Anda di halaman 1dari 32

Prinsip-prinsip Ilmu

Pengetahuan
 Hakikat Ilmu Pengetahuan
o Apa itu Pengetahuan
o Apa itu Ilmu?
o Sains dan Pengetahuan 
o Kategori Ilmu Pengetahuan
 Antara Berpikir Ilmiah dan Berpikir Kritis
o Berpikir Ilmiah
o Berpikir Kritis
o Perbedaan Berpikir Ilmiah dan Kritis
 Tiga Komponen Utama Berpikir Ilmiah dan Berpikir Kritis
o Empirisme: Perlu Bukti
o Rasionalisme: Praktek Penalaran Logis
o Sikap Skeptis
 Paradigma Berpikir Keilmuan
o Positivisme
o Pos-positivisme
o Anti-positivisme
o Interpretivis
o Teori Kritis
o Konstruktivis
o Posmodern
o Pragmatisme
o Feminisme
Epistemological History

Interpretivism

Postmodern
Post-Positivism

Participatory

Positivism
Pragmatism
Epistemological Continuum in History
Pragmatism

Interpretivism
Post-Positivism
Participatory

Positivism
Postmodern

Subjectivity
Objectivity

Emipiris Rasional
Positivistik Interpretiv
Kuantitatif Kualitatif
positivisme
• Comte menyarankan agar teori dan pengamatan saling
tergantung satu sama lain.
• Gagasan Comte diperluas oleh Emile Durkheim dalam
pengembangan positivisme sosiologisnya (positivisme
sebagai landasan penelitian sosial) dan Ludwig
Wittgenstein dalam positivisme logis. Positivisme
kadang-kadang disebut sebagai 'metode ilmiah' atau
'penelitian sains', didasarkan pada filosofi empiris yang
rasionalistik yang berasal dari Aristoteles, Francis
Bacon, John Locke, August Comte, dan Emmanuel Kant
"(Mertens, 2005) dan "mencerminkan filosofi
deterministik di mana penyebabnya mungkin
menentukan efek atau hasil" (Creswell, 2003).
• filosofi dasar, filsafat berpikir, persepktif
atau paradigma (penelitian) yang
bertujuan untuk menguji sebuah teori
atau menggambarkan sebuah
pengalaman "melalui pengamatan dan
pengukuran untuk memprediksi dan
mengendalikan kekuatan yang ada di
sekitar kita" (O'Leary, 2004).
1. Determinisme, berarti setiap peristiwa selalu disebabkan
oleh keadaan lain; dan karenanya, jika kita hendak
memahami hubungan kausal seperti itu diperlukan prediksi
dan control.
2. Empirisme, mengutamakan pengumpulan bukti empiris
yang dapat diverifikasi untuk mendukung teori atau
hipotesis.
3. Parsimoni, mengacu pada penjelasan fenomena dengan
cara yang paling ekonomis.
4. Generalitas, adalah proses generalisasi pengamatan
fenomena tertentu ke dunia pada umumnya (Conen, et all.
2000).
Pos-positivisme

• postpositivism (juga disebut


postempiricism) adalah sikap meta
teoretis yang mengkritik dan memperbaiki
positivisme (Bergman, 2016).
• pos-positivisme menerima pinsip bahwa
teori, latar belakang, pengetahuan dan
nilai-nilai peneliti dapat mempengaruhi
apa yang diamati (Robson, 2002).
• Secara historis, para penggagas pos-positivisme
mengidentifikasi dua jenis positivisme, yaitu :
1. positivisme klasik, yang diwakili oleh tradisi empiris
sebagaimana untuk pertama kali dideskripsikan oleh
Henri de Saint-Simon dan Auguste Comte (Bergman,
2016).
2. positivisme logis, yang paling dekat dan terkait dengan
Lingkaran Wina, (para penggagas itu bertemu di Wina,
Austria, pada tahun 1920 dan 1930-an). Pos-positivisme
tidak bisa melupakan jasa para penggagas misalnya D.C.
Phillips yang tercatat paling getol mengeritik sampai-
sampai mengajukan semacam amandemen yang
berlaku bagi kedua bentuk positivisme (Miller, 2007).
• Salah satu pemikir pertama yang mengkritik positivisme
logis adalah Sir Karl Popper. Popper menggagasi prinsip
“falsification” sebagai pengganti ide positivisme logis
tentang verifikasi (Miller, 2007). Falsifikasis berpendapat
bahwa kita tidak mungkin memverifikasi suatu
keyakinan universal, atau sesuatu yang tidak teramati
itu adalah benar, meskipun ada kemungkinan untuk
menolak keyakinan salah jika apa yang diungkapkan itu
dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat diterima,
kata Popper ini adalah bentuk “pemalsuan” dalam sains
yang dia sebut sebagai “falsification”.
Anti-positivisme

• Sebagai tanggapan, anti-positivis menekankan


bahwa perilaku dan tindakan sosial harus
dipelajari melalui sarana interpretif dengan
memahami makna dan tujuan yang terkait
dengan perilaku dan tindakan pribadi
seseorang. Gagasan ini sebenarnya diilhami
oleh karya Georg Simmel tentang
interaksionisme simbolis, juga karya Max
Weber tentang tipe ideal, dan karya Edmund
Husserl tentang fenomenologi.
• Dalam ilmu sosial, anti-positivisme (juga interpretivisme dan
negativisme) mengemukakan bahwa ranah sosial tidak dapat
dipelajari dengan metode penyelidikan ilmiah yang diterapkan
pada ilmu-ilmu alamiah; penyelidikan wilayah sosial
membutuhkan epistemologi yang berbeda. Dari perspektif
filosofis inilah, anti-positivisme mengusulkan agar para
peneliti ilmu sosial pertama-tama harus sadar bahwa konsep,
gagasan, dan bahasa penelitian yang membentuk persepsi
mereka tentang dunia sosial itulah yang sedang mereka
selidiki (Macionis, John J., Gerber, Linda M. S, 2010). Jadi
benar bahwa interpretivisme (sebagian dari anti-positivisme)
tumbuh dari gerakan para peneliti yang mulai menolak ajaran
pos positivisme yang membidani lahirnya anti-positivisme itu.
• Dalam penelitian ilmu sosial, anti-
positivisme ditandai oleh tiga aliran
pemikiran; yaitu:

1. Fenomenologi
2. Ethnomethodology
3. Interactionism simbolik.
Phenomenology
• phenomenology adalah sudut pandang teoretis
yang percaya bahwa perilaku individu ditentukan
oleh pengalaman yang diperoleh dari interaksi
langsung seseorang dengan fenomena tersebut.
Pandangan ini mengesampingkan segala jenis
realitas eksternal obyektif. Husserl dan Schutz
adalah pendukung utama aliran pemikiran ini.
Ethnometodology
• pendekatan sosiologi fenomenologis yang dikembangkan
oleh Harold Garfinkel dan rekan-rekannya
ethnomethodologists. Pandangan ini berhubungan dengan
dunia kehidupan sehari-hari. Menurut para ahli
etnometodologi, keprihatinan teoritis berpusat pada
proses di mana realitas akal sehat dibangun dalam
interaksi tatap muka sehari-hari. Pendekatan ini
mempelajari proses di mana orang-orang terikat pada
peraturan 'take-for-granted' tertentu tentang perilaku yang
mereka tafsirkan dalam situasi interaktif dan membuatnya
bermakna. Mereka, terutama tertarik pada interpretasi
yang digunakan orang untuk memahami pengaturan sosial.
Interactionism Symbolis
• Interactionism simbolisis, antara lain dipelopori
oleh Dewey, Cooley dan Mead. Pada dasarnya
paradigma ini menekankan pemahaman dan
interpretasi terhadap interaksi antara manusia.
“Keganjilan” dari pendekatan ini adalah bahwa
manusia menafsirkan dan mendefinisikan tindakan
mereka masing-masing alih-alih hanya bereaksi
terhadap tindakan mereka tersebut. Interaksi
manusia dalam dunia sosial dimediasi oleh
penggunaan simbol seperti bahasa yang membantu
manusia memberi makna pada objek.
Interpretivis

• Paradigma interpretivis/konstruktivis tumbuh dari


filosofi fenomenologi Edmund Husserl, studi filsuf
Wilhelm Dilthey dan filsuf Jerman lain tentang
pemahaman interpretif yaitu hermeneutika
(Mertens, 2005; Eichelberger, 1989).
• Peneliti interpretivis/konstruktivis cenderung
mengandalkan pandangan peneliti terhadap
interaksi antar manusia yang berkaitan dengan
situasi yang sedang dipelajari (Creswell, 2003).
• Interpretivisme, ada pula menyebutkannya sebagai
realisme kritis, dikembangkan sebagai kritik atas
positivisme, tetapi dari perspektif subjektivis.
Interpretivisme menekankan bahwa manusia berbeda
dari fenomena fisik karena mereka menciptakan makna.
Interpretivists mempelajari makna ini. Interpretivisme
muncul di Eropa awal dan pertengahan abad kedua
puluh, dalam karya pemikir Jerman, Perancis, dan
sesekali Inggris, dan terbentuk dari beberapa untaian,
terutama hermeneutika, fenomenologi dan
interaksionisme simbolis (Crotty 1998).
‘Critical Theory’

• Teori kritis adalah tradisi teoritis yang dikembangkan


terutama oleh Horkeimer, Adorno, Marcuse di
Frankfort School. Apa yang mereka gagas sebenarnya
merupakan respons kritis terhadap karya-karya Marx,
Kant, Hegel dan Weber. Jadi sebenarnya mereka
sedang mengkritisi ontology secara historis, dengan
semacam asumsi bahwa ada 'realitas' yang dapat
dipahami. Paradigma teori kritis membantu kita
memahami bagaimana komunikasi digunakan untuk
menindas, atau menyediakan cara untuk mendorong
perubahan sosial yang positif (Foss & Foss; Fay).
• Teori kritis bertujuan untuk mempertahankan gagasan yang
setiap mengkritisi dan menyelesaikan ketidaksetaraan sosial. Di
samping itu menambah ide lain bahwa seseorang dapat dan
secara sadar harus bertindak untuk mengubah keadaan sosial dan
ekonomi mereka, walaupun kemampuan mereka untuk
melakukannya dibatasi oleh berbagai bentuk dominasi sosial,
budaya dan dominasi politik. Penelitian kritis mencoba untuk
mengungkap dan mengkritik kondisi status quo yang membatasi
dan mengasingkan diri dengan menganalisis pertentangan, konflik
dan kontradiksi dalam masyarakat kontemporer. Para pemikir
kritis berusaha untuk menghilangkan penyebab keterasingan dan
dominasi (yaitu, membebaskan kelas tertindas), juga mengkritisi
filosofi dan pendekatan penelitian yang berbeda.
• Habermas (1970) mendalilkan tiga jenis ‘interest’
yang menghasilkan tiga jenis pengetahuan;
1.  Technical interest yang berkaitan dengan pengendalian
lingkungan fisik, yang menghasilkan pengetahuan
empiris dan analitis.
2. Practical interest yang berkaitan dengan pemahaman
terhadap makna situasi, yang menghasilkan
pengetahuan hermeneutik dan historis.
3. Emancipating interest yang berkepentingan dengan
penyediaan pertumbuhan dan kemajuan, yang
menghasilkan pengetahuan kritis dan berkaitan dengan
kondisi keterbatasan dan dominasi.
• 
Konstruktivis

• Ada dua proses utama di mana pengetahuan itu


dibangun, yaitu melalui proses akomodasi dan asimilasi
di mana individu membangun pengetahuan baru dari
pengalaman mereka.
• Proses akomodasi yang merupakan proses pertama
dalam konstruksi sains melibatkan framing representasi
mental seseorang dari dunia luar agar sesuai dengan
pengalaman baru yang telah dia peroleh. Dengan
demikian, pembelajar memberi ruang untuk pengalaman
baru yang telah diperoleh di dalam kemampuan mental
di mana pengalaman lama sudah ada (Kim, 2005).
• Di sisi lain, proses asimilasi dalam konstruksi
pengetahuan terjadi ketika individu
menggabungkan pengalaman baru yang dia miliki
ke dalam kerangka pengalaman lama yang sudah
ada tanpa mengubah kerangka itu.
Posmodern

• Pemikiran Posmo ini muncul pada akhir abad ke-20


yang berkatian erat dengan karya-karya filsuf
Perancis Jean-François Lyotard, Jacques Derrida,
Michel Foucault, Gilles Deleuze, Félix Guattari dan
Jean Baudrillard. Pos modernisme , secara historis
erat kaitannya dengan gerakan intelektual
poststrukturalisme. Karena perbedaan fokus antara
pos modernisme dan pos strukturalisme maka
‘mereka berpisah’ sehingga ada paradigma pos
modernisme dan pos strukturalisme.
• Para pemikir pos modernis bahkan melangkah lebih
jauh daripada para interpetivis yang mengritik
positivisme dan objektivisme, kemudian
menghubungkan betapa pentingnya peran bahasa.
Pos modern menolak objektivisme modern, juga
menolak ontologi realis dari berbagai hal, dan alih-
alih menekankan keanehan fluktuasi, gerakan,
keluwesan dan perubahan. Mereka percaya bahwa
semuanya hanya bisa dijelaskan melalui bahasa
yang kategori dan klasifikasi (Chia 2003).
• Peneliti pos modernis berusaha untuk mengekspos dan
mempertanyakan hubungan kekuasaan, dan karena itu
mereka, mempertahankan realitas dominan (Calás and
Smircich 1997). Di sini dibutuhkan semacam bentuk
'dekonstruksi' (membongkar) kenyataan-kenyataan yang
seolah-olah adalah di dalam teks, dari teks inilah kita dapat
mencari ketidakstabilan dalam kebenaran yang diterima secara
luas, semuanya demi membangun kebenaran sesungguhnya
(Derrida 1976). Oleh karena itu, tujuan penelitian pos modern
adalah untuk secara radikal menantang cara berpikir yang
mapan (Kilduff dan Mehra 1997) dan memberikan suara dan
legitimasi kepada kaum yang ditekan dan cara-cara yang
membuat kaum tertentu (Chia 2003).
Pragmatisme

• Pragmatisme menegaskan bahwa sebuah konsep,


apalagi konsep ilmiah, hanya relevan di mana
konsep tersebut mendukung tindakan (Kelemen
dan Rumens 2008). Pragmatisme berasal dari akhir
abad ke-19 - awal abad ke-20 dalam karya filsuf
Charles Pierce, William James dan John Dewey. Para
filsuf ini berusaha mendamaikan dikotomi antara
objektivisme dan subjektivisme, fakta dan nilai,
pengetahuan yang akurat dan pengetahuan yang
teliti, serta pengalaman kontekstual yang berbeda.
• Bagi seorang pragmatis, penelitian dimulai dengan masalah, dan
bertujuan untuk berkontribusi pada solusi praktis lalu
menginformasikan praktik masa depan. Nilai-nilai peneliti mendorong
proses pertanyaan refleksif, yang diprakarsai oleh keraguan dan
perasaan bahwa ada sesuatu yang salah atau tidak pada tempatnya,
dan yang menciptakan kembali keyakinan ketika masalah telah
diselesaikan (Elkjaer dan Simpson 2011). Para pragmatis lebih tertarik
pada hasil-hasil praktis daripada perbedaan abstrak, penelitian mereka
mungkin memiliki variasi yang cukup besar dalam hal bagaimana
'objektivis' atau 'subjektivis' dinyatakan. Jika Anda melakukan
penelitian pragmatis, ini berarti bahwa penentu terpenting dari desain
dan strategi riset Anda adalah masalah penelitian yang Anda akan coba
tangani, semua terlihat dalam pertanyaan riset Anda. Pertanyaan
penelitian inilah, pada gilirannya, akan cenderung memasukkan
penekanan pragmatis yaitu hasil praktis.
Feminisme

• Judith Cook dan Mary Margaret Fonow (1986)


mengidentifikasi lima prinsip epistemologis dasar
dalam metodologi feminis, yaitu;
1. penentuan tema perempuan dan gender sebagai fokus
analisis;
2. pentingnya peningkatan kesadaran terutama kalangan
peremuan,
3. penolakan konsep dikotomi berlebihan atas subjek dan
objek penelitian,
4. perhatian terhadap etika penelitian (selama proses
penelitian dan dalam penggunaan hasil penelitian), dan
5. niat untuk memberdayakan perempuan dan mengubah
hubungan kekuasaan dan ketidaksetaraan.

Anda mungkin juga menyukai