Anda di halaman 1dari 3

Epistimologi Positivisme dan Positivisme Logis

A Pengantar

Filsafat yang disebut positivisme berasal dari kata positif ini muncul pada abad 19
dengan berpangkal dari yang telah diketahui, yang faktual dan positif. Adapun prinsip dari kaum
positivis ialah satu-satunya sumber pengetahuan adalah observasi dan pengalaman, kaum
positivis juga hanya membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang-bidang gejala saja.
Apa yang dapat kita lakukan ialah segala fakta, yang menyajikan diri kepada kita sebagai
penampakan atau gejala, kita terima seperti apa adanya. Dalam perspektif positivisme, kita tidak
perlu mencari sesuatu yang berada di balik fenomena atau menemukan sebab-sebab yang bersifat
teologis dan metafisis karena sikap dasar ideloginya, positivisme memang bersifat duniawi,
sekuler, anti teologis dan anti metafisika.

B Pengertian dan Sejarah Perkembangan Positivisme

Positivisme, secara etimologis berasal dari bahasa Latin positivitas atau ponere yang
verarti meletakkan. Positivisme membatasi pengetahuan kepada pertanyaan-pertanyaan tentang
fakta yang dapat diamati serta hubungan-hubungan antara fakta-fakta tersebut. Positivisme
sekarang merupakan suatu istilah umum untuk posisi filososfis yang menekankan aspek faktual
pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Dan, umumnya positivisme berupaya menjabarkan
pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau, dengan kata lain,
positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang empiris (menyatakan ilmu-ilmu alam) sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau
metafisik.

Meskipun demikian, positivisme juga diartikan sebagai campuran dari berbagai sikap
seperti saintisme (asumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan
yang berharga), naturalisme (praanggapan bahwa ada satu kesatuan metode ilmiah yang berlaku
untuk ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam), suatu pandangan umum tentang kualitas atau
hubungan sebab akibat (asumsi bahwa hubungan x dan y secara umum adalah keduanya perlu
dan cukup untuk membicarakan tentang kualitas), suatu penolakan terhadap penjelasan-
penjelasan yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mental atau subjektif (seperti niat atau motif-
motif tindakan), dan terakhir, pembedaan yang tajam antara fakta dan nilai-nilai.
Ada tiga tahapan kunci dalam sejarah perkembangan positivisme secara historis
sosiologis. Pertama, mengacu pada positivisme dari Saint Simont, Aguste Comte, dan para
pengikutnya pada abad kesembilan belas, positivisme dalam abad kesembilan belas berkaitan
sangat erat dengan kemunculan dan kemapanan sosiologi sebagai suatu disiplin ilmiah yang
otonom dan seperti yang diindikasikan dengan menyerap berbagai pertanyaan tentang sifat
metode ilmiahnya dan kekhasan uoaya kajian sosiologis J. S. Mill, Hellbert Spencer, dan
Durkheim adalah beberapa intelektual abad kesembilan belas yang bersimpati terhadap proposal
artikel-artikel utama Conrte meski tetap mempertahankan jarak kritis terhadap cara Cornte
menghasilkan proposal itu. Sebagian besar tokoh positivis abad kesembilan belas percaya bahwa
penjelasan yang non-spekulatif dan ilmiah mengenai dunia sosial akan membantu mewujudkan
suatu masyarakat yang lebih teratur dan adil.

Kedua, positivisme logis yang dikembangkan di Vienna (Wina) dan Cambridge awal
abad kedua puluh. Positivisme logis yang muncul pada awal abad kedua puluh tidak ada
kaitannya dengan sosiologi yang dimana positivisme abad kesembilan belas berkaitan erat
dengan itu. Di antara kalangan Vienna, hanya Otto Neurath yang memberi perhatian khusus
kepada ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Komitmennya kepada “fisikalisme” (yang menyatakan
bahwa berbagai fenomena sosial atau psikologis pada akhirnya harus dijelaskan kembali dalam
bahasa fisika) melahirkan suatu pandangan yang aneh tentang sosiologi (karena hanya
mempelajari perilaku) dan mengenai penjelasan-penjelasan sosial (karena mengenyampingkan
beberapa acuan-acuan keadaan-keadaan mental atau subjektif) sehingga, dengan demikian
pengaruh Neurath terhadap ilmu-ilmu sosial tetap terbatas.

Ketiga, mengacu pada model deduktif-nomologis dari Ernest Nagel dan Carl Hampel
pada pertengahan abad kedua puluh, positivisme model deduktif nomologis dari Negen dan
Hempel ini berbeda dengan Vienna, bahwa dimana positivisme model deduktif nomologis dari
mereka memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap ilmu sosial, menyajikan suatu
pandangan yang rapi dan langsung tentang pembentukan pengujian teori ilmiah, yang bisa
diterapkan baik untuk ilmu-ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu pengetahuan alam. Seperti
rekan sezamannya Karl Popper (tetapi tak sama seperti positivisme awal), mereka memandang
teori-teori ilmiah sebagai upaya deduktif, yang dengannya hipotesis-hipotesis empiris
disimpulkan dari hukum-hukum dan kondisi-kondisi awal.
Sejak Renaisans, gagasan dunia yang mekanis dan matematis telah mulai dikemukakan
oleh para ilmuwan aliran awal positivisme. Ilmu pengetahuan atau sains memiliki posisi otonom,
lepas dari pengaruh filsafat dan agama. Dari sini, ilmu pengetahuan didirikan positivisme atas
dasar beberapa pengandaian yang dirumuskan sebagai prinsip atau metode.

Anda mungkin juga menyukai