Anda di halaman 1dari 37

TOPIK BAHASAN

• Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


• Metode Penelitian
• Asumsi-asumsi dasar Proses Keilmuan
Aliran Kefilsafatan
• Paradigma Ilmu
• Tiga Sistem Nilai Dasar (Sorokin)
• Kilas Balik Sejarah Berpikir (Fritjof Capra)
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan Tingkatan Epistemologis yang Dicapainya

1. Ilmu berciri Nomothetic,


2. Ilmu berciri Idiographic,
3. Ilmu berciri Nomothetic dan Idiographic
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan Tingkatan Epistemologis yang Dicapainya

Ilmu berciri Nomothetic, yaitu yang bertujuan


menemukan hukum-hukum, rumus-rumus, dalil-
dalil, dan aksioma-aksioma. Secara ontologis ilmu
ini bertolak dari pandangan bahwa hakikat
realitas itu bersifat tunggal dan parsial, lazim
menerapkan prinsip generalisasi dalam proses
keilmuan (fisika, kimia, biologi, pertanian,
geografi, kedokteran, dll.)
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan Tingkatan Epistemologis yang Dicapainya

Ilmu berciri Idiographic, yaitu ilmu yang dalam proses


keilmuannya berupaya untuk mendeskripsikan,
melukiskan, menjelaskan dan memerikan objek ilmu.
Secara ontologis ilmu ini mendasarkan pada
pandangan bahwa hakikat realitas itu ganda. Bidang
ilmu ini tidak berupaya menemukan hukum-hukum
atau generalisasi (ilmu sejarah, antropologi, sastra,
linguistik, arkeologi, budaya, filsafat, ilmu kemanusiaan
lainnya, ilmu-ilmu ke-Islaman).
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan Tingkatan Epistemologis yang Dicapainya

Ilmu berciri Nomothetic dan Idiographic,


misalnya ilmu ekonomi, sosiologi,
psikologi, komunikasi, ilmu hukum
(Muhammad Muslih, 2008).
Metode Penelitian
1. Metode Kuantitatif (Fisikalisme), dikembangkan oleh
kelompok positivisme logis lingkungan Wina (Vienna Circle,
1924) yang secara ontologis beranggapan bahwa hakikat
objek ilmu berupa benda-benda alamiah (tunggal) yang
bersifat parsial. Menggunakan prinsip verifikasi dan prinsip
induksi.
2. Metoda Kualitatif, yang secara ontologis beranggapan bahwa
hakikat objek ilmu memiliki dimensi ganda yang berupa
kualitas, yaitu berupa makna yang bersifat kompleks. Metode
ini mampu mengungkapkan dan menangkap makna di balik
gejala-gejala yang bersifat empiris (verstehen, interpretasi,
hermeneutika, analitika bahasa, fenomenologi, metode teori
kritis, lainnya).
Thomas Kuhn
The Structure of Scientific Revolutions (1962)

• Kemajuan ilmu pengetahuan bersifat


revolusioner. Dalam sejarah muncul
pandangan-pandangan baru yang tumbuh
menjadi visi baru yang disebut sebagai
paradigma. Paradigma baru timbul karena
adanya proses siklus historis
Karl Popper
The Logic of Scientific Discovery (1959)
• Popper menentang the principle of verification dan prinsip
induksi positivisme logis. Mengembangkan paham rasionalisme
kritis dan prinsip falsifikasi.
• Dalam ilmu-ilmu pengetahuan empiris, prinsip induksi belum
tentu mencapai hukum-hukum umum. Selain itu dalam sejarah
ilmu pengetahuan sering muncul ilmu pengetahuan yang
berasal dari konsep-konsep metafisis (atomisme Democritos,
hukum Archimides).
• Epistemologi kebenaran tidak didasarkan atas proses induksi
melainkan berdasarkan pembenaran logis dengan prinsip
falsifikasi, yaitu membuktikan adanya ‘kesalahan’ pada hukum-
hukum ilmiah.
Asumsi-asumsi dasar Proses Keilmuan
Aliran Kefilsafatan

1. Rasionalisme
2. Empirisme
3. Kritisisme (Immanuel Kant : Kritik atas Rasio
Murni; Kritik atas Rasio Praktis; Kritik atas
Daya Pertimbangan)

4. Intuisionisme
Aliran Kefilsafatan Rasionalisme
• Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia
tertentu, yang diakui benar oleh rasio manusia,
sehingga diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat
tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber
dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari
pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung
pada prinsip-prinsip ini. Prinsip-prinsip ini kemudian
dikenalkan oleh Descartes dengan istilah substansi atau
ide bawaan (innates ideas) yang sudah ada dalam jiwa
sebagai kebenaran yang clear dan distinct, tak bisa
diragukan lagi (Muslih, 2008).
• Aliran ini menekankan pentingnya peran akal, idea,
substansi, form, kausalitas dan kategori dalam proses
keilmuan.
• Memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber
pengetahuan.
Aliran Kefilsafatan Empirisme
• Aliran ini menekankan pengalaman sebagai sumber
utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah
(sensation) maupun pengalaman batiniyah (reflexion).
• Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari
semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan
data-data inderawi yang sama, dengan cara yang
berlainan (Thomas Hobbes).
• John Locke : Rasio mula-mula harus dianggap sebagai
“as a white paper” yang seluruh isinya berasal dari
pengalaman.
Aliran Kefilsafatan Kritisisme
• Adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu
menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Langkah ini
dimulai oleh Immanuel Kant dengan kritik atas rasio murni, lalu
kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya
pertimbangan.
• Dikembangkan oleh Immanuel Kant, berusaha mengatasi
perdebatan soal “objektivitas pengetahuan” yang berasal dari
pemikiran rasionalisme dengan empirisme (aliran pengalaman)
dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia
yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat
dalam akal. Kant mengubah wajah filsafat secara radikal dengan
memberikan tempat yang sentral pada manusia sebagai subjek
berpikir. Ia tidak mulai dengan penyelidikan benda-benda sebagai
objek, melainkan menyelidiki struktur-struktur subjek yang
memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek.
• Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif
mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap.
Aliran Kefilsafatan Intuisionisme
• Menurut aliran ini sumber pengetahuan adalah
pengalaman pribadi, dan sarana satu-satunya adalah
intuisi.
• Bergson (Muslih, 2008) : Intuisi adalah suatu sarana
untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Intuisi
sebenarnya adalah naluri (instinct) yang menjadi
kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada
kehidupan dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas
maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang
vital sehingga dapat menemukan elan vital atau
dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam
dan langsung, bukan dengan intelek.
Paradigma
• Seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-
tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam
penyelidikan ilmiah (Thomas Kuhn dalam Muhammad Muslih,
2008). Atau (a) A set of assumption and (b) beliefs of
concerning (asumsi yang “dianggap” benar, secara given)
• Seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang
menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan
sehari-hari.
• Suatu citra fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu.
• Merupakan kerangka logis dari teori karena itu sering
disamakan dengan kerangka teori (theoretical framework).
Fungsi Paradigma

1. Memberikan kerangka dari proses keilmuan, dan


atau mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari
proses keilmuan.
2. Menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan -
pernyataan apa yang harus dikemukakan dan kaidah-
kaidah apa yang harus diikuti dalam menafsirkan
jawaban yang diperoleh. Dengan demikian, maka
paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang
mengamati dunia luar, tempat orang bertolak
menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view).
PARADIGMA ILMU pergeserannya

• Paradigma adalah “lensa” yang dimiliki


bersama oleh komunitas ilmiah, yang
dengannya mereka membaca, menafsirkan,
mengungkap dan memahami alam.
• Sain modern dibangun oleh hasil-hasil
penelitian yang dijabarkan dari paradigma
Mekanika-Newtonian yang di dalamnya ada
pandangan Deterministik.
• Pandangan Deterministik menyatakan bahwa tidak ada
satu hal apapun yang muncul tanpa sebab, dan sebab
itu adalah pasti. Inilah yang disebut hukum Kausalitas,
dan teori adalah jalinan fakta dari hubungan kausal itu.
• Selama hampir 300 tahun Paradigma Mekanika-
Newtonian mendominasi dan baru pada paruh abad ke
20 mulai guncang karena munculnya anomali untuk
benda-benda yang bergerak dengan kecepatan yang
sangat tinggi mendekati kecepatan cahaya (teori
relativitas Einstein) dan untuk benda-benda yang
ukurannya sangat kecil, lebih kecil dari ukuran sebuah
atom (mekanika quantum).
• Keguncangan tsb memunculkan berbagai
usulan paradigma baru yang diharapkan dapat
menggeser paradigma Mekanika-Newtonian.
• Salah satu usulan itu ialah paradigma yang
diusulkan oleh Fritjof Capra yang dikenal
dengan Paradigma Fisika-Kuantum-Relativistik.
• Paradigma lainnya yang diusulkan oleh Herman
Soewardi adalah Paradigma “Tauhidullah”.
• Paradigma yang diusulkan oleh Fritjof Capra
bertolak dari konsep-konsep nonlokalitas dan
kausalitas statistik yang berkembang dari
mekanika kuantum dan teori relativitas.
• Konsep-konsep ini menyiratkan bahwa struktur
materi tidak bersifat mekanis tetapi bersifat
organis. Pada bidang Ilmu Alam, berarti itu
bergeser dari pandangan mekanistik ke
pandangan sistemik, yaitu melihat sistem hidup
sebagai keterhubungan dan atau relasi dan
kesepaduan atau integrasi.
• Implikasinya :
(1)setiap organisme adalah sebuah keseluruhan yang
sifat-sifatnya tidak bisa direduksi menjadi bagian-
bagiannya, dan juga tidak bisa dilepaskan dari sistem-
sistem hidup yang melingkunginya atau yang
dilingkunginya.
(2)Puncak keilmuan tidak lagi kausalitas, tapi keperiadaan
bentuk-bentuk relasi dan integrasi atau bagaimana dia
menata dirinya (bentuk penataan diri). Dengan
perkataan lain puncak keilmuan bergeser dari
“eksplanasi” (penjelasan kausalitas ke “pemahaman”
(verstehen) penataan diri” (Aos M. Akyas)
Empat Paradigma Ilmu
1. Positivisme
2. Postpositivisme
3. Konstruktivisme
4. Critical Theory
PARADIGMA POSITIVISME

Merupakan buah karya sosiolog Auguste


Comte The Course of Positive Philosophy
(1830-1842). Dimodifikasi oleh John Stuart
Mill (1843) A System of Logic. Kemudian
Emile Durkheim (Sosiolog Prancis) menulis
Rules of the Sociological Method (1895) yang
kemudian menjadi rujukan para peneliti Ilmu
Sosial yang beraliran positivisme.
Positivisme : Prinsip Dasar
1. Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas.
2. Hubungan antara subjek dan objek penelitian
harus dapat dijelaskan.
3. Hasil temuan memungkinkan untuk
digunakan proses generalisasi pada waktu dan

tempat yang berbeda.


Positivisme : Persyaratan Objek Pengetahuan

• Observable (dapat di/teramati)


• Repeatable (dapat di/terulang)
• Measurable (dapat di/terukur)
• Testable (dapat di/teruji)
• Predictable (dapat di/teramalkan).
Positivisme : Karakteristik Dasar
• Landasan ontologisnya, bahwa realitas ada (exist) dalam
kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural
law)
• Secara epistemologis hubungan antara subjek dan objek
penelitian harus terpisah untuk menjaga objektivitas temuan.
• Secara metodologis, menggunakan metode ekperimen-empirik
untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif
dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
• Sifat dasarnya : behavioral, operasional dan kuantitatif.
• Para peneliti mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang
akurat dan penelitian objektif, juga menguji hipotesis dengan
jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang
berasal dari pengukuran.
• Positivisme berjasa dalam rentang waktu yang cukup lama,
kurang lebih 400 tahun.
Positivisme Logis “Neopositivism”
Metoda Kuantitatif
1. Sumber pengalaman hanya satu, yaitu pengalaman yang
berasal dari data inderawi.
2. Adanya dalil logika matematika dalam rangka mengolah
data inderawi.
3. Adanya pembedaan yang tegas antara garis batas ungkapan
yang bermakna atau meaningfull, dan pernyataan yang tidak
bermakna atau meaningless.
4. Adanya penegasan bahwa segala kebenaran dan
kebermaknaan harus melalui prinsip verifikasi.
5. Menolak ungkapan metafisika, termasuk bidang nilai, etika,
agama, ketuhanan, dsb. (Muhammad Muslih, 2008)
Paradigma Postpositivisme
• Merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan2 paradigma
positivisme yang hanya mengandalkan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti
• Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism, yakni realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai hukum alam, tetapi mustahil
bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti)
• Secara metodologis pendekatan eksperimen melalui observasi
tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data,
peneliti dan teori.
• Secara epistemologis hubungan peneliti dengan objek (realitas) yg
diteliti tidak dapat dipisahkan (bersifat interaktif, tetapi netral)
• Objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.
Paradigma Konstruktivisme
• Menganut prinsip relativitas dalam memandang suatu
fenomena alam atau sosial.
• Menciptakan ilmu sebagai pola-pola teori, jaringan
atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja,
bersifat sementara, lokal dan spesifik.
• Secara epistemologis hubungan subjek dan objek
bersifat suatu kesatuan, subjektif dan mrp hasil
perpaduan interaksi keduanya.
• Secara metodologis penelitian harus setting natural
(out of laboratory) untuk menangkap fenomena alam
apa adanya dan menyeluruh tanpa campur tangan dan
manipulasi peneliti. Untuk itu pengumpulan data
dilakukan secata hermeneutik dan dialektik yang
difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi
suatu proses sosial.
Paradigma Konstruktivisme
• Suatu paham yang menyatakan bahwa positivisme dan
postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam
mengungkap realitas dunia.
• Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa
realitas bersifat sosial shg akan menumbuhkan teori
atas realitas majemuk
• Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang
menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual
dan dialektis.
• Realitas merupakan konstruksi mental, berdasarkan
pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan
tergantung pada orang yang melakukannya (tidak ada
generalisasi atas realitas).
Teori Kritis
Mazhab Frankfurt (Ilmu Sosial)

• Menolak tegas pandangan positivisme logis yang


mementingkan fakta-fakta (inderawi) serta menekankan
prinsip verifikasi.
• Bagi teori Kritis tatanan masyarakat tidak dapat diverifikasi
atau difalsifikasi (Karl Popper), sebab tatanan masyarakat
memiliki berbagai kemungkinan yang akan mengubah tatanan
masyarakat yang telah ada. Suatu teori dalam ilmu sosial
tidak dapat dilepaskan dari sisi praktis-pragmatisnya, oleh
karena itu tidak satupun ilmu pengetahuan itu value free,
bahkan Habermas mengingatkan bahwa setiap teori harus
diarahkan pada nilai yang bersumber pada kepentingan
masyarakat (Budiyanto, 2002 dalam Muslih, 2008).
Critical Theory
• Bukan paradigma, tetapi wacana atau cara pandang
(ideologically oriented inquiry) terhadap realitas yang
mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu
(Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme, dsb)
• Merupakan suatu aliran pengembangan keilmuan yang
didasarkan pada suatu konsepsi kritis terhadap pelbagai
pemikiran dan pandangan yang sebelumnya ada.
• Secara ontologis, menilai objek atau realitas secara kritis
(critical realism) yang tidak dapat dilihat secara benar oleh
pengamatan manusia.
• Secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog
dan komunikasi dengan transformasi untuk menemukan
kebenaran secara hakiki.
• Secara epistemologis, subjek dan objek penelitian tidak
dapat dipisahkan, shg lebih menekankan pada konsep
subjektivitas dalam menemukan ilmu pengetahuan.
KILAS BALIK SEJARAH BERPIKIR
The Turning Point : Titik Balik Peradaban
Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan
Fritjof Capra (1997)

• Ciri berpikir masyarakat pada Abad Pertengahan : Meyakini


adanya suatu tatanan dunia objektif yang berdiri lepas dari
subjek yang berpikir, mereka meyakini “the thing in itself”
kebenaran ada pada dirinya sendiri, kenyataan tertinggi yang
lepas dari dunia material ini. Sehingga dalam proses
berpikir/berpengetahuan mereka menekankan pada objek
pengetahuan, sementara peranan subjek, yang sebenarnya
turut ‘membentuk’ realitas dengan penafsirannya, menjadi
terabaikan.
• Rene Descartes (Renaisance) : cogito ergo sum (aku berpikir
maka aku ada), secara epistemologis menitikberatkan
peranan mutlak subjek dalam membentuk realitas. Subjeklah
yang membangun dan menciptakan realitas yang diketahui
sehingga menjadi “ada”.
KILAS BALIK SEJARAH BERPIKIR
The Turning Point : Titik Balik Peradaban
Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan
Fritjof Capra (1997)

• Immanuel Kant : Epistemologis atas subjek pengetahuan


masih ditekankan. Manusia tidak tahu apa-apa tentang
sesuatu di balik kenyataan inderawi, yang disebut das ding an
sich (kenyataan pada dirinya).
• Positivisme Augus Comte : Epistemologis atas objek
pengetahuan sangat ditekankan. Bahwa pengetahuan
manusia tidak boleh melampaui fakta objektif, karena peran
subjek tidak lebih dari sekedar instrumen untuk menyalin
fakta objektif tsb. Isyu utama adalah problem metodologi,
karenanya objek dalam positivisme masih dipersempit
dengan standar metodologi.
• Perkembangan baru pada aspek metodologis bagi Ilmu Sosial
(fenomenologis, hermeneutika, teori kritis) : memberikan
posisi lagi pada peran subjek.
PROBLEM FILSAFAT ILMU
DEWASA INI

• Persoalan keilmuan “terberat” dewasa ini


adalah “krisis pengetahuan”, yakni
menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-
reduksi metodologis tertentu yang disertai
dengan fragmentasi dan instrumentalisasi
pengetahuan (Muhammad Muslih, 2008).

Anda mungkin juga menyukai