Anda di halaman 1dari 9

MATA KULIAH METODOLOGI

I. PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN


I.1 Pengantar

Metodologi, dalam arti yang ketat, dapat dimengerti sebagai ilmu atau deskripsi
mengenai metode-metode atau prosedur yang digunakan di dalam suatu kegiatan tertentu.
Namun, kata tersebut umumnya digunakan juga sebagai suatu penyelidikan atau penelitian
terhadap maksud-maksud tertentu, yaitu konsep dan prinsip-prinsip penalaran ilmu tertentu dan
hubungan-hubungan antara bagian-bagian ilmu bersangkutan.

Metodologi suatu ilmu mencakup usaha-usaha untuk menganalisis dan menelaah tujuan,
konsep-konsep pokok, metode-metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,
pembagian ilmu tersebut di dalam cabang-cabangnya, hubungan antara cabang-cabang tersebut,
dan sebagainya.

Berkembangnya suatu ilmu pengetahuan diawali kemampuan manusia untuk mencari


tahu tentang suatu hal. Proses mencari didasarkan pada kemampuan memainkan logika atau
proses berpikir.

Walaupun menyusun pengetahuan tidak sepenuhnya kerja logika, logika memainkan


peran saat seseorang (peneliti) sebagai makhluk yang mencari tahu menyusun kerangka berpikir
dalam pemahaman awal tentang adanya masalah. Setelah itu, peneliti berupaya merumuskan
masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang bersifat skeptis, deklaratif, atau hipotetis.
Kerja awal logika selanjutnya adalah menyusun struktur asal-muasal sebuah masalah, bahkan
memainkan cara berpikir kausalitas secara abstraktif.

Apa yang membedakan suatu pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Apakah sebuah
pengetahuan otomatis menjadi ilmu? Jika tidak, melalui proses apa sebuah pengetahuan bisa
menjadi ilmu pengetahuan? Selanjutnya, kriteria apa sehingga sebuah pengetahuan bisa
dikatakan sebagai ilmu?

Pokok utama sebuah pengetahuan menjadi ilmu atau science adalah terjadinya proses auto-
activity, yakni aktivitas mencari dan membuktikan sebuah fakta menjadi kebenaran.

I.2 Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan


A. Pengetahuan

Pengetahuan adalah kesan (citra/image) dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan
pancaindranya, yang biasanya dibedakan dari kepercayaan (beliefs), takhayul (superstitions), dan
penerangan-penerangan yang keliru.
Munculnya pengetahuan pada manusia bergantung pada kemampuan untuk menyadari
hadirnya objek di luar dirinya sebagai subjek. Munculnya pengetahuan terjadi jika subjek
atau orang menangkap citra dan mengubahnya ke dalam fakta sebagai pengalaman yang
hidup dalam dirinya.

Pengetahuan bukan semata-mata rekayasa pikiran manusia, melainkan sesuatu yang


memiliki hubungan kuat dengan objek. Seseorang tidak akan mengetahui sebuah cerita film yang
ditayangkan di televisi, jika dia sendiri tidak menjadikan film itu sebagai objek kesadaran
melalui aktivitas menonton atau menyimak.

Dalam dunia keseharian, munculnya pengetahuan bergantung pada usaha sadar


secara total mengenai apa pun. Sadar bukan semata-mata alat perseptual, seperti mata
untuk melihat, melainkan ada proses internal untuk mengerti melalui pengolahan
informasi di dalam dirinya.

Demikian juga, tahu. Mengetahui adalah kemampuan subjek menghubungkan secara


tepat dirinya dengan sesuatu di luar dirinya (objek).

Katakanlah seseorang melakukan korupsi atau tindakan menyimpang lainnya karena


tidak memiliki pengetahuan tentang apa itu korupsi. Dalam hal ini, ia tidak mampu secara tepat
menghubungkan dirinya dengan korupsi sebagai tindakan yang salah sehingga dia tidak memiliki
pengetahuan tentang tindakan salahnya. Lain halnya, jika dia tahu apa itu korupsi, tetapi dirinya
tetap tidak merasa bersalah saat melakukannya. Di sini, pelaku sebenarnya telah menipu diri
mengenai suatu kesalahan yang telah diketahuinya dengan menafikan pengetahuannya.

B. Ilmu Pengetahuan

Para ilmuwan dengan tegas membedakan ilmu pengetahuan dari pengetahuan. Dalam
konteks akademis ilmiah, pengetahuan prailmiah dengan pengetahuan ilmiah dibedakan secara
gradual.

Pengetahuan pra-ilmiah merupakan pengetahuan yang belum memenuhi syarat-syarat


ilmiah pada umumnya. Sedangkan, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang memenuhi
syarat-syarat ilmiah sehingga disebut pengetahuan ilmiah.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan ilmiah yang telah mengalami serangkaian


pengujian secara berulang dan sistematis.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan


menggunakan kekuatan-kekuatan pemikiran, serta memiliki sifat dapat ditelaah (dikontrol)
dengan kritis oleh setiap orang yang ingin mengetahuinya.
Menurut definisi tersebut, ada empat elemen penting dalam ilmu pengetahuan, yakni
adanya pengetahuan (knowledge), tersusun secara sistematis, menggunakan pemikiran, dan dapat
dikontrol secara kritis oleh orang lain (objektif).

Selain itu, ilmu pengetahuan juga bisa didefinisikan sebagai deskripsi yang lengkap dan
konsisten mengenai fakta-fakta dari pengalaman yang disusun dalam istilah yang
sesederhana mungkin.

Tidak semua pengetahuan merupakan ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan yang


tersusun secara sistematis yang merupakan ilmu pengetahuan. Ilmu berusaha mengorganisasikan
dan menyusun berdasarkan sistematika tertentu mengenai segala hal yang diketahui. Syaratnya
adalah upaya itu dilakukan melalui proses berpikir secara cermat dan teliti dengan metode yang
telah teruji.

Sistematis dalam ilmu pengetahuan berarti adanya urutan-urutan tertentu dari unsur-
unsur yang merupakan satu kebulatan. Dengan ini, akan jelas tergambar apa yang merupakan
garis besar dari ilmu pengetahuan tersebut. Sistem dari ilmu pengetahuan merupakan suatu
konstruksi abstrak dan teratur sebagai satu kesatuan yang terangkai. Abstrak berarti hanya ada
dalam buah pikiran manusia (Soekanto, 1990: 7).

Ilmu pengetahuan tersusun oleh kekuatan berpikir manusia dengan kerangka dan cara
tertentu sehingga menghasilkan kesimpulan atau konklusi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Karena manusia dan perilakunya bersifat dinamis, pengetahuan harus selalu berubah
sesuai dengan perkembangan serta perubahan yang ada. Hasil kekuatan berpikir yang sudah
tersusun selalu terkoreksi dengan perubahan yang ada dan menghasilkan ilmu pengetahuan yang
baru. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan harus selalu dikontrol dan diperiksa serta ditelaah secara
kritis, karena teori dalam Ilmu Sosial akan selalu tertinggal oleh praktik.

Teori dalam Ilmu Sosial akan terus berubah. Oleh karena itu, penelitian dalam Ilmu
Sosial merupakan syarat mutlak untuk mengetahui apakah teori tersebut masih relevan atau tidak
dengan praktik.

Data baru yang diperoleh melalui penelitian akan menjadi bahan untuk mengukur,
melengkapi, memperbaiki teori yang ada, atau mungkin membuat teori yang baru (Saefullah,
1995).

1.3 Kesederhanaan Ilmu Pengetahuan

Pencarian atau pembuktian ilmu tidak boleh membingungkan, apalagi menyulitkan.


Kesederhanaan langkah atau prosedur menjadi kaidah yang harus dimiliki semua ilmuwan.

Dalam proses pembuktian ilmu, ada 4 kaidah yang harus diperhatikan.


1. Orde. Ilmu pengetahuan memercayai bahwa alam ini teratur, tidak serampangan. Peristiwa-
peristiwa yang terjadi di alam ini mengikuti aturan yang teratur dalam suatu pola yang tertentu,
dalam suatu tatanan (orde) tertentu. Misalnya, teori Gravitasi Bumi.

2. Determinisme. Ilmu pengetahuan percaya bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab-


musababnya atau variabel pendahulu (anteseden) yang dapat diselidiki. Ahli biologi percaya
bahwa unsur pembawa sifat dari kedua induk akan diturunkan kepada keturunannya (ingat
Hukum Mendel), kemudian struktur DNA dan RNA akan menentukan bagaimana sel-sel
berfungsi, warna rambut, kulit, mata, dan lain-lain.

3. Parsimoni (kesederhanaan). Ilmu pengetahuan mengikuti tata cara penjelasan dalam kerangka
yang sederhana daripada penjelasan yang kompleks. Kaidah parsimoni berkaitan dengan hukum
generalisasi dalam ilmu pengetahuan, misalnya gaya gravitasi bumi percaya bahwa semua benda
akan tertarik (jatuh) mendekati dirinya karena bumi memiliki gaya tarik-menarik yang lebih
kuat. Hal tersebut berlaku di belahan bumi mana pun (general).

4. Empirisme. Ilmu pengetahuan harus didasarkan pada hasil observasi atau pengamatan
pancaindra, sesuatu yang dapat dirasakan sehingga semua orang yang ingin mengetahuinya dapat
mengalami dan melakukannya. Ilmu bersifat objektif. Setiap orang berhak memberikan koreksi
melalui hasil replikasi percobaan atau pengamatannya.

1.4 Teori dan Fungsi Teori

Apa yang dimaksud dengan teori? Mengapa suatu teori diperlukan dalam penelitian?
Bagaimana kaitan antara teori dan ilmu pengetahuan? Demikian pertanyaan yang muncul ketika
membicarakan teori pada penelitian ilmiah.

Teori adalah sesuatu yang abstrak dalam bentuk penyataan. Akan tetapi, teori bukan
uraian verbal yang rumit, seperti perkiraan pada umumnya. Teori justru menjelaskan fenomena
secara sederahana, sistematis, dan meramalkan peristiwa. A theory consist of a set of systematic,
informed hunches, about the way things work (Burgoon dalam Em Griffin, Andrew Ledbetter,
dan Glen Sparks, 2015).

Jika menjelaskan sebuah fenomena, teori memiliki kemampuan menganalisis dan


menjadi payung penjelasan secara teliti.

Dalam penelitian ilmiah, teori membantu mengembangkan langkah penelitian, atau


setidaknya teori memiliki kemampuan menjawab masalah penelitian pada tahap sebelum
pembuktian.

Teori merupakan bagian dari siklus penelitian manakala menyusun hipotesis penelitian.
Di samping itu, teori adalah hasil penelitian di mana para peneliti menghasilkan tesis baru dari
penelitian terakhir.
Teori adalah tujuan dari ilmu. Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan— melalui replikasi—
adalah menghasilkan teori. Menurut Kerlinger (1974: 9), teori adalah himpunan atau kumpulan
konsep atau konstruk, definisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang
gejala dengan menjabarkan hubungan antarvariabel untuk menjelaskan serta meramalkan gejala
tersebut.

Dalam buku Kerlinger, The Foundation of Behavioral Research (1974), ciri-ciri teori
dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Terdiri atas proposisi. Proposisi adalah hubungan yang terbukti dari pelbagai variabel.
Hubungan dalam proposisi adalah antarkonsep. Setiap teori terdiri atas dua atau lebih konsep.
Konsep merupakan abstraksi dari berbagai fakta yang telah digunakan dalam mengonstruksi
teori yang dikembangkan. Untuk kepentingan penelitian, konsep dioperasionalkan menjadi dua
atau lebih variabel. Hubungan antarvariabel itulah yang diuji di lapangan atau yang sering
disebut dengan hipotesis penelitian.

2. Konsep-konsep dalam proposisi telah dibatasi pengertiannya secara jelas. Konsep merujuk
pada realitas yang telah diabstraksikan demi memudahkan orang yang akan menggunakan
konsep tersebut dalam pengujian berikutnya.

3. Harus dapat diuji (testability), diterima, atau ditolak kebenarannya. Teori memberikan
peluang kepada peneliti yang lain untuk membuktikan bahwa sebuah kebenaran ilmiah
senantiasa dinamis. Berubah seiring dengan dinamika masyarakat atau masalah manusia. Dalam
hal ini, teori sebelumnya mengalami pembuktian oleh peneliti selanjutnya.

4. Harus mampu memprediksi (predictability). Teori adalah model berpikir secara abstrak yang
menuntun setiap orang dalam memecahkan masalah. Dengan menggunakan model berpikir "jika-
maka" atau pola hubungan kausalitas, seseorang yang berusaha memecahkan masalah dengan
menggunakan teori bisa meramalkan kejadian saat ini akan mengakibatkan peristiwa apa pada
masa yang akan datang. Semua itu didasarkan pada model kerja atau disebut proposisi ilmiah
yang terdapat dalam sebuah teori.

5. Teori harus melahirkan proposisi tambahan yang sebelumnya tidak diduga. Hukum teori
adalah terbuka. Sejauh peneliti memikirkan banyak hal, ia membuka peluang untuk
memunculkan pemikiran-pemikiran baru. Maksudnya, dengan teori sebelumnya, seorang peneliti
bisa melahirkan asumsi-asumsi baru berdasarkan logika ilmiah. Dalam hal ini, ada lompatan
berpikir analogis ataupun kausalitas, di mana peneliti melahirkan asumsi berdasarkan teori
sebelumnya.

Dalam hal kajian tiap-tiap ilmu, teori secara spesifik menjelaskan fenomena yang
menjadi objek formal sebuah ilmu sehingga muncul sebutan teori komunikasi, teori psikologi,
teori ekonomi, teori politik, atau teori sosiologi. Sebagai ilmuwan komunikasi, dalam hal ini
boleh saja kita mendefinisikan bahwa teori komunikasi dibatasi pada himpunan definisi, konsep,
atau proposisi ilmiah yang menjelaskan tentang fenomena komunikasi.

Bidang komunikasi massa, misalnya. Ketika sebuah perguruan tinggi melakukan kajian
tentang dampak media massa, seperti TV, memberikan pengaruh yang kuat guna mendorong
partisipasi masyarakat untuk melakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), tidak terlepas dari
penggunaan asumsi-asumsi teoretis Teori Agenda Setting. Hal ini menunjukkan bahwa Teori
Agenda Setting menjelaskan tentang pentingnya agenda media massa dalam menjelaskan
perilaku masyarakat yang berhubungan dengan sebuah jadwal atau kegiatan seperti pemilihan
kepala daerah.

Pembuktian dari teori tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi yang benar
kepada pengambil kebijakan (pemerintah), lembaga nonpemerintah, dan pengelola stasiun TV
(praktisi dan profesional komunikasi) untuk memanfaatkan media massa, seperti TV, guna
menyampaikan kepentingan membangun sikap dan perilaku positif.

Walaupun demikian, dalam praktiknya, ketika seseorang menggunakan teori untuk


sebuah kajian atau penelitian, acap kali terjadi sikap arogansi intelektual dan penganutan
terhadap sebuah teori yang sangat dipercayainya sehingga sering terjadi selektivitas, pengotakan,
dan penciptaan tren penggunaan teori tertentu dalam sebuah proses penelitian.

Masalah yang lebih rumit lagi, ketika sekelompok atau seorang ilmuwan, seperti di
Perguruan Tinggi, cenderung mengambil sikap menyalahkan teori tertentu tanpa bukti
lapangan/laboratorium yang memadai. Hal ini terjadi karena mereka sekadar mengadopsi hasil
penelitian dari negara-negara lain tanpa melihat kondisi yang berkembang di negara tempat
penelitian dilakukan. Misalnya, acap kali para dosen atau peneliti komunikasi mengatakan
bahwa Teori Jarum Hipodermik salah dan Teori Uses and Gratification benar tanpa terlebih
dahulu menguji teori tersebut secara empiris.

Teori Uses and Gratification mungkin benar jika diterapkan di negara yang budaya dan
kemelekan teknologi komunikasinya sudah maju, seperti di Amerika Serikat. Namun, jika
diterapkan di sebuah negara atau wilayah dengan penguasaan dan kepemilikan teknologi yang
kurang, literasi media yang rendah, serta kondisi sosial politik, kultur, pendidikan, sosial
ekonomi, dan teknologi komunikasinya belum memadai, Teori Uses and Gratification belum
tentu benar.

Dalam proses penelitian, teori dan definisi berguna untuk membantu peneliti menjelaskan
setiap fenomena yang dihadapi, kemudian memberikan solusi atau pemecahan masalah.

Dengan demikian, teori dan definisi tidak sekadar menjelaskan asal-usul, hubungan
antarfenomena, dan bahkan sebab akibat di antara berbagai fenomena yang terjadi, tetapi lebih
diharapkan memberikan pemecahan masalah (problem solving) yang berguna bagi masyarakat.
Hal ini bisa dilakukan ketika hasil kajian atau penelitian yang menggunakan sebuah teori atau
berpatokan pada sebuah teori, hasil yang didapatkan dari pengujian tersebut dijadikan sebagai
pedoman pengambilan keputusan atau kebijakan oleh lembaga atau pihak yang berkepentingan
seperti pemerintah.

Dalam menjelaskan kebermanfaatan pemahaman atas teori, khususnya teori komunikasi,


Littlejohn dan Foss (2011: 4) lebih persuasif lagi. Dengan mengembangkan sebuah pemahaman
mengenai keragaman teori komunikasi, Anda akan lebih dapat membuat perbedaan dalam
menginterpretasikan mengenai komunikasi, bisa mendapatkan alat bantu untuk meningkatkan
komunikasi Anda, dan bisa memahami Ilmu Komunikasi dengan lebih baik.

Mempelajari, apalagi memahami, teori akan membantu kita melihat dunia dengan lebih
baik; melihat sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya, dan mampu melihat sesuatu yang
tidak dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Littlejohn dan Foss (2011: 4) menyebutnya
dengan pelebaran-pelebaran persepsi yang lepas dari keterkekangan yang memungkinkan
seseorang keluar dari cara berpikir yang biasa serta dapat menyesuaikan diri dalam mendekati
fenomena apa pun. Singkatnya, menurut Littlejohn dan Foss, teori memberikan seperangkat alat
bantu untuk melihat proses dan pengalaman sehari-hari dari komunikasi melalui lensa yang baru.

Thomas Kuhn (dalam Littlejohn dan Foss, 2011: 4) mendeskripsikan keberfungsian


sebuah teori pada cara pandang seseorang dengan memberikan ilustrasi sebagai berikut:

Ketika melihat peta kontur, akademisi akan melihat garis pada kertas, di mana pembuat
peta sebenarnya sedang menggambarkan sebuah tanah lapang. Pada foto tentang ruang
gelembung, akademisi melihatnya sebagai garis yang membingungkan dan patah, sedangkan ahli
fisika mencatatnya sebagai kejadian-kejadian subnuklir yang biasa.

Teori adalah dasar pijakan dan penjelas hubungan antarfenomena yang dilihat sebagai
permasalahan. Ada empat fungsi teori dalam penelitian ilmiah, yakni:

1. Menyimpulkan karakter fakta-fakta hasil pengamatan.


2. Menyajikan kerangka orientasi untuk mengklasifikasi dan menganalisis fakta yang
dikumpulkan.
3. Melakukan prediksi terhadap gejala baru yang akan terjadi.
4. Mengisi peluang dalam ilmu pengetahuan tentang gejala yang telah dan sedang terjadi.

Menurut Vredenbregt (1978: 1), tujuan teori adalah mempersoalkan pengetahuan serta
menjelaskan hubungan antara suatu gejala sosial dan arti dari suatu observasi yang telah
dilakukan.

Definisi Vredenbregt tentang teori di atas lebih jelas mendukung proses observasi. Teori
akan memberi warna pada kerangka dan hasil penelitian yang akan diperoleh. Dalam suatu
keterikatan yang lebih spesifik, menurut Vredenbregt (1978: 3), hubungan antara teori dan
penelitian ilmiah dilukiskan dengan pendapatnya sebagai berikut.
"Teori dan penelitian saling membantu. Peneliti-peneliti menguji teori-teori yang telah
dikembangkan, dan berdasarkan itu, memperluas teori tersebut sehingga akhirnya akan
mengakibatkan penelitian yang baru. Pada pihak lain, teori dapat mengarahkan peneliti
kepada penelitian yang perlu diadakan untuk memperdalam pengetahuan teoretis."

Teori merupakan alat untuk mencapai suatu pengetahuan yang sistematis. Teori sangat
penting dalam memperjelas pengetahuan sebagai dasar pemikiran. Teori membimbing
penelitian; dari teori dapat dijabarkan hipotesis baru, dan bila ada teori yang berlawanan,
peneliti dapat menguji mana di antara kedua teori itu yang benar.

Ibaratnya sebuah siklus hidup kegiatan ilmiah, teori seolah membimbing peneliti untuk
menjawab sementara permasalahan manusia sebelum terjun ke lapangan. Secara operasional,
teori divalidasi kebenarannya dalam kenyataan di masyarakat. Jika terbukti seperti yang
dikatakan teori, teori memiliki kekuatan dalam proposisi-proposisinya. Jika tidak terbukti, akan
melahirkan pertanyaan-pertanyaan atau sesuatu yang dapat diwujudkan secara hipotetis. Hal
inilah yang memberi peluang kepada peneliti untuk menemukan atau memunculkan teori baru.

Manakala peneliti atau calon peneliti mengamati peristiwa sosial, hakikatnya mereka sedang
membangun minat. Minat akan membimbingnya untuk memikirkan formulasi-formulasi
pertanyaan penelitian yang membutuhkan jawaban. Untuk kegiatan ilmiah, jawaban sementara
hanya bisa didapatkan melalui teori. Teori akan membekali peneliti pada keputusan sementara
tentang suatu pertanyaan atas masalah. Selanjutnya, teori itu harus dibuktikan di lapangan.

Jika sudah masuk dalam tahapan tersebut, selanjutnya adalah masalah metodologi. Dalam
sebuah penelitian, metodologi membantu peneliti menemukan kebenaran ilmiah, apakah sebuah
teori masih relevan atau tidak dengan permasalahan di lapangan.

Proses ilmiah tidak hanya berlangsung sampai peneliti menemukan atau tidak menemukan
kebenaran ilmiah. Hakikat manusia adalah selalu mempertanyakan segala hal. Jika itu muncul,
akan kembali kepada proses awal di mana peneliti kembali pada keadaan membangun minat
untuk penelitian.

1.5 Proses Berpikir

Landasan dari proses penelitian adalah kemampuan untuk berpikir secara benar
dan tertib. Dalam arti, bagaimana seorang peneliti membaca fenomena menjadi sebuah
permasalahan, mencari landasan teori, merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis,
serta menarik kesimpulan. Seluruh proses tersebut didasarkan pada kemampuan berpikir
peneliti. Oleh karena itu, bila diperhatikan, tahap-tahap proses penelitian secara
keseluruhan adalah proses berpikir dari seorang peneliti.

Sebagai contoh, bila seorang observer atau pengamat melihat bahwa petani yang lebih
kosmopolitan (sering pergi ke kota atau luar daerah) lebih dahulu menggunakan bibit padi
varietas baru. Dari sini timbul permasalahan: (1) Apakah semakin kosmopolit seorang petani,
semakin sering kontak dengan penyuluh? (2) Apakah semakin kosmopolit seorang petani,
semakin sering mendengar perbincangan bibit baru? (3) Apakah semakin kosmopolit seorang
petani, semakin sering melihat keberhasilan adopsi bibit baru? Dan seterusnya.

Dengan menggunakan Teori Difusi Inovasi dari Rogers, peneliti menurunkan hipotesis
atau jawaban sementara bahwa (1) Ada keterkaitan antara derajat kosmopolitan petani dan
frekuensi kontak dengan penyuluh; (2) Ada keterkaitan antara derajat kosmopolitan petani
dengan frekuensi mendengar perbincangan bibit padi varietas baru; (3) Ada keterkaitan antara
derajat kosmopolitan petani dengan frekuensi mendengar keberhasilan adopsi bibit padi varietas
baru.

Sampai pada tahap penurunan hipotesis, sudah terdapat satu jenis proses berpikir peneliti, yakni
berpikir deduktif. Berpikir deduktif adalah proses berpikir yang dimulai dari pernyataan umum
untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

Contoh:

Pertama: Setiap mahasiswa IFTK wajib mengikuti mata kuliah Metodologi Penelitian.

Kedua : Toni adalah mahasiswa IFTK.

Kesimpulan :Toni wajib mengikuti mata kuliah Metodologi Penelitian.

Dalam proses penelitian, berpikir deduktif biasa dimulai dari tahap pemanfaatan teori untuk
merumuskan hipotesis penelitian, misalnya dalam contoh tadi, pemanfaatan kerangka Teori
Difusi Inovasi untuk membaca relasi fenomena tingkat kekosmopolitan petani dengan adopsi
bibit padi varietas baru.

Jenis berpikir yang lain, yaitu induksi. Berpikir induksi adalah suatu proses berpikir yang diawali
dengan fenomena-fenomena khusus untuk enarik kesimpulan yang bersifat umum (generalisasi).

Contoh:

Toni adalah mahasiswa. Toni pintar menulis. Yunus adalah mahasiswa. Yunus pintar menulis.
Pepi adalah mahasiswa. Pepi juga pintar menulis. Kesimpulan, semua mahasiswa pintar menulis.

Dalam proses penelitian, berpikir induktif dimanfaatkan untuk penarikan kesimpulan hasil
analisis fakta yang telah dikumpulkan oleh peneliti. Dari fakta yang didapat, peneliti melakukan
generalisasi.*

Anda mungkin juga menyukai