dan “istimewa”, ia dengan sekut tenaga mendorong daya
imajinasi Si X. Aneh bin ajaib, penerapan teori penegatahuan apa yang menjawabnya.
Sebuah film memakan biaya besar lebih rendah dari pada daya akal dan daya imajinasi tanpa
mengetahui asal usul spesies langkah, karena menggunakan efek khusus dalam proses
pembuatan film yang begitu menakjubkan. Nyata, karena aneka adegan memfantasi akal.
Latar belakang cerita film sungguh hidup dan menampilkan visualisasi gambar yang
menguratkan skenario alam nyata di depan kita. Singkatnya, tema sentral dari cerita film
tersebut ialah pergulatan sengit antara orga, makhluk berbiologis manusia, dan meca yang
berstruktur rangkap mesin-robot dan berwajah manusia. Dia tidak hanya berwajah manusia,
tetapi sekaligus di juga berprikemanusian, ada akal murni dan psikologi imajinasi kasih
sayang terbangkitkan. Eksistensi Orga bertubuh sempurna dalam wujud manusia, tetapi dia
tidak ketidakmampuan untuk mengembangkan akalnya sebagai sentrum kebenaran.
Mengapa demikian? Orga yang perkasa, pencipta teknologi supercanggih sekaligus berjiwa
mesin penghancur, dan meca, simbol dari unsur mekanik-teknologi tetapi berjiwa
prikemanusiaan yang mengesankan. Lebih baik tidak memilih ilusi dalam kenyataan
daripada imajinasi dalam mimpi. Sang sutradara tidak membutuhkan resep dokter untuk
mengetahui gangguan fisik, karena akal murni dan imajinasi mendahuluinya. Diagnosis akal
murni tidak dibayangi oleh gelora nafsu, dan fungsionalisasinya dimaknai oleh daya
imajinasi. Subyek yang dihormati bukan karena idola, pemeran utama yang tampil dalam
dunia obyek, melainkan apa yang ada dalam kesatuan antara akal murni dan imajinasi.
Ilustrasi tidak sama dengan pernyataan obyektif, tetapi menyatakan tanpa kata benda dan
ekspresi, verbal non verbal yang tidak diwujudkan oleh alat-alat, alam dan jasmani
seseorang. Alasan ambivalensi rasionalitas dalam diri dan dunia terpisah, betapa meregang
jiwa, membakar pikiran diri, dimana sebenarnya raga ini. Model penghargaan imajinisasi
simbolikal logis kedalam kritik atas pengetahuan teknis, dan penetapan struktur logosentris
menjadi alat pelegitimasian kesadaran. Berikutnya, pikiran berkecamuk, membisikkan
pikiran untuk meronta di dunia fana yang menggoda “sensualitas hati” dan nalar yang
imajinatif. Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia telah mencapai ketinggian nalar setelah
filosof mengatakan bahwa pandangan dan eksistensi jiwa tidak tak terbatas. Begitulah
pujian filosof kepada kebodohan di dapur sutradara film mistis yang disuguhkan kepada
halayak di zaman “realitas virtual” sebagai bagian saluran imajinasi kita. Suatu rekonsialisasi

19
antara kaki telanjang dengan lintah darat dikala menelusuri hutan sebagai bagian rute untuk
mendaki “gunung imajiner”. Inilah bentuk lain pengembaraan imajinasi yang tidak
meloloskan kepetualangannya, tanpa pemuja determinasi-determinasi alam. Hanya satu
kompleksitas petualangannya tergelincirkan, yaitu koleksitas petuah yang diharapakan
kehadirannya contradiction in adjecto4 tanpa merasa malu, ia selalu menampakkan dirinya di
balik karamnya kepanikan. Untuk menjadi pemilik akal murni yang baik dia harus
melepaskan parasit dan penikmat imajinasi, tidak ada rumus filsafat yang memandang
bahwa unio mystica et physica5 meleburkan dirinya dalam kemandulan metafisika dan
keperkasaan logika yang dingin menyertai setiap resolusi-resolusi perdamaian. Seperti
impresi histeria tanpa henti seorang manusia karena melihat hantu di siang bolong di
kawasan padat kota, penduduknya berpenghuni dari penuh daya akal murni, imajinasi dan
para pemburu kehidupan kota amour passion (cinta bernafsu). Imajinasi membentuk nasib
masa depan untuk berpetualang kemana saja apa dengan keputusan-keputusan supranalar.
Tidak perduli keraguan subyek, dalam bentuknya sisitematis dan alamiah, akal murni
menyelamatkan imajinasi dari ruang hampa. Satu hal lagi, bahwa keraguan subyek adalah
kesadaran yang ada dalam kebenaran terguncang dalam pola pemikiran sinistik.
Di zaman ini, seorang ahli terkemuka sangat mempengaruhi jalan akal pikiran kita,
bahkan para manajer dan kaum literalis sekalipun, dengan mengatakan dunia adalah citra
kinetik, tanpa batas dan tamatnya sejarah yang mengasyikkan akal, dingin dan menggelora 6.
Jika keadaan kita begini, bagaimana melukiskan sesosok manusia di dalam “relif
kemaujudan” yang dipersembahkan oleh akal budi yang tak tertandingi, membisu dan
tersungkur sambil menengadahkan tangannya ke langit, dan berkata wahai penjaga langit,
tunjukkanlah bahwa engkau berkuasa, paling tertinggi dan mengetahui rahasia akal. Tidak
demikian, akulah yang paling berakal daripada makhluk jelata lain di sini. Bukanlah segala-
galanya, dan hanya akallah yang mengandung tenaga magnetik yang dahsyat daya tariknya.
Dan dari sanalah manusia itu terpanggil, disebabkan dia dapat mengalirkan energi vitalitas
pikiran yang akhirnya menolak rupa pembelengguan diri, sebagaimana yang pernah dialami
orang-orang berpikiran kuno, menanggalkan akal sehat kemudian menyerahkan dirinya
seperti seorang buronan kepada takhyul dan legenda sekalipun. Mempertimbangkan logika
kita, terdapat tiga jalan akal murni. Pertama, jalan apa menyebabkan seseorang terlalu
mendahului kehendaknya dan mengorbankan akal murninya demi kebutuhan organ bersifat

20
dan berwujud empiris-materi. Kedua, jalan untuk mengenal lebih dekat bentuk pemusnahan
akal murni ke arah pedoman yang lebih memuaskan manusia degan apa yang disebut meca
juga bersifat materi. Dan ketiga, jalan nalar atau jiwa merupakan dasar kesadaran reflektif
bagi si subyek untuk memikirkan, merenung dan mengubah tatanan obyek alam yang serasi.
Alam tidak hanya buku ilmu kesemestaan, melainkan juga fenomena yang harus ditundukkan
oleh kesadaran reflektif manusia (nalar-jiwa). Kalau cacing menikmati alam ini dengan
nalurinya, manusia kepanasan tanpa kesadaran reflektif, dan sulit membayangkan kehidupan
tanpa akal murni dalam diri sendiri.
Subtansi jiwa sesuai dengan subtansi akal, karena akal murni bersifat mobilitas.
Subtansi tubuh selain bersifat pasif juga bersifat immobilitas. Sedang subtansi tubuh kita
terjaga dengan baik atau sebaliknya tergantung dari tingkat pemahaman dan kesadaran tinggi
dari subtansi jiwa antagonis. Raksasa pengetahuan yang telah menyihir dirinya sendiri
sebagai pemahat nalar progresif tanpa mode dan bahasa. Etos kerja berasal dari pengetahuan
yang menyelamatkan dan sekaligus membingungkan diri kita. Pengetahuan baru diuji oleh
realitas luar. Pengetahuan baru memberikan peristiwa baru pula terhadap apa yang dicita-
citakan oleh semua orang dalam kebahagiannya. Kebahagian adalah milik diri bukan milik
orang lain untuk bersenang-senang. Dan kebahagian dari subyek ialah prinsip akal murni
kepada hasrat yang dapat diterima oleh pengorbanan hukum spontanitas tindakan yang
menyenangkan.
Hukum sebab akibat, dialektika, paradoksal, dualitas, subyek-obyek, kuantitas-kualitas,
dan sebagainya sewaktu-waktu menjadi prinsip-prinsip akal yang tidak tahan ujian terhadap
permasalahan prinsip “ada” dan prinsip “Aku”. Hampir seluruh ungkapan itu
dipersembahkan untuk manusia dan dunianya sendiri, meski kehadirannya disaksikan oleh
pengetahuan sebagai busur panahnya dan jiwa dan kehendaknya yakni sang pemanahnya.
Untuk mengangkat sumpah saya di depan dunia, kesalahan sebagian orang acapkali juga
menimpa para filosof besar diantaranya ialah, ide dan dunia dianggap sebagai pelarian diri
atas gelombang skeptisisme kehidupan yang berat, menyeret mereka kedalam kebimbangan,
penderitaan dan ditandai adanya pembualan pengetahuan atas nama kebenaran yang
menyakitkan. Sungguh, di dunia ini sebagian orang menganggap dirinya terjatuh ke dalam
keselamatan besar seperti gambaran hukum rimba yang menggiurkan dengan apa yang
disebut dengan kemajuan pikiran dari tokoh filsafat legendaris. Ide cerita film itu berterima

21
kasih pada perwatakan “hukum rimba” dibandingkan dengan kemajuan sains. Akal murni
mustahil menjadi imajinasi tertentu tanpa ada homo homini mecanicus8. Ia dipecayai sebagai
kepingan makhluk termulia, dan ia mengungguli cara berpikir kita di zaman ini. Sementara
itu, homo sapiens hanyalah dibelakang jenis manusia ini dan disudut terpinggir dari daya
imajinasi kita, terbatas pada kenyataan yang diakui oleh dunia faktual. Sedangkan imajinasi
sampai kepada gerakan jiwa yang kadangkala dalam ruang dan waktu belum sampai pada
daya nalar manusia. Taruhlah gambaran, seorang pendaki gunung tidak sama daya
imajinasinya dengan penemu komputer yang dapat menciptakan program gambar rumit.
Bukan saja imajinasi bias kemana-mana, tetapi juga ada dimana-mana. Misalnya, jika kita
memeiliki sikap posesif atas akal murni, ia dengan daya imajinasi adalah sebatang besi tua
yang dijadikan tiang pancang sebuah bangunan besar dan megah. Akhirnya produk biografi
dari seseorang terhormat harus disebutkan prestasi dan reputasi yang mengharumkan, dan ia
mewakili ketidakmustahilan terra incognito9 menghantui kita dari kegelapan malam para
instrumentalis. Akal sehat sama besarnya dengan keinginan alamiah. Kebajikan pengetahuan
teknis telah bersusah-payah untuk mempertaruhkan nyawanya, suatu lompatan maut demi
kehidupan sirkus fantastis yang menyenangkan spesies binatang melata atau homo erectus10
yang berjiwa besar. Cobalah diterkah, siapakah yang menciptakan atau yang diciptakan
paling menantang daya imajinatif? Para Nomaden, yang berpindah profesi. Struktur
semantik seperti boneka mainan diletakkan di dalam jaringan sel otak. Sudah tentu
eksistensialitas novum sapiens11 paling menjengkelkan para pemuja instrumentalisme. Orang
sering membayangkan bahwa imajinasi adalah alat cermin pantul bagi sekumpulan karya
tekno-mesin yang tidak berperasaan. Seperti, ciptaan imajinasi diantaranya perintah cyborg
berwajah manusia yang terhormat. Kebenarannya ada di dalam dirinya, dari karakteristik
akal aktif menjadi akal dinamis, yang dengan subtansinya, ia menjadi rangkuman subyek,
predikat, dan obyek penderita dari suatu ciptaan psikologinya sendiri. Ciptaannya paling
nyata, dengan implikasi kejadiannya menggemparkan dunia. Sedangkan kelahirannya sudah
sangat tua, tetapi semangatnya masih berlanjut ke tahap pelestarian tabiat baru. Eksistensi
akal menjadi motif naluriah sejauh akal aktif dan akal dinamis dimanfaatkan dengan baik.
Seandainya diperlihatkan wajah suram apa yang mereka inginkan, kita mungkin belum
pernah mengenal diri kita sebenarnya di pabrik-pabrik dan institusi teknis. Barangkali, itulah
salah satu wujud ketidaktahuan dan ilusi ketertawanan manusia. Ukuran kebaikan dan

22
keburukan tergantung selera diri kita. Di dalamnya terdapat akumulasi kemusykilan, bukan
keselamatan tetapi mempertahankan apa yang di dalam diri. Orang bijak adalah mewariskan
tabiat-tabiat keburukan dengan kepastian yang bisa dihentikan oleh orang lain melainkan
dirinya sendiri. Nihilitas adalah segala yang bersenandung moralis tercampakkan dihadapan
kekuatan para pengjinak spekulasi filsafat. Percuma kita menggunakan akal budi, tidak
bertanggungjawab terhadap setiap keburukan dan kebahagian. Kepastian aritmetis kurang
mampu menghitung berapa nilai kebahagian di alamatkan kepada semua orang yang
merindukannya. Hidupnya adalah untuk keselamatan yang dibawa serta oleh kegemerlapan
takdir, dia menyandang kepura-puran untuk mengikuti jejak langkah hidup pesimistik.
Pandangan hidupnya dipertaruhkan dalam mencapai keinginan tertinggi para rohaniwan,
walaupun mereka belum pernah menginjakkan kenikmatan jiwa melainkan dengan cara
memahami diri untuk apa kita hidup. Dunia abstrak adalah kesadaran dan logis bagi akal
yang mempesonakan dalam diri manusia bijak. Sedangkan struktur angka-angka
dipersembahkan oleh keajaiban dunia atomis dalam akal instrumentalis. Filsafat apa yang
membantahnya, menginterupsinya dan memperkenalkan kepada kita, tentang apa jadinya
sebuah dekorasi interioritas sebuah kompleks gedung, memiliki jumlah ruangan dan subtansi
yang terkeping dan terpisah yang menghubungkan ruang meditasi budi dan dekorasi
eksterioritas dunia benda. mengandung keemasan absurditas yang memuntahkan pula
pengetahuan termaju bagi keselamatan bersama. Prinsip logika di saat ini hanya dituntut
untuk mendaur ulang manifes inspirasi dari atomisme logis tua dan mengendapkan secara
tragis menempelkan positivisme kedalam manipulasi teknologi canggih. Dengan kelahiran
positivisme menjadi antiklimaks dalam mempercepat kejatuhan sendiri. Dipersembahkannya
takdir ini dengan efektifitas dan kreatifitas teknologi. Untuk aspek intrumentalitas seni,
kedudukan yang terpojokkan sekaligus membanggakan suatu ekspresi artistik dan kering
dalam institusi eksekutif dengan peran antoginis sang maestro pelukis tidak memiliki
peranan estetika. Ia juga tanpa daya imajinasi mustahil ada, sehingga karyanya melampaui
batas-batas sublimatitas, suatu ekspresi yang haus pujian kemenangan atas perlakuan
intoleransi dari para penggemarnya.
Si X adalah seorang anti moral, tetapi dalam situasi yang hampir bersamaan, dia juga
tidak kesepian dengan meragukan hal-hal yang mematerialisasikan ide-ide yang abstrak
belaka dan alur disposisi metafika yang beku. Penolakan itu didasarkan prinsip-prinsip ide

23
yang bersifat moral dan mistis menyatu dengan ”ada”. Jika hal ini belum menjadi prasyarat
suatu Prinsip Ketiga ”ada”, maka sesungguhnya belum mencapai pengetahuan atas sketsa ide
bawaan untuk menumbuhkan struktur suprema Ego12 yang logis sebagai pengetahuan yang
agung dan sebagai subyek berakal budi yang mengawali melingkupi segala sesuatu sebelum
subyek dan predikat yang mengawali sesuatu yang lainnya. Bagaimana kualitas-kualitas
abstrak akal yang tidak memiliki jiwa kosong betapa mudah menyerah begitu saja untuk
menjabarkan kesadaran sublim. Segala pengetahuan tentang misteri akal dan dunia ini telah
menyaksikan suatu gelombang kesadaran kita. Pada dunia luar, (sepanjang abad sains
modern ini), tindakan-tindakan kita terwujud dari syair lagu tentang kehidupan nyata,
rupanya bukan sekedar mesin keilmuan yang menakjubkan melainkan juga bersumber dari
ekpresi logika dalam ragam bentuk dunia luar yang menakutkan (peragaan senjata pemusnah
massal yang berpangkal tolak dari penyimpangan ide dasar, sisa menungu bom waktu untuk
meledak). Apakah jiwa dan jasad sebagai subtansi terdiri yang terdamaikan dalam dualitas
yang menggelorakan supraeksistensial? Inilah jenis keraguan yang sebenarnya bersumber
dari halusinasi dari eksistensinya sendiri.
Ada cara berpikir lain, akibat keganasan bom nuklir, sebenarnya juga lebih sangat
berbahaya ialah cara berpikir seseorang menyalahgunakan akal pikiran melalui kehebatan
sains-teknologi modern daripada Si X dan Si Y yang paling budiman. Tetapi orang lain juga
buta akal sehatnya dalam melihat kenyataan dunia. Dunia proyeksi, jendela imajinasi yang
paling lemah dan perkiraan logis yang tidak digambarkan oleh ide-ide bawaan seperti
bersifat kesadaran reflektif dan nalar kontemplatif. Dari totalitas kesadaran, Saya akan
berpikir, maka sebenarnya Saya ada (I would be Idea, therefore I am). Pengetahuan yang
benar diantara akal murni dan akal mobilitas. Akal murni memberikan pemahaman Aku,
bahwa semuanya bukan realitas tanpa sebab yang mendahuluinya. Akal mobilitas adalah
sejenis logika fungsional mengakui Aku berada diantara realitas majemuk dalam rangkaian
demonstrasi akbar ”dunia inderawi” yang membayar kenikmatan di luar dirinya sendiri.
Pada saat kebahagian dibelahan dunia luar terekspresikan, ada suatu kehendak logis
yang tidak memiliki moral baik untuk berhasrat dalam kehendak subyek yang
terobyektifikasikan dalam ”ide benda”. Sekurangnya ada dua makhluk berakal yang
menolak praktek jalan pintas tersebut. Pertama, kumpulan subyek (kelompok masyarakat)
yang berakal di sebagian besar institusi subyek tertinggi (negara dunia ketiga atau negara

24
berkembang). Makhluk berakal dari golongan ini menyamakan prilaku tersebut sebagai
pembunuhan akal sehat oleh yang berakal bulus, suatu patologi akal, yang merampas hak
kehidupan seseorang. Selain itu, dia dapat menjatuhkan determinisme biologis secara
alamiah, bahwa semua orang di dunia ini memiliki latar belakang dalam mencapai kebutuhan
biologis yang sama agar dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Berkaitan dengan
hal ini, hubungan logis yang ditampilkan disebut identitas. Disamping itu, struktur pikiran
yang yang tersimpan dalam memori kultur orang Timur ternyata lebih banyak menghuni di
negeri ”dunia ketiga”, sehingga reaksi kehendak menolak gaya hidup bebas dengan cara
aborsi. Apa bukti dari pikiran ini yakni, belum ada tokoh atau pemimpin dunia ketiga yang
merestui perbuatan rendahan seperti itu. Meskipun secara nyata kita meluaskan pandangan
yang sekian lama tentang masyarakat dunia ketiga, tubuhnya masih mencitrakan kualitas
rendah (inferiority image) dari kumpulan subyek yang tidak berakal maju melalui tingkat
kebodohan dan bentuk keterbelakangan intelegensia lainnya. Subyektifitas imaji jiwa
memahami mengapa terjadi keterbatasan ide ”Aku” dalam sketsa akal. Situasi dalam dunia
ada, akal yang ironis menciptakan maksim-maksim pengetahuan tentang mengapa semua
tindakan yang bukan diturunkan oleh akal sehat kepada benda. Di dalam struktur hubungan
logis”dunia obyek”, seluruhnya diwakili oleh kehendak terhadap kenyataan yang tidak
menyenangkan akal sehat.
Orang-orang terkebelakang misalnya, senantiasa dianalogikan sebangsa sapi perahan,
yang dilarang menyebarkan sistem pengetahuan baru. Golongan Kedua, makhluk berakal
para moralis, mereka menilai praktek aborsi sebagai bentuk pemerosotan moral, dengan
suatu argumentasi logis bahwa moral ialah akal diatas akal sehat. Pada dasarnya, akal kaum
moralis yang paling mementingkan untuk menjelaskan kedudukan manusia berakal di
hadapan teknologi maju. Sebab, orang-orang yang menyetujui tindakan durjana tersebut
adalah juga makhluk berakal yang tidak dibentuk oleh akal moral sebagai hukum universal.
Pengaruh metode berpikir praktis tidak dibentuk oleh akal budi, tetapi didorong oleh tabiat
lingkungan eksternal dan selebihnya daya imajinasi. Penjelasan hukum universal pada tahap
pemahaman, melihat ada fungsi akal yang akan berkembang kearah pola kehendak yang
berlawanan dengan hukum akal itu sendiri yaitu, hukum moral yang telah diciptakan bagi
setiap orang secara kodrati. Jadi akal yang mendasarkan pada hukum moral juga berasal dari
sifat kodrati manusia, dengan tanpa akal yang bermoral niscaya masih ada keinginan secara

25
liar untuk bertindak subyek-subyek yang ironis di setiap ruang dan waktu. Pertanyaan
skeptisisme logis adalah adakah kehidupan tanpa akal murni dan membangun kenyataan
tanpa harus menggunakan akal praktis. Ketulusan filsafat Kantian ditunjukkan oleh
pengakuannya terhadap tahapan kenyataan subyektif, yaitu akal murni dan akal praktis.
Kenyataan internal yang sungguh berguna bagi seseorang untuk memuaskan dirinya adalah
ketika kita menentukan pilihan hidup tak terhindarkan di persimpangan jalan, selebihnya
mengelolah alam sebagai sumber penghidupan dengan jalan akal murni. Sekalipun akal
murni memungkinkan untuk menelesuri makna di balik peristiwa atau gejala-gejala dunia
luar, daya imajinasi menggambarkan kenyataan yang lebih spekulatif daripada sebuah
abstraksi akal murni. Model hubungan visualisasi internal, makna dan pesan praktis melalui
imajinasi saintis, imajinasi artis, imajinasi birokratis, dan imajinasi primitif mengukuhkan
struktur estetika dan kesadaran universal di zaman posmodernisme. Terutama imajinasi
saintis merupakan jalan ekstradisi rasionalitas dalam masyarakat transmodernitas. Jean
Fraçois Lyotard memahami suatu struktur akropobia yang logis melanda dalam masyarakat
yang telah terkomperisasi sedemikian rupa13.
Pandangan yang diciptakan oleh imajinasi saintis tidak luput dari kecamuk raga kita.
Struktur nalar mitologis dan nalar primitif yang penuh gairah optimistik dinilai paling
mengedepankan pendekatan naturaltas teoritis. Perubahan bentuk kata dikembangkan
menjadi kemajuan gerak fisik yang spektakuler. Berdasarkan imanjinasi ini, para saintis
mengubah gerak gambar lebih hidup bahkan melebihi kecepatan daya imajinasi orang biasa.
Dari teknologi hidrolik menjadi teknologi serba digital. Realitas maya adalah kemampuan
dari daya imajinasi tanpa dibatasi ruang-ruang pikiran maju sekalipun. Sebagian imajinasi
saintis berasal pengalaman biasa saja. Oleh karena kemampuan akal murni sebagai metode
pengetahuan utama maka dia mengantarkan kepada pertanyaan investigasi filosofis. Apa
penyebab peristiwa itu terjadi di depan persepsi inderawi. Ketidakpuasan akal murni itulah
yang mendorong para saintis untuk melakukan percobaan yang menantang sekalipun.
Pengetahuan dilahirkan sebagian dari daya imajinasi Saintis. Hubungan sebab akibat menjadi
titik tolak pengamatannya. Gerak alam sebanding dengan imajinasi. Susunan alamiah
menjadi susunan mekanik sebagian besar dari daya imajinasi. Proses manual berubah
menjadi keajaiban penampilan gambar dibalik kata modern. Tidaklah mengherankan,
imajinasi saintis mengalahkan penampilan kebersahajaan orang-orang primitif. Imajinasi

26
saintis tahap awal dan paling sederhana sesungguhnya berasal dari olah pikir orang-orang
primitif. Imajinasi saintis modern merupakan tahap kelanjutan dari tahap sebelumnya.

Adobsi Diskursif Bagi Kelangsungan Teatrikal Logis


Kesulitan terbesar kita, diantaranya apakah mereka memiliki atau tidak memiliki suatu
sketsa ide sebagaimana kita ketahui selama ini? Mungkin juga tidak meragukan pertanyaan
ini. Saya berpandangan, bahwa hukum akal tidak perlu menjadi obyek tunggal dalam
wacana. Menurut hemat saya, kesulitan kita berlanjut ketika ada pemikiran filosofis yang
mengatakan, bahwa “ dunia ide” dan/atau “dunia jiwa” bersifat kekal, tidak musnah. Kita
terlalu banyak mengoleksi kedirian yang antik, bernama ide. Ketika kita menghadapi situasi
umum, ide sebagai sesuatu yang awet muda, dan ia menjadi sumber kesulitan ketika ide kita
dikaburkan pada situasi khusus. Plato sebagaimana Kant dan Hegel memahami realitas baru
dengan basis ide untuk suatu pengakuan dramatikal logis di alam ini. Seekor burung bangau
bukan sebuah masalah, apakah berwarna putih atau tidak, tetapi kesederhanaannya terletak
pada “ide” yang kritis diilhami oleh kemampuan terbang dan pada gerakannya mengangkasa
di udara. Padahal sudah sering diilustrasikan sebagai sesuatu ketidakmustahilan yang alami
dalam obyek di sekeliling kita. Sebagai contoh klasik, “ide kuda” tidak sama ide dengan yang
diketahui melalui persepsi inderawi. Memang betul, “ide kuda” sudah ada jauh sebelum
“kuda” di dalam “dunia indera” diciptakan. Kerancuan logikapun tak dapat dihindari. Kalau
memang yang kita idealisasikan atau dikonseptualisasikan itu bukan sebenarnya yang kita
lihat dan didengar (berbagai persepsi lainnya) dalam realitas luar? Mengapa kita mengambil
gambaran yang justeru juga berasal dalam “dunia materi”, yang kemudian kita meyakinkan
kepada teks pelajaran filsafat sebagai “dunia ide”, hambar, dan sebuah atraksi kejenakaan
kita? Semakin sering kita menyebut dan menampilkan contoh atau gambaran dari proyeksi
“dunia ide”, maka bersamaan itu pula kita juga membuktikan, bahwa suatu “ide” sekaligus
merupakan “bayangan dunia materi” atau pada struktur metahermeunitika obyek bendawi
belaka, jika terjadi justeru suatu kehampaan struktur kata dan sytuktur bunyi, apa yang
terjadi. Adakah yang abadi setelah seluruh “alam jasmani” menjadi musnah? Itulah yang
sering kita dengar dan baca. Jangankan pikiran, kita juga senantiasa disatu pihak
mempertahankan alasan logis terhadap hukum kekekalan energi yang alami. Pikiran ini lebih
bertahan pada prinsip penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu, bahwa memahami

27
filsafat termasuk “ide” tidak menjadi sebuah realitas yang tak terbantahkan “adanya” tanpa
melalui perantaraan “bahasa manusia”. Telah disinggung sejak awal, bahwa saya menyadari
betul, bahwa seperti kata ahli, bahasa adalah sistem tanda, kelahiran kata tersembuyi dibalik
bunyi. Apabila tidak menjadi pengetahuan sejati, apa benar kita menyakinkan kepada orang
lain, bahwa ide bersama kita sebelum adanya kita rasakan, lihat, dengar, mengecap, dan
seterusnya. Dan darinya kita dapat mengetahui sesuatu melalui determinasi bahasa, asing
maupun rumitnya bahasa bukan menjadi alasan pembenaran bagi ide yang mendahului
pengalaman. Kemungkinan pula kita hanya melakukan pembenaran. Saya sebenarnya
memahami adanya pembenaran terhadap masalah tertentu. Mengigau di kala tidur itu lebih
mengasyikkan daripada sedimentasi kompleksitas akal menghadapi kompleksitas masalah
praktis pragmatikal. Ia sama kompleksnya dengan ide, dan tentu permasalahannya adalah
anugerah yang sekaligus pemecahannya kompleks tak berujung pangkal selama kita masih
memiliki fungsi kritis akal. Mendengar begitu ganjilnya cerita orang tentang kancil pilek di
dalam ruang belajar. Perlu dicatat, bahwa mengigau di kala tidur berarti “gagasan pasif”.
Kehilangan akal, berarti “konotasi” yang menyatakan perbandingan struktur “abstraksi logis”
yang berada diluar ide, dan bukan didalam sel syaraf otak kita. Selanjutnya, struktur
“konkrititasi logis” yang menyatakan kondisi kejiwaan yang terikat dalam aspek denotasi,
sebenarnya berada di dalam tubuh kita. Deskripsi metaforis menjadi prasyarakat
berlangsungnya nalar metaposmodernisme, berarti suatu ketidakmustahilan kognifikasi
irrasional, dimana menunjukkan suatu struktur kritikal yang tersajikan melalui strukturalisasi
rasional dalam ”atraksi linguistik” (verbal dan non verbal, visual dan audio visual), tidak
mengandung sama sekali relevansitas edukatif bagi seni dan estetis, dan semuanya menjadi
anti kritis bagi sebagian yang lainnya. Seluruhnya adalah zat anti dialog. Partikulerisasi
subtansial yang mengambang, kebenaran dijadikan alat pembenaran institusional, tergantung
muatan ide mereka. Hal ini sudah tergambar sebagai ramuan khusus dari dunia logis,
bersentuhan dengan spesies otoritarianisme ide yang yang diselendupkan dalam peti kemas
kenikmatan psikologis dari dunia lain. Menurut kaum Stoik, pada dasanya ide adalah bagian
dari akal, karena sifatnya melekat dalam diri aku. Segala sesuatu di dunia bersumber dari
akal yang sama, disebut logos, karena ia membawa potensi yang sama dan universal dalam
diri manusia. Keanekaragaman/kemajemukan adalah semboyan bagi keberadaan ide, dan ia
hanyalah pengulangan pantulan realitas tunggal ide yang mempersembahkan ragam realitas

28
luar atau obyek benda lainnya dengan peristiwa dan struktur yang beragam pula. Begitu
banyaknya pengertian obyek luar yang kita alami dan dikembangkan sedemikian “rupa”
untuk mendekati atau menjauhi kebenaran dalam kehidupan subyek kritis.
Meragukan sesuatu hal, menandakan ide baru mendukung pikiran baru pula. Tidak ada
ide lama, karena akal secara proporsional berada diatasnya dalam semua realitas luar. Kita
menyadari bahwa, ide tidak memiliki mekanisme, mempersiapkan suatu tindakan dengan
melihat kondisi tertentu. Atomisme betul berbeda dari bagian-bagian kesadaran tentang dunia
luar. Jiwa adalah “atom” yang dapat membangun dan meruntuhkan dunia lain. Vitalitas ide
per se15 bergumul di dalam alam ini. Meskipun ide tidak dibentuk oleh imajinasi, fantasi, dan
takhyul, tetapi ia bukan pada posisi terminus ad quem16, masih banyak realitas lain yang
membisu belum dijangkau ide itu sendiri di alam. Hanya ”tubuh dunia” yang menyelimuti
pikiran dan menyelimuti ide progresif yang menaklukkan takdirnya para pecinta pikiran.
Banyak peristiwa terungkap dan diantarkan oleh pikiran ini. Ungkapan dramatis dan nyata
menyertai kompleksitas gagasan pada satu universalisme, yaitu ide itu sendiri, bukan dari
tipu muslihat para tukang obat menjajakan dagangannya di pasar dan tempat-tempat
keramaian. Suatu saat ide tidak tergantung pada kondisi yang ada, pada saat lainnya ide
terpengaruh pada kondisi. Karena ada padanya gambaran dari permulaan suatu pilihan
hidup. Dibelakang hari kita hanya menjadi bangsa pemulung ide dari masa klasik.
Sesungguhnya ide tidak terikat oleh sirkulasi, peralihan waktu dan tempat. Karena jika tidak,
maka kita terus mengawetkan pandangan yang mengatakan bahwa kita tidak bereksistensi
apapun selama pemutlakan ide tentang persoalan dunia diabaikan.
Transformasi teknologi membutuhkan akumulasi makna, tujuan, identitas, dan
akreditasi nihilitas yang esensial bagi orang berbudiman. Herbert Marcuse memahami proses
rasionalitas teknologi adalah sebuah proses politik17. Sementara metafisika linguistik telah
menggelar dengan baik suatu “dunia teatrikal logis”, telah menobatkan permainan
universalisme atraktif dalam “benda luar” dengan kekuasaan sistem nalar transfemenitas dan
supraprimitifitas di dalam setiap ruang dan waktu. Keputusan detransdentalitas logis sebagai
metode diskursif praktis yang bermurah hati kepada drama manusia. Dalam masyarakat
industrial dan pascaindustrial, besar kecilnya kekuatan ide di alirkan oleh dunia yang logis.
Demikianlah dunia paradoksal mengumandangkan kejadian “benda luar” ini dengan penuh
belasungkawa dan riang-gembira di bawah bayang-bayang hukum logis dengan cara

29
memperagakan struktur dunia teater absurd. Kompleksitas ide drama manusia sebagai
subyek puncak mengusung ilustrasi raksasa kemajuan dalam prinsip-prinsip dunia inderawi.
Eksistensi subyek apapun namanya, mode kesadaran dan fantasi dunia dipersembahkan oleh
stimulu subyek dilematis. Sepanjang kesadaran saya, bahwa hukum-hukum penalaran
metodis dan realitas eksternal sebagai sesuatu yang diagungkan telah dan sedang
memperluas prinsip realitas manusia ekonomis (nalar dialektis sebagai kenyataan internal
dan kebebasan individual efeknya, ia tercabik- homo economicus) kedalam lembaga-lembaga
dunia mesin yang sungguh berperadaban tinggi. Kualitas-kualitas akal murni mengumpulkan
“dunia ide” mengenai struktur obyek luar yang sangat ditentukan oleh subyektifitas nalar
kita. Namun akal budi melukiskan obyek benda itu dengan jalan pengalaman meditasi akal
budi. Konstruksi subyek berpikir dan bertindak ini berhubungan langsung dengan “benda-
benda luar” secara alamiah. Hubungan kerja yang diwujudkan yakni riil dan memiliki
konsekuensi logis, antara “subyek atas” dengan “subyek bawah”, dengan pandangan lain
gerak ide “subyek bawah” yaitu aktor drama manusia dipengaruhi oleh ide “subyek atas”
yaitu sang sutradara, kapitalis atau si pemilik “benda luar” “XYZ“. Perbedaan unsur alamiah
inheren dengan hukum nalar liberalisme berupa menguasai motif dasar kenikmatan realitas
“benda luar” dan orientasi rasionalitas pasar. Pantaslah kita oarng berdecak kagum pada
superioritas logika, dimana masyarakat industrial merangkaikan simpul kemajuan obyek
benda, yang menggerakkan realitas luar berdasarkan persepsi inderawi, dan dengan
kelincahannya menaklukkan dalam banyak hal yang memilukan eksistensi.
Kemajuan besar “obyek-obyek benda” adalah bentuk rasionalitas struktural yang dapat
diukur menurut penghayatan kebenaran logika induksional, bahwa rangkaian ide-ide umum
berasal dari ide-ide khusus. Kumpulan kualitas-kualitas subyek dipengaruhi oleh sejauh dia
mengerti pengetahuan tentang ide sensasi dan ide refleksi. Berasal dari ide sensasional yang
menerangkan pengetahuan mengenai penglihatan, penciuman, pendengaran dan seluruh
persepsi inderawi lainnya. Sementara itu, ide reflektif ialah dorongan tingkatan lebih dari
subyek berpersepsi untuk berpikir, merenung, berfantasi dan sebagainya. Hanya suatu
gejala obyektif, ide terbatas pada dirinya sendiri, sebab hakikat drama manusia tidak dapat
diteliti dan diidentifikasi. Subyek manusia modern menciptakan sistem kerja dengan
menciptakan spesialisasi kerja. Sudah dikatakan sebelumnya, bahwa Si subyek dengan nalar
yang ditransmisikan oleh “obyek benda”, menurunkan sistem berpikir kepada nalar

30
liberalisme. Sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa obyek benda lebih dikembangkan
sesuai dengan nalar dialektis eksistensialisme, dengan menyatakan pengkristalan subtansil
kesadaran budi dan determinitas diri, diwujudkan atas pribadi berpikir dan pribadi
bereksistensi. Manusia dengan struktur teatrikal logis yang meresapi “dunia amoral” agar
mempertimbangkan kembali unsur-unsur kebajikan “dunia ide subyek”. Oleh karena itu
kebebasan adalah kebenaran impersonal yang tidak bereksistensi apa-apa. Maka dari itu, ide
dunia ini harus dibangun dengan determinisme diri “subyek bergerak” oleh faktor luar
empirisme yaitu “ide berkehendak” ke dalam “obyek benda” tanpa rintangan dari “ide
metafisika” yang membosankan. Realitas luar drama manusia, atau mematuhi segala resiko
kerja dalam keinginan obyek benda itu. Memahami hal ini, wujud eksistensialisme dan
liberalitas logis telah membentangkan pemahaman realitas luar, melancarkan arus jalanan
bebas “benda-benda luar” yang digerakkan oleh otoritas impersonal dan waktu beradaptasi
kuat dengan kerangka drama manusia dalam hubungan kerja. Maka dari itu, berbagai
kemajuan “subyek berpikir” bukanlah berasal dari obyek benda, tetapi bersumber dari ide
subyektif, sifat pengetahuan dan kerja fisik merupakan serangkaian kehormatan kemajuan
obyek benda yang di jalankan oleh ide obyektif tersebut. Kualitas-kualitas kognitif dalam
ide obyektif mendirikan grafik kemajuan ide subyektif dalam subtansi dasar eksistensi
individual, diantaranya ialah tingkat intelegensia dan tindakan logis. Maka akibat logis
kemajuan dunia obyek benda yang termodernisasikan begitu fantastis disebabkan oleh
kedudukan nalar keakuan ke arah subtansi eksistensial tipikal kedua ide obyektif manusia
masa depan. Dunia otoritas utama pikiran ialah logika pasar, yakni ide kontradiksional
mengambil posisi yang sama dengan paradoksal ide subyek, antara keinginan obyek luar.
Ide subyek tidak absolut, berkehendak atas takdir dunia obyek manusia, atau fenomena
benda-benda luar yang terungkap maknanya. Kerangka teori manusia ekonomi liberal
melihat faktor-faktor umum, mengapa terjadi perbedaan obyek diri, antara subyek bernalar
pragmatis di dalam lingkaran “ruang β “ tertentu dan diantara lingkaran ilusi “ruang Σ “
dengan subyek penguasa benda luar. Pengetahuan kita memohon kepada kriteria nalar
sang waktu X merupakan kriteria ekistensial dari ide subyek ke benda-benda eksternal yang
mengikat formal antara subyek-obyek. Dalam sang waktu X, oleh subyek statis dianggap
sebagai suatu sistem nalar yang menantang, ketidakberhubungannya antara alur prinsip-
prinsip nalar desublimitas dengan realitas luar dan realitas dalam. Ataukah, waktu X tidak

31
penting bagi nalar liberalisme, lebih baik proses subyek berkehendak, diluar rutinitas kerja
ada realitas luar obyek benda. Kuantitas dan kualitas realitas luar berpengaruh kepada
subyek supernormal, manifestasi eksistensial dan liberalitas primitif individual dalam
hubungan luar fisik. Lingkaran waktu X berada dalam obyek yang tak beridentitas dengan
menggunakan ide abstrak tanpa subtansi, memiliki obyek benda berarti subtansi abnormal,
dan subyek bertindaklah dalam ruang yang telah menjadi pengetahuan partikuler, terbagi-
bagi atribut formalnya. Waktu merupakan kualitas obyek tanpa akal budi dan kehendak.
Jadi subyek pemeran drama manusia yang mengendalikannya adalah obyek benda aktif yang
menggantikan subyek. Mereka mentransformasikan dirinya bersama obyek bendawi. Untuk
sekian kalinya kita menghadapi ketidakbebasan berkat ketiadaan teatrikal logis.

Catatan Akhir

1. Sesuatu yang tidak diketahui dengan pengalaman, menandakan bahwa akal


instrumentalis dapat diketahui dan dinikmati sejauh mereka menggunakan sistem logika
untuk pencarian kesenangan belaka dengan merangkul rasionalitas moral apapun yang
disenanginya.
2. Sebab yang sebenarnya, memunculkan spekulatif filosofis, karena
materialisme sejati tidak mengakui adanya penyebab sebenarnya.
3. Penyebab yang tidak perlu diperdebatkan, dan untuk mengusir rasa ketakutan
dengan keberanian sebagaimana Nietszche bergolak dalam kediriannya dalam media akal
sehat instrumentalis.
4. Ketidakselarasan logis antara kata benda dan kata sifat direngkuh oleh filsafat
bahasa ”hermeunitika”.
5. Kesatuan mistik dan fisik, nampak hal ini tidak diabaikan oleh logika
transendental Kant.
6. Alvin Toffler, seorang futurolog termasyhur, penulis Future Shock dan The
third Wave, dan Francois Fukuyama, pemikir terkemuka di abad ke-21 dan penulis The
End of History.
7. Ketidakselarasan logis dalam pikirannya sendiri
8. Manusia menjadi bangsa mesin bagi bangsa mesin lainnya. Hal ini terakait
dan menngeser secara formal dengan Filsafat Hobbes: manusia menjadi serigala bagi
yang lainnya (homo homini lupus).
9. Wilayah, daerah yang belum dikenal, wilayah yang belum terlacak (identitas,
kualitas dan kuantitas)
10. Manusia yang berjalan tegak
11. Pikiran baru. Istilah Latin ini menggambarkan semangat zaman untuk
mendambakan suatu cara berpikir yang tidak lazim dikalangan mereka, sebelum dan
kekinian.

32
12. Kesadaran bahwa Aku adalah kepastian, jika Aku mutlak yang Mengawali
dan Mengakhiri segala sesuatu
13. “We can predict that anything in the constituted body of kenowledge that is
not translatable ini this way will be abandoned and that the direction of new new research
will be dictated by the possibility of its eventual results being translatable into computers
language. The “producers” and languages whatever they want to invent or lear. Research
on translating machines is already well advanced.” Along with the hegemony of
computers comes a certain logic, and therefore a certain set of prescription determing
which statements are accep as “knowledge” statements. (Kita dapat memprediksikan
apapun juga yang merupakan tubuh pengetahuan yang tidak dapat dipindahkan sehingga
dalam cara ini akan ditinggalkan zaman pengetahuan modern, dan bahwa pengarahan dari
sebuah penelitian baru akan ditundukkan oleh kemungkinan akan tujuan-tujuan akhirnya
yang mudah terperosok ke dalam bahasa komputer. Sang ”produser” dan pengguna
pengetahuan saat ini harus menggunakannya, dan harus memiliki alat pemindahan
kedalam bahasa ini apapun yang mereka inginkan untuk berkarya dan belajar. Penelitian
tentang pengusungan mesin adalah menghalami kemajuan yang baik. Bersama-sama
hegemoni komputer saat ini menjadi sebuah logika yang pasti, dan maka dari itulah
sebuah kepastian menaruh banyak dari pra tulisan yang menentukan pernyataan telah
diserap sebagai pernyataan ”pengetahuan”.) Lyotard, Jean Prançois, The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge (http://www.marxists.org).
14. Diantaranya: Have we not, however, a word which does not express
enjoyment, as happiness does, but indicates a satisfaction in one's existence, an analogue of
the happiness which must necessarily accompany the consciousness of virtue? Yes this
word is self−contentment which in its proper signification always
designates only a negative satisfaction in one's existence, in which one is conscious of
needing nothing.
Freedom and the consciousness of it as a faculty of following the moral law with
unyielding resolution is
independence of inclinations, at least as motives determining (though not as affecting) our
desire, and so far as I am conscious of this freedom in following my moral maxims, it is the
only source of an unaltered
contentment which is necessarily connected with it and rests on no special feeling. This
may be called
intellectual contentment. The sensible contentment (improperly so−called) which rests on
the satisfaction of the inclinations, however delicate they may be imagined to be, can never
be adequate to the conception of it. (Betapun ini suatu pertanyaan, tidakkah kita memiliki
kata yang mengungkapkan kata sebagai bentuk kebahagian yang memang menujukkan
kepuasan dalam eksistensi seseorang, suatu anologi tentang kebahagiaan yang niscaya
mengiringi kesadaran akan kebajikan, dan bagi yang tidak menunjukkan kebahagian,
sebagaimana yang ditempuh oleh pendamba kebahagiaan? Ya betul kita memiliki, dan kata
ini adalah wujud kepuasan diri, yang makna sebenarnya hanya mengacu pada kepuasan
yang jelek terhadap eksistensi dimana orang memiliki kesadaran bahwa dia tidak
membutuhkan apapun. Kebebasan dan kesadaran sebagai kemampuan untuk mengikuti
hukum moral dengan suatu disposisi yang kaku, adalah kebebasan dari segala bentuk
kecenderungan, paling vtidak ketika sejumlah motif menentukan (kendati tidak
memengaruhi) hasrat kita; dan kehendak moral saya, hal ini menjadi sekedar sumber dari

33
suatu kepuasan yang ternah berubah dan niscaya terkait dengannya yang tidak terletak pada
perasaan manapun ini mungkin disebut dengan kepuasan intelektual. Sementara kepuasan
inderawi (yang dinamai dengan tidak tepat) terletak kecenderungan pada kepuasan,
betapun mereka dibayangkan adanya, yang tidak pernah dapat mencukupi bagi
kelangsungan konsepsi kepuasaannya). Kant, Immanuel, The Ciritique of Practical Reason
(http://www.Questia.com/Immanuel_Kant).
15. Itu sendiri, secara instrinsik, atau istimewa dalam pikiran, ucapan dan maksud
dari pikiran dan ucapan tesebut.

16. Batas, tujuan, batas waktu terakhir, paling akhir sebagaimana pelacakan
logika transendental Kant.

17. In the construction of technology reality, there no such thing as a purely


rational scientific order; the process of technological rationality is a political process.
(Dalam bangunan realitas teknologi, betul-betul tida ada tatanan ilmiah rasional yang
murni, yang ada hanyalah proses rasionalitas teknologi yang merupakan sebuah proses
politik). Marcuse, Herbert, One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced
Industrial Society (London: Rutledge & Kegan Paul Ltd, 1964), p. 168.

34
35

Anda mungkin juga menyukai