Anda di halaman 1dari 3

Sementara itu, secara umum idealisme dapat diklasifikasi kedalam tiga tipologi.

Pertama,
idealisme subjektif, jenis idealisme ini kadang-kadang dinamakan mentalisme atau
fenomenalisme., jenis ini sangar tidak dapat dipertahankan, paling sedikit tersiarnya, dan paling
banyak mendapat tantangan. Seorang idealis subjektif idenya merupakan segala yang ada.
“Objek” pengalaman bukan benda material, objek pengalaman adalah persepsi. Benda-benda
seperti bangunan-bangunan dan pohon-pohon itu ada, tetapi dalam hanya dalam akal yang
mempersepsikannya. Seorang idealis subjektif tidak memngingkari adanya apa yang kita
namakan alam yang “riil”. Yang menjadi permasalahan bukan adanya benda-benda itu, akan
tetapi bagaimana alam itu diinterpretasikan. Alam tidak berdiri sendiri, bebas dari orang yang
mengetahuinya. “Bahwa dunia luar itu ada” menurut seorang idealis subjektif, mempunyai arti
yang sangat khusus, yakni bahwa kita “ada” itu dipakai dalam arti yang sangat bisa kita pakai.
Bagi seorang idealis subjektif, apa yang ada (dalam arti biasa) adalah akal dan ide-idenya.

George Barkeley (1685-1753) seorang filsuf dari Irlandia mewakili idealisme subjektif, ia
lebih suka menanamkan filsafatnya immaterialisme. Bagi Barkeley, hanya akal dan ide-idenya
yang ada. Ia mengatakan bahwa ide itu ada dan ia dipersepsikan oleh suatu akal. Baginya ide
adalah esse est pericipi (ada, berarti dipersepsikan). Tetapi, akal itu sendiri tidak perlu
dipersepsikan agar dapat berada. Akal yang adalah yang melakukan persepsi. Untuk menjelaska
pandangan Barkeley sepenuhnya, kita harus berkata “Ada berarti dipersepsikan (bagi ide) atau
berarti yang mempersepsikan (bagi akal). Segala yang riil adalah akal yang sadar atau suatu
persepsi atau ide yang dimiliki oleh akal tersebut. Barkeley bertanya, “Dapatkah kita
membicarakan tentang sesuatu selain dari ide atau akal?”.

Jika kita mengatakan bahwa benda-benda itu ada ketika benda-benda itu tidak terliat, dan
bahwa kita percaya wujud yang berdiri sendiri dari dunia luar, Barkeley menjawab bahwa
ketertiban dan konsistensi alam adalah riil dan disebabkan oleh akal yang aktif, yaitu akal Tuhan.
Tuhan, akal yang tertinggi , adalah pencipta dan pengatur alam. Dan, kehendak Tuhan adalah
hukuk alam. Tuhan menentukan urutan dan susunan ide-ide kita. Inilah sebabnya maka kita tidak
dapat hanya mennetukan apa yang akan kita lihat jika kita membuka mata kita. Kaum idealis
subjektif mengatakan bahwa tak mungkin ada benda atau persepsi tanpa seorang yang
mengetahui benda atau persepsi tersebut, subjek (akal atau si yang tahu) seakan-akan
menciptakan objeknya (apa yang kita namakan materi atau benda-benda yang diketahui), bahwa
apa yang riil itu adalah akal yang sadar atau persepsi yang dilakukan oleh akal tersebut.

Kedua, idealisme objektif. Banyak filsuf idealis, dari Plato, melalui Hegel samoau filsafat
masa kini menolak subjektivisme yang ekstrem atau materialisme , dan menolak juga pandangan
bahwa dunia luar itu adalah buatan manusia. Mereka berpendapat bahwa peraturan dan bentuk
dunia, begitu juga pengetahuan, adalah ditentukan oleh watak dunia itu sendiri. Akal
menemukan peraturan alam. Mereka itu idealis dalam memberi interpretasi kepada alam sebagai
suatu bidang yang dapat dipahami, yang bentuk sistematikanya menunjukan susunan yang
rasional dan nilai. Jika mereka mengatakan bahwa watak yang sebenarnya dari alam adalah
bersifat mental, maka artinya adalah bahwa alam itu suatu susunan yang meliputi segala-galanya,
dan wataknya yang pokok adalah akal, selain alam itu merupakan kesatuan organik.

Walaupun istilah idealisme baru dipakai pada waktu yang belum lama untuk
menunjukkan suatu aliran filsafat, akan tetapi permulaan pemikiran idealis dalam peradaban
Barat biasanya dinisbahkan kepada Plato (427-347 SM). Plato menanamkan realitas fundamental
dengan nama ide, tetapi baginya, tidak seperti Barkeley, hal tersebut tidak berarti bahwa ide itu,
untuk berada, harus bersandar kepada suatu akal, apakah itu akal manusia atau akal Tuhan, Plato
percaya bahwa di belakang alam perubahan atau alam empiris, alam fenomena yang kita lihat
atau kita rasakan. Bagi Plato, dunia dibagi dalam dua bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia
penglihatan, suatu dan benda-benda individual. Dunia seperti itu, yakni yang konkret, temporal,
dan rusak bukannya dunia yang sesungguhnya, melainkan dunia penampakan saja. Kedua,
terdapat alam di atas alam bend, yaitu dalam konsep, ide, universal, atau esensi yang abadi.

Konsep “manusia” mengandung “realitas” yang lebih besar daripada yang dimiliki orang
per orang. Kita mengenal benda-benda individual karena kita mengetahui konsep-konsep dari
contoh-contoh yang abadi. Bidang yang kedua ini mencakup contoh, bentuk (forms) atau jenis
(type) yang berguna sebagai ukuran untuk benda-benda yang kita persepsikan dengan indra kita.
Ide-ide adalah contoh yang transenden dan asli, sedangkan persepsi dan benda-benda individual
adalah copy atau bayangan dari ide-ide tersebut. Walaupun realitas tersebut bersifat immaterial,
Plato tidak mengatakan bahwa tak ada orang yang riil kecuali akan pengalaman-pengalamannya.
Ide-ide yang tidak berubah atau esesnsi yang sifatnya riil, diketahui manusia dengan perantaraan
akal. Jiwa manusia adalah esensi yang immaterial, dikurung dalam badan manusia untuk
sementara waktu. Dunia materi berubah, jika dipengaruhi rasa indra, hanya akan memberikan
opini buka pengetahuan.

Kelompok idealis objektivis modern berpendapat bahwa semua bagian alam mencakup
dalam suatu tata tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menisbahkan kesatuan tersebut
kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang mutlak (Absolut Mind). Hegel (1770-1831)
memaparkan dari suatu sistem-sistem yang terbaik dari idealisme monistik atau mutlak (absolut).
Pikiran adalah esensi dari alam, dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan. Alam
adalah proses pikiran yang memudar. Alam adalah akal yang Mutlak yang megekspresikan
dirinya dalam bentuk luar.

Oleh karena itu, maka hukum-hukum pikiran merupakan hukum-hukum realitas. Sejarah
adalah cara zat yang Mutlak itu menjelma dalam waktu dan pengalaman manusia. Oleh karena
alam itu. Satu, dan bersifat mempunyai maksud serta berpikir, maka alam itu harus berwatak
pikiran. Jika kita memikirkan tentang keseluruhan tata tertib dunia, yakni tata tertib yang
mencakup in-organik, organik, tahap-tahap keberadaan yang spiritual, dalam suatu yang
mencakup segala-galanya, pada waktu itulah kita membicarakan tentang yang Mutlak. Jiwa yang
Mutlak atau Tuhan.

Sebagai ganti realitas yang statis atau tertentu serta jiwa yang sempurna dan terpisah,
seperti yang kita dapatkan dalam filsafat tradisional, Hegel membentangkan suatu konsepsi yang
dinamis tentang jiwa dan lingkungan, jiwa dan lingkungan itu adalah begitu berkaitan sehingga
kita tak dapat mengadakan pembedaan jelas antara keduanya. Jiwa mengalami realitas setiap
waktu. Yang “universal” selalu ada dalam pengalaman-pengalaman khusus dari proses yang
dinamis. Dalam filsafat semacam itu, pembedaan dan perbedaan termasuk dalam dunia
fenomena dan bersifat relatif bagi si pengamat, keadaannya tidak memengaruhi kesatuan dari
akal yang positif (mempunyai maksud).

Kelompok idealis objektif tidak mengingkari adanya realitas luar atau realitas objektif.
Mereka percaya bahwa sikap mereka adalah satu-satunya sifat yang bersifat adil kepada segi
objektif dari pengalaman, oleh karena mereka menemukan dalam alam prinsip, tata tertib, akal,
dan maksud yang sama seperti yang ditemukan manusiadalam dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai