Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN ILMU

Animisme

Tugas manusia pada dasarnya adalah mengerti segenap gejala yang ditemuinya dalam
kehidupan untuk mampu menghadapi masalah-masalah yang ditimbulkannya. Manusia primitif,
ketika mendengar petir dan melihat kilat yang menyambar-nyambar diikuti dengan hujan deras
serta mungkin diikuti banjir, harus merenung penuh kebingungan kapan semua ini akan berhenti
dan apakah sebenarnya yang sedang terjadi.

Antropologi dan sejarah menunjukkan bahwa manusia pertama sekali menerapkan gejala-
gejala seperti itu sebagai perbuatan dewa-dewa. Mitologi kuno penuh dengan bermacam dewa
dan dewi yang kelihatannya memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia
primitif. Bangsa Indian umpamanya menghubungkan sakit, kelaparan dan berbagai bencana
dengan makhluk-makhluk halus yang sedang marah. Bahkan sampai saat ini mungkin masih ada
suku-suku primitif yang melaksanakan upacara-upacara untuk menyenangkan hati makhluk-
makhluk tersebut dan meminta pertolongannya. Keadaan yang bersifat gaib atau fase animistis
ini belum sepenuhnya berlalu bahkan pada beberapa golongan yang beradab. Bukan hal aneh lagi
bagi orang modern yang untuk percaya pada hantu, dan berbagai makhluk halus untuk
menerangkan suatu kejadian yang belum mampu untuk dijelaskan. Ceritera rakyat bangsa
Irlandia penuh dengan mitos-mitos seperti itu, bahkan di negara seperti Amerika Serikat
kepercayaan gaib akan kucing hitam, dan mengguna-guna lewat boneka sihir masih juga didapati
terlepas dari peradaban bangsanya yang telah maju.1

Ilmu Empiris

Lambat laun manusia menyadari bahwa gejala-gejala alam dapat diterangkan sebab-
mushabab alam suatu ilmu yang paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu
pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah. Perkembangan ke arah ini berlangung lambat.
Perkiraan yang kasar dan tidak sistematis secara lambat laun memberi jalan kepada observasi
yang lebih sistematis dan kritis; kemudian kepada pengujian hipotesis (dugaan sementara)
secara sistematis dan teliti di bawah kondisi yang dikontrol meskipun hipotesis-hipotesis ini

1
Junjun S. Suriasumantri, Perkembangan ilmu, ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan tentang
hakikat ilmu ( Jakarta : Gramedia 1978 ) 91
masih terpisah-pisah; dan akhirnya, paling tidak dalam beberapa bidang keilmuan, kepada
pengembangan teori yang menyatukan penemuan-penemuan yang terpisah-pisah itu kedalam
suatu struktur yang utuh, dan kepada formulasi pengujian secara sistematis dan teliti dari
hipotesis-hipotesis yang telah terintegrasi yang diturunkan dari teori tertentu.

1) Pengalaman. Kiranya jelas bahwa tiitk tolak ilmu pada tahap yang paling permulaan adalah
pengalaman, apakah itu hujan angin, badai salju, gerhana, atau keteraturan yang terlihat sehari-
hari. Ilmu mulai dengan suatu obeservasi dimana kemudian ditambahkan kepadanya observasi-
observasi lain baik yang serupa mauoun yang tidak, sampai suatu kesamaan atau perbedaan
dapat dicapai. Akhirnya suatu prinsip-prinsip dasar akan disusun yang akan menerapkan tentang
terjadinya atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman. Tujuan ilmu adalah memperoleh dan
mensistematiskan pengetahuan dan kejadian yang kita peroleh.

Dalam tahap-tahap permulaan, ilmu harus berurusan dengan penambahan pengalaman


dan kritik terhadap pengalaman. Pengumpulan pengalaman individual, betapapun terang dan
jelasnya, masih tidak cukup, karena selama pengalaman itu tetap terpisah-pisah, maka
pengalaman itu cenderung tidak memilki arti dtinjau dari segi pendirian keilmuan. Jumlah dan
keragaman pengalaman yang terpisah-pisah ini harus direduksikan kepada dasar yang dapat
menyatukan semua pengalaman tersebut, lewat sebuah proses yang melakukan klasifikasi dan
sistematisasi pengalamana-pengalaman tersebut menjadi sejumlah kecil prinsip-prinsip dasar,
yang bersifat lebih umum dan dapat diterapkan secara lebih luas.

2) Klasifikasi. Prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang
fungsional adalah klasifikasi, suatu prosedur yang pokok bagu semua penelitian dan bagi semua
kegiatan mental karena hal ini merupakan cara yang sederhana dan cermat dalam memahami
sejumlah besar data. Dengan mengetahui kelas dimana suatu gejala termasuk maka hal ini akan
memberikan dasar untuk memahami gejala tersebut. Dengan memasukkan hujan lebat yang akan
turun ke dalam klasifikasi topan, umpamanya, hal ini memberikan untuk mengetahui secara
terlebih dulu bagaimana kemungkinan akan terjadinya hujan tersebut, karena identifikasi sebuah
objek atau gejala sebagai anggota dari suatu kelas dengan segera menghubungkan kita kepada
sifat-sifat tertentu yang dipunyai oleh kelas tersebut. 2

2
Junjun S. Suriasumantri, ILMU DALAM PERSPEKTIF, 92
3) Kuantifikasi. Tahap yang pertama dalam perkembangan ilmu adalah pengumpulan dan
penjelasan pengalaman, di aman kemudian segera menyebabkan adanya kebutuhan untuk
mengkuantifikasikan observasi tersebut, karena meskipun observasi kualitatif mungkin sudah
cukup memuaskan dalam tahap-tahap permulaan ilmu, namun hanya kuantifikasi yang dapat
memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi dalam ilmu yang lebih matang.
Sesungguhnya, makin maju suatu ilmu, makin besar kebutuhan untuk meninggalkan pencacahan
pengalaman dan melangkah ke arah suatu pengukuran yang lebih teliti, agar kemungkinan
dilakukannya suatu analisis yang lebih layak lewat manipulasi matematis. Walaupun begitu
harus diingat, meskipun kuantifikasi memungkinkan dipunyainya berbagai kelebihan yang tak
terbilang, namun ketelitian matematis tidak menyebabkan data memiliki ketelitian dan
kelebihan-kelebihan itu yang memang tidak dia punyai sebelumnya.

4) penemuan Hubungan-hubungan

Lewat berbagai kualifikasi yang berbeda-beda, sering terjadi bahwa kita melihat adanya
hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya. Contohnya mengklasifikasikan
anak-anak berdasarkan jenis kelamin dan kekuatan jasmani secara bersamaan, kemungkinan kita
akan melihat hubungan bahwa anak laki-laki lebih kuat dibandingkan dari anak wanita.3

Banyak dari hubungan yang di temukan merupakan sesuatu yang tak lebih dari hubungan yang di
dasarkan pada kenyataan bahwa gejala tersebut muncul secara bersaman, hubungan tersebut
sering tidak mantap dan tidak langsung. Umpamanya seorang yang menjadi mabuk karena air
campur gin, air campur bourbon,dan air campur arak, yang kemudian menyimpulkan bahwa air
yang merupakan unsur yang terdapat dalam empat campuran tadi, merupakan penyebab ia
mabuk.

5) perkiraan kebenaran

Ilmuan pada umumnya menaruh perhatian pada hubungan yang lebih fundmental
dibanding yang hanya tanpak pada kulitnya. Disini terlihat dua langkah fundamental dalam
perkembangan ilmu : proses perkiraan kebenaran yang terus menerus dan proses pendefinisian
kembali masalah di tinjau dari keberhasilan atau kegagalan perkiraan tersebut. Konsep ilmu

3
Jujun S. Suriasumantri, Perkembangan ilmu, ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan tentang
hakikat ilmu 94-95
sebagai suatu rangkaian dalam perkiraan kebenaran dimana kebenaran ini jarang sekali dapat di
capai, tidaklah memuaskan bagi mereka yang memandang ilmu sebagai sesuatu yang absolut dan
mereka yang tidak bisa menghargai bahwa apa yang mampu di berikan oleh ilmuan hanyalah
memberikan kita pengertian yang lebih dalam.4

Ilmu Teoritis

Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoritis, dimana hubungan dan gejala
yang di temukan dalam ilmu empiris diterangkan dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang
sebab musabah sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol
kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat tercapai.5

Kelebihan tingkat ilmu teoritis ilmu empiris secara mudah dapat dilihat dengan
memperhatikan keterbatasan ilmu empiris tersebut. Ilmu empiris adalah canggung dan tidak
mudah di gunakan karna dia berurusan dengan gejala yang terpisa-pisah, yang menyebabkan kita
sukar untuk mengerti dan memahami tiap-tiap gejala tersebut. Ilmu empiris adalah sangat
terbatas terutama dalam peramalan dan kontrol, yang merupakan tujuan akhir dari ilmu.

Contoh, cerita tentang si kecil Bobo, yang akibat dari ketidaksengajaan membakar
gubuknya, kelihatannya dia merupakan manusia pertama yang memakan babi panggang. Dia
mengetahui sesuatu fakta empiris, apa yang ia ketahui telah memberikan dia babi panggang.
Walaupun begitu, jika ia ingin kembali mengecap babi panggang haruskah ia kembali membakar
gubuknya? Haruskah dia mengulang kembali semua keadaan yang mendahalui terpanggangnya
babi? Lebih jauh lagi mungkin penemuan empirisnya akan menyebabkan dia percaya bahwa dia
bisa menanbah nikmat beras dengan jalam membakar gubuknya.

4
Ibid,
5
Jujun S. Suriasumantri, Perkembangan ilmu, ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan tentang
hakikat ilmu, 96
Ilmu teoritis dapat memperpendek proses untuk sampai pada pemecahan masalah. jika
seseorang mengerti apa sebab terjadinya sesuatu, maka dia dapat mengalikan pengetahuannya
dalam pemecahan masalah lainnya yang serupa. Ilmu teoritis mempunyai kelebihan yang nyata
dalam merangsang penelitian dan dalam memberikan hipotesis yang berharga.6

Perliahan dari ilmu empiris ke ilmu teoritis, tentu saja adalah sesuatu langkah yang sangat
sukar. Kiranya adalah relatif mudah untuk menemukan apa yang terjadi akan tetapi tidak
sebegitu mudahnya jika kita harus menerangkannya mengapa hal itu terjadi. Dapat dikatakan
bahwa ilmu ilmu sosial terlalu menitik beratkan aspek aspek empiris dan dan melalaikan aspek
teoritis. Hanya akhir-akhir ini saja terdapat kesadaran bahwa empirisme merupakan tahap
keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan orientasi yang lebih besar terhadap teori.7

6
Jujun S. Suriasumantri, Perkembangan ilmu, ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan tentang
hakikat ilmu, 97
7
Jujun S. Suriasumantri, Perkembangan ilmu, ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan tentang
hakikat ilmu, 98

Anda mungkin juga menyukai