Anda di halaman 1dari 3

C.

Refleksi epistemologi dalam komunikasi

Ilmu komunikasi, sebagai ilmu Yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner,
telah menimbulkan banyak pandangan dalam berupaya mengategorikan teori-teori komunikasi yang
telah ada. Dalam upaya pengategorikan ini, para teoretisi masing-masing menunjukkan
penggunaanistilah yang berbeda menurut tempat asalnya pemikiran- pemikiran tersebut. Ada yang
menurut "ideologi" yang mendasari lahirnya perspektif teoretis, dan ada yang berdasarkan cara
bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Pengodefikasian berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, dikenal dengan kelompok
Chicago School yang Liberal pluralis dan dipersentasikan sebagai persepektif teori komunikasi Barat yang
nota bane positivistik/objektif. Oleh karena itu, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan
unit analisis individu dengan metode survei dan instrumen-instrumen yang standar sebagai usaha dalam
menjelaskan gejala-gejala sosial sebagai mana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada
enklamen berdasarkan hubungan kausal.

Lawannya adalah Frankfurt School-marxis krtikal, yang direpresentasikan sebagai pemikir-pemikir


yang melahirkan teori-teori komunikasi timur. Para ilmuwan kelompok ini, dengan tokohnya Max
Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, Banyak dipengaruhi oleh kritik
idealisme Karl Marx Jadi, diantara dua kubu tersebut, Forma Penereosasian fenomena komunikasinya
secara epistemologis terbedakan karena soal 'value' dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan
kebenaran ilmiahnya.

Adapun pengodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerja ilmu dalam proses mencapai
kebenaran ilmiahnya, diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail mengodefikasikan istilahnya dengan
konsep model, yaitu model komunikasi yang terdiri atas model transmisi dan ritual. Model transmisi
menggambarkan cara bekerja ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistik yang nota
bane free value, bebas nilai. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif teori Barat
sebelumnya.

Sementara itu, model ritual yang menggambarkan cara bekerja ilmu komunikasi itu dengan proses
seperti yang terjadi pada persepektif interpretif (humanis), Dikatakan Griffin sebagai scientific (objektif),
Perspektifnya tidak berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Mc Quail.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut "ideologi" sebagai landasan epistemologis yang
melandasi lahirnya persepektif teoretis, Ada dua teoretisi yang mengemukakan gagasannya. pertama ,
Littlejhon melalui istilah yang disebutnya dengan genre," atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua
oleh Miller dengan istilahnya conceptual domains of communication theory.

Terkait dengan littlejhon, genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima yaitu:

1. Teori struktural fungsional;

2. Teori kognitif dan behavioral;


3. Teori interaksional;

4. Teori interpretatif;

5. Teori kritis;

Basis pada teori pertama adalah persepektif sosiologi struktural fungsionalisme dari Elime Durkheim
dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan perspektif dalam falsafah determenisme. Pada teori
kedua, basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yaitu stimulus (S) dan respons (R).
Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespons rangsangan-rangsangan yang ada
didalam ini. Pada teori ketiga, basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai proses
interaksi, tokohnya antara lain Herbert mead. Basis teori keempat, yaitu upaya menemukan makna pada
teks. Dalam kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan dirinya dengan henneneuticist,
poststructuralis, deconstructivis, phenomenoligis, peneliti studi budaya dan ada yang menyebutnya
dengan ahli teori aksi sosial. Kelima yaitu, teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx,
dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno Erich Fromm dan Herbert Macuse.
Meskipun teori komunikasi terbagi menjadi lima genre, bukan berarti masing-masing genre tidak
memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, masih dimungkinkan terjadi menurut
motif yang melatarbelakangi para ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap
upaya menelaah fenomena komunikasi.

Persamaan ini dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan umum yang ada pada masing-masing genre
teori komunikasi yakni upaya untuk menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena
(erscheinungen) komunikasi sebagai objek forma dari ilmu komunikasi. Selain persamaan umu, ada juga
persamaan yang khas pada kelima genre itu, misalnya antara genre teori struktural dan fungsional
dengan genre teori kognitif dan behavioral, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang
dianut, yaitu determenisme-positivisme yang dipelopori A. Comte (1798-1857).

Dengan demikian, komunikasi dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan.
Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail dalam mode transmisinya. Sekalian demikian,
khusus terhadap genre (structural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda,
yaitu struktural berbasis pada pandangan sosiologi, sementara fungsional basisnya pada biologi,
terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusia yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya
dengan sosial.

Persamaan lainnya adalah bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi
yang sama dalam melihat posisi nilai (value) dalam ilmu, yaitu sama-sama meyakini bahwa nilai tidak
boleh terlibat dalam proses keilmuan untuk mencegah lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan
dalam kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan objek dalam usahanya
mengonseptualisasi suatu fenomena.

Oleh karena itu, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai sangat
berperan dalam kedua genre ketika berupaya menemukan kebenarannya.
Berbeda dengan kedua genre teori komunikasi, pada tiga genre lainnya, yaitu teori interaksional, teori
interpretatif, dan teori kritis, masalah nilai dinilai sah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan
pemahaman bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas.

Seiring dengan itu, komunikasi dirumuskan bukan sebagai sebuah proses linier, melainkan srikuler,
yang manusia-manusia yang terlibat didalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam
genre teori yang berperspektif positivis dengan istilah komunikatif dan komunikan.

Dengan demikian, komunikasi pun antara lain di definisikan sebagai proses pertukaran makna.
Konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subjek penelitian dengan prinsip on going process.
Uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penereosasian fenomena komunikasi tersebut
mengindikasikan bahwa sangatlah rumit untuk bisa memahami eksistensi suatu teori komunikasi
dengan baik. Pemahaman secara prakondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi
komunikasi, terutama bagi para pemula, untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan
suatu teori ketika mengonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai