Anda di halaman 1dari 7

Nama : Uray Lia Wahyuni

NIM : F1241201028

Pordi : Pendidikan Geografi

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Drs. H. Sri Buwono, M.Si

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

1. Jelaskan ketiga landasan (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) bagi pembahasan


ilmu pengetahuan!
2. Jelaskan konsep ilmu pengetahuan sebagai proses, prosedur, dan sebagai produk! 3
3. Buktikan bahwa ketiga pengertian ilmu tersebut di atas merupakan satu-kesatuan yang
logis yang mesti ada secara berurutan!
4. Jelaskan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu rangkaian aktivitas yang bersifat
rasional, kognitif dan teleologis!
5. Sebutkan secara urut dan jelaskan beberapa tujuan yang dapat diusahakan dalam ilmu
pengetahuan!
6. Sebutkan dan jelaskan beberapa macam prosedur yang dapat dianggap sebagai pola-
pola berpikir dalam metode ilmiah!
7. Bandingkan antara pola berpikir deduktif dengan pola berpikir induktif!
8. Sebutkan dan jelaskan langkah-2 baku dlm melakukan kegiatan ilmiah!
9. Jelaskan dengan contoh beberapa istilah yg berkaitan dengan metode ilmiah ini:
konsep, model, hipotesis, pendekatan, tehnik penelitian, dan alat-alat penelitian!
10. Bandingkan dengan menggunakan contoh pengertian antara fakta dan data dalam
suatu kegiatan ilmiah!

Jawab:
1. Landasan Ontologis merupakan ilmu pengetahuan berarti pembahasan atau analisis
tentang obyek material dari ilmu pengetahuan. Obyek material ilmu pengetahuan adalah hal-
hal atau benda-benda empiris.
landasan epistemologis dari ilmu pengetahuan berarti pembahasan atau analisis tentang
proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan disusun melalui proses yang
disebut metode ilmiah. Pembahasan mengenai landasan aksiologis dari ilmu pengetahuan
berarti pembahasan atau analisis tentang penerapan hasil-hasil temuan ilmu pengetahuan.
Penerapan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dan demi keluhuran hidup manusia.

2.  Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktivitas manusiawi, yakni perbuatan
melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Ilmu tidak hanya satu aktivitas
tunggal saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan sebuah proses.
Rangkaian aktivitas itu bersifat rasional, kognitif, dan teleologis.
1.     Rasional
            Aktivitas rasional berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran
untuk menalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Ilmu
menampakkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris.
            Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang
berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber pada
pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran
menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan berpikir bukan dengan perasaan,
meskipun seperti itu dikatakan Pascal, hati pun mempunyai logika tersendiri.
Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berfikir
menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berfikir yang
mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
            Berpangkal pada hasrat kognitif dan kebutuhan intelektualnya, manusia
melakukan rangkaian pemikiran dan kegiatan rasional dengan lingkungan atau
masyarakat yang kemudian melahirkan ilmu.
2.     Kognitif
            Pada dasarnya ilmu adalah sebuah proses yang bersifat kognitif, bertalian dengan
proses mengetahui dan pengetahuan. Proses kognitif (cognition) adalah suatu rangkaian
aktivitas seperti pengenalan, penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran (antara lain)
yang dengannya manusia dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu
hal.
Menurut Piaget menyatakan bahwa di dalam diri individu terjadi adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
a.     Asimilasi
      Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya;
proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat
subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi
yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label
“burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.

b.     Akomodasi

      Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak


dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi
skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi
merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses
asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium).

        Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur


kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru.
Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila
terjadi keseimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada
sebelumnya. Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan
atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema
yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama
sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang
burung sebelum memberinya label “burung” adalah contoh mengakomodasi binatang itu
pada skema burung pada fikiran si anak. Melalui kedua proses penyesuaian tersebut,
sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu
tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena
ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur
kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar
keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses
penyesuaian di atas.
      Dengan demikian, kognitif seseorang berkembang bukan karena menerima
pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya.

3.     Teleologis
           Ilmu selain merupakan sebuah proses yang bersifat rasional dan kognitif, juga
bercorak teleologis, yakni mengarah pada tujuan tertentu karena para ilmuwan dalam
melakukan aktivitas ilmiah mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ilmu
melayani sesuatu tujuan tertentu yang diinginkan oleh setiap ilmuwan. Dengan
demikian, ilmu adalah aktivitas manusiawi yang bertujuan. Tujuan ilmu itu dapat
bermacam-macam sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masing-masing ilmuwan.
[2]

C.   Ilmu sebagai Prosedur

The Liang Gie memberikan pengertian ilmu sebagai aktivitas penelitian perlu
diurai lebih lanjut agar dapat dipahami berbagai unsur dan cirinya yang lengkap.
Penelitaian sebagai suatu rangkaian aktifitas mengandung prosedur tertentu, yakni
serangkaian cara dan langkah tertib yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan
pola ini dalam dunia keilmuan disebut metode, untuk menegaskan bidang keilmuan
itu seringkali dipakai istilah “metode ilmiah”. Jadi, Ilmu sebagai prosedur atau ilmu
sebagai metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup pikiran, pola kerja, tata
langkah, dan cara teknik untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, bisa
dikatakan ilmu sebagai prosedur berarti ilmu merupakan kegiatan penelitian yang
menggunakan metode ilmiah.
Menurut The World of Science Encyclopedia, metode ilmiah ialah prosedur
yang digunakan oleh ilmuwan dalam mencari secara sistematis pengetahuan baru dan
peninjauan kembali pengetahuan yang ada. Dari berbagai definisi yang pernah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa metode ilmiah pada umumnya menyangkut
empat hal yakni: pola prosedural, tata langkah, teknik-teknik, dan alat-alat.
Menurut Stanlay dan Thomas C. Hunt menjelaskan bahwa metode dalam
mencari pengetahuan ada tiga
1.     Rasionalisme
Plato memberikan gambaran klasik dari rasionalisme. Dia berdalil bahwa untuk
mempelajari sesuatu, seorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum
diketahui. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada
dalam pikiran manusia. Pengalaman indra paling banyak hanya merangsang ingatan
dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam
pikiran. Menurut Plato kenyataan dasar terdiri dari ide atau prinsip.
Sedangkan menurut Descrates, dia menganggap bahwa pengetahuan memang
dihasilkan oleh indra, tetapi karena dia mengakui bahwa indra itu bisa menyesatkan
(seperti dalam mimpi dan hayalan), maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa
data keindraan tidak dapat diandalkan
Dari penjelasan di atas terdapat beberapa kritik yang ditujukan pada kaum
rasionalisme. Diantaranya adalah:
a.  Pengetahuan rasional dibentuk oleh yang tidak dapat dilihat maupun diraba.
Sehingga eksistensi tentang idea yang bersifat sudah pasti maupun bawaan itu sendiri
belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang
sama.
b.     Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh merasa bahwa mereka menemukan
kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang
praktis.
c.     Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan
manusia selama ini.
2.     Empirisme
Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia
berkata “tunjukkan hal itu kepada saya“. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus
diyakinkan oleh pengalamannya sendiri.
Orang-orang empiris berpendapat bahwa kita dilahirkan tidak mengetahui sesuatupun.
Apapun yang kita ketahui itu berasal dari kelima panca indra kita. John Locke bapak
empirisme mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan
sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah di
catat pengalaman-pengalaman indrawi. Sehingga ia memandang akal sebagai jenis
tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil pengindraan tersebut. 
Sehingga bisa dikatan bahwa kelompok empiris  melihat bahwa pemahaman manusia
hanya terbatas pada pengalamannya.
Empirisme juga mendapatkan kritik, yang antara lain:
a.     Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Namun, jika dianalisis secara kritis maka
“pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah
teori yang sistemis.
b.     Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada persepsi panca indra yang kiranya
melupakan kenyataan bahwa panca indra manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Panca indra kita sering menyesatkan. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk
membedakan antara hayalan dan fakta.
c.     Empirisme tidak memeberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan
yang mungkin, dalam pengertian di atas, sebenarnya merupakan pengetahuan yang
seluruhnya diragukan.
3.     Keilmuan
Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode
induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan, di jelaskan bahwa empirisme
merupakan epistemology yang telah mencoba menjadikan alat indra berperan dalam
pengamatan untuk memperoleh keterangan tentang pengetahuan ilmiah. Memang
terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian yang populer ini, karena ilmuan
mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan pengamatan dan
mempergunakan data indrawi.  Walaupun demikian analisis yang mendalam terhadap
metode keilmuan akan menyingkap kenyataan, bahwa apa yang dilakukan oleh
ilmuan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu
kombinasi antara prosedur empiris dan rasional. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan. Dengan
demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir
deduktif dengan induktif yang merupakan pertemuan antara empirisme dan
rasionalisme.
Hal ini dilakukan para ahli filsafat untuk membedakan antara mana
pengetahuan yang dianggap ilmiah dan mana yang bukan. Sehingga munculah metode
ilmiah, sebagai jawabannya. Disiplin yang menerapkan karakteristik ilmiah akan
menghasilkan pengetahuan ilmiah, sehingga yang tidak menerapkan metode ilmiah ini,
pengetahuannya bisa dianggap bukan merupakan pengetahuan ilmiah.
Metode ini juga masih mendapatkan kritik, yang antara lain:
a.     Metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketaui
manusia, yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan
teknik keilmuan.
b.     Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian.
Tiap tafsiran bisa saja benar sejauh apa yang dikemukakan. Berbagai hipotesis bisa
saja diajukan, sehingga kesatuan dan konsistensi dari pengetahuan keilmuan ternyata
tidak sejelas apa yang kita duga.
c.     Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini
merupakan keharusan. Karena pengetahuan keilmuan hanyalah pengetahuan yang
mungkin dan secara tetap harus terus menerus berubah. karena ilmu menyadari bahwa dia
tidak mampu untuk menyediakan pengetahuan yang pasti dan lengkap, yang tidak
terjangkau oleh kegiatan keilmuan.[3]

D.   Ilmu sebagai Produk


Dilihat dari tipe dan jenisnya, Ilmu itu sendiri dibagi menjadi tiga: Pertama,
ilmu sebagai inti dalam kehidupan sosial. Biasanya ilmu tipe demikian dikendalikan
oleh elit sosial yang memandang bahwa tradisi masyarakat sebagai standar kebenaran.
Konsekwensinya adalah dogmatisasi ilmu akibat kebenaran yang serba normatif.
Kedua, ilmu sebagai proses. Dalam konteks ini kebenaran sebagai main goal dari ilmu
pengetahuan dijadikan sebagai bahan antara, dimana kebenaran akhirnya terus
diverifikasi melalui berbagai penelitian dan eksperimen. Ketiga, ilmu sebagai produk.
Hal ini masih berkaitan dengan ilmu tipe kedua. Beragam penelitian tentang satu hal
yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan akhir setelah dilakukan pengujian
adalah sebuah produk dari pencarian kebenaran yang kita kenal sebagai ilmu.

       Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan sistematis yang merupakan produk dari


aktivitas penelitian dengan metode ilmiah/ sebagai sistem pengetahuan, ilmu mempunyai
obyek material dan obyek formal. Obyek material sering disebut pokok soal (subject
matter), sedangkan obyek material dinamakan titik perhatian (focus of interest) atau sikap
pikiran (attitude of mind). Lebih lazim, obyek formal dinamakan sudut pandang. Sebagai
sistem pengetahuan atau pengetahuan sistematis, ilmu memiliki ciri- ciri empiris,
sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Ciri empiris mengandaikan pengamatan
(observasi) atau percobaan (eksperimen). Ilmu berbeda dari pengetahuan karena ciri
sistematis, dan berbeda dari filsafat karena ciri empirisnya. Ciri sistematis berarti bahwa
kumpulan pengetahuan-pengetahuan itu memiliki hubungan-hubungan ketergantungan
dan teratur.

Ciri obyektif ilmu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bebas dari rasangka
perseorangan (personal bias) dan pamrih pribadi. ilmu arus berisi data yang
menggambarkan secara tepat gejala-gejala. ilmu berciri analitis artinya ilmu
melakukan pemilahan-pemilahan atas pokok soal ke dalam bagian-bagian untuk
mengetahui sifat dan hubungan bagian-bagian tersebut. Ciri verifikatif ilmu berarti
bahwa tujuan yang ingin dicapai ilmu ialah kebenaran ilmiah. Kebenaran ini dapat
berupa kaidah-kaidah atau azas-azas yang universal. Dengan demikian, manusia dapat
membuat ramalan dan menguasai alam.  Sebagai produk dari usaha berfikir ilmiah,
ilmu pengetahuan sudah pasti berlandaskan pada landasan yang jelas. Obyektivitas
yang tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang menjadi pola dasar
ilmu pengetahuan itu tanpa mengesampingkan nilai-nilai hidup kemanusiaan. Sebab,
nilai-nilai kemanusiaan adalah dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan
keilmuan. Dalam artian bahwa ilmu pengetahuan itu sama sekali tidak bebas nilai dan
tetap mempertimbangkan terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan.

     Terdapat perbedaan di kalangan para ilmuwan mengenai hubungan antara ilmu


dengan nilai-nilai. Di satu sisi, sebagian berpendapat bahwa ilmu adalah bebas nilai
dengan satu pertimbangan bahwa kebenaran menjadi satu-satunya ukuran dalam
kegiatan ilmiah. Sebagian yang lain  mengatakan bahwa pertimbangan nilai etika,
kesusilaan dan kegunaan  untuk melengkapi nilai kebenaran ilmu sangat perlu
dimasukkan ke dalam landasan ilmu, dengan kata lain ilmu taut nilai atau tidak bebas
nilai.

3.

Anda mungkin juga menyukai