PROSIDING
SEMINAR NASIONAL MIPA 2017
ISBN : 978-602-51531-0-5
Diselenggarakan oleh:
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Telp. (024)76433366, Fax.76433366
http://semnasmipa2017.walisongo.ac.id/ , email: semnasfst@walisongo.ac.id
Panitia Pelaksana:
Dr. Ruswan, MA
Dr. Lianah, M.Pd.
Ismail, M.Ag.
Dr. Hamdani Mu’in, M.Ag.
Dr. Hamdan Hadi Kusuma, M.Sc.
R. Arizal Firmansyah, S.Pd., M.Si.
Mujiasih, S.Pd.,M.Pd.
Wenty Dwi Yuniarti, S.Pd., M.Kom.
M. Ardhi Khalif, M.Sc.
Mulyatun, M.Si.
Emy Siswanah, S.Pd., M.Si.
Agus Sudarmanto, M.Si.
Teguh Wibowo, M.Pd.
Aini Fitriyah, M.Sc.
Rusmadi, M.Si.
M. Izzatul Faqih, S.Pd. M.Pd.
Ulya Lathifa, S.Pd.,M.Pd.
Ulliya Fitriani, S.Pd., M.Pd.
Reviewer:
Ardhi Prabowo, S.Pd., M.Pd.
Budi Cahyono, S.Pd.,M.Si.
Atik Rahmawati, S.Pd., M.Si.
Andi Fadllan, S.Si., M. Sc.
Siti Mukhlishoh Setyawati, M. Si
Editor:
Widyastuti, Hamdan Hadi K., Hesti Khuzaimah N.Y., Qisthi Fariyani, Saifullah Hidayat,
Biaunik Niski K., Anita Fibonacci
Diterbitkan oleh:
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus II Ngaliyan, Telp. (024)76433366, Fax.76433366
http://semnasmipa2017.walisongo.ac.id/ , email: semnasfst@walisongo.ac.id
PENDIDIKAN FISIKA
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Ahmad Fatih Analisis Kemampuan Representasi Gambar 2-7
Musyarrof, Agus pada Pokok Bahasan Gerak Parabola
Yulianto, Budi Astuti
Cintia Agtasia Putri, Game Tebak Kartu Besaran Fisika Berbasis 29-34
Miftakhul Arzak, Android untuk Memotivasi Siswa Belajar
Agus Yulianto, Budi Mandiri
Astuti
BIOLOGI
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Irma Rohmawati, Pemaknaan Masyarakat Desa 177-181
Diah Aprilia, Nadya Karangmanggis Terhadap Upaya
Fitriani, Roie Konservasi Air di Desa Karangmanggis
Megeron Boja Kendal
PENDIDIKAN BIOLOGI
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Nur Khoiri Pola Peningkatan Mutu Pembelajaran 341 - 358
Biologi Berbasis Manajemen Kurikulum di
Madrasah Aliyah
MATEMATIKA
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Linda Indiyarti Putri Etnomatematika Dalam Konteks Sosial 290-300
Budaya (Studi Kasus di Pasar Tradisional
Gang Baru Semarang)
vii Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017
DAFTAR ISI
PENDIDIKAN MATEMATIKA
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Alfin Ni’mah, Emy Efektivitas Model Pembelajaran Active 302-308
Siswanah, Ahmad Knowledge Sharing dengan Pendekatan
Aunur Rohman Saintifik Terhadap Kemampuan
Representasi Matematis Peserta Didik
Materi Segiempat MTS Tarbiyatul
Islamiyah Batangan Tahun Pelajaran
2016/2017
KIMIA
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Willy Tirza Eden, Sri Pelatihan dan Pendampingan Instrumen 399-404
Nurhayati, Eko Budi HPLC untuk Praktikum Analisis Sediaan
Susatyo, Harjito, Ella Farmasi bagi Guru Kimia SMK Farmasi dan
Kusumastuti Farmasi Industri Se-Kota Semarang
PENDIDIKAN KIMIA
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Atik Rahmawati Pendidikan Karakter Peduli Lingkungan 412-418
Melalui Perkuliahan Kimia Lingkungan
Terintegrasi Nilai-Nilai Islam
Kasmadi Imam
Supardi
Ulfah Fatkhuroh, Development Learning Material Integrated 451-456
Mufidah, Anita With Unity Of Sciences And Multilevel
Fibonacci Representation In Topic Solubility Equilibria
And Solubility Product Constant
UMUM
PENULIS JUDUL ARTIKEL HLM.
Endang Sugiharti, Analisis Perancangan Sistem Informasi 490-498
Riza Arifudin, Tracer Study pada Jurusan Ilmu
Alamsyah, Dan Komputer
Anggy Trisnawan
Putra
Segala puji dan syukur selayaknya tercurah kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala
(SWT) yang tanpa henti memberikan rahmat dan karuniaNya, baik karunia sehat, rejeki,
kecerdasan, kemauan dan lain-lain, bahkan juga karunia dalam bentuk kesadaran dan
kemampuan bersyukur kepadaNya, dan dengan ijinNya Prosiding Seminar Nasional MIPA
2017 ini dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan dan Sains
yang diselenggarakan oleh Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo Semarang ini mengambil tema “Menguatkan Fundamental Research dan
Pembelajaran MIPA untuk Kemanusiaan dan Peradaban” dan bertempat Auditorium II
Kampus III UIN Walisongo Semarang pada tanggal 21 Oktober 2017. Seminar ini diikuti oleh
peneliti-peneliti dari berbagai bidang ilmu dari seluruh Indonesia, yang telah membahas
berbagai bidang kajian studi pendidikan MIPA, Sains, dan Teknologi.
Prosiding ini dibuat dengan tujuan memberikan pengetahuan bagi khalayak luas terkait
penelitian dan perkembangan pendidikan dan Sains. Prosiding Seminar Nasional MIPA 2017
FST UIN Walisongo ini berisi pemakalah dari universitas-universitas di Indonesia, yang pada
saat acara, pemakalah dibagi menjadi 2 yaitu presentasi oral dan presentasi poster. Sesi
diskusi pada sesi oral maupun poster diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pemakalah
untuk terus berinovasi sekaligus menjadi koreksi diri untuk perbaikan dikemudian hari.
Prosiding ini berisi 76 makalah, khususnya dalam bidang Studi Pendidikan MIPA, Sains
dan Teknologi. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan M. Abdulkadir Matoprawiro,
Ph.D. (FMIPA, Institut Teknologi Bandung), Prof. Dr. Ani Rusilowati, M.Pd. (Pendidikan Fisika,
UNNES) dan Prof. Dr. Ibnu Hadjar, M.Ed. (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo
Semarang), para tamu undangan, dan para peserta Seminar Nasional MIPA 2017, yang telah
menghadiri pembukaan dan memberikan sambutan pada seminar ini.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada panitia pelaksana, dan Pimpinan
Dekan FST UIN Walisongo Semarang yang telah menyediakan fasilitas untuk persiapan-
persiapan, serta pihak-pihak lain yang belum kami sebut, tetapi banyak membantu atas
terselenggaranya seminar ini serta terwujudnya prosiding ini. Semoga Allah SWT meridhai
semua langkah dan perjuangan kita, serta berkenan mencatatnya sebagai amal ibadah.
Aamiin.
PENDIDIKAN
FISIKA
Abstrak
Dalam mempelajari pokok bahasan gerak parabola, siswa diharapkan mampu untuk
merepresentasi kembali data yang diberikan kedalam gambar grafik gerak parabola.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan siswa dalam
merepresentasi data kedalam bentuk gambar. Metode analisis yang digunakan adalah
kualitatif deskriptif. Sejumlah siswa diberikan pertanyaan terkait dengan pesawat yang
menjatuhkan bom dari ketinggian tertentu. Siswa diminta merepresentasikan kembali data
yang diperoleh kedalam bentuk gambar grafik gerak parabola. Hasil yang diperoleh adalah
representasi gambar yang sesuai dengan bagaimana pemahaman siswa. Kemungkinan-
kemungkinan penyebab kesalahan yang muncul pada hasil representasi gambar dibahas.
Diperoleh hasil bahwa siswa kurang mampu merepresentasi kembali data yang diberikan
kedalam gambar grafik gerak parabola.
PENDAHULUAN
Fisika adalah cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari fenomena alam
beserta segala interaksinya. Hadi dan Dwijananti (2015) berpendapat bahwa fisika
merupakan ilmu yang mempelajari fenomena atau gejala yang terjadi di alam dan
membahas bagaimana gejala tersebut terjadi. Menurut Murtono dan Miskiyah (2014),
ciri khas materi fisika yang berupa fenomena yang teramati membuat pembelajaran
fisika banyak melibatkan pengamatan dan pemahaman terhadap fenomena tersebut.
Dengan kata lain, belajar tentang fenomena membutuhkan pengam7atan guna
memperoleh pengetahuan.
Pada dasarnya, kelengkapan pengetahuan sebagai bentuk penguasaan konsep
penting dimiliki oleh siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Silaban (2014) bahwa
penguasaan konsep adalah usaha yang harus dilakukan oleh siswa dalam merekam dan
mentransfer kembali sejumlah informasi dari suatu materi pelajaran tertentu yang
dapat digunakan dalam memecahkan masalah, menganalisa, dan menginterpretasikan
pada suatu keadaan tertentu. Artinya, informasi sebagai bentuk pengetahuan haruslah
lengkap agar konsep dapat dipahami dengan baik. Hal ini sejalan dengan kurikulum
2013 yang menuntut penguasaan siswa terhadap keterampilan abstrak yang merupakan
kemampuan belajar yaitu keterampilan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, menalar dan mengomunikasikan (permendikbud no. 104, 2014).
Menurut Rahmawati et al (2012), materi fisika yang bersifat abstrak sulit untuk
divisualisasikan, membuat siswa kesulitan dalam menelaah konsep-konsep fisika yang
bersifat abstrak. Sedangkan Wahyuningsih et al (2013) berpendapat bahwa kesalahan
pemahaman konsep oleh siswa secara konsisten akan mempengaruhi efektivitas proses
belajar selanjutnya oleh siswa yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa kemampuan memvisualisasikan konsep serta permasalahan menjadi penting
untuk dimiliki siswa dalam belajar fisika agar siswa dapat menguasai konsep.
Menurut Mulyani (2014), visualisasi merupakan salah satu cara dalam
mengkonversi data atau informasi kedalam bentuk visual. Visualisasi konsep dapat
dilakukan dengan berbagai cara salah satunya melalui representasi. Murtono et al
(2014) menyatakan bahwa representasi merupakan proses pembentukan, abstraksi dan
pendemonstrasian. Merepresentasikan kembali data kepada sesuatu penyajian yang lain
memberikan gambaran baru bagi siswa terkait masalah yang diberikan. Merepresentasi
kembali sebuah permasalahan membantu siswa dalam menguraikan kembali informasi
yang dimiliki sehingga meningkatkan ketepatan pengambilan keputusan kemampuan
representasi diperlukan dalam pemecahan masalah. Oleh karena itu, kemampuan
representasi siswa perlu mendapatkan perhatian.
Gerak parabola merupakan pokok bahasan yang membutuhkan penggambaran
atau visualisasi untuk dapat dipahami siswa. Gambar grafik lintasan gerak parabola
merupakan salah satu bentuk representasi yang dapat mempermudah siswa dalam
mempelajari dan menyelesaikan permasalahan gerak parabola. Menurut Bunawan et al
(2015), penggunaan grafik dalam proses penyelesaian masalah membutuhkan beberapa
kemampuan seperti mampu memvisualisasikan solusi suatu masalah, merigkas data,
menginterpretasi hubungan antar berbagai variabel, membuat prediksi, dan menarik
kesimpulan. Dengan membuat grafik parabola, siswa dapat memvisualisasikan
bagaimana lintasan, vektor kecepatan, posisi, serta jarak partikel pada saat tertentu.
Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mampu merepresentasikan kembali data pada suatu
permasalahan gerak parabola kedalam bentuk gambar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kemampuan siswa dalam merepresentasi kembali data kedalam
gambar grafik gerak parabola.
METODE PENELITIAN
Dilakukan penelitian terhadap kemampuan siswa dalam merepresentasikan soal
kedalam gambar grafik pada pokok bahasan gerak parabola. Penelitian dilakukan
dengan metode kualitatif. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Temanggung dengan
sampel penelitian sejumlah 33 siswa kelas XII. Siswa sebelumnya telah memperoleh
materi gerak parabola yang diberikan pada pembelajaran di kelas XI. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal uraian yang terkait dengan
materi gerak parabola. Pertanyaan yang diberikan adalah “Sebuah pesawat yang terbang
mendatar dengan kecepatan 100 m/s menjatuhkan bom pada ketinggian 500 m dari
permukaan tanah. Gambarkan grafik lintasan bom. Berapakah jarak yang ditempuh
pesawat dihitung dari saat pesawat menjatuhkan bom hingga bom menyentuh tanah? (g
= 10 m/s2)”. Hasil yang diperoleh adalah jawaban siswa yakni representasi grafik
lintasan gerak parabola yang sesuai dengan pemahaman siswa terhadap konsep gerak
parabola. Kesalahan siswa dalam merepresentasikan serta kemungkinan-kemungkinan
penyebab kesalahan yang muncul pada hasil representasi gambar dibahas secara
deskriptif.
Siswa A menggambarkan lintasan gerak bom dengan garis lurus searah dengan
lintasan pesawat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Dapat dikatakan siswa belum
memahami konsep dasar dari gerak parabola. Pengetahuan yang dimiliki siswa terkait
gerak parabola sangat kurang. Visualisasi terhadap gerak parabola dapat digolongkan
rendah. Siswa juga tidak memahami permasalahan yang diberikan. Dalam
merepresentasikan kedalam grafik, siswa hanya terfokus pada visualisasi lintasan
pesawat, sedangkan permasalahan yang diberikan berhubungan dengan visualisasi
lintasan gerak parabola.
Siswa B seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2, menggambarkan lintasan bom
searah dengan laju pesawat kemudian pada jarak tertentu bom menuju ke dasar.
Siswa C menggambarkan lintasan gerak bom berlawanan arah dengan arah laju
pesawat. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3. Siswa C dimungkinkan memiliki
pandangan bahwa laju pesawat tidak mempengaruhi bom sehingga ketika bom
dijatuhkan, pesawat akan tetap melaju dan bom tertinggal jatuh ke belakang.
Hasil representasi grafik lintasan gerak parabola siswa D diberikan pada Gambar
4.
dipandang sebagai benda yang jatuh bebas namun ada laju pesawat pada arah
horisontal (sumbu-x) yang mempengaruhi pergerakan bom sehingga jalur lintasan
gerak bom berupa kurva setengah parabola dengan arah bom menuju ke tanah searah
gerak pesawat.
Kelengkapan informasi yang diberikan siswa dalam merepresentasikan lintasan
gerak juga rendah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bagaimana siswa tidak mampu
dalam menguraikan data kecepatan menurut arahnya. Sebagian besar siswa kesulitan
memahami bahwa kecepatan gerak pesawat searah sumbu-x sama dengan kecepatan
awal bom searah sumbu-x. Siswa juga tidak memahami jika kecepatan gerak dapat
diuraikan secara vektor sesuai dengan arah sumbu-x dan sumbu-y. Konsep vektor yang
diperoleh siswa dimungkinkan kurang matang sehingga menghambat siswa dalam
merepresentasi grafik lintasan parabola dan menguraikan data yang ada didalamnya.
Secara umum, dapat terlihat dari hasil visualisasi yang dibuat oleh siswa bahwa
siswa belum memahami permasalahan yang diberikan. Selain itu, siswa belum mampu
merepresentasikan kembali data kedalam bentuk gambar grafik parabola dengan baik.
Kebergantungan siswa akan hapalan rumus dalam menyelesaikan permasalahan gerak
parabola menjadikan siswa tidak mampu merepresentasi dengan baik.
Ketidakmampuan siswa dalam merepresentasikan kembali data permasalahan yang
diperoleh terlihat dari ketidaksesuaian konsep serta tidak banyaknya informasi yang
diberikan dalam grafik lintasasn gerak parabola. Perlu adanya perbaikan konsep dasar
pada pokok bahasan gerak baik gerak lurus maupun parabola, konsep vektor, serta
konsep lain yang berhubungan sehingga siswa memiliki pengetahuan yang utuh terkait
konsep-konsep tersebut.
Kemampuan representasi memudahkan siswa dalam memahami konsep.
Representasi memberikan peluang siswa berpikir dengan cara yang lain. Rasa percaya
diri dalam menyelesaikan permasalahan akan tumbuh ketika seorang siswa paham
konsep. Ketepatan dalam pemilihan strategi pemecahan masalah akan semakin tinggi
dengan banyaknya pengetahuan yang dikuasai. Dengan mengamati, pandangan siswa
akan suatu permasalahan menjadi lebih luas. Diperlukan perhatian yang lebih terhadap
kemampuan siswa dalam merepresentasikan kembali data khususnya pada pokok
bahasan gerak parabola.
SIMPULAN
Diperoleh temuan kesulitan siswa dalam merepresentasikan data gerak parabola
kedalam grafik lintasan gerak diantaranya belum mampu membayangkan lintasan gerak
parabola, belum memahami konsep vektor, serta belum mampu menguraikan informasi
yang dimiliki secara baik. Kesalahan yang muncul dari hasil visualisasi gerak parabola
berhubungan dengan kurangnya penguasaan konsep gerak parabola serta konsep-
konsep lainnya yang berhubungan.. Dapat dikatakan bahwa secara umum siswa kelas
XII SMA Negeri 1 Temanggung belum mampu merepresentasikan data kedalam bentuk
gambar pada pokok bahasan gerak parabola dengan baik.
REFERENSI
Bunawan W., Agus S., Aloysius R. & Nahadi. (2015). Penilaian Pemahaman Representasi
Grafik Materi Optika Geometri Menggunakan Tes Diagnostik. Cakrawala
Pendidikan, 34(2), 257-267.
Hadi, W. S. & P. Dwijananti. (2015). Pengembangan Komik Fisika Berbasis Android
Sebagai Suplemen Pokok Bahasan Radioaktivitas untuk Sekolah Menengah Atas.
Unnes Physics Education Journal, 4(2), 15-24.
Mulyani, A. (2014). Representasi Visual buku Biologi SMA Pada Materi Kingdom Plantae.
Scientiae Educatia, 3(1), 35-47.
Murtono & Evi M. (2014). Pengembangan Instrumen Evaluasi dengan Teknik Simulasi
sebagai Asesmen Alternatif dalam Pembelajaran Fisika Materi Mekanika Fluida
SMA Kelas XI. Jurnal Inovasi dan Pembelajaran Fisika, 1(1), 1-12.
Murtono, A. Setiawan. & D. Rusdiana (2014). Fungsi Representasi dalam Mengakses
Penguasaan Konsep Fisika Mahasiswa. Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Fisika
UAD, 1(2), 80-84.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta:
Permendikbud.
Rahmawati, F., Indrawati & Rif’ati D. H. (2012). Penerapan Model Teaching With
Analogies (TWA) dalam Pembelajaran Fisika di MA. Jurnal Pendidikan Fisika, 1(2),
192.
Silaban, B. (2014). Hubungan Antara Penguasaan Konsep Fisika dan Kreatifitas dengan
Kemampuan Memecahkan Masalah Pada Materi Pokok Listrik Statis. Jurnal
Penelitian Bidang Pendidikan, 20(1), 65-75.
Wahyuningsih, T., T. Raharjo, & D. F. Mashitoh. (2013). Pembuatan Instrumen Tes
Diagnostik Fisika SMA Kelas XI. Jurnal Pendidikan Fisika, 1(1), 111-117.
Abstrak
Kemampuan dalam mengungkapkan konsep fisika dapat dilakukan melalui berbagai
representasi. Mahasiswa yang memahami suatu konsep, tidak akan mendapat kesulitan
untuk menyatakan pemahamannya dalam berbagai bentuk representasi. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kemampuan representasi mahasiswa penidikan Fisika
dalam menyelesaikan materi perkembangan teori atom. Penelitian ini difokuskan pada
kemampuan representasi gambar dan visual. Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode dekriptif. Data penelitian
diambil melalui tes essai yang diberikan pada mahasiswa Pendidikan Fisika Semester VI.
Hasil data dianalisis dengan analisis menurut Miles dan Huberman melalui tahap
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dari hasil analisis data, dapat
diketahui bahwa kemampuan representasi verbal mahasiswa sangat baik dan
kemampuan representasi gambar mahasiswa baik.
PENDAHULUAN
Keberhasilan siswa dalam pembelajaran dapat ditentukan melalui beberapa hal
diantaranya adalah metode, strategi, dan bagaimana cara mengevaluasi yang tepat.
Dengan metode dan strategi yang tepat maka materi akan mudah diterima dan
dipahami secara tepat dan benar. Evaluasi yang tepat akan mengukur kemampuan
peserta didik yang sebenarnya, sehingga dapat memberikan feed back yang tepat
terhadap pembelajaran maupun evaluasi selanjutnya.
Tes merupakan alat evaluasi untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
memahami materi yang telah diterimanaya. Namun ada berbagai macam bentuk
test yang telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan. Tes pilihan ganda
pemahaman konsep telah dikembangkan untuk menguji pemahaman siswa terhadap
gaya, grafik kinematika, termal, rangkaian listrik, dan listrik dan magnet (Singh &
Rosengrant, 2003). Force Cocept Inventory (FCI) adalah tes yang berhubungan
dengan gaya dalam bentuk pilihan ganda, sedangkan yang berkaitan dengan dengan
grafik kenematika adalah Test of Understanding Graphs in Kinematics (TUG-K)
(Beichner,1994), yang berkaitan dengan termal adalah Thermal Concept Evaluation
(TCE) (Yeo dan Zadnik, 2001). sedangkan untuk rangkaian listrik adalah
Determining and Interpretation Resistive Electric Circuits Concepts (DIRECT )
(Engelhardt dan Beichner, 2004) dan untuk listrik magnet adalah Conceptual Survey
of Electricity and Magnetism (CSEM)
Soal-soal ujian Fisika lebih banyak berupa soal-soal yang mengutamakan
perhitungan matematis. Hanya sedikit yang mempersoalkan kemampuan siswa
menyatakan definisi, menganalisis makna suatu hukum atau teori, dan tidak
menuntut kemampuan menyelesaikan soal secara bersistem. Werdhiana
mengungkapkan bahwa kemampuan peserta didik untuk memahami arti fisis
biasanya diukur dengan soal-soal yang umumnya bersifat kuantitatif. Untuk itu
dalam penelitian ini dilakukan tes terhadap beberapa mahasiswa menggunakan
berbagai representasi yaitu verbal dan gambar. Hal ini untuk melihat pemahaman
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan terhadap 37 mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah
materi perkembangan teori atom. Untuk menjawab permasalahan penelitian
digunakan teknik tes. Osborne & Freyberg menyatakan bahwa untuk mengetahui
konsepsi siswa tentang suatu konsep dapat dilakukan dengan menggunakan tes.
Teknik tes digunakan untuk memperoleh informasi secara tertulis tentang
pemahaman mahasiswa dalam memaknai konsep-konsep yang termuat dalam
perkembangan teori atom. Setelah tes dilakukan dan hasilnya dianalisis
Perkembangan teori atom dimulai dari konsep materi yang dikemukakan oleh
Demokritus bahwa ‘materi dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil, sampai
diperoleh bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi’ yang kemudian dikenal sebagai
atom. Kemudian dilanjutkan penemuan- penemuan mengenai konsep atom mulai dari
tahun 1803 yang dikemukakan oleh John Dalton hingga sekarang, penelitian terus
berlanjut mengenai teori atom sebagai penyempurnaan teori sebelumnya.
Secara singkat perkembangan teori atom diuraikan sebagai berikut. Menurut John
Dalton, atom merupakan partikel terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Teori atom
Thompson merupakan penyempurnaan dari teori atom Dalton dengan diutarakannya
partikel dasar penyusun atom yaitu elektron. Rutherford membuat hipotesa bahwa
atom tersusun dari inti atom dan elektron yang mengelilingi inti.
Niels Bohr membuat empat postulat yaitu 1. Dalam mengelilingi inti atom, elektron
berada pada kulit (lintasan) tertentu; 2. Selama elektron berada pada lintasan stasioner
tertentu, energi elektron tetap sehingga tidak ada energi yang diemisikan atau diserap;
3. Elektron dapat beralih dari satu kulit ke kulit lain; 4. Lintasan stasioner elektron
memiliki momentum sudut.
Penelitian ini hanya menggunakan empat tokoh ahli dalam mendeskripsikan
atom. Melalui deskripsi atom tersebut dapat diketahui bahwa materi tersebut
memerlukan representasi verbal dan gambar yang bagus untuk kemudian dapat
menunjukkan pemahaman konsep pada materi perkembangan teori atom.
REFERENSI
Saputri, Mentari Dwi. (2017). Skripsi. Analisis Kemampuan Representasi Matematis
dalam Menyelesaikan Soal Materi Himpunan pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2
Baki. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Harun, Mochamad, Sutopo, dan Sentot Kusairi. (2016). Analisis Kemampuan Representasi
Siswa pada Pokok Bahasan Fluida. Pros. Semnas Pend.IPA Pascasarjana UM Vol.1.
2016, ISBN:978-60.
Abstrak
Upaya dosen untuk memperbaiki proses pembelajaran yang membekali keterampilan
mahasiswa dalam mengajar harus dilakukan secara berkelanjutan, agar mahasiswa memiliki
kompetensi yang memadai. Keterampilan dosen dalam mengelola perkuliahan yang terkait
dengan keterampilan mengajar juga perlu mendapat perhatian. Peningkatan keterampilan
dosen dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study, yang merupakan kegiatan kolaborasi
antardosen sebidang. Keterampilan dosen dapat diobservasi melalui aktivitas dan
keterampilan mahasiswa yang diajarnya. Observasi oleh dosen sebidang dapat mendeteksi
kekurangan yang dimiliki dosen, sehingga dapat segera diperbaiki. Kegiatan lesson study ini
mampu meningkatkan keprofesionalan dosen dalam mengajar Dasar-dasar Proses
Pembelajaran. Keterampilan mengajar bagi mahasiswa calon guru dapat dikondisikan
melalui penerapan Konferensi 3-2-1 yang mampu meningkatkan keterampilan mengajar
bagi mahasiswa calon guru, dan tentunya menjadi lebih siap untuk melaksanakan kegiatan
PPL di sekolah.
PENDAHULUAN
Kualitas lulusan pendidikan di Indonesia masih membutuhkan perhatian serius
dari kalangan akademisi di perguruan tinggi. Salah satu indikator kualitas pendidikan
tercermin dari mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika
kualitas SDM rendah, berarti kualitas pendidikannya rendah. Penciptaan SDM
berkualitas, serta guru dan dosen yang profesional, diperlukan penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu. Penyelenggaraan pendidikan bermutu, mengandung makna
memenuhi standar minimal yang ditetapkan dan memuaskan bagi masyarakat
pengguna (stakeholder). Untuk mencapai profesionalitas dalam bidangnya dan
memenuhi standar sebagai tenaga pendidik yang profesional, diperlukan tenaga
pendidik yang kompeten dalam bidangnya.
Upaya yang dapat dilakukan oleh dosen sebagai pendidik, untuk perbaikan
proses pembelajaran yang ditujukan pada pemahaman mahasiswa terhadap materi
pembelajaran, masih membutuhkan usaha perbaikan secara berkelanjutan. Walaupun
seringkali kita mengetahui bahwa banyak mahasiswa yang mungkin mampu menyajikan
tingkat hapalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya
mereka seringkali tidak memahami atau tidak mengerti secara mendalam pengetahuan
yang bersifat hapalan tersebut. Mahasiswa masih membutuhkan bimbingan untuk
menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan itu
dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam kehidupan.
Proses pembelajaran sudah semestinya tidak didominasi oleh aktivitas dosen,
karena dosen bukan sebagai sumber utama pengetahuan dan proses pembelajaran tidak
hanya berpegang pada buku paket, modul atau diktat tetapi menggunakan pendekatan
pembelajaran yang tepat, sesuai dengan kompetensi mahasiswa yang akan dicapai.
Dengan demikian, kegiatan pembelajaran dapat memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk berinteraksi dengan benda-benda konkrit dalam situasi yang nyata,
ataupun dengan visualisasi menggunakan media maya.
Proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas tidak ada yang tahu kecuali
dosen itu sendiri. Hal ini dikarenakan masih lemahnya fungsi pengawasan proses
dasar meliputi variasi stimulus, membuka pelajaran, dan menutup pelajaran. Untuk
mewujudkan mahasiswa yang kompeten, tentunya diperlukan strategi yang dapat
memotivasi mahasiswa untuk mencapainya. Salah satu upaya yang dapat diterapkan
adalah pembimbingan dalam bentuk konferensi antara dosen, mahasiswa, dan observer.
Konferensi merupakan salah satu strategi pembimbingan PPL yang biasa
dilakukan di negara-negara maju, seperti di Amerika (Michigan State University),
Finlandia, dan negara-negara lain. Konferensi dapat diterapkan dalam perkuliahan
Dasar Proses Pembelajaran, yang melatih mahasiswa calon guru untuk terampil
mengajar. Konferensi ini merupakan kegiatan bertemunya dosen (pembimbing),
observer, dan mahasiswa yang praktik secara bersama-sama untuk melihat progress
yang dicapai dalam kegiatan peer teachingnya. Pertemuan menekankan kepada capaian
dan kesulitan praktikan serta bantuan yang dapat diberikan oleh dosen dan observer
terhadap praktikan. Tema-tema yang dibahas ditentukan berdasarkan diskusi antara
dosen, observer dan mahasiswa, misalnya: (1) kompetensi sosial dan kepribadian, (2)
kompetensi membuka pembelajaran, (3) kompetensi menfasilitasi kegiatan inti
pembelajaran, (4) penggunaan strategi/pendekatan pembelajaran, (5) pemanfaatan
sumber belajar/media pembelajaran, dan (6) pembelajaran yang memicu dan
memelihara keterlibatan siswa.
Setidaknya ada empat fokus/tema diskusi reflektif yang dapat dipilih, yakni (1)
Kompetensi Kepribadian, (2) Kompetensi Sosial, (3) Kompetensi pedagogik, dan (4)
Kompetensi Profesional. Konferensi ke-1 dan ke-2 lebih bersifat sebagai refleksi untuk
perbaikan kompetensi praktikan. Kalaupun ada kegiatan penilaian pada konferensi ke-1
dan ke-2, hasil penilaian tersebut boleh tidak digunakan untuk menentukan nilai akhir.
Konferensi ke-1 fokus pada diskusi reflektif mengenai kompetensi sosial dan
kepibadian praktikan. Konferensi ke-2 fokus diskusi pada merefleksikan kompetensi
profesional dan pedagogik praktikan. Konferensi ke-3 untuk penentuan nilai akhir
matakuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran.
METODE PENELITIAN
A. Subyek dan Lokasi
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika yang
sedang mengambil mata kuliah Dasar-dasar Proses Pembelajaran. Penelitian dilakukan
di FMIPA Universitas Negeri Semarang.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 kali pelaksanaan open lesson untuk pokok
bahasan keterampilan dasar mengajar, membuka dan menutup pelajaran, kegiatan inti,
serta micro teaching. Desain penelitian dinyatakan dalam bentuk bagan pada Gambar 2.
Setiap open lesson dalam penelitian diawali dengan tahap plan. Kegiatan pada
tahap plan adalah: (1) membentuk group lesson study, (2) menentukan fokus kajian dari
lesson study, (3) merencanakan research lesson. Dalam membentuk group lesson study,
langkah yang dilakukan adalah merekrut anggota (yang terdiri atas dosen mata kuliah
yang serumpun), menyusun komitmen bersama, menyusun jadwal pertemuan, dan
menyepakati aturan group. Dalam menentukan fokus kajian dari lesson study, dosen
mata kuliah serumpun dapat berkolaborasi menyusun perangkat pembelajaran serta
menentukan siapa yang akan menjadi dosen model. Untuk mengoptimalkan dosen
berkolaborasi, hal yang perlu ditekankan adalah penyusunan research lesson.
Menurut Ridwan (2007) daftar pertanyaan dalam research lesson adalah sebagai
berikut :
a. Apa yang saat ini dipahami mahasiswa tentang topik perkuliahan?
b. Apa yang diharapkan dikuasai mahasiswa pada akhir pembelajaran?
c. Apa saja rangkaian pertanyaan dan atau pengalaman yang akan mendorong
mahasiswa memperoleh pengetahuan lebih lanjut?
d. Kegiatan apa yang mampu memotivasi dan bermakna bagi mahasiswa?
e. Apa bukti tentang hasil belajar, motivasi mahasiswa, perilaku mahasiswa yang harus
dikumpulkan untuk data diskusi pada saat refleksi dan bagaimana instrumen
pengumpulannya?
Dari tahap plan diperoleh RPP, media atau alat peraga pembelajaran, instrumen
penilaian proses dan hasil pembelajaran, lembar observasi pembelajaran dan soal
evaluasi. Penyusunan perangkat diupayakan dapat mengoptimalkan terjadinya
kolaborasi antarmahasiswa. Hal ini sesuai dengan pandangan Vigotsky dalam
pembelajaran bahwa siswa dapat mencapai kepakaran setelah berinteraksi dengan
sebayanya.
Tahap selanjutnya adalah tahap do. Pada tahap do, dosen model melaksanakan
open class. Para observer dengan posisi mengelilingi kelas tapi tidak mengganggu
pandangan mahasiswa. Observasi di kelas dengan dipandu lembar observasi, yaitu:
a. Kapan mahasiswa mulai berkonsentrasi untuk mengikuti kuliah,
b. Kapan mahasiswa berhenti berkonsentrasi dalam mengikuti kuliah
c. Apa kelebihan yang dimiliki dosen saat proses pembelajaran untuk kita tiru
d. Pelajaran berharga apa yang dapat dipetik dari pengamatan tadi.
Fokus pengamatan adalah bagaimana setiap mahasiswa mengikuti kuliah, dalam
konteks apa yang dipikirkan mahasiswa, hal apa saja sekiranya yang membuat
mahasiswa berkonsentrasi atau tidak berkonsentrasi pada pembelajaran.
Setelah proses pembelajaran dilaksanakan sesuai rencana, selanjutnya diadakan
kegiatan refleksi (see) yang antara lain meliputi diskusi tentang aktivitas pembelajaran
mahasiswa serta kejadian-kejadian penting selama pembelajaran berlangsung. Setiap
observer menyampaikan hasil observasinya. Pada saat diskusi refleksi difokuskan pada
bagaimana setiap mahasiswa mengikuti kuliah. Jadi bukan mengkritik atau menyerang
bagaimana dosen mengajar. Observasi disampaikan dengan bahasa yang sangat santun,
sehingga tidak menyinggung perasaan dosen model. Hal ini berbeda dengan supervisi
kelas yang biasa dilakukan. Hal yang dibahas adalah mahasiswa yang tidak konsentrasi,
mengapa hal ini sampai terjadi dan dicarikan solusinya. Setelah selesai tahap see, dengan
mengacu pada hasil yang didapatkan pada tahap see, kemudian dilanjutkan ke siklus dua
dengan kembali ke tahap plan, tahap do,dan tahap see, begitu juga dengan siklus tiga dan
empat.
Pada saat melakukan pengamatan, para observer melakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. Mengisi lembar instrumen observasi kinerja mahasiswa dan dosen
b. Membuat catatan tentang komentar atau diskusi yang dilakukan mahasiswa
Pengolahan data hasil observasi dan pemberian angket tentang kinerja dosen
pada setiap open lesson diperoleh data hasil seperti yang tertera pada Tabel 1. Skor
kinerja dosen untuk setiap tahap kegiatan pembelajaran tiap open lesson dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Kinerja Dosen Model Setiap Open Lesson
Keterangan:
*) skor maksimum 12
**) skor maksimum 44
SB = Sangat baik, B = Baik, S = Sedang, K = Kurang, SK = Sangat Kurang
Pada saat berlangsung konferensi tentunya banyak balikan yang diberikan oleh
dosen pembimbing dan teman sejawat demi perbaikan performen praktikan di
praktik mengajar berikutnya. Balikan dari guru pamong dan dosen pembimbing
sebaiknya senantiasa mendapatkan perhatian baik dari segi cara maupun waktu
yang tepat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa balikan seorang pengajar dapat
mempengaruhi semangat belajar, perbaikan pemahaman, hingga perbaikan kualitas
tingkah laku pebelajar (Akalin& Sucuoglu, 2015; Seevers et al., 2014; McLaren, 2012;
Auld et al., 2010; Vojdanoska et al., 2010; Conroy et al., 2009; Brosvic& Epstein,
2007; Brosvic et al., 2005).
Balikan dapat diberikan berdasarkan rekaman kegiatan praktik yang telah
dilakukan. Lutovac et al. (2005) menyatakan rekaman video praktik mengajar
merupakan sarana penting untuk membantu calon guru dan pembimbing agar lebih
fokus dalam diskusi pasca-mengajar, sehingga calon guru dapat mengeksplorasi
metode dan melihat dirinya dengan yang berbeda. Model konferensi 3-2-1 juga dapat
diterapkan untuk diskusi tentang rekaman video ini.
lanjut. Dosen dan observer juga melakukan hal yang sama, menyampaikan 3 hal
positif yang telah dilakukan praktikan, 2 hal yang masih kurang dan 1 saran
perbaikan.
Keterampilan mahasiswa terus meningkat dari open lesson satu ke open
lesson berikutnya. Pada open lesson pertama mahasiswa masih malu-malu
menyampaikan 3 hal positif yang telah dia lakukan. Pada open lesson berikutnya
mahasiswa mulai terbiasa, berani mengemukakan hal-hal terbaik yang telah
dikuasai. Puncaknya adalah pada saat mahasiswa melakukan peer teaching. Pada
kegiatan ini seluruh keterampilan mengajar dipraktikkan secara holistik.
Contoh hasil kegiatan konferensi 3-2-1 pada saat salah seorang mahasiswa
(berinisial A) selesai melakukan peer teaching dapat dilihat pada Tabel 3. Pencatatn
hasil kegiatan konferensi 3-2-1 dilakukan bagi seluruh mahasiswa untuk empat open
lesson. Dengan demikian, dapat ditentukan trend atau peningkatan keterampilan
mengajar mahasiswa calon guru. Harapannya, mahasiswa sudah menguasai
keterampilan mengajar dengan baik ketika mereka melakukan praktik pengalaman
lapangan di sekolah.
Tabel 3. Hasil Kegiatan Konferensi 3-2-1 terhadap Mahasiswa Berinisial A
Konferensi 3- Hasil Penilaian
2-1 Refleksi Dosen Observer
Mahasiswa
Tiga hal - Percaya diri - Penampilan - Melakukan
terbaik yang - Mengaktifkan tenang kegiatan
sudah siswa - Menggunakan praktikum
dilakukan - Sistematis alat untuk - Menguasai
kegiatan materi
praktikum - Memicu anak
- Memberikan untuk
pesan-pesan bertanya
yang menarik
Dua hal yang - Bahasa - Pengelolaan - Belum
masih kurang kadang- kelas melakukan
kadang masih - Membuat evaluasi
menggunakan simpulan - Penggunaan
bahasa Jawa belum papan tulis
- Pengelolaan melibatkan
waktu siswa
Satu - Memperbaiki - Menggunakan - Manfaatkan
Saran/Tindak penggunaan gelas yang papan tulis
lanjut bahasa dan lebih besar untuk
memperhatik agar dapat menjelaskan
an mengaduk konsep
penggunaan garam dengan
baik
SIMPULAN
Keterampilan mahasiswa calon guru perlu dipersiapkan, agar mereka percaya
diri ketika melaksanakan PPL di sekolah. Upaya yang dapat dilakukan oleh dosen untuk
REFERENSI
Akalin, S., & Sucuoglu, B. (2015). Effects of Classroom Management Intervention Based
on Teacher Training and Performance Feedback on Outcomes of Teacher-Student
Dyads in Inclusive Classrooms. Educational Sciences: Theory and Practice, 15(3),
739-758.
Auld, R. G., Belfiore, P. J., & Scheeler, M. C. (2010). Increasing pre-service teachers’ use of
differential reinforcement: Effects of performance feedback on consequences for
student behavior.Journal of Behavioral Education, 19(2), 169-183.
Brosvic, G. M., & Epstein, M. L. (2007). Enhancing learning in the introductory
course. The Psychological Record, 57(3), 391- 405
Brosvic, G. M., Epstein, M. L., Cook, M. J., & Dihoff, R. E. (2005). Efficacy of error for the
correction of initially incorrect assumptions and of feedback for the affirmation of
correct responding: Learning in the classroom. The Psychological Record, 55(3),
401-415.
Conroy, M. A., Sutherland, K. S., Snyder, A., Al-Hendawi, M., & Vo, A. (2009). Creating a
Positive Classroom Atmosphere: Teachers' Use of Effective Praise and
Feedback. Beyond Behavior,18(2), 18-26.
Hendayana S.. 2006. Lesson Study Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan
Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI Press.
Lutovac, S., Kaasila, R., & Juuso, H. (2005). Video-Stimulated Recall as a Facilitator of a
Pre-Service Teacher’s Reflection on Teaching and Post-Teaching Supervision
Discussion - A Case Study from Finland. Journal of Education and Learning, 4(3),
14-24.
McLaren, S. V. (2012). Assessment is for learning: supporting feedback. International
Journal of Technology and Design Education, 22(2), 227-245.
Rusilowati, A., Khanafiyah, S.,& Marwoto, P.. 2010. Evaluasi Keterlaksanaan Perkuliahan
Fisika Dasar Berbasis Lesson Study . Laporan Penelitian. Semarang: LP2M
Saito H., Hendayana S., & Harun H. 2006. Development of School - Based in - Service
Training Under an Indonesia Mathematics and Science Teacher Education
Project. Bandung UPI Press.
Seevers, M. T., Rowe, W. J., & Skinner, S. J. (2014). Praise in public, criticize in private? An
assessment of performance feedback transparency in a classroom
setting. Marketing Education Review, 24(2), 85-100.
Sumardi Y. 2006. Monitoring dan Evaluasi Lesson Study. Makalah Semiloka. Lesson Study
di LPMP Jawa Tengah, 2 Juni 2006.
Supriatna, A. 2008. Peningkatan Keprofesionalan Guru Melalui Implementasi Lesson
Study. Makalah Seminar Nasional Lesson Study. Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan Jawa Tengah, 23 Februari 2008.
Vojdanoska, M., Cranney, J., & Newell, B. R. (2010). The testing effect: The role of
feedback and collaboration in a tertiary classroom setting.Applied Cognitive
Psychology, 24(8), 1183-1195.
Widianti, T, dkk. (2006). Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Lesson Study.
Laporan Pengabdian Masyarakat. FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas VIII di SMP N 3 Kendal
menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal pada materi usaha dan energi. Jenis
penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan pendekatan penelitian
eksperimen dengan desain penelitian nonequivalent control group design yang hampir sama
dengan desain pretest-posstest control group design. Sampel pada penelitian ini adalah kelas
VIII B sebagai kelas kontrol dan kelas VIII C sebagai kelas eksperimen. Rata-rata nilai siswa
setelah diberi perlakuan menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal lebih tinggi yaitu
87.59 dibandingkan nilai rata-rata kelas kontrol yang tidak diberi perlakuan yaitu 79.33. Uji
perbedaan dua rata-rata diperoleh thitung = 4.130 dan ttabel = 2.002 karena thitung > ttabel, maka
hipotesis pengaruh penggunaan modul fisika berbasis kearifan lokal pada materi usaha dan
energi terhadap hasil belajar siswa kelas VIII di SMP N 3 Kendal yang diajukan dapat
diterima. Rata-rata N-Gain tingkat pengaruh kelas eksperimen memperoleh 0.52 memiliki
pengaruh berada pada kategori sedang dan kelas kontrol memperoleh 0.27 memiliki
pengaruh berada pada kategori rendah. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses
pembelajaran menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal memberikan pengaruh
yang baik ditunjukkan dengan meningkatnya hasil belajar siswa.
PENDAHULUAN
Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Tujuan pembelajaran pada hakikatnya yaitu diperolehnya
perubahan tingkah laku individu [1]. Adanya pembelajaran tentunya membutuhkan
sumber belajar. Sumber belajar (learning resources) adalah segala macam sumber
belajar yang ada di luar diri siswa dan memungkinkan (memudahkan) terjadinya proses
belajar. Sumber belajar sangat bermanfaat dalam proses belajar mengajar diantaranya
yaitu [2]: a) Memberikan pengalaman belajar secara langsung dan konkret terhadap
siswa, b) Memberi motivasi yang positif, apabila diatur dan direncanakan
pemanfaatannya secara tepat, dan c) Merangsang untuk berpikir, bersikap dan
berkembang lebih lanjut.
Adanya proses belajar dan sumber belajar, dapat mempengaruhi hasil belajar.
Hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang
menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai hasil dari kegiatan
belajar[3].
Keberhasilan proses pembelajaran selain untuk memperoleh kemampuan kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) yang tinggi, juga
diperlukan proses pembelajaran yang dikemas secara baik dengan peran serta dari guru
dan siswa. Keberhasilan proses pembelajaran juga bergantung pada media
pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di SMP N 3 Kendal,
selama proses pembelajaran di kelas, baik guru maupun siswa memiliki beberapa
permasalahan, salah satu diantaranya yaitu penggunaan buku pegangan yang
bermacam-macam dan konten materi yang terkandung dalam buku pegangan belum
mencakup materi secara detail, sehingga siswa kurang memahami materi fisika lebih
mendalam. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar siswa yang nilainya mendekati batas
KKM yaitu 75. Oleh karena itu, sebuah keharusan bagi setiap guru agar mampu
menyiapkan dan membuat bahan ajar yang inovatif. Salah satunya adalah dengan
membuat modul yang dapat menjadikan siswa aktif belajar secara mandiri.
Modul merupakan komponen penting dalam pembelajaran. Modul yang baik,
hendaknya mengacu kepada tujuan yang telah digariskan dalam kurikulum [4]. Selain
itu, modul yang baik harus dapat menyesuaikan kondisi lingkungan setempat, agar
modul mudah dipahami oleh siswa, sehingga pembuatan modul dapat dikaitkan dengan
lingkungan setempat yang berkaitan dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya lingkungan setempat.
Kearifan lokal adalah produk budaya masa lalu secara terus menerus dijadikan
pegangan hidup[5]. Kearifan lokal dapat dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai salah
satu usaha untuk melestarikan budaya lokal yang terdapat pada suatu daerah. Kearifan
lokal yang dimasukkan dalam pendidikan merupakan salah satu pendidikan berbasis
masyarakat. Tujuan dari pendidikan berbasis masyarakat biasanya mengarahkan pada
isu-isu masyarakat seperti lingkungan sosial, budaya dan adat istiadat pada suatu
deerah tertentu [6].
Penelitian yang dilakukan oleh Wiraguna dkk dengan judul “Pengaruh Pendekatan
CTL Berbasis Kearifan Lokal Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V di SD Gugus IV
Kecataman Buleleng”. Bahwa dengan pendekatan CTL berbasis kearifan lokal dapat
meningkatkan hasil belajar siswa yang diperkuat dengan rata-rata skor hasil belajar IPA
siswa kelas eksperimen adalah 22.98 berada pada kategori sangat tinggi sedangkan
rata-rata skor hasil belajar siswa kelas kontrol adalah 20.00 berada pada kategori
tinggi[7]. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Wiraguna dkk, bahwa kearifan lokal
dapat meningkatkan hasil belajar siswa, maka peneliti mengintegrasikan kearifan lokal
dalam suatu modul. Hal ini agar dapat memberikan pengaruh terhadap hasil belajar
siswa.
Modul fisika berbasis kearifan lokal yang dikembangkan oleh peneliti merupakan
modul yang mengaitkan budaya, permainan tradisional, dan aktivitas sehari-hari yang
sering dijumpai oleh siswa dalam materi fisika usaha dan energi. Penggunaan modul
fisika berbasis kearifan lokal dapat membuat siswa lebih paham yang ditunjukkan
dengan hasil belajar yang meningkat.
Melalui penggunaan modul fisika berbasis kearifan lokal diharapkan dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa dalam memahami
materi fisika usaha dan energi.
METODE
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif deskriptif. Jenis pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan eksperimen dan jenis metode yang digunakan
adalah quasy experiment (pengembangan dari desain penelitian true experimental).
Desain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu nonequivalent control group design [8].
Adapun desain penelitian digambarkan seperti pada tabel 1. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa kelas VIII. Penenentuan sampel penelitian dikakukan dengan
teknik memilih 2 kelas dari 8 kelas yang ada. Pengambilan sampel penelitian pada
populasi kelas VIII dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan
sampel berdasarkan pertimbangan tertentu [9]. Berdasarkan teknik tersebut telah
menghasilkan kelas VIII B terdiri dari 30 siswa yang dijadikan sebagai kelas kontrol dan
VIII C terdiri dari 29 siswa yang dijadikan sebagai kelas eksperimen.
Tabel 1. Desain Nonequivalent Control Group Design
Kelas Pretest Perlakuan Posttest
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O3 - O4
Keterangan:
O1 = Test pemahaman awal (pretest) kelas eksperimen.
O2 = Test pemahaman akhir (posttest) kelas eksperimen.
O3 = Test pemahaman awal (pretest) kelas kontrol.
O4 = Test pemahaman akhir (posttest) kelas kontrol.
X = Pembelajaran di kelas eksperimen diberi perlakuan menggunakan modul fisika
berbasis kearifan lokal.
Pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan instrumen tes. Tes yang
digunakan berupa pretest-posstest dengan tipe soal pilihan ganda dan uraian.
Sebelum instrumen tes digunakan, uji coba instrumen dilakukan dengan skala
terbatas di kelas IX dengan jumlah siswa 30, kemudian dianalisis menggunakan uji
validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Setelah dianalisis, instrumen
yang valid digunakan untuk pretest dan posttest. Instrumen tes diuji dengan skala besar
yaitu pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Analisis data yang digunakan adalah
statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk melihat
hasil belajar siswa dengan menghitung rata-rata, standar deviasi dan varian. Sedangkan
statistik inferensial digunakan untuk mengambil keputusan berdasarkan analisis data.
Sebelum pengambilan keputusan diperlukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji
homogentias, kemudian pengajuan hipotesis diuji-t.
Dari data hasil pretest diperoleh rata-rata pada kelas kontrol sebesar 69.033 pada
kelas eksperimen 72.759 dengan standar deviasi 9.553. Berdasarkan analisis data
pretest tersebut, disimpulkan bahwa rata-rata pretest hasil belajar kelas eksperimen
lebih tinggi daripada kelas kontrol sebelum diberi perlakuan, sehingga diperlukan hasil
uji beda rata-rata menggunakan uji t independent ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Uji T Independent Pretest (Data Awal)
Kelas T Sig. Mean Std. Ket
(2- Dif Error
tailed) Dif
Eks Ho
1.244 0.219 3.725 2.9947
Kont diterima
Analisis dari hasil pengolahan data posttest yang telah diperoleh ditunjukkan
pada tabel 4, bahwa rata-rata posttest kelas eksperimen yaitu 87.5862 dengan standar
deviasi 7.45231. Sedangkan rata-rata posttest kelas kontrol yaitu 79.333 dengan standar
deviasi 7.87984. Dengan demikian, rata-rata posttest pada kelas eksperimen lebih tinggi
daripada kelas kontrol.
Hasil posttest yang terdistribusi normal, kemudian peneliti melakukan uji t
independent untuk menguji hipotesis penelitian yang telah dilakukan. Hasil uji hipotesis
ditunjukkan pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Uji T Independent Posttest
Kelas T Sig. (2- Mean Std. ket
tailed) Dif Error
Dif
Eks 4.13 8.2528 Ho
0.000 1.99812
Kont 0 7 ditolak
Lebih tingginya hasil belajar siswa kelas eksperimen daripada kelas kontrol
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologi dan
psikologi. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan sosial sekolah, lingkungan
masyarakat dan lain-lain [10]. Media pembelajaran juga memiliki andil dalam faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa[11].
Salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah modul. Hal
ini, terlihat dari hasil penelitian kelas eksperimen yang diajar menggunakan modul fisika
berbasis kearifan lokal mengalami peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan kelas
kontrol yang diajar menggunakan media pembelajaran berupa buku ajar dari guru di
SMP N 3 Kendal.
Kearifan lokal juga termasuk salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil
belajar siswa. Kearifan lokal dapat berupa lingkungan sekolah, lingkungan sosial
keluarga, lingkungan sosial masyarakat atau sosial masyarakat yang berkaitan dengan
kearifan lokal, karena lingkungan tersebut dapat menjadikan siswa mendapatkan sebuah
pengalaman yang berkaitan dengan interaksi antar manusia [12].
Munculnya modul kearifan lokal membuat siswa tertarik untuk belajar fisika.
Kearifan lokal yang terdapat dalam modul ini berupa permainan tradisional dan aktivitas
yang sering dijumpai oleh siswa. Adanya modul fisika berbasis kearifan lokal bertujuan
agar mempermudah siswa untuk memahami materi usaha dan energi. Berdasarkan
penjelasan dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
menggunakan modul fisika berbasis kearifan lokal memberikan pengaruh terhadap hasil
belajar siswa pada tingkat kategori sedang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
hidayah, taufik, dan rahmat-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaiakan penelitian ini
dengan baik. Ucapan terimakasih peneliti haturkan kepada Ibu Arsin, M.Sc. selaku
pembimbing I dan Ibu Sheilla Rully Anggita, S.Pd., M.Si. selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama penelitian. Ucapan
terimakasih juga peneliti haturkan kepada seluruh pihak yang tidak dapat peneliti
sebutkan satu-satu yang telah membantu untuk kelancaran penelitian ini.
REFERENSI
I. SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM. Semarang: RaSAIL Media
Group, 2011.
A. Rohani, Media Intruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Prastowo, Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Divapress, 2012.
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung, 2009.
Abstrak
Media edukasi inovatif berupa game tebak kartu besaran fisika, dapat menambah
pengalaman baru bagi siswa. Tujuan penelitian ini untuk memotivasi siswa belajar mandiri
melalui game berbasis aplikasi android. Game ini berisi materi besaran, dimensi dan alat
ukur fisika. Subjek penelitian sebanyak 35 siswa kelas X MIPA 4 di SMA Negeri 1 Kendal.
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui observasi, angket respon dan wawancara.
Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan data yang diperoleh
melalui angket respon, sebesar 91% siswa menyatakan bahwa game berbasis android dapat
memotivasi belajar mandiri siswa. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara. Jadi, dapat
disimpulkan penggunaan game merupakan sarana inovatif yang memotivasi belajar mandiri
siswa pada mata pelajaran fisika.
PENDAHULUAN
Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih, alat yang
digunakan untuk belajar bukan hanya buku dan alat peraga manual. Buku pelajaran
cenderung bersifat textbook membuat siswa bosan. Didukung dengan penelitian Yusro
(2016) menyatakan bahwa keberadaan modul saat ini masih bersifat verbal atau
tekstual sehingga siswa merasa kurang tertarik membaca.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa siswa SMA N 1 Kendal sebelum
penelitian menunjukkan bahwa mereka cenderung lebih lama membuka smartphone
saat di rumah dibandingkan membuka buku pelajaran. Smartphone menjadi barang yang
wajib dimiliki semua orang tidak terkecuali siswa sekolah. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian pada siswa SMA Muhammadiyah Sewon Bantul, ditemukan sebanyak 90%
siswa mempunyai smartphone berbasis Android (Fristiatuti: 2016).
Smartphone selain digunakan sebagai media untuk berkomunikasi, juga dapat
membantu siswa dalam belajar mandiri sehingga hasil belajar siswa menjadi baik. Fazar
(2016) menyebutkan aplikasi berbantuan android yang dikembangkan memiliki efek
terhadap peningkatan kemampuan pemahaman siswa, dan bahan ajar yang dihasilkan
telah dinyatakan valid, praktis, dan mempunyai efek potensial terhadap pemaham
konsep.
Pengaruh yang kuat dari handphone terhadap siswa itu tergantung dari individunya.
Rahma (2014), dalam penelitiannya menyebutkan jika siswa lebih mementingkan
bermain handphone daripada yang lainnya, seperti belajar dan bermain, hal ini akan
membawa dampak yang tidak baik. Sesuai dengan penelitian Manumpil (2015), melalui
wawancara dengan 10 siswa, didapatkan bahwa 8 siswa menggunakan gadget lebih dari
3 jam dalam sehari, dan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis di SMA
Negeri 9 Manado dari jam 10.00-14.00, terlihat siswa sering menggunakan gadget
secara diam-diam pada saat jam pelajaran berlangsung. Maka dari itu, perlu adanya
aplikasi smartphone agar siswa dapat memanfaatkannya dengan baik.
Model pembelajaran mandiri menyebabkan siswa memiliki inisiatif, dengan atau
tanpa bantuan orang lain, untuk menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri,
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
diperoleh melalui observasi, angket respon dan wawancara. Subjek penelitian ini adalah
35 siswa kelas X MIPA 4 SMA Negeri 1 Kendal tahun ajaran 2017/2018. Games Tebak
kartu hanya berisi materi besaran dan satuan. Siswa memainkan games tebak gambar
melalui smartphone yang telah diinstal dengan games tersebut.
Setelah memainkan game, siswa mengisi lembar angket kemandirian belajar. Angket
berbentuk skala Likert yang terdiri atas 15 pernyataan. Angket disusun berdasarkan
indikator yang dikembangkan oleh Hidayati, K., & Listyani, E. (2010).
Hasil angket dianalisis secara deskriptif. Angka persentase angket siswa dapat
diketahui menggunakan rumus deskriptif persentase menurut Arikunto (2013:235):
𝑛
%= 𝑋 100%
𝑁
PEMBAHASAN
Game tebak kartu besaran fisika merupakan permainan edukatif berbasis android.
Pada game tebak kartu besaran fisika terdapat alat ukur besaran pokok dan alat ukur
besaran turunan. Siswa harus mengingat lokasi kartu dan mengetahui besaran, satuan,
dimensi, dan atau nama alat ukurnya. Pada sub materi satu dan dua, siswa diminta
untuk mencocokkan gambar alat ukur dan satuannya untuk besaran pokok dan besaran
turunan. Pada sub materi tiga dan empat, siswa mencocokkan gambar alat ukur dan
dimensi besaran pokok dan besaran turunan
Game tebak kartu terdiri dari beberapa level permainan, dari level rendah ke level
tinggi. Setiap levelnya, siswa diharuskan mendapatkan point yang lebih tinggi dari level
sebelumnya, sehingga siswa dapat menyelesaikan permainan sampai level terakhir.
Setiap kenaikan level, jumlah pasangan kartu semakin banyak dan waktu permainan
yang semakin cepat.
. Game tebak kartu besaran fisika dapat melatih otak untuk dapat berpikir cepat dan
memotivasi belajar fisika mandiri. Pada interface game, siswa disuguhi kontras warna
yang menarik dan tidak membosankan. Selain dilengkapi menu, gambar yang menarik,
dan tambahan animasi, permainan ini juga dilengkapi dengan musik yang mengiringi
saat dimainkan.
Setelah Games tebak kartu dimainkan oleh siswa, selanjutnya siswa mengisi angket
tentang karakteristik games tersebut dalam menggali kemandirian belajar siswa. Hasil
analisis angket kemandirian belajar siswa ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Angket Kemandirian Belajar Siswa
No Aspek Persentase Kriteria
(%)
1 Ketidaktergantungan 86 ST
dengan orang lain
2 Percaya diri 84 ST
3 Disiplin 83 ST
4 Tanggung jawab 84 ST
5 Berperilaku 75 T
berdasarkan inisiatif
sendiri
6 Kontrol diri 88 ST
bahwa games tebak kartu dapat digunakan sebagai media pembelajaran mandiri siswa.
Aspek ketidakbergantungan siswa terhadap orang lain ketika memainkan games tebak
kartu dikarenakan games dibuat mudah dalam mengoperasikan. Selain itu, dalam games
tebak kartu juga dilengkapi denga menu bertanya, sehingga siswa dapat memperoleh
informasi tentang materi. Game edukasi digunakan untuk menyampaikan suatu pesan
pendidikan kepada pemain segala usia berbentuk permainan yang menghibur (Martono,
2011).
Aspek berikutnya adalah memiliki kepercayaan diri sebesar 84% termasuk kriteria
sangat tinggi. Artinya bahwa siswa melalui games tebak kartu dapat meningkatkan rasa
kepercayaan diri siswa dalam memahami materi besaran dan satuan. Kepercayaan diri
siswa muncul disebabkan siswa mampu dengan mudah memadankan gambar alat ukur
dengan satuan maupun dimensinya. Hal ini sesuai dengan variabel motivasi belajar
confidence (kepercayaan) yang diperoleh nilai keyakinan terhadap materi pelajaran
sebesar 85,4%. Pemerolehan ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pada pembelajaran
yang dilakukan dengan peningkatan kepercayaan diri siswa untuk belajar (Chotimah,
2015).
Aspek berperilaku disiplin pada penelitian ini memiliki nilai sebesar 83% termasuk
kriteria sangat tinggi. Perilaku disiplin siswa terbentuk ketika siswa memainkan game
tebak kartu, dimana siswa tidak dapat meloncat ke level berikutnya sebelum
menyelesaikan level tertentu. Aspek disiplin pada penelitian ini sesuai dengan Rejeki
(2015) yang menemukan jika 90% siswa memiliki sikap disiplin tinggi setelah
mengikuti pembelajaran.
Pada aspek memiliki rasa tanggung jawab mendapatkan nilai sebesar 84% termasuk
kriteria sangat tinggi. Siswa diarahkan untuk berusaha menyelesaikan tantangan-
tantangan dalam game. Rasa menyesal saat gagal menyelesaikan tantangan dalam game.
Selanjutnya, ketika siswa gagal menyelesaikan permainan, adanya keinginan untuk
mencari besaran, dimensi, dan alat ukur fisika yang tepat sehingga siswa merasa puas
atas apa yang diperoleh. Sesuai penelitian Herawati (2014) Aspek satisfaction
(kepuasan) yang dimiliki siswa mengalami peningkatan 2,72 atau 8,5%.
Aspek berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri mengarahkan siswa untuk mengisi
pernyataan setuju atau tidak setuju mengenai. Siswa dapat memainkannya kapan saja
dan dimana saja. Hasil yang didapat 75% dengan kriteria tinggi. Sesuai dengan
penelitian Fletcher (2014) bahwa aspek inisiatif sendiri, pada pembelajaran kolaboratif
memungkinkan untuk mengembangkan wawasan.
Pada keseluruhan aspek yang harus diisi siswa, melakukan kontrol diri memiliki
hasil paling besar yaitu 88% dengan kriteria sangat tinggi, karena pada aspek ini siswa
diarahkan untuk mampu dan bisa memberikan informasi mengenai kemampuan
penguasaan besaran fisika saat memainkan game, karena salah satu faktor penyebab
meningkatnya agresivitas (memberikan informasi) pada remaja yaitu kemampuan
kontrol diri (Praptiani, 2013).
Setiap siswa yang sudah memiliki smartphone berbasis android, dapat
memainkannya kapan dan dimana saja. Siswa bisa lebih mengenal dan termotivasi
untuk belajar fisika secara mandiri. Hal ini adalah salah satu solusi untuk membantu
siswa dalam mengingat besaran, satuan, dimensi serta alat ukurnya.
Hasil dari keseluruhan penilaian angket menunjukkan bahwa game ini berhasil
memotivasi siswa untuk belajar mandiri. Sesuai penelitian Shurygin (2016) fokus
pendidikan tidak hanya pada penyampaian pengetahuan kepada siswa, tapi juga pada
pemberian informasi yang kontinu, dan kebutuhan belajar yang dilakukan secara
mandiri untuk mendapatkan pengetahuan sepanjang hidup.
Siswa yangtidak setuju dengan pernyataan bahwa game ini dapat memotivasi
belajar dengan gameini karena siswa tersebut lebih menyukai tipe permainan yang
berbeda seperti Role Play Game, FPS, AR, VR dan beberapa game kompleks lainnya.
Kehadiran game ini mampu membuat pengalaman baru dalam belajar fisika melalui
media permainan berbasis android. Hal ini didukung pula dengan hasil observasi pada
siswa. Data yang diperoleh, siswa yang mampu mencapai level tertinggi sebanyak 83%.
Ini membuktikan jika tingkat keingintahuan siswa tinggi sehingga siswa berusaha untuk
mencapai level puncak untuk mengasah pengetahuannya.
Ketika wawancara sebagian besar siswa memberikan komentar yang positif.
Diantaranya seperti desain tampilan yang bagus, dan dapat memotivasi belajar mandiri
siswa, namun beberapa siswa juga merasa bosan dengan game tersebut dan
menyarankan ditambahkan beberapa fitur baru serta menambah jumlah level dalam
game. Ketika bermain, siswa dapat merasakan suasana latar yang disajikan dalam
permainan, siswa juga diberikan kebebasan dalam memilih pasangan kartu sehingga
memberikan hiburan yang positif.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka game ini cocok dimainkan oleh siswa. Game ini
lebih memudahkan siswa untuk belajar fisika tanpa dibatasi waktu dan tempat, sehingga
game ini aman dan menarik dimainkan oleh siapa saja. Penggunaan Game sebagai media
pembelajaran sangat efektif karena mendapatkan informasi dan wawasan yang luas
mengenai materi besaran dan satuan.
KESIMPULAN
Dari uraian yang disajikan pada Hasil dan Pembahasan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Sebanyak 90% siswa menyatakan bahwa penggunaan Game Tebak Kartu Besaran
Fisika sebagai media pembelajaran sangat memotivasi siswa untuk belajar mandiri.
2. Game ini dapat digunakan siswa dengan efisien kapan saja dan dimana saja.
REFERENSI
Abdjul, Tirtawaty. 2013. Peningkatan Motivasi Mahasiswa PGBI Kelas Fisika Dasar II
pada Penyelenggaraan Lesson Study. Jurnal Entropi, Volume VIII, Nomor 1.
Astawan, I Gede. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha.
Chotimah, Husnul.2015. Penerapan Strategi Pembelajaran Think Pair Share Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Biologi Siswa Kelas X-KPR-2 SMKN 13 Kota
Malang. Jurnal Biology Science & Education 2015. vol 4 no 1. Page 17.
Coca, David Méndez. 2013. Software Socrative and Smartphones as Tools For
Implementation of Basic Processes of Active Physics Learning in Classroom: An
Initial Feasibility Study With Prospective Teachers, European Journal
of Physics Education Vol. 4 Issue 2.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Fazar, Ibnu. 2016. Pengembangan Bahan Ajar Program Linear Menggunakan Aplikasi
Geogebra Berbantuan Android Di Sekolah Menengah Atas. JPPM Vol. 9 No. 1.
Fletcher, Tim and Ashley Casey.2014. The Challenges of Models-Based Practice in
Physical Education Teacher Education: A Collaborative Self-Study. Journal of
Teaching in Physical Education, Vol 33, p. 403-421.
Herawati, Dera Dwi. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
(Numbered Head Together) Dengan Media Komik Pada Materi Pengelolaan
Lingkungan Guna Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar (Siswa Kelas VII C
SMP Negeri 1 Semboro Jember). Pancaran, Vol. 3, No.3, hal 73.
* Email: saptafisika@gmail.com
Abstrak
Evaluasi dalam dunia pendidikan sangat penting guna mengukur ketercapaian kompetensi
siswa. Ada 2 model evaluasi yang lazim digunakan yakni model tes berbasis kertas (paper
based test / pbt) dan model tes berbasis komputer (computer based test/cbt). Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui perbandingan penerapan model evaluasi pbt dan cbt di
smk palapa semarang. Metode yang digunakan adalah penelitian evaluasi yang mencakup
survey dan studi literatur. Subjek penelitian adalah nilai siswa kelas xii tahun pelajaran
2016/2017. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan hasil belajar yang tidak
signifikan antara pbt dan cbt. Model cbt mempunyai kelebihan yakni lebih efektif. Model cbt
memberikan kenaikan nilai sebesar 67% yakni pada 8 mata pelajaran yang diujikan dari 12
mata pelajaran. Model pbt sebaiknya diterapkan pada mata pelajaran exact sedangkan model
cbt sebaiknya diterapkan pada pelajaran non exact.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi komunikasi dibidang internet memiliki dampak luas
pada semua aspek manusia. Perkembangan teknologi tersebut membawa manusia pada
era moderinasi dan cara hidup yang baru. Perkembangan teknologi tersebut juga
mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Munir (2012) berpendapat bahwa
multimedia memiliki potensi untuk menawarkan kesempatan belajar dengan cara-cara
yang baru. Penggunaan media komputer dan fasilitas internet dalam dunia pendidikan
dapat pada saat persiapan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi
pembelajaran. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada persiapan
pembelajaran bisa dilihat dari pembuatan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Selain itu, juga pembuatan media belajar banyak yang menggunakan fasilitas teknologi
yang berkembang. Pada pelaksanaan pembelajaran, TIK mempunyai peran sebagai
media pembelajaran yang interaktif dan mampu memberikan makna baru dalam
pembelajaran (Sumintono, 2012). Pendapat lain juga memberikan penekanan tentang
penggunaan TIK dalam pelaksanaan pembelajaran bahwa pembelajar abad 21 sangat
dipengaruhi oleh kemampuan dalam menggunakan berbagai variasi media TIK.
Selanjutnya, pemanfaatan TIK pada evaluasi pembelajaran dapat dilihat dari model tes
evaluasi mulai dari yang diselenggarakan pemerintah maupun tingkat satuan
pendidikan. Mulai tahun 2015, pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian
pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) mulai menggagas Ujian Nasional Berbasis
Komputer (UNBK). Terobosan pemerintah tersebut mengisyaratkan bahwa setiap
pembelajar harus bisa dan mampu dalam menggunakan TIK sebagai model evaluasi.
Model evaluasi yang lazim digunakan yakni model tes berbasis kertas (papper
based test / PBT) dan model tes berbasis komputer (computer based test /CBT). Model
tes PBT telah lama digunakan sebagai model evaluasi pembelajaran. Model PBT
merupakan jenis penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan peserta didik
pada satuan pendidikan dengan menggunakan kertas dan alat tulis sebagai media
utama. Sedangkan model tes CBT jenis penilaian yang dilakukan untuk mengukur
keberhasilan peserta didik pada satuan pendidikan dengan menggunakan komputer
sebagai media.
Salah satu sekolah yang sudah menerapkan model tes PBT dan CBT adalah sekolah
menengah kejuruan (SMK) Palapa Semarang. Pada tahun 2016 SMK Palapa Semarang
menyelenggarakan model tes PBT yang terakhir untuk menilai hasil belajar peserta
didik kelas XII mulai tes ujian nasional (UN) dan ujian sekolah (US). Kemudian mulai
tahun 2017 SMK Palapa menggelar ujian nasional berbasis komputer (UNBK) dan ujian
sekolah berbasi komputer (USBK) dengan model tes CBT. Perkembangan teknologi
tersebut menuntut disetiap lini penyelenggara pendidikan harus siap mengahadapi era
TIK.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana
perbedaan penerapan model evaluasi PBT dan CBT di SMK Palapa Semarang?. Tujuan
dari penelitian yaitu mengetahui perbandingan penerapan model evaluasi PBT dan CBT
di SMK Palapa Semarang.
METODE
Metode penelitian ini adalah penelitian evaluasi (evaluation research)
pembandingan yang mencakup survey dan kajian literatur pelaksanaan evaluasi nilai
akhir semester kelas XII di SMK Palapa tahun pelajaran 2016 dan 2017. Subjek
penelitian adalah nilai akhir semester gasal dan genap kelas XII tahun pelajaran
2016/2017. Lokasi penelitian dipilih SMK Palapa Semarang dikarenakan pada tahun
pelajaran 2016/2017 penilaian akhir semester gasal menggunakan PBT sedangkan
disemester genap menggunakan CBT.
Langkah penelitian yang dilakukan adalah menganalisis homogenitas siswa dalam
penelitian. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui distribusi kemampuan siswa
merata pada setiap kelas. Langkah berikutnya adalah studi literatur pelaksanaan model
PBT dan CBT di SMK Palapa Semarang. Studi literatur hasil belajar siswa setelah
menggunakan PBT dan CBT. Langkah selanjutnya menganalisis data hasil belajar siswa
setelah menggunakan PBT dan CBT. Hasil analisis data kemudian dibandingkan antara
rata-rata penggunaan model PBT dan CBT.
Data pada tabel 1 menunjukkan ada 6 mata pelajaran yang mempunyai nilai rata-rata di
bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yakni 75. Mata pelajaran tersebut adalah
Matematika, Kimia, Pendidikan Kewarganegaraan, KKPI, Bahasa Inggris, dan Bahasa
Jawa. Hal ini menunjukkan ada 50% mata pelajaran yang tidak mencapai rata-rata KKM
dengan model PBT. Hasil tersebut sependapat dengan wawancara panitia
penyelenggara tes PBT bahwa ke enam mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik
jawaban yang relatif panjang pada soal uraian. Jawaban soal uraian yang terlalu panjang
mengakibatkan siswa terjebak dalam menejemen waktu saat mengerjakan soal.
Hasil tes menggunakan model CBT di SMK Palapa Semarang tahun pelajaran
2016/2017 yang diikuti 256 siswa kelas XII disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Rekap Nilai Tes Model CBT kelas XII di SMK Palapa Semarang Tahun
Pelajaran 2016/2017
Kategori
MAT IPA FISIKA KIMIA PAI PKN PJOK KKPI KWU BSI BING BJAWA
Nilai
Minimum 75 75 75 75 75 75 75 76 75 75 75 75
Maksimum 84 97 93 95 89 87 95 87 90 84 94 94
Rata-rata 77,17 77,77 77,64 77,71 79,60 80,22 78,43 80,71 78,08 79,11 79,63 79,03
Pada tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata semua mata pelajaran sudah diatas
KKM. Data tersebut menunjukkan bahwa sudah 100% mata pelajaran memiliki kriteria
rata-rata diatas KKM pada model tes CBT. Hasil tersebut sependapat dengan wawancara
panitia penyelenggara tes CBT bahwa semua mata pelajaran yang menggunakan model
tes CBT dikembangkan dengan sistem multiple choise / pilihan ganda. Model CBT ini
diharapkan mampu memberikan efektifitas dalam meningkatkan nilai hasil belajar dan
lebih efisien dalam penyelenggaraan tes akhir semester.
Sedangkan perbandingan rata-rata nilai hasil tes model PBT dan CBT pada mata
pelajaran exact ditunjukkan pada gambar 1.
Rentang Nilai
Gambar 1. Perbandingan Rata-rata Nilai Model PBT dan CBT Mata Pelajaran Exact
Gambar 1 menunjukkan adanya mata pelajaran exact yang mengalami kenaikan
nilai rata yaitu Matematika dan Kimia. Kenaikan kedua mata pelajaran tersebut secara
berurutan sejumlah 2,24 dan 3,30. Sedangkan mata pelajaran IPA dan Fisika mengalami
penurunan nilai rata secara berurutan yakni sebesar 2,05 dan 2,95. Penyebab
penurunan nilai rata-rata pelajaran IPA dan Fisika oleh beberapa faktor antara lain:
human eror dan sistem eror. Faktor human eror disebabkan siswa tidak terbiasa dalam
mengerjakan soal fisika maupun soal ipa secara komputerisasi. Sedangkan sistem eror
sering terjadi soal yang muncul memerlukan loading yang relatif lama.
Perbandingan rata-rata nilai hasil tes model PBT dan CBT pada mata pelajaran
non exact disajikan dalam gambar 2.
Rentang Nilai
Mata Pelajaran
Gambar 2. Perbandingan Rata-rata Nilai Model PBT dan CBT Mata Pelajaran Non-exact
Gambar 2 menunjukkan dari 8 mata pelajaran non exact ada 2 mata pelajaran
yang tidak mengalami kenaikan rata-rata nilai. Kedua mata pelajaran tersebut adalah
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) dan Kewirausahaan (KWU). Kedua
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 12 mata pelajaran ada 8 mata pelajaran yang
mengalami kenaikan rata-rata nilai model tes PBT dan CBT. Secara persentase ada 67%
yang mengalami kenaikan. Sedangkan ada 4 mata pelajaran yang mengalami penurunan
rata-rata nilai model tes PBT dan CBT. Secara persentase ada 33% yang mengalami
penurunan.
Berdasarkan uraian data tersebut, maka ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi model tes CBT. Faktor tersebut diantaranya:
1. Kemudahan dalam menggunakan teknologi komputer dalam mengerjakan soal.
Sependapat dengan Saputri (2015) menyatakan bahwa tes mengunakan komputer
dibandingkan dengan menggunakan kertas tidak memberikan pengaruh yang
kesulitan yang berarti dalam mengerjakan soal. Kemajuan teknologi secara simultan
mengantarkan siswa dalam menghadapi persoalan didunia digital. Sebagai contoh
adalah peralihan model tes dari PBT ke CBT.
2. Model CBT menghasilkan pensekoran lebih reliabel. Novrianti (2015) menyatakan
perbedaan antara pensekoran yang dilakukan oleh manusia dengan yang dilakukan
oleh komputer memperlihatkan hasil yang akurat dan reliabel.
3. Merupakan model inovasi dalam evaluasi pendidikan. Sejalan dengan program
kemendikbud yang mengharuskan ujian nasional wajib menggunakan
komputerisasi maka sekolah berlomba-lomba menyukseskan program tersebut.
Program kemendikbud tersebut membawa dampak positif bagi siswa. Dampak yang
langsung bisa dirasakan adalah siswa mulai gemar berlatih menggunakan
komputer. Mulai dari latihan mengerjakan soal sampai mencari belajar mencari
materi sendiri dari komputer.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, model PBT lebih efektif dari pada model CBT. Model
CBT memberikan kenaikan nilai sebesar 67% yakni pada 8 mata pelajaran yang diujikan
dari 12 mata pelajaran. Model PBT sebaiknya diterapkan pada mata pelajaran exact
sedangkan model CBT sebaiknya diterapkan pada pelajaran non exact. Saran bagi
peneliti selanjutnya, diharapkan model CBT bisa disosialisasikan dan dilatihkan terlebih
dahulu supaya siswa terbiasa dengan model CBT. Disamping itu, model CBT layak
direkomendaikan untuk model tes mata pelajaran non exact.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada bapak Agus Yulianto dan Ibu Budi
Astuti selaku dosen pembimbing mata kuliah komunikasi Ilmiah. Keluarga besar SMK
Palapa Semarang terutama Kepala Sekolah Bapak Soedjatmoko, S.Pd yang memberikan
dukungan terlaksananya penelitian ini. Rekan-rekan mahasiswa program studi fisika
PPS UNNES angkatan 2016 serta semua pihak yang telah membantu keterlaksanaan
penelitian dan penulisan artikel ini.
REFERENSI
A.T. Alabi, A.O. Issa, R.A. Oyekunle. 2012. The Use of Computer Based Testing Method for
the Conduct of Examinations at the University of Ilorin. International Journal of
Learning & Development, Vol. 2, No. 3, 2012: 68-80. Diunduh:
www.macrothink.org/ijld
Bagus, H. C. 2012. Administrasi Ujian Nasional (UN) Dengan Menggunakan model
Camputerized Adaptive Testing (CAT). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 18(1),
hlm. 45-53.
Bennet, R. E. & Gitomer, D.H. 2009. Transforming K-12 Assessment: Integrating
Accountability Testing, Formative Assessment and Profesional Support n C.
Wyat-Smith & J.J. Cumming (Eds). Educational Assessment in the 1st Century:
Connecting Theory and Practice. London: Springer.
Dian Saputri, Ashari, Eko. A.S. 2015. Pengembangan Computer Based Tes (CBT) dengan
Software Hot Potatoes pada Pembelajaran Fisika Dasar 2 di Universitas
Muhammadiyah PurworejoTahun Akademik 2014/2015. Jurnal Radiasi, Vol. 7,
No. 2, September 2015: 7-13
Luecht, R. M., & Sireci, S. G. 2011. A Review of Models for Computer-Based Testing.
College Board.
Munir. (2012). Multimedia Konsep & Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung : alfabeta
Novrianti. 2014. Pengembangan Computer Based Testing (CBT) Sebagai Alternatif
Teknik Penilaian Hasil Belajar. Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 17, No. 1, Juni
2014: 34-42
Nitko, A. J. & Susan, M. B. 2011. Educational Assessment of Students (Sixth Edition).
Boston, M.A: Pearson Education Inc., publishing as Allyn & Bacon.
Sumintono, Bambang, dkk. 2012. Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Dalam Pengajaran : Survey Pada Guru-Guru Sains SMP di Indonesia. Johor
Bahru: Fakulti Pendidikan,Universiti Teknologi Malaysia
* Email: faridayuliani29@yahoo.com
Abstrak
Integrasi sains dan Islam dengan pendekatan saintifik merupakan pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan metode ilmiah atau kegiatan penelitian dengan
menyatupadukan ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
efektivitas pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan desain penelitian Posttest-
Only Control Design. Populasi penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Al Fattah Semarang
semester genap tahun ajaran 2016/2017. Sampel yang diambil adalah siswa kelas VIII A dan
VIII B. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah tes, dokumentasi, dan wawancara.
Data yang diambil adalah nilai hasil belajar siswa yang diperoleh melalui tes. Hasil analisis
data penelitian dengan uji t menunjukkan thitung > ttabel yang artinya hasil belajar siswa kelas
eksperimen lebih baik dibanding kelas kontrol. Berdasarkan analisis peningkatan hasil
belajar siswa diperoleh nilai gain sebesar 0,34, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
PENDAHULUAN
Integrasi agama dan sains sangat diperlukan dalam pembelajaran, oleh karena itu
perlu dikembangkan sebuah model pembelajaran integratif yang memadukan antara
mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lainnya. Perpaduan yang dimaksud bukan
sekedar proses pencampuran biasa (Islamisasi), tetapi sebagai proses pelarutan.
Paradigma ini bukan hanya menyatukan ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keagamaan,
tetapi juga ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Islam (dengan al-Qur’an dan Sunnah)
menjadi sumber rujukan bagi setiap kerja suatu bidang keilmuan. Islam tidak hanya
menjadi pelengkap kajian ilmiah yang ada, justru harus menjadi pengawal dari setiap
kerja para guru mata pelajaran (Purwaningrum, 2015).
Permendikbud No. 65 (2013) tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah telah mengisyaratkan perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan
kaidah-kaidah pendekatan saintifik atau ilmiah. Model pembelajaran pendekatan
saintifik dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran yang memandu siswa untuk
memecahkan masalah melalui kegiatan perencanaan yang matang, pengumpulan data
yang cermat, dan analisis data yang yang teliti untuk menghasilkan sebuah kesimpulan.
Siswa harus dibina kepekaannya terhadap fenomena, ditingkatkan kemampuannya
dalam mengajukan pertanyaan, dilatih ketelitiannya dalam mengumpulkan data,
dikembangkan kecermatannya dalam mengolah data, serta dipandu dalam membuat
kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan (Abidin, 2014).
Penelitian Marjan (2014) menyebutkan bahwa pembelajaran pendekatan saintifik
merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah dan inkuiri, siswa
berperan langsung baik secara individu maupun kelompok untuk menggali konsep dan
prinsip selama kegiatan pembelajaran, sedangkan tugas guru adalah mengarahkan
proses belajar yang dilakukan siswa dan memberikan koreksi terhadap konsep dan
prinsip yang didapatkan siswa.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode Quasi Experiment
(Eksperimen Semu). Penelitian dilakukan di SMP Al Fattah Semarang. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Al Fattah Semarang dengan jumlah
102 orang siswa dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII A dan kelas VIII
B dengan jumlah 50 orang siswa. Desain penelitian ini adalah Posttest-Only Control
Design, dengan menggunakan dua kelas yang masing-masing dipilih secara random.
Kelas eksperimen diberi perlakuan dan kelas kontrol tidak diberi perlakuan. Analisis
data bersifat kuantitatif/statistik untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan
(Sugiyono, 2012).
Teknik pengumpulan data melalui metode tes, wawancara, dan dokumentasi.
Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir (posttest) yang
diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan tes berupa pilihan ganda
sebanyak 21 soal. Wawancara dan dokumentasi digunakan untuk memperkuat hasil
penelitian yang telah dilakukan dan sebagai studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti.
Teknik analisis data dalam penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu analisis
uji coba intrumen, analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis uji coba instrumen
tes berupa uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda (Arikunto,
2012). Analisis data awal dalam penelitian adalah uji homogenitas sampel dengan
menggunakan uji F. Analisis data akhir meliputi uji normalitas kelas eksperimen dan
kelas kontrol menggunakan rumus Chi-Kuadrat, uji signifikansi hasil belajar dengan
menggunakan rumus uji t, dan uji peningkatan hasil belajar menggunakan uji gain
(Hake, 2002).
Analisis data awal dalam penelitian adalah uji homogenitas kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data nilai hasil belajar siswa
materi Getaran dan Gelombang pada kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Kedua kelas mempunyai varians yang sama (homogen) apabila Fhitung>Ftabel dengan
α = 5% dan dk= K-1. Analisis data menunjukkan S12 = 41,5 dan S22 = 62,99 sehingga
diperoleh Fhitung = 1,51. Selanjutnya dengan dk pembilang = 25 – 1 =24 dan dk penyebut
= 25 – 1 = 24 diperoleh Ftabel = 1,98 sehingga Fhitung > Ftabel yang menunjukkan bahwa
data homogen.
Analisis data akhir didasarkan pada nilai posttest yang diberikan pada siswa kelas
eksperimen maupun kelas kontrol. Analisis akhir ini meliputi uji normalitas, uji
signifikansi dan uji peningkatan hasil belajar siswa dengan pendekatan saintifik
terintegrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen.
Uji normalitas menggunakan data nilai posttest siswa setelah melaksanakan proses
pembelajaran. Terdapat 25 siswa pada masing-masing kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Hasil uji normalitas nilai posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
diperoleh X2hitung berturut-turut sebesar 3,27 dan 6,43 sedangkan X2tabel =11,070 yang
menunjukkan bahwa X2hitung < X2tabel, sehingga data berdistribusi normal.
Uji signifikansi hasil belajar siswa digunakan untuk menguji hipotesis penelitian,
yaitu hipotesis diterima atau ditolak. Hasil perhitungan data dengan menggunakan uji-t
diperoleh thitung = 4,89, sedangkan dengan = 5 % dan dk = 25 + 25 - 2 = 48 diperoleh
ttabel = 2,021 menunjukkan bahwa thitung > ttabel, sehingga H0 ditolak dan Ha diterima yang
berarti hasil belajar siswa pada materi Cahaya dengan pendekatan saintifik berbasis
integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen lebih baik dibanding hasil belajar
siswa dengan pendekatan saintifik metode eksperimen tanpa menggunakan integrasi
sains dan Islam. Hal ini sesuai dengan penelitian Wiratma (2014) yang menunjukkan
bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan pendekatan saintifik melalui metode
eksperimen lebih baik dibanding siswa yang diajar tanpa menggunakan pendekatan
saintifik melalui metode eksperimen. Melalui pendekatan saintifik, siswa dapat
mengembangkan karakternya dan melibatkan proses-proses kognitif yang potensial
dalam merangsang perkembangan intelek yang menyebabkan perubahan hasil belajar.
Salah satu faktor yang mendukung hasil belajar kelas eksperimen lebih baik
dibanding kelas kontrol adalah keterlibatan siswa selama proses pembelajaran. Siswa
lebih aktif untuk menemukan konsep melalui praktikum pada kelas eksperimen dan
tanggap dengan penjelasan guru mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena-fenomena
mengenai cahaya. Siswa terlihat antusias dan aktif selama kegiatan praktikum
berlangsung, misalnya ketika mencari pembentukan bayangan pada cermin cekung dan
lensa cembung. Siswa saling bekerja sama untuk menemukan bayangan yang paling
jelas. Sebagian siswa mengamati dan mengukur jarak bayangan, sebagian yang lain
menghitung dan menganalisis data. Setelah menyampaikan hasil percobaan, siswa pada
kelas eksperimen juga terlihat antusias dan tanggap dengan penjelasan guru mengenai
ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan cahaya, misalnya sifat-sifat bayangan dan
peristiwa pembiasan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang
mereka berikan pada kelas kontrol, sehingga siswa lebih mampu dan paham dalam
mengerjakan soal posttest yang telah diintegrasikan dengan nilai-nilai keislaman. Lain
halnya dengan pembelajaran pada kelas kontrol yang hanya menggunakan pendekatan
saintifik dengan metode eksperimen tanpa menggunakan integrasi sains dan Islam,
siswa terlihat lebih pasif dibanding siswa pada kelas eksperimen.
Penerapan pendekatan Saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode
eksperimen membuat proses pembelajaran Fisika menjadi lebih menarik dan membuat
siswa menjadi lebih antusias, hal ini secara langsung memberikan dampak pada hasil
belajar Fisika yang diperoleh siswa. Rata-rata kelas eksperimen diperoleh 78,2 dan rata-
rata kelas kontrol 66,92, sehingga diperoleh gain 0,34. Berdasarkan data tersebut dapat
dikatakan bahwa peningkatan hasil belajar materi Cahaya kelas eksperimen yang
menggunakan pendekatan saintifik berbasis integrasi Sains dan Islam dengan metode
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang
diajar dengan pendekatan saintifik berbasis integrasi sains dan Islam dengan metode
eksperimen lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang diajar hanya dengan
pendekatan saintifik dengan metode eksperimen. Pendekatan saintifik berbasis
integrasi sains dan Islam dengan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas VIII SMP Al- Fattah Semarang pada materi Cahaya dengan hasil uji gain
sebesar 0,34 yang berkriteria peningkatan sedang.
REFERENSI
Abidin, Yunus. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013.
Bandung: Refika Aditama.
Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi 2. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hake, R. Richard. 2002. Analyzing Change/Gain Scores. 1.
Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan
Kurikulum 2013). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Marjan, Johari. 2014. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Saintifik terhadap Hasil
Belajar Biologi dan Keterampilan Proses Sains Siswa MA Mu’allimat NW Pancor
Selong Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. 4.
Mendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Mendikbud.
Muspiroh, Novianti. 2014. Integrasi Nilai-Nilai Islam dalam Pembelajaran IPA di Sekolah.
Jurnal IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 3 (2): 177.
Nafi’ah, Ulin. 2016. Efektivitas Penggunaan Metode Eksperimen terhadap Peningkatan
Hasil Belajar Siswa (Psikomotorik dan Kognitif) pada Pokok Bahasan Cahaya Kelas
VIII SMP N 4 Juwana Tahun Pelajaran 2015/2016. Skripsi. Semarang: UIN
Walisongo.
Purwaningrum, Septiana. 2015. Elaborasi Ayat-Ayat Sains dalam Al-Quran: Langkah
Menuju Integrasi Agama dan Sains dalam Pendidikan. 1 (1): 125.
Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Wiratma, G. 2014. Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Metode Eksperimen pada
Pembelajaran Fisika Siswa Kelas X MIA 3 SMA Negeri 1 Tenggarong (Materi Suhu
dan Kalor). Jurnal.unej. 6 (2) : 26-27.
email: herwidhi13@gmail.com
Abstrak
Teori atom Bohr menjadi pijakan peralihan teori atom dalam tinjauan klasik ke tinjauan
kuantum. Pemahaman teori Bohr ini menjadi penting untuk memahami bagaimana
perkembangan teori atom dari pandangan klasik menjadi kuantum yang masih berkembang
sampai saat sekarang ini. Penelitian pada mahasiswa Jurusan Fisika Universitas Negeri
Semarang sebanyak 37 mahasiswa dilakukan untuk mengetahui konsep pemahaman
mahasiswa terkait keberadaan teori Bohr. Subjek penelitian mendapatkan materi teori atom
pada mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Modern, Fisika Inti, dan Fisika Kuantum. Instrumen
yang digunakan berupa pertanyaan terbuka. Analisis data dilakukan dengan teknik
triangulasi terhadap jawaban mahasiswa. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemahaman
mahasiswa secara keseluruhan tidak menyimpang dari konsep teori Bohr, hanya saja pada
tataran pemahaman yang berbeda. Sebanyak 16 mahasiswa menjawab pertanyaan hanya
pada kisaran teori atom Bohr saja, sementara 21 mahasiswa lain menjawab dengan
membandingkan teori atom Bohr dengan teori sebelumnya, yaitu teori atom Rutherford.
Kata Kunci : pemahaman konsep, teori atom klasik, teori atom modern, teori Bohr.
PENDAHULUAN
Struktur atom merupakan konsep penting dalam pendidikan sains (Adams,
2012). Teori atom senantiasa berkembang dari waktu ke waktu hingga saat ini (Budde
et al., 2002). Para ilmuan selalu mengkaji dan menemukan hal baru dari atom. Kajian ini
dimulai dari zaman peradaban manusia yang masih sederhana; dari masa Yunani Kuno
yang menganggap atom sebagai bagian terkecil dari suatu materi sampai pada massa
mekanika kuantum yang mengkaji bagian atom, energi, hingga sifat dan karakteristik
bagian atom tersebut yang dijelaskan secara detail dan lebih kompleks. Perkembangan
teori atom oleh para ilmuan dibagi dalam dua tinjauan, yaitu tinjauan klasik dan
tinjauan kuantum. Teori atom Bohr menjadi pijakan peralihan tinjauan klasik ke
tinjauan kuantum.
Pemahaman tentang teori atom menjadi dasar keilmuan yang sangat penting.
Materi ini menjadi pijakan dalam perkembangan fisika dan kimia. Özmen (2004) dan
Nahum et al., (2004) dalam jurnalnya menyatakan bahwa untuk memahami konsep-
konsep teori atom diperlukan pengetahuan dasar mengenai konsep struktur atom. Hasil
penelitian yang dilakukan Taber (2001) dan Nakiboglu (2003) menunjukkan bahwa
banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep struktur atom, yang
mengakibatkan pemahaman mereka pada konsep ini tergolong rendah. Wardhani
(2016) menyatakan bahwa dasar dari pembelajaran teori atom adalah membuat siswa
memahami dan mampu menerapkan konsep mengenai atom, struktur, dan
perkembangan teorinya.
Dinamika pembahasan teori atom yang terjadi hingga saat ini menimbulkan
permasalahan bagi mahasiswa dalam mempelajarinya. Mahasiswa cenderung
mengalami miskonsepsi bahkan salah konsep terkait teori atom dikarenakan adanya
perkembangan model-model atom yang variatif (Petri dan Hans, 2012). Wahyuningrum
(2013) menyatakan bahwa mahasiswa yang mengalami miskonsepsi memiliki
keyakinan yang tinggi terhadap pemahaman konsep yang dimiliki. Keyakinan yang
tinggi disebabkan oleh ketidakmampuan mahasiswa dalam memahami konsep atom
secara utuh. Miskonsepsi dapat disebabkan antara lain oleh pengetahuan awal siswa,
karakteristik materi yang dipelajari, dan kegiatan pembelajaran (Horton, 2004). Salah
satu sumber miskonsepsi dalam kegiatan pembelajaran adalah guru (Nahum et.al.,
2004). Terkadang guru dapat menjadi sumber utama dari miskonsepsi yang dialami
oleh siswa (Chiu, 2005).
Mahasiswa program studi pendidikan fisika Universitas Negeri Semarang
merupakan calon guru fisika, yang pada semester 7 akan melakukan praktik mengajar di
sekolah. Dalam artikel ini dipaparkan hasil penelitian identifikasi pemahaman
mahasiswa tentang konsep teori atom Bohr sebagai jembatan peralihan pandangan
atom klasik ke fisika kuantum yang sangat penting untuk diketahui. Sebelum mahasiswa
memulai praktik mengajar, perlu untuk memahami konsep yang akan diajarkan, yang
dalam hal ini mengenai topik struktur atom. Ada banyak metode yang dapat digunakan
untuk menggali pemahaman konsep, salah satunya adalah dengan soal terbuka. Dengan
tipe soal ini, mahasiswa dapat memberikan jawaban seluas - luasnya dan jawaban
sebebas - bebasnya sesuai pemahamannya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti
melakukan penelitian dengan tujuan memperoleh informasi dan mengidentifikasi
pemahaman konsep mahasiswa fisika pada topik teori atom Bohr.
METODE PENELITIAN
Tes pemahaman konsep yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sebuah
pertanyaan uraian. Tes ini menggali pemahaman mahasiswa terkait teori atom Bohr
sebagai pijakan peralihan dari tinjauan klasik ke tinjauan kuantum. Tes berisi
pertanyaan dimana mahasiswa menanggapi dengan memberikan jawaban bebas atau
terbuka. Pernyataan jawaban siswa dikelompokkan sesuai tingkat kedalaman
pemahaman. Dilakukan konfirmasi terhadap jawaban mahasiswa dengan pemahaman
dalam dan dangkal melalui wawancara. Tingkat pemahaman mahasiswa dilihat dari
persentase jawaban mahasiswa menggunakan persamaan menurut Sudijono (2008: 43)
yakni:
𝑓
𝑃 = 𝑥100%
𝑛
dengan P adalah persentase jawaban mahasiswa; f adalah jumlah mahasiswa yang
menjawab; n adalah jumlah mahasiswa. Kriteria tingkat pemahaman mahasiswa
disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Kriteria Tingkat Pemahaman Mahasiswa
Rentang Persentase Kriteria
85% < skor ≤ 100% Sangat baik
70% < skor ≤ 85% Cukup baik
50% < skor ≤ 70% Kurang baik
01% < skor ≤ 50% Tidak baik
kuantum adalah model atom bohr. Bohr mampu menjelaskan kegagalan model atom
Rutherford tentang kestabilan atom dan terjadinya spektrum garis atom hidrogen.
Menurut Bohr, elektron berotasi mengelilingi inti pada lintasan-lintasan yang tentu.
Selain itu, Bohr juga menjelaskan bahwa elektron dapat berpindah ke lintasan lain
dengan cara memancarkan atau menyerap energi.
Tes pemahaman konsep yang dilakukan oleh mahasiswa menunjukkan bahwa
mahasiswa mampu menjelaskan model atom Bohr sebagai model peralihan pembahasan
teori atom. Penjelasan yang diberikan oleh mahasiswa memiliki tingkat pendalaman
yang berbeda-beda. Akan tetapi, mahasiswa mampu menjelaskan postulat yang
dikemukakan oleh Bohr dengan kalimat yang lebih sederhana dan mudah untuk
dipahami. Berdasarkan jawaban yang dikemukakan oleh mahasiswa, jawaban-jawaban
tesebut dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Isi Pernyataan Jawaban Mahasiswa
Menyatakan Teori Membandingkan Teori Bohr dengan Teori Atom
Atom Bohr saja Sebelumnya
Pernyataan I Pernyataan II Pernyataan Pernyataan
III IV
Elektron terletak pada Mengungkapkan kelemahan Persamaan Perpindahan
orbit stasioner yang Rutherford bahwa untuk energi elektron
memiliki tingkat energi dapat terus bergerak, 𝑬 = 𝒉𝝊 disebabkan
tertentu dan dapat elektron membutuhkan 𝟏𝟑, 𝟔 adanya
=− 𝟐
berpindah kulit jika ada energi karena jika tidak maka 𝒏 energi luar
energi dari luar elektron akan terjatuh ke dan
inti. momentum
teori atom Bohr bahwa anguler
masing-masing kulit
memiliki tingkat energi
tertentu (diskrit) dan
lintasannya bersifat stasioner
Tabel 2 menyajikan kelompok kategori jawaban yang diberikan oleh mahasiswa.
Jawaban mahasiswa pada tes pemahaman dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
besar. Terdapat kelompok mahasiswa yang hanya mampu menjelaskan teori bohr saja,
sedang lainnya mampu menjelaskan teori bohr dan membandingkannya dengan teori
rutherford. Jumlah mahasiswa yang memberikan jawaban sesuai pernyataan pada Tabel
2 disajikan dalam bentuk persentase pada Tabel 3 berikut.
Responden A26 menjelaskan model teori atom Bohr dengan mengambil sedikit
bagian dari postulat yang dikemukakan oleh Bohr, sehingga dapat menimbulkan
kesalahpahaman. Kesulitan dalam menjelaskan perkembangan teori atom disebabkan
oleh pemahaman mahasiswa yang cenderung terkunci pada pandangan teori atom
secara klasik (Olsen, 2001). Konsep teori atom yang popular diajarkan pada jenjang
pendidikan formal pada umumnya terhenti pada model atom Bohr. Hal ini
mengakibatkan adanya konsep yang hilang yaitu terkait teori atom pada tinjauan
kuantum.
SIMPULAN
Pengidentifikasian kemampuan mahasiswa dalam memahami teori atom telah
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tentang teori atom Bohr
sangat baik meskipun dengan tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Sebanyak 27.1%
mahasiswa memberikan penjelasan dalam taraf teori atom bohr saja, sedangkan 67.5%
mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan teori atom bohr dengan teori atom
rutherford. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemahaman mahasiswa
tentang teori bohr tergolong sangat baik.
REFERENSI
Adams, K. 2012. Beginning Chemistry Teachers Use of the Triplet Relationship During
their First Three Years in the Classroom. Disertasi. Arizona: Arizona State
University.
Budde, M., H. Niedderer, P. Scott, dan J. Leach. 2002. ‘Electronium’: A Quantum Atomic
Teaching Model. Physics Education 37 (3): 197-203.
Chiu, M.H. 2005. A National Survey of Students’ Conceptions in Chemistry in Taiwan.
Chemical Education International 6 (1): 1-7.
Horton, C. 2004. Student Preconceptions and Misconceptions in Chemistry. Arizona:
Arizona State University.
Kalkanis, G., P. Hadzidaki, D. Stavrou. 2003. An Instructional Model for a Radical
Conceptual Change Towards Quantum Mechanics Concepts. International Journal
of Sciences Education 87 (1): 257-280.
Mansoor, N. dan B. Coştub. 2009. Presentation of Atomic Structure in Turkish General
Chemistry Textbooks. Chemistry Education: Research and Practice 10 (1): 233–240.
Nahum, T.L., A. Hofstein, dan M. Naaman. 2004. Can Final Examination Amplify Student’s
Misconception in Chemistry?. Chemistry Education: Research and Practice 5 (3):
301-325.
Nakiboglu, C. 2003. Instructional Misconception of Turkish Propective Chemistry
Teachers about Atomic Orbital and Hybridization. Chemistry Education: Research
and Practice 4 (2): 171-188.
Abstrak
Kemajuan pendidikan menuntut siswa untuk memiliki kemampuan literasi di berbagai
bidang yang diawali dengan adanya minat baca. Minat baca siswa sekolah menengah masih
tergolong rendah, sehingga perlu terobosan dalam membangun minat dan kebiasaan
membaca. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
menumbuhkan minat baca di kalangan siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kemampuan literasi sains siswa melalui penerapan GLS. Pengumpulan data dilakukan pada
30 siswa kelas X di SMK Pelayaran Semarang. Teknik pengumpulan data berupa instrumen
tes literasi sains, angket respon siswa, dan wawancara. Data dianalisis secara deskriptif
kualitatif untuk mengetahui kemampuan literasi siswa pada aspek kompetensi sains pada
tiga indikator mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan
bukti ilmiah. Kategori ketercapaian kompetensi sains siswa menunjukkan bahwa penerapan
GLS berperan pada kemampuan literasi sains siswa.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang semakin pesat sehingga
dibutuhkan sumber daya manusia berkualitas tinggi agar mampu berkompetisi dengan
bangsa lain. Kualitas sumber daya manusia dapat terwujud seiring dengan kemajuan
pendidikan. [1]
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi salah satu jalur pendidikan yang
membentuk keterampilan dan keahlian sesuai tuntutan globalisasi. SMK mempunyai
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)
terutama pada lulusan yang dihasilkan. Siswa lulusan SMK merupakan tenaga siap pakai
dengan tuntutan ilmu pengetahuan yang memadai untuk mendukung spesialisasi bidang
keahlian dari SMK yang bersangkutan. [2]
Literasi sains menjadi penting dikembangkan untuk siswa SMK guna menghadapi
tantangan global di dunia usaha dan industri sebagai salah satu wujud aspek konteks
dimensi literasi sains. Literasi sains dapat menjadi modal dasar bagi siswa SMK untuk
menghadapi tantangan global tersebut. [3]
Literasi sains menurut Programme for International Student Assessment (PISA)
merupakan kapasitas seseorang untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan
ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan
bukti dan data yang ada agar memahami alam semesta dan membantu membuat
keputusan dari perubahan yang terjadi karena interaksi manusia dengan alam[4].
Pengetahuan siswa menurut kerangka PISA harus konsisten pada dunia siswa yang
meliputi pribadi, sosial, dan global yang mencakup lima bidang aplikasi yaitu kesehatan,
sumber daya alam, lingkungan, bahaya, dan batas-batas ilmu pengetahuan dan
teknologi. (PISA, 2015).[5]
Cakupan pengetahuan pada konteks PISA sesuai dengan standar kompetensi yang
harus dimiliki siswa SMK sebagaimana tercantum pada Permendiknas No.23 tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) siswa SMK. Hal ini juga sejalan dengan
tujuan pada kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi siswa SMK yaitu
mengembangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis siswa. [6]
Kemampuan siswa diduga berpengaruh terhadap literasi sains. Jika siswa memiliki
kemampuan akademik rendah dapat dikatakan bahwa literasi sains siswa juga masih
rendah. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa siswa yang berkemampuan awal tinggi
akan lebih cepat menyerap materi daripada siswa yang berkemampuan awal rendah [7]
Kemampuan literasi sains siswa yang masih rendah dikarenakan rendahnya minat
baca di kalangan siswa, sehingga perlu terobosan dalam membangun minat dan
kebiasaan membaca di kalangan para siswa. [8] Salah satu upaya pemerintah untuk
menumbuhkan minat baca di kalangan siswa sekolah adalah program Gerakan Literasi
Sekolah (GLS) sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 [9]
Gerakan Literasi Sekolah merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat
partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah, akademisi, penerbit, media
massa, dan masyarakat. Salah satu gerakan ini adalah melakukan kegiatan 15 menit
membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini diharapkan
dapat menghasilkan siswa dengan kemampuan literasi tinggi serta meningkatkan
kemampuan akademik siswa [10]
Penelitian Heather Thomas tahun 2013 pada evaluasi literasi menunjukkan bahwa
program literasi memiliki dampak positif terhadap praktik instruksional guru dan
kinerja siswa dalam membaca serta memiliki kontribusi dalam meningkatkan prestasi
siswa [11]. Penelitian ini mengkaji cakupan bidang literasi yang cukup luas sehingga
belum difokuskan pada kemampuan siswa yang mengalami peningkatan melalui
penerapan GLS.
Suciati Purwo dalam laporannya menyatakan gerakan literasi di Sekolah Dasar
mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang sangat diperlukan dalam
penerapan pembelajaran kreatif-produktif. [12] Hal ini sejalan dengan kemampuan yang
harus dimiliki siswa SMK sehingga perlu diketahui sejauh mana peran GLS dalam
menunjang kemampuan literasi sains siswa SMK.
Hasil-hasil penelitian tersebut mendorong dilakukannya kajian sejenis yang
bertujuan untuk menganalisis kemampuan literasi siswa melalui penerapan Gerakan
Literasi Sekolah. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar untuk menentukan
kegiatan pembelajaran yang tepat dan efisien guna meningkatkan kemampuan literasi
siswa sehingga menjadi bekal penunjang keterampilan di bidang kejuruan masing-
masing.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif
yang diarahkan untuk menggali data dari keadaan yang sebenarnya. Pengumpulan data
dilakukan pada 30 siswa kelas X jurusan Teknika dan Nautika di SMK Pelayaran
Semarang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa instrumen tes
kemampuan literasi sains yang berpedoman pada soal literasi sains PISA, angket respon
siswa, dan wawancara.
Penelitian ini diawali dengan melakukan tes kemampuan literasi sains dan
pemberian angket respon kepada siswa kelas X mengenai gambaran pelaksanaan GLS.
Data hasil tes kemampuan literasi dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk
mengetahui kemampuan literasi siswa pada aspek kompetensi sains pada tiga sub
domain literasi sains yaitu mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah,
dan menggunakan bukti ilmiah. Sebaran sub domain literasi sains seperti disajikan pada
Tabel 1 berikut.
Jumla
Indikator Nomor Butir Soal
h
Mengidentifikasi isu
2.2; 2.3; 3.1; 4.3; 5.1 5
ilmiah
Menjelaskan
1.2; 2.1; 2.4; 3.2; 5.3 5
fenomena ilmiah
Menggunakan bukti
1.1; 4.1; 4.2; 5.2 4
ilmiah
Jumlah pertanyaan 14
40%
30%
20%
10% 0%
0%
Tinggi Sedang Rendah
Kategori
Gambar 1. Grafik Persentase Kemampuan Literasi Sains Siswa
Gambar 1 menunjukkan hasil kemampuan literasi sains siswa SMK kelas X berada
pada kategori tinggi yaitu dengan nilai rata-rata 40%, kategori sedang 60%, dan
kategori rendah 0%. Hal ini menunjukkan siswa di SMK Pelayaran Semarang sudah
memiliki kemampuan literasi yang cukup baik guna menunjang keterampilan siswa
pada bidang teknika dan nautika.
Kemampuan literasi sains siswa dengan kategori sedang menunjukkan siswa sudah
bisa disiapkan untuk mengikuti pembelajaran sains yang didalamnya terdapat proses
pemecahan masalah serta interaksi sains dengan kemajuan teknologi dan masyarakat.
[14] Kemampuan literasi sains siswa dapat digunakan sebagai dasar pembelajaran di
kelas guna meningkatkan kemampuan menggali informasi di bidang pelayaran.
Persentase siswa dominan berada pada kategori sedang terjadi karena siswa tidak
teliti dalam membaca dan mengerjakan soal. Hal ini terlihat pada jawaban siswa yang
masih banyak dikosongkan atau tidak memberikan jawaban pada soal literasi sains.
70.00% 62.32%
56.90% 59.40%
60.00%
50.00%
40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
1 2 3
SIMPULAN
Kemampuan literasi sains siswa dengan kategori sedang. Capaian literasi sains
untuk indikator mengidentifikasi isu ilmiah sebesar 56,90%, menjelaskan fenomena
ilmiah sebesar 59,40%, dan menggunakan bukti ilmiah sebesar 62,32%. Ketiga indikator
tersebut termasuk dalam kategori sedang. Sub domain kompetensi yang paling banyak
dikuasai oleh siswa adalah menggunakan bukti ilmiah.
Respon yang diberikan siswa terhadap penerapan Gerakan Literasi Sekolah
menunjukkan korelasi yang sesuai dengan kemampuan literasi sains siswa yang
dominan berada pada kategori sedang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada SMK Pelayaran Semarang dan seluruh pihak yang telah
berkenan membantu menyelesaikan penelitian ini.
REFERENSI
Jaya, Sang Putu Sri. 2012 Contextual Physics Module Development to IMPROVE
Students’ Achievement in Studying Physics for Class X in Semester 2 Of SMK Negeri
3 Singaraja. Universitas Ganesha. Tidak diterbitkan
Solikha, Dian Farkhatus. 2016. Bahan Ajar Asam-Basa Menggunakan Konteks Bahan
Pengawet Makanan untuk Mengembangkan Literasi Sains SMK Jurusan Teknologi
Pengolahan Hasil Pertanian (TPHP). Hal.59-66.
Setiawati, Dwi Murni. 2013. Analisis Literasi Sains Guru Biologi SMA dan Penerapannya
dalam Proses Mengembangkan LKS Inkuiri. Tesis Magister pada Pascasarjana UPI
Bandung : Tidak Diterbitkan.
OECD. 2013. PISA 2012 Results.
PISA. 2012. Assessment Framework Key Competencies In Reading, Mathematics and
Science. OECD.
BSNP. (2006). Permendiknas No.23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Jakarta : Depdiknas.
Astuti, P. 2015. Skripsi Pengaruh Kemampuan Awal dan Minat Belajar terhadap
Prestasi Belajar Siswa. Program Studi Teknik Informasi , Fakultas Teknik,
Matematika dan IPA. Universitas Indraprasta PGRI.
Diana, S. (2015). Penerapan Strategi Peer Assisted Learning (PAL) untuk Meningkatkan
Kemampuan Literasi Sains Mahasiswa dalam Perkuliahan Fisiologi Tumbuhan.
Unpublished Laporan Penelitian Pendidikan Biologi Departemen Pendidikan
Biologi UPI. Bandung.
Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Rohand, Tine Silvana Rachmawati, dan Yunus Winoto. Apresiasi Orangtua Siswa
Terhadap Program Gerakan Literasi Sekolah. Prosiding Seminar Nasional
Komunikasi Hal. 21-31. 2016
Heather Thomas. 2013. An evaluation of the literacy program at GaribaldiGrade School.
Disertasi. Doctor of Education. George Fox University.
Purwo, Suciati. Peran Gerakan Literasi Sekolah dalam Pembelajaran Kreatif-Produktif di
Sekolah Dasar. Dewantara. Vol 3 No 4 Maret 2017
Diana, Sariwulan et al. 2015. High School Students’ Scientific Literacy Profile Based on
Scientific Literacy Assessments (SLA) Instruments. Seminar Nasional XII
Pendidikan Biologi FKIP UNS. Tidak diterbitkan.
Saeful Rohman, Ani Rusilowati, dan Sulhadi. Analisis Pembelajaran Fisika Kelas X SMA
Negeri di Kota Cirebon Berdasarkan Literasi Sains. Physics Communication. Vol 1
No. 2 Hal.12-18. 2017
Abdul Haris Odja dan Citron S.Pay. 2014. Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Siswa
pada Konsep IPA. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. Tidak diterbitkan
Abstrak
Kegiatan evaluasi pembelajaran menjadi bagian terpenting dalam mengukur keberhasilan
pembelajaran. Kebutuhan mengembangkan alat ukur belajar menjadi sebuah tantangan
besar dalam mengungkap performa peserta didik serta menjadi umpan balik yang berguna
bagi para pendidik. Hasil penelitian ini dijadikan sebagai masukan bagi dosen dan
mahasiswa dalam mengembangkan alat ukur pembelajaran IPA yang sesuai kebutuhan
pembelajaran, khususnya mata kuliah IPA di perguruan tinggi Agama Islam. Tujuan
Penelitian ini untuk mengungkapkan persepsi dosen mengenai keterlaksanaan proses
evaluasi pada mata perkuliahan IPA, manfaat dan relevansinya dalam mengungkap capaian
integrasi antara IPA dan religius. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
metode deskriptif melalui survei berbantukan quesioner(angket), studi literatur,
dokumentasi. Proses tabulasi data dan analisis terhadap informasi berguna dalam
memberikan kesimpulan.
PENDAHULUAN
Kemajuan peradaban suatu negara tercermin dari mutu dan kualitas
pendidikannya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan tumpuan dan
tonggak perkembangan masyarakat dan teknologi. Pendidikan memiliki peran sebagai
sistem yang terorganisir secara baik harus mampu membentuk karakter peserta didik
menjadi manusia yang lebih baik. Input dari proses pendidikan tersebut seyogyanya
mampu ditransformasi menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya agar kelak
menghasilkan output yang berkualitas. Salah satu pendukung utama adalah peranan
pendidik agar hasil yang diharapkan peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran
dan menghasilkan output yang berkualitas agar tercapai.
Keberlangsungan pelaksanaan pembelajaran di perguruan tinggi tidak terlepas
dengan tujuan kurikulum yang digunakannya. Pendidik sebagai ujung tombak
impelementasi kurikulum berkewajiban memahami kurikulum dengan baik. Kebutuhan
kondisi ini menjadi fenomena baru khususnya di beberapa perguruan tinggi Islam yang
melakukan tranformasi intitusi atau kelambagaan serta mengembangkan kebutuhan
perkuliahan dengan memadukan visi dan misi insituti secara beriringan. Wujud
perpaduan tersebut terungkap dengan banyaknya institusi perguruan tinggi Islam
berlomba-lomba memunculkan gagasan yang mewujudkan integrasi antara ilmu-ilmu
dasar dengan kerohanian yang diwujudkan dalam visi dan misi perguruan tinggi
tersebut.
Ketercapaian implementasi kurikulum di perguruan tinggi dapat diukur dengan
berbagai faktor pendukung, salah satunya adalah pemahaman pendidik di dalam
melaksanakan tuntunan tersebut dalam pembelajaran di kelas. Kualitas ketercapaian
pelaksanaan kurikulum integrasi dapat diketahui dengan melakukan proses evaluasi
pembelajarannya. Pendidik/dosen diharapkan dapat menentukan teknik yang tepat
dalam melakukan evaluasi perkuliahan agar sesuai dengan tuntutan kurikulum
perguruan tinggi dan standar visi misi insitusi.
METODE PENELITIAN
Kegiatan riset ini dilaksanakan di perguruan tinggi Agama Islam yang memiliki
Program PGMI yang ada di kota Semarang dan sekitarnya, terutama pada dosen yang
mengampu mata perkuliahan Konsep dasar IPA. Beberapa tahapan dalam penelitian ini
meliputi kegiatan persiapan yang terdiri dari kegiatan observasi, pembuatan instrumen,
pelaksanaan penjaringan data melalui questionnaire (angket). Data yang diperoleh
IPA mendapatkan porsi paling besar 90,9% dari tanggapan dosen. Sedangkan sisanya
9,1% masih berpedoman pada intrumen soal ujian tengah semester, ujian akhir
semester dan penugasan. Keselurahn dosen mengungkapkan bahwa alat ukur tes
tertulis masih relevan dipergunakan untuk mengungkap kompetensi mahasiswa.
Sedangkan 81,8% dosen menggunakan intrumen non tes lainya berupa penugasan,
portofolio, penilaian proyek dan produk sebagai alternatif dalam mengukur hasil
belajar IPA mahasiswa.
Ukuran tranparansi hasil belajar IPA mendapatkan tanggapan sebesar 18,1%
bahwa dosen sepakat untuk secara terbuka memberikan informasi perolehan hasil
belajar IPA, baik penugasan, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Sisanya
81,9% sepakat untuk menyimpan sebagai dokumen hasil belajar IPA tersebut sebagai
dokumen pribadi. Hal ini terlihat dengan banyaknya informasi dari mahasiswa bahwa
hasil penilaian dan penugasan baik yang berupa lembar jawaban tertulis maupun tugas-
tugas pendukung lainnya tidak kembali ke tangan mahasiswa. Dengan kondisi seperti ini
menunjukkan bahwa dosen tidak memberikan peluang kepada mahasiswa untuk
melakukan konfirmasi nilai kepada dosen yang bersangkutan.
Berpijak pada informasi di atas, sudah tentu bawah tanggapan terhadap
objektifitas dalam melakukan proses penilaian masih jauh dari harapan. Demikian
halnya dosen belum memberikan keadilan dalam berbagi peran sebagai pendidik secara
terbuka menginformasikan bentuk penilaian kepada mahasiswa. Idealnya proses
penilaian yang diberikan kepada mahasiswa memberikan stimulan agar semangat
mahasiswa berusaha untuk mampu meningkatkan hasil belajar. Bukan sebaliknya
menurunkan gairah belajar mahasiswa.
Tahapan perencanaan pelaksanaan penilaian sesuai jadwal yang tertuang dalam
RPS ataupun silabus dilaksanakan sesuai tepat waktu, sesuai dengan seluruh dosen.
Demikian halnya dengan alokasi waktu, semua dosen mengungkapkan bahwa waktu
pengerjaan soal ujian telah ditelaah sesuai dengan jumlah soal, bobot soal, tingkat
kesukaran walaupun tidak menggunakan analisis yang jelas.
Mengenai ranah penilain yang diberikan dosen mengungkapkan bahwa bentuk
soal yang dibuat oleh dosen apakah telah mencakup ranah kognitif dan psikomotorik,
hal ini juga diungkap oleh mahasiswa bahwa 95,4% mahasiswa menyatakan bahawa
evaluasi yang dibuat dosen telah mencakup semua ranah, baik kognitif, psikomotorik,
sedangkan ranah afektif belum tersentuh. Kondisi ini berbeda dengan melihat RPS atau
silabus yang mengungkapkan bahwa penilaian yang digunakan memiliki kesetaraan
pada ranah kogntif, ranah psikomotorik dan ranah afektif. Kondisi ini berkebalikan
dengan tanggapan dosen yang mengungkapkan bahwa 85% dosen memberikan
penilaian terhadap aktivitas belajar siswa melalui pengalaman belajar mahasiswa,
sedangkan sisanya 15% tidak bisa melaksanakan secara baik dikarenakan keterbatasan
alokasi waktu.
Tanggapan personal dosen pengampu perkuliahan IPA dalam mengembangkan
penilaian hasil belajar IPA tercermin dari kesiapan dosen dalam membuat kisi-kisi soal-
soal ujian, tanggapan dosen diperoleh bahwa 72,7% mengembangkan kisi-kisi kognitif,
40,9% mengembangkan kisi-kisi psikomotorik dan 18,1% yang mengembangkan kisi-
kisi penilaian ranah afektif. Hal ini tentunya berkebalikan dengan kondisi yang
diharapakan. Dosen harus memetakan tujuan dan indikator perkuliahan IPA yang
kemudian dijadikan rujukan untuk mengembangkan kisi-kisi penilaian sesuai ranah
kognitif, psikomotorik dan afektif.
Penjabarkan materi perkuliahan pada silabus ataupun RPS seyogyanya harus
bersesuaian dengan perancangan penilaian hasil belajar. Demikian halnya peran dan
fungsi visi serta misi institusi sejalan dikembangkan dengan silabus atau RPS serta
proses penilaian hasil belajarnya. Perkembangan institusi perguruan tinggi Agama Islam
SIMPULAN
1. Secara umum persepsi dosen terhadap penyusunan alat penilaian hasil belajar IPA
sudah berjalan dengan baik meskipun terdapat kekurang-kekurangan yang perlu
segera diperbaiki berkaitan dengan tujuan institusi dan karakteristik mata kuliah
IPA.
2. Kekurangan yang terlihat pada pengembangan alat penilaian hasil belajar yang
mampu mengintergasikan antara kompetensi IPA dan religius yang menjadi
kesatuan dengan perangkat perkuliahan berupa silabus atau RPS.
3. Kebanyakan dosen tidak mengembangkan kisi-kisi penilaian perkuliahan IPA
secara benar dan masih bertumpu kepada ranah konitif dan psikomotorik
sedangkan ranah afektif masih jauh dari harapan. Ini menunjukkan bahwa kegiatan
evaluasi tidak bersesuai kegiatan pembelajaran.
4. Dosen berharap mendapatkan literatur dan informasi pendukung agar dapat
mengembangkan alat penilaian IPA yang mengintegrasikan antara IPA dan Agama
secara baik sesuai tuntuan institusi.
SARAN
1. Semua dosen IPA dan dosen keagamaan yang memiliki displin ilmu yang berbeda
hendaknya bersama-sama membangun dan meningkatkan kualitas diri serta
berkolaborasi sehingga memiliki kemampuan yang lebih dalam mengembangkan
perangkat perkuliahan dan penilaian hasil belajar yang berintegrasi sains dan
agama.
2. Penilaian hasil belajar IPA seyogyanya dikembangkan secara kolaborasi yang
mampu mengukur ranah kogntif, psikomotorik dan afektif mahasiswa.
3. Dosen sebaiknya menggunakan perangkat perkuliahan dan penilaian hasil IPA yang
terintgerasi agar sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan institusi dengan
mengutamakan integrasi antara sains dan agama berjalan beriringan.
REFERENSI
Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosda
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:
Bumi Aksara.
Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur).Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset.
Cepi Triatna, 2015. Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Bimo Walgito, 2010. Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Drever, J. 1990. Kamus Psikologi. Diterjemahkan oleh Nancy. Jakarta: Binja Aksara.
Abstrak
Fisika menjadi fondasi pada kompetensi kejuruan SMK bidang teknologi dan rekayasa.
Pentingnya fisika tidak diiringi dengan tingginya motivasi siswa SMK belajar fisika. Tujuan
penelitian ini yaitu untuk mengkaji efektifitas model Project Based Learning (PjBL) dalam
meningkatkan motivasi siswa SMK untuk belajar fisika. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian adalah siswa kelas XI TKR 1 (Teknik Kendaraan
Ringan). Instrumen penelitian berupa angket motivasi belajar dan lembar wawancara.
Angket motivasi belajar diberikan sebelum dan setelah pembelajaran menggunakan model
PjBL. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai persentase setiap aspek motivasi setelah
pembelajaran model PjBL mengalami peningkatan. Hasil wawancara juga menunjukkan
bahwa siswa menjadi termotivasi untuk belajar fisika setelah mengikuti pembelajaran model
PjBL. Oleh karena itu, model PjBL dapat diimplementasikan dalam pembelajaran untuk
meningkatkan motivasi belajar siswa SMK.
PENDAHULUAN
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bertujuan untuk menyiapkan siswa menjadi
tenaga kerja profesional dan mampu menghadapi tantangan masa depan yang
diselaraskan dengan perkembangan teknologi [1]. Pada SMK yang berbasis teknologi
dan rekayasa, fisika merupakan salah satu fondasi pada kompetensi kejuruan yang
mendasari perkembangan teknologi [2]. Agar dapat mengikuti perkembangan teknologi
bekal hard skill siswa SMK harus dibangun berdasarkan pemahaman konsep fisika yang
baik [3].
Terdapat keunggulan khusus pada siswa SMK, yaitu hard skill siswa dapat
dimanfaatkan untuk membuat alat bantu pembelajaran melalui tugas berbasis proyek
[4]. Alat bantu pembelajaran yang dihasilkan oleh siswa dapat dimanfaatkan untuk
melakukan kegiatan pembelajaran yang berbasis proyek.
Model Project Based Learning (PjBL) membutuhkan suatu pendekatan pengajaran
yang komprehensif. Lingkungan belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan
penyelidikan terhadap masalah-masalah yang autentik. Dengan model PjBL ini siswa
juga dapat melakukan pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan
melaksanakan berbagai tugas yang bersifat kontekstual [5].
Model PjBL memuat tugas-tugas yang kompleks berdasarkan permasalahan
(problem) yang diberikan kepada siswa. Kegiatan yang dilaksanakan dalam model PjBL
meliputi brainstorming terhadap bidang kajian, merumukan fokus masalah, merancang
produk yang akan diibuat, membuat jadwal, melaksanakan pembuatan produk, diskusi
dan bimbingan, penyelesaian produk, dan presentasi produk [6].
Pembelajaran berbasis proyek untuk mata pelajaran fisika juga telah banyak
dilakukan oleh para peneliti, di antaranya oleh Yance dkk di tahun 2013. Dalam
tulisannya dia melaporkan bahwa model PjBL mampu meningkatkan kemandirian
siswa [7]. Tekait dengan peningkatan motivasi belajar, penelitian model PjBL pada siswa
SMA juga sudah dilakukan oleh Rahmini dkk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
model PjBL dapat meningkatkan motivasi belajar siswa meski hanya sampai pada
tingkatan sedang [8].
Hasil-hasil tersebut di atas semuanya dengan subyek penelitian siswa sekolah umum.
Hal ini mendorong dilakukannya kajian sejenis dengan subjek siswa SMK yang memiliki
keterampilan untuk menghasilkan karya-karya yang kreatif [9]. Secara umum siswa
SMK sebagian besar memiliki motivasi akademik yang tidak terlalu besar karena
orientasi mereka menempuh pendidikan adalah untuk memperoleh keterampilan yang
berguna secara langsung untuk bekerja. Beberapa pelajaran yang bersifat akademik
formal seperti fisika cenderung tidak diminati [10]. Oleh karena itu, penelitian tentang
peningkatan motivasi belajar siswa SMK dengan PjBL menjadi sangat penting.
Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji efektifitas model Project Based Learning
(PjBL) dalam meningkatkan motivasi siswa SMK untuk belajar fisika.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada siswa SMK Muhammadiyah Kajen kelas XI TKR 1
(Teknik Kendaraan Ringan) yang berjumlah 36 siswa. Teknik penelitian dengan
memberikan perlakuan berupa pembelajaran model Project Based Learning (PjBL) pada
materi induksi elektomagnetik. Pembelajaran PjBL tersebut dilakukan selama 3 kali
pertemuan. Pertemuan pertama, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan setiap
kelompok mengajukan rencana proyek yang akan dibuat. Pertemuan kedua, setiap
kelompok membuat proyek sesuai dengan rencana. Pertemuan ketiga, setiap kelompok
mengumpulkan laporan proyek dan mempresentasikan hasil proyek.
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui angket motivasi dan lembar wawancara.
Angket motivasi diberikan sebelum dan setelah pembelajaran materi induksi
elektomagnetik. Angket motivasi dan lembar wawancara menggunakan model motivasi
ARCS yang diadaptasi dari Keller [11]. Aspek motivasi ARCS meliputi perhatian
(attention), keterkaitan (relevance), percaya diri (convidance), dan kepuasan
(satisfaction).
Angket motivasi berupa angket skala likert yang terdiri dari 25 item pernyataan
positif dan negatif. Setiap item pernyataan memiliki rentang skor antara 1 sampai 5.
Pernyataan positif memiliki skor maksimal 5 sedangkan pernyataan negatif memiliki
skor maksimal 1. Hasil angket dilakukan analisis persentase untuk setiap aspek
motivasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan dekriptif kualitatif.
daftar pertanyaan. Tahap penentuan topik tersebut menimbulkan rasa ingin tahu
sehingga menghasilkan perhatian siswa untuk belajar fisika.
Rasa ingin tahu yang muncul, ternyata memotivasi secara intrinsik untuk
memperhatikan pada proyek kelompok lainnya, sehingga mereka saling bertukar
pengalaman dalam pembelajaran secara langsung untuk memperoleh informasi.
Pembelajaran yang memunculkan rasa ingin tahu membuat siswa merasa perlu belajar
tanpa disuruh belajar [12].
Pada saat proses wawancara siswa menjelaskan bahwa mereka merasa tertantang
dengan proyek yang harus dikerjakan. Dengan antusias mereka yakin akan
keberhasilan menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Adanya perhatian siswa
terhadap pembelajaran menunjukkan bahwa mereka mempunyai minat untuk belajar.
Minat merupakan sumber motivasi yang kuat untuk belajar [13].
Peningkatan pada aspek keterkaitan (relevance) terjadi karena model PjBL
mengharuskan siswa untuk membuat proyek yang merupakan aplikasi fisika dalam
kehidupan sehari-hari. Saat wawancara mereka menjelaskan bahwa baru menyadari
ternyata fisika erat kaitannya dengan dunia nyata. Pembelajaran PjBL mendorong siswa
melakukan penyelidikan terkait masalah dunia nyata, memberikan mereka semangat
belajar dan pengajaran menjadi efektif [7].
Model PjBL dapat meningkatkan aspek percaya diri (convidance). Rasa percaya diri
siswa meningkat saat mereka mulai merancang proyek. Tahap ini membuat siswa
merasa sebagai ilmuwan yang menggunakan ilmunya untuk menghasilkan sebuah
proyek.
Keberhasilan proyek yang dihasilkan dapat menumbuhkan percaya diri pada siswa.
Pada saat presentasi, terlihat siswa yang awalnya rendah diri karena memiliki
kemampuan matematis yang lemah dapat menjelaskan konsep dari produk yang
dihasilkan dengan penuh rasa percaya diri. Pembelajaran yang memberikan kebebasan
kepada siswa untuk mengkonstruksi pemikiran dan temuan secara mandiri akan
meningkatkan percaya diri [14].
Peningkatan pada aspek kepuasan (satisfaction) terlihat dari mereka berusaha
menyelesaikan setiap masalah produk yang mereka temui. Sampai pada akhirnya
mereka memiliki kepuasan ilmiah melihat produk yang mereka hasilkan sesuai dengan
rencana. Proyek yang dikerjakan dapat dianggap puzzle yang dapat membangkitkan
motivasi pada saat mengontrol, mengevaluasi, dan mengoperasikan proyek mereka
sehingga membangkitkan kepuasan siswa dalam pembelajaran [7].
Aspek kepuasan (satisfaction) mengalami peningkatan yang lebih rendah
dibandingkan aspek yang lain. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa merasa belum mendapatkan hasil proyek yang maksimal karena terkendala
kurangnya waktu pengerjaan. Tugas proyek lebih dekat dengan kenyataan sehingga
secara profesional membutuhkan waktu yang lebih lama dari pembelajaran yang lain
karena proyek lebih diarahkan untuk penerapan pengetahuan [15].
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Project Based Learning pada
pelajaran fisika dapat meningkatkan empat aspek motivasi ARCS yang meliputi
perhatian (attention), keterkaitan (relevance), percaya diri (convidance), dan kepuasan
(satisfaction). Model pembelajaran Project Based Learning dapat dijadikan salah satu
alternatif untuk meningkatkan motivasi siswa SMK belajar fisika.
REFERENSI
Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standa Nasional
Pendidikan. Jakarta: Dirjen Dikti.
Maknun, J, dkk. 2013. Analisis Kemahiran Generik yang dikembangkan Pelajaran Fisika
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Topik Kinematika Partikel. Jurnal Pendidikan
Teknologi dan Kejuruan, 1 (1): 1-14.
Doyan, A. & I. K. Y. Sukmantara. 2014. Pengembangan Web Intranet Fisika untuk
Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
SMK. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 10 (2): 117-127.
Luthvitasari, N., N.M. D. Putra, S. Linuwih. 2013. Implementasi Pembelajaran Berbasis
Proyek pada Keterampilan Berpikir dan Kemahiran Generik Sains. Innovative
Journal of Curriculum and Educational Technology, 2 (1): 159-164.
Kubiatko, M. & I. Vaculová. 2011. Project-Based Learning: Characteristic and The
Experiences with Application in The Science Subjects. Energy Education Science
and Technology Part B: Social and Educational Studies, 3 (1) : 65-74
S. Mihardi, M.B. Harahap, R.A. Sani. 2013. The Effect of Project Based Learning Model
with KWL Worksheet on Student Creative Thinking Process in Physics Problems.
Journal of Education and Practice, 4 (25): 188-198.
Bagheri, M., dkk. 2013. Effect of Project Based Learning Strategy on Self-Directed
Learning Skills of Educational Technology Students. Contemporary Educational
Technology, 4 (1): 15-19.
Rahmini, Muris, B. D. Amin. 2015. Pengaruh Pembelajaran Berbasisis Proyek terhadap
Motivasi Belajar Fisika Peserta Didik Kelas I MIPA SMA Negeri Sengkang. Jurnal
Sains dan Pendidikan Fisika, 11 (2): 161-168.
Kisti, H. H. & N. A. Fardana. 2012. Hubungan antara Self Efficacy dengan Kreativitas pada
Siswa SMK. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1 (2): 52:58.
Junaedi, A. & C. Huda. 2010. Peningkatan Hasil Belaja Fisika Teknologi Melalui
Pembelajaan Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization di Kelas I-AV
Semester Genap SMK Futuhiyyah Mranggen Demak. JP2F, 1 (2): 141-148.
Keller. 2010. Motivational Design for Learning and Performance. New York: Springer.
Febriastuti, Y.D., S. Linuwih, Hartono. 2013. Peningkatan Kemandirian Belajar Siswa
SMP Negeri 2 Geyer Melalui Pembelajaran Inkuiri Berbasis Proyek. Unnes Physics
Education Journal, 2 (1): 27-33.
Yulianti, D & Fianti. 2010. Penerapan Model Bermain Berbasis Kontekstual untuk
meningkatkan Minat Sains Siswa Sekolah Dasar. Lembaran Ilmu Kependidikan, 1
(1): 48-53.
Yuliati, D.I., D. Yulianti, S. Khanafiyah. 2011. Pembelajaran Fisika Berbasis Hands on
Activities untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa SMP. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7 (1): 23-27.
Kubiatko, M. & I. Vaculová. 2011. Project-Based Learning : Characteristic and The
Experiences with Application in The Science Subjects. Energy Education Science
and Technology Part B : Social and Educational Studies, 3 (1) : 65-74
Abstrak
Fenomena fisika dapat memunculkan pemahaman klasik dan kuantum. Pemahaman tersebut
dapat digunakan untuk memvisualisasikan konsep fisika diantaranya foton dan elektron
beserta pengukurannya secara matematis. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
pemahaman klasik dan kuantum terhadap visualisasi foton dan elektron selama kuliah satu
semeter. Metode penelitian ini dengan menggunakan tes uraian yang diberikan kepada
mahasiswa semester 6 pendidikan fisika Universitas Negeri Semarang. Hasil jawaban
mahasiswa dianalisis secara deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan pemahaman
kuantum tentang visualisasi foton dan elektron serta pengukurannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemahaman kunatum yang bersifat partikel dan dualisme berturut-
turut adalah 62,2% dan 21,6% pada visualisasi foton, serta 91,9% dan 2,7% pada visualisasi
elektron. Pengukuran foton dan elektron secara matematisnya adalah 40,5% dengan bersifat
partikel dan 51,4% dengan bersifat dualisme.
PENDAHULUAN
Awal mulanya fisika hanya dipandang secara Newtonian atau secara klasik. Fisika
klasik menjadi pola pikir bagi mahasiswa yang telah menerima materi fisika selama
SMA. Perkembangan fisika secara klasik menjelaskan permasalahan atau fenomena yang
sederhana. Banyak fenomena fisika yang tidak dapat dijelaskan dengan klasik
diantaranya radiasi benda hitam, efek fotolistrik dan hamburan Compton (Sutopo,
2003). Gagalnya fisika klasik menyebabkan terjadinya loncatan pemikiran dari klasik
menuju kuantum. (Kural & Kucakulah, 2010).
Perkembangan fisika klasik menuju ke kuantum dibutuhkan suatu pemahaman yang
baik (Kizilcik and Yavas, 2017). Menurut Bloom (Winkel, 2004: 274) pemahaman
merupakan kemampuan untuk menangkap makna dari apa yang dipelajari. Kemampuan
memahami disebut dengan istilah “mengerti” mengenai konsep yang ada. Konsep dapat
dijelaskan secara verbal yaitu dengan teks atau kalimat yang dapat menjelaskan konsep
sehingga sebuah konsep dapat dipahami dan dikuasai oleh seseorang. Selain gambar
dan persamaan matematis, hubungan antar variabel fisis juga dapat dijelaskan dengan
sebuah grafik (Murtono, 2014).
Pemahaman dalam fisika kuantum digunakan untuk mempelajari partikel pada level
konstanta planck yang sangat penting untuk kemajuan teknologi. Berdasarkan
penelitian Saputra (2009) tentang komputer kuantum yang memanfaatkan fenomena
kuantum untuk mengganti komputer konvensional. Fisika kuantum digunakan sebagai
dasar dalam terciptanya komputer kuantum, sehingga teknologi yang ada saat ini tidak
terlepas dari perkembangan fisika kuantum.
Fisika kuantum merupakan salah satu matakuliah yang wajib dipelajari oleh
mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru. Tentunya konsep fisika kuantum yang
diterima oleh mahasiswa diharapkan dapat mengubah pola pikir mahasiswa menjadi
pemahaman fisika kuantum. Konsep yangg diterima mahasiswa dapat digunakan
sebagai pedoman dalam mengajar fisika kuantum. Menurut Koponen dan Heikkinen
(2005) mengajar fisika kuantum merupakan pekerjaan yang sulit. Selain metode
pebelajaran yang bagus tentunya konsep fisika kuantum yang diterima mahasiswa harus
benar.
METODE
Metode yang digunakan untuk memvisualisasikan foton dan elektron beserta
pengukuran matematisnya dengan menggunakan tes uraian. Subjek yang digunakan
adalah mahasiswa pendidikan fisika semester 6 fakultas MIPA Unnes dengan jumlah 37
mahasiswa. Jawaban mahasiswa kemudian dianalisis secara kuantitatif sederhana
dengan menggunakan analisis deskriptif presentase. Menurut Sudijono (2008) analisis
deskriptif presentase dapat diukur dengan persamaan di bawah ini.
𝑛
𝐷𝑃 = × 100%
𝑁
Keterangan:
DP = Deskriptif Persentase (%)
n = Jumlah mahasiswa yang menjawab
N = Jumlah mahasiswa total.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka yang dapat disimpulkan konsep foton dan
elektron beserta pengukurannya secara kuantum adalah sifat partikel dan dualisme
pada visualisasi foton adalah 62,2% dan 21,6%. Sifat partikel dan dualisme pada
visualisasi elektron adalah 91,9% dan 2,7%. Sifat partikel dan dualisme pada
pengukuran foton dan elektron secara kuantum dengan ungkapan matematisnya adalah
40,5% dan 51,4%.
REFERENSI
Caliskan, S., Selcuk, G. S., & Erol, M. 2009. Student Understanding of Some Quantum
Physical Concepts. Lat. Am. J. Phys. Educ. 3(2): 202-206.
Kizilcik, H. S. & Yavas, P. U. 2017. Pre-service Physics Teachers’ Opinions about the
Difficulties in Understanding Introductory Quantum Physics Topics. Journal of
Education and Training Studies. 5(1): 102-109.
Koponen, I. T. & Heikkinen, M. H. 2005. Understanding the photon concept and the
quantum nature of light: a case study of learning during an instructional unit
designed for student teachers. Journal of Baltic Science Education, 2 (8): 46-53.
Kural, M. & Kocakulah, M. S. 2010. Teaching fot hot conceptual change: toward a new
model, beyond the cold and warm ones. European Journal of Education Studies,
2(8): 1-40.
Lewerissa, K. K. et al. 2017. Insights into teaching quantum mechanics in secondary and
lower undergraduate education. Physical Review Physics Education Research. 13(1):
1-21.
* Email: qisthifariyani@walisongo.ac.id
Abstrak
Penelitian ini mengembangkan instrumen pilihan ganda empat tingkat pada materi Suhu dan
Kalor. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan karakteristik instrumen dan
mengidentifikasi miskonsepsi siswa pada materi Suhu dan Kalor. Jenis penelitian ini
termasuk Research and Development (R&D). Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA MA
Negeri Kendal tahun ajaran 2016/2017. Metode pengambilan data meliputi tes, angket,
wawancara, dan dokumentasi. Soal tes pilihan ganda yang dikembangkan terdiri atas empat
tingkatan, yaitu soal dengan pilihan jawaban, pilihan tingkat keyakinan jawaban, pilihan
alasan, dan pilihan tingkat keyakinan alasan. Berdasarkan validasi ahli, instrumen termasuk
valid. Reliabilitas instrumen juga tergolong tinggi, yaitu dengan koefisien Alpha 0,934.
Produk akhir soal tes yang dihasilkan berjumlah 50 butir soal. Dua butir soal termasuk
kategori mudah, 29 soal sedang, dan 19 soal sulit. Terdapat 31 butir soal dengan indeks daya
pembeda kurang dari 0,200 dan 19 butir soal berada pada kisaran 0,200 sampai 0,643.
Sebanyak 16 miskonsepsi Suhu dan Kalor ditemukan dari hasil tes menggunakan instrumen
pilihan ganda yang telah dikembangkan.
PENDAHULUAN
Banyak siswa menganggap fisika merupakan mata pelajaran yang sulit dan dapat
disamakan dengan matematika, yang banyak menggunakan angka dan rumus untuk
menyelesaikan soal [1]. Sebenarnya, dalam mempelajari fisika tidak hanya tentang
rumus dan angka, namun juga konsep. Konsep fisika banyak diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. ‘Pemahaman awam’ siswa dan orang dewasa tentang peristiwa
fisika sehari-hari cenderung sulit diubah [2] dan penggunaan istilah fisika yang kurang
tepat dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada siswa.
Miskonsepsi merupakan pemaha-man konsep yang tidak benar namun disertai
dengan data atau fakta yang terjadi [3]. Apabila tidak diperbaiki, miskonsepsi siswa
akan semakin menyebar luas dan sulit diluruskan.
Materi Suhu dan Kalor banyak berkenaan dengan konsep ilmiah. Selain itu,
materi tersebut juga penting dalam pembelajaran fisika karena banyak diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada bidang kimia dan teknologi [4]. Sayangnya,
secara konsep, banyak siswa yang mengalami miskonsepsi pada materi Suhu dan Kalor
[5]. Oleh karena itu, diperlukan instrumen khusus untuk dapat mengidentifikasi
miskonsepsi secara lebih akurat. Beberapa metode dapat digunakan untuk
mengidentifikasi miskonsepsi siswa yaitu dengan metode wawancara, tes open-ended
(terbuka), dan tes pilihan ganda [6]. Instrumen pilihan ganda empat tingkat lebih dipilih
karena dapat membedakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban dan
memilih alasan, sehingga dapat mengetahui tingkat pemahaman dan menggali
miskonsepsi siswa secara lebih detail [10].
Instrumen pilihan ganda empat tingkat merupakan pengembangan dari tes
diagnostik pilihan ganda tiga tingkat, dengan penambahan Confidence Rating (tingkat
keyakinan) pada masing-masing jawaban dan alasan, sehingga penggunaan instrumen
tersebut lebih akurat dalam mengetahui tingkat keyakinan jawaban dan alasan yang
dipilih siswa [7]. Instrumen pilihan ganda empat tingkat tersusun atas empat tingkatan.
Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci
jawaban yang harus dipilih siswa. Tingkat ke dua adalah tingkat keyakinan siswa dalam
memilih jawaban. Tingkat ke tiga berupa alasan siswa menjawab pertanyaan, meliputi
tiga pilihan alasan dan satu alasan terbuka. Tingkat ke empat berupa tingkat keyakinan
siswa dalam memilih alasan [8].
METODE
Penelitian ini termasuk Research and Development (R&D). Prosedur penelitian
yang digunakan menganut prosedur Borg & Gall. Terdapat 10 langkah dalam prosedur
pengembangan Borg & Gall, yaitu analisis kebutuhan dan pengumpulan informasi,
penetapan tujuan penelitian, pengembangan produk, uji coba skala kecil, revisi produk,
uji coba skala luas, revisi produk, uji lapangan, revisi produk akhir, diseminasi dan
implementasi [9]. Penelitian dilakukan hanya sampai pada tahap ke tujuh.
Uji coba soal yang dikembangkan dilakukan di MA Negeri Kendal. Sebanyak 29
siswa di kelas XI IPA 4 menjadi subjek untuk uji skala kecil, sedangkan untuk uji skala
besar dilakukan di kelas XI IPA 3 & XI IPA 6 yang berjumlah 57 siswa.
Teknik pengumpulan data melalui kegiatan tes, wawancara, pengisian angket,
dan dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap guru untuk mendapatkan respons
guru terhadap soal yang dikembangkan, sedangkan wawancara terhadap siswa
dilakukan untuk mendalami miskonsepsi yang ditemukan dari hasil tes. Pengisian
angket penilaian oleh siswa dilakukan setelah uji coba skala kecil, dan angket respons
dilakukan setelah uji skala besar. Apabila dari hasil angket penilaian instrumen
tergolong cukup baik, baik, atau sangat baik, maka instrumen dapat langsung digunakan
untuk uji skala besar tanpa revisi.
Analisis data penelitian meliputi analisis validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran,
daya pembeda, keberfungsian pengecoh, analisis angket, dan analisis miskonsepsi.
Pengujian validitas soal dilakukan oleh 2 dosen ahli di bidang evaluasi dan materi soal.
Analisis reliabilitas menggunakan persamaan Alpha Cronbach, sedangkan analisis
miskonsepsi menggunakan persamaan CDQ = (CFC- CFW)/S. CFC merupakan rata-rata
tingkat keyakinan siswa yang menjawab dengan benar, CFW merupakan rata-rata
tingkat keyakinan siswa yang menjawab dengan salah, dan S merupakan standar deviasi
tingkat keyakinan [10]. CDQ akan mengindikasikan apakah siswa dapat membedakan
antara apa yang mereka pahami dengan apa yang tidak mereka pahami. Apabila CDQ
bernilai negatif, berarti tingkat keyakinan siswa lebih tinggi saat memilih jawaban yang
salah, dibanding saat memilih jawaban yang benar.
Karena bingung untuk menjawab suatu soal, Setya bertanya pada teman-temannya,
“Jika dituangkan 100 gram es bersuhu 0oC dan 100 gram air bersuhu 0oC ke dalam
sebuah bejana, manakah antara es dan air yang kehilangan lebih banyak kalor karena
adanya transfer kalor?”. Bagaimana jawaban Anda untuk membantu Setya?
a. 100 gram air lebih banyak kehilangan kalor dibanding 100 gram es.
b. 100 gram es lebih banyak kehilangan kalor dibanding 100 gram air.
c. 100 gram air maupun 100 gram es tidak mengalami transfer kalor.
d. 100 gram air maupun 100 gram es tidak mengalami kehilangan kalor namun
mengalami penyerapan kalor.
Apakah Anda yakin dengan jawaban Anda?
1 2 3 4 5 6
Sangat Amat
Hanya Tidak Sangat
tidak Yakin Sangat
menebak Yakin Yakin
yakin Yakin
Alasan:
a. Suhu air dan es sama, sehingga tidak ada kehilangan kalor atau penyerapan kalor.
b. Kalor air lebih banyak dibanding kalor es, sehingga air kehilangan lebih banyak
kalor.
c. Es tidak mengandung kalor, sehingga air akan lebih banyak kehilangan kalor.
d. Kalor es lebih banyak dibanding kalor air, sehingga es kehilangan lebih banyak
kalor.
e. ......................................................................................................................................................
Apakah Anda yakin dengan alasan Anda?
1 2 3 4 5 6
Sangat Amat
Hanya Tidak Sangat
tidak Yakin Sangat
menebak Yakin Yakin
yakin Yakin
Validitas Instrumen
Penilaian validitas dilakukan oleh dua orang ahli bidang materi dan evaluasi.
Masing-masing validator memberikan penilaian pada 20 kriteria, yang meliputi aspek
bahasa, materi, dan konstruksi soal. Penilaian dilakukan pada masing-masing butir soal.
Hasil penilaian validator menunjukkan 50 butir soal termasuk dalam kategori valid dan
dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendeteksi miskonsepsi pada materi Suhu
dan Kalor.
Uji Skala Kecil
Uji skala kecil bertujuan untuk menentukan waktu yang dibutuhkan siswa untuk
mengerjakan soal tes. Hasil uji skala kecil menunjukkan bahwa siswa dapat
menyelesaikan 50 butir soal pilihan ganda empat tingkat dalam waktu 90 menit. Siswa
diminta untuk mengisi angket penilaian setelah mengerjakan soal tes. Tujuan angket
penilaian ini untuk mengetahui penilaian siswa terhadap instrumen soal yang
dikembangkan. Hasil penilaian siswa terhadap instrumen tes dapat dilihat pada Gambar
1.
dan kurang pandai, akan tetapi untuk menggali sejauh mana kemampuan siswa dan
kesulitan belajar yang dialami siswa.
d. Keberfungsian Pengecoh
Pengecoh yang berfungsi dengan baik merupakan pengecoh yang dipilih
minimal 5 % dari jumlah seluruh subjek [12]. Berdasarkan analisis, terdapat 10 soal
dari 50 soal yang diujikan pada uji skala besar memiliki distraktor yang tidak
berfungsi. Pengecoh yang baik akan dipilih oleh siswa yang kurang pandai dan tidak
dipilih oleh siswa pandai. Apabila pengecoh dipilih oleh sebagian besar siswa pandai,
maka pengecoh tersebut juga dapat dikatakan tidak berfungsi.
e. Analisis Miskonsepsi
Analisis miskonsepsi menunjukkan nilai CDQ berada pada rentang -6,15
sampai 1,77. Terdapat 47 butir soal yang memiliki nilai CDQ negatif pada analisis
miskonsepsi jawaban, 18 butir pada alasan, serta 18 butir pada jawaban dan alasan.
Siswa memilih jawaban salah pada 94% dari soal yang diujikan dengan tingkat
keyakinan tinggi. Hal ini mengindikasikan siswa mengalami miskonsepsi pada hampir
seluruh jawaban. Siswa merasa tidak yakin dalam memilih alasan sehingga banyak
siswa termasuk kategori tidak paham pada pilihan alasan. Keterbatasan pengetahuan
tentang konsep fisika membuat siswa tidak memahami alasan dalam Hasil analisis
CDQ dapat dilihat pada Gambar 2.
Temuan Miskonsepsi
Temuan miskonsepsi yang teridentifikasi dari hasil analisis CDQ dikonfirmasi
melalui wawancara terhadap siswa. Berdasarkan hasil wawancara, 16 miskonsepsi
terkonfirmasi dialami oleh siswa pada materi Suhu dan Kalor. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa siswa menganggap setiap benda mempunyai suhu yang berbeda-
beda, meskipun berada di suatu ruangan yang sama. Siswa berpendapat bahan yang
menyusun benda adalah penentu suhu benda. Siswa juga menganggap antara suhu uap
air dari air yang baru mendidih dengan air yang mendidih tidak sama. Selain itu,
menurut siswa, suhu wadah logam dan plastik yang tidak dapat mencapai suhu 0 oC.
Miskonsepsi pada konsep suhu juga ditemukan. Siswa menganggap suhu dapat
ditransfer, dan tidak ada suhu minimum yang dapat dicapai benda-benda di alam.
Menurut siswa, kalor dan panas adalah sama, dan kalor dapat mengalir karena
perbedaan panas. Selain itu, siswa juga mengalami miskonsepsi pada faktor-faktor yang
mempengaruhi aliran kalor. Siswa beranggapan bahwa kalor jenis dan kapasitas kalor
merupakan hal yang sama, serta tekanan udara setempat dianggap tidak mempengaruhi
titik didih air.
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa miskonsepsi siswa bersumber
dari pengalaman sehari-hari, dan diri sendiri. Salah satu faktor munculnya miskonsepsi
siswa adalah pengalaman sehari-hari yang selanjutnya dikonstruksi siswa menjadi
pemahaman yang keliru dari pemahaman ilmiah [13]. Selain dari pengalaman sehari-
hari, miskonsepsi bisa muncul karena pengetahuan yang dibangun oleh siswa sendiri
(menurut teori konstruktivisme) [14]. Miskonsepsi hendaknya menjadi perhatian guru,
karena miskonsepsi akan semakin menyebar dan semakin sulit diperbaiki. Miskonsepsi
yang tidak terdeteksi akan semakin tertanam kuat pada diri siswa yang pada akhirnya
akan menghambat siswa dalam menerima pengetahuan baru pada jenjang berikutnya.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki miskonsepsi siswa, salah satu cara yang dapat
dilakukan guru adalah dengan mengajarkan konsep Suhu dan Kalor dengan pendekatan
kontekstual, serta membantu siswa untuk mengkonstruksi ulang dan mendalami
pengetahuan siswa berdasarkan konsep sains [15].
KESIMPULAN
Produk yang dikembangkan berupa instrumen tes pilihan ganda empat tingkat,
dengan materi Suhu dan Kalor. Setiap butir soal tersusun atas empat tingkatan yaitu soal
dengan pilihan jawaban, pilihan tingkat keyakinan jawaban, pilihan alasan, dan pilihan
tingkat keyakinan alasan. Instrumen tes yang dikembangkan mendapat penilaian sangat
baik oleh validator. Reliabilitas instrumen tes pilihan ganda empat tingkat yang
dikembangkan termasuk dalam kategori tinggi. Produk akhir berjumlah 50 buah butir
soal, dengan 2 soal tergolong mudah, 29 soal sedang, dan 19 soal sukar. 31 butir soal
memiliki indeks daya pembeda kurang dari 0,200 dan 19 butir berada pada rentang
0,200 hingga 0,643. Terdapat 16 temuan miskonsepsi siswa pada materi Suhu dan Kalor
yang teridentifikasi dan terkonfirmasi melalui tes dan wawancara terhadap siswa.
REFERENSI
Samudra, G.B., I.W. Suastra & K. Suma. 2014. Permasalahan-Permasalahan yang
Dihadapi Siswa SMA di Kota Singaraja dalam Mempelajari Fisika. e-Journal
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 4, pp.1–7. Available at:
http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_ipa/articles.
Chu, H., K. Chwee, D. Tan, L. L. Choon and D. F. Treagust. 2009. Fundamental Thermal
Concepts: An Evaluation of Year 11 students’ Conceptual Understanding in
Abstrak
Mekanika klasik dan mekanika kuantum memiliki banyak perbedaan mendasar. Kecepatan
dan momentum dalam skala atomik dan subatomik misalnya, tidak bisa diukur bersamaan
dengan tepat, hal tersebut berbeda dengan kecepatan dan momentum benda berskala
makroskopis. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kesulitan mahasiswa dalam
memahami konsep dasar mekanika kuantum khususnya prinsip ketidakpastian Heisenberg.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi. Objek penelitian adalah 35
mahasiswa (usia mahasiswa berkisar 20an tahun) di jurusan pendidikan fisika UNNES.
Pengambilan data dilakukan dengan soal tes. Soal berbentuk tes uraian dan telah divalidasi
oleh Ajudgement Advisor. Jawaban soal tes kemudian kelompokkan dalam kategori- kategori
yang menggambarkan pendekatan mahasiswa dalam memahami mekanika kuantum. Dari
semua jawaban mahasiswa dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga kategori pemahaman
mahasiswa. Mahasiswa kategori pertama sudah memahami mekanika kuantum. Mahasiswa
kategori kedua masih mencampur adukan konsep-konsep kuantum dengan konsep-konsep
mekanika klasik (quasi quantum). Mahasiswa kategori ketiga memahami mekanika kuantum
dengan pola berfikir mekanika klasik.
PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dalam mempelajari
konsep fisika kuantum. Hasil penelitian ini dapat digunakan juga untuk membantu para
pendidik memperbaiki pemahaman siswa tentang konsep tersebut.
Teori kuantum adalah teori fisika yang menjelaskan, menghubungkan dan
memprediksi perilaku sistem atom. Mekanika kuantum berbeda dengan mekanika
klasik. Mekanika kuantum mempelajari objek subatomik dam atomik yang tidak kasat
mata [2]
Mekanika klasik bersifat deterministik karena posisi dan momentum partikel pada
saat tertentu sepenuhnya ditentukan oleh posisi dan momentum partikel pada saat
sebelumnya [2]. Mekanika klasik memiliki struktur matematika komutatif karena dalam
Mekanika klasik dimungkinkan untuk mengukur posisi dan momentum partikel secara
simultan [3]. Struktur matematika mekanika kuantum adalah aljabar komutatif karena
tidak ada asumsi tepat yang dapat dibuat mengenai kemungkinan mengukur atau
menentukan secara tepat posisi dan momentum partikel pada saat bersamaan [2].
Mekanika kuantum pada tingkat universitas mempelajari eksperimen dan latar
belakang teori matematika, operator Hermitian, persamaan Schrödinger sesuai dengan
fungsi potensial yang berbeda, masalah potensial dan lain lain. Konsep mekanika
kuantum berbeda dengan konsep mekanika klasik. Konsep mekanika kuantum relatif
abstrak dibanding konsep mekanika klasik sehingga mahasiswa memiliki banyak
kesulitan mempelajari konsep mekanika kuantum. Menurut Styer [5] siswa memiliki
beberapa kesalahpahaman tentang keadaan kuantum, pengukuran, partikel identik,
dimensi fungsi gelombang dan beberapa konsep lainnya. Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan mahasiswa memiliki kesulitan mempelajari konsep dualitas
partikel gelombang [6] atom [7], probabilitas [8].
Dalam penelitian ini digunakan metodologi fenomenografi [8, 9, 10]. Tujuan
penggunaan metode ini dalam penelitian pendidikan adalah untuk memahami mengapa
beberapa siswa dapat menjadi pembelajar yang lebih baik daripada yang lain. Menurut
pendekatan fenomenografi orang yang berbeda dapat mengalami fenomena yang sama,
namun orang yang berbeda tidak akan mengalami fenomena tertentu dengan cara yang
sama [11, 12, 13].
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi. Objek
penelitian adalah 35 mahasiswa (usia mahasiswa berkisar 20an tahun) di jurusan
pendidikan fisika UNNES. Pengambilan data dilakukan dengan soal tes. Soal berbentuk
tes uraian dan telah divalidasi oleh Ajudgement Advisor. Jawaban soal tes kemudian
kelompokkan dalam kategori- kategori yang menggambarkan pendekatan mahasiswa
dalam memahami mekanika kuantum.
SIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kedalaman pemahaman mahasiswa
pendidikan fisika Universitas Negeri Semarang tentang mekanika kuantum sangat
beragam. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa memiliki beberapa kesulitan untuk
mengidentifikasi perbedaan antara mekanika klasik dan mekanika kuantum.
Penulis menyarankan perlunya pendidik menggunakan media pembelajaran animasi
untuk menjadikan mekanika kuantum lebih mudah dipahami. Mengajar mekanika
kuantum juga harus bertujuan untuk memberi siswa pemahaman tentang perbedaan
mendasar antara mekanika klasik dan mekanika kuantum.
REFERENSI
Merzbacher, E., Quantum mechanics, (John Wiley & Sons, New York, 1998).
Tang, C., L., Fundamental of Quantum Mechanics, (Cambridge University Press, 2005).
Cohen-Tannoudji, C., Diu, B. and Laloe, F., Quantum Mecahanics, (Wiley, New York,
1977).
Feynman, R., The Feynman Lectures on Physics, 2nd ed. (Addison-Wesley, California,
1965).
Styer, D. F., Common misconceptions regarding quantum mechanics, Am. J. Phys. 64, 31-
34 (1996).
Mannila, K., Koponen, I. T. and Niskanen, J., Building a picture of students’ conceptions of
wave- and particlelike properties of quantum entities, Eur. J. Phys. 23, 45-53,
(2002).
Müller, R. and Wiesner, H., Students’ conceptions of quantum physics. In D. Zollman
(Ed.), NARST 1999: Research on Teaching and Learning Quantum Mechanics, Bao,
L., Dynamics of students modeling: A theory, Algorithms, and Applications to
Quantum Mechanics, Ph.D. dissertation, University of Maryland, 1999.
Marton, F., Phenomenography, in the International Encyclopedia of Education, 2nd
edition, T. Husen & T. N. Postelthwaite (Eds), Pergamon, Oxford 8, 4424–4429
(1994).
Marton, F., and Booth, S., Learning and Awareness, (Lawerence Erlbaum Associates, New
Jersey, 1997).
Entwistle, N., Introduction: Phenomenography in higher education, Higher Education
Research & Development 16, 127-134 (1997).
Prosser, M. and Trigwell, K., Understanding Learning and Teaching. The Experience in
Higher Education Open, (University Press, Buckingham, U. K., 1999).
Wihlborg, M., Student nurses’ conceptions of internationalism in general and as an
essential part of Swedish nurses’ education, Higher Education Research &
Development 23, 433 453 (2004).
Özcan Ö., How do the Students Describe the Quantum Mechanics and Classical
Mechanics?. Department of Physics Education, Hacettepe University, 2010
*email: asriyadin@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran efektifitas pembelajaran inkuiri yang
diinovasi dengan kegiatan argumentasi dalam melatihkan keterampilan berargumentasi
kepada siswa SMA. Keterampilan berargumentasi berperan penting dalam membangun
konsep yang dipelajari oleh siswa, sehingga perlu dilatihkan kepada siswa dalam
pembelajaran. Untuk mengukur efektifitas kegiatan pembelajaran, dilakukan pretest dan
posttest. Kegiatan pembelajaran dilakukan selama tiga kali pertemuan, dengan subjek
penelitian sebanyak 23 siswa pada salah satu SMA di kabupaten Bima. Instrumen yang
digunakan adalah instrumen tes essay menggunakan rubrik penilaian untuk mengukur
keterampilan berargumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran
yang dilakukan efektif dalam melatihkan keterampilan berargumentasi. Terdapat perbedaan
rata-rata yang signifikan antara pretest dan posttest berdasarkan uji wilcoxon (z = -4,199 p=
0,0001). Berdasarkan hasil analisis gain yang dinormalisasi, pembelajaran yang dilakukan
efektif dalam meningkatkan keterampilan berargumentasi pada kategori sedang (<g> =
0,51).
PENDAHULUAN
Keterampilan berargumentasi penting dibekalkan kepada siswa dalam
pembelajaran fisika. Siswa yang memiliki keterampilan berargumentasi yang baik,
cenderung akan mudah untuk menguasai konsep yang diajarkan (Kaniwati et al, 2014;
Yusiran & Siswanto, 2016; Karsilah et al, 2017). Selain itu, dengan melatihkan
keterampilan berargumentasi kepada siswa, maka secara langsung siswa dilatih untuk
membangun suatu penjelasan, model, dan teori dari sebuah konsep yang dipelajari. Oleh
sebab itu, idealnya, setiap kegiatan pembelajaran fisika harus memfasilitasi siswa untuk
mampu melakukan kegiatan argumentasi (Kuhn, 2010).
Melatihkan keterampilan berargumentasi juga secara langsung melatihkan
kemampuan kognitif dan afektif kepada siswa (Sampson, 2010; Erduran, 2008). Dalam
mengajukan argumentasinya, siswa harus menyertakan satu kesatuan konsep yang utuh
dan tepat. Selain itu, kegiatan pembelajaran yang dirancang untuk melatihkan kegiatan
argumentasi, juga menuntut siswa untuk memiliki kemampuan afektif yang baik.
Sehingga, kegiatan pembelajaran yang didalamnya memfasilitasi siswa untuk
melatihkan kegiatan argumentasi, juga secara langsung melatihkan kemampuan kognitif
dan afektifnya.
Pada penelitian ini, digunakan pembelajaran inkuiri untuk melatihkan
keterampilan berargumentasi. Tahapan-tahapan kegiatan inkuiri yang dilakukan dalam
pembelajaran dikombinasikan dengan kegiatan argumentasi. Kegiatan argumentasi
yang dilakukan mengacu pada tahapan kegiatan argumentasi yang dirumuskan oleh
Toulmin (2003), yang meliputi tahap pengajuan klaim (claim), bukti (data), pembenaran
(warrant), dan dukungan (backing). Klaim merupakan sebuah dugaan, penjelasan,
kesimpulan, atau prinsip yang digeneralisasikan. Data merupakan komponen-komponen
yang dapat dijadikan sebagai bukti yang telah dikumpulkan dan dianalisa. Pembenaran
merupakan pernyataan yang menjelaskan bagaimana data yang ditampilkan dapat
mendukung klaim yang diajukan. Dukungan merupakan ungkapan tambahan yang perlu
dibuat untuk mendukung pembenaran yang berupa teori-teori atau fakta-fakta yang
berlaku.
Pembelajaran inkuiri dipilih dengan inovasi kegiatan argumentasi agar lebih
efektif dalam melatihkan keterampilan berargumentasi. Pembelajaran inkuiri sendiri
mampu memfasilitasi siswa untuk membangun keterampilan berpikir tingkat tinggi
(Wenning, 2011; Harlen, 2014). Proses pembelajaran yang menerapkan tahapan-
tahapan kegiatan inkuiri dapat membantu siswa untuk belajar bagaimana berpikir dan
bertindak seperti seorang ilmuan (Wenning, 2011). Tahapan kegiatan pada
pembelajaran inkuiri meliputi (1) identifikasi masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3)
melakukan eksperimen, (4) melakukan analisis data, (5) mengkomunikasikan hasil
analisis data. Kegiatan argumentasi dikombinasikan pada kegiatan inkuiri pada tahap ke
2 sampai 5.
Oleh sebab itu, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran efektifitas pembelajaran inkuiri yang diinovasikan dengan kegiatan
argumentasi dalam meningkatkan keterampilan berargumentasi.
METODE
Penelitian ini melibatkan 23 siswa pada salah satu SMA di kabupaten Bima, Nusa
Tenggara barat, Indonesia. Seluruh siswa yang terlibat dalam kegiatan penelitian,
sebelumnya belum pernah mendapatkan pembelajaran mengenai materi yang diajarkan,
yaitu materi suhu dan kalor. Seluruh siswa juga berasal dari kelas yang sama, sehingga
setiap harinya mendapat perlakuan kegiatan pembelajaran yang sama. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan selama tiga kali pertemuan,
dimana setiap pertemuan 90 menit. Sebelum dilakukan kegiatan pembelajaran,
diberikan tes terlebih dahulu (pretest), kemudian setelah kegiatan pembelajaran selesai
juga dilakukan tes (posttest). Hal ini dilakukan untuk mengukur capaian peningkatan
keterampilan berargumentasi siswa pada materi suhu dan kalor sebagai dampak setelah
dilakukannya proses pembelajaran menggunakan pembelajaran inkuiri yang
diinovasikan dengan kegiatan argumentasi. Instrumen tes yang digunakan dalam bentuk
tes essay menggunakan rubrik penilaian untuk mengikur keterampilan berargumentasi
siswa. Sebelum digunakan, sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap
instrumen tes.
Analisis data dilakukan dengan tahapan: (1) melakukan uji normalitas data; (2)
menghitung rata-rata skor pretest dan posttest; (3) melakukan uji beda rata-rata antara
pretest dan posttest; (4) menghitung nilai rata-rata peningkatan keterampilan
berargumentasi secara keseluruhan; (5) menghitung nilai rata-rata peningkatan untuk
setiap indikator keterampilan berargumentasi. Peningkatan keterampilan
berargumentasi dianalisis menggunakan skor gain yang dinormalisasi (Hake, R.R.,
1999). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Klasifikasi peningkatan ditandai oleh besarnya <g>, yakni kriteria tinggi jika <g>
≥0,7; kriteria sedang jika 0,7< <g> ≤0,3; kriteria rendah jika <g> < 0,3.
Hasil uji beda rata-rata data pretest dan posttest menunjukkan bahwa rata-rata
data pretest dan posttest berbeda secara signifikan (sig. < 0,05). Dengan melihat nilai
rata-rata posttest yang lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata pretest, maka proses
pembelajaran yang dilaksanakan menggunakan tahapan pembelajaran inkuiri yang
dikombinasikan dengan kegiatan berargumentasi, mampu meningkatkan keterampilan
berargumentasi siswa. Besarnya peningkatan keterampilan berargumentasi siswa dapat
dilihat pada Gambar 1.
Merumusakan hipotesis Siswa mengkaji literatur melalui bahan ajar yang dibagikan
menggunakan kegiatan oleh guru
argumentasi Berdasarkan hasil kajian, siswa diminta untuk membuat
hipotesis mengenai permasalahan tersebut, dan
menuliskan argumen sementara yang mendukung
hipotesis yang dibuat dengan dipandu LKS
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tingga yang
telah memberikan dana untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. Selain itu, peneliti
juga mengucapkan terimakasih kepada Ketua STKIP Taman Siswa Bima yang telah
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian.
REFERENSI
Erduran, S., & Maria, P. (2008). Argumentation in Science Education. London: Spinger
Science.
Hake, R.R. (1999). Interactive-engagement vs traditional methods: A six thousand
student survey of mechanic test data for introductory physics courses. Journal of
Physics. 66 (1): 64-74.
Harlen, W. (2014). Helping children’s development of inkuiri skills. Inkuiri in primary
science education (IPSE), 1: 5-19.
Kai Wu, H. (2006). Developing Sixth Graders’ Inkuiri Skills to Construct Explanations in
Inkuiri‐based Learning Environments. International Journal of Science Education,
28 (11): 1289–1313.
Karsilah, K., Febriastuti, Y. D., & Siswanto, S. Inovasi Model Pembelajaran Guided Inquiry
untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Siswa SMP. Indonesian Journal of
Science and Education, 1(1).
Kuhn. (2010). Teaching and Learning Science as Argument. Wiley Periodicals, Inc. Sci Ed,
v (94) :810-824.
Sampson, V., & Gerbino, F. (2010). Two Instructional Models That Teacher Can Use to
Promote & Support Scientific Argumentation In the Biology Classroom. The
American Biology Teacher, 72 (7): 427-431.
Kaniawati, I., & Suhandi, A. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Pembangkit
Argumen Menggunakan Metode Saintifik Untuk Meningkatkan Kemampuan
Kognitif Dan Keterampilan Berargumentasi Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika
Indonesia, 10(2), 104-116. doi:http://dx.doi.org/10.15294/jpfi.v10i2.3347
Toulmin, S. (2003). The Uses of Argument. New York: Cambridge University Press.
Wenning, C., J. (2011). Experimental inkuiri in introductory physics courses. Journal of
Physics Teacher Education, 6 (2): 2-8.
Yusiran, Y., & Siswanto, S. (2016). Implementasi Metode Saintifik Menggunakan Setting
Argumentasi pada Mata Kuliah Mekanika untuk Meningkatkan Kemampuan
Kognitif Mahasiswa Calon Guru Fisika. Jurnal Penelitian & Pengembangan
Pendidikan Fisika, 2(1), 15-22. doi:10.21009/1.02103
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan three-tier diagnostic test untuk menentukan
kevalidan, reliabilitas, karakteristik butir soal three-tier diagnostic test, dan mendiskripsikan
profil miskonsepsi pada materi Gerak Melingkar Beraturan. Penelitian ini dikategorikan
sebagai penelitian Research and Development (R&D). Metode yang digunakan adalah tes,
angket, wawancara, dan dokumentasi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X IPA SMA N 1
Karangtengah. Tes diagnostik yang dikembangkan terdiri atas tiga tingkatan, yakni soal
pilihan ganda, pilihan alasan, dan pilihan tingkat keyakinan. Instrumen yang dihasilkan
terdiri atas: kisi-kisi soal, petunjuk pengerjaan soal, soal-soal three-tier diagnostic test, kunci
jawaban, lembar jawab, pedoman penskoran, dan pedoman interpretasi hasil. Hasil validasi
menunjukkan instrumen yang dikembangkan valid. Reliabilitas soal tes yang dikembangkan
sebesar 0,89. Karakteristik 40 butir soal yang dikembangkan antara lain: 1) taraf kesukaran
soal, terdiri atas tiga soal berkategori mudah, 32 soal berkategori sedang, dan lima soal
berkategori sukar; 2) daya pembeda, terdiri atas satu soal diperbaiki, 10 soal diterima
dengan perbaikan, dan 29 soal diterima; 3) sebanyak 83,3% pengecoh pada pilihan jawaban
berfungsi dengan baik dan sebanyak 91,25% pengecoh pada pilihan alasan berfungsi dengan
baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi tertinggi pada
indikator kecepatan linier, sedangkan miskonsepsi terendah pada indikator kecepatan sudut.
PENDAHULUAN
Siswa sudah memiliki konsep-konsep yang berkaitan dengan fisika melalui
pengalaman sehari-hari, karena ilmu fisika sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Bergantinya siang dan malam karena rotasi bumi dan bentuk lintasan yang dilalui bumi
merupakan salah satu contoh dari konsep fisika yang didapat siswa melalui pengalaman
sehari-hari. Siswa menganggap mengenai konsep matahari terbit dari timur dan
tenggelam di barat merupakan akibat dari perputaran matahari mengelilingi bumi,
sehingga yang mengalami gerak revolusi adalah matahari. Sudut pandang konsep fisika
yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tersebut tidak sesuai dengan konsep yang
diterapkan oleh fisikawan. Ketidaksesuaian ini dinamakan miskonsepsi (Suparno, 2013 ;
Kirbulut, 2014).
Banyak miskonsepsi yang ditemukan pada pembelajaran fisika, salah satunya pada
materi Gerak Melingkar Beraturan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru fisika di
SMA N 1 Karangtengah diperoleh keterangan bahwa salah satu miskonsepsi yang paling
banyak dialami siswa adalah konsep gaya sentripetal. Siswa menganggap ketika motor
atau mobil yang melintas pada alun-alun yang berbentuk lingkaran, gaya sentripetal
selalu menuju ke luar lingkaran, dan yang menuju ke pusat lingkaran itu adalah jari-jari
bukan gaya sentripetal. Konsep yang sebenarnya mengenai gaya sentripetal adalah gaya
yang arahnya menuju ke pusat lingkaran.
Terjadinya miskonsepsi yang dialami siswa membuat semakin rendahnya prestasi
hasil belajar siswa (Suparno, 2013), sehingga mereka memerlukan suatu bantuan secara
tepat. Langkah tepat untuk mendeteksi adanya miskonsepsi salah satunya dengan
menggunakan instrumen khusus yaitu tes diagnostik yang dapat mengungkap adanya
miskonsepsi dari masing-masing siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melakukan pengembangan tes diagnostik tiga tingkat untuk mengidentifikasi
miskonsepsi yang terjadi pada siswa SMA materi Gerak Melingkar Beraturan.
Menurut Depdiknas (2007), tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk
mengungkap kelemahan-kelemahan siswa sehingga hasil tersebut dapat digunakan
sebagai dasar untuk memberikan tindakan atau perlakuan yang tepat dan sesuai dengan
kelemahan yang dimiliki siswa. Tes diagnostik yang dikembangkan adalah tes diagnostik
bentuk pilihan ganda dengan tiga tingkat pertanyaan. Tingkat pertama merupakan soal
pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci jawaban. Tingkat ke dua merupakan
alasan siswa menjawab pertanyaan, berupa tiga alasan yang telah disediakan dengan
dua pengecoh dan satu kunci jawaban serta satu alasan terbuka yang dapat diisi sendiri
oleh siswa. Tingkat ke tiga merupakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban
dan alasan. Three-tier diagnostic test memiliki keunggulan, yakni tidak diperlukan
wawancara dengan siswa untuk menentukan validitas dari tes (Pesman & Eryilmaz,
2010).
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di SMA N 1 Karangtengah. Subjek penelitian adalah siswa kelas X
SMA N 1 Karangtengah. Uji produk skala kecil dilakukan pada siswa kelas X sebanyak 15
siswa, dengan 20% siswa berkategori pandai, 60% siswa sedang, dan 20% siswa kurang
pandai. Uji skala luas sebanyak 62 siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian Research and Development (R&D). Menurut
Sugiyono (2015), Research and Development (R&D) adalah sebuah metode melakukan
penelitian untuk menghasilkan sebuah produk, dan menguji keefektifan produk
tersebut. Prosedur penelitian ini menggunakan prosedur penelitian Gall, et al. (2013).
Pengembangan produk meliputi: penyusunan kisi-kisi soal tes, petunjuk pengerjaan,
penulisan butir soal, kunci jawaban dan lembar jawaban, pedoman penskoran dan
pedoman interpretasi hasil.
Teknik pengumpulan data melalui kegiatan wawancara, dokumentasi, tes, dan
pengisian kuesioner atau angket. Wawancara dilakukan dua kali. Pertama untuk
mengetahui hasil belajar siswa pada pelajaran fisika yang dilakukan sebelum penelitian
dan ke dua mengetahui pendapat siswa serta guru mengenai three-tier diagnostic test
yang dilakukan setelah penelitian. Terdapat dua angket, yakni angket penilaian siswa
yang diberikan pada uji skala kecil dan angket respons siswa yang diberikan pada uji
skala luas.
Penskoran diberikan dengan memberikan skor 1 untuk pilihan jawaban maupun
pilihan alasan yang benar dan skor 0 diberikan untuk pilihan jawaban maupun pilihan
alasan yang salah. Tingkat keyakinan tergolong tinggi apabila dipilih dengan skala 4 atau
5 atau 6 dan tingkat keyakinan tergolong rendah apabila dipilih dengan skala 1 atau 2
atau 3.
Tabel 1. Interpretasi Hasil Three-Tier Diagnostic Test
No. Kategori Tipe Respons
Jawaba Alasa Keyakin
n n an
1. Memahami Benar Benar Tinggi
2. Tidak Benar Benar Rendah
Memahami Benar Salah Rendah
Salah Benar Rendah
Salah Salah Rendah
3. Miskonsepsi Benar Salah Tinggi
Salah Benar Tinggi
Salah Salah Tinggi
Analisis data yang dilakukan meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya
pembeda, keberfungsian pengecoh pada pilihan jawaban dan alasan, analisis angket,
analisis miskonsepsi siswa, dan interpretasi hasil three-tier diagnostic test. Validasi
dilakukan oleh ahli materi dan evaluasi. Pengujian reliabilitas menggunakan rumus
Alpha Cronbach. Analisis miskonsepsi siswa menggunakan interpretasi hasil yang
diadaptasikan oleh Pesman (2010) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Kunci jawaban Nomor soal, pilihan jawaban soal dan pilihan alasan
jawaban yang benar
Three-tier diagnostik test atau tes diagnostik tiga tingkat yang dikembangkan
merupakan sebuah instrumen tes yang digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi
siswa. Materi yang digunakan adalah Gerak Melingkar Beraturan. Rangkuman produk
tes diagnostik tiga tingkat dapat dilihat pada Tabel 2.
Soal tes akhir yang digunakan sebanyak 40 butir soal, terdiri atas delapan indikator,
yaitu konsep gerak melingkar beraturan, periode, frekuensi, kecepatan linier, kecepatan
sudut, percepatan sentripetal, gaya sentripetal, dan hubungan antara roda yang
terhubung dengan tali. Hasil tes yang telah dikerjakan oleh siswa dianalisis dan
diinterpretasikan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa.
Validitas Three-Tier Diagnostic Test
Sebuah tes yang memiliki validitas tinggi akan mampu mengungkap hasil belajar
siswa secara valid (Kunandar, 2013). Oleh karena itu, validasi instrumen ini harus
dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidang evaluasi dan materi Gerak
Melingkar Beraturan.
Validitas dilakukan pada setiap butir soal three-tier diagnostic tes. Menurut Fariyani
(2015), tujuan dilakukan validitas tiap butir soal adalah untuk mengetahui soal tes yang
digunakan benar-benar layak dan dapat mengukur apa yang hendak diukur, yaitu
miskonsepsi siswa. Apabila penilaian dilakukan secara keseluruhan maka tidak akan
diketahui butir soal mana yang memiliki kelemahan dan letak kelemahan soal tersebut.
Penilaian tiap butir soal secara detail juga akan mempermudah dalam mengidentifikasi
bagian yang memerlukan perbaikan, baik kalimat soal, pilihan jawaban, maupun pilihan
alasan.
Hasil validasi menunjukkan bahwa 40 butir soal dinyatakan valid. Soal tes yang
dinyatakan valid, kemudian diujikan pada skala kecil dan skala luas. Hasil uji skala kecil
digunakan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan siswa dalam mengerjakan soal
dan mengetahui penilaian siswa terhadap three-tier diagnostic test. Hasil uji coba skala
luas digunakan untuk mengetahui reliabilitas, daya pembeda, tingkat kesukaran soal,
keberfungsian pengecoh dan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami siswa.
Reliabilitas Three-Tier Diagnostic Test
Data yang didapatkan pada uji coba skala luas dianalisis untuk mengetahui
reliabilitas butir soal three-tier diagnostic test. Tujuan dilakukan analisis reliabilitas
adalah untuk mengetahui tingkat keajegan soal. Suatu tes yang dapat dengan ajeg
memberikan data yang sesuai dengan kenyataan, maka tes tersebut dinyatakan baik
(Arikunto, 2013).
Persamaan Alfa Cronbach adalah rumus yang digunakan untuk mengetahui tingkat
reliabilitas soal. Hasil perhitungan reliabilitas menghasilkan 𝑟11 sebesar 0,89. Harga 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
untuk jumlah sampel 62 dengan signifikansi 5% adalah 0,25, sehingga dapat
disimpulkan bahwa soal three-tier diagnostic test yang dikembangkan reliabel.
Karakteristik Butir Soal Three-Tier Diagnostic Test
Suatu tes dikatakan baik, apabila tes tersebut valid dan reliabel (Arikunto, 2013). Soal
tes juga harus memiliki tingkat kesukaran dan daya pembeda yang baik. Tingkat
kesukaran tiap butir soal three-tier diagnostic test dapat dilihat pada Tabel 3. Daya
pembeda soal three-tier diagnostic test dapat dilihat pada Tabel 4.
Sebanyak 80% dari seluruh soal three-tier diagnostic test tingkat kesukaran sedang.
Penelitian yang dilakukan Wahyuningsih, et al (2013), Handayani (2014), dan Fariyani
(2015), rata-rata menggunakan soal berkategori sedang dalam mengidentifikasi
miskonsepsi yang dialami siswa. Menurut Fariyani, et al. (2015) soal tes diagnostik yang
baik adalah soal tes yang berkategori sedang. Hal ini dikarenakan apabila soal
berkategori sedang dikerjakan oleh siswa yang pandai, siswa tersebut tidak akan
merasa terlalu mudah dan apabila dikerjakan oleh siswa yang kurang pandai, siswa
tersebut tidak akan merasa terlalu sulit. Oleh karena itu, soal berkategori sedang dipilih
agar dapat menjangkau kemampuan dari seluruh siswa.
Tabel 3. Tingkat Kesukaran Soal Three-Tier Diagnostic Test
No. Kategori Nomor Soal Jumlah
Tingkat
Kesukaran
1 Mudah 2, 30, 33 3
2 Sedang 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 32
15, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 31, 34, 35, 36, 37,
39, 40
3 Sukar 14, 19, 21, 32, 38 5
Jumlah Total 40
Keterangan: P = Paham
TP = Tidak Paham
M = Miskonsepsi
Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi pada setiap butir soal dapat dilihat
pada Gambar 1. Miskonsepsi tinggi ditemukan pada soal nomor 26, yaitu pada indikator
menentukan percepatan sentripetal pada gerak melingkar beraturan. Siswa
menganggap bahwa arah percepatan sentripetal selalu mengikuti arah kecepatan sudut.
Hal ini hampir sama dengan temuan miskonsepsi oleh Yolenta (2014), siswa
menganggap bahwa arah percepatan sentripetal searah dengan kecepatan linier dan
penelitian Puspitasari (2012), siswa menganggap bahwa percepatan selalu memiliki
arah yang sama dengan arah pergerakan benda. Siswa juga menganggap bahwa arah
percepatan sentripetal selalu sejajar dengan jari-jari lingkaran.
Persentase
Nomor Soal
Gambar 1. Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi pada setiap butir soal
(1998) menjelaskan bahwa kelajuan linier berbanding lurus dengan 2π dan jari-jari
lingkaran dan berbanding terbalik dengan periode ( v = 2 𝜋𝑇 𝑅 ).
Miskonsepsi tinggi ditemukan pada indikator menentukan gaya sentripetal pada
gerak melingkar beraturan. Menurut siswa gaya sentripetal berbanding lurus dengan
kuadrat kelajuan linier dan berbanding terbalik dengan massa dan jari-jari lingkaran.
Giancoli (1998) menjelaskan bahwa gaya sentripetal berbanding lurus dengan kuadrat
kelajuan linier dan massa tetapi berbanding terbalik dengan jari-jari lingkaran.
Selain itu, miskonsepsi tinggi juga ditemukan pada indikator hubungan roda-roda
pada gerak melingkar beraturan. Siswa beranggapan bahwa roda yang terhubung
dengan tali memiliki kecepatan sudut sama, namun konsep menurut Giancoli (1998)
kecepatan sudut pada roda yang terhubung dengan tali berbeda.
Miskonsepsi ditemukan berdasarkan hasil jawaban siswa dan dikonfirmasi dengan
hasil wawancara siswa. Siswa menganggap suatu benda ketika mengalami gerak
melingkar pasti selalu mengalami gerak melingkar beraturan. Sebuah benda ketika
berputar sebesar 2πR, besar kecepatan linier sama dengan kecepatan sudut. Menurut
siswa benda yang bergerak dengan laju tetap dalam selang waktu yang sama, panjang
lintasan yang ditempuh berbeda. Sebaliknya benda bergerak dengan laju tetap dalam
selang waktu yang berbeda, panjang lintasan yang ditempuh sama. Tidak hanya itu saja,
siswa juga menganggap bahwa pukul 04.00 WIB - 04.00 WIB sama dengan pukul 04.00
WIB - 16.00 WIB merupakan contoh lintasan gerak melingkar pada jam.
Anggapan siswa mengenai periode adalah berbeda dengan waktu, sehingga nilai
periode berbanding terbalik dengan waktu atau T=n/t (periode adalah jumlah putaran
per satuan waktu). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yolenta (2014)
yakni terdapat 32,26% siswa menganggap bahwa periode berbanding lurus dengan
jumlah putaran yang ditempuh benda. Giancoli (1998) menjelaskan bahwa periode
adalah waktu yang diperlukan dalam satu putaran, sehingga periode berbanding lurus
dengan waktu dan berbanding terbalik dengan jumlah putaran.
Anggapan awal siswa periode berbeda dengan waktu mengakibatkan salahnya
pemahaman mengenai frekuensi. Apabila T= n/t, maka f = t/n (frekuensi adalah waktu
yang dibutuhkan suatu benda untuk berputar sebanyak n). Giancoli (1998) menjelaskan
bahwa frekuensi sebagai jumlah putaran per sekon, sehingga frekuensi berbanding
lurus dengan jumlah putaran dan berbanding terbalik dengan waktu.
Menurut siswa kecepatan linier berbanding lurus dengan jari-jari lingkaran dan
berbanding terbalik dengan kecepatan sudut. Ada juga yang berpendapat bahwa
kecepatan linier sama dengan kecepatan sudut sehingga kecepatan linier berbanding
lurus dengan kecepatan sudut dan berbanding terbalik dengan jari-jari lingkaran.
Menurut Freedman dan Young (2000) kecepatan linier berbanding lurus dengan
kecepatan sudut dan jari-jari.
Anggapan awal siswa bahwa kecepatan sudut sama dengan kecepatan linier
mengakibatkan kesalahan konsep mengenai kecepatan sudut berbanding lurus dengan
kecepatan linier dan jari-jari. Ada juga siswa yang beranggapan bahwa kecepatan sudut
sebanding dengan kuadrat kecepatan linier dan jari-jari.
Berdasarkan penuturan siswa, suatu benda yang mengalami gerak melingkar
beraturan selalu memiliki percepatan sentripetal yang mengikuti arah geraknya dan
mengikuti arah kecepatan sudutnya sehingga percepatan sentripetal tidak menuju ke
pusat lingkaran. Berdasarkan Freedman dan Young (2000) dan Giancoli (1998) arah
percepatan sentripetal adalah menuju ke pusat lingkaran. Menurut siswa gaya
sentripetal berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan linier dan berbanding terbalik
dengan massa dan jari-jari lingkaran. Siswa juga menganggap gaya sentripetal
berbanding terbalik dengan kuadrat kecepatan linier dan berbanding lurus dengan
massa dan jari-jari lingkaran. Giancoli (1998) menjelaskan bahwa gaya sentripetal
berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan linier dan massa, namun berbanding
terbalik dengan jari-jari.
Siswa menganggap bahwa roda yang terhubung dengan tali dan bersinggungan
memiliki kecepatan sudut sama sedangkan benda yang sepusat memiliki kecepatan
sudut yang berbeda. Temuan miskonsepsi ini sama dengan temuan miskonsepsi yang
ditemukan oleh Yolenta (2014). Menurut Taranggono dan Subagyo (2007) menjelakan
bahwa roda yang terhubung dengan tali dan bersinggungan memiliki kecepatan sudut
berbeda sedangkan roda yang sepusat memiliki kecepatan sudut sama.
Berdasarkan hasil wawancara siswa, ditemukan sumber miskonsepsi antara lain:
siswa, guru, teman, dan buku. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan bagi guru
untuk melakukan perbaikan dalam pembelajaran, khususnya pada materi Gerak
Melingkar Beraturan. Guru dapat mengetahui bagian mana saja yang teridentifikasi
miskonsepsi yang dialami siswa. Oleh karena itu, guru dapat merencanakan
pembelajaran lebih baik untuk menanggulangi miskonsepsi yang dialami siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa karakteristik instrument
three-tier diagnostic test meliputi: Setiap butir soal terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat
pertama berupa pertanyaan dengan empat pilihan jawaban yang ditentukan, tiga
ssebagai pengecoh dan satu jawaban benar. Tingkat ke dua berupa empat pilihan alasan,
tiga pilihan tertutup dengan dua sebagai pengecoh, satu jawaban benar dan satu pilihan
alasan terbuka. Terdapat delapan indikator dan jumlah soal three-tier diagnostic test
yang dikembangkan sebanyak 40 butir soal. Reliabilitas three-tier diagnostic test yang
dikembangkan sebesar 0,89 yang termasuk dalam kategori sangat tinggi. Butir soal
three-tier diagnostic test memiliki karakteristik di antaranya: 1) tingkat kesukaran 40
butir soal terdiri atas tiga soal berkategori mudah, 32 soal berkategori sedang, dan lima
soal berkategori sukar; 2) daya pembeda 40 butir soal terdiri atas satu soal berkategori
soal diperbaiki, sepuluh soal berkategori diterima tapi perlu diperbaiki, dan 29 soal
berkategori diterima. Sebanyak 83,3% pengecoh pada pilihan jawaban berfungsi dengan
baik dan sebanyak 91,25% pengecoh pilihan alasan sudah berfungsi dengan baik.
Terdapat 41,6% siswa mengalami miskonsepsi pada materi Gerak Melingkar Beraturan.
Miskonsepsi tertinggi terdapat pada konsep kecepatan linier sebesar 50% dan
miskonsepsi terendah terdapat pada konsep kecepatan sudut sebesar 34,5%.
REFERENSI
Arifin, Z. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian
Agama.
Arikunto, S. 2013. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi 2). Jakarta: Bumi Aksara.
Caleon, I. S. & Subramaniam, R. 2010. Development and Application of a Three-Tier Diag-
nostic Test to Assess Secondary Students’ Understanding of waves. International
Journal of Science Education. 32(7): 939-961.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Tes Diagnostik. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Pertama.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Analisis Butir Soal. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Fariyani, Q., A. Rusilowati & Sugianto. 2015. Pengembangan Four-Tier Diagnostic Test
Untuk Mengungkap Miskonsepsi Fisika Siswa SMA Kelas X. Journal of Innovative
Science Education. 4 (2): 41-49.
Gall, M.D., J. P. Gall & W. R. Borg. 2013. Educational Research: An Introduction (7th ed).
USA: Person Education Inc.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan tes diagnostik berbasis web yang layak
digunakan dalam mengidentifikasi pemahaman konsep siswa pada materi Termodinamika.
Tes diagnostik dikembangkan berbasis web sehingga lebih efisien dibandingkan tes
diagnostik manual. Rata–rata persentase hasil validasi pakar instrumen tes dan pakar media
mencapai 97,92% dan 91,67% atau termasuk dalam kriteria sangat baik. Hasil tes diagnostik
berbasis web pada tahap implementasi menunjukkan profil pemahaman konsep siswa pada
materi suhu dan kalor sebagai berikut: 80,68% siswa telah memahami penerapan kalor
dalam kehidupan sehari-hari; 33,33% siswa telah memahami hubungan kalor dengan massa,
suhu, dan kalor jenis benda; 59,09% siswa telah memahami prinsip azas black; 70,45%
siswa telah memahami prinsip kapasitas kalor dan hubungan kapasitas kalor dengan suhu;
72,73% siswa telah memahami hubungan kalor jenis dengan perubahan wujud dan suhu;
62,12% siswa telah memahami proses perubahan wujud zat; 71,82% siswa telah memahami
prinsip kalor jenis. Berdasarkan hasil penelitian, produk tes diagnostik berbasis web telah
layak digunakan untuk mendiagnosis tingkat pemahaman konsep siswa.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan merupakan kumpulan dari pengalaman-pengalaman serta
pengetahuan-pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dimana masing-masing dari
bagian tersebut bergantung satu sama lain (Syafiie, 2010). Ilmu pengetahuan dalam
pendidikan dapat diukur dengan sebuah tes. Menurut Djaali dan Muljono (2008:7), tes
merupakan salah satu prosedur evaluasi yang komprehensif, sistematik, dan objektif
yang hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam proses
pengajaran yang dilakukan oleh guru.
Hasil observasi menyatakan perolehan hasil belajar dari ujian semester, mid
semester, serta nilai tugas dan ulangan harian kelas X di SMA Negeri 1 Ungaran, tema
Suhu dan Kalor memiliki rata-rata nilai yang paling rendah yakni 63,5. Nilai ini jauh dari
kriteria ketuntasan minimum, yaitu sebesar 75. Guru memiliki permasalahan dalam
mengidentifikasi kesulitan belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi, dibutuhkan
informasi lebih lanjut mengenai konsep dasar dalam materi Suhu dan Kalor yang belum
dikuasai siswa sehingga menyebabkan rendahnya perolehan hasil belajar siswa di SMA
tersebut. Kelemahan siswa dapat diidentifikasi dengan tes diagnostik. Tes diagnostik
berfungsi untuk mengidentifikasi masalah atau kesulitan siswa, serta merencanakan
tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesulitan yang
teridentifikasi (Depdiknas, 2007: 4).
Website merupakan suatu koleksi dokumen HTML pribadi atau perusahaan yang
memuat informasi dalam Web Server (suatu unit komputer yang berfungsi untuk
menyimpan informasi dan mengelola jaringan komputer), dan dapat diakses oleh
seluruh pemakai internet (Basuki, 2009 : 4). Tes berbasis web memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan tes manual. Tes diagnostik berbasis web dapat menilai hasil
pengerjaan soal secara otomatis, sehingga hasil tes dapat keluar lebih cepat. Hal ini
dapat membantu pendidik dalam melakukan tes diagnostik. Pendidik lebih mudah
dalam melakukan persiapan, pengolahan dan pengambilan kebijakan akademik bagi
siswa yang nilainya masih dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Tes diagnostik
berbasis web menghasilkan profil pemahaman konsep sehingga kelemahan konsep
siswa teridentifikasi dan pendidik dapat melakukan kebijakan akademik lanjutan.
Tindakan perbaikan yang dilakukan oleh pendidik diharapkan dapat mengarahkan
siswa untuk memperkuat konsep yang belum dikuasai dan tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara optimal.
Berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya, maka dapat diasumsikan
bahwa tes diagnostik dapat mengidentifikasi permasalahan belajar yang dialami oleh
siswa terkait permasalahan yang berhubungan dengan pemahaman konsep. Menurut
uraian di atas, maka dipilih judul “Pengembangan Tes Diagnostik Berbasis Web pada
Materi Termodinamika untuk Mengidentifikasi Tingkat Pemahaman Konsep Siswa”.
METODE
Penelitian pengembangan tes diagnostik berbasis web dilakukan di SMA Negeri
1 Ungaran berlokasi di Jalan Diponegoro 197, Ungaran, Kabupaten Semarang, pada
bulan April 2015. Subjek penelitian siswa kelas X, 8 siswa kelas X MIA 2 untuk uji coba
skala terbatas dan 22 siswa kelas X MIA 3 untuk uji coba skala luas, serta 22 siswa kelas
X MIA 4 untuk uji pemakaian. Kelas X MIA 2, X MIA 3, dan X MIA 4 dipilih secara
purposive. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian dan Pengembangan atau
Research and Development (R&D), dengan fokus pengembangan pada pengembangan tes
diagnostik berbasis web untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman konsep siswa pada
materi Termodinamika. Langkah-langkah penelitian dan pengembangan diadaptasi dari
Sugiyono (2013). Proses validasi desain melibatkan dua pakar, yakni pakar instrumen
tes dan media, masing-masing terdiri dari dua orang dosen ahli dan guru. Hasil validasi
menentukan kelayakan tes diagnostik berbasis web untuk digunakan dalam penelitian.
Uji coba skala terbatas yang melibatkan 8 siswa kelas X MIA 2 dilakukan setelah tes
diagnostik berbasis web dinyatakan layak oleh pakar. Siswa memberi tanggapan untuk
selanjutnya dijadikan bahan perbaikan sebelum memasuki uji coba skala luas (22 siswa
kelas X MIA 3) pada uji coba skala terbatas. Demikian seterusnya hingga memasuki
tahap implementasi (22 siswa kelas X MIA 4), sehingga dihasilkan tes diagnostik
berbasis web yang layak digunakan.
Tabel 1 Hasil Uji Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web oleh Pakar Instrumen Tes
% Perolehan Skor
No Penilai
Kelayakan Isi Konstruk
1 Validator 1 100 100
2 Validator 2 100 100
3 Validator 3 91,67 100
4 Validator 4 100 91,67
Rata-rata 97,92 98,33
Kriteria sangat layak sangat layak
Hasil penilaian kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh pakar instrumen
media disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil Uji Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web oleh Pakar Instrumen
Media
% Perolehan Skor
No Penilai Rekayasa Komunikasi
Perangkat Visual
1 Validator 1 100 100
2 Validator 2 100 91,67
3 Validator 3 91,67 75,00
4 Validator 4 91,67 83,33
Rata-rata 95,83 87,50
Kriteria sangat layak sangat layak
Hasil penilaian kelayakan tes diagnostik berbasis web oleh responden disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Uji Kelayakan Tes Diagnostik Berbasis Web oleh Responden
% Perolehan Skor
Tampil Tata Isi Pengope Fungsi
Tahap
-an bahas -rasian
a
Uji Skala
Terbatas 76 81 89 80 75
Uji Skala Luas 81 77 87 81 78
Implementasi 91 87 87 83 83
Rata-rata 83 82 88 82 79
Kriteria Sangat Sangat Sangat Sangat
Layak
layak layak layak layak
B. Pemahaman Konsep
Pemahaman materi siswa dalam penelitian ini diketahui dari kombinasi
jawaban siswa dengan alasan yang dipilih dalam mengerjakan soal tes diagnostik
berbasis web. Tabel 4 menunjukkan kriteria penilaian tes diagnostik, dengan
tingkatan pemahaman konsep yang telah dikemukakan oleh Skemp (1976).
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa butir soal nomor 4 adalah butir soal
dengan tingkat relational understanding yang tinggi atau banyak siswa menjawab
dengan benar, sementara pada nomor yang lain, cukup banyak siswa yang dapat
menjawab dengan benar walaupun masih terdapat beberapa instrumenal
understanding.
Profil Indikator 2 Menjelaskan Hubungan Kalor dengan Massa, Suhu, dan Kalor
Jenis Benda
Terdapat 3 butir soal tentang hubungan kalor dengan massa, suhu, dan kalor
jenis benda pada profil indikator kedua ini. Data lebih lengkap terinci pada Tabel 6.
Tabel 6 Profil Pemahaman Indikator 2
Soal Relational Instrumenal Misunderstanding
No Understandin Understanding
g
jml sis- Perse jml Persentase jml Persen-
wa ntase siswa (%) siswa tase
(%) (%)
10 1 4.55 19 86.36 2 9.09
13 14 63.64 8 36.36 0 0.00
19 7 31.82 2 9.09 13 59.09
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa butir soal nomor 10 merupakan soal
dengan tingkat instrumenal understanding tertinggi atau banyak siswa yang masih
rancu dalam memilih jawaban yang benar. Soal nomor 13 sebagian besar anak telah
memahami soal dengan persentase relational understanding 63,64%, sementara
pada soal nomor 19 justru tingkat misunderstanding yang mencapai persentase
tinggi yaitu sebanyak 59,09%.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tes diagnostik berbasis
web pada materi materi Termodinamika untuk siswa SMA kelas X dinyatakan layak
digunakan sebagai alat tes diagnostik. Hal ini dikarenakan tes diagnostik berbasis web
telah memenuhi aspek kelayakan isi, konstruk, perangkat lunak, serta komunikasi visual
sesuai dengan standar kelayakan oleh BSNP. Rata–rata persentase hasil validasi pakar
instrumen tes tahap 1 dan tahap 2 mencapai 87,5% dan 97,92%. Sementara rata-rata
hasil validasi pakar media tahap 1 dan tahap 2 mencapai 85,96% dan 91,67%. Baik hasil
validasi pakar instrumen tes maupun validasi pakar media, keduanya termasuk dalam
kriteria sangat baik.
Hasil profil pemahaman konsep siswa pada materi Suhu dan Kalor sebagai
berikut: 80,68% siswa telah memahami penerapan kalor dalam kehidupan sehari-hari;
33,33% siswa telah memahami hubungan kalor dengan massa, suhu, dan kalor jenis
benda; 59,09% siswa telah memahami prinsip azas black; 70,45% siswa telah
memahami prinsip kapasitas kalor dan hubungan kapasitas kalor dengan suhu; 72,73%
siswa telah memahami hubungan kalor jenis dengan perubahan wujud dan suhu;
62,12% siswa telah memahami proses perubahan wujud zat; 71,82% siswa telah
memahami prinsip kalor jenis.
REFERENSI
Basuki, Murya Arief. 2009. Analisa WebsitE Universitas Muria Kudus. Jurnal Sains Vol. 2
No.2 Desember 2009. Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus.
Djaali dan Muljono. 2008. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo.
Depdiknas. 2007. Pedoman Pengembangan Tes Diagnostik Mata Pelajaran IPA SMP/MTs.
Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2007. Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah Terhadap Pembelajaran
(LIRP). Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Effendi, E. & H. Zhuang. 2005. E-learning, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Skemp, R. R. 1976. Relational Understanding and Instrumenal Understanding.
Department of Education: University of Warwick.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
RnD. Bandung: Alfabeta.
Suharsimi, A. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT Bumi
Rupa Aksara.
Syafiie, Inu K. 2010. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT Refika Aditama.
Wahono, R. S. 2006. Aspek dan Kriteria Penilaian Media Pembelajaran. Tersedia di
http://romisatriawahono.net/2006/06/21/aspek-dan-kriteria-penilaian-media-
pembelajaran/ [diakses 27 September 2015]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran penemuan
berbantuan CD interaktif terhadap peningkatan kemampuan memecahkan masalah Fisika.
Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen pre-test post-test control group design. Data
hasil penelitian dianalisis menggunakan uji gain dan uji t. Analisis uji gain memberikan hasil
peningkatan tinggi sebesar 0,71 untuk kelas eksperimen dan kategori sedang sebesar 0,43 untuk
kelas kontrol. Hasil uji t diperoleh thitung > ttabel, yaitu 6,41 > 1,67 maka terdapat pengaruh
penggunaan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif terhadap kemampuan
memecahkan masalah Fisika.
PENDAHULUAN
Kemampuan berpikir perlu dikembangkan sejak dini, karena diharapkan dapat
menjadi bekal dalam menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari - hari (Rohim,
Susanto, & Ellianawati, 2012). Kemampuan berpikir yang harus dikembangkan dalam
proses pembelajaran saat ini adalah high order of thinking (kemampuan berfikir tingkat
tinggi). Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan
masalah (Sujarwoto, Hidayat, & Wartono, 2014).
Kemampuan memecahkan masalah perlu dilatihkan dalam pembelajaran Fisika agar
siswa mampu menghubungkan konsep yang dipelajari dengan bagaimana konsep
tersebut digunakan dalam kehidupan nyata (Khanifah & Susanto, 2014). Pembelajaran
Fisika di sekolah hendaknya menyiapkan anak didik untuk mampu memecahkan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep-
konsep sains yang telah mereka pelajari. Tujuan lain dari pembelajaran Fisika pertama
adalah mampu mengambil keputusan yang tepat dengan menggunakan konsep-konsep
ilmiah. Kedua adalah mempunyai sikap ilmiah dalam memecahkan masalah yang
dihadapi sehingga memungkinkan mereka untuk berpikir dan bertindak secara ilmiah
(Purwanto, Nugroho, & Wiyanto, 2012).
Pembelajaran Fisika saat ini masih menekankan kemampuan low order thinking
(kemampuan berpikir tingkat rendah). Pembelajaran sering kali hanya menekankan
pada aktivitas mengingat, memahami, dan mengaplikasikan (Rohim, Susanto, &
Ellianawati, 2012). Pembelajaran di kelas cenderung menekankan pada penguasaan
konsep dan mengesampingkan kemampuan pemecahan masalah fisika siswa.
Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks masih kurang,
mereka hanya mampu menyelesaikan permasalahan kuantitatif yang sederhana
(Sujarwoto, Hidayat, & Wartono, 2014).
Peran guru penting dalam mengatasi masalah tersebut. Seorang guru bukan hanya
memberikan pengetahuan pada siswa, namun guru mampu menciptakan kondisi dan
situasi yang memungkinkan pembelajaran berlangsung secara aktif. Guru diharapkan
dapat mendorong siswa bekerja kelompok untuk menumbuhkan daya nalar, cara
berpikir logis, sistematis, kreatif, cerdas, dan terbuka (Taufik, Sukmadinata, Abdulhak, &
Tumbelaka, 2010).
METODE PENELITIAN
Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah siswa kelas X SMA N 1 Andong
Boyolali tahun 2014/2015 yang terdiri atas 3 kelas yaitu X MIA-1, X MIA-2, dan X MIA-3.
Populasi berjumlah 96 siswa. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random
sampling dengan kelas X MIA-3 sebagai kelas eksperimen dan X MIA-2 sebagai kelas
kontrol.
Desain eksperimen yang digunakan adalah quasi experimental design. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan
dokumentasi.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes uraian untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah Fisika siswa. Instrumen penelitian ini dianalisis
validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda.
Analisis data terdiri atas analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis data
awal adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dihitung menggunakan
uji Lilliefors dan uji homogenitas menggunakan uji Bartlett. Analisis data akhir
menggunakan uji gain dan uji t satu pihak kanan. Uji gain dilakukan untuk mengetahui
besar peningkatan kemampuan memecahkan masalah Fisika siswa sebelum diberi
perlakuan dan setelah mendapat perlakuan. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah
yang lebih baik antara dua kelompok kelas dilihat melalui uji t.
PEMBAHASAN
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan memecahkan
masalah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol mengalami peningkatan.
Peningkatan kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol. Hal tersebut
dikarenakan proses pembelajaran dalam kelas eksperimen menggunakan model
pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif. Model pembelajaran penemuan ini
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, efikasi diri dan
memotivasi pembelajaran (Chambers, Thiekotter, & Chambers, 2013).
Berdasarkan perhitungan persentase pada kelas eksperimen dan kelas kontrol
untuk indikator 1 yaitu memahami masalah pada kelas eksperimen lebih baik daripada
kelas kontrol. Aktivitas dalam model pembelajaran penemuan siswa diberikan
permasalahan oleh guru dan siswa terbiasa dalam menganalisis permasalahan. Hal
tersebut menyebabkan kemampuan dalam memahami masalah siswa lebih baik.
Perhitungan peningkatan persentase pada indikator 2 yaitu merencanakan penyelesaian
masalah pada kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Sesuai dengan model
pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen yaitu model pembelajaran
penemuan dengan berbantuan CD interaktif dimana siswa mempunyai kemampuan
dalam memahami masalah, sehingga siswa mampu untuk menganalisis soal dan
menentukan tahapan penyelesaian masalah.
Peningkatan persentase indikator 3 yaitu menyelesaikan masalah kelas
eksperimen juga lebih baik dari kelas kontrol, hal ini disebabkan karena kelompok
eksperimen lebih terbiasa dalam memecahkan permasalahan secara sistematis. Siswa
lebih terbiasa dalam menyelesaikan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan guru sehingga siswa lebih mampu memilih langkah penyelesaian masalah. Lain
halnya dengan pembelajaran kelompok kontrol dimana pembelajaran cenderung kurang
mampu melibatkan dan mengajak siswa untuk dapat memecahkan masalah secara
sistematis (Rahman & Maarif, 2014). Selanjutnya, perhitungan peningkatan persen
pada indikator 4 yaitu melakukan pengecekan/ evaluasi pada kelas eksperimen lebih
baik dari kelas kontrol, hal ini disebabkan siswa kelompok eksperimen dalam
pembelajaran lebih terbiasa dalam menarik kesimpulan dimana dalam setiap pertemuan
siswa dibimbing oleh guru untuk dapat menyimpulkan hasil pemecahan masalah.
Penerapan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah Fisika pokok bahasan Optika
Geometris, dikarenakan karakteristik dari model pembelajaran penemuan yang
menuntut siswa untuk melakukan sebuah penemuan terhadap suatu konsep. Siswa yang
menemukan dan mengalaminya sendiri akan lebih baik pemahamannya, dengan
pemahaman konsep yang baik inilah membuat mereka mampu memecahkan masalah.
Proses pembelajaran dengan model pembelajaran penemuan siswa terlibat lebih aktif
atau di dalam model ini terdapat aktivitas siswa langsung. Kegiatan pembelajan yang
berpusat kepada siswa membuat lebih paham konsep yang sedang dipelajari, pada
akhirnya mampu memecahkan masalah Fisika dengan baik. Selain itu, siswa diajak
membangun pengetahuannya sendiri melalui serangkaian tugas baik tugas individu
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah Fisika siswa. Peningkatan tersebut
ditunjukkan dari uji gain yang didapatkan hasil sebesar 0,71 kategori tinggi pada siswa
yang diajar menggunakan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif.
Dilihat dari perhitungan uji t satu pihak kanan, diperoleh t hitung > t tabel maka terdapat
pengaruh penggunaan model pembelajaran penemuan berbantuan CD interaktif
terhadap kemampuan memecahkan masalah Fisika.
REFERENSI
Ambarwati, N., Widiyatmoko, A., & Pamelasari, S. D. (2014). Pengembangan CD Interaktif
IPA Terpadu Tema Kalor Berbasis Scient Edutainment untuk Siswa SMP. Unnes
Scient Education Journal, 632.
Chambers, D., Thiekotter, A., & Chambers, L. (2013). Preparing student nurse for
contemporary practice: The case for pembelajaran penemuan. Journal of
Nursing Education and Practice.
DeDonno, M. A. (2016). The influence of IQ on pure discovery and guided pembelajaran
penemuan of a complex real-world task. journal learning and individual
differences.
I. W, W., I. W, S., & I. W, S. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran penemuan terhadap
Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa SMP. e Jurnal Program Pasca
Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha.
Khanifah, & Susanto, H. (2014). Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based
Instruction Berbantuan Media Audio Visual dalam Meningkatkan Kemampuan
Menganalisis dan Memecahkan Masalah Fisika. Unnes Physics Education Journal,
49.
Purwanto, C. E., Nugroho, S. E., & Wiyanto. (2012). Penerapan Model Pembelajaran
Guided Discovery pada Materi Pemantulan Cahaya untuk Meningkatkan
Berpikir Kritis. Unnes Physics Education Journal, 27.
Rahman, R., & Maarif, S. (2014). Pengaruh Penggunaan Metode Discovery terhadap
Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan Pamarican Kabupaten
Ciamis Jawa Barat . Jurnal Ilmiah Proram Studi Matematika STKIP Siliwangi
Bandung.
Rohim, F., Susanto, H., & Ellianawati. (2012). Penerapan Model Discovery Terbimbing
pada Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.
Unnes Physics Education Journal, 2.
Sujarwoto, E., Hidayat, A., & Wartono. (2014). Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika
pada Modeling Instruction pada Siswa SMA Kelas XI . Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia, 66.
Taufik, M., Sukmadinata, N., Abdulhak, I., & Tumbelaka, B. Y. (2010). Desain Model
Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah dalam
Pembelajaran IPA (Fisika) Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung. Berkala
Fisika, 33.
Abstrak
Lintasan berpikir siswa SMA dalam memecahkan permasalahan materi suhu dan kalor telah
diperoleh melalui perumusan strategi pembelajaran berbasis Hypothetical Learning
Trajectory (HLT) . Tujuan pendeskripsian lintasan berpikir siswa adalah mengetahui letak
kelemahan siswa dalam sub materi suhu dan kalor sehingga guru dapat merumuskan
kembali metode yang tepat untuk kegiatan pembelajaran pada tahun berikutnya. Sampel
yang diambil berjumlah 72 siswa SMA dengan menggunakan metode test dan non-test
(wawancara). Hasil penelitian menunjukkan jumlah dari jenis lintasan berpikir siswa yang
paling banyak adalah untuk sub materi suhu dan pemuaian dengan kelemahan siswa belum
mengetahui aturan kesebandingan senilai. Jumlah dari jenis lintasan berpikir siswa paling
sedikit adalah pada materi Azas Black dengan kelemahan siswa belum mampu
mengilustrasikan permasalahan ke dalam grafik suhu terhadap kalor, belum memahami
fungsi kalor untuk menaikkan suhu, dan fungsi kalor untuk merubah wujud.
PENDAHULUAN
Objek utama sistem pendidikan nasional adalah anak dengan segala jenis
kemampuan dan kebutuhan yang dimiliki. Anak dengan usia yang relatif sama akan
memiliki perbedaan pola berpikir dalam memecahkan permasalahan. Perbedaan pola
berpikir dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi:
inteligensi, motivasi, minat, dan perhatian, sedangkan faktor eksternal meliputi: cara
orang tua mendidik, pengertian orang tua, dan relasi antar anggota keluarga (Slamet,
2010).
Pola berpikir setiap anak berkaitan dengan kemampuan kognitif yang dimiliki.
Proses ini merupakan penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari
lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. (Khodijah,
2014). Perkembangan kognitif anak dimulai dari hal yang konkrit menuju tahap yang
lebih abstrak. Beberapa anak melalui tahap tersebut secara cepat namun ada pula yang
lambat. Anak dengan kemampuan kognitif tinggi tidak memerlukan banyak tahapan
dalam memecahkan masalah, namun bagi anak dengan kemampuan kognitif rendah
akan memerlukan banyak tahapan sebelum memperoleh hasil dari proses pemecahan
masalah (Soedjadi, 2007).
Belajar tidak sama dengan berpikir. Berpikir merupakan aktivitas psikis apabila
seseorang menjumpai masalah yang harus dipecahkan, sedangkan belajar merupakan
aktivitas individu dalam rangka mengembangkan potensi, baik dalam aspek kognitif
(intelektual), afektif (sikap, keyainan, kebiasaan), konatif (motif, minat, cita-cita), dan
psikomotorik (keterampilan) atau di dalam aktivitas ini berlangsung proses berpikir
(Yusuf, 2006).
Setiap anak dalam proses memecahkan masalah akan menghasilkan beberapa
lintasan belajar. Lintasan belajar (learning trajectory) dapat dijadikan acuan guru untuk
mengetahui keadaan siswa dalam suatu materi pembelajaran tertentu. Lintasan belajar
juga mampu menggambarkan alur atau proses siswa dalam berpikir sehingga guru
mampu merumuskan dan memperbaiki kembali kegiatan pembelajaran sesuai
kebutuhan siswa (Wuriyudani, 2015).
Istilah lintasan belajar pertama kali digunakan oleh Simon yaitu Lintasan Belajar
Hipotetik atau Hypothetical Learning Trajectory (HLT) (Simon, 1995). Menurutnya, alur
belajar hipotetik terdiri atas tiga komponen utama yaitu: tujuan belajar, sekumpulan
tugas, dan hipotesis proses anak berpikir. Rancangan HLT yang telah disusun akan
menjadi lintasan belajar anak dalam memecahkan masalah setelah diaplikasikan dan
diperbarui dalam suatu pembelajaran. Pada prakteknya HLT yang disusun guru tidak
selalu sesuai dengan lintasan belajar anak. Oleh karena itu identifikasi lintasan belajar
masing-masing anak menjadi bagian penting yang perlu dikaji.
Pada penelitian dikaji kesesuaian antara HLT dengan lintasan belajar anak
berdasarkan hasil lapangan dan tidak berupa hipotesis. Lintasan belajar tersebut yang
dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan proses pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pati. Sampel
penelitian adalah siswa kelas X-MIA 6 dengan jumlah 36 orang dan siswa kelas X-MIA 8
dengan jumlah 36 orang. Tujuan ditetapkannya sampel sejumlah 72 orang adalah untuk
memperbesar kemungkinan ditemukannya beberapa lintasan belajar siswa dalam
memecahkan suatu masalah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode
deskriptif dengan menggunakan teknik penelitian Sampling Purposive yaitu teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (saran guru mata pelajaran fisika SMA
Negeri 1 Pati) (Sugiyono, 2012).
Metode pengumpulan data penelitian terdiri dari dua jenis, yakni metode test
(tes tertulis materi suhu dan kalor) dan non-test yaitu wawancara. Metode test
digunakan untuk mengetahi proses siswa dalam menyelesaikan permasalahan materi
suhu dan kalor, sedangkan metode wawancara digunakan untuk melakukan klarifikasi
terhadap jawaban tertulis siswa.
Penentuan jumlah sampel dalam metode wawancara didasarkan pada jumlah
seluruh siswa dalam kelompok eksperimen yaitu 72 orang. Jumlah sampel minimum
dalam metode wawancara adalah 10% dari sampel penelitian (Gay & Diehl, 1992).
Jumlah sampel metode wawancara penelitian berjumlah 7 siswa.
Tabel 2 Lintasan berpikir materi silabus: Hubungan Kalor Dengan Suhu Benda Dan
Wujud
Linta Kode
san Lintas
S.E 2 Belaj Lintasan Berpikir an
ar
ke-
Berapa banyak I 1. Menggambar grafik suhu terhadap A
kalor harus jumlah kalor
dilepas dari 0,5 kg 2. Tidak menggambar grafik(*) B
air bersuhu 30℃ 3. Melakukan perhitungan nilai kalor C
untuk dengan rumus.
mengubahnya 4. Menjumlahkan nilai kalor D
menjadi es 5. Jawaban tepat TRUE
bersuhu 0℃? II 1. Menggambar grafik suhu terhadap A
Lukislah diagram jumlah kalor
suhu kalor untuk 2. Tidak menggambar grafik(*) B
proses tersebut. 3. Melakukan perhitungan nilai kalor C
Diketahui jika dengan rumus.
kalor lebur es= 4. Menjumlahkan nilai kalor D
3,36× 105 J/kg,
5. Jawaban tidak tepat FALSE
Linta Kode
san Lintas
S.E 3 Lintasan Berpikir
Belaj an
ar ke-
Sebuah balok es 30 g I 1. Melukis grafik suhu terhadap A
pada 0℃ dicelupkan kalor
ke dalam bejana 2. Menulis persamaan Azas Black B
berisi 200 g air pada 3. Menghitung suhu akhir dengan C
30℃. Jika bejana menggunakan Azas Black
dianggap tidak 4. Jawaban tepat TRUE
menyerap kalor, II 1. Menulis persamaan Azas Black B
berapakah suhu 2. Menghitung suhu akhir dengan C
akhir campuran? menggunakan Azas Black
kalor lebur es = 336 3. Jawaban tepat TRUE
×103 J/kg, kalor jenis III 1. Menulis persamaan Azas Black B
air = 4,2 ×103 J/kg K. 2. Menghitung suhu akhir dengan C
menggunakan Azas Black
3. Jawaban tidak tepat FALSE
IV 1. Menulis persamaan Azas Black B
2. Menghitung suhu akhir dengan C
menggunakan Azas Black
3. Jawaban tidak tepat FALSE
V 1. Menulis persamaan Azas Black B
2. Menghitung suhu akhir dengan C
menggunakan Azas Black
3. Jawaban tidak tepat FALSE
Data lintasan berpikir siswa telah diperoleh melalui metode test dan non-test
(wawancara). Berdasarkan data tersebut ditemukan perbedaan lintasan berpikir siswa
dalam menyelesaikan permasalahan bab suhu dan kalor. Siswa cenderung memiliki
banyak cara untuk menyelesaikan permasalahan sesuai analogi berpikir dan tidak selalu
mengikuti langkah penyelesaian yang dibuat oleh guru.
Sub materi suhu dan pemuaian diwakili oleh soal S.E 1. Soal ini bertujuan untuk
mengetahui lintasan berpikir siswa dalam mengkalibrasi termometer. Soal S.E 1
mengharuskan siswa untuk: mengetahui syarat penentuan titik tetap atas (berdasarkan
air mendidih) dan titik tetap bawah (berdasarkan air membeku) termometer X;
memahami titik tetap atas dan titik tetap bawah termometer Celcius, dan melakukan
kalibrasi termometer Celcius dan termometer X secara matematis
Lintasan berpikir siswa untuk S.E 1 secara umum terdiri dari empat jenis sesuai
Gambar 1. Lintasan pertama, siswa terlebih dahulu menggambar skala sebagai alat
untuk mempermudah perhitungan. Proses berpikir siswa dilanjutkan dengan
mengubah skala bantuan tersebut ke dalam persamaan matematis. Persamaan
matematis yang dikemukakan siswa juga memiliki beberapa jenis. Pertama, siswa
mengurangi poin atas dengan poin tengah kemudian dibagi dengan pengurangan titik
atas dengan titik bawah. Kedua, siswa mengurangi titik atas dengan titik tengah,
kemudian mengurangi titik tengah dengan titik bawah.
Berdasarkan proses wawancara yang dilakukan, siswa memiliki kemampuan
berpikir tersebut karena proses menemukan sendiri yaitu dengan mengaitkan prinsip
kesebandingan dalam matematika. Menurut teori Polya, penyelesaian masalah tersebut
disebut Heuristik. Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu
pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Heuristik tidak menjamin solusi
yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi suatu permasalahan
(Syaban, 2008). Kemampuan berpikir siswa lain yang mengaitkan prinsip
kesebandingan dalam matematika untuk menyelesaikan soal kalibrasi termometer
diperoleh dari guru bimbingan belajar (kursus di luar sekolah).
Lintasan berpikir kedua untuk S.E 1 adalah siswa cenderung menghafalkan
rumus matematis yang diajarkan guru di kelas. Pola ini cenderung banyak diminati
siswa, namun memiliki resiko yaitu siswa lebih mudah lupa terhadap rumus matematis
yang dihafalkan. Hal tersebut dibuktikan melalui proses wawancara yang dilakukan satu
minggu setelah siswa melakukan tes. Siswa kelompok ini sebagian besar lupa terhadap
rumus matematis yang telah dituliskan.
Lintasan berpikir ketiga untuk S.E 1 adalah dengan membuat perbandingan
senilai, namun tanpa menyertakan titik tetap bawah. Cara berpikir siswa ini hampir
sama dengan lintasan berpikir keempat, namun siswa kelompok ini melakukan
perbandingan senilai dengan menggambar skala terlebih dahulu. Kesalahan siswa
terletak pada proses perumusan perbandingan yang hanya menyertakan satu sisi titik
atas dengan titik bawah, sedangkan sisi yang lain hanya titik tetap atas.
Sub materi hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya diwakili oleh S.E 2.
Soal ini bertujuan untuk mengetahui lintasan belajar siswa untuk grafik suhu terhadap
kalor. Soal S.E 2 mengharuskan siswa untuk: melukiskan grafik suhu terhadap kalor;
mengetahui fungsi kalor dalam grafik suhu terhadap kalor; dan mengetahui persamaan
matematis dalam grafik suhu terhadap kalor.
Setiap alur dari grafik ditulis persamaan matematis yang menyertai proses
tersebut. Lintasan berpikir kedua dan ketiga tidak menyertakan grafik, dan siswa
langsung mensubstitusikan rumus kalor ke dalam persamaan Azas Black. Sebagian
besar siswa menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat, namun sebagian yang lain
masih salah. Lintasan berpikir kedua dan ketiga memiliki satu kesalahan yang sama,
yaitu siswa salah menafsirkan antara massa air dan massa es untuk setiap proses dari
grafik. Siswa berpendapat jika massa zat dan kalor jenis zat akan berubah sesuai
wujudnya.
Lintasan berpikir keempat dan kelima memiliki karakteristik yang sama. Siswa
dalam kelompok ini masih belum mampu menafsirkan permasalahan. Siswa pada
lintasan berpikir keempat menganggap jika persamaan Azas Black hanya untuk proses
dengan wujud cair sehingga hanya tertulis persamaan kalor untuk menaikkan suhu.
Siswa dengan alur berpikir kelima cenderung tidak memiliki argumen yang kuat dalam
memecahkan permasalahan. Siswa hanya mengetahui jika benda berawal dari es dan
melebur menjadi air sehingga persamaan kalor yang digunakan adalah kalor untuk
menaikkan suhu sama dengan kalor untuk merubah wujud.
Berdasarkan lintasan belajar siswa, maka diperoleh hubungan antara lintasan
berpikir dan kelemahan yang dihadapi siswa. Hasil tersebut dapat dilengkapi dengan
bantuan guru (teacher support) sehingga tujuan pembelajaran materi suhu dan kalor
pada kegiatan pembelajaran tahun depan dapat dicapai dengan maksimal.
Tabel 4 Hubungan Lintasan Berpikir, Kelemahan, dan Bantuan Guru
Sub Lintasan
No Kelemahan Bantuan Guru
Materi Belajar
1. Suhu dan Membuat skala Tidak Mempertegas
pemuaian sebagai alat menyertakan kembali
bantu nilai titik tetap penggunaan skala
Menggunakan bawah sebagai alat bantu
rumus Mengingatkan
Membuat aturan
perbandingan perbandingan
senilai senilai
2. Hubungan Melukiskan Belum memahami Mengingatkan jika
kalor grafik suhu nilai perubahan perubahan suhu
dengan terhadap kalor suhu kapan adalah suhu akhir
suhu Mensubstitusika bernilai negatif dikurangi suhu awal
benda dan n rumus kalor dan kapan bernilai Nilai Q positif
wujudnya untuk positif berarti menyerap
menaikkan suhu Belum memahami kalor, nilai Q negatif
dan mengubah pelukisan grafik berarti melepas
wujud dan nilai kalor kalor
yang menyertai Mengharuskan
siswa memahami
dan mampu
melukiskan grafik
suhu terhadap kalor
3 Azas Membuat Belum Mengharuskan
. Black diagram suhu memahami siswa memahami
terhadap kalor diagram soal terlebih dahulu
Merumuskan pencampuran Memberikan saran
persamaan Azas dua zat agar proses
Black Belum dilukiskan dalam
SIMPULAN
Materi suhu dan kalor terdiri dari beberapa sub bab, diantaranya: suhu dan
pemuaian; hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya; serta Azas Black.
Pembentukan lintasan berpikir setiap sub materi dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti: cara guru menyampaikan materi, hasil belajar anak dengan sumber belajar lain
seperti guru les atau buku teks, mengaitkan dengan mata pelajaran lain seperti
matematika, dan teknik heuristik atau mencoba-coba.
Sub materi suhu dan pemuaian memberikan banyak pengembangan lintasan
berpikir siswa. Kelemahan yang dihadapi siswa pada sub materi ini adalah kesalahan
siswa yang tidak menyertakan titik tetap bawah dalam perbandingan senilai. Sub materi
hubungan kalor dengan suhu benda dan wujudnya memberikan lintasan berpikir siswa
yang tidak terlalu banyak. Kelemahan siswa pada sub materi ini adalah kurangnya
pemahaman membedakan nilai kalor yang dilepas dan diterima. Sub materi dengan
pemahaman siswa paling rendah berada pada materi Azas Black. Siswa masih belum
memahami grafik suhu terhadap kalor untuk dua benda berwujud berbeda yang
dicampurkan.
REFERENSI
Gay, L. R. & P. L. Diehl. 1992. Research Methods for Business and. Management. New York:
MacMillan Publishing Company.
Khodijah, Nyanyu. 2014. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers.
Simon, Martin A. 1995. Reconstructing mathematics pedagogy from a constructivist
perspective. Journal for Research in Mathematics Education, 1(26): 114-145.
Slamet. 2010. Belajar Dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta. Rineka Cipta.
Soedjadi, R. 2007. Masalah Konstekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah.
Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.
Sugiyono .2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Syaban, M. 2006. Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah
Menengah Atas melalui Pembelajaran Investigasi, Educationist, 3(2), 129-136.
[Online] Tersedia
di:http://file.upi.edu/direktori/Jurnal/educationist/vol.IIIno.2juli2009/2008.
[diakses 13-09-2017.
Wuriyudani, Hasri Arlin. 2015. Implementasi Strategi Pembelajaran Fisika Berbasis
Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Untuk Meningkatkan Keterampilan
Berpikir Ilmiah Siswa. Skripsi lib.unnes.ac.id/ 22124/1/4201411142-S.
Yusuf, Syamsu. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya.
Abstrak
Beberapa kendala yang dialami peserta didik pada saat praktikum Viskositas antara lain
tabung viskositas yang kurang tinggi dan pengamatan gerak bola yang jatuh pada fluida.
Gerakan jatuhnya bola ke dalam fluida tidak bisa teramati dengan jelas karena bola bergerak
terlalu cepat. Tujuan penelitian ini untuk mempermudah peserta didik dalam menentukan
nilai koefisien viskositas pada praktikum viskositas Fluida. Penelitian ini
mengembangkan metode praktikum Viskositas dengan aplikasi video tracker.
Pengembangan praktikum Viskositas dapat mempermudah untuk merekam jejak jatuhnya
benda ke dalam fluida. Data grafik dan data pada table dapat digunakan siswa untuk
menentukan kecepatan terminal dan pada akhirnya bisa menentukan nilai koefisien
viskositas. Hasil percobaan praktikum viskositas memiliki nilai koefisien viskositas oli
20W-50W adalah 1,49 dan oli 15W-40W adalah 1,22. Berdasarkan hasil penelitian nilai
viskositas fluida cukup konsisten dan signifikan sehingga metode ini dapat digunakan untuk
pembelajaran praktikum Viskositas SMA kelas XI.
PENDAHULUAN
Viskositas menyatakan kekentalan suatu fluida yang menyatakan besar kecilnya
gesekan dalam fluida. Semakin besar viskositas fluida, maka semakin sulit suatu fluida
untuk mengalir dan juga menunjukkan semakin sulit suatu benda bergerak dalam fluida
tersebut (Ariyanti,E.S. dan Agus ,M, 2010). Kekentalan merupakan sifat cairan yang
berhubungan dengan hambatan untuk mengalir. Beberapa cairan ada yang dapat
mengalir dengan cepat namun ada yang mengalir secara lambat. Fluida yang mengalir
lambat seperti gliserin, madu dan minyak, ini dikarenakan mempunyai viskositas besar.
Jadi viskositas menentukan kecepatan mengalirnya cairan (Halliday dan Resnick, 1985).
Praktikum viskositas fluida yang dilaksanakan secara manual dengan
menggunakan bola jatuh atau tabung kapiler biasanya menggunakan pengukur waktu
stopwatch. Pengukuran dengan cara ini sering memberikan hasil kurang tepat yang
disebabkan oleh kesalahan teknis praktikan. Oleh karena itu diperlukan cara agar
praktikum menghasilkan data-data yang lebih akurat, slah satunya dengan
menggunakan batuan software computer (Fitri Marliani, 2015).
Seiring dengan meluasnya pemakaian teknologi informasi, banyak software yang
ditawarkan secara online serta dapat diunduh secara gratis. Salah satu program yang
dapat diunduh tersebut adalah software Video Tracker. Software ini dapat digunakan
untuk menganalisis pengamatan posisi benda bergerak melalui analisis video (Hantoro,
B dan Suharno, 2014). Format video itu familiar bagi siswa, mengandung banyak data
spasial dan temporal, dan menyediakan jembatan antara observasi langsung dan
representasi abstrak fenomena fisik. Hal ini membuat analisis video menjadi menarik
bagi banyak eksperimen gerak 2D (dan kadang-kadang 3D) termasuk proyektil, osilasi,
kolom, rotasi, dan bahkan gerak Brown (A. Page, P. Candelas, and F. Belmar, 2006).
Software Video Tracker di atas dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan
praktikum untuk menentukan nilai viskositas fluida. Selama ini metode yang digunakan
untuk menentukan koefisien viskositas fluida adalah metode bola jatuh dengan
mengandaikan berlakunya hukum Stokes, serta metode aliran fluida dalam tabung
kapiler dengan mengandaikan berlakunya hukum Newton tentang gesekan fluida
(Nelkom dan Parker, 1995). Software ini melalui metode analisis video dapat merekam
kejadian- kejadian alam terutama yang berhubungan dengan kelajuan, kecepatan,
percepatan, gaya, medan gravitasi, konversi dan konservasi energi (Habibullah &
Maladzim, 2014).
Pemanfaatan teknologi komputer berbantuan kamera rekaman video berbantuan
tracker merupakan pencitraan dalam praktikum yang mempunyai biaya murah.
Rekaman video juga dapat merekam jejak benda yang jatuh pada kekentalan zat cair.
Shamim & Wasif Zia & Anwar,2011). Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji
efektifitas penggunakan software video tracker dalam praktikum pengukuran viskositas
fluida agar diperoleh hasil yang lebih akurat dibanding dengan hasil secara manual.
Permasalahan umum praktikum viskositas di SMA adalah pengamatan gerak bola yang
jatuh pada fluida. Gerakan bola yang jatuh pada fluida tidak bias teramati dengan jelas
karena bola bergerak terlalu cepat. Penelitian ini telah mengembangkan metode
praktikum Viskositas dengan aplikasi video tracker. Pengembangan praktikum
Viskositas ini dapat mempermudah untuk merekan jejak jatuhnya benda pada fluida.
Jejak benda tersebut akan direkam dan ditansfer dalam bentuk grafik. Dari rekaman
grafik dan data pada tabel, siswa dapat menentukan kecepatan terminal dan pada
akhirnya bisa menentukan nilai koefisien viskositas.
METODE PENELITIAN
Praktikum penentuan koefisien viskositas (η) berbantuan video tracker diawali
dengan pengukuran diameter bola dengan jangka sorong dan massa bola neraca lengan.
Pipa yang digunakan untuk percobaan viskositas mempunyai ketinggian 49 cm dan
diameter 6,9 cm. Sedangkan fluida yang digunakan adalah oli 20W-50 dan oli 15W-40.
Bola yang dijatuhkan ke dalam fluida direkam dengan kamera handphone,
kemudian video yang tersimpan pada memori kamera diimpor ke dilakukan analisis
deng aplikasi video tracker untuk mengetahui besar kecepatan terminal kelereng yang
dimasukkan kedalam fluida tersebut.
Pengambilan data dimulai dengan cara merekam gerak bola yang dijatuhkan ke
dalam oli dengan kamera. Percobaan dilakukan berulang yaitu sebanyak 3 kali pada
masing-masing oli, dapat dilihat pada gambar 1.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, walaupun terdapat perbedaan nilai viskositas,
akan tetapi jika diperhatikan perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan atau dengan
kata lain nilai yang diperoleh relatif konstan sehingga percobaan viskositas untuk
menentukan nilai koefisien dengan bantuan kamera Handphone dan aplikasi tracker
dapat dijadikan metode alternatif untuk memperoleh nilai koefisien viskositas pada
pembelajaran materi viskositas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
menyelesaikan penelitian ini
REFERENSI
Ariyanti,E.S. dan Agus ,M, 2010 , Otomasasi Pengukuran Koefisien Viskositas Zat Cair
Menggunakan Gelombang Ultrasonik, Jurnal Neutrino,vol 2, No 2 Halliday dan
Resnick, 1985, Fisika, Erlangga: Jakarta
Hantoro, B dan Suharno. (2014). Menyelidiki Hubungan Kecepatan Terminal
dan Viskositas Zat Cair dengan Video Analisis Tracker. Prosiding Pertemuan
Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY (ISSN:0853-0823). Yogyakarta.
A. Page, P. Candelas, and F. Belmar, 2006 “Application of video photogrammetry to
analyse mechanical systems in the undergraduate physics laboratory,” Eur. J. Phys.
27, 647–655
(Douglas Brown&Anne J. Cox, 2009) Innovative uses of video analysis, The Physics
Teacher, Vol. 47. March 2009, DOI : 10. 1119/1. 3081296DOI: 10.1119/1.3081296
Habibullah & Maladzim. 2014. Penerapan Metode Analisis Video Software Tracker
Dalam Pembelajaran Fisika Konsep Gerak Jatuh Bebas Untuk Menentukan
Ketrampilan Proses Siswa Kelas X SMAN 1 Sooko Mojokerto.
Nelkom, M dan P., Parker, 1995, “Advanced Level Physics” 3rd Edition, London:
Heinemann Educational Books.
Shamim & Wasif Zia & Anwar,2011, Investigating viscous damping using a webcam,
arXiv [physics.ed.ph], 09 Juni 2011
D.Brown dan W.Christian.2012. “Tracker”. diunduh dari
http://www.opensourcephysics. org /
Hantoro, B dan Suharno. (2014). Menyelidiki hubungan kecepatan terminal dan
viskositas zat cair dengan video Analisis Tracker. Prosiding Pertemuan Ilmiah
XXVIII HFI Jateng dan DIY (ISSN:0853-0823) Yogyakarta
Raden Oktovadan Sirtumiati. 2013. Pemanfaatan Tracker Dalam Eksperimen Ayunan
Bandul Teredam Untuk Penentuan Koefisien Viskositas Udara Dengan Hukum
Landau-Lifshitz. Berkala Fisika Indonesia. Universitas Ahmad Dahlan
Fitri Marliani. 2015. Penerapan Analisis Video Tracker dalam Pembelajaran Fisika SMA
Untuk Menentukan Nilai Koefisien Viskositas Fluida. Prosiding Simposium
Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS 2015) 8 dan 9 Juni 2015,
Bandung, Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pemahaman konsep siswa SMP pada
materi Suhu dan Kalor menggunakan tes diagnostik tingkat 2 berbasis web. Subjek dari
penelitian ini adalah siswa kelas VII SMPN 2 Kendal tahun ajaran 2014/2015. Uji coba dalam
penelitian ini dilakukan tiga tahap yakni uji coba skala terbatas, uji coba skala luas, dan
implementasi. Hasil identifikasi tingkat pemahaman konsep siswa dengan tes diagnotik
tingkat 2 didapatkan hasil 36% siswa berada pada tingkat pemahaman relational
understanding, 38% siswa berada pada tingkat pemahaman instrumental understanding, dan
26% siswa berada pada tingkat pemahaman misunderstanding.
Kata kunci : tes diagnostik berbasis web, pemahaman konsep, suhu dan kalor
PENDAHULUAN
IPA terpadu merupakan salah satu bentuk pembelajaran model implementasi
kurikulum untuk diaplikasikan ke jenjang SMP. Fisika merupakan bagian dari
pembelajaran IPA terpadu yang mempelajari fenomena alam. IPA Fisika merupakan
mata pelajaran yang tidak mengabaikan hakikat IPA Fisika sebagai Sains (Taufik, 2010).
Pengetahuan Fisika diperoleh dari penalaran yang secara teoritis berasal dari
pengamatan dan eksperimen terhadap gejala alam (Ribkahwati, 2012). Dasar dari ilmu
Fisika adalah pengamatan dan eksperimen sehingga dalam mempelajarinya
membutuhkan kecermatan dan ketepatan serta akan menjumpai hal yang tidak terduga
sebelumnya. Kenyataan yang sering dijumpai di lapangan adalah keadaan dimana siswa
hanya hafal rumus tanpa memahami konsepnya.
Data yang didapat dari hasil observasi awal yang dilakukan di SMPN 2 Kendal adalah
pencapaian belajar siswa. Materi suhu dan kalor paling rendah jika dibanding dengan
materi lainnya. Hanya sekitar 16% siswa dari 3 kelas yang mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM). Berdasarkan hasil tersebut dibutuhkan informasi lebih lanjut mengenai
faktor yang menyebabkan rendahnya perolehan hasil belajar siswa. Tes diagnostik
dapat mengidentifikasi permasalahan belajar yang dialami siswa.
Tes diagnostik adalah tes yang dilakukan untuk mendiagnosis masalah belajar yang
dialami siswa misalnya masalah yang terkait dengan pemahaman konsep. Selain
berfungsi untuk mendiagnosis masalah belajar siswa tes ini juga bermanfaat bagi
pendidik salah satunya pendidik dapat merencanakan tindakan berupa upaya
pemecahan sesuai masalah yang telah teridentifikasi. Media atau alat tes diagnostik
pada penelitian ini menggunakan tes diagnostik yang dikemas dalam sebuah web.
Proses pengerjaan tes diagnostik berbasis web dapat dikerjakan secara online sehingga
memudahkan siswa untuk mengerjakan dan guru dalam pengoreksian.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memilih judul“Identifikasi Tingkat
Pemahaman Konsep Siswa SMP dengan Tes Diagostik Berbasis Web”.
METODE
Penelitian dilaksanakan di SMP 2 Kendal pada semester genap dan diujikan pada
siswa kelas VII. Tahap awal penelitian ini adalah dilakukan pengumpulan data dengan
cara observasi dan studi pustaka untuk mengidentifikasi potensi dan masalah yang ada
di lapangan. Penelitian ini dilakukan uji coba dalam 3 tahap, uji coba skala terbatas yang
melibatkan 8 siswa, uji coba skala luas yang melibatkan 22 siswa, dan implementasi
yang melibatkan 22 siswa.
18 1 14 7
19 9 9 4
20 7 13 2
21 10 9 3
Tabel 5 menunjukkan bahwa soal nomor 11, 13, dan 15, banyak siswa yang
menjawab dengan benar. Hal ini disebabkan karena pada nomor tersebut menyajikan
petistiwa yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa sudah terbiasa maka
dari itu penjelasan untuk menjawab soal juga lebih baik. Hal ini sesuai dengan
penjelasan menurut Rifa’I dan Anni (2011) bahwa hasil belajar peserta didik diperoleh
peserta didik setelah mengalami kegiatan belajar dan tergantung pada apa yang
dipelajari oleh peserta didik.
SIMPULAN
Hasil analisis pada indikator 1 sampai 4 didapatkan persentase rata-rata tingkat
pemahaman konsep siswa dengan tes diagnostik tingkat 2 yakni 36% siswa berada pada
tingkat pemahaman relational understanding, 38% siswa berada pada tingkat
pemahaman instrumental understanding, dan 26% siswa berada pada tingkat
pemahaman misunderstanding.
REFERENSI
Astuti, Rahayu Budi. 2012. Pengembangan Tes Diagnostik Berbasis Komputer. Jurnal
Pendidikan Matematika.1(1)
Anastasi, Anne & S. Urbina. 1961. Psychological Testing. Seventh Edition. London:
Prentice-Hall
Bloom, Samuel Benjamin.1954. Taxonomy of Educational Objectives: Longmans, Green
Chandrasegaran, A; D. Treagust; & M. Mocerino. 2007. The Development of a Two-Tier
Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School Students’
Ability to Describe and Explain Chemical Reaction Using Multiple Level of
Representation. Chemical Education Research and Practice, 8(3). 293-30
Dimyati, Mujiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Asdi Mahastya.
Jamil, M., R. Tariq., & P. Shami. 2012. Computer-Based vs Paper-Based Examinations.
Journal of Educational Technologi, 11(4): 371-381.
Ribkahwati. 2012. Ilmu Kalaman Dasar. Yogyakarta: Graha Ilmu
Rifa'i, Achmad dan Catharina Tri Anni. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: UPT
UNNES Press.
Rusilowati, A. 2006. Profil Kesulitan Belajar Fisika Pokok Bahasan Kelistrikan Siswa
SMA di Kota Semarang. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 4(2):100-101.
Semarang: FMIPA Unnes.
Taufik, M., Sukmadinata, Abdulhak, I., Tumbelaka, B. Y. (2010). Desain model
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam
pembelajaran IPA (fisika) sekolah menengah pertama di kota bandung. Berkala
Fisika, Vol 13, No 2 (2010): Edisi Khusus, E31-E44
Abstrak
Tujuan dari penelitian adalah mengetahui pengaruh pemahaman konsep dan kemampuan
pemecahan masalah Fisika antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran berbasis
masalah berbantuan video pembelajaran dan model pembelajaran berbasis masalah tanpa
menggunakan video. Penelitian menggunakan quasi experimental design dengan posttest-only
control design. Populasi dari penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Andong Boyolali
tahun pelajaran 2015/ 2016. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik cluster random
sampling dengan hasil adalah kelas XI MIPA-1 sebagai kelas eksperimen dan kelas XI MIPA-2
sebagai kelas kontrol. Hasil posttest dianalisis dengan menggunakan uji t satu pihak. Hasil
penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pemahaman konsep dan kemampuan
pemecahan masalah Fisika yang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah
berbantuan video pembelajaran dengan siswa yang belajar menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah (thitung4,44 >ttabel1,67 maka Ha diterima). Berdasarkan hasil
penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh pemahaman konsep dan
kemampuan pemecahan masalah Fisika dengan model pembelajaran berbasis masalah
berbantuan video pembelajaran.
Kata kunci: Pembelajaran berbasis masalah, video pembelajaran, pemahaman konsep, dan
kemampuan pemecahan masalah.
PENDAHULUAN
Kemampuan siswa saat ini masih kurang dalam pemahaman konsep Fisika (Arif,
Dwi, & Sentot, 2013). Hal ini berawal dari pengalaman belajar mereka yang sulit
menemukan kenyataan bahwa pelajaran Fisika adalah pelajaran yang tidak jauh dari
masalah konsep, pemahaman konsep, dan penyelesaian soal secara matematis (Yuliono,
Sarwanto, & Wahyuningsih, 2014).
Selama ini, proses pembelajaran masih didominasi oleh penyampaian informasi,
bukan ditekankan pada pemrosesan informasi. Kegiatan tersebut masih berpusat pada
kegiatan menghafal dan mendengarkan, bukan interpretasi dan makna apa yang
dipelajari, serta membangun pengetahuan (Suardani, Jelantik S., & Putu M.W., 2014).
Begitu juga dengan kemampuan pemecahan masalah, siswa mengalami kesulitan ketika
berhadapan dengan permasalahan yang kompleks. Padahal salah satu tujuan
pembelajaran Fisika adalah menciptakan manusia yang dapat memecahkan masalah
kompleks dengan cara menerapkan pengetahuan dan pemahaman mereka pada situasi
sehari-hari (Sujarwanto, Hidayat, & Wartono, 2014). Tuntutan era globalisasi,
pendidikan abad 21 juga bertujuan untuk membangun salah satunya adalah
kemampuan memecahkan masalah (Dewi, Sadia, & Suma, 2014).
Potensi peserta didik dapat berkembang dengan model pembelajaran yang
menarik, kreatif, dan inovatif (Yuliono, Sarwanto, & Wahyuningsih, 2014). Penggunaan
model pembelajaran sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pembelajaran
(Khanifah & Susanto, 2014). Model pembelajaran adalah model yang konstruktivistik
yang dapat meningkatkan kompetensi dan kecakapan berpikir siswa yaitu salah satunya
model pembelajaran berbasis masalah (PBM).
PBM adalah model pembelajaran yang berangkat dari pemahaman siswa tentang
suatu masalah, menemukan alternatif, solusi atas masalah, kemudian memilih solusi
yang tepat untuk digunakan dalam memecahkan masalah tersebut (Sutirman, 2013).
Model pembelajaran ini dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa saja yang
dipelajari selama pembelajaran terutama dalam hal pemahaman konsep dan
kemampuan pemecahan masalah. Selain itu, siswa dapat menerapkan yang diketahui
dalam kehidupan sehari-hari. PBM adalah satu bagian dari pembelajaran yang berpusat
pada siswa atau pembelajaran aktif.
Penerapan PBM mengakibatkan penyimpanan lebih lama terhadap informasi
yang diperoleh siswa dan dapat memberikan pengaruh terhadap daya serap siswa
dalam hal pemahaman konsep (Santyasa, Kartika, & Warpala, 2014). PBM juga dapat
digunakan untuk pencapaian kemampuan pemecahan masalah (Dewi, Sadia, & Suma,
2014)
Pembelajaran di kelas selain menggunakan model pembelajaran yang tepat juga
membutuhkan media pembelajaran. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan
bervariasi dapat membuat peserta didik menjadi aktif. Media pembelajaran yang bisa
digunakan adalah video pembelajaan. Video merupakan bahan ajar non cetak yang kaya
informasi dan tuntas karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung. Video
dapat menyajikan gambar bergerak dan suara kepada siswa. Video pembelajaran
menampilkan permasalahan yang dapat digunakan sebagai bahan diskusi siswa
sehingga dari proses pembelajaran tersebut siswa dapat memahami dan menyelesaikan
masalah dengan tepat.
Pembelajaran dengan video menjadikan tingkat retensi (daya serap dan daya
ingat) siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat secara signifikan (Daryanto,
2013). Berdasakan uraian yang disampaikan, maka penelitian bertujuan untuk
mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis masalah berbantuan video
pembelajaran terhadap pemahaman konsep dan kemampuan pemecahan masalah
Fisika.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di SMA N 1 Andong Boyolali, beralamat di Jl. Solo-
Karanggede Km. 30 Andong Boyolali 57384. Waktu penelitian dilaksanakan pada
semester ganjil tahun ajaran 2015/ 2016. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan quasi experimental design. Populasi penelitian adalah siswa kelas XI yang terdiri
atas 3 kelas yaitu XI MIPA-1, XI MIPA-2, dan XI MIPA-3. Populasi berjumlah 95 siswa.
Sampel penelitian adalah siswa kelas XI MIPA-1 sebagai kelas eksperimen dan XI MIPA-
2 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes.
Instrumen penelitian ini dianalisis validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya
pembeda. Instrumen tes untuk mengukur pemahaman konsep dan kemampuan
pemecahan masalah fisika siswa.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah cluster random
sampling yang dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri relatif yang dimiliki. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan
dokumentasi.
Analisis data terdiri atas analisis data awal dan analisis data akhir. Analisis data
awal adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Analisis data awal menggunakan nilai
UAS siswa kelas X MIPA SMA N 1 Andong tahun pelajaran 2014/ 2015. Uji normalitas
dihitung menggunakan uji Lilliefors dan Uji homogenitas menggunakan uji Bartlett.
Sedangkan analisis data akhir menggunakan uji t satu pihak kanan. Data penelitian
didapatkan dari hasil posttest siswa. Indikator yang diteliti adalah pemahaman konsep
dan kemampuan pemecahan masalah Fisika materi Usaha.
Kontrol 3 5% 72,25
2
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman konsep dan
kemampuan pemecahan masalah Fisika siswa yang diajarkan dengan model
pembelajaran berbasis masalah berbantuan video pembelajaran lebih tinggi dari siswa
yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah. Hasil analisis tahap akhir
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
menggunakan model PBM berbasis ICT dan yang menggunakan strategi PBM tanpa
berbasis ICT. Model PBM berbasis ICT memberikan rerata nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pembelajaran dengan model PBM tanpa berbasis ICT. Penelitian
Suardani dkk (2014) juga menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah
memberikan hasil yang optimal dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.
Sesuai dengan hasil penelitian, model pembelajaran berbasis masalah
berbantuan video pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman konsep dan
kemampuan pemecahan masalah Fisika.
REFERENSI
Arif, H., Dwi, I. M., & Sentot, K. (2013). Pengaruh Strategi Pembelajaran berbasis masalah
Berbasis ICT terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Fisika. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 14.
Daryanto. (2013). Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting dalam Mencapai
Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
Dewi, Sadia, & Suma. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran berbasis masalah Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Melalui Pengendalian Bakat Numerik
Siswa SMP. E-Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 1.
Khanifah, & Susanto, H. (2014). Efektivitas Model Pembelajaran Problem Based
Instruction Berbantuan Media Audio Visual Dalam Meningkatkan Kemampuan
Menganalisis Dan Memecahkan Masalah Fisika. Unnes Physics Eucation Journal,
49.
Krishna, I. D., Sudhita, I. R., & Mahadewi, L. P. (2015). Pengembangan Media Video
Pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA Siswa Kelas VIII Semester Genap. e-
Journal Edutech Universitas Pendidikan Ganesha, 6.
Santyasa, W., Kartika, D. M., & Warpala, W. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran
Berbasis Masalah Terhadap Pemahaman Konsep Fisika dan Keterampilan
Berpikir Kritis Siswa. e-Jornal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha.
Suardani, N. N., Jelantik S., I. B., & Putu M.W., N. L. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran
Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Keterampilan
Proses Sains Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha.
Sujarwanto, E., Hidayat, A., & Wartono. (2014). Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika
pada Modeling Instruction pada Siswa SMA Kelas XI. Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia, 66.
Sutirman. (2013). Media dan Model-Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Yuliono, S. N., Sarwanto, & Wahyuningsih, D. (2014). Video Pembelajaran Berbasis
Masalah pada Materi Kalor untuk Siswa Kelas VII. Jurnal Pendidikan Fisika, 21.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman konsep perkembangan teori
atom pada mahasiswa pendidikan fisika. Pengumpulan data diperoleh dengan memberikan
tes uraian pada mahasiswa pendidikan fisika semester VI yang jumlahnya sebanyak 37
mahasiswa. Tes yang diberikan berisi pertanyaan yang terkait dengan perkembangan teori
atom yang meliputi cara menggambarkan dan mendeskripsikan teori atom Dalton, JJ.
Thomson, Rutherford dan teori atom Niels Bohr. Jawaban dianalisis secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa kurang baik pada konsep
perkembangan teori atom. Mahasiswa mampu menggambarkan dan mendeskripsikan konsep
perkembangan teori atom yang terdiri teori atom Dalton, JJ. Thomson, Rutherford dan teori
atom Niels Bohr.
PENDAHULUAN
Pemahaman menurut bloom yang direvisi oleh kratwosthl didefinisikan sebagai
kemampuan kognitif untuk menentukan arti pesan pembelajaran baiksecara lisan,
tulisan, maupun grafik atau gambar. pemahaman meliputi kemampuan
menginterprestasikan, memberi contoh, mengelompokkan, meringkas, membandingkan
dan menjelaska[1]
Pemahaman dan penguasaan suatu materi atau konsep merupakan prasyarat untuk
menguasai materi atau konsep berikutnya, sehingga jika pemahaman terhadap suatu
konsep prasyarat salah maka akan mengalami kesulitan bahkan terjadi miskonsepsi
dalam mempelajari konsep berikutnya
Rendahnya pemahaman terhadap konsep fisika dan
pemahaman konsep sebelumnya yang salah dapat menimbulkan kontradiksi dengan
konsep ilmiah sehingga menimbulkan miskonsepsi.
Konsep perkembangan teori atom tidak hanya dipelajari ketika memasuki perguruan
tinggi tetapi telah dipelajari di jenjang SMA. konsep perkembangan teori ataom menjadi
materi pengantar ketika mempelajari fisika kuantum. Rolf melakukan sebuah studi
untuk mendeskripsikan pemahaman siswa mengenai perkembangan teori atom
menunjukkan bahwa 40% siswa mampu menggambarkan model atom sesuai dengan
konteks dan situasi.[2]
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian mengenai pemahaman
perkembangan teori atom pada mahasiswa pendiidkan fisika. penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi pemahaman konsep perkembangan teori atom ada mahasiwa
pendidikan fisika. Penelitian juga memberikan informasi awal gambaran pemahaman
konsep siswa sehinggga dapat digunakan untuk mendiagnosa konsepsi yang dimiliki
mahasiswa pendidikan Fisika mengenai perkembangan teori atom.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif Sukmadinata (2007) menyatakan
bahwa penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan atau penguban pada variabel
bebas tetapi memberikan uraian mengenai gejala atau fakta yang diteliti dengan
Gambar 2. contoh deskripsi teori atom jj. thomson yang diberikan responden
Gambar 2 menunjukkan bahwa responden pemahaman yang rendah pada konsep
teori atom JJ. Thomson. responden hanya memahami teori atom secara visuaalisasi
tetapi belum mampu mendeskripsikan dari visualiasi yang dberikan.
Pengajaran konsep perkembangan teori atom sebagai konsep yang abstrak
memang memerlukan model atau visualisasi karena ketika mengajarkan atau
mengkomunikasikan perkembangan teori atom secara bahasa atau konseptual perlu
menggunakan model mekanik[2].
KESIMPULAN
Secara keseluruhan hasil analisis pertnyaan yang diberikan kepada responden
menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa fisika mengenai konsep model-model
atom kurang baik. untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik perlu suatu upaya
pengembangan pembelajaran yang dapat membantu siswa. Strategi pembelajaran yang
tepat dari guru juga menjadi penentu keberhasilann suatu proses pembelajaran. Dengan
demikian membekali mahasiswa calon guru fisika dalam pengusaaan konsep
perkembangan teori atom dan bagaimana cara mengajarkannya merupakan hal sangat
penting untuk ditindak lanjuti sebagai implikasi dari penelitian ini.
REFERENSI
Krathwohl, D. R., 2002, „A revision of bloom's taxonomy: an overview‟, Theory Into
Practice, vol. 41, no. 4
Olsen, V.Rolf,. “ A study of Norwegia Upper secondary physics specialists concepts
atomic models and wave particle duality’. 2001
Sukmadinata,N.S,. 2007, metode penelitian pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Zollman,D.A., Rebello,N. S & Hogg, K.,.” Quantum Mechanics For Everyone:Hands On
Activity Integrated With Technology”, Pp 252-259, 2002
Robble, K.M., Garik, P & Abegg, G,. “Using computer visualization to teach quantum
science on pedadgogical content knowledge”, 1999.
Abdurrahman, et al., “implementasi pembelajaran berbasis multirepresentasi untuk
peningkatan penguasaan konsep fisika kuantum’. Februari, 2011.
Fadiawati, N. Lilisari.,.“ konsepsi mahasiswa pendidikan kimia tahun pertana tentang
struktur atom”, 2009
Retno. Dwi Suyanti.., “efektivitas pratikum multimedia struktur atom dalam mengatasi
miskonsepsi kimia anorganik mahasiswa”., jurnal pendidikan dan kebudayaan
vol.17, no. 5, september 2011
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum adanya modul fisika kelas XI MA bercirikan
integrasi sains dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi,
momentum, impuls, dan tumbukan baik di toko buku maupun sekolah di daerah Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk: Menghasilkan modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi
sains dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi, momentum impuls
dan tumbukan dan mengetahui kualitas modul fisika tersebut. Penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan (R&D) dengan prosedur penelitian pengembangan menurut Borg
dan Gall yang batasi sampai dengan tahap validasi ahli. Instrumen yang digunakan berupa
skala penilaian untuk mengetahui kualitas bahan ajar fisika yaitu menggunakan skala Likert
dengan lima kategori disusun dalam bentuk checklist. Analisis data yang dilakukan yaitu
dengan mengumpulkan data kualitatif dari ahli materi, ahli media, dan ahli integrasi sains
dan Islam. kemudian mengubah hasil penilaian ahli dari bentuk data kualitatif ke data
kuantitatif (huruf ke skor dan persentase). Hasil penilaian menunjukkan bahwa bahan ajar
fisika ini layak digunakan dengan kategori baik (B). Hal ini didasarkan pada jumlah rerata
skor dan persentase kelayakan modul untuk ahli materi skor 3,9 persentase kelayakan 79%,
untuk ahli media skor 3,8 persentase kelayakan 75%, dan untuk ahli integrasi sains dan
Islama skor 4,0 persentase kelayakan 80%.
PENDAHULUAN
Pendidikan dan pembelajaran bertujuan untuk penanaman dan membentuk nilai
serta watak yang baik. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003
pasal 1 mengamanatkan agar peserta didik memiliki kekuatan spritual keagamaan
(Winarti, 2015). Selain mempelajari pendidikan agama, Islam juga mewajibkan setiap
manusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan lain, salah satunya adalah ilmu
pengetahuan sains (fisika). Karena pembelajaran fisika merupakan salah satu proses
pembelajaran yang memiliki peranan penting dalam menunjang ilmu pengetahuan dan
teknologi (Fitri, Kurniawan, dan Ngazizah, 2013).
Fisika sebagai ilmu dasar dan memiliki karakteristik yang mencakup bangunan
ilmu, terdiri atas fakta, konsep, prinsip, hukum, postulat, dan teori serta metodologi
keilmuan. Fisika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam
yang disajikan dalam bentuk yang sederhana dan diterjemahkan dalam bahasa
matematika dan dapat dipahami serta diperoleh dari hasil penelitian percobaan,
pengukuran, penyajian, secara matematis (septa pratama dan istiyono, 2015). Jika
dilihat dari segi pengertian fisika merupaka ilmu yang mempelajari dan mengkaji ayat-
ayat Al-Qur’an (Zainuddin,2013). Akan tetapi karena masih adanya dikotomi antara
sains (fisika) dan Islam didalam model pendidikan, maka pendidikan fisika diindonesia
yang diajar dalam sekolah-sekolah SMA/MA mayoritas hanya sekilas praktik dan ilmiah
saja. Padahal banyak sekali sekolah-sekolah yang berlabel Islam seperti sekolah yang
berdiri dikalangan pesantern. Berdasarkan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang
dilakukan di SMK Ma’arif 01 Mijen-Semarang, pada pembelajaran fisika belum
dipadukan dengan Islam. Bahkan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti di
MA/SMA maupun SMK Darul Amanah Sukorejo-Kendal yang berlabelkan pesantren
dalam pembelajan fisika belum mengkaitkan antara fisika dengan Islam. Setelah
dicermati hal ini terjadi karena dikalangan pendidikan belum adanya modul atau bahan
ajar yang bercirikan Islam.
Berdasarkan pemaparan tersebut peneliti termotivasi untuk melakukan upaya
pengembangan modul bercirikan integrasi sains dan Islam. Materi yang dikembangkan
dalam pembelajaran fisika pada penelitian meliputi usaha dan energi, hukum
kelestarian energi, momentum, impuls dan tumbukan kelas XI MA/SMA. Karena pada
materi tersebut merupakan materi semester I awal pada kelas XI SMA/MA yang
menjadi dasar dari materi-materi selanjutnya. Harapan penanaman nilai–nilai keislaman
pada materi ini dapat memberikan dampak positif pada pembelajaran fisika selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan merupakan penelitian (Research and Development).
Penelitian pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk
mengembangkan atau menvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan
dan pembelajaran (Sugiyono, 2013). Sedangkan menurut Borg & Gall (1983) pengertian
penelitian pengembangan adalah suatu proses yang dipakai untuk pengembangan dan
menvalidari produk penelitian (Zuhdan, 2012).
Menurut Sukmadinata, Borg & Gall secara lengkap mengemukakan sepuluh
langkah desain penelitian dan pengembangan, yaitu :1) Penelitan dan pengumpulan
data (research and information collecting). Pengukuran kebutuhan, studi literature,
penelitian dalam sekala kecil, dan pertimbangan-pertimbangan dari segi lain, 2)
Perencanaan (planning). Menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan –
kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang
hendak dicapai dengan penelitian tersebut, desain dan langkah – langkah penelitian,
kemudian pengujian dalam lingkup terbatas, 3) Pengembangan produk awal (develop
preliminary from of product). Pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran
dan instrument eveluasi, 4) Validasi produk (product validation). Melakukan penelitian
produk kepada tim ahli mengenai kelayakan bahan ajar sebelum diuji cobakan
kelapangan dan memvalidasi produk tersebut serta instrument penelitian, 5) Melakukan
revisi (main product revision). Memperbaiki atau menyempurnakan produk sebelum
diuji cobakan, 6) Uji coba lapangan (main field testing). Dilakukan uji coba yang lebih
luas pada 5 sampai dengan 15 sekolah dengan 30 sampai 100 orang subjek uji coba, 7)
Penyempurnaan produk hasil uji coba lapangan (operational produc revision),
menyempurnakan produk hasil uji coba lapangan, 8) Uji pelaksanaan lapangan
(operasional field testing), dilaksanakan pada 10 sampai 30 sekolah melibatkan 40
sampai 200 subjek. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, observasi dan
analisis hasilnya, 9) Penyempurnaan produk akhir (final product revision),
penyempurnaan didasarkan pada masukan dari uji pelaksanaan lapangan, 10)
Diseminasi dan implementasi (dissemination and implementation), melaporkan hasilnya
dalam pertemuan professional dan jurnal. Bekerjasama dengan penerbit untuk
penerbitan, memonitor penyebaran untuk pengontrolan kualitas (Sukmadinata, 2013).
Prosedur penelitian pengembangan menurut Borg & Gall yang telah
dikemukakan tersebut, disederhanakan menjadi beberapa langkah penelitian saja
sehingga tidak sepenuhnya menggunakan kesepuluh langkah penelitian dan
pengembangan. Secara garis besar penelitian pengembangan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
a) Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan yang dilakukan adalah studi kepustakaan dengan mencari
literatur maupun referensi serta mengumpulkan berbagai informasi penunjang
produk yang akan dikembangkan, seperti melakukan wawancara dengan guru fisika
MA Darul Amanah, baik dari segi materi fisika maupun beberapa tafsiran Al–Qur’an
yang terkait dengan materi yang akan dikembangkan.
b) Melakukan perencanaan produk
Perencanaan produk merupakan langkah yang dilakukan setelah didapatkan
hasil dari studi pendahuluan yang menunjukkan adanya masalah.
c) Pengembangan produk
Pembuatan produk berupa bahan ajar fisika untuk siswa kelas XI SMA/MA
materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi mekanik, momentum impuls dan
tumbukan. Selain itu, membuat instrumen penilaian bahan ajar, yang selanjutnya di
validasi oleh dosen pembimbing.
d) Melakukan Validasi
Tahapan–tahapan yang dilakukan dalam melakukan validasi adalah sebagai
berikut:
1) Modul yang telah dihasilkan selanjutnya divalidasi oleh dua orang validator
untuk mendapatkan validasi produk.
2) Setelah modul divalidasi oleh validator lanjut ke tahap penilaian oleh tim ahli
penilai yang terdiri dari 2 ahli materi integrasi sains dan Islam, 2 ahli materi
fisika, 2 ahli media.
e) Melakukan Revisi
1) Penilaian Produk
Bahan ajar yang telah dihasilkan dan divalidasi beserta instrumennya
selanjutnya dinilai oleh tim penilai untuk mendapatkan kualitas bahan ajar yang
telah dikembangkan. Selain memberikan penilaian, tim penilai juga memberikan
masukan dan saran yang dijadikan sebagai pedoman revisi selanjutnya.
2) Revisi Produk dan Produk Akhir
Setelah mendapatkan hasil penilaian dari tim penilai, langkah yang
selanjutnya adalah melakukan revisi produk bahan ajar yang dikembangkan
sesuai kritik dan saran yang diberikan oleh tim penilai. kemudian dihasilkan
produk akhir yang berupa modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains
dan Islam pada materi usaha dan energi, hukum kekekalan energi mekanik,
momentum impuls dan tumbukan.
Kategori kualitatif ditentukan terlebih dahulu dengan mencari interval jarak antara
jenjang kategori sangat baik (SB) hingga sangat kurang (SK) (Widoyoko, 2012). Dari
kategori tersebut dapat ditentukan menggunakan persamaan berikut:
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 (𝑖) =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙
5−1
=
5
= 0,8
Sehingga diperoleh kategori penilaian buku fisika berbasis integrasi sains dan
Islam sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Interval Kelas
No. Kriteria Tingkat Validitas
Sangat valid, dapat
1. 85,01% - 100,00%
dipergunakan tanpa revisi
Baik atau valid, dapat
2. 70,01% - 85.00%
digunakan dengan revisi kecil
Cukup valid, dapat di
3. 55,01% - 70,00% pergunakan namun dengan
revisi kecil
Kurang valid, disarankan tidak
4. 40,01% - 55.00% dipergunaan karena revisi
terlalu besar
Tidak valid, tidak boleh
5. 01,00% - 40,00%
dipergunakan
Jika dari analisis data penilaian para ahli yang terdiri dari ahli materi, dan guru
fisika kelas XI SMA/MA didapatkan hasil dengan kategori Sangat Baik atau sangat sesuai
dan Baik atau sesuai, maka modul fisika kelas XI SMA/MA bercirikan integrasi sains dan
Islam siap untuk digunakan (Sa’dun Akbar, 2013). Adapun kriteria bahan ajar fisika
bercirikan integrasi sains dan Islam ditampilkan dalam table berikut:
Tabel 2. Kriteria Validitas
PEMBAHASAN
a) Ahli Materi
Penilaian modul fisika menurut ahli materi untuk mengetahui kualitas dari
modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam yang telah
dikembangakan. Ahli materi memberikan penilaian, kritik dan saran yang sesuai
pada modul fisika. Kritik dan saran yang diberikan ahli materi dalam modul fisika
sebagai acuan atau pandangan dalam melakukan suatu revisi modul sampai
mendapatkan kualitas bahan modul yang baik dari segi materi dan layak untuk
diterapkan dalam suatu pembelajaran. Validasi ahli materi ini terdiri dari 2 ahli
yaitu 1 dosen ahli dan 1 guru fisika sebagai perbandingan kualitas materi modul
yang kemudian diambil rata-rata dari keduanya. Kedua ahli materi yaitu Agus
Sudarmanto, M,Si (dosen fisika UIN Walisongo) dan Ellya Susanti, S.Pd (guru fisika
MA Darul Amanah). Berikut adalah data hasil penilaian modul oleh ahli materi.
Tabel 3. Data Hasil Penilaian Modul Fisika oleh ahli materi
Penilaian bahan modul fisika kelas XI MA bercirikan integrasi sains dan Islam
berdasarkan aspek desai modul didapatkan skor rata-rata 3,8 dengan hasil
presentase kelayakan 75% maka dikategorikan Baik. Dengan hasil yang didapatkan
maka modul fisika yang dikembangkan layak untuk digunakan dengan revisi kecil.
c) Validasi Ahli Integrasi Sains dan Islam
Pengembangan modul Fisika MA kelas XI Bercirikan Integrasi Sains dan Islam
pada materi Usaha dan Energi, Hukum Kekekalan Energi, Momentum, Impuls dan
Tumbukan. Sangatlah perlu untuk mendapatkan kritik dan masukan dari para ahli
integrasi sains dan Islam sebagai ilmu dan bahan revisi tambahan bagi peneliti.
Validasi ahli integrasi sains dan Islam ini dilakukan oleh 2 dosen UIN
Walisongo dengan dosen yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing.
Kedua dosen penilai yaitu Drs. H. Jasuri, M.SI dan Biaunik Niski Kumila,.S.Si.,M.S
kedua dosen tersebut adalah dosen fisika. Berikut adalah hasil validasi modul fisika
oleh ahli media.
Tabel 5. Data Hasil Validasi Modul oleh Ahli Integrasi Sains dan Islam
Validasi pada modul fisika bercirikan integrasi sains dan Islam berdasarkan
aspek integrasi sains dan Islam didapatkan skor rata-rata 4,0 dengan hasil
presentase yang didapat 80% dan mendapatkan kategori Baik. Hasil perhitungan
modul yang didapatkan menyatakan bahwa modul fisika dapat digunakan atau baik
digunakan dengan sedikit revisi.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan pengembangan yang dilakukan peneliti, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1) Desain yang digunakan peneliti dalam pengembangan modul fisika bercirikan
integrasi sains dan Islam menggunakan desain model Borg & Gall yang terdiri dari
SARAN
1) Produk yang dihasilkan dalam penelitian berupa modul fisika kelas XI MA bercirikan
integrasi sains dan Islam usaha dan energi, hukum kekekalan energi, momentum,
impuls dan tumbukan disarankan supaya diuji cobakan dalam kelas kecil maupun
kelas besar, supaya lebih mengetahui kekurangan dan kelebihan bahan ajar tersebut.
2) Peneliti selanjutnya disarankan melakukan penelitian pengembangan modul fisika
bercirikan integrasi sains dan Islam untuk materi fisika yang berbeda, sehingga
dapat memperkaya bahan ajar (modul) fisika yang bercirikan integrasi sains dan
Islam.
REFERENSI
Lidy Alimah Fitri, Eko Setyadi Kurniawan , dan Nur Ngazizah. 2013. Pengembangan
Modul Fisika pada Pokok Bahasan Listrik Dimanis Berbasis Domain Pengetahuan
Sains untuk Mengoptimalkan Minds-On Siswa SMA Negri 2 Purworejo Kelas X Tahun
Pelajaran 2012-2013. Radiasi 3(1): 19
Nuriris Septa Pratama dan Edi Istiyono, 2015. Studi Pelaksanaan Pembelajaran Fisika
Berbasisi Higher Order Thinking (HOTS) pada Kelas X di SMA Negeri Kota Yogyakarta.
(SNFPF) Ke-6 2015. 6(1): 104
Riduwan dan sunarto, 2013. Pengantar Statistik untuk Penelitian Pendidikan, Sosial,
Ekonomi, Komunikasi, dan Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Sugiono, Metodologi Penelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D),
Bandung: Alfabeta, 2012.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penulisan Pendidikan, cet-V, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa setelah
menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik pada materi fluida dinamis
melalui pembelajaran discovery learning. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas XI
SMA Negeri 6 Semarang tahun ajaran 2016/2017. Sampel penelitian ini diambil melalui
teknik simple random sampling, didapatkan kelas XI MIPA 6 sebagai kelas kontrol dan XI MIPA
7 sebagai kelas eksperimen. Tahapan dalam penelitian ini meliputi (1) Potensi dan Masalah,
(2) Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4) Validasi Desain, (5) Revisi Desain, (6)
Pengembangan Produk, (7) Uji Coba Produk Awal, (8) Revisi Produk, (9) Uji Coba Produk
Akhir, (10) Revisi Produk, (11) Produk Akhir. Bahan ajar yang telah dikembangkan telah
dinyatakan layak untuk digunakan sebagai buku pendamping dalam pembelajaran fisika.
Hasil penelitian berupa aspek kemampuan berpikir kritis dan keterampilan saintifik yang
dianalisis melalui uji gain dan uji hipotesis. Hasil uji gain menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir kritis siswa kelas eksperimen sebesar 0,52 lebih besar dari nilai gain kelas kontrol
yang hanya 0,33. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa melalui pembelajaran discovery learning dengan menggunakan bahan
ajar fisika berbasis pendekatan saintifik Hasil analisis selanjutnya adalah presentase
keterampilan saintifik kelas eksperimen sebesar 78,15% yakni lebih besar dari kelas kontrol
yang hanya 68,9%.
Kata kunci: Kemampuan Berpikir Kritis, Discovery Learning, Bahan Ajar, Pendekatan
Saintifik, Keterampilan Saintifik, Fluida Dinamis.
PENDAHULUAN
Kurikulum 2013 dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik dalam
menghadapi tantangan global. Tantangan global yang dimaksud meliputi masalah
lingkungan hidup, kemajuan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, dan sebagainya.
Sesuai pernyataan yang dikemukakan oleh Wieman (2007: 9) bahwa masyarakat yang
terpelajar secara ilmiah lebih dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global. Hal ini
karena pembelajaran ilmiah lebih efektif dan relevan untuk diterapkan dibandingkan
dengan pembelajaran secara tradisional.
Pembelajaran ilmiah yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 menggunakan
pembelajaran berbasis pendekatan saintifik. Pendekatan ini menerapkan sistem
pembelajaran dengan metode ilmiah agar siswa mampu bekerja ilmiah. Kerja ilmiah
yang dimaksud meliputi: (1) merumuskan masalah, (2) mengajukan dan menguji
hipotesis, (3) menentukan vaiabel, (4) merancang dan melakukan percobaan, (5)
mengumpulkan dan mengolah data, (6) menarik simpulan, serta (7) berkomunikasi
secara lisan dan tertulis (Kemendikbud, 2016).
Pada proses pembelajaran fisika berbasis pendekatan saintifik dapat dilakukan
dengan menggunakan suatu media pembelajaran yang juga berbasis saintifik. Media
pembelajaran yang dimaksud berupa bahan ajar, yakni bahan ajar berbasis pendekatan
saintifik. Adanya bahan ajar berbasis pendekatan saintifik diharapkan dapat membantu
merealisasikan penerapan pembelajaran berbasis pendekatan saintifik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Prastowo (2012: 17) bahwa bahan ajar menampilkan sosok utuh dari
kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses pembelajaran
dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Menurut
Kemendikbud (2014) buku atau bahan ajar siswa lebih ditekankan pada activity base
dan bukan merupakan bahan bacaan, serta pada setiap buku atau bahan ajar memuat
suatu model pembelajaran dan project yang akan dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu,
bahan ajar berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan lebih ditekankan
pada aktivitas yang mendorong siswa untuk dapat menemukan konsep.
Pendekatan saintifik adalah cara pandang atau tolok ukur dari pelaksanaan
pembelajaran dengan mengembangkan aspek kerja ilmiah melalui metode ilmiah. Hal
ini sesuai dengan pendapat McPherson (2001: 242) bahwa penggunaan dan pengajaran
dengan metode ilmiah akan membantu pemikiran tentang proses ilmiah. Untuk dapat
disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti
dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip
penalaran yang spesifik. Menurut Majid & Rochman (2014: 70) proses pembelajaran
dengan pendekatan saintifik diharapkan dapat melatih berpikir analitis (peserta didik
diajarkan bagaimana mengambil keputusan) bukan berpikir mekanistis (rutin dengan
hanya mendengarkan dan menghafal semata).
Salah satu tujuan adanya pembelajaran berbasis pendekatan saintifik adalah untuk
meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
(Kemendikbud, 2013). Berpikir kritis merupakan cara berpikir yang masuk akal dan
juga merupakan salah satu bentuk pemikiran yang lebih tinggi. Berpikir kritis adalah
berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembatasan keputusan
tentang apa yang harus di percayai (Hassoubah, 2002: 85).
Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk dikembangkan agar siswa
terampil dalam melihat, mencermati dan menyelesaikan berbagai persoalan. Berpikir
kritis yang dikemukakan oleh Johnson (2002: 183) adalah sebuah proses yang terarah
dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,
mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian
ilmiah. Seseorang yang berpikir kritis memiliki karakter khusus dalam menyikapi suatu
masalah. Kriteria seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis menurut Watson
& Glaser (2002) yaitu: (1) membuat simpulan awal, (2) menentukan hipotesis, (3)
menginterpretasi, (4) membuat deduksi, dan (5) mengevaluasi pendapat.
Pada pembelajaran berbasis pendekatan saintifik, kemampuan berpikir kritis
dapat dicapai melalui model pembelajaran berbasis penemuan atau discovery learning.
Pada pembelajaran ini, siswa diberikan kesempatan untuk menemukan masalah,
mengajukan hipotesis, melakukan percobaan, hingga menyimpulkan hasil percobaan
untuk menemukan suatu konsep. Oleh karena itu, siswa terlatih untuk mampu bekerja
ilmiah.
Pembelajaran discovery learning merupakan pembelajaran yang mendorong siswa
untuk dapat menemukan sendiri suatu konsep. Hal ini sesuai dengan pendapat Hosnan
(2014: 282) bahwa model discovery learning mengembangkan cara belajar aktif dengan
menemukan sendiri dan menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan
tahan lama dalam ingatan. Illahi (2012) juga menjelaskan bahwa discovery learning
adalah salah satu model yang memungkinkan para siswa terlibat langsung dalam
kegiatan belajar-mengajar, sehingga mampu menggunakan proses mentalnya untuk
menemukan suatu konsep atau teori yang sedang dipelajari. Selanjutnya, Kemendikbud
(2013) juga mengemukakan bahwa pada model discovery learning proses pembelajaran
terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi
diharapkan dapat mengorganisasi sendiri pelajaran tersebut.
Hasil observasi yang telah dilakukan di SMA Negeri 6 Semarang menunjukkan
bahwa buku yang digunakan oleh siswa untuk belajar fisika di rumah maupun di sekolah
adalah buku yang disusun oleh tim MGMP Fisika, sedangkan Bapak/Ibu guru
menggunakan buku penunjang karangan Marthin Kanginan yang sesuai dengan
kurikulum 2013. Isi buku yang disusun oleh tim MGMP fisika ini kurang mendorong
siswa untuk melakukan kegiatan diskusi dan praktikum. Buku ini hanya berisi tentang
pengertian hukum/konsep yang dipelajari, persamaan matematis yang terkait, contoh
soal, dan latihan soal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa buku yang biasa
digunakan cenderung menjadikan siswa pasif dalam pembelajaran. Hasil lain juga
menunjukkan bahwa kegiatan praktikum masih jarang dilakukan dan soal-soal ulangan
yang dibuat guru masih menekankan pada perhitungan matematis/penerapan rumus
bukan soal analisis, sehingga kemampuan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa
cenderung masih rendah. Oleh karena dilakukan penelitian dan pengembangan bahan
ajar berbasis pendekatan saintifik pada pembelajaran fisika dengan model discovery
learning untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi
fluida dinamis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini diadopsi dari pendekatan Research and Development (R & D) yang
merupakan hasil modifikasi dari model R & D menurut Sugiyono (2014: 298). Dalam
dunia pendidikan, penelitian dan pengembangan meliputi 11 langkah, yaitu: (1) Potensi
dan Masalah, (2) Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4) Validasi Desain, (5) Revisi
Desain, (6) Pengembangan Produk, (7) Uji Coba Produk Awal, (8) Revisi Produk, (9) Uji
Coba Produk Akhir, (10) Revisi Produk, (11) Produk Akhir.
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 6 Semarang. Populasi dari penelitian ini
adalah kelas XI MIPA tahun ajaran 2016/2017, sedangkan sampel penelitian diambil
secara acak dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen dengan desain Pretest-Posttest Control Group. Desain penelitian ini
membutuhkan dua kelas penelitian yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas
kontrol dalam penelitian ini adalah XI MIPA 6 dan kelas eksperimen adalah XI MIPA 7.
Jumlah siswa dalam kelas penelitian adalah 37 orang.
Metode pengumpulan data menggunakan metode tes dan non tes. Metode tes
dilakukan untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahan ajar dan kemampuan berpikir
kritis siswa sebelum dan sesudah perlakuan, sedangkan metode non tes dilakukan
melalui observasi untuk mengetahui keterampilan saintifik dan angket untuk validasi
bahan ajar. Instrumen dalam penelitian ini berupa angket validasi, lembar soal tes
rumpang, lembar soal kemampuan berpikir kritis siswa, dan lembar pengamatan
keterampilan saintifik siswa. Soal kemampuan berpikir kritis yang diujikan berupa soal
benar-salah dan soal uraian. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji keterbacaan, uji
kelayakan, uji normalitas, uji gain, serta uji hipotesis kompratif dua sampel tidak
berkorelasi.
Uji keterbacaan dengan menggunakan tes rumpang, sedangkan uji kelayakan
bahan ajar dengan menggunakan lembar validasi. Tingkat keterbacaan dan kelayakan
bahan ajar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
P=fN×100%
dengan P adalah presentasi kelayakan, f adalah jumlah skor yang diperoleh, N adalah
jumlah skor maksimal.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Kevalidan menurut Akbar (2013: 41)
Nilai Kategori
85,00%<P≤100,00% Sangat layak (dapat digunakan tanpa revisi)
70,00%<P≤85,00% Cukup layak (dapat digunakan namun dengan revisi)
Kurang layak (disarankan tidak dipergunakan karena perlu
50,00%<P≤70,00%
revisi besar)
01,00%<P≤50,00% Tidak layak
Uji normalitas pada nilai pretest-posttest dan dilakukan dengan bantuan software
IBM SPSS Statistics 22 melalui teknik P-P Plots dan Kolmogorov-Smirnov. Teknik P-P Plots
digunakan untuk mengetahui persebaran data melalui grafik, sedangkan teknik
Kolmogorov-Smirnov untuk membuktikan kebenaran grafik tersebut melalui angka
signifikansi. Uji normalitas akan menghasilkan apakah data hasil penelitian menyerupai
kurva normal atau tidak (Sufren & Natanael, 2014: 65).
Uji gain digunakan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan kemampuan
kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida dinamis sebelum dan sesudah
adanya perlakukan yang berbeda. Menurut Hake (1999) untuk menganalisis
peningkatan aspek pengetahuan melalui uji gain, dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
〈g〉=〈Spost〉-〈Spre〉100-〈Spre〉
Dengan 〈g〉 adalah besarnya faktor g, 〈Spre〉 adalah skor rata-rata pretest, serta 〈Spost〉
adalah skor rata-rata posttest. Kriteria nilai 〈g〉 adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kriteria Penilaian Faktor 〈g〉 menurut Hake (1999)
Nilai Kategori
〈g〉>0,7 Tinggi
0,3≤〈g〉≤0,7 Sedang
〈g〉<0,3 Rendah
Uji hipotesis komparatif dua sampel yang tidak berkorelasi dilakukan untuk
membandingkan hasil nilai kemampuan berpikir kritis siswa dan membandingkan nilai
aspek keterampilan pada dua sampel setelah adanya dua perlakuan yang berbeda.
Kedua sampel ini merupakan sampel yang tidak berkolerasi karena antara kelas kontrol
dan eksperimen tidak saling berkaitan satu sama lain.
Pengujian hipotesis komparatif dilakukan dengan bantuan software IBM SPSS
Statistics 22. Pengujian ini harus didahului dengan uji normalitas untuk menentukan
teknik yang tepat dalam melakukan uji hipotesis. Oleh karena hasil uji normalitas
menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan
dengan teknik Independent Samples T-Test.
disusun untuk melatih siswa dalam merumuskan masalah, mengajukan dan menguji
hipotesis, menentukan variabel, merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan
dan mengolah data, menarik simpulan, serta mengomunikasikan. Beberapa fitur dalam
bahan ajar tersebut adalah fitur “Amati & Cermati”, “Aktivitas”, “Sulap Bernoulli”,
“Tahukah Kamu?”, “Temukan Solusi”, serta “Ayo Praktikum”.
Karakteristik bahan ajar ini juga mencakup aspek kelayakan dan keterbacaan.
Aspek kelayakan bahan ajar dinilai oleh validator melalui angket validasi. Validasi
angket dilakukan oleh 3 (validator) yakni guru fisika, dosen pembimbing 1, serta dosen
pembimbing 2. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa rata-rata hasil uji kelayakan melalui
lembar validasi memperoleh skor sebesar 86,56% dengan kriteria sangat layak. Artinya
bahwa bahan ajar yang telah dikembangkan layak untuk digunakan sebagai buku
pendamping dalam pembelajaran fisika.
Tabel 5. Hasil Uji Kelayakan Bahan Ajar Fisika Berbasis Pendekatan Saintifik
Prosentasi Penilaian
No Aspek Penilaian
Validator I Validator II Validator III
1 Kelayakan Isi 90,63% 78,13% 87,50%
2 Kelayakan Penyajian 88,16% 88,16% 89,47%
3 Kelayakan Bahasa 84,62% 86,54% 92,31%
4 Kelayakan Grafis 90,91% 81,82% 81,82%
5 Pendekatan Saintifik 91,67% 83,33% 83,33%
Skor Rata-Rata Validator (%) 89,19% 83,59% 86,89%
Skor Rata-Rata Penilaian (%) 86,56%
Kriteria Sangat Layak
kritis siswa pada kelas eksperimen setelah menggunakan bahan ajar. Peningkatan ini
juga ditunjukkan oleh nilai gain. Nilai gain untuk kelas eksperimen lebih besar
dibandingkan dengan nilai gain kelas kontrol. Kedua kelas mempunyai kriteria gain yang
sama yaitu sedang. Artinya bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol dan
eksperimen berada dalam tingkat sedang.
Tabel 6. Hasil Uji Gain Kelas Kontrol Dan Eksperimen
Rata-rata
Kelas Nilai Gain Kriteria
Pretest Posttest
Kontrol 57,00 71,6 0,33 Sedang
Eksperimen 58,60 79,98 0,52 Sedang
Hasil uji gain semakin diperkuat oleh hasil uji hipotesis. Berdasarkan analisis yang
telah dilakukan, didapatkan bahwa nilai thitung adalah 3,634, sedangkan untuk taraf
signifikansi 5% dengan derajat kebebasan 36 didapatkan nilai ttabel adalah 1,688. Oleh
karena nilai thitung>ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima.
Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis siswa pada materi fluida dinamis yang
menggunakan bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik lebih tinggi dibandingkan
siswa yang menggunakan bahan ajar fisika yang biasa digunakan. Dengan kata lain,
kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan bahan ajar yang dikembangkan
mengalami peningkatan.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis juga ditunjukkan pada Gambar 1. Terlihat
bahwa terdapat peningkatan kemampuan merumuskan masalah, menentukan hipotesis,
dan menginterpretasi dari kelas kontrol ke kelas eksperimen untuk nilai pretest dan
posttest. Lain halnya dengan kemampuan membuat deduksi dan mengevaluasi
pendapat, yakni terjadi penurunan nilai pretest pada kelas eksperimen. Akan tetapi,
tetap terjadi peningkatan nilai posttest pada kelas eksperimen. Hal ini dapat terjadi
karena pada saat pretest, siswa kelas kontrol lebih fokus dalam mengerjakan soal
dengan indikator membuat deduksi dan mengevaluasi pendapat. Oleh karena itu, nilai
pretestt pada indikator ini lebih tinggi dibandingkan kelas eksperimen.
Hasil analisis pada aspek berpikir kritis secara keseluruhan menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen. Hal ini
disebabkan oleh adanya perubahan model pembelajaran dan media pembelajaran.
Proses pembelajaran di kelas kontrol menggunakan bahan ajar yang hanya menyajikan
subbab yang akan dibahas, uraian definisi, persamaan matematis, serta contoh dan
latihan soal tentang perhitungan matematis. Berbeda dengan kelas eksperimen yang
menggunakan model discovery learning dengan bantuan bahan ajar berbasis pendekatan
saintifik. Bahan ajar ini memuat beberapa fitur untuk melatih keterampilan ilmiah
dalam beberapa percobaan sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa.
Proses berpikir kritis dapat digunakan oleh siswa dalam mengidentifikasi,
memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi
pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Kemendikbud (2013) bahwa salah satu syarat
suatu pembelajaran dikatakan saintifik adalah apabila suatu pembelajaran yang
berlangsung dapat mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis dan
analistis. Wuri (2014) juga mengemukakan bahwa penerapan pembelajaran fisika
berbasis pendekatan saintifik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Pemikiran kritis merupakan kepentingan mendasar dalam menciptakan nilai-nilai
baru. Orang yang tidak memiliki pengetahuan yang luas, maka akan gagal dalam
pengambilan keputusan atau ketidakakuratan dalam pengambilan simpulan (Exnar et
al., 2015). Pengetahuan yang luas dapat diperoleh dengan adanya keterlibatan siswa
secara langsung dalam pembelajaran melalui kegiatan diskusi dan praktikum. Siswa
diberi kesempatan untuk menemukan konsep melalui diskusi dan praktikum secara
berkelompok. Pembelajaran berbasis penyelidikan dapat melatih kemampuan berpikir
kritis siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Miri et al (2007) yang menyebutkan bahwa
jika guru dengan sengaja dan terus-menerus mempraktikkan strategi berpikir tingkat
tinggi yakni mendorong diskusi kelas secara terbuka dan mendorong eksperimen yang
berorientasi pada penyelidikan, maka akan terjadi peningkatan kemampuan berpikir
kritis siswa.
Bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik mengandung fitur-fitur saintifik
yang dapat mendorong siswa untuk menemukan suatu konsep pada materi fluida
dinamis. Fitur-fitur tersebut adalah fitur Amati & Cermati, Aktivitas, Sulap Bernoulli, dan
Ayo Praktikum. Fitur-fitur ini juga dapat melatih siswa untuk menjadi orang yang
mempunyai pemikiran kritis. Kim et al., (2012) menyebutkan bahwa peningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilakukan melalui penerapan modul
pembelajaran aktif. Pada pembelajaran aktif siswa diberi kesempatan untuk
menemukan konsep dengan melakukan percobaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Purwato (2012) yang mengemukakan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis
penemuan (guided discovery) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Orang yang berpikir kritis akan mengevaluasi dan kemudian menyimpulkan suatu
hal berdasarkan fakta untuk membuat keputusan (Dwijananti & Yulianti, 2010). Model
pembelajaran discovery learning yang diterapkan dengan bantuan bahan ajar berbasis
pendekatan saintifik telah mampu mendorong siswa menjadi orang yang dapat berpikir
kritis. Hal ini dibuktikan dengan adanya kegiatan percobaan untuk menguji kebenaran
hipotesis yang telah diajukan, sehingga siswa mempunyai pengalaman dan dapat
membuat simpulan berdasarkan fakta percobaan hingga akhirnya dapat menemukan
sendiri konsepnya.
Penerapan model pembelajaran discovery learning dengan menggunakan bahan
ajar berbasis pendekatan saintifik juga dapat meningkatkan keterampilan saintifik
siswa. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 2.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa karakteristik bahan
ajar fisika berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan adalah terdapat fitur-
fitur yang dapat melatih siswa untuk bekerja ilmiah. Fitur-fitur tersebut adalah Amati &
Cermati, Aktivitas, Sulap Bernoulli, Tahukah Kamu?, Temukan Solusi, dan Ayo
Praktikum. Semua fitur dalam bahan ajar telah memenuhi aspek kelayakan dan
keterbacaan. Oleh karena itu, bahan ajar berbasis pendekatan saintifik dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran fisika pada materi fluida dinamis.
Terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa setelah menerapkan
model pembelajaran discovery learning dengan menggunakan bahan ajar fisika berbasis
pendekatan saintifik. Kemampuan berpikir kritis ini ditandai dengan adanya
kemampuan siswa dalam membuat simpulan awal, menentukan hipotesis,
menginterpretasi, membuat deduksi, dan mengevaluasi.
Bahan ajar fisika berbasis pendekatan saintifik yang telah dikembangkan juga
dapat meningkatkan keterampilan saintifik siswa pada materi fluida dinamis.
Keterampilan saintifik ini ditunjukkan oleh adanya kemampuan siswa dalam
merumuskan masalah, membuat hipotesis, menentukan variabel, melakukan percobaan,
mengolah data, membuat simpulan, dan mengomunikasikan.
REFERENSI
Dahniar, N. 2006. Science Project sebagai Salah Satu Alternatif dalam Meningkatkan
Keterampilan Proses di SMP.
Dwijananti, P. & D. Yulianti. 2010. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis
Mahasiswa melalui Pembelajaran Problem Based Instruction pada Mata Kuliah
Fisika Lingkungan. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika (JIPF), 6: 108-114.
Etkina, E., A. Karelina, M. R. Villasenor, D. Rosengrant, R. Jordan, & C. E. H. Silver. 2013.
Design and reflection Help Students Develop Scientific Abilities: Learning in
Introductory Physics Laboratories. Journal of the Learning Sciences, 19 (1): 54-98.
Exnar, Z. & M. Palusova. 2015. Importance of Knowledge for Critical Thinking.
Elektrotechnicka Fakulta, Institut Aurela Stodolu.
Hake, R. R. 1999. Analyzing Change/ Gain Scores. Dept. of Physics Indiana University.
Hassoubah, Z.I. 2002. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis. Jakarta: Nuansa.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Illahi, M. T. 2012. Pembelajaran Discovery Strategi & Mental
Vocational Skill. Jogjakarta: DIVA Press.
Johnson, E. B. 2002. Contextual Teaching & Learning Menjadikan Kegiatan Belajar-
Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC.
Kemendikbud. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemendikbud. 2013. Modul Diklat Guru Dalam Rangka Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kemendikbud. 2016. Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah
Mata Pelajaran Fisika. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kim, K., P. Sharma, S. M. Land, & K. P. Furlong. 2012. Effects of Active Learning on
Enchancing Student Critical Thinking in an Undergraduate General Science Course.
Innov High Educ Spinger Science, 38: 223-235.
Majid, A. & C. Rochman. 2014. Pendekatan Ilmiah Dalam Implementasi Kurikulum 2013.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Miri, B., B. C. David, & Z. Url. 2007. Purposely Teaching for the Promotion of Higher-
order Thinking Skills: A Case of Critical Thinking. Res Sci Educ, 37: 353-369.
Paul, R. 1990. Critical Thingking: What Every Person Needs to Survive in a Rapidly
Changing World. Rohnert Park: Sonoma State University.
Prastowo, A. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: DIVA
Press.
Purwanto, C. E., S. E. Nugroho, & Wiyanto. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Guided
Discovery pada Materi Pemantulan Cahaya untuk Meningkatkan Berpikir Kritis.
Unnes Physical Education Journal, 1 (1).
Sufren & Y. Natanael. 2014. Belajar Otodidak SPSS Pasti Bisa. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Watson, G. & E. Glaser. 2002. Watson–Glaser Critical Thinking Apprasial UK Edition.
London: Pearson.
Wieman, C. 2007. Why Not Try A Scientific Approach to Science Education?. Tersedia di
http://www.cwsei.ubc.ca/SEI_research/files/Wieman-Change_Sept-Oct_2007.pdf.
Wieman, C. & S. Gilbert. 2015. Taking a Scientific Approach to Science Education, Part I-
Ressearch. Microbe, 10 (4): 152- 156.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Group Investigation
(GI) dan Literasi Sains terhadap penguasaan konsep materi Gerak Lurus SMP IT Robbani
Kendal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen, yang
dilaksanakan di SMP IT Robbani Kendal. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas VII dimana
kelas VII A sebagai kelas kontrol dan kelas VII B sebagai kelas eksperimen. Masing-masing
kelas memiliki jumlah 20 peserta didik. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 3
metode yaitu, metode dokumentasi, metode tes (multiple choice tes), dan metode kuesioner.
Kedua kelas sebelum diberi perlakuan diuji terlebih dahulu dengan uji normalitas dan
homogenitas, kemudian kedua kelas diberi perlakuan yang berbeda. Kelas eksperimen diberi
pembelajaran dengan model GI dan literasi sains sedangkan kelas kontrol menggunakan
model pembelajaran konvensional. Hipotesis diuji menggunakan korelasi Pearson product
momen dan regresi sederhana linier untuk mengetahui pengaruhnya pada uji hipotesis 1 dan
2. Sedangkan uji hipotesis 3 menggunakan uji korelasi parsial dan regresi linier berganda
untuk mengetahui pengaruhnya. Hasil uji hipotesis 1 adalah diperoleh korelasi antara GI
terhadap penguasaan konsep diperoleh 0,136 dengan pengaruh sebesar 1,9% (tidak
signifikan) . Hasil Uji hipotesis 2 didapat korelasi antara literasi sains dan penguasaan konsep
sebesar 0,200 dengan besar pengaruhnya 4%. Sedangkan untuk korelasi dari GI dan literasi
sains terhadap penguasaan konsep adalah 0,136 dan 0,200 dan pengaruhnya 5,4 %. Dari hasil
tersebut bahwa ada pengaruh antara variabel dependent dan independent namun tidak
signifikan.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara [1]. Proses belajar mengajar akan berhasil bila hasilnya
dapat membawa perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai-
nilai dalam diri peserta didik [2].
SMP IT Robbani Kendal merupakan sekolah berbasis Islam Terpadu (IT). Sekolah
tersebut selain mengajarkan Ilmu umum kepada peserta didiknya juga mendalami Ilmu
Agama, seperti diwajibkan untuk menghafal Al-Qur’an. Kegiatan spiritual lain yang
dilakukan sebelum pembelajaran yaitu melakukan sholat duha, dan muroja’ah sebelum
proses pembelajaran dimulai. Kegiatan muroja’ah tersebut selalu dilakukan sebelum dan
sesudah solat. Sekolah tersebut juga menerapkan sistem full day school . Sekolah
tersebut juga mendidik peserta didiknya untuk berperan aktif dalam proses
pembelajaran.
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan terhadap guru SMP IT Robbani
Kendal Dian Ariyati Putri, S.Pd dan Ahmad Syaifudin, S.Si menjelaskan bahwa peserta
didik masih kurang berminat dalam belajar dan memahami materi pelajaran hitungan
terutama fisika. Selain wawancara dengan guru, penulis juga melakukan wawancara
kepada peserta didik kelas VII. Dari enam sampel peserta didik yang diwawancarai
menjelaskan kurang tertarik dengan mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)
terutama fisika. Masing-masing peserta didik menjelaskan ketidak tertarikannya dengan
fisika karena pembelajaran dan materi yang disampaikan biasa saja tidak ada variasi.
Faktor lain yang menyebabkan materi IPA kurang diminati oleh peserta didik yaitu,
karena saat dijelaskan materi tidak ada relevansi atau praktik nyata dalam
pembelajarannya. Sehingga peserta didik kurang memahami konsep dasar yang menjadi
pondasi awal untuk memahami materi selanjutnya, contohnya peserta didik tidak dapat
membedakan perbedaan GLB dan GLBB, peserta didik tidak dapat membaca grafik
hubungan antara kelajuan (v) terhadap waktu (t) pada GLB dan GLBB, peserta didik
tidak dapat menjelaskan pengertian GLB dan GLBB, dan sukar untuk menerima materi
pembelajaran dari guru.
Sekolah belum menyediakan laboratorium khusus IPA untuk melakukan
eksperimen. Eksperimen dilakukan di Aula Sekolah, ada kalanya peserta didik
membawa alat dan bahan yang tidak sediakan sekolah. Selain itu peserta didik kurang
didorong untuk menganalisis hasil praktikum dan informasi yang telah didapat untuk
memperkuat konsep dasar yang telah dijelaskan guru. Peserta didik belum diajak untuk
berperan aktif dalam kegiatan diskusi pada topik pembelajaran. Faktor-faktor tersebut
semakin membuat peserta didik kurang tertarik dan memahami konsep dasar materi
pembelajaran. Oleh karena itu untuk memberikan pemahaman konsep peserta didik,
dapat digunakan model pembelajaran GI (Group Investigation) dan Literasi Sains.
Meninjau pentingnya penguasaan konsep yang menjadi dasar untuk kelanjutan
dalam memahami materi pelajaran, sehingga tidak terjadi kesalahan konsep. Maka
diperlukan pemilihan model pembelajaran yang tepat. Literasi sains mendorong siswa
agar dapat mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah
dan menggunakan bukti ilmiah [3]. Pada penelitian ini penulis mengombinasikan model
GI (Group Investigation), dalam model ini siswa diberi kontrol dan pilihan penuh untuk
merencanakan apa yang ingin dipelajari dan diinvestigasi [4]. Model ini sesuai dengan
karakteristik peserta didik yang beragam dan digunakan untuk mengembangkan pola
pikir dalam berdiskusi, menemukan masalah, melakukan eksperimen, dan memperkuat
konsep dasar. Sedangkan literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan
pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan
bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan
alam dan perubahan yang dilakukan terhadap manusia. Definisi literasi sains ini
memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap
pengetahuan sains, melainkan lebih dari [5]. Dari berbagai informasi yang telah didapat
kemampuan literasi sains ini dibutuhkan untuk menganalisis dan megidentifikasi
masalah yang diberikan. Sehingga dari pemilihan model tersebut diharapkan dapat
membantu siswa dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika tentang materi gerak
lurus.
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (Field Research), yaitu
penelitian yang langsung dilakukan di lapangan dan bersifat kuantitatif. Model yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model eksperimen. Model eksperimen adalah
penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian
serta adanya control [6]. Metode ini menggunakan desain post test only control design
yakni menempatkan subyek penelitian kedalam dua kelompok (kelas) yang dibedakan
menjadi kategori kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Pada penelitian ini kelas eksperimen diberi perlakuan yaitu pembelajaran
menggunakan model group investigation (gi) dan literasi sains. Sedangkan kelas kontrol
dengan pembelajaran konvensional.
Dari penjelasan di atas dapat digambarkan dalam skema di bawah ini.
R1 X
O1
R2
O2
Keterangan :
R1 : kelompok eksperimen
R2 : kelompok kontrol
X : treatment
O1 : hasil pengukuran pada kelompok eksperimen
O2 : hasil pengukuran pada kelompok kontrol
Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis korelasi dan regresi untuk
mengetahui ada atau tidaknya Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation (GI)
dan Literasi Sains terhadap Penguasaan Konsep. Uji F digunakan untuk mengetahui
signifikansi seberapa besar pengaruh model pembelajaran group investigation (gi) dan
literasi sains terhadap penguasaan konsep pada materi gerak lurus SMPIT Robbani
Kendal. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP IT Robbani Kendal,
masing-masing berjumlah 20 peserta didik. Penelitian ini dilakukan pada kurang lebih
dalam kurun waktu 1 bulan dimulai tanggal 15 Mei 2017.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data,
di antaranya :
1. Metode Dokumentasi
Metode pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen,
gambar, atau karya yang ada sesuai dengan apa yang dibutuhkan peneliti [7].
2. Metode Tes
Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau
mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah
ditentukan. Tes dilakukan untuk memperoleh data tentang Penguasaan konsep pada
materi GLB [8]. Tes yang digunakan adalah pilihan ganda (multiple choice test) terdiri
atas bagian keterangan (stem) dan bagian kemungkinan jawaban atau alternatif
(option). Dalam penelitian ini penulis membuat 25 soal pilihan ganda untuk
mengukur penguasaan konsep dengan variabel Y. Pelaksanaan tes setelah perlakuan
diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Metode Kuesioner (Angket)
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk
dijawabnya [9]. Untuk Group investigation penulis menggunakan kuesioner kepada
peserta didik berkaitan dengan pembelajaran yang telah guru lakukan selama di
kelas, sedangkan untuk literasi sains menggunakan kuesioner kepada peserta didik
terhadap penilaian kemampuan peserta didik dalam mencari informasi dan
menganalisis. Kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya ini digunakan
untuk mendapatkan data awal dan data akhir. Kuesioner ini dimaksudkan untuk
memperoleh data kuantitatif dan hasilnya diolah untuk menguji kebenaran hipotesis
penelitian. Analisis data awal yang digunakan adalah dengan uji normalitas,
homogenitas, tingkat kesukaran, daya pembeda dan reliabilitas. Kemudian
dilanjutkan dengan uji hipotesis menggunakan regresi linier sederhana dan
berganda.
Berdasarkan data tahap awal, peneliti menggunakan nilai awal peserta didik di SMP
IT Robbani Kendal untuk dijadikan sebagai dasar awal melaksanakan penelitian. Dari
data tersebut kemampuan awal kelas yang dijadikan sebagai objek penelitian apakah
sama atau tidak.
Berdasarkan uji normalitas untuk kelas VII A dan VII B. Disajikan sebagaimana
pada Tabel 1:
Tabel 1 Data Hasil Uji Normalitas Tahap Awal
Kelas χ2hitung Dk χ2tabel Keterangan
VII A 7,95 5 11,07 Normal
VII B 8,524 5 11,07 Normal
Untuk hasil uji normalitas pada kelas eksperimen (VII B) untuk taraf signifikansi
α=5% dengan dk = 6-1, diperoleh χ2hitung = 8,524 dan χ2tabel = 11,07. Karena χ2hitung < χ2tabel
, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Sedangkan, uji
normalitas nilai awal pada kelas kontrol (VII A) untuk taraf signifikansi α=5% dengan dk
= 6-1, diperoleh χ2hitung = 7,950 dan χ2tabel = 11,07. Karena χ2hitung < χ2tabel , maka dapat
disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Oleh karena itu kedua kelas
layak dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Pembelajaran dengan perlakuan pada masing-masing kelas yaitu model
pembelajaran GI dan literasi sains pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, diberi tes
akhir (post-test) yang sama, yaitu 20 item soal pilihan ganda dengan 4 pilihan opsi.
Tes akhir (post-test) yang berisi 20 item soal pilihan ganda tersebut adalah hasil
analisis soal uji coba yang telah di ujicobakan pada kelas uji coba. Kelas uji coba adalah
kelas yang sudah mendapatkan materi gerak lurus yaitu kelas VIII yang berjumlah 20
peserta didik. Soal uji coba yang telah diujikan kemudian diuji kelayakannya, baik
validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda soalnya. Hanya ada 20 butir
soal yang layak digunakan sebagai tes akhir (post-test) untuk kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
Hasil tes akhir (post-test) yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata (post-test)
kelas eksperimen lebih tinggi dari nilai rata-rata kelas kontrol. Kelas eksperimen
memiliki rata-rata nilai post-test adalah 80,25, sedangkan kelas kontrol mempunyai
rata-rata nilai post-test adalah 61,5. Penggujian normalitas data post test disajikan
sebagaimana dalam Tabel 2:
Tabel 2 Data Hasil Uji Normalitas Nilai Post test
Kelas χ2hitung Dk χ2tabel Keterangan
VII A 8,56 5 11,07 Normal
VII B 5,032 5 11,07 Normal
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1
28.321 1 28.321 .341 .567a
Regression
Residual 1495.429 18 83.079
Total 1523.750 19
a. Predictors: (Constant), GI
b. Dependent Variable: Penguasaan Konsep
Tabel 3 menjelaskan hasil yang diperoleh dari nilai Fhitung = 0,341 dengan
signifikansi 0,567 > 0,05 dan Ftabel = 3,59. Karena Fhitung < Ftabel sehingga Ha ditolak dan
Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran GI tidak signifikan dalam
mempengaruhi Penguasaan konsep. Untuk mengetahui besarnya pengaruh antara X1
terhadap Y peneliti menggunakan persamaan regresi linier dengan hasil thitung = 5,584
dengan taraf signifikansi 0,567 > 0,05 dan ttabel = 2,120. Karena thitung < ttabel , maka Ha
ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model
pembelajaran GI terhadap Penguasaan Konsep, namun tidak signifikan.
Hasil Uji hipotesis 2 diperoleh nilai R sebesar 0,200. Hal ini menunjukkan
terdapat korelasi yang lemah antara variabel independent terhadap variabel dependent.
Kemudian dijelaskan besarnya prosentase pengaruh variabel terikat yang disebut
koefisien determinasi yang merupakan hasil dari kuadrat R, didapat nilai R2 = 0,04.
Korelasi antara variabel independent terhadap dependent pada tabel tersebut didapat
4%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.
Tabel 4 Signifikansi F
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares Df Square F Sig.
1 Regression 60.839 1 60.839 .749 .398a
Residual 1462.911 18 81.273
Total 1523.750 19
a. Predictors: (Constant), Literasi
Sains
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares Df Square F Sig.
1 Regression 60.839 1 60.839 .749 .398a
Residual 1462.911 18 81.273
Total 1523.750 19
b. Dependent Variable:
Penguasaan Konsep
Tabel 4 menjelaskan hasil yang diperoleh dari nilai Fhitung = 0,749 dengan
signifikansi 0,398 > 0,05 dan Ftabel = 3,59, karena Fhitung < Ftabel sehingga Ha ditolak dan
Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara variabel independent
terhadap variabel dependent namun tidak signifikan. Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh antara X2 terhadap Y dapat menggunakan persamaan regresi linier sederhana
dengan hasil thitung = 0,865 dengan taraf signifikansi 0,398 < 0,05 dan ttabel = 2,120.
Karena thitung < ttabel , maka Ha ditolak dan Ho diterima. Dapat disimpulkan terdapat
model pembelajaran Literasi Sains tidak signifikan dalam mempengaruhi Penguasaan.
Hasil uji hipotesis 3 adalah korelasi dari GI dan literasi sains terhadap
penguasaan konsep adalah 0,136 dan 0,200. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa ada
hubungan (korelasi) sangat lemah untuk model GI terhadap penguasaan konsep dan
korelasi lemah antara literasi sains terhadap penguasaan konsep. Kemudian diperoleh
nilai R2 adalah 0,54. Sehingga pengaruh variabel independent terhadap variabel
dependent pada tabel tersebut didapat sebesar 5,4 %, sedangkan sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain.
Tabel 5 Nilai Signifikansi F
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares Df Square F Sig.
1Regression 81.589 2 40.795 .481 .626a
Residual 1442.161 17 84.833
Total 1523.750 19
a. Predictors: (Constant), GI, Literasi
Sains
b. Dependent Variable: Penguasaan
Konsep
Tabel 5 menjelaskan hasil yang diperoleh dari nilai Fhitung = 0,481, dengan
signifikansinya = 0,626 > 0,05 dan Ftabel = 3,59. Karena Fhitung < Ftabel sehingga Ha ditolak
dan Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran GI dan Literasi Sains
tidak signifikan dalam mempengaruhi Penguasaan Konsep. Untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh antara X1 dan X2 terhadap Y di cari menggunakan persamaan regresi
linier berganda. Didapat nilai t untuk GI adalah 0,792 dan t untuk Literasi Sains adalah
0,495 dengan masing-masing signifikansi adalah 0,627 dan 0,439 dan ttabel = 2,120.
Karena thitung < ttabel , maka Ha ditolak dan Ho diterima. Karena nilai signifikansi literasi
sains lebih kecil dari nilai signifikansi GI, maka dapat disimpulkan bahwa literasi sains
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan model pembelajaran GI dan literasi sains tidak signifikan dalam
mempengaruhi penguasaan konsep siswa pada materi gerak lurus. Dengan uji korelasi
dan regresi masing-masing variabel seperti di bawah ini :
1. Ada pengaruh sangat lemah antara model pembelajaran group investigation (gi)
terhadap penguasaan konsep materi gerak lurus dengan besar pengaruhya 1,9%.
2. Ada pengaruh sangat lemah antara literasi sains terhadap penguasaan konsep
materi gerak lurus dengan besar pengaruhya 4%.
3. Ada pengaruh sangat lemah antara model pembelajaran group investigation (gi) dan
literasi sains terhadap penguasaan konsep materi gerak lurus dengan besar
pengaruhnya 5,4%.
REFERENSI
http://referensi.elsam.or.id/2014/11/UU-no-20-tahun-2003-tentang-sistem
pendidikan-nasional pasal 1/ diakses tanggal 20 Desember 2016 pukul 12:45
Muhammad Fathurrohman, dan Sulistyorini, Meretas pendidikan berkualitas dalam
pendidikan Islam: menggagas pendidik atau guru yang ideal dan berkualitas dalam
pendidikan Islam, Jakarta : Teras, 2012
Odja, A. H. dan C. S Payu, 2014, Analisis kemampuan awal literasi sains siswa pada konsep
IPA. Prosiding Seminar Nasional Kimia (Online). Diakses di
http://fmipa.unesa.ac.id/kimia/wp-content/ uploads/ 2013/11/40-47- Abdul-
Haris-Odja-Universitas-Negeri- Gorontalo.Pdf. Pada tanggal 3 Maret 2017
Huda, Miftahul, Cooperative Learning, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2012
Elsy Zuriyani, Literasi Sains dan Pendidikan,http://happyslide.top/ doc/ 380653
/nature- of- science--bagian-penting-dari-literasi-sains. Pada tanggal 12
Desember 2016.
Nazir, Muhammad, Model Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005
Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendektan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta,
2010
Abstrak
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam bagi peserta didik kelas IX MTs Negeri Penawangan
masih digolongkan sebagai pelajaran yang sulit dan kurang menarik. Salah satu faktornya
yakni proses pengajaran yang masih monoton dan kurang menyenangkan. Akibatnya
motivasi belajar peserta didik menjadi rendah. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT
mampu memberikan perbaikan kualitas pembelajaran dan mampu meningkatkan motivasi
belajar peserta didik karena pembelajaran lebih menyenangkan sekaligus bisa menanamkan
sikap ilmiah. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang diterapkan di kelas IX
MTs Negeri Penawangan dengan langkah perencanaan (planning), penerapan tindakan
(action), pengamatan (observing), refleksi (reflecting). Kegiatan penelitian dilaksanakan
dalam dua siklus. Data hasil penelitian menunjukkan dari 25 peserta didik pada kegiatan
prasiklus sebesar 62,5% memiliki motivasi kurang, 37,5% memiliki kategori cukup. Pada
siklus I peserta didik sudah memiliki motivasi belajar sebanyak 20,83% dengan kategori
baik, 37,5% memiliki kategori cukup, dan 41,67% motivasi yang dimiliki masih kurang. Pada
siklus II motivasi belajar mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 75% dengan
kategori baik, dan masih ada 25% peserta didik yang berkategori cukup.
PENDAHULUAN
Menurut UU No. 30 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang
dijabarkan PP No 32 tahun 2013 dalam pasal 19 ayat 1 menyebutkan bahwa proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselengarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Untuk
mewujudkannya diperlukan kreatifitas guru sebagai pengajar untuk menghidupkan
suasana belajar sehingga apa yang menjadi tujuan pembelajaran akan tercapai. Suasana
menyenangkan adalah kondisi dimana peserta didik dengan keinginan yang tinggi
mengikuti pembelajaran tanpa ada keinginan untuk meninggalkan ruangan dan ssaat
proses pembelajaran peserta didik juga sangat antusias dalam mengikuti tahapan-
tahapan pembelajaran.
Peserta didik adalah manusia dengan segala fitrahnya. Mereka mempunyai
perasaan dan pikiran serta keinginan atau aspirasi. Mereka mempunyai kebutuhan
dasar yang perlu dipenuhi (pangan, sandang, papan), kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan, dan kebutuhan untuk mengaktualisasi
dirinya (menjadi dirinya sendiri sesuai dengan potensinya).
Dalam tahap perkembangannya, peserta didik SMP berada pada tahap
periode perkembangan Operasional formal (umur 11/12-18 tahun). Ciri pokok
perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis.
Model berfikir ilmiah dengan tipe hipotetico-deductive dan inductive sudah mulai
dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan
mengembangkan hipotesa (Asri Budiningsih, 2005: 39).
Menurut Piaget (1970), periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu yang lebih
kurang sama dengan usia peserta didik SMP, merupakan `period of formal :operation'.
Pada usia ini, yang berkembang pada peserta didik boalah kemampuan berpikir secara
simbolis dan bisa memahami sesuatu secara bermakna (meaningfully) tanpa
memerlukan objek yang konkret, bahkan objek yang visual. Peserta didik telah
memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Implikasinya dalam pembelajaran bahasa
Indonesia bahwa belajar akan bermakna apabila input (materi pelajaran) sesuai dengan
minat dan bakat peserta didik. Pembelajaran bahasa Indonesia akan berhasil apabila
penyusun silabus dan guru mampu menyesuaikan tingkat kesulitan dan variasi input
dengan harapan serta karakteristik peserta didik sehingga motivasi belajar mereka
berada pada tingkat maksimal.
Pada tahap perkembangan ini juga berkembang ketujuh kecerdasan dalam
Multiple Intelligences yang dikemukakan oleh Gardner (1993), yaitu:
1) kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa yang fungsional),
2) kecerdasan logis-matematis (kemampuan berpikir runtut),
3) kecerdasan musikal (kemampuan menangkap dan menciptakan pola nada dan
irama),
4) kecerdasan spasial (kemampuan membentuk imaji mental tentang realitas),
5) kecerdasan kinestetik-ragawi (kemampuan menghasilkan gerakan motorik yang
halus),
6) kecerdasan intra-pribadi (kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan
mengembangkan jati diri),
7) kecerdasan antarpribadi (kemampuan memahami orang lain).
Ketujuh macam kecerdasan ini sesuai dengan karakteristik keilmuan bahasa Indonesia,
dan akan dapat berkembang pesat apabila dapat dimanfaatkan oleh guru bahasa
Indonesia untuk berlatih mengeksplorasi gejala alam, baik gejala kebendaan maupun
gejala kejadian/ peristiwa guna membangun konsep bahasa Indonesia.
Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.
Sedangkan belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah
laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. (KBBI, 1996:14). Sependapat
dengan pernyataan tersebut Soetomo (1993:63) mengemukakan bahwa belajar adalah
proses pengelolaan lingkungan seseorang dengan sengaja dilakukansehingga
memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau mempertunjukkan tingkah laku
tertentu pula.
Pasal 1 Undang0Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menyebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Jadi pembelajaran adalah
proses yang disengaja yang menyebabkan peserta didik belajar pada suatu lingkungan
belajar untuk melakukan kegiatan pada situasi tertentu.
Dalam pusat kurikulum (2006:4) IPA berkaitan dengan cara mencaritahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penugasan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi merupakan
suatu proses penemuan.Trianto (2011: 136-137) menyatakan pada hakikatnya IPA
adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan
eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka,jujur dan
sebagainya.
Dengan demikian, IPA adalah ilmu untuk mencari tahu tentang alam melalui
metode ilmiah dan menggunakan sikap ilmiah. Dalam pembelajaran IPA guru dituntut
untuk memberikan pengetahuan mengenai konsep yang terkandung dalam materi IPA.
Selain konsep, hendaknya guru menanamkan sikap ilmiah dengan menggunakan model-
Banyak peserta didik yang sering ijin keluar kelas dan kecenderungan untuk bermain
dan berbicara dengan teman satu bangkunya. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran
IPA yang menyenangkan sekaligus bisa menanamkan sikap ilmiah diperlukan sebuah
model pembelajaran baru yang belum pernah diterapkan dalam pembelajaran IPA.
Model pembelajaran yang menyenangkan salah satunya model pembelajaran kooperatif
tipe TGT. Dengan menerapkan model pembelajaran TGT diharapkan suasana
pembelajaran menjadi lebih menyenangkan sehingga motivasi belajar peserta didik juga
akan meningkat.
Berdasarkan uraian di atas maka alur berpikir penelitian ini dapat digambarkan
sebagi berikut:
Penerapan
Pembelajaran Motivasi
Motivasi Rencana Kooperatif Tipe Belajar
Belajar Tindakan TGT (Teams Meningkat
Rendah Games
Tournamen)
METODE PENELITIAN
Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dengan lokasi kelas IX D MTs Negeri
Penawangan. Jumlah peserta didik kelas IX D ada 24 peserta didik, yang rinciannya
adalah sebagai berikut: jumlah peserta didik putra 11 orang , peserta didik putri 13
orang. Pada Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini, data diperoleh dengan teknik non tes
dan tes yakni dengan menggunakan lembar observasi, dan tes tulis.
Teknik yang digunakan untuk analisis data pada penelitian ini adalah teknik
deskriptif analitik dengan penjelasan sebagai berikut: Data kualitatif yang diperoleh dari
lembar observasi yang berisi indikator peningkatan motivasi belajar digunakan untuk
mengetahui besar motivasi peserta didik. Selanjutnya akan dijadikan pijakan untuk
melakukan refleksi pada siklus berikutnya. Motivasi belajar peserta didik yang tinggi
juga akan memberikan pengaruh kepada hasil belajar peserta didik yang bisa dilihat
dari nilai tes tulis.
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Setiap butir jawaban diskor sesuai dengan skala penilaian lembar observasi
2. Jumlah skor selanjutnya disajikan secara diskriptif persentase menggunakan
rumus yang telah disajikan.
Diskripsi presentase adalah model penelitian yang menganalisis data dengan
mengumpulkan kemudian dipresentase. Rumus yang digunakan untuk menghitung
presentase (Ngalim Purwanto, 2009:102) adalah:
𝑅
NP(%)=𝑆𝑀 x100
Keterangan:
R=skor mentah yang diperoleh
SM = skor maksimum
Selanjutnya hasil presentase dinyatakan kedalam penghargaan kualitatif yang mempunyai
kriteria sesuai tabel berikut.
Tingkat Presentase Penghargaan
< 30 % Tidak Baik
30 % - 70 % Cukup Baik
>70 % Baik
Analisis Tes Tulis diperoleh dari nilai hasil pre test dan post test. Peserta didik dikatakan
mencapai KKM jika peserta didik memperoleh nilai ≥ 70. Persentase jumlah peserta
didik yang mencapai KKM dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
Evaluasi I: Observasi I:
Melakukan Melakukan
pengolahan data pengamatan terhadap
S hasil pelaksanaan peserta didik dan
I pembelajaran pengamatan proses
K tipe TGT untuk pembelajatan dengan
L dijadikan acuan menggunakan model
U pada siklus II pembelajaran
S kooperatif tipe TGT
2
Perencanaan II : Pelaksanaan II :
membuat RPP melaksanakan
dengan menerapkan pembelajaran dengan
model menggunakan model
pembelajaran pembelajaran
kooperatif tipe kooperatif tipe TGT
TGT
Evaluasi II : Observasi II :
Melakukan Melakukan
pengolahan data pengamatan terhadap
hasil pelaksanaan peserta didik dan
pembelajaran pengamatan proses
tipe TGT untuk pembelajatan dengan
dijadikan acuan menggunakan model
pada siklus II pembelajaran
kooperatif tipe TGT
b. Pelaksanaan Siklus 1
Tindakan kelas putaran I dilaksanakan pada hari Rabu , 4 januari 2017,
pukul 08.25-09.45 WIB di MTs Negeri Penawangan. Pelaku tindakan atau
pengajar adalah peneliti sedangkan penerima tindakan adalah peserta didik kelas
IX D sebanyak 24 peserta didik. Pada tahap ini dapat dijelaskan antara lain:
1) Tindak mengajar
Guru memberikan salam, kemudian membagi peserta didik kedalam 5
kelompok masing- masing kelompok terdiri dari 4-5 peserta didik (terlampir).
Setelah itu, guru memberikan penjelasan materi secara singkat kemudian
membagikan LKS untuk dikerjakan oleh masing-masing kelompok (terlampir).
Saat peserta didik mengerjakan LKS dalam kelompoknya guru berkeliling untuk
membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan. setelah waktu dianggap
cukup, guru beserta peserta didik membahas bersama hasil dari diskusi untuk
menyamakan konsep materi yang diajarkan.
Guru memberitahu peserta didik saatnya melakukan tournamen. Sebelum
tournamen dimulai guru menyiapkan kartu bernomor dan menaruhnya diatas
meja, didalam kartu bernomor terdapat pertanyaan yang harus dijawab oleh
masing-masing perwakilan dalam kelompok. jumlah pertanyaan pada babak
pertama berjumlah 5 pertanyaan. Kelompok yang berhasil menjawab akan diberi
skor 1 sedangkan yang tidak bisa menjawab tidak mendapat skor. Guru
mempersilahkan perwakilan kelompok untuk maju kedepan kelas. Kelompok abu
bakar diwakili oleh ismi khariroh, kelompok umar bin khattab diwakili oleh
rahma citra, kelompok usman bin affan diwakili oleh awang muda saputra,
kelompok ali bin abi thalib diwakili oleh putri permatasari, dan kelompok zaid
bin tsabit diwakili oleh siti rohmah. Pembaca pertama dimulai oleh awang dari
kelompok usman. Pada babak pertama tournamen kelompok yang memperoleh
skor adalah kelompok abu bakar dan ali. Selama 15 menit berjalan, kelompok
yang mendapatkan skor tertinggi adalah kelompok ali bin abi thalib dengan
jumlah skor 3 poin. Guru memberikan penghargaan berupa bintang kepada
kelompok Ali Bin Abi Thalib.
Pada akhir pembelajaran, guru bersama peserta didik membuat kesimpulan
dari materi pernyataan dan kalimat terbuka, guru mengadakan evaluasi materi
pelajaran dengan memberikan soal latihan yang dikerjakan secara individu,
memberikan pekerjaan rumah dan meminta peserta didik untuk mempelajari
materi selanjutnya.
2) Tindak Belajar
Peserta didik mengikuti proses pembelajaran dengan gaduh karena guru
baru pertama kali menerapkan metode pembelajaran yang berbeda. Dalam
pembelajaran sehari – hari, guru biasanya menggunakan metode ceramah. Hal ini
disebabkan banyak guru yang beranggapan bahwa dengan metode ceramah
maka peserta didik lebih mudah menerima materi ajar. selain itu, saat diskusi
berlangsung para peserta didik kurang bekerjasama satu dengan yang lain, masih
banyak juga kelompok yang saling berbicara membahas bukan tentang materi
yang diajarkan.
c. Observasi Siklus 1
Pada tahap ini, peneliti juga mengamati dengan menggunakan lembar
observasi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan lembar observasi dan catatan
lapangan yang tersedia, mencatat hasil – hasil proses pembelajaran yang akan
digunakan sebagai bahan refleksi.
Objek sasaran yang diamati dalam observasi minat peserta didik meliputi
kuatnya kemauan untuk berbuat, jumlah waktu yang disediakan untuk belajar,
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan pembelajaran secara keseluruhan sampai berakhirnya tindakan
putaran II, perilaku peserta didik yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini mengalami perubahan yang positif. Hasil penelitian
pada tindakan kelas putaran II diperoleh kesepakatan bahwa tindakan belajar
yang diambil telah berhasil meningkatkan motivasi peserta didik dalam
pembelajaran IPA.
Data – data yang diperoleh di atas mengenai peningkatan motivasi peserta didik
melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT kelas IX dari sebelum tindakan sampai
dengan tindakan kelas putaran II dapat disajikan dalam tabel berikut :
Tabel :Data peningkatan motivasi belajar peserta didik melalui pembelajaran
kooperatif tipe TGT kelas IX
Motivasi Sebelum
Siklus 1 Siklus 2
Belajar Tindakan
Kurang 15 peserta 10 peserta -
didik didik
(62,5 %) (41,67 %)
Cukup 9 peserta 9 peserta 6 peserta
didik didik didik
(37,5 %) (37,5 %) (25%)
Baik - 5 peserta 18 peserta
didik didik
(20,83 %) (75%)
B. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian akan membahas hasil pada setiap putaran dan antar
putaran.
Pada penelitian ini, sebelum dilakukan tindakan kelas hanya peserta didik
tertentu saja yang punya motivasi untuk mengikuti pelajaran IPA yaitu sejumlah
15 peserta didik memiliki motivasi belajar “kurang” yaitu 62,5 % sedangkan 9
peserta didik yang lain memiliki motivasi belajar “cukup” yaitu 37,5 %.
Hal ini disebabkan peserta didik tidak tertarik dengan proses pembelajaran dan
tidak adanya suasana variasi proses pembelajaran menjadikan proses
pembelajaran sedikit membosankan. Pembelajaran yang direncanakan dengan
menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TGT mulai meningkat pada siklus I.
Data tindakan kelas putaran I di dapat bahwa 10 peserta didik (41,67 %)
memiliki motivasi “ kurang “,sebanyak 9 peserta didik (37,5 %) memiliki
motivasi belajar cukup dan sebanyak 5 peserta didik (20,83 %) memiliki motivasi
belajar “baik “.
Data tindakan kelas putaran II di dapat bahwa peserta didik yang memiliki
motivasi “baik “ sebanyak 18 peserta didik ( 75 % ) dan peserta didik yang
memiliki motivasi “cukup baik “ sebanyak 6 peserta didik ( 25 % ).
Penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT mampu menarik perhatian peserta
didik dan mampu membuat peserta didik aktif, bersemangat dan termotivasi
dalam belajar.
SIMPULAN
Hasil penelitian pembelajaran penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
TGT (teams games tournament) dalam pembelajaran IPA kelas IX Mts Negeri
penawangan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik secara klasikal pada
materi magnet. Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Data hasil penelitian
menunjukkan dari 25 peserta didik pada kegiatan prasiklus sebesar 62,5% memiliki
motivasi kurang, 37,5% memiliki kategori cukup. Pada siklus I peserta didik sudah
memiliki motivasi belajar sebanyak 20,83% dengan kategori baik, 37,5% memiliki
kategori cukup, dan 41,67% motivasi yang dimiliki masih kurang. Pada siklus II motivasi
belajar mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 75% dengan kategori baik, dan
masih ada 25% peserta didik yang berkategori cukup.
REFERENSI
B Uno, Hamzah, 2008, Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar
Mengajar, Jakarta: Balai Pustaka.
Djamarah, Syaiful Bahri, 2002, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineksa Cipta
Huda M., 2011, Cooperatif Learning, Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huda, Miftahul, 2014, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran, Isu-Isu Modis dan
Paradigmatis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Permendiknas No. 22 tahun 2013
Sanjaya, Wina. 2008, Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidika,
Jakarta: Kencana.
Robert E. Slavin. 2010, COOPERATIVE LEARNING: Teori, Riset dan Praktik. Bandung:
Nusa Media
Trianto, 2010, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep landasan dan
Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, Jakarta:
Kencana
Usman, Moh Uzer, 2001, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya
BIOLOGI
E-mail: irmarohmawati18@gmail.com
Abstrak
Masalah lingkungan dan pengembangan suatu wilayah merupakan permasalahan yang tidak
bisa dilepaskan. Kondisi geografis, ketersediaan faktor pendukung yang berasal dari alam
seperti kondisi geologi, curah hujan, air tanah, daerah resapan dan lahan hijau sudah mutlak
harus dipertimbangkan karena akan menjadi penentu kenyamanan hidup manusia disekitar
lingkungan. Kegiatan pada suatu komunitas diperlukan peran dari setiap pihak guna
terwujudnya program tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peran serta
masyarakat Desa Karangmanggis Boja Kendal dalam keterlibatannya mewujudkan upaya
konservasi air. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2017 di Desa Karangmanggis
Boja Kendal. Peran serta dan pemaknaan masyarakat Desa Karangmanggis terhadap Upaya
Konservaasi Air di Desa Karangmanggis Boja Kendal dapat dilihat dari beberapa indikator
yaitu: pemahaman terhadap upaya konservasi air, kesediaan pengelolaan konservasi air
dalam aspek kelembagaan, bentuk peran serta masyarakat dalam tenaga, kesediaan
masyarakat dalam mengelola sendang, kesediaan masyarakat dalam melestarikan tanaman
Bulung (Metroxylon sagu), kesediaan masyarakat dalam melaksanakan tradisi gugur gunung,
dan bentuk peran serta masyarakat dalam pemikiran, ide dan gagasan. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Karangmanggis
belum berperan aktif dalam upaya konservasi air. Pemaknaan masyarakat Desa
Karangmanggis terhadap upaya konservasi air menggunakan vegetasi tanaman yang
berpotensi sebagai penyimpan air yaitu Bulung (Metroxylon sagu) masih sangat rendah.
PENDAHULUAN
Masalah lingkungan dan pengembangan suatu wilayah saat ini merupakan
permasalahan yang tidak bisa dilepaskan. Kondisi geografis, ketersediaan faktor
pendukung yang berasal dari alam seperti kondisi geologi, curah hujan, air tanah, daerah
resapan dan lahan hijau sudah mutlak harus dipertimbangkan karena akan menjadi
penentu kenyaman hidup manusia di disekitar lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi
masalah konservasi sumber-sumber alam seperti air dan lahan hijau di masa akan
datang akan menjadi masalah utama (Harja dkk: 2007). Air sebagai kebutuhan vital
dalam kehidupan sehari-hari seperti konsumsi minum, aktivitas rumah tangga, industri,
pertanian dan lain-lain. Usaha konservasi air dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode, yaitu (1) metode vegetative, menggunakan tanaman sebagai sarana (2) metode
mekanik, menggunakan tanah, batu dan lain-lain sebagai sarana. Desa Karangmanggis
yang terletak di Kecamatan Boja Kabupaten Kendal merupakan Desa yang memiliki
potensi alam yang baik terkait dengan upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja
Kendal. Salah satu potensi alam tersebut adalah terdapatnya tanaman yang berpotensi
sebagai penyimpan air yaitu Bulung (Metroxylon sagu). Tanaman lokal yang berpotensi
sebagai penyimpan air dan sumber air merupakan dua komponen yang secara dinamis
saling berinteraksi yang dapat digunakan untuk usaha konservasi air di Desa
Karangmanggis Boja Kendal. Berbagai permasalahan yang terdapat di desa
Karangmanggis berkaitan dengan keberadaan air menuntut masyarakat Desa
Karangmanggis untuk tidak hanya diam tetapi diperlukan pemikiran atau tindakan guna
mengatasi permasalahan tersebut.
Kegiatan atau program pada sebuah organisasi atau komunitas diperlukan peran
dari setiap individu di dalamnya guna terwujudnya program tersebut. Partisipasi
masyarakat pada dasarnya dapat dinyatakan dalam bentuk pemikiran,
ketrampilan/keahlian, tenaga, dan harta benda (Davis dalam Santosa 1998:16). Sejalan
dengan itu Surbakti (1984: 72-73) mengemukakan bahwa kegiatan yang dapat
digolongkan sebagai partisipasi antara lain : (1) Ikut mengajukan usul-usul kegiatan ; (2)
ikut serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan ; (3) Ikut serta melaksanakan
apa yang telah diputuskan termasuk disini memberikan iuran atau sumbangan materiil ;
(4) Ikut serta mengawasi pelaksanaan keputusan.
Selanjutnya dikatakan Bryan dan White dalam Ndraha (1983:23) bahwa
partisipasi dapat berbentuk :
1. Partisipasi buah pikiran
2. Partisipasi harta dan uang
3. Partisipasi tenaga dan gotong royong
4. Partisipasi sosial
5. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan/kegiatan nyata yang konsisten
Jadi partisipasi juga berfungsi dari manfaat disamping pengorbanan ataupun
resiko. Dengan demikian, ukuran peran serta masyarakat lebih cepat bila dijelaskan
secara kualitatif. Dalam hal ini partisipasti dapat didefinisikan kedalam sebuah tipologi
yang memperlihatkan adanya perbedaan penilaian masyarakat tentang intensitas
keterlibatan masyarakat (Whyte dalam Bourne, 1984:22).
Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah pada artikel ini adalah
(1) Bagaimanakah peran serta masyarakat masyarakat Desa Karangmanggis Boja
Kendal dalam keterlibatannya mewujudkan upaya konservasi air di Desa
Karangmanggis Boja Kendal? (2) Apa sajakah peran serta masyarakat Desa
Karangmanggis dalam memaknai upaya konservasi air di Desa Karangmanggis Boja
Kendal? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan
bagi pemerintah dan masyarakat luas dalam perannya atau partisipasinya dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan lingkungan dan sumberdaya alam sehingga
dapat meningkatkan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
TUJUAN
Tujuan penulisan artikel ini adalah:
1. Mendeskripsikan peran serta masyarakat masyarakat Desa Karangmanggis Boja
Kendal dalam keterlibatannya mewujudkan upaya konservasi air di Desa
Karangmanggis Boja Kendal.
2. Mengidentifikasi peran serta masyarakat dalam upaya konservasi air di Desa
Karngmanggis Boja Kendal melalui beberapa indikator diantaranya: pemahaman
terhadap upaya konservasi air, kesediaan pengelolaan konservasi air dalam aspek
kelembagaan, kesediaan bentuk peran serta masyarakat dalam tenaga, kesediaan
masyarakat dalam mengelola sendang, kesediaan masyarakat dalam melestarikan
tanaman Bulung (Metroxylon sagu),Kesediaan masyarakat dalam melakukan tradisi
gugur gunung, Kesediaan bentuk peran serta masyarakat dalam pemikiran, ide dan
gagasan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2017 di Desa Karangmanggis Boja
Kendal
Alat
Alat yang digunakan dalam pengambilan data adalah alat perekam berupa handphone,
alat dokumentasi berupa kamera, dan alat tulis.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik survei lapangan (observasi),
teknik wawancara secara mendalam (in depth interview) dan penelusuran data
sekunder.Penelusuran data sekunder ditujukan sebagai penguatan terhadap data-data
yang tidak bisa digali melalui wawancara dan observasi. Penelusuran dilakukan dengan
kajian pustaka terhadap berbagai literatur, baik jurnal, buku, makalah, media massa
maupun informasi dari internet yang berkaitan dengan tema penelitian. Data-data yang
telah diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan pemaknaan
masyarakat Desa Karangmanggis terhadap upaya konservasi air.
PEMBAHASAN
Berkaitan dengan ketersediaan air dan terdapatnya tanaman yang berpotensi
sebagai penyimpan air maka diperlukan sebuah usaha konservasi air di Desa
Karangmanggis Boja Kendal. Upaya konservasi ini mampu berjalan dengan baik apabila
terdapat peran sosial masyarakat untuk mencapai usaha konservasi ini. Peran serta
masyarakat Desa Karangmannggis Boja Kendal dalam upaya konservasi air dapat dikaji
dalam beberapa aspek berikut ini :
Tabel 1. Peran Serta dan Pemaknaan Masyarakat Desa Karangmanggis
terhadap Upaya Konservaasi Air di Desa Karangmanggis Boja Kendal
No Indikator Peran Serta dan Pemaknaan
Masyarakat
1. Pemahaman terhadap Masyarakat Desa Karangmanggis memaknai
upaya Konservasi Air konservasi air adalah sebagai upaya
pelestarian sumber daya air. Sebagian dari
anggota komunitas ini mengetahui akan
pengertian konservasi air namun untuk
pelaksanaan atau upaya yang harus
dilakukan berkaitan dengan upaya
konservasi air di Desa Karangmanggis
sendiri, mereka hanya menyebutkan
tindakan-tindakan sederhana seperti
berhemat dalam menggunakan air dan
membersihkan sungai. Berdasarkan
anggapan tersebut tentunya diketahui
bahwa masyarakat tidak memandang
potensi tanaman yang ada di Desa
Karangmanggis Boja Kendal salah satunya
tanaman Bulung (Metroxylon sagu) yang
memiliki potensi menyimpan air. Tanaman
ini tumbuh liar di Desa Karangmanggis
hingga keberadaannnya mulai berkurang
dan tergantikan oleh tanaman lain seperti
tanaman sengon.
2. Kesediaan pengelolaan Masyarakat memaknai pejabat Ulu-ulu
konservasi air dalam sebagai pejabat yang bertugas bersih bersih
aspek kelembagaan desa,namun pemaknaan ini hanya diketahui
minoritas masyarakat Desa karangmanggis.
Hal ini semakin jelas bahwa pejabat Ulu-ulu
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Peran Serta dan Pemaknaan Masyarakat Desa
Karangmanggis terhadap Upaya Konservaasi Air Di Desa Karangmanggis Boja Kendal
dapat disimpulkan :
1. Peran serta masyarakat Desa Karangmanggis dalam upaya konservasi masih rendah.
2. Pemaknaan masyarakat Desa Karangmanggis masih sangat sederhana terhadap
upaya konservasi air menggunakan vegetasi tanaman yang berpotensi sebagai
penyimpan air yaitu Bulung (Metroxylon sagu).
REFERENSI
Harja Asep, dkk, 2007, Pemberdayaan Masyarakat Tentang Konservasi Air tanah di
Wilayah Rancaekek Kabupaten Bandung. UNPAD.
Soetomo Wahyu Tri. 2006. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Pemeliharaan
Jalan Pada Perumahan Korpri Sambak Indah, Purwodadi.UNDIP
Abstrak
Cagar Alam Pagerwunung Darupono semula merupakan hutan tanaman jati yang kemudian
dibiarkan mengalami proses suksesi sendiri. Proses suksesi yang terus berlangsung sampai
saat ini mengakibatkan keanekaragaman hayati yang ada juga terus meningkat.
Permasalahannya yaitu tingkat keanekaragaman jenis vegetasi di Kawasan Cagar Alam
tersebut belum banyak diketahui dengan pasti selain pohon jati (Tectona grandis) yang
merupakan tanaman awal di kawasan hutan tersebut. Data-data hasil penelitian yang telah
dilakukan juga belum banyak mengungkap keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut
hingga sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan tingkat keanekaragaman
spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal.Metode menetukan
lokasi menggunakan metode petak ganda dengan banyak petak contoh yang letaknya
tersebar secara acak (random sampling). Data dianalisis untuk keanekaragaman
menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner.Hasil penelitian terdapat 16 jenis
spermatophyta yang termasuk dalam 9 ordo dan 12 famili.Tingkat keanekaragaman
spermatophyta di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal tergolong
rendahdengan indeks Shannon-Wiener sebesar -0.894195.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar
di dunia (megabiodiversity countries) bersama dengan Brazil dan Zaire (RD Congo).
Keanekaragaman hayati tersebut meliputi tumbuhan dan hewan yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia (Nugroho, 2015). Keanekaragaman tumbuhan di dunia ini
sangat beragam dari tumbuhan tingkat rendah sampai tumbuhan tingkat
tinggi.Tingginya tingkat biodiversitas Indonesia ditunjukkan dengan adanya 10 % dari
tanaman berbunga di dunia dapat ditemukan di Indonesia (Setiawan, 2014). Indonesia
menempati urutan keempat dunia untuk keanekaragaman jenis tumbuhan, yaitu
memiliki kurang lebih 38.000 jenis (Nugroho, 2015).
Menurut Setiawan (2014) kekayaan alam di Indonesia yang melimpah terbentuk
oleh beberapa faktor, seperti dilihat dari sisi astronomi Indonesia terletak pada daerah
tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga banyak jenis tumbuhan yang
dapat hidup dan tumbuh dengan cepat. Dilihat dari sisi geologi, Indonesia terletak pada
titik pergerakan lempeng tektonik sehingga banyak terbentuk pegunungan yang kaya
akan mineral.
Didalam Al Qur’an di terangkan dalam surat Taha Ayat 53:
٣٥ شتَّ َٰى ٖ َس َما ٓ ِء َما ٓ ٗء فَأ َ ۡخ َر ۡجنَا ِب ِ ٓۦه أ َ ۡز َٰ َو ٗجا ِمن نَّب
َ ات َّ َوأَنزَ َل ِمنَ ٱل
Artinya:
53. Dan menurunkan dari langit air hujan. Kemudian Kami tumbuhkan dengannya (air
hujan itu) berjenis-jenis aneka macam tumbuh-tumbuhan (Departemen RI, 2006).
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasannya Allah SWT telah menciptakan
makhluk-Nya dalam bentuk yang beranekaragam, seperti halnya berbagai jenis
tumbuhan yang ada di Bumi.
Cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem tertentu yang layak untuk dilindungi yang
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono
Kendal, pada bulan Maret sampai April 2017. Instrumen yang digunakan dalam
membantu proses pengambilan data dalam penelitian ini terdiri dari: tali rafia,patok,
gunting, luxmeter, termometer, higrometer, soil tester, kamera alat tulis (buku catatan,
pulpen, penggaris, pensildan penghapus) dan buku kunci identifikasi tumbuhan.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis spermatophyta di Kawasan Cagar Alam
Pagerwunung Darupono Kendal. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah semuajenis
spermatophyta yang terdapat dalam plot atau petak pengamatan. Fokus dari penelitian
ini adalah pada keanekaragaman tumbuhan berbiji (spermatophyta) pada strata pohon
di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal. Metode pengambilan sampel
menggunakan metode petak ganda. Pengambilan data pada metode petak ganda
dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar secara
acak (random sampling) pada areal yang dipelajari. Dibuat 5 plot/petak pengamatan di
Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal. Tiap plot berukuran 20 x 20 m2.
Hal ini sesuai dengan pendapat Indriyanto (2006) bahwa petak 20 x 20 m2 digunakan
untuk pengukuran dan pencatatan terhadap tingkat pohon.
DA suatu spesies
KR = x 100 %
DA seluruh spesies
c. Frekuensi Absolut (FA)
jumlah plot ditemukannya suatu spesies
FA = Jumlah seluruh plot
d. Frekuensi Relatif (FR)
FA suatu spesies
FA = FA seluruh spesies x 100 %
e. Dominansi Absolut (DA)
basal area suatu spesies
DA = luas area penelitian
f. Dominansi Relatif (DR)
jumlah dominansi suatu spesies
DR = jumlah dominansi seluruh spesies x 100 %
g. Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR + DR
Keterangan :
INP = indek nilai penting
FR = frekuensi relatif
KR = kerapatan relatif
DR = dominansi relatif
h. Keanekaragaman Spesies (H’)
Hʼ=-∑{ (n.i/N) log (n.i/N)}
Keterangan :
H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
n.i = nilai penting dari tiap spesies
N = total nilai penting
Tabel 1. Penentuan tingkat keanekaragaman jenis berdasarkan nilai indeks Shannon-
Wienner (Fachrul, 2007)
Tingkat keanekaragaman
Nilai H'
jenis
>3 Tinggi
1–3 Sedang
<1 Rendah
KESIMPULAN
Spermatophyta yang ditemukan di Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono
Kendal terdiri dari 16 jenis yang termasuk dalam 9 ordo dan 12 famili. Jenis-jenis
tersebut adalah jati (Tectona grandis), teja (Cinnamomum iners), jengkol (Pithecellobium
lobatum), bendo (Artocarpus elastica), belimbing (Averrhoacarambola), awar-awar
(Ficus septica), manggis hutan (Garcinia bancana), suren (Toona sureni), walikukun
(Schoutenia ovata), salam watu (Syzygium lineatum), waru tutub (Macaranga tanarius),
rengas (Gluta renghas), mindi (Melia azedarach), serut (Streblus asper), klayu
(Erioglossum rubiginosum) dan karet (Hevea brasiliensis).Tingkat keanekaragaman
spermatophytadi Kawasan Cagar Alam Pagerwunung Darupono Kendal tergolong
rendahdengan indeks Shannon-Wiener sebesar -0.894195.
REFERENSI
Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bijaksana, Satria dkk. 2006. Report On Dendrochronological Sampling Of Teak (Tectona
Grandis) At Pagerwunung Darupono. Bandung: ITB.
Departemen RI. 2006. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya. Kudus: Menara Kudus.
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Hayati, Nur. 2015. Taksonomi Tumbuhan. Semarang: Karya Abadi Jaya.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015.Buku Informasi Kawasan
Konservasi, Semarang: Balai KSDA Jawa Tengah.
Mukti, Lia Pramusintia Daru, Sudarsono dan Sulistyono. 2016. Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya di Hutan Turgo, Purwobinangun, Pakem,
Sleman, Yogyakarta.Jurnal Biologi. 5(5): 9-19
Nugroho, Ary Susatyo. 2015. Analisis keanekaragaman jenis tumbuhan berbuah di hutan
lindung Surokonto, Kendal, Jawa Tengah dan potensinya sebagai kawasan konservasi
burung. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indononesia.Juni 2015.
Purwantoro, R. Subekti dkk. 2006. Laporan Penelitian Ekologi Rauvolvia Serpentine di
Karimunjawa dan Hutan Jati Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Bogor: LIPI.
Setiawan.2014. Manfaat Kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia. Surakarta: Aryhaeko
Sinergi Persada.
Abstrak
Banyak serangga yang berpotensi sebagai OPT tanaman padi, seperti berbagai jenis
penggerek batang padi, belalang, walang sangit, wereng, dan lain sebagainya. Pertanian
organik sebagai langkah menuju pangan sehat di Jawa Tengah masih belum banyak
diterapkan sehingga masih sangat kurang informasi yang tersedia, termasuk informasi
mengenai rasio antara OPT dan musuh alaminya. Penelitian ini mengenai rasio antara
serangga OPT dan musuh alaminya di sawah organik dan anorganik. Data dianalisis dengan
jumlah jenis, jumlah individu, indeks keragaman, kelimpahan dan kemerataan persebaran
(e). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum rasio OPT dan musuh alaminya
hampir tidak berbeda antara sawah organik, semi organik dan anorganik. Jumlah jenis OPT
di sawah organik lebih kecil dibandingkan jumlah jenis musuh alaminya. Demikian juga
jumlah jenis OPT di sawah semiorganik lebih kecil dibandingkan musuh alaminya,
sedangkan jumlah jenis OPT di sawah anorganik cenderung lebih banyak dibandingkan
musuh alaminya. Jumlah individu OPT di sawah organik jauh lebih kecil dibandingkan
dengan musuh alaminya. Demikian juga dengan sawah semiorganik, jumlah individu OPT
jauh lebih kecil dibandingkan dengan musuh alaminya. Sedangkan di sawah anorganik
jumlah individu OPT hampir sama dengan jumlah individu musuh alaminya. Secara umum
jumlah jenis maupun jumlah individu OPT selalu lebih rendah dibandingkan dengan musuh
alaminya. Keragaman jenis OPT di sawah organik selalu lebih rendah dibandingkan musuh
alaminya, sedangkan keragaman OPT di sawah semiorganik hampir sama dengan keragaman
musuh alaminya. Sebaliknya keragaman OPT di sawah anorganik justru lebih tinggi
dibandingkan dengan keragaman musuh alaminya. Kemerataan persebaran OPT di sawah
organik, semiorganik maupun anorganik hampir sama dengan kemerataan persebaran
musuh alaminya. Dominansi OPT di sawah organik, semiorganik maupun anorganik secara
umum hampir sama dengan dominansi musuh alaminya, dalam katagori rendah hingga
menengah.
Kata kunci : OPT, musuh alami, sawah organik dan sawah anorganik.
PENDAHULUAN
Keberadaan OPT di lahan sawah berfluktuasi dari tahun ke tahun. Keberadaan
OPT padi, seperti berbagai jenis penggerek batang padi, belalang, walang sangit, wereng,
dan lain sebagainya, berfluktuasi dari waktu ke waktu. Kehilangan hasil akibat serangan
OPT pada stadia vegetatif memang tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat
mengkonpensasi dengan membentuk anakan baru. Gejala serangan pada stadia generatif
menyebabkan malai yang muncul hampa, tidak berisi dan rusak. Kerugian yang besar
dapat terjadi bila kehadiran OPT bersamaan dengan stadia bunting tanaman padi (Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009; Litbang Departemen Pertanian, 2009).
Serangga OPT dan musuh alami adalah bagian dari keragaman hayati, serangga
OPT memiliki kemampuan berbiak yang tinggi untuk mengimbangi tingkat kematian di
alam yang tinggi. Keseimbangan alami antara serangga OPT dan musuh alami sering
dikacaukan oleh penggunaan insektisida kimia (Sutanto, 2002; Sriyanto, 2010).
Pertanian organik tidak hanya baik bagi kesehatan manusia, tetapi juga baik bagi
lingkungan hidup (bumi). Pengembangan pertanian organik sebagai salah satu teknologi
alternatif untuk menciptakan pangan sehat dan menanggulangi persoalan lingkungan
sangat diperlukan (Sutanto, 2002; Mutiarawati, 2006; Kunia, 2011). Sampai saat ini
belum pernah dilakukan pengembangan penelitian secara utuh yang berkaitan dengan
rasio serangga OPT dan musuh alaminya di ekosistem sawah organik. Dengan
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di sawah Desa Mrentul Kecamatan Bonorowo, Kabupaten
Kebumen Jawa Tengah. Lokasi penelitian dipilih pada lahan sawah organik (milik
Kelompok Tani Sri Rejeki) yang ditanami padi dua kali dan palawija satu kali setiap
tahunnya. Sawah semiorganik dan sawah anorganik terletak di sekitar sawah organik.
Untuk mengetahui keragaman, kelimpahan, kemerataan dan dominansi serangga
OPT padi dan musuh alaminya, dilakukan pengambilan sampel serangga dewasa pada
tanaman padi antara fase vegetatip dan fase generatip di sawah organik, semiorganik
dan anorganik. Pengambilan sampel serangga OPT dan musuh alami dewasa
menggunakan jaring serangga ayun yang diayunkan sepanjang jalur 3 kali 100 meter di
pematang sawah. Sampel serangga dewasa yang diperoleh dikoleksi dalam botol koleksi
berisi alkohol 70%.
Keragaman serangga OPT dan musuk alaminya adalah jumlah jenis serangga yang
terperangkap. Keragaman jenis dihitung dengan rumus Shannon Wiener (H’= -∑ni/N ln
ni/N) (Dent & Walton, 1997; Brower, Zar & von Ende. 1997; Krebs, 2001).
Kelimpahan serangga OPT dan musuh alaminya adalah jumlah individu masing-
masing spesies serangga yang terperangkap. Kelimpahan jenis dihitung dengan rumus
Di = ni/N x 100%. Data kelimpahan jenis ini dapat digunakan untuk mengetahu jenis
dominans, sub dominan dan tidak dominan menurut skala Jorgensen (1974) (Dent &
Walton, 1997; Brower, Zar & von Ende. 1997; Krebs, 2001).
Kemerataan persebaran serangga OPT dan musuh alaminya adalah bagaimana
individu-individu masing-masing spesies serangga menyebar di lingkungan. Kemerataan
dihitung dengan menggunakan rumus e = H’/H max. Data kemerataan ini dapat
digunakan untuk mengetahui bagaiman persebaran, merata, cukup merapa atau tidak
merata (Dent & Walton, 1997; Brower, Zar & von Ende. 1997; Krebs, 2001).
9
8
7
jumlah spesies
6
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7
Lokasi
0.45
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
1 2 3 4 5 6 7
Lok a si D om i na nsi
Series1 Series2
KESIMPULAN
Jumlah jenis dan keragaman OPT di sawah organik selalu lebih rendah
dibandingkan dengan jumlah jenis dan keragaman musuh alaminya. Demikian pula
dengan sawah semiorganik. Sedangkan di sawah anorganik jumlah jenis OPT sebanding
dengan jumlah jenis dan keragaman musuh alaminya.
Jumlah individu OPT di sawah organik jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah
individu musuh alaminya. Di sawah semiorganik dan sawah organik jumlah individu
OPT hampir sama dengan musuh alaminya.
Di sawah organik OPT tersebar tidak merata sedangkan musuh alaminya
tersebar merata. Sedangkan di sawah semiorganik maupun anorganik baik OPT maupun
musuh alaminya tersebar merata
REFERENSI
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009. Penggerek batang padi.
http://bbpadi.litbang.deptan.go.id.
Brower, Zar & von Ende. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. WCB.
McGraw Hill. Boston.
Dent & Walton, 1997. Methods in Ecological and Agricultural Entomology. CAB
International.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Pengamatan Dan Pelaporan Perlindungan
Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
IFOAM, 2005. Principles of Organic Agriculture. International Federation of Organic
Agriculture Movements (IFOAM). Germany
Krebs,C.J. 2001. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Benjamin Cummings, An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. San Francisco.
Abstrak
Tumbuhan penutup tanah merupakan salah satu komponen ekosistem hutan yang secara
ekologis berfungsi sebagai pengendali erosi, sebagai habitat beberapa jenis hewan
meningkatan bahan organik tanah. Secara ekonomi tumbuhan penutup tanah bermanfaat
sebagai sumber pangan, sumber obat-obatan dan sebagai makanan ternak. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan penutup tanah, dominansinya dan faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan penutup tanah di hutan wisata
Nglimut Gonoharjo Kendal. Penentuan stasiun dengan teknik stratified dan sampling vegetasi
dengan teknik kwadrat (plot). Analisis data menggunakan Indeks Nilai Penting (INP) dan
Indeks Keanekaragaman jenis (Hꞌ). Jenis tumbuhan penutup tanah di hutan wisata Nglimut
ada 12 jenis herba dan 10 jenis semak. Jenis herba yang dominan adalah Brachiaria mutica
dan Coffea sp (herba), jenis semak yang dominan Elatostema integrifolium dan Melastoma
affine. Ekosistem hutan wisata Nglimut kurang stabil berdasarkan nilai indeks
keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah.
Kata kunci : Tumbuhan penutup tanah, Nglimut, stratified, teknik kwadrat, dominan.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan suatu ekosistem yang memiliki keankeragaman hayati yang
sangat tinggi dan oleh sebab itu harus dijaga kelestariannya. Salah satu unsur penting
penyususn ekosistem hutan adalah komunitas tumbuhan penutup tanah (Burianek et
al., 2013). Komunitas tumbuhan penutup tanah memiliki peran yang sangat penting
dalam menjaga dan melindungi kelestarian hutan. Tumbuhan bawah hutan berfungsi
baik secara ekologis maupun secara ekonomis. Secara ekologis tumbuhan bawah
berfungsi melindungi tanah dari butiran air hujan, mengurangi kecepatan air
permukaan tanah , sebagai habitat berbagai jenis hewan dan juga akan meningkatkan
secara signifikan kandungan nirogen tanah (Burianek et al., 2013). Secara ekonomis,
berbagai jenis tumbuhan bawah berkhasiat sebagai sumber bahan makanan dan bahan
obat-obatan.
Hutan witata Nglimut merupakan tempat wisata yang terletak di desa Gonoharjo,
Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Keindahan alam, adanya sumber air panas
dan air terjun menjadi daya trik untuk dikunjungi wisatawan. Adanya wisatawan akan
menambah pendapatan asli daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar. Namun disisi lain, kegiatan wisata dapat berdampak terhadap kerusakan
ekosistem hutan tersebut. Hutan sebagai ekosistem harus dipertahankan kualitas dan
kuantitasnya dengan cara melakukan konservasi. Konservasi dan pengelolaan hutan
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya.
Pengelolaan yang hanya mempertahankan salah satu fungsi saja akan menyebabkan
kerusakan hutan (Ismaeni et al.,2015).
Adanya aktifitas penebangan hutan yang dilakukan masyarakat di sekitar hutan,
berpotensi merusak ekosistem hutan wisata di Nglimut. Kegiatan ini juga akan
berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan penutup tanahnya. Berdasarkan hal
tersebut perlu dilakukan penelitian struktur vegetasi tumbuhan penutup tanah di hutan
wisata Nglimut Gonoharjo Kendal Jawa Tengah sebagai dasar pertimbangan dalam
melakukan upaya konservasi hutan wisata tersebut.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2017 di kawasan hutan wisata
Nglimut Gonoharjo Kendal Jawa Tengah. Penentuan stasiun penelitian dengan
menggunakan teknik stratified sampling. Tiga stasiun penelitian diambil disepanjang
garis transek berupa jalan setapak mulai titik masuk kawasan hutan sampai di tempat
pemandian air panas. Teknik sampling vegetasi dengan menggunakan teknik kwadrat
(plot). Ukuran plot untuk lapisan semak 5 x 5 m dan untuk lapisan herba 1 x 1m. Setiap
stasiun diambil 3 kali ulangan. Dilakukan pengukuran faktor lingkungan yang meliputi :
ketinggian tempat, pH tanah, kelembaban udara dan intensitas cahaya. Analisis data
vegetasi menggunakan Indeks Nilai Penting jenis dan Indeks Keanekaragaman jenis
Densitas = Jumlah individu
Luas petak pengamatan
Densitas relatif = Densitas sp ___ x 100%
Densitas seluruh sp
Dominansi = Luas basal area suatu sp
Luas petak pengamatan
Dominansi relatif = Dominansi sp x 100%
Dominansi seluruh sp
Frekuensi = Ʃ petak suatu sp ditemukan
Ʃ seluruh petak pengamatan
Frekuensi relatif = Frekuensi sp x 100%
Frekuensi seluruh sp
Indeks Nilai Penting (INP) : Densitas Relatif + Domonansi Relatif + Frekuensi Relatif
Indeks keanekaragaman jenis (H') :
H’ = ∑ ni/N log ni/N
H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener’s
ni: jumlah individuals setiap spesies.
N: total jumlah individual seluruh spesies.
Kategori indeks keanekaragaman:
H’ > 3 : keanekaragaman spesies tinggi.
1 <H’ < 3 : keanekaragaman spesies sedang
H’ < 1 : keanekaragaman spesies rendah
rugosum
5 Selaginella plana Selaginellaceae 31,2 - 33,4
6 Comelina diffusa Comelinaceae - 50,8 -
7 Brachiaria Poaceae - 77,7 -
mutica
8 Panicum repens Poaceae - 31,6 -
9 Dryopteris sp Polypodiacea - 39,1 30,0
10 Nephrilepis Polypodiaceae - - 26,7
exaltata
11 Molineria latifora Amaryllidaceae - - 32,7
12 Eriochlo Poaceae - - 78,2
decumbens
Jumlah individu 134 77 107
Jumlah jenis 5 4 5
Indeks Keanekaragaman (Hꞌ) 0,59 0,40 0,62
Tumbuhan kopi tingkat semai ditemukan cukup banyak di hutan wisata tersebut.
Hal ini disebabkan karena kawasan hutan wisata sudah banyak disusupi dengan
tanaman kopi. Penebangan hutan yang diganti dengan tanaman kopi juga berdampak
pada sedikitnya baik jumlah jenis maupun jumlah individu tumbuhan penutup
tanahnya, karena banyak dilakukan penyiangan.
Jenis tumbuhan semak didapatkan 10 jenis dan jenis yang dominan adalah
Elatostema integrifolium dan Melastoma affine (Tabel 2). Kedua jenis tumbuhan ini
memiliki INP yang lebih tinggi dibandingkan jenis tumbuhan yang lain. Oleh karena itu
kedua jenis tumbuhan ini juga memiliki ekologis yang tinggi (Indriyanto 2006). Di hutan
wisata Nglimut dijumpai jenis Euphatorium odoratum yang merupakan salah satu jenis
tumbuhan invasif berasal dari Amerika yang masuk dalam 100 of the World's Worst
Invansive Alien Species (Lowe et al., 2000). Keberadaan jenis tumbuhan invasif
mengancam kehidupan jenis tumbuhan lokal. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan
yang serius dalam mengendalikan tumbuhan jenis ini.
Tabel 2. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Semak di Hutan Wisata Nglimut Gonoharjo,
Kendal Jawa Tengah.
No Nama Spesies Famili Indeks NilaI Penting (%)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Elatostema Urticaceae 90,94 60,01
integrifolium
2 Solanum sp Solanaceae 28,85
3 Eclipta erecta Asteraceae 53,36 34,73
4 Melastoma affine Melastomaceae 69,35 28,26
5 Euphatorium Asteraceae 39,74 53,93
odoratum
6 Bidens pilosa Asteraceae 48,39
7 Deparia sp Dryopteridaceae 15,85
8 Diplazium Dryopteridaceae 15,85
proliferum
9 Clidemia hirta Melastomaceae 15,96 9,64 15,85
10 Physalis angulata Solanaceae 15,85
Jumlah individu 40 52 24
Jumlah jenis 4 5 7
Indeks Keanekaragaman (Hꞌ) 0,48 0,63 1,6
1.5
1 Herba
Semak
0.5
0
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
KESIMPULAN
Tumbuhan penutup tanah di hutan wisata Nglimut terdapat 12 jenis tumbuhan
herba dan 10 jenis tumbuhan semak. Jenis tumbuhan yang dominan adalah Brachiaria
mutica dan Coffea sp (herba), jenis semak yang dominan Elatostema integrifolium dan
Melastoma affine. Ekosistem hutan wisata Nglimut dalam kondisi kurang stabil
berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan penutup tanah.
REFERENSI
Cerny T., Dolezal, J., Janekek S., Srutek M., Valachovic M., Petrik P., Altman J., Bartos M.,
Song J. 2013. Environmental Correlates of Plant Diversity in Korean Temperate
Forest. Acta Oecologica; 47: 37-45
Brower J.E., Zar J. A., Von Ende C. N. 1997. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. 4 edition. New York: Mc. Graw-Hill.
Burianek V., R. Novotny, K. Hellebrandova and V. Sramek. 2013. Ground Vegetation as an
Important Factor in the Biodiversity of Forest Ecosystem and its Evaluation in
Regard to Nitrogen Deposition. J.For. Sci. 59 (6): 238-252
Das, P.C. 2007. Plant Ecology. Virender Kumar Arya, A.I.T.B.S India.
Ismaini L., M. Lailati, D. Rustandi. Sunandar. 2015. Distribusi dan Keanekaragaman
Tumbuhan di Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1
(6) : 1397-1402
Indriyanto 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Lowe S, Browne M, Boudjelas S. dan De Poorter M. 2000. 100of the World's Worst
Invansive Alien Spesies A selection from the Global Invansive Species Database.
The Invansive Species Specialist Group (ISSG) a specialist Group of the Species
Survival Commision (SSG)of the Word Concervation Union. 12 pp. First published as
specialist lift-out in Aliens 12, Desember 2000.
Mandal G. and S.P. Joshi. 2014. Analysis of Vegetation Dynamics and Phytodiversity from
Three Dry Deciduous Forest of Doon Valley, Western Himalaya, India. Journal of
Asia-Pasific Biodiversity; 7 : 292-304
Nahdi, M.S dan Darsikin. 2014. Distribusi dan Kemelimpahan Spesies Tumbuhan Bawah
pada Naungan Pinus mercusii, Acacia auriculiformis dan Eucalyptus alba di Hutan
Gama Giri Mandiri, Yogyakarta. Jurnal Nature Indonesia 16 (1): 33-41
Utami, S., Anggoro, S dan Soeprobowati T.R. 2016. Bird Species Biodiversity in Coastal
Area of Panjang Island Jepara Central Java.
Utami, S., Anggoro, S dan Soeprobowati T.R. 2017. The diversity and regeneration of
mangrove on Panjang Island Jepara Central Java. IJSC Volume 8 (2) : 289-294
PENDIDIKAN
BIOLOGI
Abstrak
Madrasah dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan
umum dan keagamaan. Madrasah Aliyah NU Banat Kudus merupakan madrasah yang
memiliki prestasi membanggakan, baik akademik dan non akademik. Madrasah ini
mengkhususkan pada peserta didik putri. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
nasional, kurikulum kementerian Agama, dan kurikukum lokal. MA NU Banat Kudus
mengajarkan kitab kuning dan keterampilan khusus kewanitaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis mengenai pola
peningkatan mutu pembelajaran biologi dengan berbasis penguatan manajemen kurikulum
di Madrasah Aliyah NU Banat Kudus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan menambah
pengetahuan tentang manajemen kurikulum sebagai landasan dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran biologi di Madrasah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis
fenomenologis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara, observasi,
dokumentasi dan Focus Group Discussion. Sumber data pada penelitian diantaranya kepala
sekolah, wakil bidang kurikulum, guru biologi dan peserta didik. Teknik analisis data
menggunakan model interaktif Miles dan Huberman, yaitu pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan (verifikasi). .
Temuan penelitian menunjukkan bahwa pertama implementasi manajemen kurikulum di
MA NU Banat Kudus empat aspek meliputi; (1), perencanaan kurikulum Biologi dibahas
dalam musyawarah Guru Mata Pelajaran dengan menghadirkan tim kurikulum, komite
madrasah, dan guru Biologi. (2) pengorganisasian kurikulum biologi, mata pelajaran biologi
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran IPA. (3) pelaksanaan kurikulum biologi, terlebih
dahulu kepala madrasah memngembangkan kemampuan guru Biologi dengan mengadakan
PKG bagi guru Biologi serte mendelegasikan guru Biologi untuk mengikuti BIMTEK Biologi.
Sedangkan dalam pelaksanaan pembelajaran Biologi, Guru Biologi menyiapkan kerangka
pembelajaran atau RPP yang mengacu pada Indikator dan Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar. (4) Evaluasi Kurikulum Biologi dilaksanakan melalui dua periode yaitu: (a) periode
tahun pelajaran baru, dalam rapat ini, kepala madrasah menghadirkan semua pihak
madrasah yang berperan dalam pengelolaan pendidikan (b) periode semester, dalam rapat
ini kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim kurikulum, dan komite
madrasah.. Kedua manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi
dengan melihat beberapa prinsip diantaranya prinsip relevansi yaitu kurikulum memiliki
keterkaitan dengan kebutuhan masyarakat, prinsip fleksibilitas yaitu program pembelajaran
yang terencana dilaksanakan secara fleksibel selama proses belajar mengajar dilakukan
secara berkesinambungan, prinsip Kontinuitas artinya kurikulum dikembangkan secara
berkesinambungan meliputi kesinambungan antarkelas maupun antarjenjang pendidikan
tujuannya agar proses pembelajaran siswa dapat maju secara sistematis, prinsip efisiensi
yaitu proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan jadual yang ditentukan. Dan prinsip
efektivitas yaitu manajemen kurikulum pendidikan biologi yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kurikulum dapat membawa hasil yang bermanfaat
bagi Madrasah
PENDAHULUAN
Pendidikan abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang
modern dan profesional. Lembaga pendidikan dalam berbagai jenis dan jenjang
memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya. Lembaga-
lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan
keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf,
kurikulum, tujuan, harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan
orang tua/masyarakat.
Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang hadir ditengah tengah dunia
pendidikan Islam di Indonesia, karena berbagai alasan diantaranya sebagai manifestasi
cita - cita pembaharuan dalam sistem pendidikan di Indonesia serta sebagai salah satu
usaha menyempurnakan sistem pendidikan di Indonesaia
A.Mukti Ali juga menyarankan adanya peningkatan mutu pendidikan pada
madrasah mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah sampai Aliyah. Madrasah tidak banyak
diperhitungkan karena dari segi agama, alumni madrasah kalah jika dibandingkan
dengan pondok pesantren. Dan dari segi ilmu umum tertinggal jauh jika dibandingkan
dengan alumni sekolah umum. Karena itu madrasah sebagai lembaga pendidikan agama
tidak memperoleh posisi yang semestinya dikalangan masyarakat Islam sekaligus
(Sutrisno, 2006: 30)
Maksud dan tujuan peningkatan mutu pembelajaran pada Madrasah adalah
agar tingkat mata pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan
tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yang setingkat, sehingga, pertama. Ijazah
Madrasah dapat mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang stingkat,
kedua Lulusan Madrsah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan
ketiga Siswa Madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah
lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong
untuk kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada
kemampuan anak mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa di tuntut untuk
memahami informasi yang di ingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari (Wina Sanjaya, 2007: 1)
Ada beberapa persoalan yang selama ini dihadapi guru dalam pendidikan dan
pembelajaran di madrasah sebagai berikut: pertama Kurikulum yang ada di Madrasah
hanya di anggap sebagai rambu-rambu mengajar, kedua Guru menggunakan kurikulum
“taken for granted” langsung jadi, sehingga kurikulum bukan kreatifitas guru untuk
memberikan proses pembelajaran yang terbaik kepada peserta didik, tetapi sebagai
tertib administrasi semata dan ketiga Guru tidak memahami kuikulum, sehingga saat
ada perubahan dari kurikulum KTSP menuju Kurikulum 2013 (K13) tidak ada
perubahan yang signifikan, yang disebabkan tidak ada kemandirian Madrasah dan
diperparah oleh lemahnya sumber daya manusia. Padahal tujuan dari K13 adalah
adanya pembelajaran bermakna dan inovatif
Lemahnya proses pembelajaran yang dikembangkan guru dewasa ini
merupakan salah satu masalah yang dihadapi di dunia pendidikan kita. Proses
pembelajaran yang terjadi di dalam kelas dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan
selera guru. Padahal pada kenyataannya kemampuan guru dalam proses pengelolaan
pembelajaran tidak merata sesuai dengan latar belakang pendidikan guru serta motivasi
dan kecintaan mereka terhadap profesinya. Ada guru yang melaksanakan pengelolaan
pembelajarannya di lakukan dengan sungguh- sungguh melalui perencanaan yang
matang, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan memperhatikan taraf
perkembangan intelektual dan perkembangan psikologi belajar anak. Guru yang
demikian akan dapat menghasilkan kualitas lulusan yang lebih baik dibandingkan
dengan guru yang dalam pengelolaan pembelajarannya dialakukan seadanya tanpa
mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses
pembelajaran (Wina Sanjaya, 2007:5)
Guru merupakan pengembang kurikulum bagi kelasnya, yang akan
menterjemahkan, menjabarkan, dan mentransformasikan nilai-nilai yang terdapat
dalam kurikulum kepada peserta didik. Dalam hal ini, tugas guru tidak hanya
mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge) akan tetapi lebih dari itu, yaitu
membelajarkan peseeta didik supaya dapat berpikir integral dan komprehensif, untuk
METODE PENELITIAN
Penelitian ini didesain dengan penelitian kualitatif dengan pendekatan
etnografi. Menurut Spradley (2007: 5) Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne
(Creswell,1998) Studi fenomenologi menggambarkan arti sebuah pengalaman hidup
untuk beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena. Orang-orang yang terlibat
dalam menangani sebuah fenomena melakukan eksplorasi terhadap struktur kesadaran
pengalaman hidup manusia. Sedangkan menurut Husserl (Creswell, 1998) peneliti
fenomenologis berusaha mencari tentang hal-hal yang perlu (esensial), struktur
invarian (esensi) atau arti pengalaman yang mendasar dan menekankan pada intensitas
kesadaran dimana pengalaman terdiri hal-hal yang tampak dari luar dan hal-hal yang
berada dalam kesadaran masing-masing berdasarkan memori, image dan arti.. Fokus
penelitian ini adalah tentang implementasi manajemen kurikulum di MA NU Banat
Kudus dan manajemen kurikulum dalam meningkatkan mutu pembelajaran biologi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi,
wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan studi dokumen. Analisis data yang
digunakan mengikuti model Miles dan Hubermen (1992), yaitu terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan/ verifikasi.
Kurikulum Biologi dilaksanakan melalui dua periode yaitu: (a) periode tahun pelajaran
baru, dalam rapat ini, kepala madrasah menghadirkan semua pihak madrasah yang
berperan dalam pengelolaan pendidikan, seperti tenaga pendidikan dan kependidikan
dan komite madrasah, karena bersamaan dengan rapat kerja pendidikan, (b) periode
semester, dalam rapat ini kepala madrasah melibatkan guru mata pelajaran Biologi, tim
kurikulum, dan komite madrasah. Pengevaluasian kurikulum biologi dilakukan setelah
terlaksananya perencanaan kurikulum biologi sebelumnya. Evaluasi kurikulum
dilaksanakan setelah kepala madrasah mengadakan supervisi kelas..
Adapun Problematika dalam implementasi manajemen kurikulum Biologi yang
dialami oleh MAN NU Banat Kudus antara lain; (a) aspek perencanaan kurikulum
biologi, guru biologi kurang aktif dalam mengembangkan perencanaan kurikulum
biologi yang direncanakan dalam MGMP, (b) aspek pengorganisasian kurikulum biologi,
terkait pengalokasian waktu yang dimiliki mata pelajaran Biologi, yang hanya
dilaksanakan selama 90 menit dalam satu kali pertemuan tanpa mengadakan
kestrakurikuler bagi semua peserta didik, (c) aspek pelaksanaan pembelajaran biologi
yang menyangkut dengan bahan dan alat dalam praktik proses pembelajaran biologi
masih kurang memadai antara kuantitas bahan dan alat dengan jumlah peserta didik .
(d) aspek evaluasi kurikulum biologi, komite madrasah belum berfungsi secara optimal
baik dalam periode tahun pelajaran maupun semesteran
Tabel 1
Mapping Manajemen Kurikulum dalam pembelajaran Biologi
No Proses Komponen Indikator Problem
1 Perenc Perumusan musyawarah Guru Mata guru biologi kurang
anaan Kurikulum Pelajaran dengan aktif dalam
menghadirkan tim mengembangkan
kurikulum, komite perencanaan
madrasah, dan guru kurikulum biologi yang
Biologi direncanakan dalam
Penyusunan Perumusan kurikulum MGMP
Silabus berpedoman kepada
prinsip-prinsip dasar
pembelajaran Biologi dan
dalam pelaksanaannya
memperhatikan tujuan
dan isi kurikulum
nasional, silabus dan
kompetensi Inti (KI 1, KI 2,
KI 3 dan KI 4) dan
kompetensi dasar
Penyusunan Kepala Madrasah
RPP Biologi memberikan wewenang
kepada guru biologi, untuk
mengembangkan materi
yang disampaikan melalui
KI-KD yang telah
dibuatnya
2 Pengor Pembagian mata pelajaran biologi terkait pengalokasian
ganisas tugas dan dikelompokkan ke dalam waktu yang dimiliki
ian penyusunan mata pelajaran IPA mata pelajaran Biologi,
jadwal guru Biologi sepakat yang hanya
KESIMPULAN
Berdasarkan deskripsi data dan pembahasan diatas maka peneliti dapat memaparkan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pola implementasi manajemen kurikulum di MA NU Banat Kudus meliputi empat
aspek;
a. perencanaan kurikulum Biologi dibahas dalam musyawarah Guru Mata Pelajaran
dengan menghadirkan tim kurikulum, komite madrasah, dam guru Biologi.
REKOMENDASI
Rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini adalah; 1) penelitian kepala
madrasah d a n g u r u b i o l o g i dapat menjaga dan meningkatkan mutu pembelajarn
biologi dengan implemntasi manajemen kurikulum. Pemerintah, kementerian Agama,
dan kementerian pendidikan dan kebudayaan mendukung manajemen pengembangan
kurikulum yang mengintegrasikan prinsip prinsip dalam kurikulum 2013, 2)
REFERENSI
Bungin. Burhan.. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2005
Miles, Mattew B. Dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas
Indonesia.1994.
Mulyasa.. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.2006
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara. 2001.
Saleh, Abdul Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2004
Charles J. Farrugia and Godfrey Baldacchino, Educational Planning and Management
in Small States Concepts and Experiences, London: Commonwealth
Secretariat Publicatins, 2002.
Emzir, Metode Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012.
Imam Machali dan Ara Hidayat, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi
dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Bandung: Pustaka Educa, 2010.
Maisah dan Martinis Yamin, Manajemen Pembelajaran Kelas Strategi
Meningkatkan Mutu Pembelajaran, Jakarta: Gaung Persada,2009.
Sallis Edwar, Total Quality Management In Education, Manajemen Mutu Pendidikan,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2010.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2010.
Sulistyorini & M. Fathurrohman , Belajar dan Pembelajaran,Meningk atkan Mutu
Pembelajaran Sesuai Standar Nasional, Yogyakarta : Teras, 2012, Cet.1.
Muhammad Arifin & Barnawi, Branded School membangun Sekolah Unggul Berbasis
Peningkatan Mutu, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Mulyono, Strategi Pembelajaran Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global,
Malang : UIN- Maliki Press, 2012.
Mulyono, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009,Cet.3.
Moleong, J.Lexy.. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. 1989
Nawawi Hadari,Manajemen Trategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan,
Yogykarta: Gadjah Mada University Press,2003.
Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2007
Nasution. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. 2006
Nurdin Muhammad & Hamzah B.uno, Belajar Dengan Pendekatan Paikem:
Pembelajaran Aktif.Inovatif,Lingkungan, Kreatif, Efektif,Menarik, Jakarta : Bumi
Aksara, 2011.
Oemar Hamalik. Manajemn Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2007
Somadi & Sri Narwanti, Panduan Menyusun Silabus dan Rencana
Pelaksanaan Ppembelajaran (Konsep, Implementasi ,dan Penelitian), Yogyakarta
: famili (Group Relai Inti Media),2012.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model NHT
(Numbered Head Together) berbais media tebak gambar materi ekskresi
terhadap hasil belajar siswa. Desain penelitian pre eksperimental design
dengan pretest posttest. Sampel penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 dan XI
IPA 2 dipilih secara random sampling. Data penelitian berupa data kuantitatif
dan kualitatif. Dat kuantitatif diperoleh dari rata-rata nilai tes yang di analisis
menggunakan uji t. Data kualitatif diperoleh dari deskripsi penjelasan hasil
data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukan penggunaan model NHT
berbasis media tebak gambar pada materi ekskresi mampu meningkatkan
hasil belajar siswa dengan rata-rata 88,28 dengan analisis uji t didapat t tabel
1,6698 dan t hitung 3,754, karena t hitung lebis besar daripada t tabel maka
terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model NHT berbasis media
tebak gambar terhadap hasil belajar siswa.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk Sumber Daya Manusia
yang berkualitas (Sutikno, 2006: 4). Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu
upaya yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya disekolah.
Peningkatan mutu pendidikan harus menjadi visi, misi, dan aksi prioritas di sekolah-
sekolah yang dilaksanakna secara total, serius, kontinyu, dan dinamis (Dirman dan
Juarsih, Cicih. 2014: 2). Pendidikan formal disekolah tidak lepas dari kegiatan
pembelajaran yang meliputi berbagai komponen, diantaranya adalah guru, siswa, dan
sumber belajar yang saling berkaitan dalam mencapai tujuan pembelajaran (Djamarah
dan Zain, 2010: 41).
Mulyasa (2009: 209) menegaskan bahwa suatu kegiatan pembelajaran dikatakan
berhasil apabila siswa terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun social dalam
proses pembelajaran, disamping siswa menunjukan kegairahan yang tinggi, semangat
belajar yang besar dan rasa percaya diri sendiri. Guru dituntut melaksanakan kegiatan
belajar mengajar semenarik mungkin sehingga siswa senang mengikuti pelajaran.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru biologi kelas XI MAN
Kendal pada tanggal 17 Oktober 2016 diketahui terdapat permasalahan dalam
pembelajaran biologi. Proses pembelajaran biologi yang sudah disampaikan sebenarnya
sudah baik, karena guru tidak terpaku hanya menggunaknametode ceramah saja, namun
juga diselipkan dengan diskusi, hanya saja keaktifan siswa belum mencapai taraf 50%
sehingga dirasa pembelajaran kurang menarik bagi siswa. Kondisi ini mengakibatkan
aktivitas siswa didalam kelas terasa membosankan (Wawancara dengan Bapak Symsul
Hadi selaku GMP Biologi Kelas XI). Permasalahn lain yang dialami guru salah satunya
ketika mengajar materi yang berkaitan dengan sistem, seperti halnya sistem ekskresi,
siswa berasumsi cakupan materi ini sangat luas dan melibatkan proses yang cukup
rumit.
Terdapat banyak model pembelajaran kooperatif yang mampu meningkatkan
hasil belajar siswa seperti model NHT. Model NHT merupakan salah satu model dari
pembelajaran kooperatif dimana setiap siswa lebih bertanggung awab dengan tugas
yang diberikan karena adanya sistem penomoran dalam kelompok serta memungkinkan
siswa untuk lebih aktif dan bertanggung jawab serta mendorong siswa untuk berpikir
dalam suatu tim dan berani tampil mandiri (Majid, Abdul. 2013: 175). Media tebak
gambar dirasa mampu meningkatkan hasil belajar siswa karena pengetahuan akan
semakin abstrak apabila hanya disampaikan melalui bahasa verbal yang memungkinkan
peserta didik hanya mengetahui tentang kata tanpa memahami dan mengerti makna
yang terkanding dalam kata tersebut (Dirman an Juarsih, Cicih. 2014: 96)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakn di MAN Kendal, 30 Januari sampai 3 Februari pada
semester ganjil tahun 2017. Sampel penelitian dipilih secara random sampling yaitu
dengan XI IPA 1 sebagai kelas kontrol dan XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen. Desain
yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretest-posttest. Struktur desain
penelitian yaitu: Desain penelitian eksperimen ini adalah(Adaptasi Arikunto. 2006) :
Tabel 1
Kelompo Pre- Variabel Post-
k test Bebas test
E O1 X O2
K O3 O4
Keterangan :
E = Kelompok eksperimen
K = Kelompok kontrol
O1 = hasil belajar awal kelompok eksperimen dengan menggunakan pre-test
O3 = hasil belajar kelompok kontrol dengan menggunakan pre-test
O2 = hasil pembelajaran kelompok eksperimen setelah mengikuti
pembelajaran menggunakan model NHT berbasis media tebak gambar
O4 = hasil belajar kelompok control setelah mengikuti pembelajaran tanpa
model NHT berbasis media tebak gambar
X = Treatment
Data penelitian ini adalah data kuantitatif berupa hasil belajar siswa yang
diperoleh dari nilai rata-rata postest dan dianalisis secara statistik dengan uji t yakni
thitung =
dengan S2 =
ttabel = t(1-α )
Keterangan:
= rata-rata data kelompok eksperimen
= rata-rata data kelompok kontrol
= banyaknya siswa kelompok eksperimen
= banyaknya siswa kelompok kontrol
2 = varian gabungan
Kriteria pengujian adalah H0 diterima jika α = 5% menghasilkan thitung ≤ t(1-α),
dimana t(1-α) didapat dari daftar distribusi t dengan dk = , dan H0 ditolak jika
jika α = 5% menghasilkan thitung > t(1-α), serta data kualitatif berupa deskripsi penjelasan
hasil perhitungan dari analisis uji t dan deskripsi saat proses pembelajaran berlangsung.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian berupa data hasil belajar siswa sebelum dan sesudah
diberikan perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Rata-rata pretest kelas
eksperimen adalah 59, 38 dan rata-rata pretest kelas control adalah 55,15. Nilai
posttest didapat setelah kedua kelas mendapat perlakuan yang berbeda. Hasil rata-rata
posttest kelas eksperimen adalah 88,28 dimana seluruh peserta didik kelas eksperimen
tuntas KKM, sedangkan nilai rata-rata posttest kelas kontrol adalah 80 dimana terdapat
10 siswa yang belum tintas KKM.
Analisis data untuk menguji pengaruh penggunana model NHT berbasis
media tebak gambar menggunakan uji t atau independent sample test didapatkan:
Tabel 2
Hasil Uji t-test Independent (analsis akhir)
Kelas Kontrol Eksperimen
1 2 3
Jumlah 2640 2825
N 33 32
X 80.00 88.28
Varians 101 59.1
Standart deviasi 10.5 7.6
3.754
Dk 63
1,6698
Hasil tersebut menunjukan bahwa nilai t hitung = 3,754 dan nilai t tabel =
1,6698 dimana t hitung lebih besar daripada t tabel yang menunjukan terdapat
pengaruh yang signifikan penggunaan model NHT berbasis media tebak gambar materi
ekskresi terhadap hasil belajar siswa di kelas XI.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan analisis data yang menggunakan uji t menunjukan
bahwa penggunanaan model NHT berbasis media tebak gambar mampu meningkatkan
hasil belajar siswa secara signifikan (tabel 1). Hal tersebut didukung dengan hasil
perbedaan rata-rata dari kedua kelas yang menunjukan nilai rata-rata kelas eksperimen
lebih tinggi disbanding dengan kelas kontrol. Peningkatan hasil belajar tersebut
dikarenakan adanya peningkatan aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa selama
proses pembelajaran berlangsung. Hal itu sejalan dengan pendapat Suryani, Nunik an
Agung, Leo (2012: 83) bahwa penerapan model NHT memiliki banyak keuntungan
sepertri meningkatnya kemampuan siswa untuk saling belajar mengenai sikap,
ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan bekerja sama dalam tim yang membuat
siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena adamya sistem penomoran.
Nur (2005: 78) mengungkapkan bahwa model pembelajaran NHT memiliki
ciri khas yang dapat menjamin keterlibatan total semua siswa karena guru akan
menunjuk seorang siswa untuk mewakili kelompok secara bergantian tanpa
memberitahukan identitas siswa yang akan dipanggil terlebih dahulu. Media gambar
yang di bungkus dengan permainan tebak gambar juga mampu memancing siswa untuk
aktif selama pembelajaran beerlangsung. Siswa mampu bekerja sama dengan kelompok
mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru dengan baik. Guru
memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi
REFERENSI
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Dirman, dan JUarsih, Cicih. 2014. Kegiatan Pembelajaran Yang mEndidik. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Djamara, Syaiful Basri, dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar (Edisi Revisi).
Jakarta: Rineka Cipta.
Efi, Kurniasari, dkk. Pengaruh Peta Konsep Pada Pembelajaran Kooperatif Numbered
Heads Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas XI SMA
Negeri1Lawang. FMIPA UNM. Malang
Mulyasa. 2009. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nur, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Jawa Timur. Depdiknas Dirjen Dikwen LPMP.
Ratumanan. 2015. Inovasi Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak
Suryani, Nunik dan Agung, Leo. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Ombak
Sutikono, Sobry. 2006. Pendidikan Sekaramg dan Pendidikan Masa Depan. N.T.B: Ntp
Press
e-mail: mashudi.alamsyah@gmail.com
3Fakultas MIPA Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
e-mail: girymarhento@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk mengetahui pemanfaatan website sebagai sumber belajar
mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI, dan
2) Untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan website sebagai sumber belajar mahasiswa
terhadap motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Indraprasta PGRI. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Indraprasta PGRI
dengan populasi mahasiswa semester 6. Sampel penelitian proporsinal random sampling.
Variabel beda dalam penelitian ini adalah penggunaan website sebagai sumber belajar
sedangkan variabel terikatnya adalah motivasi belajar. Pengumpulan data dilakukan dengan
metode angket dan dokumentasi sedangkan analisis data dilakukan dengan teknik regresi.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu pemanfaatan website sebagai sumber belajar
dalam kategori cukup baik sedangkan motivasi belajar mahasiswa dalam kategori tinggi.
Dari hasil analisis regresi diperoleh nilai Fhitung adalah 19,607 dengan signifikansi 0,000 <
0,05 yang menunjukkan ada pengaruh pemanfaatan website sebagai sumber belajar
terhadap motivasi belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Indraprasta PGRI.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi ciri abad-21 dan
milenium ketiga memberikan pengaruh terhadap seluruh tatanan kehidupan secara
global. Memasuki abad-21 atau milenium ketiga akan terjadi pergeseran paradigma atau
cara berfikir dalam menghadapi berbagai fenomena termasuk pola pikir yang berkaitan
dengan pendidikan.
Proses pembelajaran dalam pendidikan di era abad-21, menuntut satu strategi tertentu
yang berbeda dengan di masa lain. Dengan perkembangan global yang terjadi menjelang
masuknya abad-21, proses pembelajaran bukan hanya dalam bentuk pemrosesan
informasi, akan tetapi harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
mengembangkan sumber daya manusia kreatif yang adaptif terhadap tuntutan yang
berkembang (Surya, 2010:2-3).
Pesatnya perkembangan teknologi informasi ini membawa dampak bagi
kehidupan manusia, terutama dunia pendidikan. Dampak positifnya terkait erat dengan
peningkatan kualitas kehidupan. Informasi begitu mudah diperoleh baik lewat media
massa, elektronik, maupun melalui jaringan teknologi internet. Menurut Ghufron dalam
Parji (2011:102), terpajangnya bahan informasi lewat media massa, baik elektronik
maupun cetak, berpengaruh sangat positif terhadap pembaca. Selain muatannya yang
mungkin bermanfaat bagi pembaca, media informasi tersebut juga memberikan
pajangan yang berdampak positif terhadap akuisisi bahasa para pembaca. Internet di
bidang pendidikan sangat berguna dalam proses belajar mengajar di sekolah, dimana
para siswa dapat melengkapi ilmu pengetahuannya, sedangkan guru dapat mencari
bahan ajar yang sesuai dan inovatif melalui internet. Murid dapat mencari apa saja di
Internet, mulai dari mata pelajarn hingga ilmu pengetahuan umum semuanya bisa di
cari di internet. Sedangkan guru bisa mencari informasi yang dapat dijadikan bahan
untuk mengajarkan materi kepada siswanya selain dari buku (Supriyanto, 2007:2).
Di Indonesia, jaringan internet mulai dikembangkan pada tahun 1983 di
Universitas Indonesia, berupa UINet oleh Doktor Joseph Luhukay yang ketika itu baru
saja menyelesaikan program doktor Filosofi Ilmu Komputer di Amerika Serikat. Jaringan
itu dibangun selama empat tahun. Pada tahun yang sama, Luhukay juga mulai
mengembangkan University Network (Uninet) di lingkungan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan yang merupakan jaringan komputer dengan jangkauan yang lebih luas
yang meliputi Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian
Bogor, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Hasanudin dan
Ditjen Dikti (Oetomo, 2002:52).
Adanya jarak yang cukup jauh antar provinsi di Indonesia dan prioritas yang
tinggi untuk membangun fasilitas komputer di sekolah-sekolah merupakan salah satu
pertimbangan internet sebagai pilihan yang cukup baik untuk mengembangkan
komunikasi antar sekolah, kampus, Kanwil, Kandep, dan Depdiknas. Beberapa sekolah
dan kampus telah mengambil inisiatif untuk membangun fasilitas mereka sendiri.
Berdasarkan langkah yang sudah ada ini, dan membiarkan hal itu berkembang sendiri
yaitu tetap konsisten akan kebutuhan belajar, maka internet sebagai strategi yang sesuai
untuk menjadi medium komunikasi yang sah (Internet dan Pendidikan, 2011:2).
Penggunaan website pada internet sebagai media pendidikan dapat dianggap
sebagai suatu hal yang sudah jamak digunakan di kalangan pelajar. Untuk itu sekolah-
sekolah dan kampus-kampus bisa menjadikan website pada internet sebagai sarana
untuk belajar selain dari buku, serta mampu menjadi solusi dalam mengatasi masalah
yagn selama ini terjadi, misalnya minimnya buku yagn ada di perpustakaan,
keterbatasan tenaga ahli, jarak rumah dengan lembaga pendidkan, biaya yang tinggi dan
waktu belajar yang terbatas. Menyadari bahwa di website pada internet dapat
ditemukan berbagai informasi apa saja, maka pemanfaatan website pada internet
menjadi suatu kebutuhan. Dalam setiap aktifitas belajar mengajar, guru dan dosen
adalah seorang yang memberikan bimbingan kepada peserta didiknya, dan juga seorang
pengajar juga harus mempunyai profesionalitas yang tinggi terhadap keahliannya. Selain
itu seorang pengajar juga harus mempunyai suatu keahlian lain dibidang teknologi
informasi terutama internet, karena pada zaman sekarang seorang pengajar dituntut
untuk bisa menggunakan internet karena bisa menggali lebih banyak lagi informasi
selain yang ada di buku (Uno, 2008:3).
Bagi para mahasiswa, penggunaan website pada internet sebagai alat dalam
menggali informasi yang berupa materi yang menyangkut dengan mata kuliah yang
akan dapat memicu sekaligus dapat meningkatkan motivasi dalam proses pembelajaran
mereka. Menurut Oetomo (2002:5) ketersediaan informasi yang up to date telah
mendorong tumbuhnya motivasi untuk membaca dan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Media website pada internet dapat mempermudah mencari suatu informasi yang
berkaitan dengan pembelajaran sejarah, seperti contohnya mencari suatu lokasi wilayah
yang bersangkutan dan suatu gambaran peta dsb. Menyadari masalah ini, peneliti
merasa tertarik melakukan suatu penelitian yang mampu mengungkap sejauhmana
penggunaan internet sebagai media dan sumber belajar yang dapat meningkatkan
motivasi belajar di kalangan para siswa.
METODE
Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah penelitian ex post
facto, di mana sifat desain penelitian ini tidak memberikan perlakuan atau manipulasi,
karena variabel bebas sudah terjadi. Ex post facto artinya sesudah fakta. Ex post facto
sebagai metode penelitian menunjuk kepada perlakuan atau manipulasi variabel bebas
X yang telah terjadi sebelumnya sehingga peneliti tidak perlu memberikan perlakuan
lagi, tinggal melihat efeknya pada variabel terikat (Sudjana dan Ibrahim, 1989:56). Fakta
menunjukkan bahwa mahasiswa sudah menggunakan fasilitas internet sebagai sumber
informasi dalam proses belajar mengajar.
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas
Indraprasta PGRI. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai populasi adalah semua
mahasiswa semester 6 yang berjumlah 141 mahasiswa. Sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006:117). Pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan teknik proporsinal random sampling, yaitu mengambil sebagian
populasi dari tiap kelas dengan proporsi secara acak. Pengambilan sampling pada waktu
jam perkuliahan berlangsung, dimana popolasi semester 6 di jadikan satu kelas dengan
menggunakan populasi secara acak, pemilihan populasi dengan cara memilih prestasi
mahasiswa dari yang menengah sampai yang berprestasi, pemilihan tersebut di bantu
oleh ketua Program Studi yang memiliki data prestasi mahasiswa dalam kegiatan belajar
mengajar.
Adapun penentuan jumlah sampel dari tiap-tiap kelas didasarkan pada pendapat
Arikunto menyatakan bahwa apabila subjeknya kecil (kurang dari 100) lebih baik
diambil semua sehingga penelitiannya merupkan penelitian populasi. Selanjutnya jika
jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15%, atau 20-25% atau lebih. Mengacu
dari hal tersebut, maka untuk keperluan penelitian diambil sampel sebesar 25% dari
anggota populasi.
Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi nilai. Menurut Suharsimi Arikunto
(2006:89) variabel adalah obyek penelitian dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
dijadikan obyek penelitian. Variabel penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1)
Variabel bebas (X): Penggunaan website sebagai sumber belajar, dan 2) Variabel terikat
(Y): motivasi belajar mahasiswa.
Uji Normalitas
Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh
berdistribusi normal atau tidak. Jika data berdistribusi normal, maka dapat digunakan
analisis statistik parametrik yaitu analisis regresi untuk menguji hipotesis penelitian,
akan tetapi jika data tidak berdistribusi normal maka harus menggunakan statistik non
parametrik.
Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan rumus Kolmogorov
Smirnov dengan perhitungan komputasi SPSS for windows relase 16 yang hasilnya
seperti tersaji pada tabel berikut:
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Data
Kolmo
gorov
Variabel Signifikansi Keterangan
Smirn
ov Z
Pemanfaatan website sebagai
0.605 0.858 Normal
sumber belajar (X)
Motivasi belajar mahasiswa (Y) 0.471 0.980 Normal
KESIMPULAN
Simpulan
Hasil kuisionair dalam pemanfaatan website internet dari 36 mahasiswa
diketahui tentang tingkat pemanfaatan website sebagai sumber belajar sebagai berikut:
1. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa secara umum pemanfaatan website
sebagai sumber belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Indraprasta PGRI sudah baik.
2. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar dari mahasiswa
semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Indraprasta PGRI saat ini
sudah tinggi.
3. Pemanfaatan website internet sebagai sumber belajar mahasiswa terhadap motivasi
belajar mahasiswa semester 6 Program Studi Pendidikan Biologi Universitas
Indraprasta PGRI terdapat pengaruh yang signifikan pemanfaatan website sebagai
sumber belajar terhadap motivasi belajar. Berdasarkan deskripsi terlihat bahwa
paling banyak mahasiswa memanfaatkan internet sebagai sumber belajar dalam
kategori baik sebesar (50,00%) sedangkan motivasi belajar dalam kategori baik
sebesar (63,89%). Jadi semakin tinggi pemanfaatan website internet sebagai sumber
belajar, semakin tinggi pula motivasi belajar mahasiswa.
Saran
Saran berkaitan dengan hasil penelitian ini yaitu:
1. Perlu adanya peningkatan frekuensi dalam menggunakan website internet sebagai
sumber belajar untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa, dan akhirnya akan
diperoleh wawasan yang luas dan hasil belajar yang optimal.
2. Pihak pengajar/dosen, hendaknya memberikan penugasan-penugasan yang
menuntut mahasiswa mencari informasi melalui website internet, sehingga dapat
meningkatkan motivasi belajarnya.
3. Pihak lembaga/universitas dapat memberikan fasilitas internet secara gratis
melalui pembangunan jaringan hot spot atau WiFi, sehingga mahasiswa dapat
dengan mudah memanfaatkan internet dan motivasi belajarnya menjadi meningkat.
REFERENSI
Andrias, Harefa. 2002. Menjadi Manusia Pembelajar (Pemberdayaan Diri, Transformasi
Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran). Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Reineka Cipta.
Damayanti, Feryana. 2010. Studi Komparasi Hasil Belajar IPS Sejarah Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 3 Temanggung Antara Yang Diajarkan Dengan Pendekatan Deep
Dialogue/Critical Thinking Dan Pendekatan Cooperative Model Think-Pair-Share.
Skripsi: Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES.
Dimyati, Mudjiono, 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud.
Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik: Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset.
Idris, Fazilah. 2010. Jurnal Bahasa (Pembelajaran Bahasa). Termuat dalam Makalah
Internet dan Belajar Berkumpulan.
Nafisah Binti Murshid. 2001. Hubungan Penggunaan Media Komputer Berbasis Internet
Sebagai Sumber Belajar Dengan Hasil Belajar Siswa Malaysia Di Universitas
Negeri Semarang Tahun Akademik 2000/2001. Skripsi: Jurusan Kurikulum
Teknologi Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan.
Oetomo, Dharma Sutedjo, Budi. 2002. E-Education Konsep, Teknologi dan Aplikasi
Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Parji. 2011. Strategi Pembelajaran Pendidikan Moral pada Era Teknologi Informasi.
Madiun.
Pasaribu, I. L, dan Simanjuntak, B. 1983. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito.
Surya, Mohammad H. 2010. Tantangan dan Problema Pendidikan Memasuki Milenium
Ketiga. Termuat dalam majalah Ilmiah Wahana, Tahun XIV, hal 4.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wasino. 2007. Dari Riset hingga Tulisan Sejarah. Semarang: UNNES Press.
Winkel, W.S., 1984. Psikologi Pendidikan Belajar dan Evaluasi. Jakarta: Gramedia.
Abstrak
Pengembangan modul Biologi bernilai Islam ini bertujuan untuk menghasilkan sumber
belajar Biologi dilengkapi dengan nilai Islam. Penelitian ini merupakan sarana dalam rangka
membangun landasan bagi perkembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berkepribadian
luhur. Tujuan adanya modul adalah membuka kesempatan bagi peserta didik untuk belajar
menurut kecepatan individu, karena dianggap bahwa peserta didik tidak akan mencapai
hasil yang sama dalam waktu yang sama dan tidak sedia mempelajari sesuatu pada waktu
yang sama. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan memodifikasi pola
4D (Define, Design, Develop and Disseminate). Tahap define telah dilakukan sebagai penelitian
pendahuluan, berbagai analisis dilakukan pada tahap define guna menyiapkan kebutuhan
dalam pengembangan modul. Tahap selanjutnya adalah design guna merancang modul yang
dikembangkan. Pengembangan dilanjutkan dengan tahap develop yang mana pada tahap ini
ada 3 macam jenis penilaian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan modul
yang dikembangkan. Penelitian ini telah menghasilkan prototype modul Biologi bernilai
Islam dengan kualitas layak dan siap untuk diuji cobakan pada tahap berikutnya, yaitu
disseminate. Modul yang dikembangkan masuk dalam kategori layak untuk digunakan
karena, persentase rata-rata penilaian dari ahli materi 81.9%, untuk ahli media 83.3% dan
guru biologi 82%. Hasil untuk presentase tanggapan peserta didik pada kelas kecil adalah
78% dengan kriteria layak, dan tanggapan peserta didik pada kelas besar sebesar 80,64%
dengan kriteria layak.
Kata Kunci : Modul, Biologi, Bernilai Islam, Sistem Reproduksi pada Manusia, 4D
PENDAHULUAN
Al-Qur’an tidak membedakan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum
(sains teknologi dan sosial humaniora), baik ilmu agama maupun ilmu umum tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Hakikatnya, semua ilmu datang dari Allah SWT (Alim, 2014).
Biologi pada dasarnya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
makhluk hidup, tetapi biologi tidak bisa dipisahkan dengan ilmu agama. Sebagai
buktinya, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah firmankan dan mempunyai
kaitan dengan biologi.
Salah satu materi biologi yang banyak kaitannya dengan Nilai Islam adalah, sistem
reproduksi pada manusia. Pendidikan sistem reproduksi sejak dini perlu diberikan
kepada para remaja (siswa SMA/MA) karena pada masa tersebut, pengetahuan akan
sistem reproduksi mereka sedang berada pada puncaknya, tak jarang potensi tersebut
disalahgunakan apabila pendidikan tersebut tidak dibarengi dengan bekal ilmu agama.
Pengintegrasian materi sistem reproduksi dengan nilai Islam dirasa akan menjadi suatu
hal yang sangat tepat apabila diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di MA.
Penerapan integrasi pendidikan biologi dengan Islam merupakan salah satu
perwujudan kesatuan ilmu pengetahuan. Paradigma kesatuan ilmu bukanlah paradigma
baru. Paradigma ini telah dipraktikkan oleh para ilmuan muslim klasik seperti Ibnu Sina
(980-1037 M), Al Kindi (801-870 M), dan Al Farabi (874-950 M). Mereka mempelajari
ilmu-ilmu Yunani yang lebih menekankan logos kontemplatif–non eksperimental namun
disesuaikan dan dimodifikasi dengan anjuran ilmiah wahyu yang menekankan empiris
atas fakta-fakta alam (Rahman, 2014).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah Research and Development (R&D). Model yang digunakan
dalam penelitian ini adalah model 4D. Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan,
yaitu Define (pendefinisian), Design (Perancangan), Develop (pengembangan), dan
Disseminate (penyebaran) (Trianto, 2010). Instrumen yang digunakan berupa lembar
angket check list. Data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk
instrumen angket.
Tahap define dimulai dengan melakukan berbagai analisis guna mencari tahu
kebutuhan-kebutuhan dalam pengembangan modul. Analisis dimulai dengan analisis
ujung depan yang dilakukan dengan pemberian angket kepada guru untuk mengetahui
bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan selama ini. Selanjutnya analisis siswa
yang dilakukan dengan pemberian angket kepada peserta didik kelas XI MA untuk
mengetahui kebutuhan belajarnya. Analisis berlanjut pada analisis tugas, konsep, dan
perumusan tujuan pembelajaran. Berdasarkan beberapa analisis tersebut maka peneliti
dapat menentukan batasan materi dengan kebutuhan peserta didik.
Tahap perancangan atau design modul meliputi beberapa langkah, yaitu:
menyiapkan buku referensi yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan kaitannya
dengan Islam, menyusun peta kebutuhan modul, penyusunan desain modul, serat
penyusunan desain instrumen penilaian. tahap ini dilakukan untuk membuat modul
atau buku ajar sesuai dengan kerangka isi hasil analisis kurikulum dan materi
(Mulyatiningsih, diakses 22 Juni 2016).
Tahapan selanjutnya adalah develop, tahap ini berupa validasi modul oleh
ahli/pakar materi pada mata pelajaran yang sama, ahli media pembelajaran dan
penilaian oleh guru biologi di MA Darul Falah. Setelah dinilai pada tahap pertama,
selanjutnya peneliti melakuakn revisi modul berdasarkan masukan dari para pakar pada
saat validasi.
Uji coba dilanjutkan dengan uji lapangan terbatas dalam pembelajaran di luar kelas
dengan melakukan uji keterbacaan. Subjek penelitiannya adalah peserta didik kelas XI
MA tahun ajaran 2016/2017 berjumlah enam orang. Uji coba lapangan luas dengan hasil
akhir modul kepada 15 peserta didik pada kelas besar. Sementara tahapan disseminate
tidak dilakukan peneliti karena penelitian hanya dibatasi sampai develop.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik angket dan dokumentasi. Pada
penelitian ini menggunakan angket tertutup dimana angket disusun menggunakan
pilihan jawaban lengkap sehingga pengisi hanya tinggal memberi tanda pada jawaban
yang dipilih (Arikunto, 2009). Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Baik penilaian ahli materi, ahli media, guru maupun peserta didik, penilaian
menggunakan acuan berupa skala bertingkat.
Tabel 1. Kriteria Penilaian
Skala Kategori
5 Sangat Baik
4 Baik
3 Cukup
2 Kurang Baik
1 Sangat Kurang
Selanjutnya dari hasil penilaian tersebut, data hasil kelayakan modul dianalisis dengan
deskriptif presentase, dengan rumus:
𝑛
% = 𝑁 x 100%
Keterangan :
% = Persentase skor
n = Σ skor
N = Σ skor total
Keterangan penentuan jenjang kualifikasi kriteria kelayakan ditentukan dalam tabel 2
yang diadaptasi dari Akbar (2013).
Tabel 2. Kriteria Kelayakan
Persentase Kategori
81-100% Sangat Layak
61-80% Layak
41-60% Kurang Layak
21-50% Tidak Layak
0-20% Sangat Tidak Layak
Modul dikatakan layak digunakan dalam pembelajaran apabila: hasil penilaian
kelayakan modul oleh ahli media maupun ahli materi menunjukkan bahwa modul
tersebut layak untuk digunakan dalam pembelajaran. Hasil tanggapan peserta didik
menunjukkan bahwa modul layak untuk digunakan (Mulyasa, 2010).
mennggunakan model ceramah meskipun sudah divariasi dengan diskusi dan tanya
jawab. Kondisi sumber belajar masih minim variasinya. Madarasah yang notabene
pendidikannya berdasarkan nilai Islam, belum mempunyai sumber belajar biologi yang
dikaitkan dengan nilai Islam. Peserta didik juga setuju dengan pengembangan modul
bernilai Islam, karena mereka mengharapkan adanya tambahan referensi untuk
menunjang proses belajar mandiri yang dikaitkan dengan nilai Islam.
Berdasarkan hasil observasi tersebut, maka peneliti melakukan pengembangan
sumber belajar dengan mengembangkan modul yang diintegrasikan dengan nilai Islam.
Modul yang dikembangkan tidak hanya menonjolkan aspek integrasinya pada nilai
Islam, tetapi juga bersifat mudah dipahami, menarik, inovatif serta menimbulkan
semangat peserta didik dalam belajar khususnya materi Sistem Reproduksi pada
Manusia.
Berdasarkan pendefinisian masalah di atas, akhirnya modul di design dengan
menentukan tes acuan patokan, penentuan media dan juga pemilihan format. Peneliti
juga membuat instrumen dan produk rancangan awal (prototipe) yang kemudian di uji
pada ahli validator, yang meliputi ahli materi dan ahli media serta guru Biologi yang
mengajar di MA.
Format modul yang digunakan peneliti dalam menyusun modul adalah format
penulisan modul menurut Surahman (2010:2), yang telah disesuaikan dengan
kebutuhan penulis. Formatnya yaitu, judul modul, petunjuk umum, meliputi (KD, pokok
bahasan, indikator, referensi, lembar kegiatan pembelajaran, evaluasi), materi modul,
serta evaluasi akhir kegiatan (Prastowo, 2015)
Berikut ini adalah hasil validasi ahli materi dan juga ahli media dalam menilai
modul yang dikembangkan oleh peneliti.
Tabel 1 Hasil Validasi Ahli Materi
No Aspek Evaluasi Skor
1 Kesesuaian materi 12
2 Keakuratan materi 28
3 Pendukung materi pembelajaran 26
4 Kemutakhiran materi 11
5 Teknik penyajian 12
6 Pendukung penyajian materi 43
7 Sesuai dengan perkembangan peserta didik 8
8 Komunikatif 8
9 Dialogis dan Interaktif 16
10 Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia 8
11 Koherensi dan keruntutan alur berpiikir 12
12 Penggunaan istilah dan simbol/lambang 8
13 Penyajian nilai Islam 8
14 Kesesuaian nilai Islam 13
15 Sesuai dengan perkembangan peserta didik 8
Jumlah 221
Presentase 83,39%
Berdasarkan tabel 1, 2 dan 3 hasil uji kelayakan terhadap rancangan model awal
modul yang dikembangkan terdapat beberapa masukan, antara lain: ukuran gambar
perlu diperjelas, gambar hasil tangkapan layar masih buram, terdapat beberapa
kesalahan dalam penulisan kata dan penyusunan kalimat, serta penambahan beberapa
konsep Islam untuk melengkapi materi. Grafik hasil uji kelayakan dapat diamati pada
gambar 1 berikut:
Hasil uji kelayakan mendapatkan penilaian dari ahli materi sebesar 81,9% dan dari
ahli media sebesar 83,3%. Sementara hasil penilaian dari pihak guru adalah sebesar
82%. Itu artinya modul yang dikembangkan sudah masuk dalam kriteria sangat layak
dan bisa digunakan pada uji selanjutnya.
100%
80%
60%
40% Tanggapan
20% peserta didik
0%
Tanggapan peserta
didik
Gambar 2. Grafik Hasil Tanggapan Kelas Kecil
Hasil tanggapan peserta didik pada kelas kecil adalah sebesar 78%, artinya modul
tersebut masuk dalam kategori layak. Berdasarkan tanggapan peserta didik pada uji
skala kecil, ada beberapa hal yang harus diperbaiki oleh peneliti, yaitu perbaiakan
resolusi gambar, serta penulisan keterangan gambar agar lebih diperjelas.
Penilaian kelayakan modul juga dilihat dari hasil tanggapan peserta didik kelas
besar. Grafik hasil tanggapan peserta didik pada kelas besar dapat diamati pada gambar
4.28 berikut:
100.00% 80.64%
Tanggapan
50.00% peserta
didik kelas
besar
0.00%
Tanggapan peserta
didik kelas besar
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan peneliti, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa produk hasil pengembangan yang berupa modul
biologi bernilai Islam yang dikembangkan dengan metode 4-D (define, design, develop,
and disseminate) layak digunakan dalam pembelajaran di MA Darul Falah Sirahan Pati.
Hal tersebut berdasarkan pada penilaian kualitas modul oleh ahli materi dan ahli media
mencapai presentase sebesar 81,9 % untuk materi dan 83,3 % untuk media serta
tanggapan guru sebesar 82%.
Adapun hasil untuk presentase tanggapan peserta didik pada kelas kecil adalah
78% dengan kriteria layak, dan tanggapan peserta didik pada kelas besar sebesar
80,64% dengan kriteria sangat layak.
REFERENSI
Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Alim, A. 2014. Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Dharma, S. 2008. Penulisan Modul. Direktorat Tenaga Kependidikan , 3-5.
Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010.
Mulyatiningsih, Endang. Pengembangan Model pembelajaran, http.staff.uny.ac.id, diakses
22 Juni 2016.
Rohani, A. 1997. Media Instruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Prastowo, A. 2012. Pengembangan Sumber Belajar. Yogyakarta: Pedagogia.
Rahman, S. 2014. The Unity of Science in The Arabic Tradition: Science Logic
Epistemology and Their Interactions. Kluwer - Springer Academic Publisher , 9.
Salleh, Muhammad Syukri. 2013. Strategizing Islamic Education. International Journal of
Education and Research. Vol. 1 No. 6.
Thiagarajan and others. 1974. Instructional Development for Training Teachers of
Exceptional Children A Sourcebook. Indiana: Indiana University Bloomington.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif - Progresif. Jakarta: Kencana.
Udaibah, W. 2013. Pengembangan Modul Kimia Anorganik Terintegrasi Pendidikan
Karakter pada Materi Kimia Koordinasi Tadris Kimia IAIN Walisongo Semarang.
Semarang: IAIN Walisongo.
Abstrak
Tracer study merupakan pendekatan yang memungkinkan institusi pendidikan tinggi
memperoleh informasi tentang kekurangan yang mungkin terjadi dalam proses pendidikan
dan proses pembelajaran dan dapat merupakan dasar untuk perencanaan aktivitas untuk
penyempurnaan di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
instrumen tracer study berbasis borang akreditasi institusi program studi menggunakan
aplikasi android, dan mendeskripsi kepraktisan instrumen berdasarkan hasil uji coba pada
skala terbatas. Penelitian ini menggunakan penelitian pengembangan dengan mengambil
prosedur mulai dari identifiksi masalah, pengumpulan data untuk mendesain produk,
perancangan produk, validasi desain, revisi, ujicoba skala terbatas dan revisi kembali untuk
dijadikan sebagai produk penelitian. Dari penelitian ini telah dihasilkan aplikasi
biotracerstudy yang dapat diunduh dan dipasang pada telpon genggam pintar berbasis
android yang sesuai dengan berbagai sistem operasi termasuk yang terkini, nougat, melalui
biotracerstudy.com. Aplikasi dapat menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan
akreditasi program studi dari BAN-PT.
PENDAHULUAN
Schomburg (2003) mendefiniskan tracer study sebagai pendekatan yang
memungkinkan institusi pendidikan tinggi memperoleh informasi tentang kekurangan
yang mungkin terjadi dalam proses pendidikan dan proses pembelajaran sehingga dapat
dijadikan dasar untuk perencanaan aktivitas di masa mendatang. Oleh karena itu, nama
yang sepadan adalah survey lulusan, riset alumni, penelusuran karir lulusan, atau follow-
up study (Schomburg dalam Pannogan & Ocampo, 2016). Hasil tracer study dapat
digunakan perguruan tinggi untuk mengetahui keberhasilan proses pendidikan yang
telah dilakukan terhadap mahasiswanya. Dalam program hibah kompetisi maupun
akreditasi mempersyaratkan adanya data hasil tracer study tersebut melalui parameter
masa tunggu lulusan, persen lulusan yang sudah bekerja, dan penghasilan pertama yang
diperoleh, apakah ada kesesuaian/ketidaksesuaian antara bidang kerja lulusan dengan
kompetensinya, bahkan yang paling penting adalah persepsi pemangku kepentingan
terhadap lulusan (Pannogan & Ocampo, 2016; Setyorini, et al., 2012). Dengan demikian
tracer study memberi manfaat yang besar untuk evaluasi dan dalam meningkatkan
pendidikan pada pendidikan tinggi.
Terkait dengan akreditasi program studi, Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN PT) mengases tracer study sebagai salah satu item penilaiannya. Program
studi harus dapat menunjukkan adakah studi pelacakan untuk mendapatkan hasil
evaluasi kinerja lulusan dengan pihak pengguna? Hal tersebut terdapat dalam borang
akreditasi Buku IIIA (BAN PT, 2008a) yang harus diisi oleh program studi. Lebih lanjut
dalam Buku V Pedoman Penilaian Instrumen Akreditasi Sarjana (BAN PT, 2008b)
dijelaskan dalam pengelolaan lulusan sebagai produk, program studi menyiapkan
pembekalan pengembangan entrepreneurship, pengembangan karir, magang dan
rekrutmen kerja. Kemitraan program studi dengan lulusan berupa tracer study serta
penggalangan dukungan dan sponshorship pada lulusan. Elemen yang dinilai adalah
layanan dan pendayagunaan lulusan: ragam, jenis, wadah, mutu, harga, intensitas;
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium microteaching, Jurusan Biologi
FMIPA UNNES. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan membatasi
sampai tersajinya instrumen setelah dilakukan analisis kepraktisan berdasarkan ujicoba
pada skala terbatas. Data awal yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data
yang berasal dari studi dokumen borang akreditasi institusi program studi (AIPS) dari
BAN PT. Selain itu, mengumpulkan bahan yang digunakan untuk perencanaan
pembuatan produk meliputi perangkat yang digunakan untuk pembuatan aplikasi
android baik software maupun hardware. Pada tahap ini telah dilakukan perancangan
produk instrumen pada android melalui penyusunan dan pengembangan instrumen
tracer study alumni berdasarkan hasil studi dokumen dan analisis kebutuhan borang
AIPS. Desain produk diwujudkan dalam bentuk naskah rancangan instrumen meliputi
desain layout, perancangan sistem, penulisan kode pemrograman, dan hasilnya berupa
tampilan aplikasi. Selanjutnya dilakukan validasi ahli pengembang aplikasi dan sistem
informasi, dan ahli borang AIPS / asesor BAN PT. Aplikasi yang sudah divalidasi logis
oleh pakar selanjutnya diujicobakan pada skala terbatas dan hasilnya dianalisis secara
deskriptif untuk menelaah kepraktisan aplikasi.
Nama
aplikasi
Logo aplikasi
Menu-menu yang
tersedia dengan menu
utama ‘ALUMNI’ dan
‘PENGGUNA
ALUMNI’
(a) (b)
Gambar 2. Tampilan visual salah satu submenu pada menu ALUMNI (a) dan
PENGGUNA ALUMNI (b)
representatif. Menurut Teichler (1999) dan Sanyal (1987) dalam Egesah, et al., (2014)
pendekatan metodologis tracer study dan desain dan tema yang tepat dapat
menghasilkan hasil yang diinginkan dan dapat digunakan. Selain itu, seringkali sangat
diharapkan untuk melakukan survei sensus daripada survei sampel pelacak dimana
semua lulusan dilacak dan pengalaman mereka dibagikan. Hal tersebut dipastikan dapat
menyajikan gambaran lengkap tentang pengalaman. Survei pelacak musiman seperti
INDOTRACE (Syafiq dan Fikawati, 2011) juga memilih studi pelacak panel di mana
kohort yang sama dilacak dan disurvei lebih dari satu kali. Dengan menggunakan
instrumen hasil pengembangan ini, pelacakan dapat menggunakan metode survei
sensus maupun survei sampel, juga dapat menggunakan metode pelacakan musiman.
Mungkin juga dapat digunakan pada model tracer study dari Jose (2014) yang diberi
nama The Alumni Tracer Study Questionnaire, dan Ramirez, et.al., (2014) menggunakan A
modified Graduate Tracer Study (GTS) instrument.
PENUTUP
Dari penelitian ini telah dihasilkan aplikasi biotracerstudy yang dapat diunduh melalui
biotracerstudy.com dan dipasang pada telepon genggam pintar berbasis android dengan
berbagai sistem operasi termasuk yang terkini, nougat. Aplikasi dapat menyediakan
informasi sesuai dengan kebutuhan akreditasi program studi dari BAN-PT.
REFERENSI
BAN PT. 2008a. Akreditasi Program Studi Sarjana: Buku IIIA Borang Akreditasi yang
Harus Diisi Program Studi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
_____. 2008b. Akreditasi Program Studi Sarjana: Buku V Pedoman Penilaian Instrumen
Akreditasi Sarjana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi
_____. 2008c. Akreditasi Program Studi Sarjana: Buku VI Matrik Penilaian Akreditasi
Sarjana. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi
Egesah, OB., Wahome, M., Langat, EK., & Wishitemi, BEL. 2014. University Graduate
Tracer Studies (UNITRACE): Methodological Lessons and Utilization of Selected
Results in Kenya. Journal of International Academic Researrch for
Multidisciplinary. 2:8.
IPEC (International Programme on the Elimination of Child Labour). 2017a. Tracer Study
Book 1: Model Quissionaires. Edisi Elektronik. Diakses pada 10 April 2017 melalui
http://www.ilo.org/ipec/programme/Designandevaluation/ImpactAssessment/tr
acer-studies/lang--en/index.htm
_____. 2017b. Tracer Study Book 3: Methodology Manual. Edisi Elektronik. Diakses pada
10 April 2017 melalui
http://www.ilo.org/ipec/programme/Designandevaluation/Impact
Assessment/tracer-studies/lang--en/index.htm
Jose, A.E.S. 2014. Finding the Linguist: An AB English Graduates Tracer Study.
International Journal of English Language Education, Vol. 2, No. 2. Edisi Elektronik.
Diases pada 11 April 2017 melalui www.macrothink.org/ijele
Ramirez, T.L., Cruz, L.T., and Alcantara, N.V. 2014. Tracer Study of RTU Graduates: an
Analysis. Journal of Arts, Science & Commerce Vol.– V, Issue – 1, Jan. 2014 [66]
Edisi Elektronik. Diakses pada 11 April 2017 melalui www.researchersworld.com
Pannogan, O.C. & Ocampo, D.P. 2016. Tracer Study of Bachelor of Arts Graduates Major
in English. International Journal of Advanced Research in Management and Social
Sciences, Vol. 5 No. 1. Edisi Elektronik. Diases pada 11 Oktober 2017 melalui
www.garph.co.uk/IJARMSS/Jan2016/21.pdf
Setyorini, M.A. Nugroho, M.N. Aisyah, C. D. Sinangkling. Tracer Study Kajian Relevansi
Kemampuan Penguasaan Bahasa Asing Dan Teknologi Informasi Lulusan Program
Studi Akuntansi FE UNY Tahun 2004 – 2011 dengan Kebutuhan User. Laporan
Penelitian. Program Studi Akuntansi Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta
Schomburg, H. 2003. Handbook for Graduate Tracer Study. Moenchebergstrasse Kassel,
Germany: Wissenschaftliches Zentrum für Berufs- und Hochschulforschung,
Universität Kassel
Syafiq A. and S Fikawati (2010). Tracer Study at University of Indonesia, 2012:
problems in the Field and Results Dissemination. UNITRACE, INCHER-Kassel
PENDAHULUAN
Pembelajaran harus dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam kegiatan
belajar-mengajar. Selain itu, pembelajaran sebaiknya dapat merangsang siswa untuk
mencari sendiri pengetahuan dalam memecahkan masalah–masalah yang dihadapinya
yang dilandasi sikap ilmiah. Sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan dalam
memproses informasi yang ditemukannya, demikian pula dengan kemampuan berfikir
serta strategi intelektualnya (Pujiati, 2004:1).
Kegiatan praktikum merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran yang
menuntut siswa menggunakan pengetahuannya dalam suatu proses ilmiah serta
menjadi bagian integral dalam IPA khususnya Biologi. Pentingnya praktikum
dikemukakan oleh Woolnough dan Allsop (Rustaman et al., 2005:136) yaitu: 1)
praktikum membangkitkan motivasi belajar sains; 2) praktikum mengembangkan
keterampilan dasar melakukan ekperimen; 3) praktikum menjadi wahana belajar
pendekatan ilmiah; 4) praktikum menunjang materi pelajaran.
Pembelajaran menggunakan pendekatan inquiry lebih menekankan pada proses
dalam mencari pemecahan masalah atau jawaban, bukan hanya pada hasil dari
pemecahan masalah. Pernyataan lain dikemukakan oleh Fenton (Nasution, 1992:117)
yang menyatakan bahwa inquiry lebih menekankan pada proses. Hal ini sangat penting
mengingat dalam kegiatan belajar mengajar proses pendidikan merupakan kegiatan
pokok di sekolah. Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak
tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami siswa.
Pendekatan inquiry dapat dibedakan menjadi inquiry terpimpin (guided inquiry)
dan inquiry bebas (free inquiry) atau inquiry terbuka (open-ended inquiry) (Rustaman et
al., 2005:95). Inquiry melibatkan aktivitas yang beragam yang meliputi observasi,
pengamatan, mengajukan pertanyaan, menelaah buku dan sumber informasi lain untuk
mengetahui apa yang belum diketahui, merencanakan penyelidikan, mengkaji ulang apa
yang sudah diketahui dari hasil eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan,
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu untuk menggali
data pada kondisi yang sebenarnya. Metoda deskriptif berusaha mendeskripsikan atau
menginterpretasikan proses yang sedang berlangsung/kecenderungan yang sedang
berkembang (Faisal dalam Nurhayati, 2005).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 2 Gebang Kelas VII
Semester Genap. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 2 Gebang Kelas
VII Semester Genap, sebanyak satu kelas yang diambil secara acak kelas.
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini berupa non tes dengan
menggunakan beberapa cara, yaitu: Lembar self assessment dengan menggunakan daftar
cek, Lembar observasi, Angket, Wawancara, Lembar Kerja Siswa digunakan sebagai
pedoman praktikum dan Catatan lapangan digunakan sebagai data tambahan untuk
melihat keadaan di kelas pada saat praktikum/pembelajaran sedang berlangsung.
Pengolahan data tersebut dapat dilakukan dengan statistika deskriptif secara kuantitatif
dan kualitatif. Kemampuan inquiry siswa diperoleh dari lembar self assessment dan
observasi. Lembar observasi digunakan untuk memvalidasi jawaban siswa dalam
mengisi self assessment. Data yang berupa skor tiap komponen kemampuan inquiry
dengan skala 1-4 diolah dengan menggunakan rumus persentase kualitatif. Kekuatan
dan kelemahan siswa dalam inquiry serta rencana-rencana siswa untuk memperbaiki
kelemahannya diperoleh dari lembar self assessment dihitung melalui statistika
desktiptif secara kualitatif. Respon siswa tentang penggunaan self assessment dengan
mengalisis data yang diperoleh melalui angket dengan menghitung persentase jawaban
siswa. Data hasil wawancara guru dan siswa diolah secara kualitatif digunakan sebagai
bahan masukan untuk mengetahui pendapat guru dan siswa mengenai kelebihan dan
kendala penerapan self assessment dalam mengungkap kemampuan inquiry siswa.
Tabel 2
Hasil Observasi Kemampuan Inquiry Siswa
No. Aspek Yang Diungkap Persentase Kategori
Rata-rata (%)
1. Menggunakan alat dan bahan 66,16 Cukup
2. Mengobservasi 87,10 Baik
3. Mengkomunikasikan hasil observasi 73,25 Cukup
4. Menganalisis Data 78,06 Baik
5. Menginterpretasi data 59,75 Cukup
Berdasarkan data dari Tabel 1 dan 2 dapat dideskripsikan perbandingan antara respon
siswa dari hasil self assessment dengan hasil observasi sebagai berikut:
a. Mengobservasi data
Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan inquiry paling
tinggi pada mengobservasi data berada pada kategori baik (87,38%). Berdasarkan
Tabel 2 (observasi) terungkap bahwa kemampuan inquiry siswa dalam
mengobservasi menunjukan kategori baik ((87,10%)). Berdasarkan data tersebut
dapat dikatakan bahwa terdapat kesesuaian antara hasil self assessment dan
observasi, sehingga self assessment dapat digunakan untuk mengungkap kemampuan
mengobservasi data. Hal tersebut karena siswa sudah terbiasa dalam pembelajaran
menggunakan metode pengamatan langsung pada objek serta melakukan
pengamatan dengan menggunakan mikroskop.
b. Analisis Data
Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam
menganalisis data berada pada kategori baik (81,13%), sedangkan pada Tabel 2 dari
hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam menganalisis data juga
pada kategori baik (76,17%). Kedua tabel menunjukan kategori baik dalam hal
menganalisis data, perbedaannya hanya pada jumlah persentase, sehingga self
assessment dapat digunakan untuk mengungkap kemampuan inquiry.
Selisih antara hasil self assessment dan observasi antara lain disebabkan karena
siswa mengisi berdasarkan yang ia rasakan dan siswa tidak bisa membedakan antara
kemampuan dengan pengetahuan berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan.
Seperti yang dikemukakan oleh Cariaga-Lo et al., (Srimavin dan Darasawang, 2003:1)
bahwa self assessment digunakan oleh siswa untuk mengevaluasi dan memonitor
tingkatan pengetahuan mereka, performance dan untuk mendapatkan informasi
tentang yang mereka pelajari. Oleh karena itu, self assessment adalah apa yang siswa
lihat dari sudut pandang mereka sendiri (Oscarson, 1989 dalam Srimavin dan
Darasawang, 2003:1).
Siswa juga mempunyai budaya kerjasama atau menyontek dalam mengerjakan
tugas. Hal ini didukung oleh Megawangi (2006:3) yang menyatakan bahwa
pendekatan belajar selama ini yang terlalu kognitif telah merubah orientasi siswa
dalam belajar hanya untuk memperoleh nilai tinggi. Hal ini dapat mendorong para
siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti menjiplak dan
menyontek.
Siswa mempunyai alasan tersendiri dalam mengisi self assessment (penilaian diri)
karena tidak bisa mengakui kekurangannya
c. Mengkomunikasikan hasil Observasi
Tabel 1 menunjukan bahwa mengkomunikasikan hasil observasi berada pada
kategori baik (76,17%), sedangkan pada Tabel 2 dari hasil observasi terungkap
bahwa kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan hasil observasi juga berada
pada kategori cukup ((73,25%)). Kedua Tabel menunjukan kategori baik dan cukup
dalam hal mengkomunikasikan hasil observasi. Siswa merespon self assessment
tetapi lemah jika dilihat dari hasil observasi. Meskipun begitu, self assessment masih
bisa digunakan untuk mengungkap kemampuan mengkomunikasikan hasil
observasi, sebab perbedaannya tidak terlalu jauh.
Perbedaan selisih persentase mungkin disebabkan pada lembar self assessment
siswa mengisi berdasarkan yang ia rasakan. Siswa tidak bisa membedakan antara
kemampuan dengan pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang telah mereka
kerjakan. Meskipun memang banyak siswa yang pandai dalam hal menggambar atau
merubah data hasil observasi kedalam bentuk gambar, namun sama halnya dengan
menganalisis data, siswa mempunyai kebiasaan kerjasama atau menyontek dalam
mengerjakan tugas.
d. Menggunakan alat dan bahan
Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam
menggunakan alat dan bahan berada dalam kategori cukup (74,18%), sedangkan
pada Tabel 2 dari hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam
menggunakan alat dan bahan juga berada dalam kategori cukup ((66,16%)). Tabel 1
dan 2 keduanya menunjukan kategori cukup dalam hal menggunakan alat dan
bahan, meskipun perbedaannya hanya pada jumlah persentase, maka self assessment
dapat digunakan untuk mengungkap kemampuan siswa dalam menggunakan alat
dan bahan. Sebagian besar siswa tahu bagaimana cara atau teknik yang benar
menggunakan mikroskop, dan membuat preparat, tetapi tidak semua siswa dapat
melakukannya dengan baik dan benar. Sebagian siswa juga hanya melihat
atau mengandalkan pekerjaan rekan lain dalam kelompoknya. Namun ketika siswa
mengisi lembar self assessment siswa tidak mengakui kelemahan mereka tapi
menjawab penilaian diri berdasarkan pengetahuan mereka. Hal tersebut disebabkan
karena siswa merupakan pribadi yang terbentuk dari pengenalan orang terhadap
dirinya dan penilaiannya terhadap dirinya sendiri. Maka pribadi siswa terbentuk
dari pengalaman kognitif dan afektif yang bersumber kepada diri, yang merupakan
sumber pengalaman (Fahmy, 1982:111).
e. Menginterpretasi data
Tabel 1 dari hasil self assessment menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam
menginterpretasi data berada pada kategori cukup (70,07%), sedangkan pada Tabel
2 dari hasil observasi terungkap bahwa kemampuan siswa dalam menginterpretasi
data berada pada kategori cukup ((59,75%)). Kedua tabel menunjukan kategori
cukup dalam hal menginterpretasi data. Perbedaan hasil self assessment pada jumlah
persentase tidak begitu jauh, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan
mengiterpretasi data dapat terungkap melalui self assessment. Interpretasi
menurut Carin & Sund (1985;68) adalah menganalisis data yang telah diperoleh dan
diatur oleh pola tertentu dalam data. Menginterpretasi data memerlukan
kemampuan menganalisis, kemampuan ini perlu dilatih agar bisa lebih baik. Hal
tersebut dikarenakan pembelajaran biologi yang mereka dapat selama ini kurang
melatih siswa untuk mengembangkan daya nalarnya.
Berdasarkan hasil self assessment dan observasi (Tabel 1 dan Tabel 2), terdapat
hasil yang hampir sejalan. Hampir semua siswa merespon self assessment dengan
baik, walaupun ada sebagian kecil siswa yang tidak jujur. Jika dilihat dari semua
kemampuan inquiry yang terungkap dalam penelitian ini, maka interpretasi data
merupakan kemampuan inquiry yang lebih banyak selisihnya bila dilihat
perbandingannya berdasarkan grafik pada Gambar 1. Oleh karena itu, kemampuan
interpretasi data mungkin akan lebih terungkap bukan melalui self assessment
melainkan melalui observasi atau tes tertulis.
Tabel 3
Kekuatan dan Kelemahan Siswa dalam Inquiry
No. Aspek yang Persentase jawaban siswa (%)
diungkap Mab Mob Mho Mad Mid
1. Kemampuan/kekuata 37,14 22,86 20 17,14 2,86
n siswa dalam inquiry
2. Kelemahan siswa 20 11,43 5,71 25,71 37,14
dalam inquiry
40
35
30
25
20 Kekuatan siswa
15 kelemahan siswa
10
5
0
Mab Mob Mho Mad Mid
Keterangan:
Mab = menggunakan alat dan bahan
Mob = mengobservasi
Mho = mengkomunikasikan hasil observasi
Mda = menganalisis data
Mid = menginterpretasi data
Gambar 2. Hal tersebut mungkin disebabkan karena siswa hanya bisa menilai
bagian-bagian kemampuan yang ia miliki, bukan kemampuan secara keseluruhan.
Siswa cenderung merasa bingung dan harus berpikir lagi jika ditanya tentang
kekuatan dan kelemahan umum yang dimilikinya. Hal ini mungkin karena siswa
tidak pernah berlatih untuk mengukur kekuatan dan kelemahan diri mereka. Dengan
demikian siswa kurang mampu untuk mengukur kekuatan dan kelemahannya.
Siswa tidak dapat mengukur kekurangan dan kelemahannya sendiri dalam
aktivitas inquiry. Hal ini menjelaskan bahwa siswa tidak dapat berpikir secara
keseluruhan (holistik) tetapi hanya dapat berpikir secara bagian per bagian. Hal
tersebut didukung oleh David Orr (Megawangi, 2006:3) yang menyatakan bahwa
kegagalan dalam melihat sesuatu secara keseluruhan terjadi ketika kita terbiasa
berpikir secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana berfikir secara
keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar bagian-bagian tersebut.
Tabel 4
Rencana-Rencana Siswa Untuk Mengatasi Kelemahan dalam Inquiry
No. Aspek Yang Rencana–rencana untuk mengatasi Persen
Diungkap kelemahan dalam inquiry tase
(%)
1. Menggunakan - akan berlatih terus dalam menggunakan 19,9
alat dan bahan semua alat dan bahan percobaan
2. Mengobservasi - membagi tugas dengan teman yang 5,71
mungkin bisa dalam hal yang saya tidak
bisa
- mau berusaha dan bertanya kepada 8,57
teman atau guru yang sudah bisa
menggunakan mikroskop sampai bisa
menemukan gambar objek yang
diamati
3. Mengkomunika- - berlatih lagi lebih maksimal dan 5,71
sikan hasil mencoba terus untuk bisa
observasi menggambarkan hasil observasi
No. Aspek Yang Rencana–rencana untuk mengatasi Persen
Diungkap kelemahan dalam inquiry tase
(%)
4. Menganalisis - lebih banyak membaca buku sebelum 8,57
data melakukan percobaan
- lebih giat belajar dengan tekun dan 11,43
berusaha meningkatkan kemampuan
dalam menganalisis data
- memperhatikan dengan baik ketika guru
menerangkan dan banyak membaca 5,71
buku
5. Menginterpre-tasi- lebih giat belajar dan melatih 28,57
data kemampuan dengan sering membaca
buku sebelum percobaan
- belajar menghubungkan antara data 8,57
percobaan dengan teori agar bisa
membuat kesimpulan
Tabel 4. Rencana siswa untuk memperbaiki kelemahannya diantaranya yaitu siswa akan
berlatih terus dalam menggunakan alat dan bahan, bertanya kepada guru, dan membaca
buku sebelum percobaan. Hal ini senada dengan Hamalik (1983:54) bahwa dengan
banyak membaca buku dan mengulang-ngulang hal-hal yang telah dibaca akan
memberikan hasil yang lebih baik.
Berdasarkan hasil diatas terungkap bahwa dengan melakukan penilaian diri
siswa dapat termotivasi untuk memperbaiki cara belajarnya sehingga dapat membantu
siswa dalam meningkatkan kemampuan inquiry mereka. Oscarson (Srimavin dan
Darasawang, 2003:1) menyatakan bahwa self assessment dapat meningkatkan belajar
sebab self assessment memberikan latihan bagi siswa dalam evaluasi yang penting untuk
pembelajaran mandiri. Siswa harus dapat diandalkan dalam membuat suatu keputusan
yang benar dalam melakukan penilaian.
Tabel 5
Hasil Angket Siswa Mengenai Kendala yang Dihadapi Siswa dalam Melakukan
Penilaian Diri
Pertanyaan Jawaban Persenta
se (%)
Kesulitan apa saja 1. Malu untuk mengakui 22,86
yang kamu hadapi kekurangan
dalam melakukan 2. Kurang menyadari 42,86
penilaian diri?
kekurangan/ kelebihan diri
3. Kurang percaya diri 22,86
4. Malas dalam mengerjakan 11,43
soal
Tabel 6
Kekurangan dan Kelebihan Self Assessment (Penilaian Diri)
Pertanyaan Jawaban Persentase
(%)
Apakah kelebihan dari 1. Tidak perlu menghafal (belajar) 25,71
teknik penilaian diri 2. Kita lebih tahu tentang 40
yang telah kamu kemampuan kita
lakukan bila 3. Dengan penilaian diri kita jadi 20
dibandingkan dengan lebih termotivasi dalam
penilaian dengan memperbaiki kekurangan-
menggunakan tes? kekurangan yang ada dalam diri
4. Melatih kejujuran 14,29
Apakah kekurangan 1. Bahasanya terlalu baku dan 5,71
dari teknik penilaian kurang menarik
diri yang telah kamu 2. Harusnya penilaian dilakukan 2,86
lakukan? oleh orang lain
3. Soalnya terlalu banyak sehingga 14,28
malas untuk dibaca
4. Sifatnya terbuka (tidak rahasia) 11,43
5. Menyita waktu sehingga tidak 31,43
dapat dilakukan pada setiap
penilaian
6. Kurang dapat menilai jati diri 25,71
(kekurangan dan kelebihan)
yang sesungguhnya karena
tingkat kejujuran masih kurang
7. Pilihan jawaban yang disediakan 8,57
kurang lengkap
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu:
SARAN
Berdasarkan pada hasil penelitian tentang penggunaan Self Assessment untuk
mengungkap kemampuan inquiry siswa, maka penulis mengajukan beberapa saran,
antara lain:
1. Bagi Guru
a. Penggunaan self assessment harus memperhatikan waktu dalam pelaksanaannya
harus memiliki cukup waktu tetapi jangan sampai mengganggu KBM selanjutnya
b. Penggunaan self assessment harus terlebih dahulu diberikan pengenalan mengenai
self assessment agar siswa tahu tujuan dari self assessment yang diharapkan dapat
memberi motivasi siswa dalam belajar.
c. Perlu dilakukan penilaian diri pada siswa dan guru agar dapat menggunakan self
assessment sebagai alternatif penilaian untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
siswa dalam belajar.
REFERENSI
Ali, M. (1987). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa
Anonim. Student Self-Assessment Rubric for Research Module. [Online]. Tersedia:
http://www.bcpl.net/~sulivan/modules/tips/rubrics_elem/stud_rubric.html. [ 10
April 2016]
Arikunto, S. (1989). Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bina Aksara.
Boud, D. (1995). Implementing Student Self-Assessment. [Online]. Tersedia:
http://www.iml.uts.edu.au/assessment/students/index.html. [6 April 2016]
Budnitz, N. (2000). What Inquiry. [Online]. Tersedia:
http//www.biology.duke.edu/cibl/inquiry/what_is_inquiry.htm/2000. Budnitz, N
[26 Juni 2016].
Carin. A.A, and Sund, R.B. (1980). Teaching Science Through Discovery. 4rd Edition.
Columbus: Charles E. Merill Publishing Company.
Champbell, N., Reece, J., dan Mitchell, L. (2008). BIOLOGI. Edisi Kedelapan-Jilid 1. Jakarta.
Erlangga.
DePorter, B dan Hernacki, M. (2003). Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Echol, J. M dan Shadily, H. (1996). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia
Effendi, R. (2004). Kajian Model Pembelajaran Learning Cycle dengan Tiga Teknik Hands-
On Berdasarkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Inquiry siswa SMU Pada
Konsep Hukum Newton Tentang Gerak. Tesis Pasacasarjana, UPI. Bandung . Tidak
Diterbitkan.
Fahmy, M. (1982). Penyesuaian Diri. Jakarta: PT. Bulan Bintang
Farabee, M. J. (2001). Transport In and Out of Cells. [Online]. Tersedia:
http://www.emc.maricopa.edu.faculty-farabee-biobk-pastrans-gif-html. [ 20
Januari 2017]
Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Grasindo
Rostina, S. (2000). Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa dalam Pembelajaran Zat
Aditif Pada Makanan Dengan Metode Praktikum. Skripsi Jurusan Pendidikan Kimia.
FPMIPA UPI. Bandung. Tidak Diterbitkan.
Rully, S. (1997). Pengaruh Kemampuan Mengamati Hasil Gambar Perspektif Terhadap
Hail Belajar Siswa dalam Menggambar Perspektif. Skripsi FIP: Tidak Diterbitkan.
Rustaman, et.al. (2003). Diktat Kuliah Strategi Belajar Mengajar Biologi. UPI. Tidak
Diterbitkan.
Rustaman, et.al. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Universitas Negeri Malang.
UM Press.
Sagala, S. (2005). Konsep & Makna Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta.
Subali, D dan Paidi .(2002). Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Biologi. Universitas
Negeri Yogyakarta: tidak diterbitkan.
Sukarno, F.M. (2005). Kajian Interaksi siswa Pada Kegiatan Praktikum Dengan
Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Untuk Materi Alat Indera. Skripsi Jurusan
pendidikan Biologi UPI: Tidak Diterbitkan.
Srimavin, W dan Darasawang, P. (2003). Developing Self-Assessment Through Journal
Writing. Published 20 September 2004. [Online] Tersedia:
http://www.independentlearning.org/ILA/ila03/ila03_srimavin_and_pornapit.pdf
?q=ila03_srimavin_and_pornafit.pdf. [6 April 2016]
Syamsudin, A. (2002). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Pratiwi, et.al. (2005). Biologi SMA Kelas XI. Jakarta. Erlangga.
Teti, A. (2001). Pengembangan Assesmen Portofolio Dalam Penilaian Hasil Belajar Siswa
SLTP Pada Konsep Keanekaragaman Hewan. Skripsi Jurusan Pendidikan Biologi
UPI. Tidak Diterbitkan
Winatasasmita, D. 1986. Fisiologi Hewan Dan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Universitas Terbuka.
Winatasasmita, D. 1994. Biologi Sel. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Universitas Terbuka.
Wulan, A.R. (2006). Penggunaan Asesmen Bervariasi Pada Pembelajaran Biologi SMA
Dalam Menyongsong Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurusan
Pendidikan Biologi UPI: Tidak Diterbitkan.
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui 1) kesiapan dosen dalam mengajar biologi umum di
kelas 2) Implementasi model discovery berbasis unity of sciences dalam belajar bioteknologi 3)
Hasil belajar mahasiswa materi bioteknologi. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa jurusan
pendidikan biologi UIN Walisongo Semarang tahun pertama th. 2015/2016 dan 2016/2017.
Metode penelitian menggunakan Research and Development (RnD). Hasil penelitian
menunjukkan latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar dan sosial budaya
mempengaruhi kesiapan dosen dalam mengajar dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa
biologi meningkat. Model discovery berbasis unity of sciences layak untuk diimplementasikan
dalam pembelajaran karena dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa.
PENDAHULUAN
Sejak UIN Walisongo mencanangkan sebagai Universitas yang berbasis unity of
science, sebagai dosen di UIN Walisongo dituntut untuk mampu mengajar dengan
berbasis kesatuan ilmu (Unity of sciences). Unity of Sciences (wahdatul al ‘ulum)
merupakan bentuk integrasi ilmu pengetahuan dan agama. Unity of Sciences (wahdat al-
ulum) mempunyai tiga strategi pengembangan yakni humanisasi ilmu-ilmu keislaman,
spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi kearifan lokal (Muhyar, 2012).
Dalam kajian keilmuan, pembagian adanya ilmu agama dengan ilmu umum adalah
pendapat manusia yang mengidentifikasikan ilmu berdasarkan objek kajian. Al-qur’an
dan Sunnah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu agama dengan ilmu umum,
bahkan menurut Imam Suprayogo dalam bukunya Rekonstruksi Paradigma Keilmuan
Perguruan Tinggi Islam menyebutkan bahwa posisi ilmu agama dan umum digambarkan
dalam bentuk pohon ilmu, di mana Al-qur’an dan sunnah diposisikan sebagai hasil
eksperimen dan penalaran logis atau menjadi sumber keilmuan ( Amin, 2004; Arsyad,
2009).
Namun demikian, fenomena yang terlihat akhir-akhir ini menunjukkan kesadaran
bahwa perlunya melakukan integrasi paradigma khususnya antara ilmu agama dengan
ilmu umum, termasuk bagaimana cara membelajarkannya di kelas. Model pembelajaran
yang menarik untuk implementasi integrasi sains dan agama adalah bagaimana konsep
yang disampaikan dapat dipahami dan nilai religius menjadi dasar dalam kegiatan
pembelajaran. Kepercayaan tentang ajaran agama adalah suatu aqidah. Keimanan
kepada Allah SWT secara total merupakan pandangan hidup (world-view) bagi setiap
muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengajar di kelas.
Di negara Barat, terdapat dua pemikiran utama. Pertama, menyatakan bahwa
agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa eksis bersama-sama. Mahner & Bunge (1996)
menyatakan bahwa sains dan agama hanya dapat hidup berdampingan jika salah satu
dari mereka terdistorsi. Ilmuwan dan peneliti muslim umumnya sepakat bahwa islam
dan ilmu pengetahuan dapat hidup berdampingan (Mansour, 2008).
Tidak ada lagi ada pemisahan agama dari ilmu dan sebaliknya, agama dipahami
lebih dari ilmu. Kepercayaan pada kemutlakan Qur'an memiliki implikasi yang menarik
bagi banyak ulama Islam tentang bagaimana mengajarkan, khususnya untuk terlibat
dengan ide bahwa pengetahuan dan keyakinan agama seorang pendidik tidak dapat
dipisahkan. Bagi mereka bahwa dalam pendidikan pembelajaran sains hanya dapat
terjadi jika pengalaman yang membangun makna dalam kerangka ilmu pengetahuan
dan Islam Barbour (2000). Sikap ilmiah dan agama penting diterapkan oleh guru dan
calon guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyakinan guru mempengaruhi cara
mengajarkan ilmu itu sendiri (Stolberg, 2007; Mansour, 2011).
Tantangan internal yang dihadapi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan
Perguruan Tinggi Negeri (PTU) antara lain pemenuhan Standar Nasional Pendidikan
Tinggi (SNPT). Beberapa kendala yang merupakan proses standar yang belum seperti
yang diharapkan, karena proses standar perlu mendapat perhatian dengan melakukan
pengembangan. Pembangunan yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik adalah
mengembangkan model pembelajaran bagi siswa sebagai calon guru untuk dapat
berpikir kritis (Silvi, 2013).
Faktor-faktor yang menyebabkan pemikiran kritis tidak berkembang selama
kurikulum pendidikan umumnya dideklarasikan dengan target material yang luas
sehingga dosen lebih fokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman guru
tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
(Arends, 2013; Jeanne, 2012). Konsep dasar biologi untuk siswa baru sangat dibutuhkan
dalam memulai kuliah di Pendidikan Biologi. Penguasaan biologi umum memberi bekal
siswa dalam mempelajari konsep biologi pada tingkat kuliah berikutnya. Biologi dasar
adalah ilmu mencari jawaban atas pertanyaan tentang apa, mengapa, dan bagaimana
makhluk hidup dan karakteristiknya Serata fenomena alam yang berkaitan dengan
komposisi, struktur dan sifat, makhluk hidup. Biologi pembelajar yang merupakan
bagian dari pelajaran sains tidak hanya untuk menguasai sejumlah pengetahuan
tertentu, namun juga harus menyediakan ruang yang memadai bagi berkembangnya
perkembangan sikap ilmiah, untuk mempraktekkan proses pemecahan masalah, dan
penerapannya dalam kehidupan nyata (Kemendiknas, 2013). ).
Pembelajaran biologi belum harapan, ada nilai biologis umum dari analisis hasil
ulang UAS pada tahun 2014 dan 2015 dari semester yang menunjukkan bahwa lebih
dari 65% hanya mampu mencapai tingkat menengah, hampir 25% masih rendah dan
hanya 10% berada pada level di atas. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
rendahnya kualitas pengajaran biologi basic leraning menuntut bagaimana menjadi
lebih baik. Hal ini kemungkinan karena kurang diperhatikan dalam hal proses
pembelajaran. Belajar lebih berorientasi pada ujian akhir menyebabkan pembelajaran
yang hanya membutuhkan transfer informasi kepada siswa. Akibatnya, siswa dalam
belajar karakter hanya menghafal konsep, teori telah ada, sehingga gagal memberi
pemahaman kepada siswa konsep yang dipelajari untuk diterapkan dalam kehidupan.
Model pembelajaran penemuan dapat membuat siswa lebih mandiri belajar dan
berpikir kritis. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika para profesor memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan
konsep, teori, peraturan, atau pemahaman melalui ex-amples yang ditemukan dalam
kehidupan (Budiningsih, 2005).
Melalui perpaduan antara model pembelajaran penemuan yang implamentasi
dengan kesatuan Ilmu Pengetahuan, siswa dapat menambahkan kekuatan untuk
menerima, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah mereka pelajari. Siswa
dilatih untuk dapat menemukan diri mereka berbagai konsep yang dipelajari secara
menyeluruh (holistik), bermakna, otentik dan aktif berdasarkan kekuatan iman yang
kuat. Model pembelajaran implantasi di kelas dengan menerapkan integrasi sains dan
agama adalah sebuah kebutuhan dan untuk melengkapi (Bagir, 2005). Integrasi Ilmu
Pengetahuan (wahdat al 'ulum) adalah bentuk integrasi nilai sains dan Islam (Muhyar,
2012). Hubungan antara kepercayaan dan sains adalah apakah pengetahuan dan
kepercayaan langsung atau sebab-akibat menyebabkan pengetahuan. Ternyata ada
keterikatan antara keyakinan, pengetahuan dan praktik yang saling berkaitan (Mansour,
2008, 2009). Fenomena yang terlihat baru-baru ini mengindikasikan kesadaran bahwa
perlunya integrasi paradigma terutama antara sains dan agama, termasuk bagaimana
cara mengajar di kelas (Taskin, 2014).
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana kesiapan dosen dalam mengajar biologi di kelas dan implementasi model
discovery berbasis unity of sciences dalam belajar bioteknologi. Ada dua alasan utama,
yang mendorong untuk melakukan penelitian. Pertama, banyak studi tentang persepsi
keyakinan agama pada seorang pendidik berpengaruh pada pembelajaran ilmu
pengetahuan. Kedua, beberapa penelitian membahas topik bagaimana membelajarkan
di kelas dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada mahasiswa.
METODE
Rancanagan penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan atau
Research and Development (R&D). Penelitian dan pengembangan merupakan
pendekatan penelitian untuk menghasilkan produk baru atau menyempurnakan produk
yang telah ada (Sugiono, 2012).
Menurut Borg dan Gall penelitian dan pengembangan (research and
development/R&D) merupakan metode penelitian yang digunakan untuk
mengembangkan atau memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan
dan pembelajaran (Borg & Gall, 2003). R&D dalam pendidikan sering kemudian disebut
research-based. R&D atau pengembangan berbasis penelitian yaitu proses yang
digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan.
Langkah-langkah pokok dalam siklus R&D (Borg, & Gall, 2003) adalah: 1) Research and
information collecting 2) Planning 3) Develop preliminary form of product 4) Preliminary
field testing 5) Main product revision 6) Main field testing 7) Operational product revision
8) Operational field testing 9) Final product revision 10) Dissemination and
implementation.
Langkah pengembangan yang dilakukan oleh peneliti adalah:
1. Penelitian dan pengumpulan data (research and information collecting) yang meliputi
pengukuran kebutuhan mahasiswa pendidikan biologi di UIN Walisongo semester
satu. Studi literatur tentang pengembangan model discovery, berpikir kritis, integrasi
sains dan agama. Penelitian dalam skala kecil pada mahasiswa Pendidikan Biologi
semester satu angkatan 2014 dan 2015 di UIN Walisongo Semarang
2. Perencanaan (planning) yaitu menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan-
kemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang
hendak dicapai dengan penelitian, desain atau langkah-langkah penelitian, dan
kemungkinan dalam lingkup terbatas.
3. Pengembangan draft produk (develop preliminary form of product). Produk
Pengembangan yang diharapkan berupa: Model konseptual dari model pembelajaran
discovery yang berbasis unity of sciences meliputi: Komponen-komponen model
discovery berbasis unity of sciences berupa: landasan teori, sintak, dampak
instruksional, dampak pengiring, sistem sosial, dan sistem pendukung.
4. Uji coba lapangan awal (preliminary field testing). Uji coba di lapangan pada dua kelas
semester satu Mahasiswa UIN Walisongo (Pendidikan Biologi 1A dan IB). Selama uji
coba dilakukan pengamatan proses pembelajaran di kelas, wawancara dan
pengedaran angket untuk mengetahui PBR dosen
5. Merevisi hasil uji coba (main product revision). Hasil uji coba awal dilakukan evaluasi,
dilakukan perbaikan dalam kegiatan pembelajaran, instrumen observasi
keterampilan berpikir kritis
6. Uji coba lapangan (main field testing). Melakukan uji coba yang lebih luas di UIN
Walisongo Semarang pada seluruh Mahasiswa Pendidikan Biologi dan Biologi
semester satu (mahasiswa baru). Data kegiatan pembelajaran di kelas, penampilan
dosen sebelum dan sesudah menggunakan model yang dicobakan dikumpulkan. Data
kuantitatif dan kualitatif di kumpulkan dan direkap sebagai data pelaporan
penelitian.
7. Penyempurnaan produk hasil uji lapangan (operasional product revision). Hasil uji
coba lapangan dievaluasi melalui Focus Group Discussion (FGD) Dosen UIN Walisongo,
untuk memperoleh penyempurnaan.
8. Uji pelaksanaan lapangan (operasional field testing). Dilaksanakan di UIN Walisongo.
Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, observasi dan dianalisis hasilnya.
9. Penyempurnaan produk akhir (final product revision). Penyempurnaan Model
konseptual dari model pembelajaran model discovery berbasis unity of sciences.
10. Diseminasi dan implementasi (dissemination and implementation). Desiminasi dan
implementasi produk dilakukan di UIN Walisongo Semarang.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan jenis pengumpulan
data berikut ini:
1. Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan
analisis proses belajar mahasiswa, yaitu: penguasaan konsep, keterampilan berpikir
kritis, praktikum, diskusi dan presentasi mahasiswa pada mata kuliah biologi umum
mahasiswa.
2. Observasi
Teknik observasi bertujuan untuk mengumpulkan data penelitian yaitu aktifitas
mahasiswa, minat, respon, dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa Biologi UIN
Walisongo selama kegiatan pembelajaran biologi umum dengan menggunakan
lembar pengamatan yang telah dikembangkan oleh peneliti. Observasi dilakukan
terhadap keterampilan berpikir kritis mengacu pada indicator Facione (2011) dan
dikembangkan oleh peneliti
3. Tes
Tes digunakan untuk mengetahui ketercapaian kompetensi dasar mahasiswa Biologi
UIN Walisongo dengan menggunakan tes tertulis baik obyektif maupun essai .
Untuk mengetahui kemampuan penguasaan konsep bioteknologi dilakukan tes
formatif dengan essai terbuka untuk mengetahui pemahaman mahasiswa.
4. Angket
Angket digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai respon mahasiswa
biologi UIN Walisongo dan UIN Sunan Kalijaga terhadap proses kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan lembar angket. Untuk mengetahui personal
religious of beliefs (PRB) dosen dilakukan dengan angket yang telah dikembangkan
peneliti. Instrumen PRB mengacu pada indikator Mansour (2008) dan dikembangkan
oleh peneliti.
5. Wawancara
Wawancara digunakan untuk mengetahui kesan mahasiswa Biologi UIN Walisongo
dan UIN Sunan Kalijaga terhadap penerapan perangkat pembelajaran dengan model
pembelajaran menggunakan model pembelajaran discovery berbasis Unity of Sciences
pada mahasiswa. Wawancara juga untuk mengetahui kesiapan dan kemampuan
dosen untuk implementasinya dengan unity of sciences selama pembelajaran Biologi
umum di kelas. Wawancara juga dilakukan pada mahasiswa untuk mengetahui PRB
mahasiswa dalam pembelajaran.
kuliah biologi umum tentang gagasan ilmu pengetahuan dan kompatibilitas Islam. Jika
mereka yang kompatibel, bagaimana kompatibilitas ini terorganisir dalam kehidupan
dosen sehari-hari menjadi penting untuk dipahami.
Dalam hal ini, wawancara dianalisis baik dalam kerangka tipologi berdasarkan
klasifikasi Barbour (2000) dengan pendekatan interpretif (persepsi dosen mengenai
pendidikan sains dan Islam). Kategorisasi ini didasarkan pada hubungan antara
pemahaman pengetahuan agama dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi mengenai
pengalaman mengajar biologi umum dan rekonsiliasi ini dengan keyakinan agama
seperti yang dinyatakan oleh Stolberg (2007).
Kategori pertama, konflik, jika anatara pengeahuan dan agama terpisah
(ilmuwan ateis). Kedua kelompok memiliki kesamaan keyakinan bahwa agama dan ilmu
pengetahuan adalah berbeda tetapi mentolerir satu sama lain dan tetap ad jarak.
Kategori ketiga, dialog, menyatakan bahwa ada kesamaan antara ilmu pengetahuan dan
agama. Keempat adalah integrasi yang mengklaim bahwa ada keterkaitan yang
sistematis dan ekstensif antara sains dan agama.
Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan bagian kategoris integrasi diklasifikasi
Barbour relefan seperti yang terdapat dalam implementasi unity of science yaitu
spiritualisasi ilmu-ilmu modern. Dalam rangka untuk mengeksplorasi hubungan antara
Islam dan ilmu pendidikan berikut pertanyaan yang dieksplorasi
a. Sejauh mana dosen biologi mengalami konflik antara keyakinan agama dan ilmu
pengatahuan? Jika mereka mempunyai pengalaman konflik, bagaimana
mereka mengatasinya?
b. Apakah Dosen berpikir bahwa agama dapat memecahkan masalah dalam isu-isu
ilmiah?
c. Apa pengalaman Dosen Biologi selama pembelajaran di kelas (baik mahasiswa
maupun dosen) mengenai hubungan antara Islam dan Biologi Umum?
d. Bagaimana Dosen Biologi mengkategorikan ilmu pengetahuan dan Islam dalam
kehidupan mereka?
Tabel 1. Latar belakang Dosen dan PRB
Respondent Experience (how Personal Religious Questions (Q)
long teaching and Beliefs (PRB)
educational
background)
R1 >20 y, Non Islamic Characteristics of Q1 N, Q2 Y
education Muslim science teachers Q3 fun, challenging
Q4 must be integrated
R2 >10 y, Non Islamic Religious view of Q1Y, Q2 Y/T
education teaching/learning Q3 hardship
science Q4 discussion,
can be integrated
R3 < 10 y, Islamic Religious view of Q1Y/N , Q2 Y
education teaching/learning Q3 challenging
science Q4 must be integrated
R4 <10 y, Non Islamic Personal interpretation Q1 Y, Q2 Y/T
education, of Q3 very hardship
religious view Q4 discussion, dialogue
R5 > 5 y, Islamic Characteristics of Q1 N, Q2 Y
education Muslim science teachers Q3 challenging
Q4 must be integrated
25 R25 14 14 14 12 12 12 78 high
26 R26 12 14 12 12 12 12 74 high
27 R27 13 11 12 12 14 12 74 high
28 R28 14 2 12 11 15 12 66 high
29 R29 11 15 12 14 11 12 75 high
30 R30 12 12 12 14 11 12 73 high
31 R31 12 14 12 14 11 12 75 high
32 R32 12 15 11 14 12 12 76 high
B 33 R33 12 12 12 12 14 12 74 high
erdasarkan hasil analisis data, ada pengaruh model implementasi pembelajaran
discovery berbasis unity of sciences terhadap pemahaman konsep tentang bioteknologi
dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Analisis uji hipotesis pertama, terdapat
perbedaan pemahaman konsep dasar mahasiswa biologi secara simultan antara
mahasiswa yang mengikuti model discovery learning berbasis unity of science dapat
mengembangkan sikap ilmiah dan pemahaman tentang konsep biologi umum dan
pemikiran kritis.
Tahap pertama, Stimulation Using Lokal Wisdom dengan memberikan pertanyaan
yang relevan dalam kehidupan, merangsang siswa untuk bisa berpikir dan mendorong
eksplorasi. Mendeskripsikan kejadian-kejadian atau permasalahan yang di lihat, ditemui
di lingkungan masyarakat. Mahasiswa diajak menggali Isu-isu yang berkembang terkait
konsep.
Tahap kedua, Problem statment dengan mengidentifikasi fenomena di sekitar yang
relevan (ayat kauniyah) yang sesuai dengan topik, Mahasiswa menemukan,
merumuskan masalah masalah mengacu kepada sumber belajar dan high order thinking
skills (HOTS), mahasiswa menetapkan hipótesis dan mahasiswa menyusun rencana
eksperimen dalam bentuk lembar kerja mahasiswa.
Tahap ketiga, Observation & Data collection. Mengembangkan keingintahuan
mahasiswa saat melakukan praktikum. Mahasiswa mengumpulkan berbagai informasi
yang relevan dan membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber.
mengumpulkan pendapat masyarakat, tokoh agama (misalnya; MUI), kajian kitab (tafsir
dan figih nya) terkait permasalahan dan konsep yang dipelajari.
Motivasi mahasiswa untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul.
Keterampilan berpikir kritis muncul dalam aktivitas eksperimental yang jujur dan
bertanggung jawab atas fakta yang ditemukan dalam percobaan. Siswa diharapkan
untuk menulis sesuai dengan yang diperoleh dalam percobaan. Kemampuan untuk
membedakan fakta dan opini akan muncul dalam kegiatan eksperimental. Tahap ini
adalah melatih siswa untuk menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan masalah,
sehingga tidak mudah untuk percaya pada sesuatu yang tidak pasti kebenarannya
(Roestiyah, 2001). Eksperimen juga melatih cooperasi di kalangan siswa. Melalui
eksperimen, orang tua bisa mengingatnya lebih lama, mendapatkan pengalaman belajar
secara langsung sehingga belajar menjadi makna-ful. Menurut Bruner pembelajaran
bermakna selanjutnya akan menanamkan lebih banyak memori pada diri siswa (Dahar,
1989; Budiningsih, 2005). Menyarankan metode perimental dapat meningkatkan
pembelajaran kognitif. interaksi antara siswa dalam kegiatan eksperimen dapat
mendorong siswa untuk lebih memperhatikan tujuan perhatiannya (Aunurrahman,
2009; Melani 2012).
Tahap keempat, Data Processing. Mahasiswa mengolah data, menganalisis hasil
dan menginformaskan hasil ekperimen yang telah diperoleh dengan pembahasan
berdasarkan antara data, fakta, teori dan temuan-temuan terbaru (jurnal dan paper).
Mahasiswa mendiskusikan data yang diperoleh secara kelompok.
jawaban sementara dan pendapat yang muncul. Keterampilan berpikir kritis juga
muncul karena beragam pendapat, gagasan, umpan balik atau kritik yang terjadi saat
diskusi di tahap pengolahan dan interpretasi data dan tahap verifikasi. Kemampuan
berpikir kritis terhadap temuan yang dihasilkan dari eksperimen dalam tahap
pengumpulan data. Keterampilan berpikir kritis seperti ini jarang terjadi pada model
pengajaran langsung. Berbasis unity of sciences, mahasiswa dapat lebih meningkatkan
kepercayaan agamanya dengan menerapkan konsep dasar biologi yang dipahami dari
Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mahasiswa belajar lebih bermakna
(Mansour N, 2008, 2009).
Analisis wawancara bersama dengan observasi kelas mengungkapkan bahwa
Keyakinan tentang peran dosen, pengetahuan dan metode pengajaran yang sangat
dibentuk oleh PBR berasal dari nilai-nilai yang melekat dalam agama.
Peeniliti juga mencatat bahwa pengalaman mengajar dibangun melalui interaksi
dengan lingkungan 'konteks sosial' dan dapat dimodifikasi oleh pengalaman pribadi
dosen. PBR mempengaruhi cara memandang dalam implementasi dalam pembelajaran.
Setiap Dosen memahami PBR dengan penafsiran dalam membentuk pengalaman
berbeda satu dengan yang lain. Namun, dosen juga mempunyai keyakinan tentang diri
mereka sendiri, tentang hakikat ilmu, integrasi mengajar biologi umum. Konteks sosial
di mana dosen tinggal dan ingkungan sekolah dimana mereka belajar juga membentuk
pengalaman setiap dosen. Penelitian ini juga didukung gagasan bahwa pengalaman
hidup guru dan latar belakang berpengaruh kepada apa yang mereka percaya, cara
mereka menafsirkan dan berinteraksi dengan konteks sosial mereka dan akibatnya cara
mereka mengajar (Cole, 1990; Tsai, 2002).
Kendala yang mereka hadapi adalah untuk implementasikan unity of science
dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh ketika belajar, karena wawasan dan
pengetahuan agama yang dirasa kurang mencukupi.
Selain itu, beberapa dosen mempunyai penafsiran yang agak berbeda tentang unity
of science. Menurut mereka bentuk integrasi keilmuan tidak selamanya selalu antara
agama dan pengetahuan sendiri. Tetapi bentuk integrasi dapat berupa ilmu biologi
dengan ilmu-ilmu yang lain (integrated science).
Interpretasi dosen tidak hanya cukup dibentuk atau disosialisasikan oleh
pengalaman hidup dosen, tetapi juga oleh keyakinan agama sebelumnya dan
pengalaman dosen. Hasil dari penelitian bahwa pengalaman dosen dibentuk dari latar
belakang pendidikan dosen, dan melalui interpretasi dari pengalaman. Keyakinan yang
terbangun pada dosen digunakan secara langsung untuk pengajaran mereka di kelas.
Keyakinan pribadi yang ada menjadi konstruksi psikologis yang menggambarkan
pribadi dari pemikiran dosen, pada gilirannya mempengaruhi dosen
menginterpretasikan pengalaman dan tindakan (Richardson, 2003).
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini adalah model pembelajaran discovery berbasis unity of sciences
mempengaruhi pemahaman umum konsep bioteknologi dan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa. Terdapat perbedaan nilai keterampilan berpikir kritis. Berdasarkan temuan
dalam penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran: (1) model implementasi
pembelajaran discovery berbasis unity of sciences dapat digunakan sebagai model
pembelajaran di kelas, terutama dalam pengajaran biologi dasar untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis (2) penerapan model pembelajaran discovery berbasis unity
of sciences harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sesuai prosedur serta
persiapan fakultas dan mahasiswa untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Model ini cocok untuk memenuhi kebutuhan dalam mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan PBR pada mahasiswa dalam memahami sains dan PRB.
Agama mengatakan bahwa tidak ada keraguan bahwa Islam mendorong untuk
memperoleh pengetahuan. Islam datang untuk mendidik dan memberi manfaat bagi
kehidupan masyarakat. Dalam Al Qur'an (58:11): Allah berjanji untuk mengangkat
derajat yang berpengetahuan luas.
REFERENSI
Amin Abdullah, dkk (2003), Menyatukan Kembali Ilmu-IImu Agama dan
Umum,Yogyakarta: SUKA Press.
Anders Kluge.2011. Design and Science Discovery Learning in the Future Classroom,
Universite TSF forlaget, Nordic Journal of Digital Literacy: VOL 6. 2011, NR 03, 157-
173
Arsyad, Azhar dkk. (2009). Membangun Universitas menuju Peradaban Islam Modern.
Makassar: Alauddin Press
Aydın, H. (2005). I˙slam Du¨s¸u¨nce Geleneg˘inde Din, Felsefe ve Bilim. [Religious
philosophy, and science in Islamic thought]. Ankara: Naturel Publications.
Aydın, H. (2009). Postmodern C¸ ag˘da I˙slam ve Bilim [Islam and science in postmodern
age]. I˙stanbul: Bilimve Gelecek Publications.
Barbour, I. G. (2000). When science meets religion: Enemies, strangers, or partners? San
Francisco: Harper.BAV (Scientific Research Foundation). (2006). Retrieved June
22, 2006, from http://www.bilimarastirmavakfi.
org/bav_dunyada_darwinizm.html.
Budiningsih. 2005. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning), Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013
Bruckman, A.(1997). Moose Crossing: Construction, community, and learning in a
networked virtual world for kids (Doctoral dissertation, Massachusetts Institute of
Technology). Retrieved from http://www.static.cc.gatech.edu/~asb/thesis/
Cole, A.L. (1990). Personal theories of teaching: Development in the formative years. The
Alberta Journal of Educational Research, 36(3), 203–222.
Drever, E. (2003). Using semi-structured interviews in small-scale research: A teacher’s
guide. The SCRE Centre: University of Glasgow.
Dracup Mary. 2012. Designing online role plays with a focus on story development to
support engagement and critical learning for higher education students. Journal of
Learning Design Vol.5
Erickson, F. (2003). Qualitative research methods for science education. In B. J. Fraser &
K. G. Tobin (Eds.), International handbook of science education (pp. 1155–1174).
Boston: Kluwer Academic Publishers.
Houston, C. (2006). The never ending dance: Islamism, Kemalism, and the power of self-
institution inTurkey. The Australian Journal of Anthropology, 17, 161–178.
doi:10.1111/j.1835-9310.2006. tb00055.x.
Jeanne Ting Chowning, Joan Carlton Griswold, Dina N. Kovarik, Laura J. Collins. 2012
Fostering Critical Thinking, Reasoning, and Argumentation Skills through Bioethics
Education, PLoS ONE
Mahner, M., & Bunge, M. (1996). Is religious education compatible with science
education? Science & Education, 5, 102–123. doi:10.1007/BF00428612.
Mansour, N. (2008). The Experiences and Personal Religious Beliefs of Egyptian Science
Teachers as a Framework for Understanding the Shaping and Reshaping of their
Beliefs and Practices about Science-Technology-Society (STS). International
Journal of Science Education Vol. 30, No. 12, 5 October 2008, pp. 1605–1634. DOI:
10.1080/09500690701463303
Mansour, N.2009. Science Teachers’ Beliefs and Practices: Issues, Implications and
Research Agenda, International Journal of Environmental & Science Education Vol.
4, No. 1: 25-48
Mansour, N. (2010). Science teachers’ interpretations of Islamic culture related to
science education versus the Islamic epistemology and ontology of science.
Cultural Studies in Science Education, 5, 127–140. DOI:10.1007/s11422-009-
9214-5.
Mansour, N. (2011). Science teachers’ views of science and religion vs. the Islamic
perspective: Conflicting or compatible? Science Education, 9(2), 281–309
Muhyar (2012), Integrasi Sains dan Agama (Strategi Konvensi IAIN Walisongo Menjadi
UIN Walisongo), Semarang: Seminar Nasional
Powers, J. M., & Cookson, P. W. Jr.(1999). The politics of school choice research.
Educational Policy, 13(1), 104-122. doi:10.1177/0895904899131009
Richardson, V. (2003). Pre-service teachers’ beliefs. In J. Raths, & A. McAninch (Eds.),
Teacher Beliefs and Classroom Performance: the impact of teacher education (pp. 1–
22). USA: Information Age Publishing Inc.
Russell A .2008. Theology in Ecological Perspective: An Interdisciplinary, Inquiry-Based
Experiment, Teaching Theology and Religion, vol. 11 no. 1, pp 42–53.
Shirly A Vargil. Orit Herscovitz. 2012. Yeduhit Judy Dori. Teaching Thinking Skills in
Context-Based Learning: Teachers’ Challenges and Assessment Knowledge. J Sci Educ
Technol, vol 21:207–225
Stolberg, T. (2007). The religio-scientific frameworks of pre-service primary teachers:
An analysis of their influence of their teaching of science. International Journal of
Science Education, 29(7), 909–930. doi:10.1080/09500690600924934.
Smith, M.U (2013). The Role of Authority in Science and Religion with Implications for
Science Teaching and Learning. Journal Sci & Educ (2013) 22:605–634 DOI
10.1007/s11191-012-9469-1
Taskın. O. 2014. An exploratory examination of Islamic values in science education:
Islamization of science teaching and learning via constructivism. Cult Stud of Sci
Educ 9:855–875
Tsai. C. 2002. Nested epistemologies: science teachers’ beliefs of teaching, learning and
science. International Journal of Science Education, 24(8), 771-783.
Widiadnyana I W., Sadia I W., Suastra I W. 2014. Pengaruh Model Discovery Learning
Terhadap Pemahaman Konsep IPA dan Sikap Ilmiah Siswa SMP, e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA (Volume 4 Tahun
2014)
Abstrak
Upaya pengembangan modul biologi berbasis kearifan lokal masih belum banyak digunakan
dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu sekolah yang belum menggunakan modul mata
pelajaran biologi yang berbasis kearifan lokal ialah SMA Negeri 16 Semarang.SMA Negeri 16
Semarang pada tahun 2016 telah memperoleh penghargaan sebagai sekolah Adiwiyata, yaitu
sekolah yang mampu menerapkan kepedulian terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya.
Oleh karenanya sebagai sekolah berwawasan kepedulian terhadap lingkungan diperlukan
adanya modul pembelajaran biologi berbasis kearifan lokal sekitar untuk dapat diterapkan
dalam lingkungan sekolah. Salah satu upaya mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan
pengembangan modul ekosistem berbasis kearifan lokal di Kawasan Wisata Goa Kreo. Dari
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber belajar peserta didik, mampu memberikan
nilai-nilai kearifan lokal kepada peserta didik, serta sebagai upaya menjaga kelestarian tradisi
alam sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan modul materi ekosistem
yang telah dikembangkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode Research and Development,
mengacu pada model 4-D (define, design, develop, dan dessiminate) Thiagarajan. Hasil
pengembangan sangat layak digunakan delam pembelajaran, hal tersebut berdasarkan pada
penilaian kualitas modul oleh ahli materi dengan presentase sebesar 84,54%, ahli modul
dengan presentase sebesar 93.34%, guru mata pelajaran biologi dengan presentase sebesar
90,23%, dan menurut tanggapan peserta didik dengan presentase sebesar 97,2%.
Berdasarkan penilaian tersebut maka modul yang dikembangkan sangat layak untuk
digunakan.
Kata Kunci : Pengambangan Modul, Goa Kreo, Bahan Ajar, Materi Ekosistem
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan, sejumlah pakar
menyatakan bahwa lembaga pendidikan dengan berbagai jenis jenjangnya berperan
sebagai pusat pembudayaan (Alwasilah, Suryadi & Karsono, 2009: 53) yaitu proses
untuk menempatkan budaya sebagai visi dan misi proses pendidikan sehingga potensi
seseorang untuk belajar dan menyesuaikan pikiran dan sikap terhadap adat, serta
sistem norma budayannya berkembang dengan baik (Koenjtaraningrat, 2010: 146).
Melalui proses tersebut diharapkan peserta didik mempunyai beberapa karakter yang
sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal. Nilai-nilai lokal yang terbentuk seharusnya
dipertimbangkan untuk memperkaya praktis pendidikan (Halim, 2014: 5).
Keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Dengan
kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu
mendapatkan perhatian secara khusus bagi pemerintah daerah sehingga anak-anak
tidak asing dengan daerahnya sendiri. Salah satu keunggulan lokal di Semarang adalah
adaya Kwasan Wisata Goa Kreo. Goa Kreo merupakan tempat wisata yang yang terletak
di Dukuh Talun Kacang, Desa Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang. Kawasan
wisata ini merupakan salah satu ekosistem perbukitan yang memiliki luas seluruhnya
sekitar 20 hektar. Goa Kreo memiliki legenda goa yang dipercaya sebagai petilasan
Sunan Kalijaga saat mencari kayu jati untuk membangun Masjid Agung Demak . Ketika
itu menurut legenda Sunan Kalijaga bertemu dengan sekawanan kera yang kemudian
disuruh menjaga kayu jati tersebut. Kata “Kreo” berasal dari kata Mangreho yang berarti
peliharalah atau jagalah. Kata inilah yang kemudian menjadikan goa ini disebut Goa
Kreo dan sejak itu kawanan kera yang menghuni kawasan ini dianggap sebagai
penunggu (www.seputarsemarang.com, diakses 22 Oktober 2016). Spesies monyet yang
menghuni tempat ini adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jumlahnya
sekitar 400 ekor (www.goa-wadukjatibarang.blogspot.com, diakses 22 Oktober 2016).
Keunikan kawasan wisata Goa Kreo selain adanya populasi monyet yang hidup di
daerah tersebut juga adanya waduk jatibarang yang dibangun oleh pemerintah. Waduk
ini berfungsi sebagai pengendali banjir, menjaga ketersediaan air minum
dengan kapasitas 2,4 liter/detik, dan sebagai energi pembangkit listrik sebesar 1,5
megawatt (Kasno, wawancara 20 Oktober 2016).
Masyarakat yang tinggal di sekitar Goa Kreo dikenal sebagai msyarakat Kandri.
Kearifan lokal masyarakat Kandri telah membentuk ekosistem yang unik di Goa Kreo.
Masyarakat kandri sampai saat ini masih mempertahankan kebiasaan tradisi Nyadran,
Nyadran Goa, Nyadran Kubur, Dan Nyadran Kreo. Dengan adanya kawasan ini maka
terciptalah wisata alam dan wisata sejarah sebagai objek kajian pendidikan untuk lebih
mengenal Goa Kreo sebagai aset wisata yang memiliki nilai-nilai luhur yang terkandung
didalamnya.
Keterkaitan isi pembelajaran biologi dengan sumber daya alam yang dimiliki
kawasan Wisata Goa Kreo serta masyarakat Kandri menjadi nilai yang sangat kuat
dalam memperkaya pembendaharaan ilmu biologi berbasis kearifan lokal. Salah satu
materi biologi yang dapat digunakan untuk memperpadukan biologi dengan nilai-nilai
lokal adalah materi ekotistem. Salah satu upaya untuk menerapkan nilai-nilai kearifan
lokal dalam pembelajaran biologi di sekolah adalah dengan melalui pengembangan
modul yang berbasis pada kearifan lokal sekitar. Upaya pengembangan modul biologi
berbasis kearifan lokal masih belum banyak digunakan dalam pembelajaran di sekolah.
Salah satu sekolah yang belum menggunakan modul mata pelajaran biologi yang
berbasis kearifan lokal ialah SMA Negeri 16 Semarang. upaya mewujudkan hal tersebut,
maka diperlukan pengembangan modul ekosistem berbasis kearifan lokal yang ada di
wilayah Semarang sangat diperlukan, salah satunya dengan mengangkat judul
penelitian “Pengembangan Modul Pembelajaran Biologi Berbasis Kearifan Lokal
Di Kawasan Wisata Goa Kreo Pada Materi Ekosistem Kelas X SMA Negeri 16
Semarang”.
METODE PENELITIAN
Jenis peneitian ini adalah penelitian research and development (R & D). Penelitian ini
menggunakan model pengembangan Thiagarajan 4D yaitu define, design, development,
dan disseminate. Tahap define merupakan tahap untuk menetapkan kebutuhan
pembelajaran untuk peserta didik (Sugiyono, 2015: 63). Tahap define terdiri dari
analisis ujung depan, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis konsep, dan
perumusan tujuan pembelajaran (Trianto, 2010: 190).
Analisis ujung depan bertujuan untuk menetapkan masalah dasar yang dihadapi
sehingga diperoleh pengembangan alternatif yang relevan untuk memecahkan masalah
dasar yang dihadapi. Analisis peserta didik bertujuan untuk menetapkan kebutuhan
peserta didik terhadappembelajaran sehingga diperoleh hasil pengembangan yang
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Analisis tugas bertujuan untuk menetapkan
tugas yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Analisis konsep untuk menetapkan
konsep produk yang akan dikembangkan. Perumusan tujuan pembelajaran bertujuan
untuk menetapkan indikator atau tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran
menggunkan produk yang dikembangkan (Trianto, 2010: 190-192).
sebagai alat ukur efektivitas modul pembelajaran biologi berbasis kearifan lokal di
kawasan wiata Goa Kreo pada materi ekosistem kelas X SMA N 16 Semarang.
Tahap development merupakan tahap pengembangan modul secara lebih rinci, pada
tahap ini modul akan melalui uji validasi oleh para ahli, dan uji lapangan. Hasil validasi
pada rancangan awal terlebih dahulu diuji pada pakar ahli sesuai dengan bidang yang
berkaitan dengan modul dan materi yang dikembangkan. Ahli materi menyoroti tentang
kandungan dan isi modul, sedangkan ahli modul menyoroti tentang tampilan, dan desain
modul.
Hasil uji kelayakan oleh pakar ahli terhadap rancangan awal modul terdapat
masukan yang disampaikan yaitu Perlu penjelasan bagaimana asal pembuatan piramida
makanan (yaitu dari rantai makanan dan jaring-jaring makanan). Perlu penjelasan apa
itu karbon? (unsur utama penyusun tubuh makhluk hidup) , disarankan, gambar tidak
berbahasa inggris, Konten lokal dalam modul harus dikaitkan dengan nilai-nilai karakter
terkait dengan “Unity of Science”, Penilaian harus mengembangkan 3 ranah yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotorik, KD pada aspek keterampilan juga harus ditampilkan
sebagai satu kesatuan dari KD pengetahuan, Referensi atau rujukan pustaka yang belum
lengkap. Hasil penilaian ahli materi diperoleh sebesar 84,54% dengan kategori sangat
layak digunakan. Dan hasil penialaian ahli modul sebesar 93,34% dengan kategori
sangat layak digunakan.
Penilaian modul yang dikembangkan selain dari ahli materi dan ahli modul juga
berdasarkan penilaian guru mata pelajaran biologi di SMA Negeri 16 Semarang.
Masukan yang diberikan oleh guru yaitu dalam modul juga diperlukan adanya kegiatan
peserta didik yang di Goa Kreo sehingga materi yang didapat tidak hanya dari modul
yang diberikan seperti yang terdapat dalam lampiran 16. Hasil penilaian guru mata
pelajaran diperoleh sebesar 90,23% dengan kategori sangat layak digunakan.
Tahap Development selanjutnya merupakan uji lapangan, penelitian dilakukan uji
lapangan lingkup terbatas, dan uji operasional (uji lingkup lebih luas). Uji lapangan
lingkup terbatas dilakukan kepada 10 peserta didik. Uji lingkup terbatas menggunakan
angket penilaian. Hasil tanggapan peserta didik dapat dilihat pada lampiran 17.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa modul materi ekosistem yang
berbasis pada kearifan lokal di Goa Kreo yang dikembangkan memiliki kriteria sebesar
97,27% sehingga dapat dikategorikan sangat layak digunakan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan modul yang dikembangkan dapat
dikatakan sangat layak digunakan dalam pembelajaran dan berhasil pada materi
ekosistem.
KESIMPULAN
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan modul yang dikembangkan dapat
dikatakan sangat layak digunakan dalam pembelajaran berdasarkan penilaian ahli
media, ahli materi, guru biologi, dan peserta didik SMA Negeri 16 Semarang.
REFERENSI
Alwasilah, Suryadi dan karyono. 2009. Etnopedagogi :Landasan Praktek Pendidikan dan
Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Halim, Abdul. 2014. Pendidikan Berwawasan Lingkungan Berbasis Nilai Kearifan Lokal
(Studi Kasus Ritual “Among Tani” Di Legoksari Tlogomulyo Temanggung).
Semarang : LP2M UIN Walisongo Semarang
Koentjaraningrat. 2010. Pengantar Antropologi I. Jakarta :Rineka Cipta
Abstrak
Etnosains merupakan pengetahuan di masyarakat bersifat tradisional dan turun-temurun yang
dimiliki oleh suatu bangsa. Etnosains merekontruksi pengetahuan masyarakat berupa keunikan
budaya lokal yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan. Pengintegrasian
etnosains dalam kegiatan pembelajaran IPA menjadikan pembelajaran IPA menjadi lebih konkrit,
aktual dan kontekstual bagi siswa. Pembelajaran berbasis etnosains bertujuan untuk
memperkenalkan siswa mengenai fakta yang telah berkembang di suatu masyarakat yang
kemudian dikaitkan dengan materi pembelajaran. Etnosains yang dapat diintegrasikan dengan
mengembangkan pembelajaran IPA KD 3.7 Mendeskripsikan hubungan antara sumber daya alam
dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat yaitu mengenai analisis biodiversitas hewan dan
tumbuhan hijau di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Artikel ini mengkaji penerapan etnosains
pada pembelajaran IPA. Artikel ini berupa kajian pustaka melalui berbagai referensi yang
berkaitan. Implementasi integrasi pembelajaran berbasis etnosains ini diharapkan mampu
memberikan pembelajaran bermakna dan menjadikan siswa SD menjadi lebih aktif dikarenakan
mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijumpai siswa dalam menjalankan kehidupannya
sehari hari. Etnosains dapat diintegrasikan dalam pembelajaran IPA dengan berbagai tema
pembelajaran. Bentuk etnosains akan lebih mudah diidentifikasi melalui proses pembelajaran,
pemetaan tema pembelajaran dengan menelaah Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD) dan
melalui penilaian pembelajaran. Pengintegrasian etnosains perlu dipertimbangkan untuk
mengintegrasikan nilai-nilai etnosains dalam kegiatan pembelajaran.
PENDAHULUAN
Mutu pendidikan IPA di Indonesia bisa dikatakan masih rendah. Indikator yang
digunakan untuk menunjukkan rendahnya mutu pendidikan IPA adalah laporan United
Nation Development Project (UNDP) yang menunjukkan bahwa Human Development
Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat ke 110 diantara berbagai Negara di dunia
(Hinduan dalam Wuryastuti (2008). Permasalahan pembelajaran IPA yang ada di
lapangan disebabkan karena proses pembelajaran di sekolah belum memberikan
kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas. Selama ini siswa hanya
menghafal berbagai konsep tanpa disertai pemahaman dan bahan ajar yang digunakan
masih terlepas dari permasalahan yang timbul di masyarakat, selain itu pelajaran IPA
disampaikan secara konvensional berpusat pada guru.
Pembelajaran IPA yang berpusat pada guru ini menyebabkan hanya aspek
kognitif siswa yang berkembang. Menurut Farida (2014) mengemukakan bahwa
pembelajaran yang hanya berpusat pada guru mengakibatkan kemampuan berpikir dan
komunikasi siswa kurang terlatih, sehingga dibutuhkan kegiatan pembelajaran yang
bermakna bagi siswa dengan menginternalisasikan pengetahuan yang bersifat konkrit,
aktual dan kontekstual. Kegiatan pembelajaran IPA yang konkrit, aktual dan kontekstual
ini dapat dilakukan melalui inovasi pembelajaran yang bermakna bagi siswa dengan
mengintegrasikan budaya lokal atau etnosains dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang berbasis etnosains dirancang untuk melatih siswa membangun
komunikasi dan penghormatan kepada masyarakat serta menjadikan IPA tidak menjadi
hal yang asing lagi bagi siswa karena pembelajaran IPA dapat diketahui, dijumpai,
dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
METODE
Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data diantaranya adalah:
studi kepustakaan, serta pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas oleh penulis dalam artikel ini.
PEMBAHASAN
Etnosains merekontruksi pengetahuan masyarakat yang berupa keunikan
budaya lokal yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan seperti
kesehatan, pangan dan pengolahan pangan serta konservasi tanah. Menurut
Mahendrani, (2005) etnosains adalah suatu kepercayaan masyarakat daerah tertentu
yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadi sains yang kebenarannya dapat
dikaji secara ilmiah.
Kebudayaan lokal sering dianggap tidak ilmiah, tidak atau belum bisa dijelaskan
secara kuantitatif (terukur oleh metode penelitian), walaupun fakta mencatat bahwa
kebudayaan lokal manfaatnya sering mengatasi persoalan masyarakat sehari-hari
(Soedjito dan Sukara, 2006). Kajian ilmiah kebudayaan lokal yang ada di masyarakat
mampu mempermudah guru dan siswa dalam proses pembelajaran karena kebudayaan
lokal merupakan hal yang dialami dan ditemui oleh guru dan siswa pada kehidupan
sehari-hari.
Jenis pangan yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat dipengaruhi oleh tiga
variabel utama yaitu fisiologis, ekologi dan budaya. Variabel fisiologi menerangkan
bahwa pangan yang berasal dari hewan maupun tumbuhan secara alami tidak dapat
dikonsumsi dan dicerna oleh manusia; variabel ekologi menerangkan bahwa
ketersediaan pangan sangat ditentukan pada faktor tempat, dimana hewan dan
tumbuhan tertentu hanya dapat hidup berkembang dan variabel budaya membatasi
pangan yang dapat dikonsumsi atau tidak .
Sistem produksi pangan masyarakat dapat terpenuhi karena adanya
biodiversitas tumbuhan dan hewan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan
pangan. Setiap daerah di Indonesia teridentifIkasi memiliki sumber bahan pangan
spesifik lokal, sebagai contoh sebagian besar masyarakat Gunung Kidul Yogyakarta telah
mengkonsumsi belalang sebagai lauk pauk. Selama ini belalang hanya dimanfaatkan
sebagai makanan khas yang dikonsumsi dengan cara digoreng oleh masyarakat Gunung
Kidul bahkan, namun di daerah lain belalang dianggap sebagai serangga dianggap
sebagai serangga yang merugikan. Ulat sagu juga sering dikonsumsi dan digemari oleh
masyarakat Ambon karena rasanya yang manis, lunak dan lezat (Meilin, 2016). Berbeda
dengan tradisi masyarakat Kudus yang enggan menyembelih dan memakan daging sapi
sebagai bentuk wujud toleransi Sunan Kudus yang diikuti oleh para pengikutnya kepada
keyakinan masyarakat pemeluk Hindu-Budha pada waktu itu.
Pemenuhan produksi pangan yang khas juga dimiliki masyarakat Papua yang
memanfaatkan sumber pangan lokal talas, sagu, ubi jalar, gembili, dan jawawut yang
berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Pemanfaatan pangan lokal seperti sagu dan
umbi-umbian sebagai sumber pangan utama di Papua sudah berlangsung secara turun-
temurun. Sagu dikonsumsi sebagai menu sehari-hari dalam bentuk papeda basah
maupun papeda kering/bungkus. Pemanfaatan pangan lokal Papua sebagai sumber
pangan alternatif disajikan pada pada tabel 1:
Gembili, sagu dan belalang yang merupakan sumber makanan lokal ini merupakan
etnosains biodiversitas tumbuhan dan hewan bagi masyarakat yang dapat digunakan
sebagai analisis kajian yang membantu siswa dalam memahami pembelajaran mengenai
cara makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan mengolah kekayaan
lokal menjadi makanan bergizi.
Implementasi integrasi pembelajaran berbasis etnosains ini diharapkan mampu
memberikan pembelajaran bermakna dan menjadikan siswa SD menjadi lebih aktif
dikarenakan mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijumpai siswa dalam
menjalankan kehidupannya sehari hari. Berdasarkan keterkaitan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan lokal yang dimiliki suatu daerah, ditemukan adanya penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan implementasi pembelajaran yang diintegrasikan dengan
etnosains yang disajikan dalam tabel 2 :
Tabel 2. Penelitian sebelumnya tentang Integrasi Etnosains dalam Pembelajaran
Budaya
No Judul Artikel, Nama Peneliti Sains
Masyarakat
1 IPA Biologi Terintegrasi Subak Klasifikasi tumbuhan
Etnosains Subak untuk Siswa bermanfaat, Konservasi
SMP: Analisis tentang ekosistem sawah,
Pengetahuan Trdisonal Pengendalian hama dan
(Etnosains) Subak yang dapat penyakit tumbuhan
Diintegrasikan dengan Materi tradisional, Bioteknologi
Biologi SMP (I Made Sudiana konvensional
dan I Ketut Surata)
2 Keefektifan Lembar Kerja Pembuatan Bioteknologi
Siswa (LKS) Berbasis tape dan brem
Etnosains pada Materi
Bioteknologi untuk
Melatihkan Keterampilan
Proses Sains siswa Kelas IX
(Mayang Idrawati, Ahmad
Qosyim)
3 Media Pembelajaran Interaktif Pembuatan Konsep difusi osmosis
Berbasis Etnosains untuk telur asin
Mengembangkan Kemampuan daerah Brebes
Literasi Sains Siswa pada
Materi Difusi Osmosis
(Lakhaula Sahrotul Aulia dan
Arif Misrulloh)
4 Inovasi penggunaan Mind Map Ular tangga Sistem tata surya dan
dengan Bantuan Ular Tangga berbasis lapisan bumi
Berbasis Etnosains pada kebudayaan
Materi Tata Surya Di SMP masyarakat
(Davit Noviasari dan Tariza
Fairuz)
PENUTUP
Kegiatan pembelajaran IPA yang selama ini hanya dilakukan dengan mnghafal berbagai
konsep tanpa disertai pemahaman serta bahan ajar yang digunakan masih terlepas dari
permasalahan yang ada di masyarakat kini dapat diatasi melalui integrasi nilai budaya
REFERENSI
Aulia Lakhaula Sahrotul dan Arif Misrulloh. 2017. Media Pembelajaran Interaktif
Berbasis Etnosains untuk Mengembangkan Kemampuan Literasi Sains Siswa pada
Materi Difusi Osmosis. Proceeding Seminar Nasional IPA VIII “Inovasi Penelitian
dan Pembelajaran IPA Berwawasan Konservasi”. UNNES
Farida, I., & Gusniarti, W. F. 2014. Profil Keterampilan Argumentasi Siswa Pada Konsep
Koloid yang Dikembangkan melalui Pembelajaran Inkuiri Argumentatif. Edusains,
6 (1), hlm.32-40.
¹Indrawati, Mayang dan Ahmad Qosyim. Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis
Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains
siswa Kelas IX. E-Jurnal Unesa
²Indrawati, Mayang dan Ahmad Qosyim. Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis
Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains
siswa Kelas IX. E-Jurnal Unesa
³Indrawati, Mayang dan Ahmad Qosyim. Keefektifan Lembar Kerja Siswa (LKS) Berbasis
Etnosains pada Materi Bioteknologi untuk Melatihkan Keterampilan Proses Sains
siswa Kelas IX. E-Jurnal Unesa
Mahendrani, K., Sudarmin. 2015. Pengembangan Booklet Etnosains Fotografi Tema
Ekosistem untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa SMP. Unnes Science
Education Jurnal. 4 (2): 865-872
Meilin, Araz dan Nasamsir. 2016. Serangga dan Peranannya dalam Bidang Pertanian dan
Kehidupan. Jurnal Media Pertanian Vol. 1 No. 1 Tahun 2016 Hal. 18 – 28
Nisa`,A., Sudarmin, Salmini 2015. Efektivitas Penggunaan Modul Terintegrasi Etnosains
Dalam Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa.
Unnes Science Education Journal. vol. 4, no. 3. pp.1049-1056.
Noviasari Davit, dan Tariza Fairuz. 2017. Inovasi penggunaan Mind Map dengan Bantuan
Ular Tangga Berbasis Etnosains pada Materi Tata Surya Di SMP. Proceeding
Seminar Nasional IPA VIII “Inovasi Penelitian dan Pembelajaran IPA Berwawasan
Konservasi”. UNNES
Rauf, A. Wahid dan Martina Sri Lestari. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal
Sebagai Sumber Pangan Alternatif Di Papua. Jurnal Litbang Pertanian, 28 (2),
2009
Sardiyo, 2005. Pembelajaran Berbasis Budaya Model Inovasi Pembelajaran dan
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurnal Pendidikan. Vol.6, No.2
(2005), 83-98
Soedjito, H. dan E. Sukara. 2006. Mengilmiahkan pengetahuan Tradisional: Sumber Ilmu
Masa Depan Indonesia dalam Kearifan Tradisonal dan Cagar Biosfer Di Indonesia.
Komite Nasional MAB LIPI, Jakarta
Sudiana, I Made dan I Ketut Surata. 2010. IPA Biologi Terintegrasi Etnosains Subak untuk
Siswa SMP: Analisis Tentang Pengetahuan Tradisional (Etnosains) Subak yang
dapat Diintegrasikan dengan Materi Biologi SMP. Suluh Pendidikan, 2010, 8 (2):
43-51
Wuryastuti, Sri. 2008. Inovasi Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jurnal, Pendidikan
Dasar Nomor: 9 – April 2008
Abstrak
Gambaran jaringan hewan yang baik, jelas, dan representatif sangat diperlukan dalam
menjelaskan materi Histologi. Sumber belajar histologi menjadi panduan yang sangat
diharapkan dapat membantu menjelaskan gambaran jaringan dengan lebih nyata. Booklet
merupakan salah satu bentuk sumber belajar yang relatif praktis, dan dapat menyajikan
informasi berupa gambar dan teks. Booklet histologi yang dibuat berdasar hasil riset masih
belum banyak disusun. Pengembangan Booklet Efek Boraks terhadap Organ Pencernaan
sebagai Sumber Belajar Histologi, telah dilakukan. Hasil riset berupa gambaran histologi
organ pencernaan akibat terpapar boraks dikembangkan dalam bentuk booklet sebagai
sumber belajar. Hasil pengembangan tersebut diharapkan dapat menambah alternatif sumber
belajar yang bersifat praktis, informatif, efektif, dan menarik untuk digunakan.Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui kelayakan booklet efek boraks terhadap organ pencernaan
yang dapat digunakan sebagai sumber belajar histologi oleh mahasiswa biologi dan
pendidikan biologi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Research and Development
(R&D). Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dari langkah-
langkah penelitian dan pengembangan yang dikemukakan oleh Sugiyono (2015). Prosedur
penelitian dan pengembangan yang digunakan meliputi: potensi dan masalah, pengumpulan
data, desain booklet, validasi booklet, revisi desain booklet, uji coba booklet, dan revisi
booklet setelah diuji coba. Booklet yang didesain berjudul “efek boraks terhadap organ
pencernaan kajian mendalam pada gaster, duodenum dan hepar tikus wistar (Rattus
novergicus)”. Berdasarkan penilaian dari ahli materi diperoleh prosentase nilai sebesar
73,7%, dan ahli media diperoleh prosentase nilai sebesar 78,7% yang artinya booklet layak
digunakan. Hasil penilaian dari pengguna diperoleh prosentase nilai sebesar 84,8% yang
artinya booklet sangat layak untuk digunakan.
PENDAHULUAN
Histologi merupakan ilmu yang mempelajari jaringan tubuh. Histologi mencakup
semua aspek biologi jaringan tubuh yang terfokus pada struktur sel, susunan, dan
mekanisme kerja jaringan dalam mengoptimalkan fungsi yang spesifik untuk setiap
organ. Kajian struktur dan fungsi jaringan dalam sistem organ yang terkait dengan
histologi dari organ yang terpapar bahan adiktif tertentu merupakan salah satu aspek
materi aplikasi histologi di bidang kesehatan. Sajian gambar dan analisis perubahan
histologinya diperlukan untuk membantu mahasiswa memahami materi jaringan
penyusun organ pada hewan dengan lebih mudah.
Salah satu contoh dari aplikasi mata kuliah histologi di bidang kesehatan adalah efek
bahaya boraks terhadap jaringan organ pencernaan. Boraks merupakan bahan adiktif
yang sebenarnya tidak disarankan untuk campuran produk makanan. Boraks
merupakan jenis bahan tambahan yang dilarang penggunaannya untuk makanan
berdasarkan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 (SIKerNas, 2011).
Boraks di dalam tubuh terdapat sebagai asam borat. Garam borat atau Natrium
tetraborat dalam pH fisiologis akan diubah menjadi asam borat yang tidak terionisasi.
Asam borat dan garam borat memiliki sifat toksik yang mirip. Efek negatif yang
ditimbulkan dari konsumsi boraks dalam jumlah sedikit tidak terlihat secara langsung,
tetapi bersifat jangka panjang (Alsuhendra dan Ridawati,2013). Organ tubuh yang
rentan terhadap bahaya boraks adalah organ pencernaan. Boraks mengakibatkan
disfungsi pada gastrointestinal dan hati. Disfungsi gastrointestinal oleh boraks
diakibatkan dari terjadinya iritasi berupa deskuamasi, erosi, dan ulserasi pada lapisan
mukosa gastrointestinal. Disfungsi hati dapat terjadi akibat fibrosis (Masfufah, 2017 dan
Takude, 2012).
Paparan suatu zat yang bersifat iritatif terhadap jaringan penyusun organ
pencernaan dapat dilihat dari perubahan morfologi struktur sel dan kenampakan umum
dari bagian yang terpapar. Perubahan kenampakan dari jaringan penyusun organ
pencernaan yang secara prinsip tersusun atas empat jaringan dasar, dapat dikaji dan
dianalisis untuk lebih memahami fungsi normal dan abnormal dari organ tersebut.
Pemahaman terhadap kenampakan jaringarn normal dan abnormal dari jaringan
penyusun organ pencernaan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
memahami fungsi normal dan abnormal dari jaringan penyusun organ lainnya.
Berdasarkan hasil observasi awal, sumber belajar berupa buku teks atau buku non
teks yang berkaitan dengan aplikasi histologi di bidang kesehatan, terutama terkait
dengan efek zat adiktif pada jaringan tubuh (khususnya pada organ pencernaan) masih
sangat terbatas. Sumber belajar merupakan suatu bahan yang dapat dipergunakan
untuk mendukung dan mempermudah terjadinya proses belajar mengajar (Sitepu,
2010). Sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran harus menarik minat
baca seseorang, salah satunya adalah sumber belajar berupa buku non teks seperti
booklet. Berdasarkan penjelasan Purwanto (seperti dikutip dalam Fitriastuti, 2010)
booklet adalah media komunikasi massa yang bertujuan untuk menyampaikan
informasi. Penyampaian informasi dalam booklet menngunakan teks yang singkat dan
jelas dan dilengkapi dengan gambar. Selain terdapat teks dan gambar booklet juga
didesain dengan praktis, sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan gairah dalam
belajar.
Gambaran jaringan hewan yang baik, jelas, dan representatif sangat diperlukan
dalam menjelaskan materi Histologi. Sumber belajar histologi menjadi panduan yang
sangat diharapkan dapat membantu menjelaskan gambaran jaringan dengan lebih
nyata. Booklet merupakan salah satu bentuk sumber belajar yang relatif praktis, dan
dapat menyajikan informasi berupa gambar dan teks. Booklet histologi yang dibuat
berdasar hasil riset masih belum banyak disusun. Hasil riset berupa gambaran histologi
organ pencernaan akibat terpapar boraks dikembangkan dalam bentuk booklet sebagai
sumber belajar. Hasil pengembangan tersebut diharapkan dapat menambah alternatif
sumber belajar yang bersifat praktis, informatif, efektif, dan menarik untuk digunakan.
METODE PENELITIAN
Ditinjau dari objeknya, penelitian ini menggunakan jenis penelitian Research and
Development (R&D) yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk
tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2015). Langkah-langkah
yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dari langkah penelitian dan
pengembangan yang dikemukakan oleh sugiyono. Langkah-langkah pengembangan
yang direncanakan yaitu: 1) studi pendahuluan yang meliputi potensi dan masalah, dan
pengumpulan data 2) pengembangan prototipe meliputi desain booklet, validasi booklet
dan revisi booklet 3) uji coba booklet skala kecil dan revisi booklet.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket berupa
instrumen penilaian. Instrumen yang digunakan berbentuk skala Likert. Jawaban setiap
item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif
sampai dengan sangat negatif (Sinambela, 2014). Instrumen penilaian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Lembar validasi ahli materi dan media,
instrumen ini digunakan untuk mengetahui kelayakan dari produk yang telah dihasilkan
dan untuk memperoleh saran dari ahli materi dan media dalam memperbaiki produk.
Instrumen penilaian untuk ahli materi dan media diadopsi dari instrumen penilaian
buku teks oleh BSNP. 2) Angket respon pengguna, instrumen ini digunakan untuk
mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap produk yang telah dihasilkan. Tanggapan
pengguna diisi oleh mahaiswa yang telah mengambil mata kuliah histologi, mencakup
mahasiswa Biologi dan Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang,.
Data yang diperoleh dari angket kemudian ditabulasi dan dicari persentasenya
dengan rumus:
Jumlah skorSkor tertinggi x 100%
Data hasil dari persentase kemudian disederhanakan kedalam bentuk yang mudah
dibaca dan diinterpretasikan agar diperoleh kesimpulan mengenai kelayakan booklet.
Kriteria kelayakan yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari Akbar (2013),
seperti pada tabel berikut
Tabel 1.1. Interpretasi skor dalam penilaian sumber belajar
Kriteria Interpretasi skor
0% - 20% Sangat tidak layak
21% - 40% Tidak layak
41% - 60% Kurang layak 7
61% - 80% Layak
1%-100% Sangat layak
HASIL DAN PEMBAHASAN
Booklet hasil pengembangan di desain berdasarkan kumpulan hasil riset tentang
efek boraks terhadap organ pencernaan. Cakupan materi dalam booklet terkait organ
pencernaan yang terpapar boraks disajikan secara umum pada bagian lambung,
duodenum dan hati tikus wistar (Rattus novergicus). Gambaran secara khusus berupa
deskripsi tingkat kerusakan organ secara anatomi dan histologi yang diwakili oleh
gambaran dari organ duodenum dan hati. Hasil riset yang menjadi dasar materi
bersumber dari penelitian Takude (2012) dan riset sebelumnya oleh Masfufah (2017).
Format yang digunakan dalam menyusun booklet terdiri dari tiga bagian yaitu:
1) bagian awal yang terdiri dari sampul depan, halaman judul, redaksi, kata pengantar
dan daftar isi. 2) bagian tengah terdiri dari materi utama yaitu latar belakang
ditulisnya booklet dan materi yang menjelaskan tentang bahaya boraks terhadap organ
pencernaan. 3) bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, biografi penulis, halaman
catatan dan sampul belakang. Berikut cuplikan prototipe booklet yang dikembangkan
dalam penelitian ini:
Tabel 1. Bagian Awal Booklet
Gambar 1.1 Sampul depan booklet Gambar 1.2. Halaman judul booklet
Gambar 2.3. Cuplikan isi materi booklet Gambar 2.4. Cuplikan isi materi booklet
Gambar 2.4. Cuplikan isi materi booklet Gambar 2.5. isi materi booklet
Gambar 2.6. isi materi booklet Gambar 2.7. cuplikan isi materi booklet
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa penilaian pada aspek materi
terbagi menjadi 3 penilaian yaitu: kelayakan isi memperoleh nilai sebesar 73,8%,
kelayakan penyajian memperoleh nilai sebesar 71,1% dan kelayakan bahasa
memperoleh nilai sebesar 76,9% yang merupakan nilai tertinggi di dalam penilaian
aspek materi. Perolehan nilai rata-rata pada aspek materi adalah sebesar 73,7% yang
menunjukkan bahwa booklet tergolong dalam kategori layak untuk digunakan.
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa penilaian pada aspek media
terbagi menjadi 3 penilaian yaitu: kelayakan tampilan dengan perolehan nilai sebesar
81,8%, kelayakan penyajian materi dengan perolehan nilai sebesar 74,7%,dan
kelayakan mafaat dengan perolehan nilai sebesar 80%. Nilai rata-rata yang diperoleh
pada aspek materi adalah sebesar 78,8% yang menunjukkan bahwa booklet tergolong
dalam kategori layak untuk digunakan.
Booklet selanjutnya direvisi berdasarkan perolehan nilai dan saran dari ahli
materi dan media. Setelah direvisi booklet selanjutnya diuji skala kecil. Uji skala kecil
booklet ditujukan kepada 20 mahasiswa biologi dan pendidikan biologi sebagai
pengguna. Adapun hasil penilaian dari pengguna adalah sebagai berikut:
KESIMPULAN
Hasil riset berupa gambaran histologi organ pencernaan akibat terpapar boraks
dikembangkan dalam bentuk booklet sebagai sumber belajar. Persentase hasil penilaian
booklet oleh ahli materi sebesar 74,9%. Nilai yang diperoleh dari ahli media
sebesar 78,8%. Angket dari pengguna memperoleh nilai 84,4 %, sehingga booklet efek
boraks terhadap organ pencernaan dinyatakan layak untuk dijadikan sebagai sumber
belajar histologi oleh mahasiswa biologi dan pendidikan biologi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Saefullah Hidayat, M.Sc. sebagai validator ahli
materi dan Zaenudin Khabib, S.Pd.sebagai validator ahli media.
REFERENSI
Akbar, Sa'dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Alsuhendra dan Ridawati. 2013. Bahan Toksik dalam Makanan. Bandung : Remaja
Roesdakarya
Fitriastuti, Diah Ratna. 2010. Efektifitas Booklet Dan Permainan Tebak Gambar Dalam
Meningkatkan Pengetahuan Dan Sikap Siswa Kelas Iv Terhadap Karies Gigi Di Sd
Negeri 01, 02, Dan 03 Bandengan Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara Tahun
Ajaran 2009/2010. Skripsi. Universitas Negeri Semarang . http://lib.unnes.ac.id.
diakses pada 24 Julu 2017 pukul 08:06 WIB
Masfufah, Dewi. 2017. Pengaruh Penggunaan Boraks Dosis Bertingkat terhadap
Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Duodenum Tikus Wistar (Rattus
novergicus). Skripsi. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKerNas) dan Pusat Informasi Obat dan
Makanan, Badan POM RI. 2011. Asam Borat
Sinambela, L. P. 2014. Metode Penelitian Kuantiatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta
Takude, Rico Lukas, dkk. 2012. Gambaran Histopatologi Hati Tikus Wistar yang Diberi
Boraks. jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 2, Nomor 3, November 2014.
http://ejournal.unsrat.ac.id/ . Diakses pada tanggal 6 Januari 2017
Abstrak
Kerusakan lingkungan seperti tanah longsor, banjir, kekeringan dan pemanasan global
merupakan cermin buruknya hubungan manusia dengan lingkungan. Salah satu tolok ukur
hubungan tersebut di antaranya dapat ditinjau dari perilaku manusia yang sering membuang
sampah tidak pada tempatnya, boros dalam penggunaan energi dan penggunaan bahan yang
tidak ramah lingkungan. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seseorang terhadap
lingkungan di antaranya yaitu emosi dan nilai-nilai. Kecerdasan emosi adalah kemampuan
seseorang dalam mengelola emosi, berempati, sadar diri, memotivasi dan menjalin
hubungan dengan orang lain. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan seseorang
menggali makna dan nilai-nilai dalam hidup yang dicirikan dengan sikap toleran, jujur,
berani, disiplin, bertanggungjawab dan terbuka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui korelasi antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku
peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang. Penelitian ini
termasuk penelitian kuantitatif yang bersifat korelatif. Jumlah sampel 53 responden dengan
teknik sistematic sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dan
dokumentasi. Analisis data menggunakan korelasi ganda. Hasil penelitian ini yaitu: 1)
terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan perilaku peduli lingkungan
mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan rx1y = 0,368; 2) terdapat
hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan mahasiswa
Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan rx2y = 0,604; 3) terdapat hubungan
yang positif antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama
dengan perilaku peduli lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang,
dengan R = 0,608.
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia sangat bergantung kepada lingkungan. Perilaku manusia
terhadap lingkungan sangat menentukan kualitas lingkungan. Kerusakan alam seperti
tanah longsor, banjir bandang, banjir rob, kekeringan yang berkepanjangan dan
meningkatnya suhu udara secara signifikan mengindikasikan ketidakharmonisan
hubungan antara manusia dengan lingkungan.
Salah satu unsur yang dikembangkan dalam pendidikan menurut UU Sistem
Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003 adalah kecerdasan. Praktik pendidikan di
Indonesia yang cenderung hanya mengarah pada mengembangkan kecerdasan
intelektual atau IQ saja, yaitu lebih menekankan perolehan nilai akademik, sementara
pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang berkaitan dengan
karakter peserta didik kurang mendapatkan perhatian dalam proses pendidikan [12].
Kecerdasan emosional menurut Goleman adalah kemampuan seseorang dalam
memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Kecerdasan emosional menyediakan
pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain
[11]. Tidak seperti kecerdasan intelektual (IQ)—yang hampir tidak berubah selama
seseorang hidup—kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang seseorang hidup.
Kematangan atau kedewasaan pada umumnya dijabarkan sebagai proses menuju cerdas
dalam hal emosi dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional
cenderung meningkat seiring dengan seseorang belajar untuk menyadari suasana hati,
menangani emosi-emosi dengan lebih baik, berempati, dan menjadi lebih matang [5].
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, dan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya serta untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
tertinggi manusia dan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional secara efektif [13]. Kecerdasan spiritual ini akan
mengalami aktualisasinya yang optimal apabila hidup manusia berdasarkan visi dasar
dan misi utamanya, yakni seorang hamba (‘abid) dan sekaligus wakil Allah (khalifah) di
bumi [6].
Mahasiswa merupakan seseorang yang menuntut ilmu atau menempuh
pendidikan di perguruan tinggi. Salah satu peran dan fungsi utama mahasiswa yaitu
agen perubahan (agent of change), yang memiliki tanggungjawab besar dalam membuat
perubahan-perubahan dalam masyarakat [12]. Jurusan Pendidikan Biologi UIN
Walisongo mempunyai salah satu misi yaitu menyelenggarakan pengabdian kepada
masyarakat sebagai implementasi hasil riset dan pengembangan bidang Pendidikan
Biologi yang berwawasan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, perilaku peduli
lingkungan mahasiswa Pendidikan Biologi dapat dipandang sebagai bekal yang akan
dibawa mahasiswa nantinya dalam menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat
sebagai pendidik yang tidak melupakan aspek pelestarian lingkungan.
Perilaku mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo terhadap lingkungan dapat
ditinjau dari perilaku memanfaatkan energi listrik, perilaku membuang sampah,
perilaku dalam pemanfaatan air bersih, pemanfaatan bahan bakar dan pemanfaatan
barang. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan penulis, perilaku mahasiswa
pendidikan Biologi terhadap lingkungan di laboratorium Biologi menunjukkan sering
meninggalkan laboratorium yang baru dipakai dalam keadaan kurang bersih dan
meninggalkan sampah di depan ruang laboratorium yang sering digunakan untuk
menunggu waktu praktikum. Perilaku mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo
terhadap lingkungan yang melakukan aktivitas baik akademik maupun non-akademik di
kampus 2 UIN Walisongo, secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dengan
kondisi lingkungan yang ada di kampus 2 UIN Walisongo seperti banyaknya sampah
yang tidak dibuang pada tempatnya, misalnya di beranda perpustakaan, di partisi pohon
mangga sekitar kantin Ma’had Walisongo dan di kamar mandi; sampah yang tidak
dibuang berdasarkan jenisnya; banyaknya penggunaan kantong plastik oleh mahasiswa
ketika berbelanja; penggunaan sepeda motor dalam jarak tempuh yang dekat sehingga
tempat parkir penuh; serta penggunaan fasilitas seperti lampu, LCD dan kipas angin
dalam ruang kelas yang tidak efisien.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan
mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan perilaku peduli lingkungan,
hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli lingkungan, dan hubungan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara bersama-sama dengan perilaku
peduli lingkungan.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian survey, dengan pendekatan kuantitatif
metode korelasional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2017 di
Fakultas Sains dan Teknologi, kampus 2 UIN Walisongo, Jl. Prof. Hamka, km. 2 Ngaliyan,
Semarang.
Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa S-1 Pendidikan Biologi. Sampel
dalam penelitian ini mencakup mahasiswa Pendidikan Biologi angkatan 2013, 2014,
2015 dan 2016. Teknik pengambilan sampel dengan teknik sampling sistematis dengan
angka kelipatan 5.
Teknik kuesioner digunakan dalam mengukur kecerdasan emosional, kecerdasan
spiritual dan perilaku peduli lingkungan. Instrumen penelitian berupa pernyataan
positif menggunakan skala Likert.
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa nilai Sig 0,007<0,05 maka Ho ditolak dan Ha
diterima. Berdasarkan perhitungan korelasi antara variabel X1 dengan Y diperoleh rx1y
= 0,368 yang termasuk dalam kategori rendah, kemudian dikonsultasikan dengan harga
rtabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 0,279 sehingga rx1y> rtabel atau 0,368 > 0,279
maka terdapat korelasi antara kecerdasan emosional dengan perilaku peduli
lingkungan, dengan koefisien arahnya positif, artinya makin tinggi nilai X1 makin tinggi
nilai Y atau kenaikan X1 diikuti kenaikan nilai Y.
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa nilai Sig 0,000<0,05 maka Ho ditolak dan
Ha diterima. Berdasarkan perhitungan korelasi antara variabel X2 dengan Y diperoleh
rx2y = 0,604 yang termasuk dalam kategori kuat, kemudian dikonsultasikan dengan
harga rtabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 0,279 sehingga rx2y> rtabel atau
0,604>0,279 maka terdapat korelasi antara kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli
lingkungan, dengan koefisien arahnya positif, artinya makin tinggi nilai X2 makin tinggi
nilai Y atau kenaikan X2 diikuti kenaikan nilai Y.
Korelasi positif dan signifikan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku peduli
lingkungan, dapat ditinjau dari perspektif budaya lingkungan, bahwa etika dan norma
yang berlaku di masyarakat umumnya membentuk perilaku terhadap lingkungan [8].
Etika yang baik pada suatu masyarakat, misalnya dalam membuang sampah pada
tempatnya dan menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan akan membentuk
perilaku membuang sampah dan pemanfaatan barang yang baik pula. Etika yang
dihargai inilah yang merupakan aspek values atau nilai-nilai [4] yang pengamalannya
terdapat dalam kecerdasan spiritual. Seseorang yang tinggi kecerdasan spiritualnya
cenderung menjadi seseorang yang bertanggungjawab membawakan visi dan nilai yang
lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya [13].
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku
Peduli Lingkungan
Tabel 4. Hasil Uji Korelasi Ganda Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
dengan Perilaku Peduli Lingkungan
Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui bahwa nilai Sig 0,000<0,05 maka Ho ditolak
dan Ha diterima. Harga Fhitung = 14,697 dengan Ftabel yang diperoleh dari dk penyebut
= (n-k-1) = (53-2-1) = 50 dan dk pembilang = k = 2 pada taraf signifikansi 5% maka
harga Fhitung = 14,697 > Ftabel = 3,18 maka koefisien korelasi ganda bermakna, artinya
terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual secara bersama-sama dengan Perilaku Peduli Lingkungan. Nilai R = 0,608
artinya hubungan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan
perilaku peduli lingkungan termasuk kategori kuat, karena 0,60 < R < 0,799. Kontribusi
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dalam mempengaruhi perilaku peduli
lingkungan yaitu sebesar 37% (R square x 100), sedangkan 63% lainnya dipengaruhi
oleh faktor lain.
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual berkorelasi positif dan signifikan
secara bersama-sama dengan perilaku peduli lingkungan dapat ditinjau dari faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
mencakupfaktor pribadi dan faktor lingkungan; faktor pribadi: pengetahuan, sikap-
sikap, nilai-nilai, emosi, kemampuan dan tanggung jawab; faktor lingkungan: norma
sosial, umpan-balik, tujuan, kemungkinan penguatan, anjuran-anjuran dan ketersediaan
[2]. Nilai-nilai dan emosi termasuk faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku peduli
lingkungan, yaitu aspek-aspek yang berturut-turut diamalkan dalam kecerdasan
spiritual dan kecerdasan emosional, sehingga kualitas kecerdasan spiritual dan
kecerdasan emosional menentukan kualitas perilaku peduli lingkungan.
Nilai-nilai merupakan determinan penting dari perilaku melestarikan.
Keterbukaan untuk berubah, dan kepedulian terhadap orang lain merupakan nilai-nilai
yang berkaitan dengan perilaku melestarikan, seperti mendaur ulang, menggunakan
produk ramah lingkungan dan aktif dalam kegiatan peduli lingkungan [2]. Pemahaman
yang baik tentang kaitan nilai-nilai dengan perilaku dapat digunakan sebagai langkah
untuk mengubah perilaku berdasarkan nilai-nilai yang sudah diyakini [2]. Nilai-nilai
yang dibawakan dengan penuh tanggungjawab dalam perilaku melestarikan
menunjukkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Salah satu indikator seseorang memiliki
kecerdasan spiritual yang tinggi adalahmempunyaikualitas hidup yang diilhami oleh
misi dan nilai-nilai [13]. Kecerdasan spiritual akan mengalami aktualisasinya yang
optimal apabila hidup manusia berdasarkan visi dasar dan misi utamanya, yakni
seorang hamba (‘abid) dan sekaligus wakil Allah (khalifah) di bumi [6]. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56 tentang misi utama manusia sebagai hamba
Allah SWT dan QS. Al-Baqarah ayat 30 tentang misi utama manusia sebagai khalifah:
س َو ْال ِج َّن َخلَ ْقت َو َما ْ َّ ) ِليَ ْعبد ْو ِن ِإل56 )
َ ال ْْ ِْ ْن
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku”[3].
ْي إِن ِل ْل َملَئِ َك ِة َربُّكَ قَا َل َوإِذْ ض فِى َجا ِعل ِ األ َ ْر
َخ ِل ْيفَة....) 30 )
Artinya: “Dan (ingatlah) Tuhanmu berfirman kepada malaikat “Aku hendak menjadikan
Khalifah di bumi”[3].
Ibadah adalah aktifitas memperoleh ridho Allah. Sebagai khalifah di bumi, aktifitas-
aktifitas yang bertujuan untuk memakmurkan bumi juga merupakan ibadah [9].
Menjaga kelestarian lingkungan, seperti membuang sampah pada tempatnya,
menghemat energi dan menggunakan barang-barang ramah lingkungan termasuk
langkah ibadah berupa memakmurkan bumi sebagai khalifah.
Emosi merupakan prediktor khusus perilaku melestarikan Elisabeth Kals dkk.
mengemukakan bahwa emosi positif seperti kasih sayang kepada alam maupun emosi
negatif seperti ketidaksukaan terhadap perilaku yang mencemari alam, berkaitan
dengan kemauan dalam melaksanakan komitmen untuk berperilaku melestarikan.
Respons emosi terhadap alam dapat ditingkatkan melalui pendidikan lingkungan,
sehingga emosi dapat dijadikan jalan yang mendorong perilaku melestarikan [2].
Kecerdasan emosional cenderung meningkat seiring dengan seseorang belajar untuk
menyadari suasana hati, menangani emosi-emosi dengan lebih baik, berempati, dan
menjadi lebih matang [5].
Mahasiswa Pendidikan Biologi sebagai calon guru/pendidik mata pelajaran
Biologi, sepatutnya mempunyai kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang
baik, sehingga dapat mendorong timbulnya perilaku peduli lingkungan yang baik pula.
Pembelajaran yang didukung oleh guru yang memiliki kecerdasan emosional yang baik
dapat mendorong siswa mengembangkan kecerdasan emosionalnya [7] karena
kemampuan kecerdasan emosional empat kali lebih penting daripada kecerdasan
intelektual dalam menentukan sukses seseorang [5]. Kecerdasan spiritual yang baik juga
penting dimiliki seorang pendidik karena kecerdasan spiritual merupakan landasan
yang diperlukan untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
secara efektif [13]. Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang baik dari
seorang guru akan mendorong lahirnya perilaku peduli lingkungan yang baik, karena
dalam
proses belajar, perilaku seorang guru akan menjadi penyampaian pesan paling
efektif dan pengaruhnya mencapai 90% kepada peserta didik [12].
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional (X1) dengan perilaku
peduli lingkungan (Y) mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang,
dengan nilai koefisien korelasi rhitung = 0,368 > rtabel =0,279 termasuk dalam
kategori rendah pada taraf signifikansi 5%.
2. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan spiritual (X2) dengan perilaku
peduli lingkungan (Y) mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang,
dengan rhitung = 0,604 > rtabel = 0,279 termasuk dalam kategori kuat pada taraf
signifikansi 5%.
3. Terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional (X1) dan kecerdasan
spiritual (X2) secara bersama-sama dengan perilaku peduli lingkungan (Y)
mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang, dengan nilai Signifikansi
FChange = 0,000 < 0,05 dan Fhitung= 14,697> Ftabel = 3,18 pada taraf signifikansi
5%. Nilai R = 608 termasuk dalam kategori kuat dan koefisien determinasi (R
square) = 0,370 atau 37% sedangkan 63% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
REFERENSI
Azhar, M. Djahir B. dan Alfitri. 2015. Hubungan Pengetahuan dan Etika Lingkungan
dengan Sikap dan Perilaku Menjaga Kelestarian Lingkungan. Jurnal Ilmu
Lingkungan, Vol. 13, Issue:1:36-41
Clayton, S. dan Gene M. 2014. Psikologi Konservasi: Memahami dan Meningkatkan
Kepedulian Manusia terhadap Alam, terj. Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan).
Jakarta: Departemen Agama RI
Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya
Goleman, D. 2005. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Prawira, P.A. 2013. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Priatini, W., Melly L. dan Suprihatin G. 2008. Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan
Sekolah dan Peran Teman Sebaya terhadap Kecerdasan Emosional Remaja. Jurnal
Ilmu Keluarga dan Konsumen, Vol. 1 No. 1: 43-53
Rohadi, T. 2011. Budaya Lingkungan: Akar Masalah dan Solusi Krisis Lingkungan.
Yogyakarta: Ecologia Press
Shobirin, . 2013. http://www.pa-jepara.go.id/index.php?option=com
_content&view=article&id=296:drs-shobirin-mh-tugas-dan-
kewajiban&catid=40:berita-sendiri diakses 15 Juni 2017
Tim Penyusun KLH. 2013. Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan: Survei KLH 2012.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup RI
Tridhonanto, A. 2009. Melejitkan Kecerdasan Emosi (EQ) buah Hati. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Wibowo, A. dan Sigit P. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun
Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Zohar, D. dan Ian M. 2007. SQ: Kecerdasan Spiritual. terj. Rahmani Astuti, Ahmad Nadjib
Burhani, dan Ahmad Baiquni. Bandung: Miza
MATEMATIKA
Abstract
Acculturation and assimilation of the culture which inherent in the market of Pecinan area has
ethnomathematics potential which is still used by local community and become a habit until
today. This research shows its particular characteristic; it is by introducing the research on the
subject that is used as an object rarely and reference in education. It can ensure the knowledge
and the other hand, it can preserve the culture. This research aims to discover and describe the
forms of ethno- mathematics as the result of mathematical activity observation in Gang Baru
traditional market and document the culture that relates to mathematical concepts in order
not to be lost, including: cultural heritage in the form of (artifacts), the activity of counting and
measuring using local units, determine the location and design the place, activity of explaining.
This research is a field research. The techniques of collecting data are by interview, observation,
documentation. The result of data is analyzed by using qualitative data that refers to Miles and
Huberman namely reduction, display, conclusion and verification The result of research shows
there are special ways of the community in Gang Baru tradisional market doing mathematical
activity. Without studying the theory of mathematical concepts, the community of Gang Baru
traditional market has also applied the concepts of mathematics in daily life using
ethnomathematics. it is approved that the existence of ethno- mathematics in the community
reflected by the result of mathematical activity that they have and develop in the community
PENDAHULUAN
Kota besar di Jawa Tengah seperti Semarang, memiliki multi etnis baik dominan
maupun imigran yang datang dari negara lain. Imbas dalam menghadapi kondisi
keberagaman ini sudah menjadi aktivitas sehari-hari dalam kalangan masyarakat Jawa
Tengah. Salah satu ras yang mampu survive keberadaanya tengah masyarakat Indonesia
adalah etnis Tionghoa, sejak mereka masuk dan menjadi masyarakat di Indonesia
mereka disebut sebagai China Indonesia/Tionghoa Indonesia. Tujuan pertama kali
mereka datang ke Indonesia adalah untuk berdagang dan bertransaksi dengan warga
Indonesia.
Pasar tradisional merupakan sektor perdagangan yang memiliki ciri khas
tersendiri yaitu adanya pola interaksi antara penjual dan pembeli saat tawar menawar
barang dagangan, tidak hanya sebagai tempat aktivitas penjual dan pembeli malainkan
juga sebagai tempat berkumpulnya berbagai suku dan agama, dalam perkembangannya
pasar tradisional juga sebagai media wisata belanja, edukasi, serta meningkatkan
pendapatan pedagang mikro atau terhadap pihak penggerak ekonomi kerakyatan. 1 Oleh
karena itu pasar tadisional memiliki multifungsi yaitu sebagai tempat bertemunya
penjual, dan pembeli, media edukasi, dan wisata.
Kampung Semawis adalah kawasan padat ekonomi kota Semarang yang
didominasi oleh etnis Tionghoa. Di Kampung China ini terdapat Pasar Tradisional Gang
Baru berlokasi di sebelah timur Beteng, membentang antara Gang Pinggir dan Gang
Tengah Kota Semarang. Pasar tradisional sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan sangat
familar karena keunikannya. Aktivitas berniaga mulai dari tengkulak, pedagang, serta
pembelinya di pasar tradisional ini pun tidak luput dari peran etnis Tionghoa. Sebagian
besar etnis ini gigih, tekun, dan cerdas dalam management keuangan. Terutama dalam
1
Barsamian, David, dan Liem Siok Lan, Menembus Batas (Beyond Boundaries) Damai Untuk
Semesta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)
pengaturan cash flow sangat luar biasa. Mereka memiliki cara atau budaya tersendiri
untuk mendidik keluarga terutama dalam hal perhitungan dagang yang di dalam ilmu
pengetahuan disebut dengan aritmatika sosial. Dari aspek edukasi, sering tidak disadari
bahwa berbagai kelompok budaya yang berbeda telah menggunakan pengetahuan
matematika berbeda antara satu dengan lainnya. Pada dasarnya matematika sangat erat
kaitannya dengan perkembangan budaya manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh
Sembiring dalam Prabowo bahwa matematika sebagai hasil konstruksi budaya
manusia.2
Ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal peradabannya, manusia telah
menggunakan matematika untuk melakukan perhitungan-perhitungan sederhana,
seperti menghitung banyaknya ternak, bagi kelompok petani digunakan untuk
menghitung luas area pertanian serta waktu-waktu dimana harus melakukan aktivitas
sebagai petani, dan masih banyak ragam aktivitas di bidang ekonomi, perikanan,
pertukangan, perkebunan, hingga kerajinan seni budayanya dengan berbagai sentuhan
geometri yang unik dan menarik. Bagi para arsitek, konsep matematika juga dapat
diterapkan pada konstruksi bangunan atau gedung dan sebagainya. Begitu pula pada
kelompok penjahit, saat membuat pola pada bahan kain atau kulit untuk membuat
sepatu, tas, maupun pakaian.
Konsep matematika yang terus berkembang di masyarakat luas didapat karena
adanya proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Salah
satu kegunaan matematika bagi manusia adalah untuk memecahkan masalahnya dalam
kehidupan sehari-hari. Menggunakan perhitungan matematika baik dalam pertanian,
perikanan, perdagangan, dan perindustrian.3 Metematika sebagai ilmu pengetahuan dan
budaya sebagai sesuatu yang dinamis dapat terintegrasikan melalui etnomatematika.
Istilah ethnomathematics yang selanjutnya dikenal dengan etnomatematika pertama
kali diperkenalkan oleh D’Ambrosio, seorang matematikawan Brazil pada tahun 1977.4
Tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui adanya cara-cara yang
berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan
matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta
dengan mempertimbangkan modus yang berbeda dimana budaya yang berbeda
merundingkan praktik matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung,
mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).5
Oleh karena tumbuh dan berkembang dari budaya, keberadaan etnomatematika
seringkali tidak disadari oleh masyarakat penggunanya. Hal ini disebabkan,
etnomatematika seringkali terlihat lebih “sederhana” dan hanya dijadikan sebagai “alat”
dari bentuk formal matematika yang dijumpai di Sekolah. Masyarakat daerah yang biasa
menggunakan etnomatematika mungkin merasa tidak percaya diri dengan warisan
nenek moyangnya, karena matematika dalam budaya ini, tidak dilengkapi definisi,
teorema, dan rumus-rumus seperti yang biasa ditemui di matematika akademik. Sujono
dalam Antonius, menyebutkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam matematika
adalah nilai praktis, nilai disiplin dan nilai budaya.6 Memiliki nilai praktis karena
matematika teraplikasi pada kehidupan nyata dan sekaligus berguna dalam membantu
memecahkan permasalahan sehari-hari. Matematika terbentuk dari pengalaman
manusia dalam dunianya secara empiris, sehingga akan lebih mudah memahami
2 Prabowo, Agung dan Pramono S., Internasional Conference on Teacher Educations. Memahat
karakter melalui pembelajaran matematika. (Bandung: -, 2010).
3
Eni Titikkusumawati, Modul Pembelajaran Matematika, (Kemenag RI, 2014), hlm. 25
4
Inda Rachmawati, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, E-Jurnal UNESA. Vol 1 No 1.,
2012, hlm. 4
5
Inda Rachmawati, Eksplorasi...
6
A. C. Prihandoko, Memahami Konsep Matematika Secara Benar dan Menyajikannya Dengan
Menarik, (Jember: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,, 2005), hlm. 16
matematika dari penglaman nyata yang abastrak kemudian dikonkretkan dalam bentuk
simbol-simbol atau konsep matematika formal. Contoh penerapannya antara lain
transaksi jual beli, menghitung luas daerah, menghitung jarak yang ditempuh dari suatu
tempat ke tempat yang lain, menghitung laju kecepatan kendaraan, dan lain sebagainya.
Pada matematika terdapat nilai-nilai kedisiplinan. Hal ini dimaksudkan bahwa
dengan belajar matematika akan melatih orang berlaku disiplin dalam pola
pemikirannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa hakekat matematika berkenaan
dengan struktur-struktur, hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang
dikembangkan menurut aturan yang logis. Matematika terdiri dari sistem-sistem yang
terstruktur yang masing-masing terbentuk melalui pola penalaran secara deduktif
dengan logika matematika sebagai alat penalarannya. Oleh karena itu pemakaian simbol
dan variabel dalam pekerjaan matematika harus dilakukan dengan tertib dan jelas sebab
jika tidak akan bisa menimbulkan salah tafsir dan kurang komunikatif, dalam artian
hasil pekerjaan seseorang tidak dapat dipahami oleh orang lain, walau pekerjaan
tersebut benar sekalipun.
Nilai utama berikutnya yang terkandung dalam matematika adalah nilai budaya.
Memang nampaknya asing kedengarannya bahwa matematika dikaitkan dengan budaya.
Tetapi bila kita perhatikan maka sebenarnya matematika sangat erat kaitannya dengan
perkembangan budaya manusia. Ditinjau dari latar belakang sejarahnya, sejak awal
peradabannya, manusia telah menggunakan matematika untuk melakukan
perhitungan-perhitungan sederhana, seperti menghitung banyaknya ternak, hari dan
sebagainya. Mereka menggunakan batu-batu atau menorehkan pahatan di dinding-
dinding gua untuk menyatakan kalkulasinya. Pada perkembangan selanjutnya manusia
berusaha menciptakan simbol-simbol sebagai lambang bilangan dan juga menyusun
sistem numerasinya untuk lebih memudahkan mereka dalam menyatakan sebuah
kuantitas.
Akulturasi dan asimilasi budaya yang melekat di pasar Kawasan Pecinan tersebut
berpotensi etnomatematika yang masih dijalankan oleh kelompok masyarakat sekitar
dan menjadi kebiasaan hingga saat ini. Dalam hubungannnya dengan studi
etnomatematika, penelitian ini menunjukkan ciri khususnya yakni mengintroduksi
penelitiannya pada subjek yang sangat jarang dijadikan sebagai objek dan acuan dalam
pendidikan. Dari latar belakang antropologi, penelitian ini memberikan warna baru bagi
studi pengembangan matematika dalam latar budaya pada kondisi Pasar Tradisional
Gang Baru Semarang. Kemunculan etnomatematika dalam diskusi tentang ilmu
matematika nampaknya akan menjadi sangat menarik. Di satu sisi memperkaya ilmu
pengetahuan, di sisi lain melestarikan budaya. Berdasarkan pada pemikiran di atas,
maka penelitian terhadap Etnomatematika dalam Konteks Sosial-Budaya yang
mengambil studi kasus di Pasar Tradisional Gang Baru Semarang sangat signifikan
untuk dilaksanakan.
tujuan penelitian ini untuk menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk
etnomatematika sebagai hasil pengamatan aktivitas matematika di pasar tradisional
Gang Baru kemudian mendokumentasikan budaya yang masih berlangsung berkaitan
dengan konsep-konsep matematika agar tidak hilang, meliputi : peninggalan budaya
dalam wujud (artefak), aktivitas membilang dan mengukur menggunakan satuan lokal,
menentukan lokasi dan merancang tempat, aktivitas menjelaskan. Penelitian ini adalah
penelitian lapangan (field research). Teknik pengumpulan data melalui wawancara,
observasi, dokumentasi. Hasil data kemudian dianalisis menggunakan analisis data
kualitatif yang mengacu pada Miles dan Huberman, yaitu reduction, display, conclusion
and verification.
7
Inda Rachmawati, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, E-Jurnal UNESA. Vol 1 No 1. Th
2012.
8 D’Ambrosio, U., Ethnomathematics And Its Place In The History And Pedagogy Of Mathematics.
For learning of Mathematics, 5 (1), 44-48, 1985.
9
U. D’Ambrosio, Etnomathematics Link between Traditions and Modernity, Published by: Sense
Publisher, P.O. Box 21858, 3001 AW Rotterdam, The Netherlands, 2006, h. 1.
10
Uloko ES, Imoko BI, Pengaruh Ethnomatematics Mengajar Pendekatan dan Jenis Kelamin terhadap
Prestasi Siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ., 2007, Res.5(1):31-36
11
Strigler, dkk dalam Silvia, Pengembangan Bahan Ajar Matematika yang Bernuansa Etnomatematika
dalam Suku Dayak Kanayat’n di Kalimantan Barat untuk Membantu Peserta Didik Sekolah Dasar Mempelajari
Konsep Matematika. Penelitian Fundamental, tidak diterbitkan, 1999:9.
dipersepsikan sebagai sesuatu yang ‘asing’ oleh peserta didik dan masyarakat. Agar
aplikasi dan manfaat matematika bagi kehidupan peserta didik dan masyarakat luas
lebih dapat dioptimalkan, sehingga peserta didik dan masyarakat memperoleh manfaat
yang optimal dari kegiatan belajar matematika.
Secara fisik pasar tradisional Gang Baru berbentuk lorong jalan sempit dan
meliuk-liuk berpagarkan bangunan yang rapat satu dengan yang lain. Lebar jalan sekitar
5 meteran dengan akses lalu lintas untuk pejalan kaki sekitar 1,5 meteran karen
pedagang yang berjualan di depan bangunan-bangunan yang ada. Pasar ini tidak punya
gedung. Seperti pasar tumpah, para pedagang yang tidak bertempat tinggal di Gang Baru
menggelar dagangan di sepanjang jalan dengan membuat lapak, los maupun kios atau
tenda sederhana untuk berdagang di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan. Bagi penduduk
yang bermukim di lokasi tersebut akan lebih mudah mengatur dagangannya di suatu
ruangan permanen dan ditata sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian
pembeli.
1. Peninggalan Budaya dalam Wujud (Artefak)
Banyak peninggalan-peninggalan budaya dalam bentuk fisik yang dapat diamati
oleh peneliti di lapangan terkait etnomatematika. Wujud kebudayaan fisik yang
berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat
berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan
yang disebut dengan artefak ini merupakan wujud terbesar dan juga bersifat
konkret. Adapun beberapa peninggalan budaya berwujud yang berhasil peneliti
temukan antara lain:
a. Klenteng
Saat memasuki jalan Gang Baru nuansa etnis Cina makin terasa dengan
keberadaan Klenteng tempat sembahyang untuk umat Tridarma (Budha, Konghucu,
dan Tao). Klenteng Hoo Hok Bio didirikan pada tahun 1779 ini merupakan klenteng
tertua kedua di wilayah Pecinan Semarang. Menurut Penuturan penjaga Klenteng,
pemilihan nama Hoo Hok Bio itu lantaran para pendahulu yang membangun
klenteng tersebut berharap, tempat ibadah itu dapat memberikan rezeki yang
berlimpah ruah bagi warga yang bersembayang di tempat tersebut. Tuan rumah
Klenteng Hoo Hok Bio adalah Dewa Bumi, secara filosofi bumi adalah tanah, dan
tanah dapat diasosiasikan sebagai sumber rezeki, karena di tanahlah kita menanam
dan menuai12
Ornamen peribadatan salah satunya berupa lilin yang berbentuk tabung dan
lampion yang berbentuk bulat menyerupai bola bermakna lentera
(cahaya/penerangan). Dalam diskusi peneliti dengan Chandra Wijaya (Kwee Kong
Tywan) ketua pengelola klenteng menjelaskan bahwa lentera ini ibarat harapan
cahaya agar pada tanggal 15 bulan 7, arwah orang-orang yang pada saat
meninggalnya jauh dari keluarga, akan dapat kembali ke bumi dipandu oleh cahaya
lampion selain itu juga dapat diartikan sebagai simbol sumber energi bagi manusia.
Bentuk dari bedug yang menyerupai tabung tergantung di sudut atas klenteng
yang pada saat-saat hari peringatan masyarakat Tionghoa. Gambar Yin dan Yang di
halaman depan pintu masuk, sebagai lambang ajaran Taoisme yang berbentuk
lingkaran. Dalam lingkaran tersebut solah terbagi menjadi dua bagian yang sama.
Lambang ini memberikan makna bahwa pada hakekatnya semua yang ada selalu
hadir dalam bentuk berpasangan secara seimbang dan alamiah.
Keunikan lain adalah arsitektur bentuk atap klenteng yang menggunakan
konsep Geometri bentuk prisma segi tiga dengan atap pelananya yang seperti
digelung di puncaknya. Puncak yang melengkung dari dinding-dinding batu ini
merupakan hiasan tradisional yang berasal dari Cina. Jika di atap klenteng kita
melihat ada 2 ekor naga yang sedang bermain bola api, itu melambangkan pembawa
pesan dari langit ke bumi dan pembawa hujan bagi para petani ujar Chandra Wijaya
(Kwee Kong Tywan).
b. Jenis Kuliner tradisional
Warisan kuliner budaya Cina masih dapat dirasakan di kawasan Pasar Gang
Baru. Apalagi dengan dibukanya pasar Semawis tiap akhir pekan (Jum’at, Sabtu dan
Minggu malam) merupakan surga kuliner bagi pecinta kuliner. Digelar stan-stan
yang menjual beragam makanan khas Tionghoa Cina juga Semarang. Hingga kini
tradisi tersebut masih lestari, dan tak bosan memberikan sajian menarik bagi
pengunjungnya.
Adapun eksplorasi etnomatematika terkait jenis kuliner hasil akulturasi
budaya antara lain Makanan khas negara China seperti misalnya :
1) Bakcang
Bakcang atau kue Bacang merupakan jajanan tradisional Tionghoa yang
sudah dikenal di Indonesia. Memiliki bentuk yang unik berbentuk limas segitiga
dibungkus dengan daun bambu yang diikat dengan tali. Bagi yang belum pernah
membuat kue Bacang ini akan merasa kesulitan karena membutuhkan keahlian
khusus untuk membentuk bangun limas segitiga. Sejarah munculnya kue
Bakcang pada mulanya untuk menghormati Quyuan yang bunuh diri di sungai.
2) Lun pia (lumpia)
Di Indonesia, lumpia dikenal sebagai jajanan khas Semarang dengan tata
cara pembuatan dan bahan-bahan yang telah disesuaikan dengan tradisi
setempat. Lumpia terdiri dari lembaran tipis tepung gandum yang dijadikan
sebagai pembungkus isian yang umumnya adalah rebung, telur, sayuran segar,
daging, atau makanan laut. Bentuk lumpia sendiri seperti bentuk bangun ruang
tabung yang ukurannya disesuaikan dengan jenis isiannya. Penyajian disesuaikan
dengan peminatnya, ada yang basah (tidak digoreng) atau kering (goreng)
dengan paduan saus.
12
Wawancara dengan pengelola Klenteng Hoo Hok Bio Bp. Tjan Khik Kien pada tanggal 23 Juni 2016
3) Bakpao
Selain sebagai cemilan, kue bakpao juga bisa dijadikan sebagai makanan
sementara pengganti nasi bagi masyarakat keturunan China. Bentuknya yang
setengah bola dan padat memberikan rasa kenyang karena kandungan
karbohidratnya.
4) onde-onde
Onde-onde berbentuk bulat, berwarna coklat jika sudah digoreng dan
berlapis wijen. Di dalamnya terdapat kacang hijau, kacang merah, coklat dan
lainnya. Saat ini onde-onde mengalami perkembangan baik dalam rasa, ukuran,
dan cara pengolahannya.
5) Tahu
Tahu adalah makanan yang dibuat dari endapan perasan biji kedelai yang
mengalami koagulasi. Tahu berasal dari Tiongkok, seperti halnya kecap, tauco,
bakpau, dan bakso. Nama "tahu" merupakan serapan dari bahasa Hokkian
(tauhu). Bentuk tahu awalnya kotak atau seperti balok, kini banyak bentuk tahu
yang divariasi yaitu prisma segitiga dan bulat disesuaikan dengan selera masing-
masing. Harganya pun relatif murah dan memiliki nilai gizi yang tinggi.
c. Gerabah dan peralatan tradisional
Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang alat serta membuat
pola yang terdapat pada gerabah dan peralatan tradisional merupakan contoh
bentuk etnomatematika masyarakat pasar tradisional Gang Baru, diantaranya
bentuk guci, gelas cina, vas, keramik, panci yang berbentuk tabung tanpa tutup
dengan tepian berpola lingkaran.
Cowek (cobek), wajan, piring berbentuk lingkaran, entong berbentuk elips,
bagor tempat dupa yang berbentuk setengah bola. Di Pasar Tradisional Gang Baru
ditemukan banyak pedagang yang menggunakan keranjang rotan berbentuk tabung
tanpa tutup dan tampah rotan bentuk lingkaran berfungsi mewadahi barang
dagangannya. Kebanyakan pedagang buah dan sayur yang masih memanfaatkan
benda tersebut karena memiliki sirkulasi udara yang baik untuk barang
dagangannya.
2. Aktivitas Membilang dan Mengukur Menggunakan Satuan Lokal
Membilang merupakan suatu cara untuk dapat menentukan banyaknya benda
atau sesuatu yang ingin kita ketahui jumlahnya. Bentuk etnomatematika dalam ritual
masyarakat etnis Tionghoa ini di klenteng terlihat saat sembahyang kepada Dewa,
Tuhan, maupun tokoh yang berjasa untuk masyarakat luas dan mahluk suci lainnya
menggunakan hitungan angka ganjil yaitu menggunakan dupa (hio): 3 (san), 5 (wu), 7
(qi), 9 (jiu). Ganjil dalam metafisik Tiongkok adalah lambang dari unsur Yang atau
positif. Unsur Yang berjumlah genap adalah untuk leluhur, arwah yang meninggal, setan
gentayangan. Himpunan bilangan genap pada ritual tersebut adalah 2 (er), 6 (liu), 12
(shi er).
Dalam melakukan aktivitas membilang satuan mereka menggunakan bahasa
jawa: sak... (satu), rong... (dua), telung... (tiga), patang... (empat), limang... (lima), enem...
(enam), pitung... (tujuh), wolung... (delapan), sangang... (sembilan), sepuluh... (sepuluh).
Alat yang dijadikan ukuran atau satuan oleh masyarakat dagang di pasar Gang Baru
antara lain jari tangan misalnya dalam menghimpun satu ikat kacang panjang, sawi, dan
kangkung satuan yang digunakan adalah unting, membeli cabai menggunakan satuan
jumput dan cakup, ombyok untuk satuan tunggal petai. Tundun, lirang untuk satuan
pisang. Sejinah untuk satuan setiap 10 biji jagung, ataupun kue dan makanan-makanan
tertentu. Penjual daun jati juga menggunakan satuan ikat tali, satu ikatnya berisi antara
10-15 lembar daun.
Seperti yang peneliti alami saat akan membeli parutan kelapa kepada seorang
pedagang tua bahwa pedagang tersebut menjajakan barang dagangan sudah dalam
bentuk parutan dan dikemas dalam plastik bening yang dihargai lima ribu rupiah tiap
plastiknya (sakplastik) tanpa melalui proses penimbangan terlebih dahulu. Berbeda
dengan Bu Liang dalam melayani pembelian sudah menggunakan alat ukur modern
berupa timbangan untuk mengukur berat bawang merah.
Ciam Si, sebuah ramalan kuno masyarakat Tionghoa yang menggunakan konsep
matematika peluang, dimana biasanya orang yang bersangkutan harus terlebih dahulu
mengikuti aturan tradisi yang ada dengan cara mengocok batang bambu kecil,
menyerupai sumpit memiliki panjang sekitar 20 cm yang diletakkan di dalam sebuah
wadah gelas, dimana setiap batang bambu tersebut memiliki nomor yang sudah
disesuaikan dengan jumlah kertas syair sebagi hasil ramalan. Bila sebatang bambu yang
telah dikocok, jatuh ke tanah maka angka yang tertera di batang kayu, disesuaikan
dengan secarik kertas yang ada di kotak ramalan. Setiap kertas dalam ramalan Ciam Si
ini, memiliki syair dan ramalan yang berbeda-beda, berupa peruntungan karir, jodoh,
rezeki dan kehidupan rumah tangga.
3. Menentukan Lokasi dan Merancang Tempat
Konsep sudut dalam matematika untuk menentuan lokasi tercermin pada
kepercayaan etnis Tionghoa dalam penentuan lokasi letak strategis klenteng yang
frontal terhadap Pasar Gang Baru. Hal ini dipercaya dapat menunjang perekonomian
pada area ini. Menurut kepercayaan bahwa tapak tusuk sate dipengaruhi oleh roh jahat
dan kekuatan lain yang tidak diinginkan manusia.
Konsep matematika dalam menentuan dan merancang tempat berdagang baik itu
berupa los, kios maupun tenda sederhana dilakukan dengan baik. walaupun masyarakat
pasar Gang Baru tidak mengenal materi dasar konstruksi bangunan seperti halnya yang
sekarang diajarkan pada pendidikan formal (seperti konsep siku-siku, simetris,
persegipanjang, maupun yang konsep geometri lain), tetapi mereka dapat membuat
lokasi dagang yang nyaman. Mereka hanya melakukannya secara mengalir,
menggunakan perkiraan dan satuan lokal (karena belum mengenal satuan SI), dan
menerapkannya pada tata cara, tata letak, dan tata bangunan sesuai dengan landasan
Filosofis, Etis, dan Ritual yang mereka yakini.
Aktivitas merancang Bentuk etnomatematika yang ditemukan adalah cara
membuat tempat berdagang pilar dari batang bambu berdiameter kira-kira 7-10 cm,
bagian atas diberi payung kertas lebar dengan rangka dari bambu untuk memberikan
keteduhan dari cahaya matahari, sedangkan bagian bawah untuk menopang supaya kuat
diberi bambu yang dibelah menjadi 4-5 bagian membentuk seperti kerucut.
4. Aktivitas Menjelaskan
Matematika dapat dipelajari dari budaya yang ada dalam lingkungan tempat
tinggal setiap masyarakat. Salah satu ranah kajian yang mengaitkan antara metematika
dan budaya adalah etnomatematika. Tanpa disadari beberapa kelompok atau suku
dengan kebudayaan tertentu telah menggunakan pengetahuan matematika dalam
kesehariannya melakukan aktivitas. Sama halnya yang dilakukan oleh masyarakat di
pasar tradisioanal Gang Baru, untuk melakukan salah satu aktivitas yang terjadi pada
proses jual beli adalah menghitung.
Cara menghitung yang dilakukan oleh penjual dan pembeli tentunya berbeda
dengan cara yang diajarkan di sekolah. Proses menghitung yang meliputi penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian termasuk dalam kajian aritmetika. Adanya
perbedaan cara menghitung yang dilakukan oleh masyarakat pasar tradisioanal Gang
Baru dalam melakukan transaksi jual beli menggunakan bahasa daerah. Seperti yang
peneliti alami saat akan membeli bumbu dapur pada pedagang Bu Liang yang
menyebutkan harganya dengan bahasa mandarin noceng yang artinya dua ribu.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat cara-cara yang
khusus pada masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru dalam melakukan aktivitas
matematika. Tanpa mempelajari teori tentang konsep-konsep matematika, masyarakat
Pasar Tradisional Gang Baru pun telah menerapkan konsep-konsep matematika dalam
kehidupan sehari-harinya menggunakan etnomatematika. Terbukti adanya bentuk
etnomatematika yang tercermin melalui berbagai hasil aktivitas matematika yang
dimiliki dan berkembang di masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru, meliputi konsep-
konsep matematika pada :
a. Peninggalan budaya berupa klenteng yang menggunakan konsep bilangan ganjil
dalam memuja Dewa, bilangan genap untuk mendo’akan para arwah dalam
memberika persembahan serta ornamen-ornamen khas Cina sebagai pengaplikasian
konsep geometri. Jenis kuliner tradisional yang telah mengalami modifikasi karena
disesuaikan dengan kondisi masyarakat Semarang yang mayoritas muslim yaitu
bakcang, lumpia, bakpao, onde-onde, dan tahu. Gerabah diantaranya bentuk guci,
gelas cina, vas, keramik, panci yang berbentuk tabung tanpa tutup dengan tepian
berpola lingkaran. Keranjang rotan berbentuk tabung tanpa tutup dan tampah rotan
bentuk lingkaran.
b. Aktivitas membilang dan mengukur menggunakan satuan lokal juga telah dilakukan
oleh masyarakat Pasar Tradisional Gang Baru. Aktivitas membilang satuan mereka
menggunakan bahasa jawa: sak... (satu), rong... (dua), telung... (tiga), patang...
SARAN
Pada penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran sebagai berkut.
a. Meninjau manfaatnya yang dapat memotivasi peserta didik, guru sebaiknya
memperkenalkan etnomatematika pada pembelajaran matematika formal, sebagai
modal awal mengajarkan konsep matematika kepada siswa.
b. Hasil penelitian tentang eksplorasi etnomatematika masyarakat Pasar Tradisional
Gang Baru ini dapat dijadikan ide alternatif pembelajaran matematika di luar kelas
serta dijadikan bahan rujukan penyusunan soal-soal pemecahan masalah
matematika kontekstual.
c. Penelitian ini belum terfokus pada satu subkajian objek saja. Sehingga diharapkan
pada penelitian selanjutnya, fokus penelitian lebih dibatasi pada satu subkajian saja
agar lebih efisien dan efektif dalam pembahasannya (lebih mendalam dan terarah).
REFERENSI
Barsamian, David, dan Liem Siok Lan, Menembus Batas (Beyond Boundaries) Damai
Untuk Semesta, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Prabowo, Agung dan S., Pramono, Internasional Conference on Teacher Educations.
Memahat karakter melalui pembelajaran matematika. Bandung: -, 2010
Titikkusumawati, Eni, Modul Pembelajaran Matematika, Kemenag RI, 2014
Rachmawati, Inda, Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo, E-Jurnal UNESA.
Vol 1 No 1., 2012,
Prihandoko, A. C., Memahami Konsep Matematika Secara Benar dan Menyajikannya
Dengan Menarik, Jember: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 2005.
D’Ambrosio, U., Ethnomathematics And Its Place In The History And Pedagogy Of
Mathematics. For learning of Mathematics, 5 (1), 1985.
_________, Etnomathematics Link between Traditions and Modernity, Published by: Sense
Publisher, P.O. Box 21858, 3001 AW Rotterdam, The Netherlands, 2006.
ES, Uloko, BI, Imoko, Pengaruh Ethnomatematics Mengajar Pendekatan dan Jenis
Kelamin terhadap Prestasi Siswa dalam Lokus. J. Natl. Assoc. Sci. Humanit. Educ.,
2007, Res.5(1).
Silvia, Pengembangan Bahan Ajar Matematika yang Bernuansa Etnomatematika dalam
Suku Dayak Kanayat’n di Kalimantan Barat untuk Membantu Peserta Didik Sekolah
Dasar Mempelajari Konsep Matematika. Penelitian Fundamental, tidak diterbitkan,
1999:9.
PENDIDIKAN MATEMATIKA
Abstrak
Kemampuan representasi matematis yang dimiliki peserta didik rendah karena peserta didik
kesulitan dalam menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan permasalahan
dalam soal. Peserta didik belum mampu menafsirkan permasalahan matematika yang
terdapat dalam soal dengan ekspresi matematis yang benar. Peserta didik juga masih
kesulitan untuk menyusun argumen untuk menjawab soal secara lisan ataupun teks tertulis.
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran Active
Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik terhadap kemampuan representasi
matematis peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain
berbentuk posttest only control group design. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh
peserta didik kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan yang terbagi menjadi dua kelas.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh. Data yang
didapatkan dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis statistik uji t-test
dengan uji hipotesis satu pihak. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan rata-rata nilai hasil
tes kemampuan representasi matematis peserta didik kelas eksperimen adalah 65,42,
sedangkan kelas kontrol adalah 54,76. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan menggunakan
uji t test dihasilkan 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,475 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,671. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , taraf
signifikansi 𝛼 = 5% maka 𝐻0 ditolak. Hal tersebut mempunyai arti bahwa kemampuan
representasi matematis kelas eksperimen lebih baik daripada kemampuan representasi
matematis kelas kontrol.
PENDAHULUAN
Kemajuan sebuah bangsa dilihat dari bagaimana perkembangan pendidikan bagi
bangsa itu sendiri. Kemajuan dalam satuan waktu jangka panjang akan dapat
memprediksi bagaimana kualitas bangsa pada sekian puluh tahun ke depan (Hamzah &
Muhlisrarini, 2014). Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan generasi
bangsa yang berkompeten dan berkualitas untuk kemajuan bangsa tersebut. Pendidikan
juga berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan suatu bangsa. Upaya untuk
mencapai pendidikan yang berkualitas juga harus ada proses pembelajaran yang baik,
dimana pembelajaran tersebut mampu membawa peserta didik untuk mencapai tujuan
dalam pembelajaran, terutama dalam pembelajaran matematika.
Mata pelajaran matematika dikategorikan menjadi salah satu mata pelajaran yang
sulit, bahkan kurang begitu diminati oleh sebagian besar peserta didik. Asumsi dalam
benak peserta didik yang menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang
menakutkan dan sulit untuk dipahami merupakan permasalahan awal yang harus
dihadapi dan diatasi oleh seorang pendidik. Permasalahan awal itulah yang
menyebabkan kemampuan matematis yang dimiliki peserta didik kurang berkembang
dengan baik.
Peserta didik diharuskan untuk memiliki lima standar kemampuan matematis
yang ditetapkan NCTM, yaitu: (1) kemampuan pemecahan masalah, (2) kemampuan
komunikasi, (3) kemampuan koneksi, (4) kemampuan penalaran, (5) kemampuan
representasi (Effendi, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah Indonesia
melalui Permendiknas No.22 tahun 2006 menetapkan lima tujuan dalam pembelajaran
matematika yang harus dicapai, salah satu diantaranya berkaitan tentang kemampuan
representasi matematis. Jadi dapat diketahui bahwa kemampuan representasi
matematis penting untuk dikembangkan oleh peserta didik . Tapi pada kenyataannya
peserta didik belum mempunyai kemampuan representasi matematis sepenuhnya.
Pembelajaran matematika seharusnya memberikan peluang sebanyak-banyaknya
bagi peserta didik untuk aktif memperoleh informasi serta menemukan solusi
permasalahan yang dikemukakan guru. Namun pada kenyataannya sampai sekarang
pelaksanaan pembelajaran matematika cenderung masih didominasi guru melalui
kegiatan ceramah. Peserta didik kurang mempunyai minat untuk menemukan jawaban
sendiri atas permasalahan apabila guru tidak memberikan penjelasan terlebih dahulu.
Ceramah juga membuat peserta didik cepat melupakan informasi atau materi yang
dijelaskan (Ariasa, Wiyasa, & Kristiantari, 2014).
Permasalahan diatas juga peneliti temukan dalam proses pembelajaran di MTs
Tarbiyatul Islamiyah Batangan. MTs Tarbiyatul Islamiyah merupakan salah satu sekolah
swasta yang terletak di Kecamatan Batangan Kabupaten Pati. Berdasarkan hasil
pengamatan peneliti, pelaksanaan pembelajarannya masih menerapkan metode
ceramah. Proses pembelajarannya masih menggunakan metode konvensional yang
didominasi oleh guru sebagai pemberi materi pelajaran dan peserta didik sebagai
penerima materi pelajaran. Peserta didik hanya pasif mendengarkan penjelasan guru
dan mencatatnya. Proses pembelajaran seperti itu menjadikan peserta didik cepat bosan
dan mengantuk. Sebagian besar dari peserta didik masih terlihat kesulitan
menggunakan representasi visual dalam menyelesaikan masalah. Misalnya ketika
peserta didik diminta menggambarkan diagram venn untuk soal himpunan, peserta
didik masih banyak yang kesulitan dan kurang tepat dalam menggambarkannya.
Kemudian kemampuan yang masih rendah adalah kemampuan menggunakan
ekspresi matematika. Peserta didik kesulitan dalam menyajikan himpunan dengan
notasi himpunan. Peserta didik masih terlihat kebingungan memahami bahasa
matematika atau notasi matematika yang ada dalam permasalahan matematika. Selain
itu ketika peserta didik disuruh untuk menyebutkan definisi himpunan, bukan
himpunan, irisan himpunan, ataupun gabungan himpunan, mereka masih kesulitan
mengungkapkan pendapat secara lisan maupun teks tertulis. Kesimpulan yang peneliti
peroleh dari hasil observasi yang peneliti lakukan pada kelas VII MTs Tarbiyatul
Islamiyah Batangan bahwa kemampuan representasi matematis yang dimiliki peserta
didik dapat dikatakan belum berkembang secara maksimal.
Hal tersebut juga didukung oleh wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal
17 Januari 2017 dengan Maria Fitriani selaku guru pengampu matematika kelas VII di
MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan, diperoleh informasi bahwa masih banyak peserta
didik yang mengalami kesulitan mempelajari matematika. Beberapa peserta didik
mengalami kesulitan dalam membuat gambar untuk memperjelas suatu masalah dan
memfasilitasi penyelesaiannya. Peserta didik juga masih kesulitan untuk menyelesaikan
permasalahan dengan melibatkan ekspresi matematis yang benar. Hal tersebut dapat
dilihat dengan banyak ditemukannya peserta didik yang masih salah dalam menafsirkan
permasalahan matematika yang terdapat dalam soal dengan ekspresi matematis yang
benar. Selain itu, Peserta didik juga masih kesulitan menyusun argumen untuk
menjawab soal secara lisan maupun teks tertulis. Berdasarkan pemaparan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa peserta didik kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah
Batangan mempunyai kemampuan representasi matematis yang masih kurang.
Berdasarkan uraian permasalahan yang peneliti sebutkan sebelumnya, maka
model pembelajaran yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut yaitu Active
Knowledge Sharing. Menurut Silberman (2007:82) mengemukakan bahwa ”Active
Knowledge Sharing adalah sebuah model yang baik untuk menarik perhatian peserta
didik pada materi pelajaran dan dapat membentuk tim belajar serta saling berbagi
pengetahuan dengan teman lainnya, serta dapat digunakan sebagai penilaian tingkat
pengetahuan para peserta didik”. Kerjasama dalam kelompok dapat memberikan
konstribusi peluang yang banyak bagi peserta didik untuk mengkomunikasikan ide atau
gagasan matematika ke dalam bentuk representasi visual, ekspresi, dan kata-kata atau
teks tertulis sehingga diharapkan kemampuan representasi matematis akan lebih baik.
Dewi (2012:8) mengemukakan bahwa “model pembelajaran Active Knowledge
Sharing mampu menjadikan peserta didik terlibat secara aktif, dimana mereka dalam
kelompoknya dapat berdiskusi, mengeksplorasi, mengaplikasikan pemahaman dan
pengetahuan yang diperolehnya”. Sehingga dengan mengeksplorasi dan
mengaplikasikan pemahaman maka pada tahap ini peserta didik mengorganisasikan
masalah, mengilustrasikan dan membuat representasi dari permasalahan matematika
ke dalam bentuk representasi lain. Kemudian pendapat yang diungkapkan oleh Majid &
Chitra (2013:1292) : “Active knowledge sharing, brings many benefits to students such as
better academic achievements, improved communication and interpersonal skills”. Kalimat
tersebut mempunyai arti bahwa Active Knowledge Sharing memberikan manfaat yang
banyak bagi peserta didik seperti meningkatnya prestasi belajar akademik yang lebih
bagus, serta meningkatnya komunikasi dan keterampilan interpersonal. Pembelajaran
Active Knowledge Sharing mendorong peserta didik untuk men-sharing yaitu saling
bertukar fikiran mengungkapkan ide dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki,
sehingga komunikasi antar peserta didik juga berkembang dengan baik.
Pelaksanaan model pembelajaran ini menggunakan variasi yaitu dengan
memberikan kartu indeks kepada peserta didik. Peserta didik diminta untuk menulis
sebuah informasi yang mereka yakini akurat mengenai materi pembelajaran. Kemudian
peserta didik bergerak dengan berbagi apa yang telah ditulis dalam kartu tersebut
(Silberman,2007). Peserta didik menggunakan kartu indeks tersebut untuk menulis
kata, ekspresi matematis, ataupun visualisasi gambar untuk mempermudah siswa dalam
memahami materi yang diajarkan. Jadi dengan menerapkan model pembelajaran Active
Knowledge Sharing diharapkan kemampuan representasi matematis peserta didik akan
menjadi lebih baik.
Pelaksanaan pembelajaran aktif tipe Active Knowledge Sharing ini diiringi dengan
pendekatan saintifik, dimana pendekatan saintifik dalam pembelajaran ini mencakup
langkah kegiatan meliputi kegiatan mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan
mengkomunikasikan. Kemudian di akhir pembelajaran setiap pertemuan diadakan kuis,
dimana kuis tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil kemampuan
representasi matematis yang diperoleh peserta didik selama menerapkan model
pembelajaran Acive Knowledge Sharing. Sebagaimana menurut Rusnilawati (2016)
menyatakan bahwa pendekatan saintifik mengarahkan peserta didik tidak hanya
menghafal konsep-konsep matematika yang dipelajari, melainkan terlibat aktif dalam
penemuan konsep tersebut. Kemudian pendekatan saintifik juga baik digunakan untuk
membangun kemampuan matematis serta mengaktifkan peserta didik untuk
membangun pengetahuan secara mandiri.
Materi segiempat merupakan salah satu materi pokok pelajaran matematika KTSP
kelas VII yang diajarkan di semester genap MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan tahun
pelajaran 2016/2017. Peneliti memilih materi segiempat karena pada materi tersebut
membutuhkan kemampuan representasi matematis (visualisasi gambar, ekspresi
matematis, maupun kata-kata atau teks tertulis).
Berdasarkan uraian yang peneliti jelaskan sebelumya, maka peneliti tertarik untuk
melaksanakan penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Pembelajaran Active
Knowledge Sharing dengan Pendekatan saintifik Terhadap Kemampuan Representasi
Matematis Peserta Didik Materi Segiempat MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan Tahun
Pelajaran 2016/2017”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode pendekatan
eksperimen dan desain berbentuk Posttest-Only Control Group Design. Penelitian
dilaksanakan di MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan pada bulan April-Mei 2017,dengan
populasi yaitu kelas VII MTs Tarbiyatul Islamiyah Batangan dengan jumlah 67 peserta
didik yang terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas VII A dan VII B. Pengambilan sampel
menggunakan teknik nonprobability sampling tipe sampling jenuh, karena hanya terdiri
dari dua kelas yaitu VII A dan VII B maka kedua kelas tersebut digunakan sebagai
sampel dalam penelitian. Pemilihan kelas eksperimen dan kontrol ditentukan dari
sampel yang telah diambil dengan menggunakan undian. Sehingga didapatkan kelas VII
A sebagai kelas kontrol dan kelas VII B sebagai kelas eksperimen.
Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat, dimana
variabel bebasnya adalah model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan
pendekatan saintifik, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan representasi
matematis. Pengumpulan data kemampuan representasi matematis menggunakan tes.
Tes yang diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kemampuan
representasi matematis berupa soal-soal uraian. Semua instrumen yang akan digunakan
harus diujicobakan terlebih dahulu, kemudian dilakukan analisis instrumen untuk
memperoleh instrumen yang layak. Analisis instrumen soal kemampuan representasi
matematis yaitu meliputi uji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda.
Tes tahap awal diambil dari menganalisis soal dokumentasi guru yang memuat
indikator kemampuan representasi matematis, yaitu dari soal ulangan akhir semester
dan ulangan tengah semester. Analisis yang dilakukan meliputi uji normalitas,
homogenitas, dan uji kesamaan dua rata-rata. Uji normalitas data dilakukan dengan uji
Chi-Kuadrat. Pengujian homogenitas dengan uji F, dan uji kesamaan dua rata-rata
menggunakan uji t. Tujuan analisis data tahap awal ini untuk mengetahui apakah
seluruh populasi berasal dari kemampuan awal yang seimbang atau sama.
Analisis data tahap akhir dilakukan untuk posttest kemampuan representasi
matematis peserta didik. Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas,
homogenitas dan uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji Chi-Kuadrat.
Uji homogenitas menggunakan uji F. Terakhir uji hipotesis atau uji perbedaan rata-rata
menggunakan rumus uji t pihak kanan.
didik tersebut. Sesuai teori konstruktivisme yang menerangkan bahwa peserta didik
menemukan sendiri, mengembangkan ide supaya benar-benar mampu untuk
memahami dan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya.
Pada pelaksanaan pembelajaran dengan model AKS ini guru memberikan variasi
dengan penggunaan kartu indeks. Penggunaan kartu indeks dan LKPD dalam
pembelajaran mampu membuat peserta didik tertarik dan lebih termotivasi untuk
semangat dalam belajar. Hal tersebut terlihat ketika kegiatan pembelajaran peserta
didik antusias dalam mengerjakan soal latihan representasi matematis pada LKPD dan
menuliskan semua informasi yang diperoleh ke dalam kartu indeks tersebut.
Pelaksanaan model Active Knowledge Sharing ini diiringi dengan pendekatan
saintifik, dimana terdapat langkah-langkah dalam pendekatan saintifik. Pada perlakuan
dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen,
peserta didik memperoleh kesempatan yang banyak untuk mengeksplorasi,
mengaplikasikan pemahaman, mengilustrasi dan membuat representasi dari
permasalahan matematika.
Berbeda dengan kelas kontrol yang menerapkan metode konvensional dengan
hanya mendapatkan penjelasan daari guru melalui metode ceramah, tanya jawab dan
pemberian tugas. Metode konvensional yang digunakan pada kelas kontrol akan
mengakibatkan peserta pasif sehingga sulit dalam mengembangkan kemampuan
representasi matematis secara maksimal. Jadi Penelitian ini menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran Active Knowledge Sharing dengan pendekatan saintifik
efektif terhadap kemampuan representasi matematis peserta didik.
REFERENSI
Ariasa, I. K., Wiyasa, I. K., & Kristiantari, M. R.2014. Pengaruh Model Pembelajaran
Active Knowledge Sharing Terhadap Hasil Belajar Matematika Peserta
Abstrak
Kemampuan pemecahan masalah peserta didik rendah karena mereka kesulitan dalam
mengubah masalah dalam kalimat matematika. Sebagian dari mereka tidak mampu
menuliskan informasi yang terdapat dalam soal dalam soal, apa yang menjadi pertanyaan
dalam soal dan rumus matematika yang harus digunakan untuk mengerjakan suatu soal.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang berdesain posttest-only control design.
Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VII MTs Miftahul Huda Maguan
sekaligus sebagai sampel penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis
uji t-test dengan uji hipotesis satu pihak. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas VII A (eksperimen) adalah 79,07.
Sedangkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas kontrol adalah
72,46. Hasil uji perbedaan rata-rata dengan menggunakan uji t test diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,182
dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,674. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 dengan taraf nyata 5% maka 𝐻0 ditolak. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah kelas yang menggunakan model BBL
lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah kelas dengan model konvensional.
PENDAHULUAN
Guru mempunyai peran penting dalam berlangsungnya proses pembelajaran.
Upaya yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran adalah dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan
dapat melibatkan peserta didik berperan aktif dalam pembelajaran. Misalnya seorang
guru memberikan berbagai inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran yang sesuai dengan kondisi kelas. Sehingga peserta didik merasa tertarik
dalam mengikuti proses pembelajaran.
Menurut Arens (dalam Trianto, 2009:22) menyatakan, “the term teaching model
refers to particular to instruction that incledes its its goals, syntax, enviroment, and
management system”. Hasil belajar peserta didik salah satunya dipengaruhi oleh model
pembelajaran yang kurang sesuai. Kemampuan pemecahan masalah peserta didik juga
dipengaruhi oleh rasa bosan. Ketika metode yang digunakan seorang guru dalam
pembelajaran hanya ceramah, peserta didik cenderung merasa bosan dan akibatnya
peserta didik menjadi pasif. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu menerapkan
model pembelajaran inovatif yang dapat meningkatkan respon peserta didik dalam
pembelajaran. Meningkatnya respon peserta didik diharapkan dapat mempengaruhi
kemampuan pemecahan masalah peserta didik menjadi lebih baik.
Kemampuan pemecahan masalah didalam matematika merupakan komponen
yang penting dalam kehidupan. Sehingga ketika kemampuan pemecahan masalah
peserta didik tinggi diharapkan dapat menghadapi permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari dengan baik. Karena permasalahn dalam kehidupan sehari-hari masih
memerlukan beberapa data yang harus dicari sebagai informasi tambahan dan data-
data yang kurang valid bisa dibuang. Beberapa peserta didik tidak bisa melakukan
identifikasi masalah dengan baik. Ketika disajikan soal pemecahan masalah materi
bangun datar segiempat peserta didik tidak mengerjakan secara sistematis.
Hal ini menunjukkan bahwa cara peserta didik dalam mengerjakan soal
pemecahan masalah kurang sistematis, peserta didik tidak menuliskan informasi yang
ada dalam soal dan apa yang ditanyakanl. sebagian peserta didik tidak mampu
menuliskan rumus matematika yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal. Oleh
karena itu, peserta didik tidak bisa mengerjakan sesuai rencana pemecahan dengan
baik. Rata-rata peserta didik juga tidak memeriksa kembali jawabannya karena antara
pertanyaan dengan jawaban peserta didik ada yang belum sesuai.
Berdasarkan hasil observasi pembelajaran dikelas VII A dan VII B, peserta didik
cenderung pasif dalam menerima pelajaran dan kurang memperhatikan guru ketika
mengajar, banyak dari peserta didik kurang percaya diri ketika diminta untuk
menuliskan hasil pekerjaannya dipapan tulis. Peserta didik merasa ragu dengan hasil
pekerjaan mereka sehingga banyak yang menyontek.
Belajar matematika tidak hanya dibutuhkan kemampuan menghafal dan
mengingat rumus, tetapi dibutuhkan pengertian dan pemahaman masalah matematika
serta kemampuan peserta didik dalam menghubungkan informasi-informasi baru
dengan konsep yang sudah peroleh sebelumnya. Perlu dipersiapkan pembelajaran yang
aktif dan inovatif, dengan harapan peserta didik dapat memahami dengan baik
permasalahan matematika pada materi bangun datar segiempat khususnya bangun
persegi panjang, jajargenjang, belah ketupat dan trapesium.
Pembelajaran matematika di MTs Miftahul Huda menggunakan metode ceramah,
guru menjelaskan materi kemudian peserta didik diberi contoh soal yang berhubungan
dengan materi untuk dikerjakan bersama-sama dan di akhiri dengan guru memberikan
latihan soal kepada peserta didik. Soal-soal yang diberikan oleh guru biasanya
dikerjakan secara individu. Proses pembelajaran di MTs Mifatahul Huda belum
melibatkan keaktifan peserta didik. Pembelajaran masih berpusat kepada guru, belum
muncul komunikasi dua arah.
Model pembelajaran brain based learning adalah model pembelajaran yang
secara alamiah disesuaikan dengan sistem kerja otak untuk belajar. Pembelajaran BBL
atau kemampuan otak ini mulai muncul pada sekitar 1980-an ketika seluruh cabang
ilmu-ilmu baru berkembang secara perlahan. Pembelajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan otak mempertimbangkan apa yang sifatnya alami bagi otak kita dan
bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman. Otak dapat belajar secara
optimal dalam sebuah lingkungan yang kondusif terhadap bagaimana otak saat paling
baik untuk belajar (Jensen, 2008:11).
BBL merupakan salah satu cara yang dapat digunakan agar peserta didik aktif
dan merasa nyaman dalam pembelajaran. BBL juga memperhatikan proses dalam
pembelajaran tidak hanya ingin mencapai hasil belajar yang maksimal saja. Menurut
Given (Zakiyah, 2013:8) dengan pembelajaran yang menyenangkan akan membuat
koneksi atau hubungan antara belahan otak kanan dan kiri menjadi lebih cepat,
sehingga lebih membuat peserta didik dapat dapat berfikir tentang pemecahan masalah
matematika.
Otak merupakan organ yang menduduki posisi terhormat pada tubuh setiap
makhluk yang berjalan tegak (Homo Erectus) yang bernama manusia. Otak adalah satu-
satunya tubuh yang perkembangannya pesat sehingga secara otomatis dapat
mempelajari dirinya sendiri. Otak bisa berfungsi seumur hidup untuk belajar dan pada
belajar pula terletak kekuatan otak. Otak adalah organ yang apabila dirawat, dijaga dan
dipelihara dengan baik dan teratur dapat bertahan seratus tahun lebih. Tidak seperti
organ tubuh lain, yang kian tua kian rusak, otak justru makin tua makin menunjukkan
fungsi yang kian luas dan lebar (Masykur & Fathani, 2009:86). Menurut Paisak (dalam
Masykur & Fathani, 2009:87) orang yang berprinsip long life education (‘uthlubul al-
‘ilma min al-mahd ila al-lahd, tuntutlah ilmu sejak berada dalam kandungan sampai ke
alam kubur) adalah mereka yang memanfaatkan kemampuan otaknya dengan maksimal.
Salah satu cara yang bisa digunakan untuk membuat peserta didik lebih mudah
dalam mengerjakan soal pemecahan masalah adalah dengan memuat soal dalam LKPD.
LKPD harus selaras dengan materi dan tidak hanya berupa soal-soal saja, akan tetapi
berupa langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan kegiatan-kegiatan yang dapat
menjadikan pembelajaran menjadi bermakna. Hal ini agar peserta didik tidak terlalu
kesulitan dan malas berfikir, akan tetapi rasa keingintahuan peserta didik muncul untuk
menyelesaikan suatu permasalahan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perlu diadakan
penelitian dengan judul “Efektifitas Model Brain Based Learning (BBL) berbantu LKPD
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Kelas VII MTs Miftahul
Huda Maguan Tahun 2016/2017”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan
metode eksperimen yang berdesain “posttest-only control design”. Hal ini dikarenakan
penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mencari pengaruh perlakuan (treatment)
khusus terhadap yang lain (Sugiyono, 2009).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII MTs Miftahul
Huda tahun pelajaran 2016/2017 sebanyak 56 peserta didik yang terbagi dalam 2 kelas
yaitu kelas VII A dan kelas VII B. Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi,
dikarenakan penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling. Teknik yang
digunakan adalah sampling jenuh.
Penelitian ini fokus pada kemampuan pemecahan masaah matematika peserta
didik pada materi bangun datar segiempat. Adapun langkah-langkah penelitian adalah
(1) Mengumpulkan lembar jawab UAS gasal 2016/2017 peserta didik untuk melakukan
uji tahap awal penelitian yang meliputi uji kenormalan, uji homogenitas dan uji
kesamaan rata-rata (2) Menentukan kelas yang akan diberikan perlakuan model BBL
dan kelas yang akan diberikan perlakuan model konvensional dengan sampling jenuh
(3) Memberikan perlakuan Model BBL pada kelas VII A (eksperimen) dan konvensional
pada kelas VII B (control) (4) Melakukan uji coba soal post test kemapuan pemecahan
masalah yang kemudian dilakukan perhitungan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran
dan daya beda (5) Memberikan soal post test kepada kelas VII A (eksperimen) dan kelas
VII B (control) (6) Melakukan uji tahap akhir menggunakan nilai posttest dengan uji
kenormalan, uji homogenitas, uji perbedaan rata- rata.
Uji perbedaan rata-rata yang digunakan adalah uji satu pihak (uji t) yaitu pihak
kanan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai pemecahan masalah kelas VII A
(eksperimen) dengan nilai pemecahan masalah kelas VII B (kontrol).
HASIL PENELITIAN
Kegiatan pengambilan data ini dilaksanakan di MTs Miftahul Huda mulai tanggal
29 April 2017 sampai tanggal 29 Mei 2017. Seluruh kelas VII semester 2 tahun pelajaran
2016/2017 dengan jumlah 56 peserta didik menjadi populasi dalam penelitian ini. Kelas
VII terbagi menjadi dua kelas yaitu kelas VII A dan kelas VII B. Sebelum kedua kelas
ditentukan sebagai sampel, peneliti melakukan uji kenormalan, uji homogenitas dan
kesamaan rata-rata pada popolasi dengan menggunakan nilai Ulangan Akhir semester
(UAS) gasal 2016/2017 soal pemecahan masalah. Dengan menggunakan sampling jenuh,
kemudian ditentukan kelas VII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VII B sebagai kelas
kontrol.
Kriteria pengujian: jika 𝐿0 < 𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 dengan taraf nyata 5% maka H0 diterima
(Sudjana: 2005). Hasil perhitungan uji kenormalan nilai kemampuan pemecahan
masalah dari tabel diatas menunjukkan bahwa kedua kelas berdistribusi normal. Setelah
itu dilakukan uji homogenitas untuk mengetahui varians antara kedua kelompok setelah
diberi perlakuan yang berbeda.
Hipotesis :
H0 ∶ σ12 = σ22
𝐻1 ∶ 𝜎12 ≠ 𝜎22
Pengujian hipotesis :
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹 = 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
Kriteria pengujian :
Tolak 𝐻0 jika 𝐹 ≥ 𝐹 (1/2.α)(v1,v2) (Sudjana , 2005)
Tabel
Perhitungan Homogenitas Akhir
Sumber Eksperimen Kontrol
variasi
Jumlah 2214 2029
N 28 28
X 79,07 72,46
Varians (S2) 132,21 124,62
Standart 11,49 11,16
deviasi (S)
pertanyaan materi sebelumnya. Selain itu guru juga memperlihatkan dan menjelaskan
tentang peta konsep bangun datar segiempat. Hal ini bertujuan untuk membentuk
pemahaman konsep awal peserta didik. Pembelajaran ini sesuai dengan teori Ausubel
yaitu teori belajar bermakna (Trianto, 2009:37). Dimana dalam proses belajar lebih
ditekankan pada pemahaman konsep awal dan pembelajaran dengan diskusi dan
kegiatan kelompok dapat menjadikan proses belajar peserta didik menjadi lebih
bermakna.
Peserta didik terlibat aktif dalam menemukan rumus bangun datar segiempat,
sehingga peserta didik dapat memahami proses penemuan rumus luas dan keliling
bangun datar segiempat. Hal ini terlihat ketika proses pembelajaran peserta didik
diberikan LKPD yang berisi serangkaian kegiatan kelompok dan latihan soal pemecahan
masalah. Kegiatan kelompok memudahkan peserta didik dalam memahami materi,
karena peserta didik diberikan kesempatan untuk diskusi dengan masing-masing
anggota kelompok sehingga peserta didik lebih mudah untuk bertukar pendapat. Ketika
peserta didik diberikan LKPD, terlihat rasa keingintahuan mereka muncul. Hal ini
terlihat pada keberanian mereka untuk bertanya kepada anggota kelompok mereka atau
kepada guru ketika ada perintah atau soal yang belum mereka pahami.
Pembelajaran BBL didesain dengan memperhatikan cara otak berpikir secara
alami, maka peserta didik tidak hanya diminta untuk fokus hanya pada materi
pembelajaran selama pembelajaran berlangsung. Akan tetapi peserta didik diberikan
kesempatan untuk merilekskan otak dan membantu otak untuk berpikir secara alami
dengan mengajak peserta didik untuk melakukan senam otak. Peserta didik juga
diberikan kesempatan untuk istirahat ditengah-tengah pembelajaran yaitu dengan
melakukan gerakan relaksasi bersama-sama. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadikan
otak secara alami dapat mengasah kemampuan otak dan otak dapat mengolah
informasi-informasi yang didapatkan untuk dibuang atau disimpan ke dalam memori
jangka panjang. Pembelajaran ini sesuai dengan teori belajar pemrosesan informasi,
dimana peserta didik menggunakan kemampuan otak untuk mengingat materi yang
sedang dipelajari.
Berbeda dengan pembelajaran konvensional, guru berperan lebih aktif daripada
peserta didik. Dimana peserta didik hanya mendengarkan penjelasan materi yang
disampaikan oleh guru. Peserta didik tidak terlibat dalam menemukan rumus dari
materi bangun datar segiempat, sehingga jika dihadapkan dengan soal pemecahan
masalah dan mereka lupa rumus maka akan kebingungan dalam mengerjakan soal
tersebut.
KESIMPULAN
Hasil penelitian tentang “efektifitas model brain based learning (BBL) berbantu
LKPD terhadap kemampuan pemecahan masalah materi segiempat kelas VII MTs
Miftahul Huda Maguan tahun 2016/2017”, adalah penerapan pembelajaran BBL
berbantu LKPD efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas
VII MTs Miftahul Huda Maguan tahun 2016/2017. Hal ini berdasarkan uji hipotesis
menggunakan uji t, diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,182 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,674 dengan demikian
maka 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 artinya rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas yang
menggunakan model BBL lebih baik dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah
kelas yang menggunakan model konvensioal.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih peneliti haturkan kepada Ibu Emy Siswanah, S.Pd, M.Sc
selaku pembimbing I dan Bapak Ahmad Aunur Rohman, M.Pd selaku pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti. Serta kepada seluruh
pihak MTs Miftahul Huda Kaliori yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk
melakukan penelitian. Ucapan terimakasih juga peneliti haturkan kepada berbagai pihak
senantiasa mendukung peneliti selama proses penelitian.
REFERENSI
Jensen, E. 2008. Brain Based Learning Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak. Celeban
Timur: Pustaka Pelajar.
Masykur, M dan Fathani, AH. 2009. Mathematical Intelegence. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif (Konsep, Landasan dan
Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Zakiyah, QY. 2013. Implementasi Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak (Brain Based
Learning) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis (Study Kuasi
Eksperimen pada Siswa Sekolah Dasar di kota Bandung). Skripsi. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe
Think Talk Write (TTW) terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada
Materi Bangun Ruang kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan Tahun Pelajaran 2016/2017. Kajian
penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan yang terjadi tentang komunikasi
matematis peserta didik yang rendah. Pada materi bangun ruang, peserta didik belum bisa
menyatakankan argumennya dengan baik meskipun sebenarnya mereka telah memiliki ide
dan gagasan dalam pikiran mereka. Selain itu peserta didik mengalami kesulitan dalam
menginterpretasikan suatu permasalahan dalam bentuk gambar. Ketika diberikan soal
cerita, peserta didik kesulitan untuk menerjemahkan kalimat yang ada pada soal menjadi
bentuk model matematika. Selain itu, peserta didik cenderung menuliskan jawaban tanpa
memperhatikan kejelasan dan sistematika dalam penulisan. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian eksperimen dengan bentuk Posttest-Only Control Group Design. Populasi
penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan. Pengambilan
sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan tes. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan rata-rata nilai pada kelas eksperimen 78,2903 dan rata-rata nilai kelas kontrol
69,5667. Sehingga hasil perhitungan data penelitian diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,38833 dan
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 Ini berarti nilai rata-rata kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang
menggunakan model pembelajaran TTW lebih tinggi dari pada nilai rata-rata peserta didik
untuk kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional. Dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write
(TTW) efektif terhadap kemampuan komunikasi matematis peserta didik kelas VIII pada
Materi Bangun Ruang kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan Tahun Pelajaran 2016/2017.
Kata Kunci : Think Talk Write, Kemampuan Komunikasi Matematis, dan Bangun Ruang
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam membangun
kehidupan bangsa yang bermartabat. Salah satu komponen dari pendidikan adalah
pembelajaran. Pembelajaran seharusnya hadir dengan wajah yang menyenangkan.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berorientasi pada kehidupan
nyata/kontekstual.
Pembelajaran kontekstual memiliki peran yang cukup penting. Pembelajaran yang
lebih dekat dengan kehidupan peserta didik membuat materi bisa tersampaikan dengan
lebih efektif dan bermakna, tidak terkecuali dengan pembelajaran matematika.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan penting
dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. Matematika menjadi salah
satu ilmu yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun
sayangnya, mayoritas peserta didik beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran
yang sangat membosankan dan kurang menarik. Problem tersebut dikarenakan
metodologi dan pedagogi yang dipakai oleh guru kurang tepat sehingga guru belum bisa
menghadirkan pembelajaran yang realistis dan bermakna di dalam kelas. Ilmu
matematika yang seharusnya akrab dengan kehidupan peserta didik menjadi asing dan
kurang bermakna.
Guru matematika diharapkan mampu membuat peserta didik menikmati
pembelajaran matematika bukan malah membuat peserta didik takut untuk
melaksanakan pelajaran. Guru harus bisa menghadirkan kelas menjadi tempat untuk
berekreasi dan penuh dengan kegembiraan. Guru juga diharapkan bisa mengemas
tidak jarang ada peserta didik yang mampu mengenali simbol/istilah dengan baik akan
tetapi tidak mampu memahami apa maksud dari informasi tersebut. Oleh karena itu,
kemampuan komunikasi matematika perlu dikembangkan dalam diri peserta didik.
Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan peserta didik untuk
mengungkapkan pemikiran matematisnya dalam bentuk lisan, tulisan maupun gambar
dengan bahasa yang baik dan tepat, serta dapat memahami representasi matematis
dengan baik. Menurut Sumarmo (Kadir, 2008), komunikasi matematis merupakan
kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk
berkomunikasi dalam bentuk :
a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide-ide matematika.
b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan dan tulisan dengan
benda nyata, gambar, grafik dan aljabar.
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematik.
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika (dalam diskusi
kelompok dan kelas).
e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.
f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.
g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Materi bangun ruang merupakan materi geometri yang diajarkan di SMP/MTs
kelas VIII semester genap. Pada materi ini peserta didik akan mengenal beberapa
bangun ruang sisi datar yaitu kubus, balok, prisma, dan limas. Pada materi tersebut,
komunikasi matematis sangatlah diperlukan oleh peserta didik. Materi bangun ruang
merupakan materi yang bersifat tiga dimensi. Sehingga dalam menyelesaikan soal
peserta didik diharapkan bisa mengkonkretkan ide mereka kedalam bentuk gambar.
Selain itu, peserta didik diharapkan pula dapat menyimbolkan permasalahan kedalam
bahasa matematika.
Prestasi belajar matematika peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Rendahnya prestasi
belajar matematika peserta didik dapat dilihat dari laporan TIMSS (Trends in
International Mathematics and Science Study). TIMSS adalah studi internasional tentang
prestasi matematika dan sains peserta didik sekolah lanjutan tingkat pertama yang
diselenggarakan setiap empat tahun sekali. Pada tahun 2011, Indonesia berada pada
pringkat 38 dari 42 negara dengan skor 386. Skor tersebut turun 11 poin dari tahun
2007 (Napitupulu, 2012). Sedangkan pada TIMSS tahun 2015 Indonesia berada pada
peringkat 45 dari 50 negara dengan skor 397(Rahmawati, 2016).
Berikut hasil pencapaian peserta didik Indonesia dalam TIMSS 2015, untuk tiap-
tiap domain konten dan domain kognitif dibanding dengan negara lainya:
Gambar 1 Capaian Skor Matematika per konten dan level kognitif peserta didik
Indonesia pada TIMSS 2015
Pada bagian geometric (geometri), Indonesia mendapatkan skor 28 sedangkan
rata-rata internasional yang mencapai skor 50. Pada bagian applying Indonesia juga
tertinggal dari nilai rata-rata internasional yaitu 24 untuk Indonesia sedangkan rata-
rata internasional sebesar 48 (Rahmawati, 2016).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif
tipe TTW terhadap kemampuan komunikasi matematis pada peserta didik kelas VIII
SMP Negeri 2 Pabelan pada pokok bahasan Bangun Ruang tahun pelajaran 2016/2017.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan langsung dengan
pembelajaran Bangun Ruang di SMP dengan menggunakan Model Pembelajaran TTW.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode penelitian
eksperimen dengan bentuk Posttest-Only Control Group Design. Pada desain penelitian
ini terdapat dua kelompok yang masing-masing dipilih secara random/acak. Kelompok
pertama disebut sebagai kelompok eksperimen yaitu kelompok yang diberikan
perlakuan menggunakan model pembelajaran TTW. Kelompok dua disebut sebagai
kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak diberikan perlakuan.
Populasi dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP Negeri 2 Pabelan
berjumlah 161 peserta didik yang tersebar dalam enam kelas yaitu kelas VIII A, VIII B,
VIII C, VIII D, dan VIII E. Dari enam kelas tersebut, peneliti mengambil dua kelas sebagai
sampel.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara cluster random sampling, yang
juga disebut dengan sampling sederhana. Pengambilan dilakukan secara acak karena
diasumsikan semua kelas relatif sama. Asumsi tersebut didasarkan pada alasan bahwa
seluruh kelas diampu oleh guru yang sama, berada pada tingkat kelas yang sama,
mendapatkan materi pelajaran dengan kurikulum yang sama dan pembagian kelas tidak
berdasarkan tingkatan pengetahuan (tidak ada kelas unggulan).
Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel bebas dan terikat. Variabel
bebasnya adalah TTW sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan komunikasi
matematis.
Metode Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode
dokumentasi dan metode tes. Metode dokumentasi digunakan untuk mendapatkan
daftar nama dan nilai awal peserta didik serta pengambilan photo selama proses
penelitian. Metode tes berupa posttest digunakan untuk mengetahui kemampuan
komunikasi matematis setelah dilakukan perlakuan.
Instrumen tes yang akan digunakan harus diujicobakan terlebih dahulu, kemudian
dilakukan analisis instrumen untuk memperoleh instrumen yang layak. Analisis
instrumen kemampuan komunikasi matematis meliputi validitas, reliabilitas, tingkat
kesukaran, dan daya beda.
Analisis data tahap awal menggunakan data UTS peserta didik. Analisis yang
dilakukan meliputi uji normalitas, uji homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata. Uji
normalitas data dilakukan dengan uji Liliefors. Pengujian homogenitas dengan uji
bartlett, dan uji kesamaan rata-rata menggunakan uji ANOVA. Analisis data tahap awal
dilakukan untuk mengetahui apakah seluruh populasi memiliki kemampuan awal yang
sama, sehingga dapat dilakukan pengambilan sampel secara acak.
Analisis data tahap akhir dilakukan untuk data kemampuan komunikasi matematis
peserta didik. Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas, uji homogenitas dan
uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji Chi-square. Uji homogenitas
menggunakan uji F. Terakhir uji hipotesis atau uji perbedaan rata-rata menggunakan uji
t’.
matematis peserta didik kelas VIII pada materi bangun ruang kelas VIII SMP Negeri 2
Pabelan tahun pelajaran 2016/2017.
Peneliti menggunakan nilai UTS semester genap peserta didik kelas VIII SMP
Negeri 2 Pabelan sebagai dasar pengambilan sampel penelitian. Oleh karena itu, peneliti
melakukan uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan rata-rata nilai UTS genap
(data kemampuan awal peserta didik) untuk mengetahui apakah sampel penelitian
berasal dari kondisi awal yang sama atau tidak.
Hasil uji normalitas data tahap awal dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 2. Hasil uji normalitas data tahap awal
Kelas 𝑳𝟎 𝑳𝒅𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓 Keterangan
VIII A 0,100029 0,156624 Normal
VIII B 0,105403 0,151948 Normal
VIII C 0,136306 0,161761 Normal
VIII D 0,134775 0,159130 Normal
VIII E 0,073153 0,151948 Normal
Berdasarkan hasil uji normalitas di atas diketahui bahwa kelima kelas tersebut
masing-masing memiliki nilai 𝐿0 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga 𝐻0 diterima. Artinya data kelima
kelas tersebut masing-masing berdistribusi normal.
2
Hasil uji homogenitas data tahap awal diperoleh nilai 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,85585 dan nilai
2
𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 9,488. Karena 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka 𝐻0 diterima, artinya kelima kelas tersebut
2 2
berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas terhadap nilai kedua kelas
untuk menunjukkan kedua kelas memiliki varians yang sama atau berbeda, kemudian
dilakukan uji perbedaan dua rata-rata untuk menguji hipotesis penelitian.
Hasil uji normalitas data kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil uji normalitas data kemampuan komunikasi matematis
Kelas 𝝌𝟐𝒉𝒊𝒕𝒖𝒏𝒈 𝝌𝟐𝒕𝒂𝒃𝒆𝒍
Eksperimen 7,36757 7,81
Kontrol 2,58644 7,81
Berdasarkan hasil pengujian normalitas di atas diketahui bahwa kelas eksperimen
dan kontrol masing-masing memiliki nilai
2
𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 . Dengan demikian 𝐻0 diterima, artinya data kedua kelas tersebut
2
berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil uji homogenitas data kemampuan komunikasi matematis
Eksperimen Kontrol
Jumlah skor 2427 2087
Jumlah peserta didik (𝑛) 31 30
Rata-rata (𝑥̅ ) 78,2903 69,5667
Varians (𝑠 2 ) 281,546 133,702
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,10577
𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2,0920
Dari tabel diatas diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,10577 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,0920, sehingga 𝐻0
ditolak. Artinya dapat disimpulkan bahwa kedua kelas mempunyai varians yang tidak
homogen.
Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa data kemampuan komunikasi
matematis peserta kelas VIII D dan VIII C berdistribusi normal dan tidak homogen.
Dengan demikian, untuk menguji perbedaan rata-ratanya digunakan uji t’. Adapun
hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Hasil uji perbedaan rata-rata kemampuan komunikasi matematis
Kelas Eksperimen Kontrol
Jumlah Skor 2427 2087
Jumlah peserta didik (𝑛) 31 30
Rata-rata (𝑥̅ ) 78,2903 69,5667
Varians (𝑠 2 ) 281,546 133,702
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,37085
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,70
Dengan menganalisis hasil pada tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,37085 >
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70, sehingga 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka terdapat
perbedaan yang signifikan antara kemampuan komunikasi matematis peserta didik
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan
komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan pembelajaran TTW lebih baik
dari pada kemampuan komunikasi matematis peserta didik yang menggunakan
pembelajaran konvensional.
REFERENSI
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Hamdayama, Jumanta. 2015. Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Kadir. 2008. Kemampuan komunikasi matematik dan keterampilan sosial peserta didik
dalam pembelajaran matematika. Makalah disampaikan dalam
Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika, pada tanggal 28 November
2008, di Yogyakarta.
Napitupulu, Ester L. 2012. Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. Harian
Kompas 14 Desember 2012. [online]. Diakses di http://edukasi.kompas.com. Pada
tanggal 30 Maret 2017.
OECD. 2016. PISA 2015 Result in Focus. Diakses di https://www.oecd.org/pisa/pisa-
2015-results-in-focus.pdf Pada tanggal 17 Juli 2017.
Rahmawati. 2016. Seminar hasil TIMSS 2015. Diakses di
http://puspendik.kemdikbud.go.id/seminar/upload/Rahmawati-
Seminar%20Hasil%20TIMSS%202015.pdf pada tanggal 17 Mei 2017.
Shelby, S. 2016. Communicating in the Math Classroom. Diakses di
http://www.nctm.org/Publications/Mathematics-Teaching-in-Middle-
School/Blog/Communicating-in-the-Math-Classroom_-Part-1/ pada tanggal 18 Juli
2017
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:Lentera Hati.
Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran mata kuliah
Pemrograman Komputer berbasis edmodo yang valid. Model pengembangan yang digunakan
adalah model Plomp yang telah dimodifikasi. Tahapan pengembangannya meliputi tahap
investigasi awal, tahap desain, tahap realisasi/konstruksi, tahap tes, tahap evaluasi dan
revisi. Kevalidan media pembelajaran dilihat berdasarkan hasil analisis validasi dari para
validator. Hasil penelitian menunjukkan pengembangan media pembelajaran mata kuliah
pemrograman komputer berbasis edmodo valid.
PENDAHULUAN
Pemrograman komputer merupakan salah satu mata kuliah di program studi
Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Pekalongan (FKIP Unikal) yang pembelajarannya dilaksanakan secara teori dan praktik.
Pembelajaran pada mata kuliah ini, dosen menyiapkan bahan ajar sebagai acuan atau
pedoman mahasiswa melaksanakan praktik dalam mata kuliah tersebut. Bahan ajar
yang digunakan berupa modul pembelajaran, yang merupakan salah satu bentuk media
pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan dapat dipilih sesuai dengan
kebutuhan dalam pembelajaran. Media pembelajaran dapat berbentuk visual, audio,
maupun audio visual. Kegiatan pembelajaran yang baik dapat dilihat dari bahan ajar
yang digunakan. Bahan ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini berupa “modul
pembelajaran videoscribe berbasis edmodo pada Mata Kuliah Pemrograman
Komputer” yang merupakan media audio visual.
Aplikasi videoscribe merupakan aplikasi yang dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan melalui kata-kata/ kalimat, gambar dan suara kepada penerima
pesan. Aplikasi ini juga dapat digunakan oleh guru/dosen dalam proses pembelajaran
dengan mengambil istilah whiteboard animation yaitu berasal dari proses seseorang
menggambar di papan tulis dan merekamnya (Wikipedia, 2017). Pembelajaran
videoscribe ini dilaksanakan berbasis edmodo sehingga sebelum mempelajari lebih
jauh tentang videoscribe maka diharapkan sudah menguasai edmodo. Edmodo
merupakan perusahaan teknologi pendidikan yang menawarkan alat komunikasi,
kolaborasi, dan pembinaan untk guru dan sekolah (Wikipedia, 2017). Edmodo
ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi pendidik, peserta dan orangtua/wali
dapat saling berkomunikasi. Pembelajaran berbasis edmodo merupakan pembelajaran
elektronik, dimana pembelajaran elektronik menurut Jabar (2013) mampu memadukan
perkembangan teknologi dan informasi serta materi pembelajaran
Media yang dikembangkan, sebelum digunakan dalam pembelajaran hendaknya
sudah dinyatakan layak. Kelayakan media ditunjukkan dengan pernyataan “valid”. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui media pembelajaran berbasis edmodo yang
dikembangkan valid.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan menggunakan model
Plomp (Hobri, 2010) yang terdiri dari tahap investigasi awal, tahap desain, tahap
realisasi/konstruksi, tahap tes, evaluasi dan revisi. Untuk mencapai media
pembelajaran yang valid dilihat berdasarkan analisis hasil validasi dari tiga validator.
Sebagai obyek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
FKIP Unikal. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan angket yang berupa lembar
validasi yang dianalisis secara deskriptif untuk merevisi / memperbaiki media
pembelajaran (Akbar, 2013). Lembar validasi dalam penelitian ini terdiri dari 19 butir
pernyataan. Kriteria penilaian validator dapat dilihat pada tabel 1 berikut
Tabel 1 Kriteria Penilaian Validator
N Nilai Keterangan Kesimpulan
o
1 1,0 Va 1,8 Belum bisa digunakan,
Tidak baik masih memerlukan
konsultasi
2 1,8 Va 2,6 Kurang baik Dapat digunakan dengan
banyak revisi
3 2,6 Va 3,4 Cukup baik Dapat digunakan dengan
cukup banyak revisi
4 3,4 Va 4,2 Baik Dapat digunakan dengan
sedikit revisi
5 4,2 Va 5,0 Sangat baik Dapat digunakan tanpa
revisi
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan model pengembangan Plomp yang dimodifikasi
dengan cara disederhanakan. Model pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp
terdiri dari lima tahap yaitu: (1) tahap investigasi awal; (2) tahap desain; (3)
tahap realisasi/konstruksi; (4) tahap tes, evaluasi, dan revisi; dan (5) tahap
implementasi. Modifikasi yang dilakukan adalah penyederhanaan model dari lima
tahap menjadi empat tahap, yaitu (1) tahap investigasi awal; (2) tahap desain; (3)
tahap realisasi/konstruksi; dan (4) tahap tes, evaluasi, dan revisi. Tahap implementasi
tidak dilakukan secara eksplisit tetapi terpadu dalam pelaksanaan penelitian, yaitu
pada saat melakukan uji coba lapangan perangkat pembelajaran di lingkup subyek
penelitian. Implementasi dalam lingkup yang lebih luas tidak dilakukan dalam
penelitian ini, karena keterbatasan situasi dan kondisi pelaksanaan penelitian.
Tahap investigasi awal menemukan beberapa permasalahan yaitu 1)
Pembelajaran dilaksanakan secara teori dan praktik, 2) Belum dilaksanakannya
pembelajaran berbasis elektronik, dan 3) Mata kuliah Pemrograman Komputer
memerlukan kreativitas dari mahasiswa. Tahap desain terdiri dari dua tahap yaitu
perencanaan penyusunan modul dan desain produk. Pada tahap perencanaan
penyusunan modul disusun garis besar isi modul yang berisi : 1) Cover dengan judul
“Modul Pembelajaran Videoscribe Berbasis Edmodo untuk MataKuliah Pemrograman
Komputer”. 2) Pendahuluan, berisi kata pengantar, peta konsep pembelajaran, daftar
isi, daftar tabel, dan daftar gambar, 3) Isi modul yang terdiri dari 5 bab dan 4) Pustaka.
Tahap selanjutnya adalah tahap desain produk yaitu sebagai berikut.
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 1 dan 2. Tampilan Kelas dalam Pembelajaran berbasis Edmodo
Tahap berikutnya yaitu tes, evaluasi dan revisi Pada tahap ini, dilakukan uji
kevalidan. Uji kevalidan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan penilaian oleh 3
validator. Hasil validasi menyimpulkan media pembelajaran videoscribe mempunyai
kriteria kevalidan baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata validasi dari
validator yaitu 4,16. Para validator memberikan masukan sebagai berikut: 1) perlunya
pemanfaatan diskusi grup untuk tugas kelompok, 2) perlu memperbanyak macam-
macam materi dan tugas, 3) perlu konsisten dalam penilaian hasil tugas dan komentar
lanjutan. Berikut rekapan penilaian para validator.
N Pernyataan Validator
o ke- 1 2 3
1 1 4 4 5
2 2 4 4 4
3 3 4 5 4
4 4 2 3 5
5 5 5 4 5
6 6 3 4 5
7 7 3 4 5
8 8 3 4 4
9 9 5 5 5
10 10 3 4 3
11 11 4 5 4
12 12 5 4 4
13 13 5 4 5
14 14 5 4 5
15 15 3 5 5
16 16 4 4 5
17 17 3 5 5
18 18 2 3 4
19 19 4 5 4
JUMLAH 71 80 86
RATA-RATA 3.74 4.21 4.53
RATA-RATA
TOTAL 4.16
KETERANGAN Baik
KESIMPULAN
Media pembelajaran berbasis Edmodo yang dikembangkan valid. Hasil validasi
menyatakan bahwa media pembelajaran mempunyai kriteria kevalidan baik. Hal ini
ditunjukan dengan nilai rata-rata validasi dari validator yaitu 4,16.
REFERENSI
Akbar, Sakdun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosda.
Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi pada Penelitian
Pendidikan Matematika). Jember: Pena Salsabila
Iwan, Binanto. 2010. Multimedia Digital Dasar Teori dan Pengembangannya.
Yogyakarta: Andi Publisher.
Jabar, A. 2013. Pembelajaran Elektronik Pada Matematika. Lentera Jurnal Pendidikan,
8(1).
Munir, 2013. Multimedia Konsep dan Aplikasi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Nugroho, A. A. 2014. Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Dengan Strategi
Project Based Learning Berbantuan Edmodo Pada Mata Kuliah Statistik Dasar. In
MATHEMATICS AND SCIENCES FORUM 2014.
Nugroho, A. A. 2015. PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MELALUI E-LEARNING PADA MATA KULIAH TEORI BILANGAN. AKSIOMA,
5(1/MARET).
Sudrajat, A. (2008). Media pembelajaran. On Line at http://akhmadsudrajat. wordpress.
com.
Wikipedia. 2017. Whiteboard Animation diambil dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Whiteboard_animation. (20 Mei 2017)
Wikipedia. 2017. Edmodo diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Edmodo. (20 Mei
2017)
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi dengan keterbatasan variasi media pembelajaran yang
digunakan untuk menjelaskan konsep bangun ruang sisi datar kelas VIII. Penelitian ini
bertujuan untuk merancang bangun media pembelajaran matematika berbasis Google
Sketchup pada materi bangun ruang sisi datar, mengetahui kevalidan dan kepraktisan media
pembelajaran yang telah dirancang bangun. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
pengembangan media pembelajaran yang mengacu pada modifikasi model 4D dari
Thiagarajan, yaitu tahap pendefinisian, perancangan dan pengembangan. Produk dari
penelitian ini adalah video animasi. Kevalidan media pembelajaran dilakukan oleh 5
validator menggunakan instrumen lembar validasi media pembelajaran. Kepraktisan media
pembelajaran diperoleh dari respon guru dan peserta didik. Hasil penelitian menunjukan (1)
Rancang bangun media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup menghasilkan
video pembelajaran. (2) Media pembelajaran yang dirancang bangun telah dinyatakan valid
oleh validator dengan nilai rata-rata 4,1875 dari nilai maksimum 5,0. (3) Respon dari guru
dan perserta didik menunjukan bahwa media pembelajaran yang telah dirancang bangun
praktis. Hal ini didasarkan pada respon guru berada pada kategori baik dengan nilai 4,0 dari
nilai maksimum 5,0. Sedangakan rata-rata respon peserta didik berada pada kategori setuju
dengan nilai 4,0389 dari nilai maksimum 5,0. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan
bahwa rancang bangun media pembelajaran berbasis Google Sketchup menghasilkan media
pembelajaran video yang valid dan praktis.
Kata kunci: Media Pembelajaran, Google Sketchup, Bangun Ruang Sisi Datar
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada berbagai bidang
kehidupan. Kemampuan untuk memperoleh, mengelola dan memanfaatkan IPTEK
secara proporsional akan sangat diperlukan. Kemampuan tersebut membutuhkan
pemikiran yang sistematis, logis dan kritis yang dapat dikembangkan melalui proses
pembelajaran matematika. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep-konsep
matematika dapat dipahami dengan mudah apabila bersifat konkret, karenanya
pengajaran matematika harus dilakukan secara bertahap. Pembelajaran matematika
dimulai dari tahapan konkret lalu diarahkan pada tahapan semi konkret, sehingga pada
akhirnya siswa dapat berpikir dan memahami matematika secara abstrak sesuai dengan
teori belajar bruner. Teori belajar kognitif yang dikembangkan oleh Jerome Bruner
menyatakan bahwa perkembangan kognitif peserta didik dibagi menjadi tiga tahap yaitu
enaktif, ikonik dan simbolik. Pada tahap enaktif peserta didik melakukan aktivitas-
aktivitas dalam upayanya memahami meteri pembelajaran dengan cara terlibat
langsung dalam memanipulasi objek. Kemudian pada tahap ikonik peserta didik
memahami objek-objek tersebut melalui gambar dan visualisasi verbal. Tahap yang
terakhir adalah tahap simbolik, yaitu peserta didik telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam
berbahasa dan berlogika. Peserta didik mampu memanipulasi simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu dan mampu menggunakan notasi tanpa
ketergantungan terhadap objek nyata.
Hasil penelitian Bruner (seperti yang di kutip oleh Francis, Khan & Davis, 2015,
p.6) menunjukan bahwa:
“Bruner saw young children’s transitioning from iconic to symbolic as particularly
concerning. As he viewed it, this transition is associated with both amplified cognitive
possibility and an array of potential psychological problems, both of which arise as soon as
children start to combine words and explore the effects of grammatical productiveness.”
Bangun ruang sisi datar merupakan salah satu materi yang bersifat abstrak. Pada
materi ini peseta didik diarahkan untuk mencapai bebarapa kompetensi dasar, yaitu
mengidentifikasi unsur-unsur kubus, balok, prisma dan limas serta bagian-bagiannya,
membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma dan limas, dan menghitung luas permukaan
serta volume kubus, balok, prisma dan limas. Untuk tercapainya kompetensi dasar
tersebut, peserta didik harus memiliki konsep-konsep pada materi sebelumnya.
Berdasarkan informasi dari guru matematika yang mengampu kelas VIII SMP N 35
Semarang, Sudarto (Wawancara, 21 November 2016) menyatakan bahwa secara garis
besar peserta didik mempunyai masalah pada materi bangun ruang sisi datar. Peserta
didik mengalami kesulitan dalam menentukan diagonal ruang pada bangun prisma dan
luas permukaan khususnya pada bangun limas. Pemahaman konsep peserta didik dalam
menentukan luas permukaan pada bangun limas kurang. Permasalahan yang sering
terjadi adalah peserta didik tidak bisa menerapkan konsep tinggi limas dan tinggi sisi
tegak limas yang akan digunakan dalam menentukan luas permukaan.
Kegiatan belajar mengajar pada materi bangun ruang sisi datar yang telah
berlangsung di SMP Negeri 35 Semarang menggunakan media papan tulis, power point
dan kertas karton. Media papan tulis merupakan media berbasis dua dimensi. Materi
yang disampaiakan dengan media papan tulis hanya dapat menekankan persepsi indra
penglihatan saja tanpa menampilkan unsur motion. Objek yang digambar pada papan
tulis bersifat statis, hanya dapat dilihat dari bagian depannya saja. Karakteristik media
papan dirasa kurang tepat jika digunakan untuk media pembelajaran pada materi
bangun ruang. Diperlukan media lain untuk melukis suatu bangun ruang dengan ukuran
yang tepat dan rapi, yaitu spidol dan penggaris.
Microsoft Powerpoint dapat digunakan sebagai media pembelajaran di berbagai
materi, demikian pula pada meteri bangun ruang. Powerpoint memiliki banyak fasilitas
atau perintah-perintah dalam mengubah objek, diantaranya mengubah warna,
mengubah ukuran, dan memberi motion. Mengambar pada powerpoint juga
dimudahkan dengan adanya toolbar drawing tool, sehingga dapat membuat objek
dengan rapi. Kelebihan pada powerpoint dapat menciptakan media pembelajaran yang
menarik, namun kemampuan tiga dimensi pada powerpoint masih kurang. Objek
bangun ruang yang diciptakan dengan menggunakan powerpoint tidak bisa diputar
dengan leluasa untuk melihat sisi yang lain. Karakteristik yang dimiliki powerpoint
dirasa kurang tepat jika digunakan untuk media pembelajaran pada materi bangun
ruang meskipun dapat diberi suatu motion.
Media sederhana dari kertas karton juga menjadi alternatif lain dalam
menyampaikan konsep pada meteri bangun ruang. Peserta didik mendapat instruksi
untuk membuat jaring-jaring suatu bangun ruang untuk dapat menentukan luas
permukaanya. Penggunaan media ini hanya terbatas untuk mencapai indikator
menentukan jaring-jaring bangun ruang dan luas permukaannya, tidak bisa untuk
menyampaikan unsur-unsur dan volume pada bangun ruang. Dengan menggunakan
media ini pula, peserta didik harus mengeluarkan biaya untuk membelinya.
Ketidaktepatan pemilihan media akan membuat proses belajar mengajar tidak
menarik. Pesan yang disampaiakan akan sulit diterima oleh peserta didik. Kesan visual
yang diberikan oleh peserta didik kurang mampu menampilkan objek bangun ruang
yang bersifat tiga dimensi.
Peserta didik kelas VIII SMP Negeri 35 Semarang memiliki rentang usia antara 13
tahun sampai 17 tahun. Sebayak 58% dari jumlah peserta didik berusia 14 tahun.
Berdasarkan teori belajar piaget, peserta didik dengan usia 11 tahun atau lebih berada
pada tingkat operasional formal. Pada tingkat operasi formal, peserta didik seharusnya
mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak, namun pada kenyataannya peserta
didik memiliki masalah dalam memahami konsep dimensi tiga.
Berdasarkan permasalahan pada SMP N 35 Semarang terkait pembelajaran
bangun ruang kelas VIII maka diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat
memvisualisasikan objek tiga dimensi secara fleksibel, efektif dan efesien dengan tujuan
untuk memahami konsep pada masing-masing sub bab yang ada dalam materi bangun
ruang sisi datar. Dalam hal ini pemanfaatan aplikasi teknologi sebagai media
pembelajaran akan sangat membantu dalam menjelaskan konsep yang abstrak dengan
lebih mudah karena suatu objek bangun ruang sisi datar dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang.
Terdapat berbagai aplikasi berbasis tiga dimensi yang dapat membuat objek tiga
dimensi, diantaranya adalah software-software dari AutoDeks dan juga dari Trimble
Navigation seperti AutoCad, 3D Studio Max (3Ds Max), Blender, dan Google Sketchup.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan software Google Sketchup. Jika dibandingkan
dengan softwere tiga dimensi yang lain Google Sketchup memiliki tampilan yang user
friendly sehingga dapat dipelajari dengan mudah untuk pemula, dan yang paling utama
softwere ini mengkonsumsi sedikit RAM sehingga dapat berjalan di berbagai laptop dan
PC.
Google Sketchup dapat menunjukan tampilan visualisasi yang baik tentang objek
dimensi tiga. Objek yang tercipta dengan Google Sketchup dapat di putar sehingga
peserta didik dapat melihat objek dari berbagai sudut pandang. Kemampuan yang
dimiliki Google Sketchup dapat menjelaskan konsep pada bangun ruang. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hamzah dan Sa’dijah (2014) menunjukan bahwa model
pembelajaran langsung menggunakan Google Sketchup dapat meningkatkan pemahaman
siswa dan ketuntasan klasikal tentang konsep jarak pada topik dimensi 3 kelas X.
Berdasarkan masalah yang dialami peserta didik kelas VIII tentang bangun ruang
sisi datar serta keunggulan yang dimiliki oleh Google Sketchup tersebut maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Rancang Bangun dan Implementasi
Media Pembelajaran Matematika Berbasis Google Sketchup pada Materi Bangun Ruang
Sisi Datar Kelas Viii
METODE PENELITIAN
Pengembangan media ini menggunakan jenis penelitian pengembangan (research
and development) yang mengembangkan software Google Sketchup sebagai media
pembelajaran matematika pada materi bangun ruang sisi datar. Model pengembangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah model 4D yang dimodifikasi oleh
thiagarajan, Semmel dan Semmel menjadi 3D (Define, Design, Development).
Prosedur pada penelitian ini adalah 1) Define (tahap pendefinisian) dilakukan
untuk menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pengembangan. Tahap define
mencakup 4 langkah pokok, yaitu analisis ujung depan (front-end analysis), analisis
peserta didik (learner analysis), analisis konsep (concept analysis), dan perumusan
tujuan pembelajaran (specifying instructional objectives) kemudian menarik suatu
kesimpulan dari data yang telah diperoleh. 2) Design (Tahap Perencanaan) Thiagarajan
membagi tahap design dalam empat kegiatan, yaitu: media selection (Pemilihan Media),
format selection (Pemilihan Format), initial design (Rancangan Awal). 3) Develop (Tahap
Pengembangan) dilakukan dengan memvalidasi produk oleh tim ahli, revisi model
berdasarkan masukan dari para pakar pada saat validasi, Uiji coba terbatas dalam
pembelajaran di kelas, Revisi model berdasarkan hasil uji coba (Mulyatiningsih, 2013,
p.198).
Penelitian ini mengambil tempat penelitian di SMP N 35 Semarang kelas VIII.
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap dalam kurun waktu November 2016 - Juni
2017 yang meliputi tahap perencanaan, penelitian dan pelaporan.
Responden dari penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMP N 35 Semarang.
Kelas VIII terdiri dari 7 kelas dengan jumlah peserta didik sebanyak 220 orang.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan
kuesioner (angket). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi
wawancara untuk mengeksplorasi proses kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan,
kondisi siswa, dan kesulitan siswa dalam materi bangun ruang sisi datar. Teknik
wawancara digunakan pada tahap pendefinisian. Narasumber dari penelitian ini adalah
guru pengampu mata pelajaran matematika kelas VIII SMP N 35 Semarang.
Pengumpulan data dengan kuesioner dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
kelayakan dan kepraktisan produk.
Penilaian kelayakan produk dilakukan oleh tim ahli. Tim ahli pada penelitian ini
adalah Dimas Wicaksono, S.T., M.Eng. (Dosen Universitas Negeri Semarang), Ulya
Fitriani, M.Pd. (Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang), Wenti Dwi
Yuniarti, S.Pd., M.Kom. (Dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang), Sugiarto,
S.Pd. (Guru SMA Negeri 13 Semarang), dan Wiji Hastuti, S.Pd. (Guru SMP Negeri 35
Semarang). .
Penilaian kepraktisan produk akan dilakukan oleh guru matematika kelas VIII SMP
N 35 Semarang dan peserta didik kelas VIII yang berjumlah 220 orang. Instrumen
kepraktisan produk menggunakan skala likert dengan respon skala lima/skor 1,2,3,4
dan 5. Pada angket respon guru menggunakan kategori sangat tidak baik (STB), tidak
baik (TB), kurang baik (KB), baik (B) dan sangat baik (SB). Pada angket respon peserta
didik menggunakan kategori sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), kurang setuju
(KS), setuju (S) dan sangat setuju (SS).
Media pembelajaran akan divalidasi oleh tim ahli meliputi aspek-aspek kelayakan
Google Sketchup, kelayakan video dan kelayakan isi. Data yang diperoleh dari hasil
validasi selanjtnya akan dianalisis secara deskriptif untuk melakukan perbaikan/revisi
jika ada. Untuk menganalisis hasil validasi menggunakan analisis rata-rata, yaitu
menghitung rata-rata hasil penilaian yang diberikan oleh lima validator.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Validator
No. Rata-rata Kete- Kesimpulan
Rangan
1 1,0 ≤ Va ≤ 1,8 Sangat tidak Tidak dapat digunakan.
layak
2 1,8 < Va ≤ 2,6 Tidak layak Belum dapat digunakan dan
masih memerlukan
konsultasi.
3 2,6 < Va ≤ 3,4 Cukup layak Dapat digunakan dengan
banyak revisi.
4 3,4 < Va ≤ 4,2 Layak Dapat diguakan tetapi
dengan sedikit revisi.
5 4,2 < Va ≤ 5,0 Sangat layak Dapat digunakan tanpa
revisi
Data hasil pengisisan angket respon guru terhadap media pembelajaran dianalisis
dengan kriteria penilaian angket respon guru dengan skala lima.
Hasil penilaian respon guru dihitung dengan cara membagi jumlah skor respon
guru dengan banyaknya item. Data hasil pengisisan angket respon peserta didik
terhadap media pembelajaran dianalisis dengan menghitung jumlah skor dari respon
peserta didik dibagi dengan banyaknya item butir instrumen.
Tabel 3. Kriteria Penilaian Respon Peserta Didik
RATA-RATA
NO. KRITERIA
NILAI
1 1,0 ≤ 𝑅𝑝 ≤ 1,8 Sangat tidak
setuju
2 1,8 < 𝑅𝑝 ≤ 2,6 Tidak setuju
3 2,6 < 𝑅𝑝 ≤ 3,4 Cukup setuju
4 3,4 < 𝑅𝑝 ≤ 4,2 Setuju
5 4,2 < 𝑅𝑝 ≤ 5,0 Sangat setuju
Media dikatakan praktis apabila penilaian respon guru berada pada kategori
minimal baik dan reson peserta didik berada pada kategori minimal setuju.
dihasilkan adalah animasi dari kumpulan gambar pada masing-masing scene. Video yang
di export berformat .mp4, sehingga dapat di putar di berbagai media player. Resolusi
video berukuran 1080p Full HD sehingga dapat menampilkan gambar dengan jelas.
Video tersebut dikemas dalam Compact Disk (CD).
Media pembelajaran yang dirancang pada kegiatan rancangan awal adalah video
pembelajaran yang memberikan kesan visual tentang konsep pada bangun ruang sisi
datar. Secara garis besar, video yang di rancang menjelaskan konsep dari 4 bangun
ruang sisi datar, yaitu kubus, balok, prisma dan limas. Pada masing-masing bangun
tersebut juga terdapat beberapa video sesuai dengan jumlah indikator. video-video
tersebut antara lain:
a. Kubus
1) Rusuk Kubus
2) Sisi Kubus
3) Titik Sudut Kubus
4) Diagonal Bidang Kubus
5) Diagonal Ruang Kubus
6) Bidang Diagonal Kubus
7) Panjang Bidang Diagonal Kubus
8) Panjang Diagonal Ruang Kubus
9) Jaring-Jaring Kubus
10)Luas Permukaan Kubus
11)Volume Kubus
b. Balok
1) Rusuk Balok
2) Sisi Balok
3) Titik Sudut Balok
4) Diagonal Bidang Balok
5) Diagonal Ruang Balok
6) Bidang Diagonal Balok
7) Panjang Bidang Diagonal Balok
8) Panjang Diagonal Ruang Balok
9) Jaring-Jaring Balok
10)Luas Permukaan Balok
11)Volume Balok
c. Prisma
1) Contoh Prisma
2) Rusuk Prisma Segitiga
3) Sisi Prisma Segitiga
Guru yang memberi respon terhadap media pembelajaran dalam penelitian ini
adalah Sudarto, S.Pd., SAB. Beliau adalah guru matematika SMP Negeri 35 Semarang.
Respon guru terhadap media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup
adalah baik dengan hasil perhitungan rata-rata yang diperoleh adalah 4,0 dari nilai
maksimum 5,0. Hal ini menunjukan bahwa media pembelajaran dapat digunakan
dalam kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan hasil pengisian angket, guru memberi respon baik terkait
keefektifan dalam menggunakan media pembelajaran berbasis Google Sketchup ini.
Guru juga terbantu dengan penggunaan media selama pembelajaran, selain bisa
mereduksi abstraksi materi, media ini juga bisa mengefisiensi waktu denga baik.
Tampilan dan kesan tiga dimensi pada Google Sketchup juga dapat menarik perhatian
siswa agar lebih fokus dalam pembelajaran.
Penggunaan media pembelajaran matematika berbasis Google Sletchup ini. Guru
juga dapat mengarahkan peserta didik untuk menemukan konsep pada bangun ruang
sisi datar, sehingga dapat tercipta suatu pembelajaran bermakna. Hal tersebut dapat
dilakukan karena video yang dihasilkan dapat diputar (play) dan diberhentikan
(pause) dengan mudah, karena video dapat diputar diberbagai media video player.
b. Respon Peserta Didik
Respon peserta didik dilakukan terhadap kelas VIII SMP Negeri 35 Semarang
sebanyak 220 responden. Respon peserta didik terhadap media pembelajaran
matematika berbasis Google Sketchup adalah setuju dengan hasil perhitungan rata-
rata yang diperoleh adalah 4,0389 dari nilai maksimum 5,0. Hal ini menunjukan
bahwa media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup dapat digunakan
dalam kegiatan belajar mengajar dan dapat meningkatkan minat serta motivasi
peserta didik terhadap bangun ruang sisi datar.
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa respon peserta didik yang
sangat setuju dengan media pembalajaran yang telah dirancang dapat menumbuhkan
minat dan motivasi sebesar 24,34%. Sebagian besar peserta didik setuju dengan
media pembelajaran yang dirancang, yaitu sebesar 58,98%.
SS
24,34%
KS TS STS
13.75% 2,18% 0.75%
Gambar 10. Grafik Respon Peserta Didik
13,75% peserta didik kurang setuju, 2,18% peserta didik tidak setuju dan
sisanya 0,75% peserta didik sangat tidak setuju jika media pembelajaran yang
dirancang dapat menumbuhkan minat dan motivasi.
Suatu media pembelajaran dikatakan praktis apabila respon guru minimal baik
dan respon peserta didik minimal setuju. Berdasarkan analisis hasil uji kepraktisan
media pembelajaran, respon guru berada pada kategori baik dengan rata-rata 4,0 dan
respon peserta didik berada pada kriteria setuju dengan rata-rata 4,0389. Maka dapat
disimpulkan bahwa media pembelajaran matematika berbasis Google Sketchup pada
materi bangun ruang sisi datar adalah praktis.
REFERENSI
Arsyad, A. 2005. Media Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Francis,Khan dan Davis. 2015. Enactivism, Spatial Reasoning and Coding. CrossMark.
2(1): 6.
Hamzah, S.N. dan Sa’dijah, C. 2014. Pemahaman Konsep Jarak pada Topik Dimensi Tiga
Kelas X Menggunakan Model Pembelajaran Langsung Berbantuan Google Sketchup.
Indonesian Digital Journal of Mathematics and Education. 2(2):9-10.
Indah, S.A.S. 2011. Google Sketchup Perangkat Alternatif dalam Pemodelan 3D.
ULTIMATICS. 3(2):6-7.
Mulyatiningsih, E. 2013. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan. Yogyakarta:
ALFABETA.
Nieveen, N. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. In Jan Van den Akker. R.M.
Branch, K. Gustafson , N. Nieveen & Tj. Plomp (Eds) Design Approaches and Tools in
Education and Training (pp 125 – 135). Dordrecht, Netherland: Kluwer Academic
Publishers
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Putro, E.W. 2009. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Thiagarajan, S.,Semmel,.D.S., Semmel.M.I.1974. Instructional Development for Training
Teachers of Exceptional Children, A Source Book. Blomington: Center of Inovation
on Teaching the Handicapped Minnepolis Indiana University. Tersedia di
https://www.eric.ed.gov/PDFS/ED90725.pdf
Wahana Komputer. 2015. Google Sketchup. Semarang: Andi.
https://en.wikipedia.org/wiki/SketchUp
Abstrak
Pada MTs Husnul Khatimah 01 kelas VIII didapatkan fakta bahwa rata-rata motivasi dan
kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pelajaran matematika masih rendah. Dengan
penelitian ini diharapkan agar mengetahui keefektifan strategi pembelajaran REACT
terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII pada materi
lingkaran. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif eksperimen dengan desain
penelitian post-test only control design. MTs Husnul Khatimah memiliki tiga kelas yaitu kelas
VIII A, VIII B dan VIII C. Kemudian teknik pengambilan penelitian penelitian dengan
menggunakan cluster random sampling sehingga diperoleh kelas VIII A dalam penelitian
menjadi kelas eksperimen sedangkan kelas VIII C menjadi kelas kontrol. Metode
pengambilan datapada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, metode tes dan
metode angket. Hasil analisis data diperoleh rata-rata nilai motivasi belajar siswa diperoleh
kelas eksperimen = 76,14 dan kelas kontrol = 67,79. Hasil uji hipotesis terhadap motivasi
belajar pada siswa dengan 𝛼 = 5% diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,736 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,678 karena
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka rata-rata nilai motivasi belajar di kelas eksperimen yaitu lebih baik
daripada motivasi belajardi kelas kontrol. Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah di
kelas eksperimen = 56,24 dan kelas kontrol = 42,61. Hasil uji hipotesis kemampuan
pemecahan masalah siswa dengan 𝛼 = 5% diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,587 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,678
karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen memiliki
rata-rata lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah kelas kontrol. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, penggunaan strategi pembelajaran REACT efektif terhadap motivasi
serta kemampuan pemecahan masalah belajar siswa pada materi lingkaran kelas VIII MTs
Husnul Khatimah 01 Rowosari.
PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan matematika sebagaimana tercantum dalam Standar Isi pada
KTSP 2006 adalah diharapkan siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah meliputi
kemampuan memahami masalah, merencanakan model matematika, menyelesaikan
model, dan menafsirkan hasil dari penyelesaian. Selain itu, agar siswa mempunyai sikap
menghargai dan mengetahui kegunaan pelajaran matematika dalam kehidupan,
mempunyai sikap rasa keingin tahuan, perhatian serta minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet, percaya diri untuk memecahan masalah (Kemdiknas, 2006:
345). Hal tersebut berarti bahwa motivasi dan kemampuan pemecahan masalah pada
matematika sangat penting guna pencapaian tujuan pembelajaran matematika.
Namun pada kenyataannya masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam
memecahkan masalah, berdasarkan wawancara peneliti pada tanggal 5 Desember 2017
dengan Siti Mubarokah guru matematika MTs Husnul Khatimah 01 menyatakan bahwa
kebanyakan siswa masih bingung dengan metode yang dipakai dalam menyelesaikan
soal pemecahan masalah, hal ini berarti siswa belum memahami soal yang akan
dipecahkan. Selain itu siswa masih kesulitan untuk merencanakan cara penyelesaian,
terbukti ketika siswa telah memperoleh pemecahan masalah awal, mereka belum
paham cara menyelesaikan soal menggunakan konsep atau metode yang sebelumnya
mereka dapatkan. Siswa juga masih kurang teliti dalam operasi hitung untuk
menyelesaikan persoalan, terbukti dari analisis peneliti terhadap hasil jawaban ulangan
harian pythagoras dan UAS ganjil kebanyakan siswa kurang benar dalam perhitungan,
bahkan ada yang hanya menuliskan hasil akhirnya saja tanpa ada cara untuk
mendapatkannya. Pada tahap akhir dalam penyelesaian soal, siswa sering melewatkan
tahap menyimpulkan hasil yang didapat.
Selain kemampuan pemecahan masalah, siswa juga kurang memiliki motivasi
belajar matematika. Hal tersebut dipaparkan kembali oleh Siti Mubarokah bahwa siswa
beranggapan matematika itu pelajaran yang sulit, sehingga ketika diberi tugas malas
mengerjakan dan hanya meniru pekerjaan teman. Akibatnya siswa tidak tekun
menghadapi tugas serta tidak senang menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Selain wawancara, peneliti juga melakukan observasi di kelas. Peneliti melihat ketika
guru memberi pertanyaan kepada siswa kebanyakan dari mereka hanya diam.
Kemudian guru memberi contoh soal, siswa mencatat apa yang di tulis guru ada papan
tulis, memberi soal latihan, kemudian memberi kesempatan siswa agar maju
menyelesaikan soal. Aktifitas seperti ini dimana guru tidak melibatkan siswa untuk aktif
menyebabkan siswa menjadi mudah bosan dan lebih memilih berbicara sendiri atau
tidur serta kurang percaya diri mengungkapkan pendapat, sehingga siswa tidak
memiliki motivasi dalam belajar. Selain itu, aktifitas siswa hanya mencatat dari guru
mengakibatkan siswa kurang latihan untuk menemukan permasalahan sendiri atau
berkelompok.
Adanya motivasi serta kemampuan pemecahan masalah pada siswa masih rendah,
maka dapat diterapkan strategi pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying,
Cooperating and Transferring). Strategi ini terdiri dari lima tahap yaitu (1) relating,
bertujuan untuk melibatkan materi yang sedang diajarkan dengan materi sebelumnya
atau dengan kehidupan sehari-hari, (2) experiencing, bertujuan untuk melakukan
kegiatan matematika melalui penemuan dan pencarian, (3) applying, kegiatan
menerapkan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memecahan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, (4) cooperating, bertujuan melibatkan siswa untuk aktif saling
bekerjasama, (5) transferring, bertujuan untuk mentransfer pengetahuan yang sudah
dipelajari ke dalam konteks yang baru (Craword: 2001).
Melalui strategi pembelajaran tersebut melibatkan keaktifan siswa dalam proses
pembelajaran. Pada tahap experiencing siswa diajak untuk menemukan konsep atau
rumus matematika yang terdapat dalam LKS sehingga diharapkan dalam diri siswa
timbul motivasi dalam belajar. Pada tahap applying dan cooperating siswa menggunakan
rumus yang diperoleh untuk menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah yang
disajikan secara berkelompok, sehingga diharapkan timbul kemampuan memecahan
masalah pada diri siswa. Pada tahap transferring siswa diberi soal yang berbeda secara
individu guna mengetahui kepahaman dan melatih siswa memecahan masalah agar
terbiasa dengan soal-soal pemecahan masalah.
Dalam Al Qur’an surat Al-Insyirah ayat 6-8 yang berbunyi:
Terkait dengan permasalahan yang telah dibahas dan solusi yang diajukan, maka
dilakukan sebuah penelitian eksperimen guna menjawab beberapa permasalah dalam
penelitian ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah (1) Apakah
penggunaan strategi pembelajaran REACT efektif terhadap motivasi kelas VIII MTs
Husnul Khatimah 01 Rowosari pada materi lingkaran? (2) Apakah penggunaan strategi
pembelajaran REACT efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII
MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari pada materi lingkaran?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang menggunakan
pendekatan eksperimen. Adapun penelitian ini menggunakan desain Posttest-Only
Control Group Design. Berikut adalah gambaran desain penelitian tersebut (Sugiyono,
2015).
Kelas Eksperimen R1 X O1
------------------
Kelas Kontrol R2 O2
Penelitian dilaksanakan di MTs Husnul Khatimah 01 Rowosari pada bulan Januari-
Maret 2017. Populasi penelitian ini yaitu kelas VIII MTs Husnul Khatimah 01 sejumlah
83 siswa yang terbagi ke dalam tiga kelas, yakni kelas VIII A, VIII B, VIII C. Teknik
pengambilan penelitian menggunakan cara cluster random sampling yaitu dengan
memilih acak dua kelas menjadi kelas eksperimen dan kontrol. Kelas eksperimen
merupakan kelas yang diberikan perlakuan pembelajaran dengan strategi pembelajaran
REACT, dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional. Adapun penelitian
yang digunakan pada penelitian ini adalah kelas VIII A sejumlah 29 siswa menjadi kelas
eksperimen, dan pada kelas VIII B sejumlah 28 siswa menjadi kelas kontrol.
Terdapat dua variabel dalam penelitian, yaitu (1) Variabel bebas pada penelitian
ini adalah strategi pembelajaran REACT, dan (2) Variabel terikat pada penelitian ini
adalah motivasi dan kemampuan pemecahan masalah. Pengumpulan data motivasi
belajar dilakukan denga menggunakan angket, sedangkan data untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah menggunakan tes.
Indikator motivasi belajar meliputi (1) tekun menghadapi tugas, (2) ulet
menghadapi kesulitan, (3) menunjukkan minat belajar (4) lebih senang menyelesaikan
tugas sendiri, (5) cepat bosan terhadap tugas yang sama, (6) dapat mempertahankan
pendapatnya, (7) tidak mudah melepaskan hal-hal yang diyakini (8) gemar mencari
serta memecahkan saol-soal.
Test kemampuan pemecahan masalah mengukur beberapa aspek Indikator
meliputi (1) Memahami permasalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan
penyelesaian, dan (4) Memeriksa kembali. Tes kemampuan pemecahan masalah berupa
soaal-soal uraian.
Semua instrumen yang akan digunakan harus diujicobakan terlebih dahulu,
kemudian dilakukan analisis instrumen untuk memperoleh instrumen yang layak.
Analisis instrumen motivasi meliputi validitas dan reliabilitas. Analisis instrumen soal
kemampuan pemecahan masalah meliputi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan
daya pembeda.
Analisis data pada tahap awal menggunakan data ulangan harian phytagoras dan
UAS kemampuan pemecahan masalah. Analisis yang dilakukan meliputi uji normalitas,
homogenitas, dan kesamaan rata-rata. Uji normalitas data dilakukan menggunakan uji
liliefors. Pengujian homogenitas dengan uji bartlet, dan uji kesamaan rata-rata memakai
uji Anova satu arah. Analisis data pada tahap awal dilakukan guna mengetahui apakah
seluruh populasi mempunya kemampuan awal yang sama, sehingga dapat dilakukan
pengambilan penelitian secara acak.
Analisis data tahap akhir dilakukan untuk data motivasi dan posttest kemampuan
pemecahan maslah siswa. Analisis data yang diakukan meliputi uji normalitas untuk
menguji kenormalan data, uji homogenitas untuk menguji vaians data sama atau tidak
dan uji perbedaan rata-rata. Uji normalitas menggunakan uji liliefors. Uji homogenitas
menggunakan uji F. Terakhir uji hipotesis atau uji perbedaan rata-rata memakai uji t
pihak kanan.
Eksperimen Kontrol
Jumlah siswa 28
(𝑛) 29
Rata-rata (𝑥̅ ) 76,138 67,786
Varians (𝑠 2 ) 109,909 156,397
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 1,423
𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2,151
Dari tabel diatas diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,423 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,151, sehingga 𝐻0
diterima. Sehingga, disimpulkan kedua kelas penelitian penelitian memiliki varians yang
sama.
Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa data motivasi pada kelas VIII A dan
VIII C data berdistribusi normal dan berangkat dari keadaan yang sama. Dengan
demikian, untuk menguji perbedaan rata-ratanya digunakan uji t satu pihak, yaitu pihak
kanan. Adapun hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Hasil pengujian perbedaan rata-rata motivasi belajar
Kelas Eksperimen Kontrol
Jumlah Skor 2208 1898
Jumlah siswa 29 28
(𝑛)
Rata-rata (𝑥̅ ) 76,14 67,79
Varians (𝑠 )
2
109,91 156,40
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,736
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,67
Dengan menganalisis hasil pada tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,736 >
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,67, sehingga 𝐻0 ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka terdapat
perbedaan motivasi di kelas eksperimen dan motivasi belajar siswa di kelas kontrol.
Jadi, dapat disimpulan bahwa motivasi belajar siswa yang dibelajarkan menggunakan
pembelajaran REACT lebih baik dibandingkan motivasi belajar siswa yang dibelajarkan
menggunakan pembelajaran konvensional.
Analisis kemampuan pemecahan masalah berupa data meliputi uji normalitas,
homogenitas dan perbedaan rata-rata. Adapun hasil uji normalitas ditunjukkan tabel
berikut.
Tabel 5. Uji normalitas kemampuan pemecahan masalah
Kelas 𝑳𝟎 𝑳𝒅𝒂𝒇𝒕𝒂𝒓
Eksperimen 0,092 0,161
Kontrol 0,151 0,161
Berdasarkan hasil di atas diketahui masing-masing kelas memiliki nilai 𝐿0 <
𝐿𝑑𝑎𝑓𝑡𝑎𝑟 . Jadi 𝐻0 diterima, artinya data kedua kelas tersebut masing-masing berdistribusi
normal.
Selanjutnya adalah uji homogenitas. Hasil pengujian homogenitas data ditunjukkan
pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Hasil dari Uji Homogenitas data kemampuan pemecahan masalah
Kelas Eksperimen Kontrol
Jumlah Siswa 29 28
(𝑛)
Rata-rata (𝑥̅ ) 56,241 42,607
Varians (𝑠 2 ) 276,618 132,396
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 2,089
𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 2,151
Dari tabel diatas diperoleh nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,089 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2,151, sehingga 𝐻0
diterima. Artinya kedua kelas berangkat dari keadaan yang sama.
Dari pengujian normalitas dan homogenitas diperoleh bahwa data penelitian
penelitian berdistribusi normal dan memiliki varians homogen. Sehingga untuk
pengujian perbedaan rata-rata digunakan uji t pihak kanan. Adapun hasilnya
ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil uji perbedaan rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah
Eksperimen Kontrol
Jumlah 1631 1898
Skor
N 29 28
Rata-rata 56,24 42,61
Varians 276,62 132,40
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 3,587
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,67
Dari tabel di atas, diketahui bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,587 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,67, sehingga 𝐻0
ditolak dan 𝐻1 diterima. Karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka terdapat perbedaan kemampuan
pemecahan masalah siswa pada kelas penelitian. Jadi, disimpulan bahwa kemampuan
pemecahan masalah dengan menggunakan pembelajaran REACT lebih baik
dibandingkan kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran REACT pada pembelajaran matematika materi pokok lingkaran efektif
terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan masalah pada kelas VIII MTs Husnul
Khatimah 01 Rowosari tahun pelajaran 2016/2017.
Keefektifan pembelajaran REACT terhadap motivasi dan kemampuan pemecahan
masalah tidak terlepas dari langkah-langkah pembelajarannya. Langkah-langkah
pembelajaran REACT mempengaruhi motivasi dan kemampuan pemecahan masalah
siswa. Langkah pembelajaran yang pertama yakni Relating. pada tahap relating, siswa
dibimbing untuk dapat mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan konsep yang
telah didapat ataupun konsep nyata. Sehingga pemahaman yang mereka peroleh lebih
baik, dan pembelajaran yang berlangsung lebih bermakna sejalan dengan teori Ausubel.
Langkah berikutnya adalah Experiencing, pada bagian ini siswa berpartisipasi aktif
dalam melakukan kegiatan eksperimen untuk menemukan suatu konsep secara mandiri.
Dengan menemukan sendiri, pemahaman konsep siswa diharapkan akan lebih baik dan
lebih kuat dibanding jika siswa hanya sekedar menerima materi kemudian dihafal.
Pemahaman suatu konsep yang baik ini yang akan menjadi bekal untuk memecahkan
suatu masalah. Menurut Bruner dengan belajar penemuan akan tercapai belajar yang
bermakna.
Selanjutnya pada tahap Applying, siswa diminta untuk menerapkan konsep yang
diperoleh ke dalam soal pemecahan masalah lingkaran materi yang sedang dipelajari.
Dalam penelitian ini, siswa diminta menerapkan rumus yangdiperoleh untuk
mengerjakan soal-soal pemecahan masalah dalam LKS secara berkelompok. Dengan
demikian, akam melatih siswa untuk mengerjakan soal pemecahan masalah sehingga
akan muncul kemampuan pemecahan masalah dengan sendirinya pada diri siswa.
Tahap yang selanjutnya adalah tahap Cooperating. Dalam penerapannya
Cooperating atau kerja sama dilakukan tahap Experiencing, Applying, dan Transferring.
Melalui Cooperating siswa dapat saling bertukar pengetahuan baik dalam menemukan
konsep maupun dalam memecahkan masalah, sehingga siswa tidak mudah berputus asa
ketika menghadapi kesulitan. Hal tersebut memiliki nilai positif terhadap motivasi yang
dimiliki siswa, karena siswa menjadi lebih percaya diri dalam menyelesaiakan tugas
yang mereka hadapi.
Pada tahap yang terakhir yaitu Transferring, siswa diharuskan dapat menerapkan
konsep yang sudah dipelajari ke dalam konteks baru, yaitu soal-soal pemecahan
masalah yang berbeda. Melalui tahap ini siswa mengerjakan soal kemampuan
memecahkan masalah secara individ. Dengan terbiasanya siswa mengerjakan soal
pemecahan masalah mereka akan terampil untuk memecahkan masalah. Selain itu,
siswa akan terbiasa menghadapi tugas yang beragam tingkat kesulitannya. Oleh karena
itu, hal tersebut dapat meningkatkan keyakinan siswa untuk dapat menyelesaikan tugas
sesulit apapun. Sehingga nantinya akan bernilai positif terhadap motivasi dan
kemampuan pemecahan masalah siswa.
Selanjutnya, pembelajaran REACT dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan untuk
dipakai dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi lingkaran untuk
meningkatkan motivasi dan kemampuan pemecahan masalah siswa.
REFERENSI
Amrai, Kourosh, dkk. (2011) The relationship between academic motivation and
academic achievement students. Prosedia social and behavioral Sciences 15 399-
402.
Arikunto, S. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Cahyono, B. (1015) Korelasi Pemecahan Masalah dan Indikator Berfikir Kritis.
Phenomenon. Vol. 5. No 1.
Carson, J. (2007). A Problem With Problem Solving: Teaching Thinking Without Teaching
Knowledge. The Mathematics Education Jurnal Vol. 17.
Crawford, M. L. 2001. Teaching Contextually. Texas: ISBN 1-57837-321-2.
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur'an dan Tafsirnya. Jakarta: Penerbit Lentera Abadi.
Djamarah, S. B., & Zain, A. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, O. 2013. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Hamzah, M. A., & Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran
Matematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hanafiah, N., & Suhana, C. (2012). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Rineka
Aditama.
JACOB. (Tanpa Tahun). Matematika Sebagai Pemecahan Masalah. Bandung: FPMIPA UPI.
Komalasari, K. 2011. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi . Bandung: PT.
Rafika Aditama.
Kusaeri, & Suprananto. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Kusumawati, E., & Rizki, N. D. (2014). Pembelajaran Matematika Melalui Strategi REACT
Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMK.
EDU-MAT Pendidikan Matematika, 262.
Kuswidi, I. (tanpa tahun). Geometri Analitik. Yogyakarta: Program Studi Matematika FST
UIN Sunan Kalijaga.
Majid, A. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2006). Implementasi Kurikulum 2004. Banduung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mawaddah, S., & Anisah, H. (2015). Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
Pada Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran
Generatif (Generative Learning) Di SMP. EDU-MT Jurnal Pendidikan Matematika,
167
Nissa, I. C. (2015). Pemecahan Masalah Matematika. Lombok: Duta Pustaka Ilmu.
Permendiknas, 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Nomor
22 Tahun 2006.
Saefuddin, H. A., & Berdiati, I. (2014). Pebelajaran Efektif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Sudijono, A. (2015). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawal iPers.
Sudirman. (2010). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning Teori & Aplikasi Paikem. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Susanti, M. N. (2010). Statistika Deskriptif & Induktif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Abstrak
Penelitian pengembangan ini dilatar belakangi dari hasil observasi dan wawancara
terhadap guru dan siswa kelas VII MTs N Brangsong yang menghasilkan kesimpulan
bahwa perlu modul yang memuat materi dan nilai-nilai keislaman. Penelitian ini bertujuan
untuk mengembangkan modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik
pada materi pokok aritmetika sosial yang valid, praktis dan efektif untuk membantu
peserta didik meningkatkan hasil belajar dan sikap spiritual peserta didik melalui modul.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian R & D (research and development). Prosedur
pengembangan modul menggunakan model ADDIE (Analysis, Design, Development,
Implementation, Evaluation). Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas VII G sebagai
kelas eksperimen dan kelas VII H sebagai kelas kontrol. Teknik analisis data menggunakan
deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa modul matematika bernuansa
Islami dengan pendekatan saintifik pada materi aritmetika sosial valid dengan penilaian
validator termasuk dalam kategori valid dan praktis namun perlu sedikit revisi dengan
persentase rata-rata sebesar 82,50%. Tanggapan peserta didik terhadap modul termasuk
pada kategori baik dengan persentase 86,94% tertarik dengan modul . Modul efektif untuk
meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan kelas eksperimen tuntas secara klasikal
dengan rata-rata 71,79. Uji t-test mendapatkan hasil thitung = 6.12 > ttabel=2,01, artinya rata-
rata kelas yang menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan
pendekatan saintifik lebih baik dari pada yang tidak menggunakan modul. Sikap spiritual
peserta didik meningkat hal tersebut ditunjukkan dari peningkatan pre-test dan pos-test
dari 75% menjadi 83%. Skor n-gain sebesar 0,32 hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran menggunakan modul aritmetika sosial bernuansa Islami dengan pendekatan
saintifik efektif meningkatkan sikap spiritual peserta didik dengan kategori sedang.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang memegang peranan penting
dalam mempengaruhi penguasaan ilmu pengetahuan lain. Hal itu dikarenakan
matematika merupakan sarana untuk menumbuh kembangkan cara berpikir logis,
sistematis, dan kritis. Cara berpikir inilah yang sangat berpengaruh untuk menentukan
keberhasilan penguasaan pengetahuan lain. Sehingga membuat matematika menjadi
salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan.
Matematika dalam kenyataannya masih dipandang sulit oleh peserta didik dan
menjadi mata pelajaran yang memiliki nilai paling rendah dibandingkan mata pelajaran lain.
Pada tabel 1 berikut dapat dilihat hasil UN Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs N)
Brangsong.
Tabel 1 Data Nilai Rata-rata Ujian Nasional (UN) MTs N Brangsong Kabupaten Kendal
Tahun Ajaran 2016/2017
Rata-
No Mata Pelajaran rata
Nilai
1. Bahasa Indonesia 72,83
2. Bahasa Inggris 43,24
3. Matematika 35,50
4. Ilmu Pengetahuan Alam 44,55
Sumber data: puspendik.kemdikbud.go.id, diakses 28 Agustus 2017 pukul 21.35
Kenyataan yang ada ini, bisa diatasi dengan memperbaiki proses pembelajaran
yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik akan mengajak peserta didik aktif
menemukan suatu konsep. Pendekatan ini merujuk pada teknik-teknik investigasi atas
suatu hal atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau
mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya (Agus Susilo, 2016). Pendekatan ini
juga menuntut siswa untuk aktif berpikir dan menemukan suatu konsep atau
pemahamannya sendiri. Sehingga pembelajaran akan berorientasi pada proses. Menurut
Permendikbud no. 81 A tahun 2013 lampiran IV tentang pedoman umum pembelajaran
dinyatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran saintifik terdiri atas lima pengalaman
belajar pokok yaitu: 1) Mengamati 2) Menanya 3) Mengumpulkan informasi 4)
Mengasosiasi 5) Mengkomunikasikan.
Undang–Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3
berbunyi:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari paparan Undang–undang pendidikan nasional di atas, dapat diartikan bahwa
pemerintah melalui undang–undang menekankan pentingnya pembangunan spiritual
peserta didik. Hal ini bertujuan untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa
melalui pembelajaran di sekolah, salah satunya yaitu pembelajaran matematika. Cara
pembangunan keimanan dan ketakwaan salah satunya yaitu mengamalkan firman Allah
surat al-Anfāl ayat 1:
ِِ ِ
َ ٱّلل َوَر ُسولَهۥُٓ إِن ُكنتُم ُّمؤ ْۡمن
)١( ي َوأَط ُيعواْ ه
Artinya: “dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman.” (RI, 1998)
Pada ayat tersebut Allah telah memerintahkan manusia untuk taat kepada Allah
dan rasul-Nya. Taat merupakan buah dari iman dan takwa kepada Tuhan. Iman kepada
Tuhan mengharuskan peserta didik memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang
dimiliki Tuhan. Sifat-sifat Tuhan atau nama-nama Tuhan yang baik (asmaul husna)
sebaiknya tidak hanya dihafalkan atau diketahui artinya, melainkan harus dipahami,
dihayati dan diamalkan kandungannya, karena dengan itulah tercipta manusia yang
selalu ingat pada Tuhan dan melahirkan manusia yang berakhlak yang mulia (Nata,
2013). Iman dan takwa dalam kaitannya dengan sikap merupakan sikap spiritual, yang
kemudian dengan sikap spiritual inilah sikap sosial peserta didik juga dapat tercipta.
MTs N Brangsong Kendal merupakan salah satu sekolah menengah Islam, sehingga di
dalamnya peserta didik memperoleh mata pelajaran agama lebih banyak dibandingkan
dengan sekolah menengah pertama (SMP). Menurut hasil wawancara dengan bapak R.
Wahyu Djatmiko, S.Pd., salah satu guru matematika kelas VII MTs N Brangsong Kendal
padat tanggal 11 November 2016 penanaman sikap spiritual sebenarnya sudah dilakukan
oleh pendidik, yaitu dengan cara lisan. Di sisi lain ada buku teks matematika sebagai sumber
belajar, akan tetapi, buku teks itu sendiri belum memenuhi untuk menunjang penanaman
sikap spiritual. Para pengarang maupun penyusun buku teks kebanyakan hanya
memikirkan aspek kognitifnya saja, belum banyak yang memerhatikan aspek-aspek
psikologi dan teori-teori desain yang pas untuk menunjang penanaman sikap spiritual.
Penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) juga kurang efektif, karena hanya berisi ringkasan
materi yang tentunya belum menyentuh ranah sikap, terutama sikap spiritual.
Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah penanaman sikap spiritual
yang kurang adalah mengembangkan sumber belajar matematika lain yang bisa membantu
peserta didik menguasai materi matematika serta membantu peserta didik memiliki sikap
spiritual. Berdasarkan data hasil angket kebutuhan yang sudah didapat, menunjukkan
bahwa 27,59% peserta didik sangat membutuhkan modul, sebanyak 31,03%
membutuhkan modul, sebanyak 41,38% cukup membutuhkan modul dan 0% peserta
didik tidak membutuhkan modul. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik
membutuhkan modul sebagai sumber belajar. Modul sendiri merupakan suatu unit
program pengajaran yang disusun dalam bentuk tertentu untuk keperluan belajar. Menurut
makna istilah modul adalah alat ukur yang lengkap, merupakan unit yang dapat berfungsi
secara mandiri, terpisah, tetapi juga dapat berfungsi sebagai kesatuan dari seluruh unit
lainnya (Daryanto, 2013). Modul mempunyai kegunaan yaitu untuk membantu peserta
didik secara individual meningkatkan pemahaman terhadap suatu materi. Modul yang
dibutuhkan peserta didik harus memiliki pendekatan yang membantu peserta didik
memahami sendiri materi. Modul yang baik harus memperhatikan memiliki
karakteristik sebagai berikut: (1) Self instruction merupakan karakteristik yang penting
dalam modul, sehingga memungkinkan seorang belajar secara mandiri dan tidak
bergantung pada pihak lain. (2) Self contained artinya modul memuat seluruh materi
pembelajaran yang dibutuhkan, (3) Stand alone (berdiri sendiri) artinya dengan
menggunakan modul Peserta didik tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari,
memahami ataupun mengerjakan tugas yang ada pada modul, (4) Adaptif artinya bisa
menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
fleksibel/luwes digunakan di berbagai perangkat keras (hardware), dan (5) User friendly
(Bersahabat/Akrab) (Daryanto, 2013).
Sedangkan modul bernuansa Islami merupakan modul yang memuat nilai-nilai
Islam di dalamnya. Menurut M. Quraish Shihab (2013) nilai-nilai Islam yang ada dalam Al
Quran adalah Nilai akidah yaitu tentang keyakinan kepada Allah, nilai syariah yaitu tentang
ibadah dan muamalah, dan nilai akhlak yaitu tentang perilaku manusia.
Hasil wawancara dengan bapak R. Wahyu Djatmiko juga mengatakan, materi yang
cocok untuk menanamkan sikap, khususnya sikap spiritual adalah aritmetika sosial.
Aritmetika sosial merupakan materi sangat aplikatif terhadap kehidupan sehari-hari
peserta didik. sehingga peserta didik bisa langsung mempraktikkan pada kehidupan sehari-
harinya. Aritmetika sosial merupakan materi yang diajarkan kepada peserta didik kelas VII
SMP/MTs. Menurut teori Piaget pada tahap operasional formal, perkembangan kognitif
anak dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja
mencapai masa tenang atau dewasa (Desmita, 2011). Sehingga pada kelas VII inilah, sangat
pas untuk mulai mengajak siswa berpikir logis dan abstrak.
Terkait dengan permasalahan yang telah dibahas dan solusi yang diajukan, maka
dilakukan sebuah penelitian dan pengembangan guna menjawab beberapa permasalah
dalam penelitian ini. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah (1)
Bagaimana mengembangkan modul matematika bernuansa Islami dengan pendekatan
saintifik pada materi pokok aritmetika sosial peserta didik kelas VII MTs N Brangsong
Kendal yang valid?
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian dan pengembangan
atau Research and development (R and D). Research and development adalah metode
penelitian yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk tertentu, dan menguji
keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011). Pada penelitian ini akan dikembangkan
dan dihasilkan suatu produk berupa modul pembelajaran matematika bernuansa Islami
dengan pendekatan saintifik.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian Research and Development (R & D)
dengan model pengembangan versi ADDIE. Model ADDIE adalah salah satu model yang
paling umum digunakan di bidang desain instruksional panduan untuk memproduksi
sebuah desain yang efektif. Desain instruksional dikenal dengan teknologi pembelajaran.
Ini berarti proses sistematis yang membantu dalam menciptakan dan mengembangkan
bahan ajar yang efektif, menarik, dan efisien dalam lingkungan yang mendukung dengan
menggunakan seni, Ilmu pengetahuan, pembelajaran, dan teori instruksional (Aldoobie,
2015).
Analysis
(analisis)
Developme
nt
(pengemba
ngan)
responden yang lebih mendalam (Sugiyono, 2015). Wawancara pada penelitian ini
dilakukan dengan tanya jawab secara langsung, antara peneliti dan subjek yang menjadi
sumber data. Sumber data pada wawancara ini berasal dari guru matematika di MTsN
Brangsong yaitu R. Wahyu Djatmiko, S.Pd. dan Fiki Diah Rahmawati, S.Pd. Wawancara
dengan guru matematika bertujuan untuk melakukan studi pendahuluan mengetahui
proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru matematika di sekolah tersebut dan
untuk menganalisis kebutuhan modul pembelajaran matematika.
Penilaian Diri (self assessment) merupakan suatu teknik penilaian yang dilakukan
oleh peserta didik terhadap dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat
pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik penilaian ini dapat digunakan untuk
mengukur kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (Daryanto, 2014). Teknik
penilaian diri pada penelitian ini digunakan untuk mengukur pencapaian sikap spiritual
peserta didik setelah diajar menggunakan modul bernuansa Islami dengan pendekatan
saintifik.
Teknik Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan sebagai rekam jejak dari
penelitian ini. Dokumentasi yang dihasilkan berupa foto pada saat penerapan modul
matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik dan pada post test hasil
belajar peserta didik.
Teknik Kuesioner disebut juga sebagai angket, yaitu merupakan salah satu teknik
pengumpulan data dalam bentuk pengajuan pertanyaan tertulis melalui sebuah daftar
pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan harus diisi oleh responden
(Sugiyono, 2015). Pengajuan angket diberikan kepada peserta didik untuk studi
pendahuluan (analisis kebutuhan modul) dan tanggapan peserta didik terhadap produk
modul pembelajaran serta kepada validator sebagai uji kelayakan modul.
Teknik Tes dalam penelitian ini menggunakan teknik tes tertulis. Tes tertulis ini
dilakukan pada saat post test untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah
menggunakan modul pada kelas eksperimen dan post test pada kelas kontrol.
Teknik Analisis Data
Uji Validitas Modul oleh Validator
Uji validitas modul diperlukan untuk menunjukkan kesesuaian antara teori
penyusunan dengan modul yang disusun, menentukan apakah modul yang telah dibuat
itu cukup valid (layak, baik) atau tidak. Apabila tidak atau kurang valid berdasarkan
teori dan masukan perbaikan validator, modul tersebut perlu diperbaiki. Valid atau
tidaknya modul ditentukan dari kecocokan hasil validasi empiris dengan kriteria
validitas yang ditentukan. Angket validasi menggunakan tabulasi. Tabulasi data sesuai
dengan tabel 2.
Tabel 2 Pedoman penskoran lembar penilaian validator.
Kategori Skor
Sangat baik 4
Baik 3
Kurang 2
Sangat kurang 1
Jumlah total skor validasi kemudian dihitung persentasenya dengan rumus sebagai
berikut :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛 𝑣𝑎𝑙𝑖𝑑𝑎𝑠𝑖
𝑆𝑘𝑜𝑟 % = × 100%
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
Setelah itu, skor (%) yang sudah dihasilkan dikonversikan dalam bentuk tabel
kriteria. Tabel kriterianya disajikan pada tabel 3.
Data yang diperoleh melalui angket tanggapan peserta didik terhadap modul
pembelajaran matematika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik masih berupa
data uraian aspek-aspek tanggapan peserta didik. Data uraian tersebut direkap dan
setiap aspek tanggapan dari keseluruhan peserta didik sampel dipersentasekan. Angket
tanggapan menggunakan tabulasi. Tabulasi data sesuai dengan tabel 4.
Jumlah total skor validasi kemudian dihitung persentasenya dengan rumus sebagai
berikut :
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛 𝑣𝑎𝑙𝑖𝑑𝑎𝑠𝑖
𝑆𝑘𝑜𝑟 % = × 100%
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
Setelah itu, skor (%) yang sudah dihasilkan dikonversikan dalam bentuk tabel
kriteria. Tabel kriterianya disajikan pada tabel 5.
Tabel 5 Pedoman penilaian tanggapan peserta didik (Purwanto, 2002)
Tingkat
No. Predikat
penguasaan
1. 86-100% Sangat baik
2. 76-85% Baik
3. 66-75% Cukup
4. 56-65% Kurang
5. 1-55% Kurang sekali
Data hasil pre-test dan post test selanjutnya dianalisis dengan indeks gain : 𝑔
(Normalized Gain).
Tahap development
Setelah desain modul, selanjutnya yaitu mengembangkan draf modul sesuai
dengan desain kerangka yang sudah dibuat. Draf modul aritmetika sosial yang sudah
tersusun kemudian melewati tahapan, antara lain:
Kritik dan saran dari validator
Validasi Modul oleh Validator
Draf modul aritmetika sosial bernuansa islami diajukan kepada validator ahli.
Validator ahli dari modul aritmetika sosial dalam penelitian ini yaitu Yulia Romadiastri,
S.Si., M.Sc. sebagai validator 1 dan Sri Isnani Setiyaningsih, M. Hum. sebagai validator 2.
Validasi modul yang dilakukan oleh validator berupa angket validasi. Kategori penilaian
modul berasal dari angket pada poin kesimpulan dengan validator memilih dari 3
kategori yaitu layak digunakan di lapangan tanpa ada revisi, layak digunakan di
lapangan dengan revisi dan tidak layak digunakan di lapangan. Hasil dari angket oleh
validator ahli yaitu validator 1 dan validator 2 menyimpulkan layak digunakan di
lapangan dengan revisi.
Selain dari kesimpulan pada angket validasi modul, juga dilakukan perhitungan
pada hasil angket. Validasi oleh validator dilakukan untuk mengetahui modul aritmetika
sosial bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik valid dan layak digunakan atau
tidak. Didapatkan rata-rata total penilaian validator mencapai persentase 82,50%
sehingga mencapai kategori valid dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. Berikut
hasil dari perhitungan validasi oleh validator:
Tabel 10 Hasil validasi modul
No. Indikator Skor Validator
maks 1 2
1. Kelayakan 56 39 49
Isi
2. Penyajian 52 37 49
3. Bahasa 52 40 49
4. Saintifik 20 15 16
5. Sikap 20 17 20
Spiritual
Total 200 148 172
Persentase 100% 71,00% 91,00%
Rata-rata total 82,50%
Cukup valid, atau dapat
Kategori digunakan namun perlu
direvisi kecil
Tahap implementation
Implementasi dengan uji terbatas yang dilakukan pada penelitian ini adalah
menerapkan modul aritmetika bernuansa Islami dengan pendekatan saintifik yang
sudah divalidasi pada kelas eksperimen yaitu kelas VII G.
Tahap evaluation
Tahap evaluation pada desain pengembangan ADDIE pada penelitian ini yaitu
analisis data akhir. Analisis data ini menganalisis data hasil penerapan modul yaitu
tanggapan peserta didik terhadap modul aritmetika sosial dan efektivitas modul
aritmetika sosial.
Tanggapan Peserta Didik terhadap Modul
Modul yang sudah valid dan sudah dilakukan uji terbatas kemudian dilakukan
penyebaran angket tanggapan peserta didik terhadap modul. Berdasarkan hasil
rekapitulasi tanggapan peserta didik terhadap modul aritmetika sosial, peran modul
aritmetika sosial terhadap kemudahan belajar peserta didik dinyatakan baik dengan
persentase sebesar 81%, ketertarikan peserta didik menggunakan bahan ajar berbentuk
modul dinyatakan baik dengan persentase sebesar 78%, peran modul dalam memotivasi
peserta didik untuk belajar aritmetika sosial dinyatakan sangat baik dengan persentase
sebesar 86% dan peran modul aritmetika sosial dalam membawa peserta didik kepada
spiritualitas yang sesuai dengan Islam dinyatakan sangat baik dengan persentase 90%.
Dari respons peserta didik terhadap modul aritmetika sosial kemudian ditentukan
respons peserta didik secara umum. Respons peserta didik secara umum diperoleh
persentase rata-rata sebesar 86,94%. Dari persentase tersebut kemudian dapat
disimpulkan bahwa modul aritmetika sosial yang sudah dipakai peserta didik
dinyatakan sangat baik.
Efektivitas modul
Ranah kognitif
Analisis data motivasi meliputi uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-
rata. Adapun hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 11 Hasil uji normalitas tahap akhir
No. Kelas 𝑫𝒉𝒊𝒕𝒖𝒏𝒈 𝑫𝒕𝒂𝒃𝒆𝒍 Kesimpulan
1. VII G 0,148 0,24 Normal
/Eksperimen 0
2. VII H 0,115 0,24 Normal
/Kontrol 0
Dari tabel di atas diketahui 𝐷ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 kedua sampel kurang dari 𝐷𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , sehingga 𝐻0
diterima. Artinya kedua sampel berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas, hasil yang didapat sesuai dengan tabel
berikut.
Tabel 12 Hasil uji homogenitas tahap akhir
Sumber Variansi Kontrol Eksperimen
Jumlah 1421 1941
N 26 27
𝑿̅ 54.65 71.89
Varians (Si2) 133.76 77.33
Standart deviasi (S) 11.57 8.79
𝐹 hitung 1.730
𝐹(0,05)(26,27) 1.947
Dari tabel uji homogenitas di atas diketahui 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐹𝐹(0,05)(25,26) sehingga 𝐻0
diterima. Artinya kedua kelas mempunyai varians yang sama atau homogen.
Dari pengujian normalitas dan homogenitas diperoleh bahwa data berdistribusi
normal dan memiliki varians homogen. Sehingga untuk pengujian perbedaan rata-rata
digunakan uji t pihak kanan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Hasil Uji t-test independent
Sumber
Eksperimen Kontrol
variasi
Jumlah 1941 1421
𝑁 27 26
𝑋̅ 71,89 54,65
𝑆𝑖2
77,33 133,76
𝑆2 104,99
𝑆 10,25
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 6,12
dk 51
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 1,67
Dari tabel di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Daerah penolakan
Daerah Ho
penerimaan Ho
1,67 6,12
REFERENSI
Agus Susilo, S. &. B., 2016. Pengembangan Modul Berbasis Pembelajaran Saintifik Untuk
Peningkatan Kemampuan Mencipta Siswa Dalam Proses Pembelajaran Akuntansi
Siswa Kelas XII SMA N I Slogohimo 2014. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, juni, 26(1),
p. 51.
Aldoobie, N., 2015. ADDIE Model. American International Journal of Contemporary
Research, Desember, Volume 5 no.6, p. 68.
Daryanto, 2013. Menyusun Modul Bahan Ajar untuk Persiapan Guru dalam Mengajar.
Yogyakarta: Gava Media.
Daryanto, 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Jogyakarta: Gava
Media.
Desmita, 2011. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. 1, cetakan 3 penyunt. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Hake, R. R., 1999. Analyzing Change/Gain Scores. American Educational Research
Association.
Kusaeri, 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nata, A., 2013. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers.
Purwanto, N., 2002. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
RI, D. A., 1998. Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI. Semarang:
Toha Putra.
Sa’dun Akbar, 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Salleh, M. S., 2013. Strategizing Islamic Education. International Journal of Education and
Research.
Shihab, M. Q., 2013. Membumikan Al Quran. Bandung: Mizan Media Utama.
Sudjana, N., 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Wiyani, N. A., 2014. Desain Pembelajaran Pendidikan. Yogyakarta: AR-Ruzz Media.
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya hambatan-hambatan sebagai bentuk gejala
kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik kelas X di MA Mir’atul Muslimien.
Diantaranya peserta didik tidak dapat merespon pertanyaan guru, peserta didik kesulitan
dalam menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru, peserta didik juga lambat dalam
pengumpulan tugas. Serta banyak peserta didik yang mendapatkan nilai jauh di bawah KKM.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar peserta didik pada materi
dimensi tiga di kelas X MA Mir’atul Muslimien. Metode penelitian yang digunakan ialah
pendekatan kualitatif, dan dijabarkan secara deskriptif. Analisis tingkat kesulitan belajar ini
dilakukan berdasarkan tiga aspek yang ada pada kurikulum matematika, yakni pemahaman
konsep, keterampilan, dan pemecahan masalah. Pengumpulan data dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya observasi, dokumentasi, tes tertulis, dan wawancara. Data yang
diperoleh dari observasi dan dokumentasi menunjukkan bahwa kelas X di MA Mir’atul
Muslimien memiliki gejala kesulitan belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
kesulitan belajar peserta didik kelas X memiliki skor 2,52 pada kategori sedang. Sedangkan
kesulitan belajar pada aspek pemahaman konsep memiliki skor rata-rata 2,57 yang
menunjukkan kesulitan belajar pada aspek pemahaman konsep berada pada kategori sedang.
Pada aspek keterampilan memiliki skor rata-rata kesulitan sebesar 1,78 yang berada pada
kategori cukup. Pada aspek pemecahan masalah memiliki skor rata-rata kesulitan belajar
sebesar 2,88, menunjukkan kategori sedang.
Kata Kunci: Kesulitan Belajar, Dimensi Tiga
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk pembentukan kepribadian
suatu individu. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai
dalam diri seseorang yang akan menjadi penuntun dalam menjalani kehidupan.
Sehingga orang yang berpendidikan biasanya akan lebih bisa membawa dan mengontrol
dirinya dalam bertindak dan berperilaku dalam berbagai situasi. Hal ini dikarenakan
orang tersebut telah belajar dengan benar serta menghayati perannya sebagai orang
yang berilmu. Sejalan denganSyeh Az-Zarnuji dalam Kitab Ta’lim Mu’taalim (Al-Zarnuji,
2004: 8):
كالشجاعة:ص ِال ِس َوى العِلْ ِم يَ ْش ََِت ُك فِْي َها ا ِإلنْ َسا ُن َو َسآئُِر احلَيَ َو َاَنت ِ ِ َّ ص ِِب ِإلنْسانِيَّ ِة ِِل
َ َن ََجْي َع اخل َ ُّ ََح ٍد إِ ْذ ُه َو امل ْخت ِ ُ و َشر
َ ف الْعلْ ِم ََلَيَْفٰى َع ٰلى أَ َ
ِواجلراءةُ وال ُق َّوةُ واجلو ُ
.الش ْف َقةُ َو َغْي َرَها ِس َوى العِلْ ُم
و د
َ َ َْ َ َ ََ
“Tidak ada seorangpun yang meragukan akan pentingnya ilmu pengetahuan,
karena itu khusus dimiliki umat manusia. Adapun selain ilmu, itu bisa dimiliki manusia
dan bisa juga dimiliki binatang: seperti keberanian, kekuatan, kemurahan hati, dan belas
kasih, selain ilmu.”
Dalam pendidikan formal maupun non-formal, belajar atau pembelajaran dapat
dikatakan berhasil apabila masing-masing peserta didik telah mencapai tujuan
pembelajaran yang sebelumnya tertuang dalam indikator. Dalam hal ini setiap pokok
bahasan dalam suatu mata pelajaran tertentu mempunyai masing-masing indikator yang
harus dicapai peserta didik diakhir pembelajaran. Semua itu bukan tidak mungkin dapat
dicapai oleh peserta didik karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam bentuk yang
sempurna baik fisik maupun akal pikiran. Peserta didik (manusia) lahir dengan
potensinya masing-masing yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Seperti
firman Allah dalam QS. At-Tin ayat 4 (Depag RI, 2012: 598):
pembelajaran hingga tertidur. Sebagian besar dari peserta didik saling mengobrol satu
sama lain saat guru menyampaikan materi pelajaran. Hal itu berimbas pada
ketidaksanggupan peserta didik dalam merespon apa yang ditanyakan oleh guru.
Peserta didik kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru
meskipun materinya baru saja di sampaikan. Saat diberikan tugas rumah, peserta didik
kelas X di MA Mir’atul Muslimien juga lambat dalam pengumpulan. Belum lagi diperkuat
dengan nilai-nilai tes yang didapatkan jauh di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM).
Dari sekian banyak penelitian yang dilakukan dan teori para ahli, kesulitan belajar
diartikan sebagai sebuah kesulitan dalam hal membaca, menulis, atau berhitung yang
penyebabnya adalah terjadinya luka pada otak atau tidak berfungsinya sistem syaraf
pusat. Namun pada realitanya, pihak sekolah, guru, orangtua, maupun peserta didik
sendiri tidak akan tahu pasti kesulitan belajar yang di alami karena tidak pernah ada
pemeriksaan medis yang di lakukan terhadap otak dan sistem syaraf peserta didik kelas
X di MA Mir’atul Muslimien. Sedangkan penelitian ini membahas kesulitan belajar yang
diartikan sebagai hambatan-hambatan yang mengganggu peserta didik dalam mencapai
tujuan pembelajaran.Secara kasat mata, gejalanya pun mudah terlihat. Sehingga
penelitian ini akan lebih efektif dalam membantu peserta didik, guru, bahkan pihak
sekolah untuk mengetahui kesulitan belajar yang peserta didik kelas X alami.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Menurut Sugiyono (2013) metode kualitatif dilakukan pada objek yang
alamiah atau apa adanya tanpa manipulasi. Dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan
dengan pengolahan angka-angka namun juga dengan mencari data sacara mendalam
kepada objek penelitian. Pencarian data secara mendalam dilakukan dengan melakukan
observasi, pengumpulan dokumen-dokumen, mengadakan tes tertulis, dan juga
wawancara kepada responden.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar peserta didik
kelas X pada materi dimensi tiga. Penelitian ini dilaksanakan di MA Mir’atul Muslimien,
tepatnya berada di Desa Ngambakrejo, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten
Grobogan. Sementara itu waktu penelitian dimulai pada bulan januari 2017 dan
berakhir pada bulan Juni 2017.
Aspek yang dianalisis dalam kesulitan belajar peserta didik yakni pemahaman
konsep, keterampilan, dan pemecahan masalah. Berikut indikator untuk pemahaman
konsep peserta didik (Mukhni, 2013):
1. Menyatakan ulang sebuah konsep
2. Mengklasifikasikan objek menururt sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya)
3. Memberi contoh dan bukan contoh dari konsep
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis
5. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep
6. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu
7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah
Menurut Abdurrahman (2010), Keterampilan dapat dilihat dari kinerja baik atau kurang
baik, cepat atau lambat, secara mudah atau sukar. Keterampilan cenderung berkembang
dan dapat ditingkatkan melalui latihan-latihan yang dilakukan secara continue. Dalam
materi dimensi tiga, komponen yang dapat dinilai dalam aspek keterampilan yakni
pengoperasian simbol-simbol, satuan, dan ketepatan gambar. Sehingga dalam penelitian
ini, indikator keterampilan yaitu pengoperasian simbol-simbol, satuan, dan ketepatan
gambar dalam menyelesaikan permasalahan.
Pemecahan masalah adalah sebuah proses dimana suatu situasi diamati kemudian bila
ditemukan ada masalah dibuat penyelesaiannya dengan cara menentukan masalah,
mengurangi atau menghilangkan masalah atau mencegah masalah tersebut terjadi
(Kusuma 2011, diakses 10 Nopember 2016). Menurut Polya (1957), pemecahan
masalah harus melalui tahapan-tahapan yang menjadi indikator dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Understanding the problem (memahami masalah)
2. Devising a problem (merencanakan penyelesaian)
3. Carrying out the plan (melaksanakan perencanaan)
4. Looking back (memeriksa kembali)
Teknik analisis data dalam penelitian ini mengacu pada metode Miles dan
Huberman yang dikutip oleh Sugiono (2013) yang terdiri dari reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi data. Pada tahap penyajian data, data disajikan dalam empat kategori
berdasarkan skor yang didapatkan, dengan skor maksimal bernilai 4. Empat kategori
yang dimaksud yaitu tinggi, sedang, cukup, dan rendah. Dilakukan dengan menggunakan
rumus:
𝑥 −𝑥
𝑋 = 𝑚𝑎𝑥 ×4
𝑥
𝑚𝑎𝑥
Keterangan:
𝑋 : Skor kesulitan
𝑥𝑚𝑎𝑥 : Skor maksimal
𝑥 : skor yang di dapat masing-masing peserta didik
Pengelompokkan peserta didik dalam penelitian ini dilakukan kepada keseluruhan
peserta didik, tidak hanya peserta didik yang memeroleh nilai dibawah KKM. Hal ini
dilakukan agar mendapatkan hasil yang lebih valid. Karena tidak menutup kemungkinan
bahwa peserta didik yang memeroleh nilai mencapai KKM tidak mengalami kesulitan
belajar. Sedangkan tabel kategori dan rentang skornya adalah sebagai berikut
(Widoyoko, 2014: 258-259):
Tabel 1. Kategori dan rentang skor kesulitan belajar
Kategori Rentang
Tinggi 𝑋 > 3,25
Sedang 2,50 < 𝑋 ≤ 3,25
Cukup 1,75 < 𝑋 ≤ 2,50
Rendah 𝑋 ≤ 1,75
Rendah Tinggi
20% 24%
Cukup Sedang
28% 28%
Dari pengkategorian tersebut dipilih 2 peserta didik untuk dilakukan wawancara dan
analisis jawaban. Berikut daftar peserta didik yang terpilih:
Tabel 3. Daftar wawancara dan analisis jawaban peserta didik
Kategori Kode Kelas
Tinggi S-11 X-A
Tinggi S-24 X-B
Sedang S-1 X-A
Sedang S-14 X-B
Cukup S-7 X-A
Cukup S-22 X-B
Rendah S-8 X-A
Rendah S-17 X-B
1. Kesulitan Belajar Pada Aspek Pemahaman Konsep
Pada asepk pemahaman konsep, peserta didik memiliki skor rata-rata kesulitan
sebesar 2,57 yang menunjukkan kesulitan belajar pada aspek ini berada pada
kategori sedang. Berikut banyaknya peserta didik pada tiap kategori aspek
pemahaman konsep:
Tabel 4. Banyaknya peserta didik pada tiap kategori aspek pemahaman konsep
Kategori Rentang Ban
yak
Tinggi 𝑋 > 3,25 6
Sedang 2,50 < 𝑋 7
≤ 3,25
Cukup 1,75 < 𝑋 7
≤ 2,50
Rendah 𝑋 ≤ 1,75 5
Terdapat tujuh butir indikator dalam aspek pemahaman konsep. indikator yang
pertama yaitu menyatakan ulang sebuah konsep terdapat pada soal nomor 6.
Gambar 2. Jawaban S-22 (Kategori sedang) menyatakan ulang konsep nomor 6
Gambar 2 merupakan contoh jawaban dari S-22 yang menyebutkan bahwa dua
garis sejajar merupakan garis yang saling berhadapan. S-22 mengakui kalau
begitulah yang dia ketahui. Hal tersebut juga dia sampaikan saat wawancara.
P : Bagaimana maksud dua garis sejajar?
S-22 : Garis yang saling berhadapan, Mbak.
P : Apakah garis sejajar selalu saling berhadapan?
S-22 : Iya, Mbak, meskipun jauh kan berhadapan
P : Kalau dua garis yang berhadapan itu berpotongan di suatu titik, apakah
masih garis sejajar?
S-22 : Kalau sudah berhadapan kan nggak mungkin berpotongan, Mbak.
Dari hasil wawancara dengan S-22 menunjukkan bahwa S-22 memahami
bentuk visual dari dua garis sejajar, namun tidak mengerti secara tepat definisi garis
sejajar.
Indikator yang kedua yaitu mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat
tertentu (sesuai dengan konsepnya). Pada Gambar 3, terdapat kesalahan saat S-8
menyebut garis frontal vertikal dan garis orthogonal.
Gambar 3. Jawaban S-8 (kategori rendah) mengklasifikasikan objek-objek nomor 1
Indikator ketiga dari aspek pemahaman konsep yaitu memberi contoh dan
bukan contoh. Diaplikasikan pada soal yang meminta peserta didik menjawab “ya”
pada garis yang dianggap sejajar, dan “tidak” pada sebaliknya.
Gambar 4. Jawaban S-11 (kategori tinggi) memberi contoh dan bukan contoh nomor
6
Gambar 7. Diagram prosentase banyaknya peserta didik pada setiap kategori pada
aspek keterampilan
Tinggi
Sedan
0%
g
32%
Renda
h
48%
Cukup
20%
Kesulitan belajar pada aspek keterampilan peserta didik dilihat dari ketepatan
gambar peserta didik saat menyelesaikan permasalahan. S-8, sebagai peserta didik
yang berada pada kategori kesulitan belajar rendah menunjukkan ketepatan
gambarnya pada jawaban nomor 8.
Gambar 8. Jawaban S-8 (kategori rendah) aspek keterampilan nomor 8
Gambar 10. Diagram prosentase banyaknya peserta didik pada setiap kategori pada
aspek Pemecahan masalah
Renda
h
16%
Cukup Tinggi
16% 44%
Sedan
g
24%
Pada indikator pertama yaitu pemahaman masalah, peserta didik memiliki
skor kesulitan belajar sebesar 2,38. Peserta didik pada kategori sedang dan cukup
mampu menjawab dengan baik.
Gambar 11. Jawaban S-8 (kategori rendah) pemahaman masalah nomor 3
kategori rendah dan kategori cukup yang melakukan perencanaan. Pada soal nomor
4, hanya S-1 dan S-17. Pada soal nomor 5, perencanaan hanya dilakukan oleh peserta
didik yang berada pada kategori kesulitan rendah yakni S-8 dan S-17. Sedangkan
pada soal nomor 7, perencanaan tidak dilakukan oleh S-11, S-24, dan S-1.
Indikator ketiga yaitu pelaksanaan penyelesaian. Pada indikator ini, skor
kesulitan belajar mencapai angka 3,22. Pada analisis jawaban peserta didik, banyak
dari mereka yang bermasalah pada indikator ini. Terlihat dari beberapa peserta
didik yang mampu memenuhi indikator pemahaman masalah dan perencanaan
penyelesaian, namun mereka tidak mampu memenuhi indikator pelaksanaan
perencanaan. Gambar 12 menunjukkan bahwa pada soal nomor 4 yang berbasis
pemecahan masalah, peserta didik S-1 berhenti setelah menuliskan apa yang
ditanyakan pada soal.
Gambar 12. Jawaban S-1 (kategori sedang) nomor 4
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih diucapkan kepada Allah S.W.T. dan semua pihak yang terlibat dalam
penelitian ini.
REFERENSI
Abdurrahman, M. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Adi
Mahasatya.
Ahmadi, A., & Supriyono, W. 2013. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Al-Zarnuji, B. 2004. Ta'lim Muta'alim. Sodan: Al-Dar Al-Soudania.
Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta.
Departemen Agama RI. 2012. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Darus Sunnah.
Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Fajar, H. 2010. Kajian Kesulitan Belajar Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam
Mempelajari Aljabar. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Jamaris, M. 2014. Kesulitan Belajar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Kurniasari, Ika. 2013. Identifikasi Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Geometri
Materi Dimensi Tiga Kelas XI IPA SMA. Prosiding Seminar Nasional dan Pendidikan
Matematika. Yogyakarta 9 November 2013.
Kusni. 2009. Geometri Ruang. Semarang: Jurusan Matematika Fakultas MIPA UNNES.
Mukhni, dkk. 2012. Pemahaman Konsep Luas dan Volume Bangun Ruang Sisi Datar
Siswa Melalui Penggunaan Model Learning Cycle 5E Disertai Peta Konsep. Jurnal
Pendidikan Matematika. 1(1): 27-32.
Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar Dan Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar
Khusus. Yogyakarta: Nuha Litera
Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Musyafak, A. 2011. Diagnosis Tingkat Kesulitan Belajar Matematika Peserta Didik Kelas
VII di SMP Askhabul Kahfi Mijen Semarang berdasarkan Hasil Ujian Akhir Semester
Genap Tahun Pelajaran 2010/2011. Skripsi. Semarang: Fakultas Tarbiyah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo.
Negoro, S.T. & Harahap, B. 1998. Ensiklopedia Matematika. Edisi Kedua. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Ontario Principals' Council. 2009. Mathematics Leader. California: Corwin Press.
O’Daffer, P.G. & Clemens, S.R. 1992. Geometry: An Investigative Approach. United States
of America: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Polya, G. 1957. How To Solv It: A Nes Aspect of Mathematical Method. New York:
Princeton University Press.
Rahyubi, H. 2012. Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik: Deskripsi dan
Tinjauan Kritis. Bandung: Nusa Media.
Rohmah, Noer. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Teras.
Romlah. 2010. Psikologi Pendidikan. Malang: UMM Press.
Sholihah D.A. & Mahmudi, A. 2015. Keefektifan Experiental Learning Pembelajaran
Matematika MTs Materi Bangun Ruang Sisi Datar. Jurnal Riset Pendidikan
Matematika. 2(2): 175-185.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta.
________. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Susanto, A. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Syah, Muhibbin. 2016. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Widoyoko. 2014. Penilaian Hasil Pembelajaran di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zirbel, E.L. 2010. Learning, Concept Formation & Conceptual Change. Tufts University.
Kusuma, L.H. 2011. Pemecahan Masalah. Diunduh di http://lingga-
repeluone.blogspot.co.id/p/pemecahan-masalah.html tanggal 10 November 2016
OCED. 2016. PISA 2015 Result in Focus. Diunduh di https://www.oced.org/pisa tanggal 2
April 2017
Yusrina Wardani
Universitas Negeri Yogyakarta
yusrina.wardani@gmail.com
Abstrak
Tantangan abad 21 yang tampak secara nyata adalah meningkatnya kebutuhan akan
pendidikan yang mampu menjawab tuntutan global, yaitu menuntut individu untuk tampil
sebagai manusia cerdas. Dengan kata lain bahwa pendidikan pada abad 21 merupakan
pengembangan intelegensi/kecerdasan sehingga dengan bekal kecerdasan individu mampu
memecahkan permasalahan dalam kehidupannya. Kemampuan komunikasi matematis
merupakan salah satu standar proses yang dinyatakan dalam National Council of Teacher of
Mathematics (NCTM). Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share dinilai memiliki
karakter yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Makalah ini
berupa studi literatur yang bertujuan untuk mengetahui peran model pembelajaran Search,
Solve, Create, and Share dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang
merupakan salah satu tuntutan kompetensi dalam pembelajaran matematika. Model
pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dapat menjadi suatu rekomendasi
model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di sekolah untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa karena di dalamnya terdapat tahapan-tahapan
terstruktur yang dapat mendukung untuk mencapai tujuan yang terdapat dalam indikator
kemampuan komunikasi matematis.
Kata kunci : Search, Solve, Create, and Share (SSCS), komunikasi matematis
PENDAHULUAN
Tantangan abad 21 yang tampak nyata (Rohana, 2015) adalah meningkatnya
kebutuhan akan pendidikan yang mampu menjawab tuntutan global, yaitu menuntut
individu untuk tampil sebagai manusia cerdas. Dengan kata lain bahwa pendidikan pada
abad 21 merupakan pengembangan intelegensi/kecerdasan sehingga dengan bekal
kecerdasan individu mampu memecahkan permasalahan dalam kehidupannya.
Kompetensi abad 21 memiliki manfaat yang terukur untuk beberapa area kehidupan.
Kompetensi kunci dapat diidentifikasi berdasarkan seberapa memberi kontribusi
terhadap pencapaian pendidikan, relasi, pekerjaan, kesehatan dan kesejahteraan.
Kompetensi ini berhubungan dengan berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, kreativitas
dan inovasi. Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu yang dipelajari dari pendidikan
tingkat dasar hingga tingkat atas memegang peranan penting dalam pembentukan
kemampuan berpikir siswa. Belajar matematika (Yuana & Indriyastuti, 2016) adalah
membangun pemahaman tentang konsep-konsep, fakta, prosedur, dan gagasan
matematika. Salah satu tujuan mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat dalam pemecahan masalah. Pada tahap akhir, diharapkan pembelajaran
matematika dapat membentuk sikap-sikap positif siswa seperti kedisiplinan, tanggung
jawab, toleransi, kerja keras, kejujuran, menghargai perbedaan, dan lain sebagainya
(Satriawan, 2017). Selanjutnya di kemudian hari dapat terbentuk pola berpikir dan
bertindak ilmiah yang merupakan suatu kebiasaan. Untuk mencapai hasil pembelajaran
seperti yang diharapkan, guru perlu mengembangkan pendekatan atau model,
perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menguraikan prosedur sistematis
dalam mengorganisasi pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam
merencanakan aktivitas pembelajaran.
Kegiatan inti dalam pembelajaran matematika (Yuana & Indriyastuti, 2016)
merupakan proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang dilakukan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Pembelajaran yang interaktif dapat menumbuhkan keterlibatan siswa
dalam menyampaikan gagasan matematis untuk memperkuat pemahaman terhadap
pembelajaran matematika. Komunikasi matematis (Putra Imam Wijaya & Sujadi, 2016)
adalah cara bagi siswa untuk mengomunikasikan ide-ide pemecahan masalah, strategi
maupun solusi matematika baik secara tertulis maupun lisan. Kemampuan komunikasi
matematis merupakan salah satu standar proses yang dinyatakan dalam National
Council of Teacher of Mathematics (NCTM). NCTM menyebutkan terdapat lima standar
proses dalam pembelajaran matematika, yaitu pemecahan masalah, penalaran,
komunikasi, koneksi, dan representasi matematis. Tujuan utama dari pembelajaran
abad ke-21 (Zubaidah, 2017) adalah membangun kemampuan belajar individu dan
mendukung perkembangan mereka menjadi pebelajar sepanjang hayat, aktif, pebelajar
yang mandiri; oleh karena itu guru perlu menjadi pelatih pembelajaran yang memiliki
sebuah peran yang sangat berbeda dari guru kelas tradisional. Guru sebagai pelatih
pembelajaran akan memberikan bimbingan untuk membantu siswa dalam
mengembangkan keterampilan dan menawarkan berbagai dukungan yang akan
membantu siswa mencapai tujuan belajar mereka.
Pembelajaran matematika perlu menerapkan model pembelajaran yang tepat untuk
menunjang kemampuan komunikasi matematis siswa. Menyadari pentingnya kegiatan
belajar-mengajar di dalam kelas, diperlukan strategi yang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam berpikir matematis dan membantu siswa mengkomunikasikan
apa yang dipahaminya. Selain itu, diperlukan juga keaktifan dan keterlibatan siswa
dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas yang menumbuhkan sikap keberanian
siswa untuk menyelesaikan masalah matematika dan berkompetisi (Euclid, 2013). Para
siswa hendaknya dibiasakan untuk mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman
yang telah mereka miliki sebelumnya. Oleh karena itu keterlibatan siswa secara aktif
sangat penting dalam kegiatan pembelajaran matematika (Fitri & Syarifuddin, 2014).
Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dinilai memiliki karakter
yang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Model
pembelajaran SSCS (Irwan, 2011) mempunyai beberapa keunggulan diantaranya
meningkatkan kemampuan bertanya siswa, meningkatkan dan memperbaiki interaksi
siswa, siswa dapat berkomunikasi secara efektif, memberikan pengaruh terhadap
interaksi siswa, dan pengaruh postif terhadap sikap siswa dalam merespon pernyataan.
Model SSCS ini mengacu kepada empat langkah penyelesaian masalah yang urutannya
dimulai pada menyelidiki masalah (search), merencanakan pemecahan masalah (solve),
mengkonstruksi pemecahan masalah (create), dan yang terakhir adalah
mengkomunikasikan penyelesaian yang diperolehnya (share). Adanya tahapan yang
jelas dapat mempermudah siswa untuk menyampaikan gagasan/ide matematis baik
secara lisan maupun tulisan serta menerima gagasan/ide matematis dari orang lain.
KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran matematika menurut Uno (Fitri & Syarifuddin, 2014) adalah suatu
aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol
kemudian diterapkan pada situasi nyata. Belajar matematika berkaitan dengan apa dan
bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah.
Mata pelajaran matematika sangat bergantung dari cara guru mengajarkan kepada
siswa. Guru dapat membantu siswa memahami pelajaran matematika. Banyak cara bagi
seorang guru untuk menyampaikan materi pelajaran yang akan membuat siswa merasa
senang serta meningkatkan hasil belajar, di antaranya adalah dengan menggunakan
strategi, metode yang tepat dan dibantu media yang mendukung kegiatan belajar
mengajar. Dengan diterapkannya model pembelajaran yang tepat maka akan membantu
siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.
Model pembelajaran (Lestari & Yudhanegara, 2015) adalah suatu pola interaksi
antara siswa dan guru di dalam kelas yang terdiri dari strategi, pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di
kelas. Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (Utami, 2011) melibatkan
siswa dalam menyelidiki situasi baru, membangkitkan minat bertanya siswa dan
memecahkan masalah-masalah yang nyata. SSCS merupakan model pembelajaran yang
memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada siswa untuk mengembangkan
kreativitas dan keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh pemahaman ilmu
dengan melakukan penyelidikan dan mencari solusi dari permasalahan yang ada.
Menurut Pazzini (Satriawan, Madjid, & Timur, 2017), model SSCS memiliki tahapan
search, solve, create, dan share. Search: siswa melakukan pencarian pertanyaan melalui
penyelidikan tentang topik yang mereka ingin selidiki. Solve: siswa merancang dan
melaksanakan penyelidikan untuk memecahkan pertanyaan melalui penelitian mereka.
Create: siswa menganalisis dan menginterpretasikan data kemudian membuat hasil
analisis data untuk mengkomunikasikan temuan mereka. Share: siswa berbagi hasil
mereka dan mengevaluasi penyelidikan mereka. Aktivitas tiap fase SSCS (Syamsi, 2012)
dideskripsikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Aktivitas pada tiap fase model pembelajaran Search, Solve, Create, and
Share
Fase Kegiatan yang dilakukan
Search 1. Memahami soal atau kondisi yang diberikan kepada siswa, yang
berupa apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui, apa yang
diketahui, apa yang ditanyakan
2. Melakukan observasi dan investigasi terhadap kondisi tersebut
3. Membuat pertanyaan-pertanyaan kecil
4. Menganalisis informasi yang ada sehingga terbentuk sekumpulan
ide
Solve 1. Menghasilkan dan melaksanakan rencana untuk mencari solusi.
2. Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif,
membentuk hipotesis yang dalam hal ini berupa dugaan jawaban
3. Memilih metode untuk memecahkan masalah
4. Mengumpulkan data dan menganalisis
Create 1. Menciptakan produk yang berupa solusi masalah berdasarkan
dugaan yang telah dipilih pada fase sebelumnya.
2. Menguji dugaan yang dibuat apakah benar atau salah.
3. Menampilkan hasil yang sekreatif mungkin dan jika perlu siswa
dapat menggunakan metode grafik, poster, atau model.
Share 1. Berkomunikasi dengan guru dan teman sekelompok dan kelompok
lain atas temuan, solusi masalah. Siswa dapat menggunakan media
rekaman, video, poster, dan laporan.
2. Mengartikulasikan pemikiran mereka, menerima umpan balik dan
mengevaluasi hasil.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur
terhadap jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan model pembelajaran Search,
Solve, Create, and Share dan kemampuan komunikasi matematis berdasarkan referensi
teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan.
Tahapan model pembelajaran SSCS mengharuskan siswa untuk terlibat aktif. Hal ini
tidak terlepas dari setting pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya dalam menyelesaikan masalah-masalah
nyata yang diberikan oleh guru. Sejalan dengan Johan (2012) yang menyatakan bahwa
model pembelajaran SSCS bersifat student center, membangun pembelajaran aktif,
pembelajar menjadi penerima informasi aktif, serta lebih menekankan pada program
pendidikan dari mengajar menjadi pembelajaran. Pembelajaran ini juga meningkatkan
sikap menyelesaikan masalah, berpikir, kerja kelompok, berkomunikasi. Dalam
penelitian sebelumnya, Utami (2011) menyebutkan bahwa SSCS merupakan model
pembelajaran yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada siswa untuk
mengembangkan kreativitas dan keterampilan berpikir dalam rangka memperoleh
pemahaman ilmu dengan melakukan penyelidikan dan mencari solusi dari
permasalahan yang ada. Melalui tahapan pembelajaran dalam model pembelajaran SSCS,
siswa akan mampu memecahkan persoalan dan mengomunikasikannya kepada rekan
dalam kelompoknya berupa hasil pemecahan masalah yang berdasarkan kesepakatan
bersama dengan media komunikasi baik berupa komunikasi lisan, tulisan, gambar, dan
grafik, serta mampu menyampaikan, menerima, mengktitisi suatu ide dari orang lain.
Pada tahap search guru memunculkan masalah yang harus dianalisis oleh siswa
melalui pertanyaan yang dapat membantu siswa merumuskan masalah, membantu
siswa menemukan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, dan
menyusun hipotesis. Pada tahap ini siswa banyak mengalami kesulitan dalam
menemukan informasi dan menentukan masalah yang mendasar pada masalah yang
diajukan. Hal ini terjadi karena siswa belum terbiasa dengan situasi belajar yang
dituntut dalam pembelajaran. Pada tahap solve guru mengarahkan kegiatan siswa untuk
melakukan penyelidikan untuk menguji hipotesis. Guru mengarahkan siswa melakukan
kegiatan untuk menghasilkan dan melaksanakan rencana untuk mencari solusi,
mengumpulkan, dan menganalisis data untuk menguji hipotesis yang telah disusun.
Guru memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mengembangkan pemikiran kritis dan
kreatif guna menemukan solusi yang tepat dengan bantuan LKS. Guru juga menjadi
motivator agar siswa mau membaca literatur yang dimiliki sebagai panduan diskusi
dalam kelompok. Pada tahap create guru membimbing siswa untuk membuat presentasi
berupa powerpoint sederhana. Guru membimbing siswa dalam menyiapkan bahan
presentasi dan mempersiapkan bagian-bagian penting dari hasil kerja siswa dengan
memberikan contoh. Pada fase create siswa menyusun simpulan dan suatu karya yang
komunikatif untuk disajikan kepada kelompok lain. Berdasarkan LKS yang telah
dikerjakan siswa, siswa telah mampu membuat grafik berdasarkan data yang
disediakan, menghasilkan simpulan, dan menguji hipoteisis yang telah disusun. Pada
fase share guru membimbing siswa dalam diskusi kelas. Dalam diskusi kelas guru
bertindak sebagai fasilitator dan motivator agar diskusi berjalan dengan baik dan
suasana menjadi hidup. Siswa percaya diri dalam mengungkapkan pendapatnya,
menanggapi solusi, dan mengevaluasi solusi yang diperoleh (Suciati, 2013).
Berdasarkan pemaparan di atas, model pembelajaran SSCS dapat menjadi suatu
rekomendasi model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa, yang mana komunikasi merupakan suatu
kompetensi yang wajib dikuasai pada abad 21 ini. Siswa sebagai pusat pembelajaran,
dan guru sebagai fasilitator dan pemberi umpan balik dan evaluasi dalam kegiatan
belajar. Masing-masing tahapan pada model SSCS memiliki kontribusi dalam
meningkatkan kemampan komunikasi matematis siswa. Pada tahapan search, siswa
memiliki kesempatan menggali informasi dengan cara observasi terhadap peristiwa
sehari-hari serta mengumpulkan ide-ide yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah matematika yang muncul dengan menyatakannya dalam bahasa matematika.
Tahapan solve, siswa melakukan pencarian solusi yang tepat atas masalah masalah
tersebut dengan menggunakan ide-ide yang sudah dibangun pada tahapan search.
Tahapan create, siswa menciptakan produk yang berupa solusi masalah sekreatif
mungkin dengan menampilkannya dalam bentuk gambar, grafik, dan aljabar. Kemudian
di tahapan share, siswa membagikan solusi dari masalah matematika baik secara lisan
maupun tulisan atau dengan benda nyata yang sudah mereka buat pada tahap create,
serta menerima tanggapan dari orang lain untuk menyempurnakan hasil pemikirannya.
Oleh sebab itu, model pembelajaran SSCS dapat menunjang kemampuan komunikasi
matematis siswa.
KESIMPULAN
Model pembelajaran Search, Solve, Create, and Share (SSCS) dapat menjadi suatu
rekomendasi model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru di sekolah untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa karena di dalamnya terdapat
tahapan-tahapan terstruktur yang dapat mendukung untuk mencapai tujuan yang
terdapat dalam indikator kemampuan komunikasi matematis.
REFERENSI
Euclid, J. (2013). Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.561, 3(2), 561–567.
Fitri, R., & Syarifuddin, H. (2014). Penerapan Strategi The Firing Line Pada Pembelajaran
Matematika Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Batipuh. Jurnal Pendidikan
Matematika : Part, 3(2), 18–22. Retrieved from
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/pmat/article/viewFile/1214/906
Haryanto, D. (2013). Penerapan Model Search, Solve, Create, and Share dengan
Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan
Komunikasi Matematis Siswa SMP. Retrieved from
http://repository.upi.edu/1864/
Irwan. (2011). Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search, Solve, Create and
Share (SSCS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis
Mahasiswa Matematika. Penelitian Pendidikan, 12(1), 1–13.
Johan, H. (2014). Pembelajaran Model Search, Solve, Create and Share (SSCS) Problem
Solving untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Mahasiswa pada Materi Listrik
Dinamis. Pengajaran MIPA, 19(1), 103–110.
Putra Imam Wijaya, H., Sujadi, I., & Magister Pendidikan Matematika, P. (2016).
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sesuai dengan Gender dalam Pemecahan
Masalah pada Materi Balok dan Kubus (Studi Kasus Pada Siswa SMP Kelas VIII SMP
Islam Al-Azhar 29 Semarang), 4(9), 2339–1685. Retrieved from
http://jurnal.fkip.uns.ac.id
Rohana. (2015). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Calon Guru
Melalui Pembelajaran Reflektif. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP
Siliwangi Bandung, 4(1), 105–119.
Satriawan, R., P., Madjid, A., & Timur, L. (2017). Keefektifan Model Search, Solve, Create,
and Share Ditinjau dari Prestasi, Penalaran Matematis, dan Motivasi Belajar The
Effectiveness of the Model of Search, Solve, Create, and Share Terms of
Achievement, Mathematical Reasoning, and Motivation, 4(1), 87–99.
Suciati, N. (2013). Pengaruh Pembelajaran Search, Solve, Create dan Share dengan
Strategi Metakognitif terhadap Kemampuan Menyelesaikan Masalah dan Berpikir
Kritis Fisika. Pendidikan Sains, 1(2), 194–200.
Syamsi, N. (2012). Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Dengan Strategi
Search, Solve, Create, Share Terhadap Hasil Belajar Siswa. Penelitian Pendidikan,
1(1), 1–7.
Utami, R. P. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Search Solve Create And Share
(SSCS) dan Problem Based Instruction (PBI) Terhadap Prestasi Belajar dan
Kreativitas Siswa. Bioedukasi, 4(2), 57–71.
Yuana, R. A., & Indriyastuti. (2016). Buku Guru Pesrpektif Matematika 1. Solo: PT Tiga
Serangkai Pustaka Abadi.
Zubaidah, S. (2017). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan yang Diajarkan Melalui
Pembelajaran. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/318013627.
Abstract
This research aims to describe the mathematical reasoning ability of the 8 th grade students
reviewed by CMR and IR on the function subject. This research is a qualitative research
which involved a group of 8th grade students as its subjects. They were examined by using
mathematical reasoning test and then the top five and the bottom five among them were
selected to be interviewed. The data collection techniques used in this research were
observation, interview, and test in which the credibility was then tested by using
triangulation. The research instruments were test and interview guidance of CMR and IR
mathematical reasoning ability. The result suggested that in order to accomplish CMR
questions, subjects used their own way to answer by developing the formula. Reasoning
process for this strategy was a new reasoning since the subjects create their own solution. In
the implementation, some subjects used solutions which were different with the test rubric,
but the conclusion was correct. These were alternative ways plausible for the students.
Though the solutions were different with the rubric content, these alternative ways have a
strong mathematical foundation. In order to accomplish IR questions, subjects used a
strategy by imitating a concept. Subjects recalled the concept from the book or from their
teacher explanation, and then they directly wrote down the memorized answers or
memorized either the procedure or the algorithmic solution.
INTRODUCTION
Mathematical reasoning is defined as a line of thought adopted to create a
statement and conclusion when solving a mathematical problem (Lithner, 2008). It is
not always based on formal logic, so it is not limited by evidence, and sometimes it is not
right but plausible. With mathematical reasoning ability, students can make a better
decision by collecting facts and considering the consequences of several choices
(O’Connell, 2008). The emphasis of reasoning on each mathematical activity is needed to
provide a comprehensive mathematical understanding to the students (New Jersey
Mathematics Coalition, 1996).
The comprehensive purpose of learning mathematics is to help students
developing their mathematical competence including problem-solving ability, reasoning
ability, and conceptual understanding (Niss, 2007). In the regulation of the Indonesian
Ministry of Education and Culture number 58 comment 2014, mathematical competence
is divided into several domains, namely: understanding, presentation and interpretation,
reasoning and proof. In the reasoning and proof domain, the ability assessed is the
students’ ability in: (1) identifying example and non-example, (2) assuming and
checking the truth of a statement, (3) obtaining or checking the truth with inductive
reasoning, (4) arranging the algorithm of the mathematical problem solving process,
and (5) derriving or proving the formula using the inductive reasoning.
One of the international studies evaluating the education quality is Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS). TIMSS assesses especially for 14
years old students (Junior High School) using four international-standard scales. Those
used to represent range of students’ ability based on international benchmark which
varies from expert (625), high standard (550), medium standard (475), and poor
standard (400). In the TIMSS 2011, assessment framework is divided into two
dimensions, the content dimension which consists of numbers, algebra, geometry, data
and probability; and the cognitive dimension which consists of knowing, applying, and
reasoning (Mullis, et al, 2012).
TIMSS research data in 2011 showed that the reasoning ability of junior high
school students in Indonesia is lower than the students in other countries. It is also
below the international standard (388). This data is also supported by TIMSS research
result in 2015, representing the ability of 10 years old students, which showed that the
reasoning ability of elementary school students is lower than do students in other
countries. Moreover, it is still below the international benchmark standard (397). Since
most of 14 years old students are 8th grade junior high school students, it can be inferred
that the reasoning ability of 8th grade junior high school students in Indonesia is very
low.
Lithner (2008) defined CMR as reasoning that conform to criteria: new, plausible,
and having a mathematical foundation. CMR is divided into two sub-categories: Local
Creative Reasoning (LCR) and Global Creative Reasoning (GCR). On the other hand,
Lithner (2008) also defined IR as a reasoning that imitates a concept. It is divided into
two sub-categories: Memorized Reasoning (MR) and Algorithmic Reasoning (AR).
Based on the explained facts, researcher examined the reasoning ability of 8th
grade students of SMP Negeri 14 Semarang based on CMR and IR on function subject.
METHOD
This research used purposive sampling technique, a data collection technique with
certain considerations (Sugiyono, 2010). First, ten subjects in one class were adequate
to represent the 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang. Second, the research
time was limited. From the chosen class, researcher pick out 5 students who had highest
score and the other 5 students who had the lowest score of CMR and IR test. The data
collection techniques used were observation, interview, and test in which their
credibility was then tested by using triangulation. The data used in the research were
the interview result after CMR and IR test, and the result of CMR and IR test.The test
method used to obtain data about students mathematical reasoning ability is CMR and
IR. The test consisted of questions on function and related to either CMR or IR. Questions
presented on the test were based on Bergqvist (2007) classification of questions and
reasoning types.
CMR IR
LCR MR
- Conceptual modeling - Definition
GCR AR
- Conceptual modeling - Basic algorithm
- Proving new concepts - Basic algorithm
- Proof using algorithm
-
Figure 1. Classification of type of problem based on the Bergqvist (2007) mathematical
reasoning
The test instrument used to find out the students’ CMR and IR mathematical
reasoning ability is test with functioning subject based on Bergqvist (2007) research
about question classification related the type of mathematical reasoning. The number of
essay questions is 8 questions, 4 questions for measuring CMR mathematical reasoning
ability and 4 questions for the IR. They refer to the mathematical reasoning structure by
Lithner (2008).
Observation technique used by researcher is passive participative observation in
which the researcher comes to the observation object only as an observer and do not
involved in the research subject activities (Sugiyono, 2010). Data collection using
observation technique is done by thoroughly assessing the given test and writing down
the score on the observation sheet.
Interview method conducted is unstructural interview done to find informal
information and to find more comprehensive information about the respondents
(Sugiyono, 2010). The interview topic is about the CMR and IR reasoning test done by
the research subjects.
The research data analysis is done by several stages such as data reduction, data
presentation, and conclusion making. The collected research data is summarized and
reduced to focus on the formulation of the problem – mathematical reasoning problem
which refers to Lithner (2008) mathematical process. Lithner’s mathematical reasoning
process is illustrated in the Figure 2.
1. Problematic Situation
The situation when a student deals with a problem
which has not been solved.
2. Choosing Strategy
Choosing strategy to solve the problem by direct
recalling, recalling a procedure, constructing or
searching alternative strategy such that the
problem can be solved.
3. Implementation of Strategy
Implementing the chosen strategy to solve the
problem. If it does not work, then the student has
to look back his or her work or rechoose the
strategy in the step 2.
4. Conclusion
Getting the solution of the problem.
Reasoning Path
Reasoning Path
Reasoning Path
Reasoning Path
Novelty
Strategy chosen by the research subjects is the expansion of the learned formula in
which the expansion is done by themselves. Some of them even fabricate their own
solution. The subjects used his/her own way to get 𝑎 value by dividing 50 litre volume
with 10 minutes so 𝑎 = 5 is obtained, 𝑏 = 0 is obtained from water basin volume before
filled. So, 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 = 5𝑥. With 𝑓(𝑥) = 5𝑥 in which𝑥 is water discharge time.
Reviewed by the statement, there is a novelty in S31’s work on questions number 5 and
6. Subject chooses to expand the formula himself. Subject develop the solution of
questions by developing the mathematical function 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 which is considered
familiar.
Plausibility
If we compare subjek answering process to the mathematical reasoning test rubric,
the subject’s answer is different with the rubric. However, the resulted conclusion
between the answer and the rubric shows the same result. After thoroughly monitoring
the subjects answering process, it is correct. It shows that the reasoning applied to
answer the question is plausible.
Mathematical Foundation
Problem solving strategy used by the research subjects to find the solution of the
CMR questions is an argument which has mathematical foundation because it is taught
in mathematic learning. So, the argument can be applied to find the solution. To figure
out the function, S26 should find 𝑎 and 𝑏 value by substitution and elimination in which
both ways needs students’ mathematical foundation on two-variable linear equation,
which the foundation exists in the learned mathematical teorhm and character.
On the analysis of students’ IR mathematical reasoning ability, the research
subjects find the answer and memorize it. Then they answer the question by writing
what is memorized. Research subjects memorize the function, domain, co-domain, and
range concept from the note, book or what have been taught by their teacher. They
directly write the answer by restating the functioning definition and writing down the
domain, co-domain, and range of a functioning illustration.
For answering AR questions, the research subjects also used memorized process.
They did not memorize the answer but memorize the procedure or the algorithmic
solution. By figuring out the algorithm, subjects follow the procedure to find the
solution. For example, 𝑓(𝑥) = 𝑥 2 − 5𝑥 + 4 is known. Subjects should determine the
value of 𝑓(2) and 𝑓(4). To find out the 𝑓(2) and 𝑓(4) value based on the taught
procedure, the value of 𝑓(2) = 22 − 5(2) + 4 = 4 − 10 + 4 = −2, and the value of
𝑓(4) = 42 − 5(4) + 4 = 16 − 20 + 4 = 0.
Most of the research subjects are able to answer the question. Based on the
interview, they stated that they found frequently the similar questions either in practice
or in test. Therefore, they used to answer such questions.
CONCLUSION
Based on the discussion conducted on 10 research subjects, it can be inferred that
the mathematical reasoning ability of the 8th grade students of SMP Negeri 14 Semarang
reviewed by Creative Mathematically Founded Reasoning (CMR) and Imitative
Reasoning (IR) on functioning subject is as follows.
On the Creative Mathematically Founded Reasoning (CMR) in Local Creative
Reasoning (LCR) category, in the problematic situation, subjects wrote the information
of the contextual problem into mathematical model. On the strategy election, they used
their own steps to find the solution. On the strategy implementation, though the strategy
applied is a different strategy composed by subjects, it indirectly involved Imitative
Reasoning (IR) elements by imitating a concept or a procedure because they ever faced
the similar contextual problem before. On the conclusion stage, subjects give a correct
conclusion based on the applied strategy implementation. Some subjects cannot give the
correct conclusion because they rarely face such questions either in practice or in test,
so they experience a difficulty in applying the strategy to find the correct answer.
In Global Creative Reasoning (GCR) category, on the problematic situation, subjects
wrote the information of the contextual problem into mathematical model. On the
strategy election, they used their own steps to find the solution. On the strategy
implementation, subjects applied a strategy by developing their own steps to find the
answers. Each subject applied different ways. On the conclusion stage, subjects give a
correct conclusion based on the applied strategy implementation. Some subjects cannot
give the correct conclusion because they rarely face such questions either in practice or
in test, so they experience a difficulty in applying the strategy to find the correct answer.
On the Imitative Reasoning (IR) ability for Memorized Reasoning (MR) category on
the problematic situation, subjects wrote the known information to find the solution. On
the strategy election, subjects choosed the strategy by imitating the learned concept. On
the strategy implementation, the subjects directly wrote what is memorized. On the
conclusion stage, most of the subjects are able to solve the problems correctly since they
only memorized a concept and then applied it to find the answer. They stated that they
often face such questions either in practice or in test.
On Alghoritmic Reasoning (AR) category, on the problematic situation stage,
subjects wrote the known information to find the solution. On the strategy election,
subjects choosed the strategy by imitating the learned concept. On the strategy
implementation stage, the subjects directly wrote the memorized procedure or
algorithm and then found the solution by following them. On the conclusion stage, most
of the subjects are able to solve the problems correctly since they only followed the
procedure or the algorithm to find the answer. They stated that they often face such
questions either in practice or in test.
ACKNOWLEDGEMENTS
We would like to thank the principal of SMP Negeri 14 Semarang who has
permitted us to conduct this research in the school.
REFERENCES
Bergqvist, E. (2007). Types of reasoning required in university exams in mathematics.
Journal of Mathematical Behavior, 26.
Lithner, J. (2008). A Research Framework for Creative and Imitative Reasoning.
Educational Studies in Mathematics, 67,(3).
Mullis, I., Martin, M.O., Ruddock, G.J., O’Sullivan, C.Y., & Preuschoff, C. (2012). TIMSS 2011
Assessment Framework. Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center.
Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 International Result in
Mathematics. Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center.
New Jersey Mathematics Coalition. (1996). The First Four Standards. New Jersey: New
Jersey State Department of Education.
Niss, M. (2007). Reactions on the state and trends in research on mathematics teaching
and learning. The 2nd Handbook of Research on Mathematics Teaching and
Learning.
O’Connell, J. (2008). Mathematics Study Guide. Sacramento: California Department of
Education.
MOEC. (2014). The regulation of minister of education and culture number 58 comment
2014. Jakarta: MOEC.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Abstrak
Standar Pelayanan Minimum UIN Walisongo Semarang menyebutkan bahwa 60% mahasiswa
lulus tepat waktu. Bagi program studi sarjana, hal ini berarti dalam satu angkatan, mahasiswa
yang berhasil menyelesaikan studi selama 8 semester sedikitnya mencapai 60%. Namun data
pada program studi Pendidikan Matematika menunjukkan bahwa kelulusan mahasiswa
angkatan 2013 pada tahun akademik 2016/2017 kurang dari 60%, sedangkan mahasiswa
yang sudah menyelesaikan seluruh mata kuliahnya mencapai lebih dari 60%. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kendala mahasiswa pada proses ujian komprehensif dan skripsi.
Ujian komprehensif merupakan ujian akhir dengan materi yang diujikan semua mata kuliah
yang telah dipelajari selama menempuh perkuliahan di program studi Pendidikan
Matematika UIN Walisongo Semarang. Beberapa mahasiswa harus mengikuti ujian
komprehensif lebih dari satu kali sampai mereka lulus. Dalam analisis ini, metode deskriptif
dan inferensial digunakan untuk mengetahui faktor yang menjadi kendala dalam ujian
komprehensif. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sampel sebanyak 17 mahasiswa, lebih
dari 80% mahasiswa menyatakan kesulitan mempersiapkan ujian karena ruang lingkup
materi yang terlalu luas, sehingga tidak dapat belajar fokus. Selain itu, faktor individu penguji
juga secara statistik berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kelulusan. Sementara jenis
pertanyaan penguji menunjukkan tidak berpengaruh terhadap hasil kelulusan, meskipun
mahasiswa menyatakan bahwa pertanyaan tentang konsep dasar lebih menyulitkan
mahasiswa daripada soal perhitungan.
PENDAHULUAN
Dalam bidang pendidikan, Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah standar
akademik yang dikembangkan berdasarkan peraturan akademik suatu perguruan tinggi
[5]. Bagi UIN Walisongo Semarang, SPM diartikan sebagai standar akademik yang
dikembangkan dengan tujuan seluruh pemangku kepentingan di UIN Walisongo
Semarang mempunyai pemahaman dan persepsi yang sama tentang standar akademik.
SPM UIN Walisongo Semarang menyebutkan bahwa 60% mahasiswa lulus tepat
waktu. Bagi program studi sarjana seperti pada program studi Pendidikan Matematika,
hal ini berarti dalam satu angkatan, mahasiswa yang berhasil menyelesaikan
perkuliahan selama 8 semester sedikitnya mencapai 60%. Sementara jumlah kelulusan
di program studi Pendidikan Matematika pada angkatan 2013 tahun akademik
2016/2017 kurang dari 60%. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada kendala mahasiswa
pada proses ujian komprehensif dan skripsi.
Ujian komprehensif di UIN Walisongo Semarang merupakan ujian akhir selain
ujian skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa. Materi yang diujikan adalah semua
mata kuliah yang telah dipelajari selama menempuh perkuliahan pada program studi
Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang. Kendala mahasiswa dalam proses
ujian komprehensif mengindikasikan bahwa mahasiswa kesulitan dalam mengikuti atau
menjawab pertanyaan dari dosen penguji. Ketika mahasiswa mengalami kesulitan dan
dosen penguji menyatakan tidak lulus maka ujian komprehensif harus diulang sampai
dosen penguji menyatakan lulus. Banyak faktor yang mempengaruhi kesulitan
mahasiswa dalam ujian komprehensif. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis
melakukan penelitian mengenai kesulitan mahasiswa dalam ujian komprehensif pada
program studi Pendidikan Matematika dengan tujuan agar terindentifikasi faktor apa
saja yang menjadikan mahasiswa sulit dan tidak lulus dalam ujian komprehensif.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Analisis Kesulitan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [2], analisis diartikan sebagai
penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dan
sebagainya) sedangkan kesulitan berarti keadaan yang sulit atau sesuatu yang sulit [3].
Dari definisi diatas maka analisis kesulitan bisa didefinisikan sebagai proses
penyelidikan atau pengidentifikasian penyebab peristiwa dalam keadaan sulit.
Pada setiap ujian pasti adanya suatu kesulitan. Kesulitan tersebut terjadi karena
ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Begitu pula pada permasalahan ujian
komprehensif yang penulis teliti. Di dalam paper ini penulis mencoba menganalisis
kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi mahasiswa dalam mengikuti ujian komprehensif.
Kesulitan ini dapat disebabkan dari pihak dosen penguji, materi ujian atau memang dari
faktor pribadi mahasiswa sendiri seperti grogi saat ujian atau malas dalam
mempersiapkan ujian komprehensif.
2. Ujian Komprehensif
Ujian komprehensif menjadi salah satu syarat kelulusan mahasiswa di UIN
Walisongo Semarang selain ujian skripsi. Ujian komprehensif dapat diartikan sebagai
ujian akhir yang bersifat menyeluruh yang dijujikan berasal dari mata kuliah yang
dipelajari selama di bangku perkuliahan yang bertujuan untuk menilai kompetensi
mahasiswa [8].
Ujian komprehensif di UIN Walisongo Semarang diselenggarakan setiap semester
dengan syarat lolos Toefl dan IMKA. Jadwal ujian komprehensif pada program studi
Pendidikan Matematika dibuat oleh petugas apabila mahasiswa yang mendaftar telah
memenuhi kuota [6]. Kuota untuk satu kali ujian sebanyak empat mahasiswa dengan
delapan materi yang diujikan yaitu agama, bahasa, pendidikan dan pembelajaran
matematika, analisis, terapan, aljabar, statistika & peluang, dan yang terakhir geometri.
Untuk satu materi diuji oleh satu dosen penguji. Ujian dilaksanakan secara lisan maupun
tertulis tergantung dari dosen penguji. Jenis pertanyaan yang diajukan pun berbeda
antar penguji. Ada penguji yang lebih suka menanyakan konsep dasar, ada pula yang
lebih menyukai memberikan pertanyaan hitungan. Bila menurut penguji kompetensi
mahasiswa saat ditanya dirasa kurang maka penguji berhak tidak meloloskan
mahasiswa tersebut. Dengan kata lain, mahasiswa tersebut harus mengulang ujian
komprehensif di lain waktu sesuai kesepakatan.
3. Koefisien Kontingensi
Koefisien Kontingensi yang biasa disimbolkan dengan C merupakan salah satu
statistik uji nonparametrik dalam statistika inferensial untuk mengetahui apakah ada
hubungan atau tidak antar dua variabel. Koefisien Kontingensi tepat digunakan untuk
data berskala nominal [4]. Statistik uji ini merupakan pengembangan dari Chi-square
untuk data dalam tabel kontingensi lebih dari 2x2 dengan sampel kecil [4].
Menurut Siegel [7], Chi-square dirumuskan sebagai berikut:
O Eij
2
r k
2 ij
i 1 j 1 Eij
Asumsi yang harus dipenuhi dalam Chi-square adalah observasi berasal dari
sampel acak serta tiap observasi mempunyai beberapa kategori yang dapat
diklasifikasikan dalam kategori baris dan kolom pada tabel kontingensi [1]. Nilai Chi-
square ini akan dapat digunakan dalam menentukan besarnya nilai Koefisien
Kontingensi (Contingency Coefficient) [4] yaitu
2
C
2 N
Nilai C terletak antara 0 sampai dengan 1. Nilai 0 mengindikasikan tidak ada hubungan
sama sekali antar dua variabel dan ketika koefisien C bernilai 1 maka mengindikasikan
hubungan yang kuat antar dua variabel. Nilai C mendekati 0 artinya terdapat hubungan
yang lemah dan bila nilai C mendekati 1 maka menyatakan hubungan yang lebih kuat
[4].
Untuk mengetahui ada hubungan atau tidak antar dua variabel dapat dilihat dari
p-value yang diperoleh dari output software SPSS. Bila p-value < maka tolak H 0
dengan hipotesis nol menyatakan tidak terdapat hubungan antar dua variabel.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 17 mahasiswa dari 32 mahasiswa
yang telah mengikuti ujian komprehensif di program studi Pendidikan Matematika pada
angkatan 2013 tahun akademik 2016/2017. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik Convenience Sampling. Mahasiswa yang datang memenuhi
undangan untuk mengisi kuesioner menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk variabel
yang digunakan adalah pengulangan ujian komprehensif, penyebab kurang persiapan
ujian, jenis materi ujian, dosen penguji, dan jenis pertanyaan. Kelima variabel tersebut
berupa data kategorik.
Tahapan metodologi dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan variabel-variabel yang digunakan.
2. Menentukan apakah ada hubungan antara variabel pengulangan ujian
komprehensif dengan dosen penguji
3. Menentukan apakah ada hubungan antara variabel materi ujian tersulit dengan
jenis pertanyaan penguji.
4. Menentukan apakah ada hubungan antara variabel pengulangan ujian
komprehensif dengan jenis pertanyaan penguji.
5. Menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.
Ujian komprehensif sejatinya adalah salah satu syarat mengikuti ujian skripsi di
UIN Walisongo Semarang dengan materi ujian dari semester satu sampai semester
sebelum ujian skripsi. Mahasiswa mungkin akan sedikit dituntut untuk pintar dalam
mengatur waktu dalam persiapan ujian komprehensif maupun ujian skripsi. Meski dari
pihak program studi sudah memberikan kisi-kisi bagian materi yang akan diujikan, akan
tetapi mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini tetap mengeluhkan ruang
lingkup materi yang terlalu luas menjadi penyebab kurang persiapan ujian. Seperti
dijelaskan pada Gambar 1 bahwa ruang lingkup materi yang terlalu luas menjadi
kendala terbesar mahasiswa ujian komprehensif dibandingkan kurangnya kompetensi
pada materi ujian tersebut.
Gambar 1 Grafik Penyebab Kurang Persiapan Ujian Komprehensif
Penyebab Kurang Persiapan Ujian
Komprehensif
Perhitungan 5
0 2 4 6 8
terapan 6
analisis 4
aljabar 3
0 1 2 3 4 5 6
Dari grafik di atas materi terapan menjadi momok bagi sebagian mahasiswa
program studi Pendidikan Matematika yang telah mengikuti ujian komprehensif.
Ternyata enam mahasiswa memilih terapan sebagai materi tersulit dalam ujian
komprehensif, empat mahasiswa memilih materi analisis dan sisanya memilih aljabar,
statistika & peluang serta pendidkan & pembelajaran matematika. Dari hasil tersebut
dapat dikatakan bahwa materi ujian tersulit menurut mahasiswa pada ujian
komprehensif merupakan materi bidang matematika murni yang di dalamnya terdapat
banyak teorema dan pembuktian rumus. Hal ini dimungkinkan mahasiswa program
studi Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang beranggapan bahwa mereka
hanya perlu memperkaya ilmu yang berkaitan dengan mengajar sehingga kurang
kompeten dalam mata kuliah bidang matematika murni.
B. Analisis Kesulitan Mahasiswa dalam Ujian Komprehensif Secara Inferensial
Selain secara deskriptif, statistika inferensial juga diterapkan dalam menganalisis
kesulitan mahasiswa mengikuti ujian komprehensif. Di dalam paper ini penulis
menggunakan statistik uji Koefisien Kontingensi C untuk mengetahui apakah ada
hubungan antar kedua variabel yang ditentukan. Penentuan menggunakan uji statistik
ini dikarenakan data berupa kategorik berskala nominal dan sampel yang digunakan
berukuran kecil.
Akan dianalisis apakah ada hubungan antara variabel pengulangan ujian
komprehensif dengan dosen penguji. Untuk itu hipotesis yang ditentukan adalah
H 0 : tidak terdapat hubungan antara pengulangan ujian komprehensif dengan dosen penguji
H1 : terdapat hubungan antara pengulangan ujian komprehensif dengan dosen penguji
Dengan bantuan software SPSS diperoleh nilai Chi-square yaitu 67,597 dan tabel
Koefisien Kontingensi C sebagai berikut:
Namun, dalam kasus ini ternyata variabel jenis pertanyaan tidak mempengaruhi
kelulusan dalam ujian komprehensif dalam hal ini berarti tidak mempengaruhi
mahasiswa tersebut mengulang ujian atau tidak.
Tabel 3 Koefisien Kontingensi untuk Variabel
Pengulangan Ujian Komprehensif dengan Jenis Pertanyaan
Symmetric Measures
Approx.
Value Sig.
Nominal by Contingency
.331 .351
Nominal Coefficient
N of Valid Cases 17
Berdasarkan Tabel 3 nilai Koefisien Kontingensi jauh dari nilai satu yaitu sebesar 0,331.
Kali ini tidak dapat serta merta menentukan tidak ada hubungan antar kedua variabel
tanpa membandingkan p-value dengan . Dari Tabel 3 nilai p-value > (0,351 > 0,05)
sehingga gagal tolak H 0 maka dapat disimpulkan bahwa jenis pertanyaan yang diajukan
oleh penguji tidak mempengaruhi kelulusan ujian komprehensif. Dikaitkan dengan
analisis sebelumnya maka dalam penelitian ini faktor dosen penguji-lah yang dominan
mempengaruhi kelulusan mahasiswa sehingga beberapa mahasiswa harus mengulang
ujian komprehensif lebih dari satu kali.
KESIMPULAN
Kesulitan mahasiswa dalam mengikuti ujian komprehensif perlu mendapat
perhatian dari pihak dosen, program studi maupun perguruan tinggi karena ujian
komprehensif pada program studi Pendidikan Matematika menjadi salah satu penyebab
tingkat kelulusan mahasiswa tahun akademik 2016/2017 tidak memenuhi Standar
Pelayanan Minimum (SPM) UIN Walisongo Semarang. Dari hasil analisis yang telah
dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Mahasiswa lebih banyak mengalami kesulitan ujian komprehensif pada materi
terapan dengan jenis pertanyaan dari penguji berupa pertanyaan konsep dasar.
Selain itu, mereka mengeluhkan ruang lingkup materi ujian yang terlalu luas. Dengan
demikian, pihak program studi diharapkan dapat memberikan kisi-kisi ujian
komprehensif lebih detil dan spesifik termasuk bagian konsep dasar dalam suatu
materi sehingga mempermudah mahasiswa dalam mempersiapakan ujian
komprehensif.
2. Salah satu yang mempengaruhi kelulusan mahasiswa dalam ujian komprehensif
adalah faktor dosen penguji. Ada baiknya hal ini menjadi evaluasi baik dari
mahasiswa maupun dosen sebagai penguji.
REFERENSI
Conover, W.J., 1999. Practical Non Parametric Statistics. 3th Ed. John Wiley &. Sons, Inc.
New York
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/analisis (diakses pada tanggal 5 Oktober 2017)
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kesulitan (diakses pada tanggal 5 Oktober 2017)
Kraska, M., and Miller. 2014. Nonparametric Statistics for Social and Behavioral Sciences.
CRC Press. New York
Lembaga Penjaminan Mutu UIN Walisongo Semarang. 2017. Standar Pelayanan
Minimum UIN Walisongo Semarang. LPM UIN Walisongo. Semarang
Program Studi Pendidikan Matematika. 2017. Buku Bimbingan Akademik Program Studi
Pendidikan Matematika. Prodi Pendidikan Matematika FST UIN Walisongo.
Semarang
Siegel, Sidney. 1986. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Gramedia. Jakarta
Utami, Aprilia Dwi, Robiatul Auliyah, Nurul Herawati. 2011. Bagaimanakah Penafsiran
Ujian Komprehensif Menurut Civitas Akademik Universitas Trunojoyo? Jurnal
Investasi. Vol. 7 No.1. 64-75
KIMIA
Abstrak
Tujuan dari kegiatan pengabdian ini adalah untuk (1) meningkatkan peran guru dalam
mentransfer pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) analisis sediaaan farmasi
sehingga peningkatan motivasi belajar dan kompetensi akhir siswa yang diharapkan
tercapai, (2) meningkatkan kompetensi profesional guru dalam menggunakan instrumen
HPLC untuk analisis sediaan farmasi. Target pada khalayak sasaran adalah (1) tercapainya
peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional guru dengan indikator menghasilkan
produk media pembelajaran dan pedoman praktikum analisis instrumen HPLC, (2)
tercapainya peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam penggunaan
instrumen HPLC dengan indikator peningkatan nilai post test dari pre test. Program aksi
yang dilakukan adalah (1) menyelenggarakan workshop pengembangan media
pembelajaran dan pedoman praktikum yang inovatif, kreatif, dan tuntas kepada guru, (2)
menyelenggarakan pelatihan preparasi, pengoperasian dan penyelesaikan masalah yang
terkait dengan penggunaan instrumen HPLC untuk analisis sediaan farmasi yang
difasilitasi oleh Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES) kepada
guru. Luaran pengabdian yang diperoleh yakni : (1) khalayak sasaran menghasilkan
modul praktikum analisis sediaan farmasi menggunakan HPLC yang komprehensif, (2)
Guru mampu menghasilkan video penunjang laboratorium kering di institusinya masing-
masing, (3) siswa memiliki kemampuan yang cukup dalam bekerja di industri farmasi
setelah lulus.
PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui dua jalan, yaitu pendidikan
formal dan non formal. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai
peranan penting dalam proses adaptasi siswa menjadi generasi yang tidak tertinggal
dalam menghadapi perkembangan teknologi. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan formal yang dituntut mampu
mengikuti perkembangan teknologi sehingga menghasilkan lulusan yang kompeten
secara kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pengenalan teknologi baru harus dilakukan
dalam proses kegiatan belajar mengajar di SMK agar peserta didik mampu menjadi
kader yang siap dalam menghadapi tantangan dunia di era teknologi (Anonim, 2003).
Salah satu kompetensi keahlian SMK yang berkaitan dengan penggunaan HPLC
adalah Farmasi dan Farmasi Industri. Kompetensi keahlian tersebut merupakan
pengembangan dari kompetensi keahlian kimia industri ke arah seluruh aspek
produksi sediaan farmasi (obat, obat tradisional dan kosmetika) di industri farmasi
yang tertuang dalam CPOB, CPOTB, maupun CPKB berikut dengan keahlian dalam
pengawasan dan penjaminan mutu produk. Keberadaan SMK Farmasi dan Farmasi
Industri menjadi pilihan utama masyarakat Kota Semarang untuk mensekolahkan
putra-putri mereka di jenjang pendidikan menengah kejuruan. Harapan orang tua
siswa kedepannya setelah lulus dari SMK tersebut, putra-putri mereka dapat langsung
siap kerja di Industri Farmasi atau dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Kota Semarang memiliki beberapa SMK
dengan kompetensi keahlian farmasi dan farmasi industri, yakni SMK Nusaputera 2,
SMK Theresiana, SMK Yayasan Pharmasi, SMK 17 Agustus 1945, dan SMK Assodiqiyah.
SMK tersebut dikelola oleh swasta dalam bentuk yayasan pendidikan. Keterbatasan
dalam hal pengadaan alat yang menunjang proses pembelajaran terutama dalam
bentuk praktikum pembuatan dan evaluasi sediaan farmasi menjadi kendala. Hal
tersebut dikarenakan memerlukan dana investasi yang tinggi dan belum dapat
dipenuhi oleh yayasan pendidikan sebagai pihak pengelola.
Salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan siswa SMK Farmasi dan Farmasi Industri adalah dengan penyelenggaraan
Praktek Kerja Industri (Prakerin). Lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 323/U/1997 menjelaskan tentang Pendidikan Sistem Ganda
(PSG) yang merupakan suatu kombinasi antara penyelenggaraan pembelajaran di
sekolah (SMK) dengan penyelenggaraan praktek kerja industri (prakerin) di institusi
kerja pasangan (dalam hal ini industri farmasi), secara sinkron dan sistematis,
bertujuan menghantarkan peserta didik pada penguasaan kemampuan kerja tertentu,
sehingga menjadi lulusan yang berkemampuan relevan seperti yang diharapkan.
Kendala yang dihadapi saat prakerin adalah siswa tidak menguasai pengetahuan dan
ketrampilan dasar untuk menggunakan peralatan atau teknologi di industri farmasi
lahan prakerin, khususnya penggunaan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) untuk analisis zat aktif dan kadar obat dalam sediaan farmasi secara
simultan (Skoog, et al, 2014).
Guru sebagai tenaga pendidik memiliki kompetensi pedagogik dan profesional
dalam menjalankan tugasnya. Guru SMK Farmasi dan Farmasi Industri diharapkan
mengembangkan strategi pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi pedagogik
yang dimiliki. Pengembangan media pembelajaran juga perlu menjadi perhatian dalam
upaya meningkatkan motivasi belajar siswa. Media pembelajaran harus menantang
siswa di dalam mengembangkan daya pikir dan kreativitasnya sesuai dengan potensi
dan kemampuan masing-masing, sehingga menumbuhkan minat dalam menekuni
bidang keahliannya. Media berbasis audio visual seperti video dapat menarik minat
siswa, khususnya pada mata praktikum yang seharusnya dipraktekkan per individu
siswa tetapi diubah dengan demonstrasi pelaksanaan metode atau penggunaan alat dan
bahan yang disebut sebagai laboratorium kering (WHO, 2009). Guru SMK Farmasi dan
Farmasi Industri Kota Semarang masih mengaplikasikan strategi pembelajaran klasik
dengan memberikan tugas yang hanya mengarahkan peserta didik untuk mencapai
penguasaan kompetensi yang telah diprogramkan bersama antara sekolah dengan
industri farmasi tanpa menghasilkan produk atau hasil karya yang laku dijual
/dipasarkan dan berorientasi pada konsumen. Media pembelajaran juga masih
menggunakan power point tanpa modifikasi yang menarik minat belajar siswa.
Menanggapi permasalahan yang telah diungkapkan sebelumnya, penulis tertarik
untuk memberikan pelatihan dan pendampingan penggunaan instrumen HPLC bagi
guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri di Kota Semarang. Diharapkan kegiatan
ini memberikan kontribusi lebih jauh pada terbentuknya peningkatan kompetensi
pedagogik dan profesional guru kimia terhadap penggunaan instrumen HPLC di era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
METODE
Adapun persiapan, pelaksanaaan, dan rancangan evaluasi secara rinci dalam
kegiatan ini meliputi :
1. Persiapan
a. Proses perijinan dari APMFI Kota Semarang untuk melakukan kegiatan pengabdian
kepada masyarakat dengan sasaran guru kimia.
b. Rapat koordinasi dengan ketua APMFI Kota Semarang untuk merancang
pelaksanaan kegiatan.
c. Ketua APMFI Kota Semarang mengundang guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi
Industri di Kota Semarang untuk mengikuti kegiatan pelatihan.
d. Mempersiapkan alat, bahan dan sampel yang akan digunakan dalam proses
pelatihan dan pendampingan penggunaan instrumen HPLC untuk praktikum
analisis sediaan farmasi.
2. Pelaksanaan
a. Melaksanakan kegiatan workshop pembuatan media pembelajaran dan pedoman
praktikum bagi guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri Se-Kota Semarang.
b. Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan praktikum analisis penetapan
kadar sediaan farmasi dengan bentuk sediaan padat dan cair menggunakan
instrumen HPLC bagi guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri Se-Kota
Semarang.
c. Refleksi dan menganalisis ketercapaian tujuan sosialisasi dan pelatihan.
d. Menindaklajuti hasil pelatihan melalui kegiatan pendampingan terhadap guru
kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri di institusinya masing-masing.
e. Refleksi dan menganalisis ketercapaian tujuan kegiatan pelatihan dan
pendampingan.
3. Rancangan Evaluasi
a. Dikumpulkan data pre-test pada awal kegiatan workshop pembuatan media
pembelajaran dan pedoman praktikum, kemudian post-test pada akhir kegiatan
sosialisasi dan pelatihan praktikum analisis sediaan farmasi menggunakan
instrumen HPLC. Indikator keberhasilan kegiatan pengabdian ini adalah adanya
peningkatan nilai post-test dibandingkan pre-test dengan nilai akhir maksimal 100.
b. Pada tahap pelaksanaan pelatihan, dievaluasi tingkat kesiapan peserta untuk
memfasilitasi pengujian kadar sampel dengan metode HPLC yang sebelumnya telah
dilakukan preparasi sampel. Indikator keberhasilannya adalah peserta memiliki
kompetensi untuk melakukan pengujian kadar sampel secara tepat.
c. Pada tahap pendampingan, peserta pelatihan akan dinilai kemampuan menjelaskan
materi praktikum, kemampuan melatih hard skill siswa, dan kemampuan menilai
hasil unjuk kerja siswa di sekolah masing-masing. Indikator keberhasilan tahap
pendampingan yaitu siswa telah melakukan pengujian kadar sampel dengan
metode HPLC menggunakan fase gerak dan fase diam yang sesuai.
digital, dilakukan dengan metode ceramah dikuti tanya jawab. Selain itu para peserta
pelatihan yaitu guru kimia SMK Farmasi dan Farmasi Industri juga diberikan materi
pelatihan dalam bentuk print out, sehingga dapat dibaca terlebih dahulu oleh khalayak
sasaran. Pada tahap penjelasan materi penggunaan power point dan video pembelajaran,
maka penulis juga menunjukkan contoh produk media dan mendemonstrasikan
pembuatannya pada peserta pelatihan. Khalayak sasaran sangat serius dan tertarik
terhadap materi yang diberikan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan
dan saran /masukan selama penjelasan materi berlangsung. Pertanyaan yang diajukan
berhubungan dengan pemilihan background media yang baik, bagaimana cara
mengintegrasikan video ke dalam slide pembelajaran serta menggabungkan foto dan
video dalam satu media. Penentuaan jenis media mana yang cocok untuk dterapkan
pada siswa di institusinya masing-masing menjadi perbincangan yang cukup padat
tetapi berjalan kondusif dan menemukan solusi agar ke depan siswa menjadi meningkat
pemahamannya dan mempermudah belajar siswa.
Tahap kedua dari kegiatan ini yaitu pelatihan dan praktek aplikasi. Pada tahap
pelatihan ini, sebelum praktek dilakukan persiapkan alat dan bahan, misalnya baku
induk paracetamol dan kafein, fase gerak (KH2PO4 0,01 M, metanol, asetonitril,
isopropil alkohol) serta kolom C-18 sebagai fase diam untuk keperluan praktek
penetapan kadar paracetamol dan kafein pada sediaan farmasi Tablet “Bodrex”. Dari
hasil operasi instrumen akan diperoleh kurva kalibrasi. Bila kurva kalibrasi diperoleh
dengan koefisien regresi > 0,997 khalayak sasaran diperbolehkan melanjutkan
perhitungan kadar parasetamol atau kafein dalam sampel dalam satuan %b/b. Bila tidak
diperoleh kurva yang linier, maka dilakukan diskusi untuk mencari penyebabnya
(Rohman dan Gandjar, 2012). Setelah persiapan alat dan bahan selesai dilanjutkan
kegiatan pelatihan yaitu demonstrasi penggunaan instrumen HPLC menggunakan fase
gerak dan fase diam yang telah ditentukan oleh penulis. Setelah dilakukan demonstrasi
dan dilakukan sesi tanya jawab mengenai kendala teknis pelaksanaan, khalayak sasaran
diberi kesempatan untuk melakukan langsung praktek injeksi sampel yang telah
disaring dengan didampingi dan diarahkan oleh penulis. Khalayak sasaran antusias
terhadap praktek aplikasi instrumen HPLC yang didemonstrasikan oleh penulis. Hal ini
dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang muncul, yakni mengenai keakuratan
waktu retensi saat elusi fase gerak, hingga perubahan komposisi fase gerak dapat
dimanfaatkan. Sebelum kegiatan ini diakhiri, penulis memberikan post test kepada
khalayak sasaran untuk melihat keterserapan materi pengabdian yang diberikan
sehingga dapat diketahui ketercapaiannya sesuai tujuan pengabdian.
Tahap ketiga adalah pendampingan guru kimia ke sekolah masing-masing dan
evaluasi akhir hasil pengabdian. Pendampingan guru kimia dilakukan pada saat
khalayak sasaran sedang menjalankan rutinitas mengajar baik di dalam kelas maupun di
laboratorium. Penulis mengamati kinerja khalayak sasaran dalam menjalankan tugasnya
sebagai guru profesional. Umpan balik dari penulis disampaikan setelah guru selesai
melaksanakan tugasnya. Tanggapan terhadap umpan balik penulis diterima dengan baik
oleh khalayak sasaran untuk dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam rangka
meningkatkan hard skill dan life skill siswa peserta didik. Pada akhir kegiatan ini,
khalayak sasaran mengisi angket evaluasi akhir kegiatan untuk mengetahui dampak dari
kegiatan pengabdian ini terhadap guru dan siswa.
Hasil pemantauan selama proses pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini
menunjukkan antusias peserta untuk mengikuti kegiatan ini cukup besar, terbukti dari
20 kuota peserta yang diundang, sejumlah 15 (lima belas) peserta yang datang. Selama
praktek penggunaan instrumen HPLC untuk analisis kadar obat berlangsung, maka
khalayak sasaran secara aktif mengambil peran langsung dan membantu penulis pada
pelaksanaan proses pemisahan dan penentuan waktu retensi. Analisis pre-test/post-test,
pengamatan kinerja, wawancara dan angket evaluasi akhir kegiatan yang disebarkan
kepada khalayak sasaran memberikan hasil dan tanggapan sebagai berikut :
1. Peningkatan wawasan dan pengetahuan khalayak sasaran setelah dilakukan
pelatihan dan pendampingan instrumen HPLC untuk praktikum analisis sediaan
farmasi yang dibuktikan dengan peningkatan nilai rata-rata post-test sebesar 35,76%
dibandingkan dengan nilai rata-rata pre-test.
2. Peningkatan keterampilan khalayak sasaran setelah dilakukan pelatihan oleh penulis
yang dapat dilihat dari perubahan teknik mengajar dan pensisipan materi HPLC, baik
pada slide bahan ajar maupun pada pembelajaran praktikum di laboratorium
terhadap peserta didik.
3. Peningkatan keterampilan siswa peserta didik dalam melakukan pengujian kadar
sampel obat dengan metode HPLC menggunakan fase gerak dan fase diam terpilih.
Hal tersebut dapat diamati oleh penulis pada saat kunjungan langsung di institusi
khalayak sasaran pada saat praktikum rutin siswa SMK Farmasi dan Farmasi
Industri di laboratorium kimia.
4. Khalayak sasaran sebagian besar yaitu 14 orang (93%) belum mengetahui cara
preparasi sampel untuk mendapatkan zat aktif yang larut, bebas dari bahan
tambahan /pengotor sehingga kemurnian tinggi. Sedangkan 1 (satu) orang peserta
(7%) mengetahui penggunaan HPLC dan pemanfaatannya untuk penetapan kadar
obat karena merupakan bagian dari proyek tugas akhirnya selama menjadi
mahasiswa.
5. Khalayak sasaran peserta pelatihan menyatakan tanggapannya bahwa materi dan
pelaksanaan kegiatan pengabdian ini telah dipersiapkan dengan baik, serta penulis
menguasai materi pelatihan.
6. Peserta pelatihan merasa bahwa prosedur aplikasi penggunaan HPLC mudah
dilakukan dan dapat diterapkan untuk siswa peserta didik sehingga kegiatan
pengabdian ini dirasakan sangat memberikan manfaat bagi dirinya maupun siswa
yang dibimbingnya.
7. Guru kimia khalayak sasaran mengalami kesulitan pada saat menentukan deret baku
dan komposisi fase gerak. Hal tersebut disebabkan keterbatasan fase gerak yang
digunakan untuk proses pemisahan senyawa. Diperlukan pengetahuan sifat
fisikokimia dan waktu retensi obat melalui berpikir kritis dengan literatur yang valid
dan relevan.
8. Khalayak sasaran merasa bahwa pengabdian ini mejadi momentum yang baik untuk
pengembangan pembelajaran kimia berbasis green chemistry dengan sasaran utama
menggunakan senyawa kimia yang tidak mencemari lingkungan dan sedapat
mungkin memiliki sifat fast recycling.
9. Setelah selesai kegiatan, maka diperoleh masukan dari peserta yaitu (a) mohon
pelatihan seperti ini dilakukan secara rutin dengan materi yang berbeda dan
inovatif, (b) mereka juga menyarankan untuk kegiatan pelatihan mengenai
peningkatan nilai jual hasil limbah dan produksi sediaan kosmetika berbasis herbal
yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh guru tersebut untuk program
pengmbangan kewirausahaan siswa di SMK Farmasi Kota Semarang.
Daya dukung institusi pendidikan dalam hal ini pimpinan yayasan SMK Farmasi
dan Farmasi Industri Kota Semarang dalam peningkatan kompetensi pedagogik dan
keterampilan guru masih kurang, sehingga hanya mengandalkan peranan Kemendikbud
untuk melakukan pelatihan-pelatihan, terkait dari sisi finansial yayasan. Diketahui
bahwa guru saat ini memerlukan pelatihan-pelatihan untuk peningkatan jenjang karir
serta update dan upgrade iptek. Berdasarkan hal tersebut, maka disarankan kepada
pimpinan yayasan untuk memperhatikan dan terus menjaga dari sisi pengembangan
karir guru sebagai insan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, beriringan dengan
jurusan kimia FMIPA UNNES yang selalu akan menyelenggaran pengabdian kepada
masyarakat yang terkhusus berfokus pada peningkatan keilmuan calon guru kimia dan
guru SMK Farmasi dan Farmasi Industri di Kota Semarang.
REFERENSI
Anonim. 1997. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 323/U/1997
tentang Pendidikan Sistem Ganda. Kemendikbud : Jakarta
Anonim. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Rohman, A. dan Gandjar, I.G. 2012. Analisis Obat secara Spektrofotometri dan
Kromatografi. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Skoog, D.A., West, D.M., Holler, F.J., and Crouch, S.R. 2014. Fundamentals of Analytical
Chemistry. 9th Edition. Mary Finch : USA
WHO. 2009. Handbook: good laboratory practice (GLP): quality practices for regulated
non-clinical research and development. 2nd Edition. WHO : Switzerland
PENDIDIKAN
KIMIA
Atik Rahmawati
Dosen UIN Walisongo Semarang
Abstrak
Terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan, salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kepedulian manusia terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan karakter
peduli lingkungan. Untuk menanamkan karakter peduli lingkungan ini perlu dimulai sejak
dini, yaitu dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan di sekolah maupun pendidikan
tinggi. Pembentukan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran secara tidak langsung.
Untuk membentuk karakter peduli lingkungan pada pembelajaran materi masalah-masalah
lingkungan global terintegrasi agama, dapat dilakukan dengan cara melaksanakan
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Dengan menggunakan berbagai sumber
belajar, mahasiswa mendiskusikan tentang masalah-masalah lingkungan global. Pembahasan
materi dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai Qur’an. Mahasiswa dihadapkan
permasalahan riil (real life) tentang masalah-masalah lingkungan global (pembelajaran
berbasis masalah). Melalui pembelajaran kooperatif dan berbasis masalah, diharapkan
mahasiswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan menumbuhkan sikap peduli
terhadap lingkungan.
Kata kunci: integrasi, nilai-nilai Islam, karakter peduli lingkungan, masalah lingkungan
global
PENDAHULUAN
Sejarah perjalanan pendidikan nasional kita telah mengalami bongkar pasang
kurikulum. Namun demikian, wajah pendidikan di Indonesia saat ini masih jauh dari
yang diharapkan. Terjadi kesenjangan antara yang diharapkan dengan kenyataan.
Produk pendidikan nasional kita telah menelurkan insan yang pandai dan
berkompetensi. Saat ini di negara kita telah terjadi krisis dan dekadensi moral. Krisis
tersebut antara lain maraknya praktek korupsi di segala bidang, meningkatnya
pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap
teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan,
pornografi, kerusakan lingkungan, dll. Kondisi ini menandakan bahwa seluruh
pengetahuan agama dan moral yang didapat di bangku sekolah belum atau tidak
berdampak terhadap perubahan perilaku siswa (Zubaedi, 2011).
Situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan ini telah mendorong
pemerintah untuk mengambil inisiatif dengan memprioritaskan pembangunan karakter
bangsa. Pembangunan karakter bangsa dijadikan arus utama pembangunan nasional.
Hal tersebut tercermin melalui pengembangan Kurikulum 2013, yang menyeimbangkan
soft skills (sikap) dan hard skills. Demikian juga yang terjadi di Perguruan Tinggi, saat ini
telah disahkan Kurikulum Berbasis KKNI, dimana capaian pembelajaran tidak hanya
meliputi aspek pengetahuan dan ketrampilan, namun juga aspek sikap yang dirumuskan
dengan sikap umum dan sikap khusus. Dengan demikian, proses perkuliahan perlu
dirancang model perkuliahan yang mampu memfasilitasi capaian ketiga ranah.
Universitas Islam Negeri Walisongo sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi
yang bernafaskan Islam dengan paradigma visinya yaitu Unity of Sciences (Kesatuan
Ilmu Pengetahuan). Paradigma ini menuntut jurusan-jurusan umum (termasuk
Pendidikan Kimia) untuk mampu mengembangkan kurikulumnya dengan
mengintegrasikan nilai-nilai Islam. Dengan integrasi sains dengan nilai-nilai Islam
diharapkan mengantarkan pengkajinya semakin mengenal dan semakin dekat dengan
Allah sebagai al-Alim (Yang Maha Tahu), mengagumi keteraturan ciptaan-Nya yang
dapat meningkatkan sikap religi siswa yang terejawantahkan dalam sikap-sikap yang
positif, diantaranya menjaga kelestarian alam.
Terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan, salah satu penyebabnya adalah
rendahnya kepedulian manusia terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan karakter peduli lingkungan. Untuk menanamkan karakter peduli lingkungan
ini perlu dimulai sejak dini, dimulai dari keluarga dan juga dapat dilakukan melalui
kegiatan pendidikan di sekolah maupun pendidikan tinggi.
Mata kuliah kimia lingkungan merupakan salah satu mata kuliah pilihan yang
dirancang untuk membekali mahasiswa agar mampu memahami masalah-masalah
lingkungan global baik penyebab, dampak, upaya pengendaliannya; memahami
komponen-komponen kimia yang terdapat pada kompartment tanah, air, udara, serta
pencemarannya, memahami bioremediasi senyawa polutan, green chemistry dan
aplikasinya, toksikologi kimia serta dapat mengaplikasikan ilmu kimia lingkungan
untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dengan demikian tujuan besar dan akhir dari
mata kuliah ini membentuk sikap menjaga kelestarian lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi perkuliahan
kimia lingkungan terintegrasi nilai-nilai agama untuk membentuk karakter peduli
lingkungan, serta bagaimana karakter peduli lingkungan mahasiswa setelah memahami
masalah-masalah lingkungan global yang terintegrasi nilai-nilai Islam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Untuk mendapatkan gambaran sikap peduli lingkungan mahasiswa
digunakan angket terbuka.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil berdasarkan data yang dapat
mewakili populasi secara keseluruhan (representatif). Oleh karena itu, sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan jumlah populasi yang menjadi
subjek penelitian yaitu seluruh mahasiswa yang mengambil mata kuliah kimia
lingkungan sebanyak 29 mahasiswa.
yang akan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tabel 4.1 berikut adalah
tindakan yang pernah dilakukan mahasiswa dalam mengendalikan pemanasan global:
Tabel 4.1 Perilaku yang pernah dilakukan untuk mengendalikan pemanasan global
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa tindakan yang pernah dilakukan mahasiswa
dalam mengendalikan pemanasan global yang paling dominan adalah hemat energi dan
berjalan kaki jika jarak tempuh dekat. Hal ini tidak terlepas dari sebagian besar
mahasiswa indekost di sekitar kampus sehingga mereka tidak menggunakan kendaraan
bermotor. Namun demikian berdasarkan data di atas sebagian besar mahasiswa telah
memiliki perilaku mengurangi emisi CO2 (perilaku peduli lingkungan).
Setelah memahami dampak dari pemanasan global, terjadi perubahan sikap yang
signifikan terkait hal yang akan dilakukan dalam mengendalikan pemanasan global
sebagaimana tertera pada Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Perilaku yang akan dilakukan untuk mengendalikan pemanasan global
No Sikap Peduli Lingkungan Frekuensi Persentase
1 Bijaksana menggunakan kendaraan 3 7,14
Mengurangi penggunaan kertas atau
memanfaatkan kertas yang telah
terpakai, menggunakan kertas secara
2 bijaksana 9 21,43
3 Membuang sampah pada tempatnya 1 2,38
4 Menggunakan energi alternatif 2 4,76
5 Memilih green chemistry 2 4,76
Melestarikan lingkungan pantai dari
6 abrasi 1 2,38
7 Hemat energi 6 14,29
Mendaur ulang sampah atau
8 melakukan 3R 3 7,14
9 Menanam pohon 7 16,67
10 Mengurangi emisi CO2 1 2,38
Tabel 4.4 Perilaku yang akan dilakukan untuk mengurangi laju penipisan lapisan ozon
No Sikap Peduli Lingkungan Frekuensi Persentase
1 Menumbuhkan mindset yang positif 1 5,26
2 Menggunakan AC secara bijaksana 1 5,26
Mengurangi penggunaan kertas atau
3 memanfaatkan kertas yang telah
terpakai 2 10,53
4 Mengurangi penggunaan plastik 1 5,26
Mematikan mesin kendaraan ketika
5 beli BBM 2 10,53
Memanfaatkan penggunaan lemari es
6 secara bijaksana 1 5,26
7 Jalan kaki jika jarak dekat / 3 15,79
KESIMPULAN
Pembentukan karakter dapat dilakukan melalui pembelajaran secara tidak
langsung. Untuk membentuk karakter peduli lingkungan pada pembelajaran materi
masalah-masalah lingkungan global terintegrasi agama, dapat dilakukan dengan cara
melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Dengan menggunakan
berbagai sumber belajar, mahasiswa mendiskusikan tentang masalah-masalah
lingkungan global. Pembahasan materi dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai Islam.
Mahasiswa dihadapkan permasalahan riil (real life) tentang masalah-masalah
lingkungan global (pembelajaran berbasis masalah). Melalui pembelajaran kooperatif
dan berbasis masalah, diharapkan mahasiswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya
dan menumbuhkan sikap peduli terhadap lingkungan.
Pemahaman mahasiswa terkait integrasi sains dengan nilai-nilai Islam, baru
terbatas pada ayatisasi sains, belum sampai pada hikmah yang terkandung dari nilai-
nilai Qur’an. Sebanyak 22 responden dari 29 responden atau sebesar 75,9% pemahaman
masih terbatas pada ayatisasi, mengkaitkan. Hanya 20,7% yang telah mampu
memahami nilai-nilai agama yang terkait dengan lingkungan dengan mampu mengambil
hikmah dan implementasinya.
REFERENSI
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta: Penerbit Andi.
Bakar, Osman, 1991, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam
terj. Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Perilaku Masyarakat Peduli
Lingkungan Survay KLH 2012, 2010, dalam
http://www.menlh.go.idDATAbk_laporan_survei.pdf
Khan, D. Yahya, 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri Mendongkrak Kualitas
Pendidikan, Semarang: Pelangi Publishing.
Mansour, Nasser. 2015. Science Teachers’ Views and Stereotypes of Religion, Scientists and
Scientific Research: A call for scientist–science teacher partnerships to promote
inquiry-based learning. International Journal of Science Education, Vol. 37, No. 11,
1767–1794
Purwanto A., 2004, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan. Bandung:
Mizan Pustaka
Rochman Chaerul, 2010, Pengembangan Program Pembelajaran untuk Meningkatkan
Kemampuan Calon Guru Fisika dalam Menyusun Program Pembelajaran yang
Mengintegrasikan Nilai Agama Islam. Disertasi: Universitas Pendidikan Indonesia
Sastrawijaya A, Tresna. 2000, Pencemaran Lingkungan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Yusuf Qardhawi, 2003, ad-Din fi ‘Ashr al-Ilm. Terjemahan: Abdussalam “Ilmu
Pengetahuan dalam Perspektif Islam”, Yogyakarta: ‘Izzan Pustaka
Zubaedi, 2011, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan Lembar Kerja Siswa berbasis Pembelajaran
Kontekstual yang efektif untuk mengukur keterampilan proses sains siswa. Penelitian ini
dilakukan di SMA Negeri 1 Bergas kelas XI IPA. Penelitian dirancang dengan desain Research
and Development. Desain ini menggunakan menggunakan 4-D Models yaitu Define, Design,
Develop, dan Disseminate. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis
masalah yang ada dilapangan, mendesain Lembar Kerja Siswa, memvalidasi Lembar Kerja
Siswa kemudian dilakukan uji coba skala kecil, uji coba skala besar dan implementasi.
Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan metode wawancara, metode
observasi, metode angket, metode tes, dan metode dokumentasi. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa Lembar Kerja Siswa dinyatakan layak digunakan dengan rerata skor
validasi oleh ahli materi sebesar 62 dari skor total 68 dengan kirteria sangat layak dan
rerata skor validasi oleh ahli media sebesar 63 dari skor total 72 dengan kriteria sangat
layak. Lembar Kerja Siswa dinyatakan efektif berdasarkan tes tertulis dan hasil observasi
mendapatkan predikat baik pada setiap indikatornya. Simpulan yang diperoleh adalah
Lembar Kerja Siswa berbasis pembelajaran kontekstual untuk analisis keterampilan proses
sains siswa materi koloid dinyatakan efektif diterapkan dalam pembelajaran kimia.
Kata Kunci: Keterampilan Proses Sains, Lembar Kerja Siswa, Pembelajaran Kontekstual
PENDAHULUAN
Pendidikan pada dasarnya merupakan proses panjang dan berkelanjutan
untuk membantu manusia mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi
setiap perubahan yang terjadi. Pendidikan menuntut adanya pembenahan dan
penyempurnaan terhadap aspek dasar yang mendukungnya, terutama kurikulum.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan sebagai pedoman
pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum
telah mengalami beberapa kali penataan. Penataan kurikulum disesuaikan dengan
perkembangan sains dan teknologi, psikologi siswa,lingkungan alami dan social,serta
tuntutan dan kebutuhan masyarakat.Kurikulum 2013 muncul akibat adanya
kesenjangan kurikulum saat ini dengan konsep ideal yang diharapkan,meliputi aspek
kompetensi lulusan,materi pembelajaran, proses pembelajaran, penilaian,pendidik, dan
tenaga kependidikan serta pengelolaan kurikulum. Pelaksanaan penyusunan kurikulum
2013 merupakan kelanjutan pengembangan kurikulum berbasis Kompetensi (KBK)
yang dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap,pengetahuan, dan
ketampilan secara terpadu. Kurikulum 2013 menganut pembelajaran yang dilakukan
guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan
pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan pengalaman belajar langsung
peserta didik (learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan
kemampuan awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta didik
menjadi hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi
hasil kurikulum (Permendikbud No 69, 2013).
Kimia merupakan salah satu cabang ilmu IPA yang berperan sangat esensial
dalam perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, siswa dituntut untuk
menguasai materi pelajaran kimia secara tuntas. Tujuan pembelajaran kimia itu sendiri
yaitu agar siswa memahami atau menguasai penerapan konsep-konsep kimia dan saling
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Bergas pada materi koloid yang
dilakukan mulai 8 Mei 2017- 20 Mei 2017. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis
penelitian Research and Development (R & D). Model pengembangan yang digunakan
merujuk model 4-D yang dikemukakan oleh Thiagarajan yaitu: Define (pendefinisian),
Design (perancangan), Develop (pengembangan), dan Disseminate (penyebaran).
Subjek penelitian menggunakan siswa kelas XI IPA 3 sebanyak 20 siswa untuk uji
coba skala kecil, siswa kelas XI IPA 4 dan XI IPA 5 sebanyak 40 siswa untuk uji coba
skala besar dan siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 sebanyak 50 siswa untuk
implementasi. Kelayakan LKS dinilai oleh para ahli menggunakan lembar validasi. LKS
yang dikembangkan diuji keefektifannya melalui tiga tahap yaitu uji coba skala kecil, uji
coba skala besar, dan implementasi.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
wawancara untuk identifikasi potensi dan masalah yang ada di SMA Negeri 1 Bergas
dengan guru kimia sebagai responden. Metode tes dan metode observasi digunakan
untuk mengukur keterampilan proses sains siswa dan memperoleh data mengenai
keefektifan LKS. Metode angket berupa lembar validasi LKS untuk menguji kelayakan
LKS. Pengumpulan data juga menggunakan metode dokumentasi.
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu penggalan silabus materi koloid,
rencana pelaksaaan pembelajaran, lembar wawancara, lembar validasi LKS, lembar
observasi untuk mengukur keterampilan proses sains siswa, dan soal evaluasi.
Instrumen telah divalidasi dengan mengkonsultasikan kepada pakar atau ahli (expert
judgement) yaitu dosen pembimbing sehingga instrumen valid digunakan. Instrumen
yang digunakan juga harus reliabel. Metode analisis data hasil penelitian terhadap
kelayakan LKS dan keefektifan LKS yaitu menggunakan metode deskriptif kuantitatif.
yang diberikan juga kurang beragam sehingga siswa kurang latihan mengerjakan soal
dan tidak ada tempat yang cukup untuk mengerjakan. Selain itu LKS/bahan ajar tidak
ditunjukkan aspek mikroskopiknya hanya aspek simbolik dan makroskopisnya saja
yang ditonjolkan. Hal ini didukung oleh data observasi sebuah penelitian Nabilah
(2014). Hasil wawancara dari beberapa siswa, siswa menginginkan untuk lebih
memahami konsep kimia dengan mudah. Mereka menyetujui jika pembelajaran
dikaitkan pada kehidupan sehari-hari. Mereka ingin adanya LKS/Bahan ajar yang mudah
dipahami dan menarik.
Tahap selanjutnya adalah design. Desain LKS berbasis pembelajaran kontekstual
pada pembelajaran kimia materi koloid merupakan pengembangan LKS yang
berintegrasikan pendekatan pembelajaran kontekstual. Komponen-komponen
pembelajaran kontekstual diintegrasikan kedalam LKS yang meliputi tujuh komponen,
yaitu: (1) konstruktivisme; (2) menemukan; (3) bertanya; (4) masyarakat belajar; (5)
pemodelan; (6) refleksi; (7) penilaian otentik. Sehingga produk LKS yang dihasilkan
lebih bermakna bagi siswa dalam hal mengingat dan memahami materi. Desain LKS
divalidasi oleh dua ahli yaitu ahli materi dan ahli media. Hasil validasi ahli materi
dilakukan oleh dua ahli dosen kimia UNNES dan satu guru kimia SMA Negeri 1 Bergas
sedangkan hasil validasi ahli media dilakukan oleh satu ahli dosen kimia UNNES. Ahli
materi melakukan penilaian terhadap kelayakan isi, kelayakan penyajian dan kelayakan
kontekstual, sedangkan ahli media melakukan penilaian terhadap kelayakan kegrafisan
dan kebahasaan. Komponen-komponen tersebut merupakan tiga aspek yang harus
dimiliki oleh Lembar Kerja Siswa. Menurut Darmodjo dan Kaligis tiga aspek yang
dimaksud yaitu aspek didaktik, aspek kontruksi dan aspek teknik (Arifin, Hadisaputro
dan Susilaningsih, 2014).
Kriteria kelayakan yang digunakan untuk LKS sama dengan kelayakan buku teks.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kriteria kevalidan LKS sebagai
berikut: (1) Komponen isi meliputi dimensi sikap spiritual (KI 1), dimensi sikap sosial
(KI 2), dimensi pengetahuan (KI3), dan dimensi keterampilan (KI 4), (2) Komponen
penyajian meliputi teknik penyajian, pendukung penyajian materi, penyajian
pembelajaran, kelengkapan penyajian (3) Komponen kebahasaan meliputi kesesuaian
dengan perkembangan peserta didik, keterbacaan, kemampuan memotivasi, kesesuaian
dengan kaidah Bahasa Indonesia, penggunaan istilah dan simbol/lambang (4)
Komponen kegrafisan meliputi ukuran LKS, desain sampul LKS, tipografi, dan desain isi
LKS (Hastari dan Ranu, 2015). Hasil rerata penilaian LKS oleh ahli materi dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Rerata Penilaian Ahli Materi
Rerata Penilaian
No Aspek Validator Rerata Kriteria
1 2
1 Isi 3,40 3,60 3,50 Layak
2 Penyajian 3,50 4,00 3,75 Layak
3 Kontekstual 3,63 3,75 3,69 Layak
Tabel 1. Diketahui bahwa rata-rata penilaian oleh ahli materi tiap aspek
mencapai kriteria layak sesuai dengan kriteria penilaian buku ajar menurut BNSP
(2006). LKS dinyatakan layak karena komponen isi mempunyai rata-rata skor lebih
besar dari 2,75 sedangkan komponen penyajian mempunyai rata-rata skor lebih besar
dari 2,5. Hasil penilaian ahli materi secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.
a b)
)
a b
) )
observasi sebanyak 75 % siswa dari jumlah siswa subjek penelitian setiap kelas
mendapatkan predikat baik.
Keterampilan proses sains siswa dinilai berdasarkan hasil observasi praktikum
dan tes tertulis. Penilaian berdasarkan hasil observasi praktikum dilakukan oleh tiga
observer. Kegiatan praktikum yang dilakukan yaitu efek tyndall. Berdasarkan hasil
observasi pada uji coba skala kecil sampai implementasi dapat diketahui bahwa lebih
dari 75 % siswa dari jumlah siswa subjek penelitian setiap kelas mendapatkan predikat
baik. Indikator keterampilan proses sains siswa yang dinilai berdasarkan hasil
observasi ada 6 yaitu keterampilan mengamati, keterampilan melaksanakan
eksperimen, keterampilan menafsirkan data, keterampilan menyusun kesimpulan
sementara, keterampilan menerapkan konsep dan keterampilan berkomunikasi. Nilai
rata-rata tiap indikator keterampilan proses sains berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan pada uji coba skala kecil, uji coba skala besar, dan implementasi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Nilai Tiap Indikator Keterampilan Proses Sains Siswa Berdasarkan
Hasil Observasi
Uji Skala Kecil Uji Skala Besar Implementasi
Rata- Kriteri Rata- Kriteria Rata- Kriteri
No Indikator
rata a rata rata a
Nilai Nilai Nilai
1 Keterampilan 84,17 Baik 83,64 Baik 82,92 Baik
Mengamati
2 Keterampilan 81,56 Baik 86,72 Sangat 86,33 Sangat
Melaksanakan baik baik
Eksperimen
3 Keterampilan 83,33 Baik 83,54 Baik 85,67 Baik
Menafsirkan Data
4 Keterampilan 85,42 Baik 83,33 Baik 84,33 Baik
Menyusun
Kesimpulan
Sementara
5 Keterampilan 78,75 Cukup 82,71 Baik 85,17 Baik
Menerapan Konsep baik
Keterampilan
6 Berkomunikasi 83,33 Baik 81,67 Baik 81,17 Baik
Tabel 3 diketahui bahwa rata-rata capaian keseluruhan pada uji coba skala kecil
sebesar 82,76 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria baik, uji coba skala besar
didapatkan rata-rata nilai sebesar 83,60 dari nilai maksimal 100,00 dengan kriteria baik
dan implementasi didapatkan rata-rata nilai sebesar 84,26 dari nilai maksimal 100,00
dengan kriteria baik. Indikator keterampilan melaksanakan eksperimen memperoleh
nilai tertinggi diantara indikator yang lain karena siswa melakukan praktikum sesuai
dengan prosedur yang ada didalam LKS berbasis pembelajaran kontekstual.
Data keterampilan proses sains siswa diperoleh melalui tes tertulis menggunakan
soal objektif setelah menerima pembelajaran berbantuan LKS berbasis pembelajaran
kontekstual. Soal objektif yang digunakan sesuai dengan indikator keterampilan proses
sains. Indikator keterampilan proses sains yang dinilai berdasarkan tes tertulis ada 4
yaitu keterampilan mengamati, keterampilan memprediksi, keterampilan
mengklasifikasi dan keterampilan menyimpulkan. Nilai rata-rata tiap indikator
keterampilan proses sains pada uji coba skala kecil, uji coba skala besar dan
implementasi berdasarkan tes tertulis dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Nilai Tiap Indikator Keterampilan Proses Sains Berdasarkan Tes
Tertulis
Uji Skala Kecil Uji Skala Besar Implementasi
Rata- kriteria Rata- kriteria Rata-rata Kriteria
No Indikator
rata rata nilai
nilai nilai
1 Keterampilan 82,5 Baik 82,5 Baik 87 Sangat
Mengamati baik
2 Keterampilan 82,9 Baik 94,29 Sangat 89,1 Sangat
menyimpulkan baik baik
3 Keterampilan 81 Baik 86,25 Sangat 85 Baik
mengklasifikasi baik
4 Keterampilan 82,3 Baik 82,95 Baik 88,5 Sangat
Memprediksi baik
KESIMPULAN
LKS berbasis pembelajaran kontekstual untuk analisis keterampilan proses sains
siswa dinyatakan efektif untuk mengukur keterampilan proses sains siswa. Hal ini
ditunjukkan berdasarkan hasil observasi pada uji coba skala kecil, uji coba skala besar
dan implementasi sebanyak lebih dari 75 % siswa dari jumlah siswa subjek penelitian
setiap kelas mendapatkan predikat baik, dan berdasarkan tes tertulis mendapatkan
predikat baik pada setiap indikatornya.
REFERENSI
Anwar, S. & Dalim, Y. 2004. Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Kontekstual pada
Mata Pelajaran Geografi. Jurnal Pembelajaran. Vol 27 No 1.
Arifin, U. F., Hadisaputro, S. and Susilaningsih, E. (2014) ‘Pengembangan Lembar kerja
Praktikum Siswa Terintegrasi Guide Inquiry untuk Keterampilan Proses Sains’,
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia Sekolah
Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Falahudin, I., Fauzi. M, & Purnamasari, W. Pembelajaran Berbasis Proyek dalam
Praktikum Biologi terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa SMP
Muhammadiyah 6 Palembang. Jurnal Bioilmi. Vol 2 No 2.
Hastari, R. F. and Ranu, M. E. (2015) ‘PENGEMBANGAN MODUL KOMPETENSI DASAR
MENJELASKAN PENYIMPANAN DAN PENEMUAN KEMBALI SURAT / DOKUMEN
BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK DI KELAS X AP 2 SMK NEGERI 1 NGAWI’,
Jurnal Administrasi Perkantoran, 3(3), pp. 1–15.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: Raja Grafindo Prasada
Permendikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun
2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/
Madrasah Aliyah. Jakarta: BNSP
Rusmiati & Yulianto. 2009. Peningkatan Keterampilan Proses Sains dengan Menerapkan
Model Pembelajaran Based-Instruction. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 5(1):
75-78.
Thiagarajan, S., Semmel, D.S. & Semmel, M.I. 1974. Instructional Development for
Training Teachers of Exceptional Children. Indiana: Indiana University
Bloomington.
Widyaningrum, P & Sudarmin. 2014. Pengembangan alat alternative evaluasi terpadu
berbasis keterampilan proses sains pada tema mikroskop dan jaringan
tumbuhan. Journal Education Science, 3(3): 642.
Wiliani, Nur Okta. Penerapan Pembelajaran IPA Terpadu Menggunakan LKS Berbasis
Contextual Teaching and Learning pada Siswa Kelas VII SMPN 1 Dukuhseti Pati.
Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini bertujuan untuk membekali kemampuan merancang Lembar Kerja Peserta
Didik (LKPDk) calon guru yang dapat meningkatkan Pedagogical Content Knowledge (PCK)
dan metakognisi melalui perkuliahan Perencanaan Pengajaran Kimia (PPK). Penelitian
dirancang dalam 4 tahap menggunakan desain mixed method dengan model strategi
embedded. Tahap sebelum intervensi dilaksanakan pada awal penelitian untuk memperoleh
perangkat instrumen penelitian sebagai prototipe model peningkatan PCK dan metakognisi
melalui pembekalan LKPDk sebagai model hipotetik 1. Model hipotetik ini diperoleh
melalui kajian hasil penelitian Haryani dkk tahun 2013-2016, serta kajian berbagai hasil
penelitian lain. Tahap intervensi diperoleh model hipotetik 2 dan divalidasi diawali dengan
pretes, implementasi di kelas, wawancara, dan diakhiri postes. Tahap ketiga analisis data
kualitatif dan kuantitatif, dan diakhiri tahap ke-4 interpretasi secara keseluruhan untuk
mengambil kesimpulan sehingga diperoleh model yang sudah teruji. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa para mahasiswa berusaha mengintegrasikan aspek kosntruktivis
melalui menganalisis materi dengan strategi tertentu, meskipun untuk materi berbeda perlu
difasilitasi secara mendalam. Pedagogical Content Knowledge terbukti meningkat yang
dijaring melalui pengisian dokumen CoRe, demikian pula kemampuan metakognisi calon
guru juga meningkat.
Kata Kunci: Lembar Kerja Peserta Didik, Pedagogical Content Knowledge (PCK);
metakognisi
PENDAHULUAN
Salah satu standar kompetensi lulusan SMA/MA dan perguruan tinggi untuk
domain pengetahuan dalam kurikulum 2013 adalah keterampilan metakognitif.
Tuntutan tersebut juga tercermin dalam kompetensi inti kurikulum 2013 serta tujuan
pendidikan tinggi dalam PP no. 10 tahun 2010. Pengembangan metakognisi ini penting
dilakukan, karena pengetahuan mahasiswa tentang proses kognisi dapat membimbing
mereka dalam menyusun lingkungan belajar menjadi lebih bermakna, dan dalam
memilih strategi-stategi untuk memperbaiki kinerja kognitif pada masa yang akan
datang (Zulkiply, et al.,2008; Coutinho, 2010; Singh, 2012; Cooper & Santiago, 2009).
Guru maupun calon guru juga harus mampu memonitor bagaimana pertemuan kelas
dirancang, menentukan apa yang dilakukan dan tidak dilakukan, serta bagaimana
mengubah kondisi tersebut untuk berbagai topik. Idealnya dalam suatu proses
pembelajaran di kelas pendidik hendaknya memiliki kesadaran untuk menilai pemikiran
sebelum, selama, dan setelah suatu proses pemecahan masalah; dan kondisi ini
dikatakan sebagai “senantiasa terlibat dalam metakognisinya sendiri” (Haryani, 2012;
McGregor, 2007).
Proses pembelajaran di kelas merupakan manifestasi implementasi standar
proses, dan guru merupakan agen sentral dalam mewujudkan proses pembelajaran yang
berkualitas. Calon guru perlu dibekali kemampuan Pedagogy Knowledge (PK) serta
kemampuan Content Knowledge (CK) (Loughrant, 2008), dan keduanya menurut
Shulman (1987) harus dipadukan sebagai pengetahuan konten pedagogi (Pedagogical
Content Knowledge = PCK). Secara sederhana PCK dapat diartikan sebagai gambaran
tentang bagaimana kesadaran seorang guru dalam mengajarkan suatu materi dengan
mengakses apa yang dia ketahui tentang: konten/materi, pembelajar, kurikulum, dan
apa yang dia yakini sebagai cara mengajar yang baik pada konteks tersebut (Rollnick. et
al. 2008; NSTA, 2013). Pendapat Rollnick.ini sangat mendukung pernyataan bahwa guru
maupun calon guru senantiasa terlibat dalam metakognisinya sendiri”
Berkaitan dengan kemampuan PCK, guru maupun calon guru hendaknya mampu
menjadi model dalam menentukan lingkungan pembelajaran sebagaimana diharapkan
dapat dikembangkan untuk peserta didiknya. Lingkungan pembelajaran yang
diharapkan adalah yang dapat memfasilitasi untuk bisa mengkonstruk pengetahuannya
sendiri. Penyusunan LKPDk sebagai panduan untuk melakukan kegiatan penyelidikan
dan pemecahan masalah merupakan wahana yang sesuai untuk memfasilitasi
konstruktivis dan mengembangkan metakognisi. Melalui penyusunan LKPDk ini calon
guru tidak sekedar menuliskan prosedur percobaan ataupun soal-soal, namun dituntut
untuk: memilih dan mengurutkan materi, memikirkan agar suatu persamaan/rumus
dapat ditemukan siswanya, merancang agar siswa mampu mengkaitkan antara data
pengamatan dengan pembahasan, dan memikirkan kesesuaian dengan indikator
pencapaian kompetensi.
Di lain pihak, berdasarkan temuan terkait penyusunan LKPDk guru, beberapa
kelemahan yang menonjol adalah: 1) kesulitan menuliskan permasalahan untuk
berbagai model pembelajaran, 2) tidak memikirkan materi prasyarat, 3) keruntutan dan
kedalaman materi, 4) tidak memberi kesempatan siswa menurunkan suatu persamaan,
5) adanya miskonsepsi, dan 6) kurang memperhatikan keterkaitan antara data
pengamatan dan analisis data (Haryani et al, 2015-2016). Jika kemampuan menyusun
LKPDk ini bisa dimiliki calon guru, maka di samping meminimalkan beberapa
kelemahan sebagaimana disebutkan, juga esensi konstruktivis yang diharapkan selama
ini akan bisa diwujutkan. Sen, et al (2015) menguatkan pendapat bahwa selagi
dihadapkan pada permasalahan seperti penyusunan LKPDk, maka calon guru akan
menggunakan keterampilan metakognitifnya yang meliputi aspek perencanaan,
pemantauan, dan evaluasi. Tersedianya contoh LKPDk juga akan mendukung kebutuhan
bahan ajar yang sesuai kebutuhan siswa (Yasir et al, 2013), serta senantiasa dapat
diperbaiki pada tahun berikutnya sehingga perbaikan kualitas pembelajaran di kelas
selalu ditingkatkan.
Terujinya model pembekalan ini akan mendukung roadmap penelitian unggulan
bidang kependidikan yaitu mengkaji penyiapan guru berkualitas terutama berkaitan
dengan inovasi pembelajaran dan Pedagogik Materi Subyek. Permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut: Apakah melalui pembekalan merancang LKPDk
pada perkuliahan PPK dapat meningkatkan PCK dan metakognisi calon guru?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian mixed method yang menekankan pada
pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan secara simultan
menggunakan embedded design (Creswell & Clark, 2007). Penelitian difokuskan untuk
mengeksplorasi karakteristik setiap langkah LKPDk berbasis model pembelajaran dalam
membangun ataupun meningkatkan PCK dan metakognisi calon guru.
Penelitian dilaksanakan dalam 4 tahap, diawali tahap sebelum intervensi, tahap
intervensi, tahap analisis data, dan diakhiri tahap interpretasi. Tahap sebelum intervensi
dilaksanakan untuk menghasilkan kebutuhan dalam merancang model yang selanjutnya
disebut model hipotetik 1. Kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh model hipotetik
1 adalah (1) merancang RPS, (2) merancang panduan LKPDk, (3) menyiapkan
instrumen untuk mengukur metakognisi, (4) menyiapkan instrumen pengukuran PCK,
dan (5) FGD hasil (1)-(4). Tahap 2 merupakan tahap intervensi dengan kegiatan : (1)
revisi hasil FGD, diperoleh model hipotetik 2, dan (3) validasi model hipotetik 2.
Validasi model hipotetik 2 menggunakan desain one group pretest-posttest design.
Validasi diawali dengan pretes untuk mengungkap metakognisi calon guru. Tes disusun
dengan indikator metakognisi bermuatan konsep berkaitan dengan materi kimia SMA,
di samping itu juga dianalisis PCK awal calon guru. Data PCK awal diambil pada saat
pertama kali mahasiswa mempresentasikan rancangan PCKnya, sedangkan data akhir
diambil setelah diperbaiki dan dipresentasikan lagi. Pada tahap implementasi dilakukan
pembekalan merancang LKPDk dengan bantuan panduan LKPDk yang sudah disiapkan
tahap sebelumnya. Pada saat pembekalan juga dilakukan wawancara dan diakhiri
postes. Tahap ketiga analisis data yaitu data kualitatif dan kuantitatif, dan diakhiri tahap
ke-4 interpretasi data kualitatif-kuantitatif untuk mengambil kesimpulan sehingga
diperoleh model yang sudah teruji secara empiris.
Pengumpulan data kuantitatif menggunakan tes bentuk uraian dengan indikator
metakognisi bermuatan konsep materi kimia SMA. Data kualitatif yaitu PCK calon guru
dikumpulkan menggunakan rubrik penilaian; melalui observasi selama proses
pembelajaran untuk kinerja mahasiswa dalam merancang LKPDk. Wawancara dilakukan
untuk mengeksplorasi pengetahuan mahasiswa terkait LKPDk yang disusun pada setiap
langkah pembelajaran berbasis model-model pembelajaran. Data kuantiatatif berupa
peningkatan metakognisi dianalisis menggunakan rumus gain ternomalisasi, N-gain,
sedangkan data kualitatif dianalisis secara deskriptif persentase. Interpretasi data
kualitatif-kuantitatif dilakukan untuk mengambil kesimpulan sehingga diperoleh model
yang sudah teruji secara empiris.
Penelitian dilakukan di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang yang
terakreditasi A dalam program pendidikan calon guru. Mahasiswa yang dilibatkan
adalah mahasiswa yang mengambil matakuliah PPK rombel 1. Dalam mata kuliah ini
mahasiswa dilatih untuk menganalisis kurikulum, membuat penggalan silabus, RPP,
LKPDk, asesmen, media pembelajaran, dan skenario pembelajaran yang berorientasi
pada kondisi lapangan.
Fase 3 pada PBL yaitu membimbing penyelidikan kelompok. Penyelidikan adalah inti dari
PBL. Fase ini merupakan kunci dari pemberian peluang siswa untuk konstrutivis, dalam
rangka menjawab pertanyaan pengarah pada nomor 2. Temuan selama pendampingan
antara lain kelemahan dalam hal:
- Bagaimana agar penurunan suatu persamaan ditemukan siswa
- Bagaimana suatu konsep ditemukan siswa sendiri
- Bagaimana membuat hubungan antara data pengamatan dengan analisis data
sehingga siswa mampu mengkostruk pengetahuannya
Penyajian Hasil Karya. Menurut pendapat calon guru penyajian hasil karya
seringkali membutuhkan waktu banyak dan kurang efektif, karena siswa kurang fokus
terhadap apa yang dipresentasikan kelompok lain. Saran pada saat refleksi semestinya
waktu ditentukan guru, dan dibantu dengan ditayangkan melalui LCD. Tahap terakhir
untuk PBL yaitu menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada tahap
ini umumnya calon guru mengarahkan untuk membuat kesimpulan sesuai fase 2.
Namun ada pula yang mengkonfirmasi materi esessial, di samping dihubungkan dengan
fase 2 juga dihubungkan dengan KD dan IPK.
kedalaman materi, (4) miskonsepsi yang mungkin timbul, (5) penyusunan RPP berbasis
model-model pembelajaran, dan asesmem autentik.
3. Peningkatan metakognisi
Pengukuran metakognisi dalam penelitian ini dilakukan melalui tes bentuk
uraian dan kuesioner masing-masing dengan indikator metakognisi yang dilakukan
pada awal dan akhir pembelajaran PPK. Di samping tes, metakognisi juga dijaring
melalui wawancara tidak terstruktur selama pelaksanaan pembelajaran PPK. Hasil tes
bentuk uraian untuk mengungkap metakognisi mengalami peningkatan dibanding
pretes yang ditunjukkan dari Gambar 1, dengan persen N-g ternormalisasi 43,45 %.
Hasil peningkatan metakognisi tersebut menunjukkan bahwa peningkatan metakognisi
pada kelas eksperimen belum menunjukkan kemampuan yang optimal akan tetapi
masih pada taraf sedang (0,3 < g < 0,7), dan dari uji t menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hasil tes metakognisi tersebut didukung hasil kuesioner, skor total hasil pre
dan post dari 2153 menjadi 2258 atau meningkat sebesar 31,08 %. Hal ini menandakan
bahwa pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK dapat meningkatkan
metakognisi calon guru mampu meningkatkan metakognisi calon guru. Untuk
mengetahui bagaimana peningkatan pada setiap indikator metakognisi melalui
pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK ditunjukkan pada Gambar 2.
Rerata %N-g indikator mengidentifikasi informasi diikuti mengelaborasi
informasi mencapai peningkatan tertinggi, dan mengevaluasi prosedur pada
pencapaian terendah. Mengidentifikasi informasi dan mengelaborasi informasi banyak
dikembangkan pada fase 1 untuk hampir semua LKPd berbasis model-model
pembelajaran. Pada fase ini calon guru harus banyak mengumpulkan informasi dari
berbagai sumber, kemudian dielaborasi dengan KD, IPK, dan sumber lain. Penguasaan
materi pada tahap ini harus menyeluruh, urutan materi, kedalaman, dan juga sudah
harus menggambarkan strategi pembelajaran yang akan dilakukan. Hasil penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian Haryani, dkk (2011). Penelitian terdahulu dosen
menyiapkan panduan praktikum berbasis masalah yang harus dilakukan calon guru,
sementara pada penelitian ini calon gurulah yang harus menysun LKPdnya. Selanjutnya,
mengevaluasi prosedur memiliki % N-gain palin rendah. Kondisi diduga calon guru,
belum ada kesempatan mengimplementasikan LKPd yang dibuat, sehingga indikator
mengevaluasi prosedur belum terkembangkan dengan baik.
77
59
43.45
90
80
70
60
50 Rerata pretes
40 Rerata postes
30 N gain
20
10
0
1 2 3 4 5 6
Melalui pembekalan LKPDk ini calon guru akan memperoleh kesempatan yang
lebih luas untuk berperan aktif dalam mengembangkan kompetensinya menyusun
perencanaan pembelajaran yang menggabungkan CK dan PK menjadi PCK. Calon guru
yang kompeten sebagaimana diuraikan pada nomor1, merupakan modal yang penting
dalam pencapaian tujuan pendidikan yang tercantum PP RI No. 20 Tahun 2003, dan
berdampak pada peningkatan kualitas proses pembelajaran di kelas yang memiliki
relevansi dengan Renstra LP2M tahun 2015- 2019 terutama penyiapan calon guru
berkualitas. Berkaitan dengan penguasaan konsep kimia SMA, calon guru akan berlatih
mengkaitkan materi prasyarat dengan materi yang akan dipelajari, mengurutkan
konsep-konsep agar kontruktivis, dan memikirkan aktivitas siswa secara hands on dan
minds on. Dengan demikian melalui pembekalan penyusunan LKPDk pendalaman
materi calon guru akan semakin baik yang berakibat kualitas perangkat pembelajaran
yang disusun juga meningkat.
KESIMPULAN
Pembekalan merancang LKPDk pada perkuliahan PPK terbukti secara deskriptif
mampu meningkatkan PCK calon guru. Pembekalan ini juga mampu meningkatkan
metakognisi calon guru yang diukur melalui tes bentuk uraian dan kuesioner
metakognisi.
SARAN
Calon guru akan senantiasa dihadapkan pada masalah dalam merancang
perangkat pembelajaran termasuk LKPDk, maka calon guru tersebut akan
menggunakan kemampuan metakognisinya yang merupakan aspek pengetahuan yang
harus dimiliki calon guru maupun siswa SMA sesuai kurikulum 2013.Oleh sebab itu
pembekalan ini perlu dilakukan terus menerus melalui perkuliahan yang sesuai.
REFERENSI
Chandrasegaran, A.L., Treagust, D.F., & Mocerino, M. 2007. The Development of A Two-
Tier Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School
Students’ Ability to Describe and Explain Chemical Reactions Using Multiple
Levels of Representation. Chemistry Education Research and Practice. 8(3): 293-
307.
Cooper, M., & Santiago, S. 2009. Design and Validation of an Instrument to Assess
Metacognitive Skillfulness in Chemistry Probim Solving. Journal of Chemichal
Education, 86 (2): 240-245.
Coutinho, S.A. 2007. TheRelationshipBetween Goals, Metacognition, n academic Success.
Educate Jurnal. 7(1):39-47
Creswell, J.W. dan Clark, V.L.P. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods
Research.United States of America: Sage Publications, Inc.
Downing, K. 2010. Problem Based Learning and Metacognition. Asian Jurnal Education &
Learning. 1(2) 75-79.
Hamidah, D. Rustaman, Nuryani Y & Mariana, M. 2011. Pengembangan Profesional Guru
Biologi SMA melalui Penerapan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Pada
Materi Genetika. Jurnal Pendidikan MIPA, 12 (2). Oktober 2011.
Haryani,s. 2012. Membangun Metakognisi dan Karakter Calon Guru melaui
Pembelajaran Praktikum Kimia Analitik Berbasis Masalah. Semarang: Unnes
Press
Haryani, S. Saptorini. dan Prasetya, A.T. 2013. Pengembangan Model Pembekalan
Pedagogical Content Knowledge (PCK) Melalui Perkuliahan Perencanaan
Pengajaran Kimia. Penelitian Fundamental.LP2M Unnes
Haryani, S. Wardani, S. dan Prasetya, A.T. 2015. Peningkatan Profesional Guru Kimia
SMA/MA/SMK Melalui Implementasi Program Pendampingan Penyusunan Lembar
Kegiatan Peserta Didik. Penelitian Terapan: Program Fasilitasi Perguruan Tinggi
Jawa Tengah.
Haryani, S. Wardani, S. dan Prasetya, A.T. 2015-2016. Pengembangan Program
Pendampingan Pedagogical Content Knowledge (PCK) Guru Kimia Melalui Lesson
Study Berbasis MGMP. Penelitian Hibah bersaing.LP2M Unnes
Haryani,S dan Prasety, A.T. Pedagogical Content Knowledge (PCK) Calon Guru dan Guru
Kimia pada Materi Buffer. Seminar Nasional MIPA 2016.
Harlen, W. (Ed). 2010. Principles and big ideas of science education. Hatfield, Heart:
Association for Science Education.
Hollingworth, R. dan McLoughlin, C. (2002). The Development of Metacognitive Skills
among First Year Science Students. Tersedia http://www.fyhe. Qut.edu.au./FYHE-
Previous/Papers/HollingworthPaper.doc (April 2007)
Kipnis, M. dan Hofstein, A. (2007). The Inkuiry Laboratory As A Source for Development
of Metacognitive Skills. International Journal of Science and Mathematics
Education, 6 (3), 601-607.
Loughran J., Amanda Berry & Pamela Mulhall. 2006. Understanding and Developing
Science Teachers’ Pedagogical Content Knowledge. Rotterdam : Sense Publishers.
Loughran, John, Mulhall, Pamela and Berry, Amanda. 2008. Exploring Pedagogical
Content Knowledge in Science Teacher Education. International Journal of Science
Education.30:10,1301 — 1320.
Loughran, J.J. 2009. Is teaching a discipline?: Implications for teaching and teacher
education. Teachers and Teaching: Theory and Practice, 15(2): 189- 203.
Loughran, J., Berry A., & Mulhall, P. 2012. Understanding and developing science
teatchers’ pedagogical content knowledge Clayton: Monash University.
Loughran, J., Berry A., & Mulhall, P. 2012. Understanding and developing science
teatchers’ pedagogical content knowledge Clayton: Monash University.National
Science Teacher Association .2003. Standards for Science Teacher Preparation.
Mc.Gregor, D.2007. Developing Thinking Developing Learning: A Guide to Thinking Skills
in Education, Berkshire: Open University Press, Mc Graw-Hill
National Science Teachers Association. 2003. Standard for Science Teacher Preparation.
Association for the Education of Teachers in Science.
Abstrak
Tujuan penelitian adalah mengembangkan media pembelajaran berupa media pembelajaran
berupa website pada materi larutan penyangga dan mengetahui kelayakan media
pembelajaran tersebut. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai salah satu
media pembelajaran yang telah banyak digunakan, terutama pada ilmu sains. Banyak media
internet khususnya website yang menyuguhkan berbagai materi pembelajaran, tetapi
terkadang materi yang disajikan kurang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga sering
membuat kesalahan informasi yang didapat oleh peserta didik. Penelitian ini menggunakan
metode pengembangan Research and Development (R & D), dengan model Thiagarajan yang
meliputi define (pendefinisian), design (perancangan), dan develop (pengembangan).
Kelayakan media pembelajaran didasarkan pada hasil penilaian ahli media, ahli materi,
pendidik kimia SMA, serta tanggapan peserta didik terhadap media pembelajaran berbasis
website. Hasil penilaian ahli materi sebanyak 66,67% termasuk kategori baik. Hasil penilaian
ahli media sebanyak 86,1% dengan kategori sangat baik. Hasil penilaian pendidik kimia SMA
sebanyak 79,1% dengan kategori baik. Hasil angket tanggapan peserta didik adalah 76,67%
dengan kategori baik. Berdasarkan hasil yang telah didapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa media pembelajaran berbasis website layak digunakan sebagai sumber belajar
peserta didik.
PENDAHULUAN
Kimia merupakan Ilmu Pengetahuan Alam yang mempelajari tentang materi
meliputi struktur, susunan, sifat dan perubahan materi serta energi yang menyertainya.
Perubahan materi tersebut dapat juga menimbulkan dampak negatif terhadap manusia
dan lingkungannya. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang tepat dan efektif untuk
mempelajari ilmu kimia, agar peserta didik memperoleh gambaran yang jelas dan detail
terkait materi yang sedang dipelajari (Dorthy, 2009).
Observasi yang telah dilakukan di SMA N 13 Semarang menunjukkan sebagian
besar peserta didik menganggap ilmu kimia memiliki materi yang terlalu banyak dan
banyak perhitungan sehingga sulit untuk dipahami oleh peserta didik. Beberapa faktor
penyebab kesulitan dan kurang ketertarikan peserta didik tersebut meliputi buku dan
LKS yang digunakan pada pembelajaran dianggap peserta didik kurang memberikan
pemahaman materi yang dipelajari sehingga membutuhkan media pembelajaran
pendukung yang dapat membantu memperjelas materi. Selain itu, terbatasnya media
pembelajaran pelengkap buku sehingga media pembelajaran tersebut dibutuhkan
untuk dapat memudahkan pendidik dalam tugasnya sebagai fasilitator.
Hasil observasi saat field study menunjukkan proses pembelajaran kimia yang ada
di SMA N 13 Semarang sering menggunakan metode ceramah. Hal ini sesuai dengan
teori Mulyono (2012) yang menyatakan bahwa dengan metode ceramah pendidik dapat
mengontrol keadaan kelas, namun terkadang membuat peserta didik bosan dengan
pembelajaran yang berlangsung. Peserta didik yang sudah mulai bosan lebih memilih
diam dan berpura-pura memperhatikan pendidik. Adanya peserta didik yang bosan
terhadap pembelajaran kimia, maka perlu digunakan media pembelajaran yang menarik
yang dapat merangsang rasa penasaran peserta didik terhadap materi kimia.
METODE
Penelitian ini menggunakan penelitian R&D (Research and Development). Model
pengembangan yang dipilih dalam penelitian ini adalah model 4D yang dikembangkan
oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) yang dimodifikasi menjadi 3D dalam
merancang sistem pembelajaran dikarenakan keterbatasan waktu yang tersedia.
Tahapan model 3D yaitu meliputi define, design, develop.
Waktu dan tempat penelitian dilakukan pada 23 januari- 23 Februari 2017 di SMA
N 13 Semarang. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap dari model pengembangan
4D. Tahap define terdiri dari lima langkah analisis meliputi analisis ujung depan, analisis
peserta didik, analisis tugas, analisis konsep, dan analisis tujuan pembelajaran. Data
yang diperoleh dalam melakukan analisis diperoleh dari peserta didik dan pendidik
kimia di SMA N 13 Semarang. Tahap design meliputi pemilihan media, pemilihan format,
serta rancangan awal. Hal ini bertujuan agar media yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Tahap develop, dilakukan uji kelayakan atau validasi ahli yang
meliputi ahli materi dan ahli media, serta dilakukan uji kelas kecil yang terdiri atas 9
peserta didik kelas XI IPA 3.
Keterangan:
∑ = jumlah
n = jumlah seluruh item angket.
Tabel 3.1 Konversi Tingkat Pencapaian (Sari, 2016)
Persentase Kategori Keterangan
Sangat baik untuk
81,25% ≤ x ≤ 100% Sangat Baik
digunakan
62,50% ≤ x ≤ Boleh digunakan dengan
Baik
81,25% revisi kecil
Boleh digunakan dengan
43,75% ≤ x ≤ 62,50 Cukup Baik
revisi besar
25% ≤ x ≤ 43,75 Tidak Baik Tidak boleh digunakan
a. Lengkap 18,2%
b. Kurang lengkap 81,2%
c. Tidak lengkap 0%
5. Kepuasan waktu yang tersedia
a. Ya 9,1%
b. Tidak 33,3%
c. Biasa saja 57,6%
6. Pengaruh banyaknya teman di kelas dengan
konsentrasi dan pemahaman
a. Ya 45,5%
b. Tidak 42,4%
c. biasa saja 9,1%
7. Seringnya metode praktek
a. Sering 12,1%
b. Kadang 87,9%
c. Tidak Pernah 0%
8. Penguasaan semua materi
a. Ya 21,2%
b. Tidak 54,5%
c. Biasa saja 24,2%
9. Respon
a. Setuju 69,7%
b. Biasa saja 30,3%
2. Design (Perencanaan)
Tahap desain media pembelajaran kimia meliputi pemilihan perangkat media
pembelajaran. Perangkat media pembelajaran berbasis Website dikembangkan
dengan menggunakan software Wordpress yang dapat digunakan secara gratis.
Desain media pembelajaran kimia berbasis webiste yang dikembangkan pada
materi larutan penyangga meliputi menu beranda, menu kurikulum pendidikan,
menu apersepsi, menu materi ajar, menu kalian harus tahu, menu refleksi, menu
daftar pustaka, dan menu kolom tanya.
3. Develop (Pengembangan)
Tahap develop dilakukan dengan validasi oleh ahli materi, ahli media, serta
tanggapan dari peserta didik. Adapun analisis yang dilakukan yaitu sebagai berikut:
1. Uji kelayakan oleh ahli materi
80.00%
60.00%
40.00% 66.67%
45.50%
20.00%
0.00%
V1 V2
100.00%
80.00%
60.00%
85.85%
40.00%
51.65%
20.00%
0.00%
V1 V2
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
Penelitian dan pengembangan ini menggunakan model 4D termodifikasi menjadi
3D yang dikembangkan oleh Thiagarajan dan menghasilkan media pembelajaran
berbasis website pada materi larutan penyangga. Komponen website pembelajaran kimia
terdiri dai beberapa menu, menu tersebut antara lain: 1) beranda, 2) kurikulum, 3)
apersepsi, 4) materi ajar, 5) Kalian harus tahu, 6)Refleksi, 7) Daftar pustaka, 8) kolom
tanya.
Media pembelajaran kimia berbasis website yang dikembangkan ini terbukti layak
digunakan dalam pembelajaran, hal ini ditunjukkan dengan tercapainya indikator
kelayakan yaitu hasil validasi ahli media sebesar 86,1% dengan kriteria sangat baik,
sedangkan hasil validasi ahli materi sebesar 66,67% dengan kriteria baik. Sedangkan
hasil penilaian validasi dari pendidik SMA sebesar 79,1% dengan kriteria baik. Adapun
hasil angket tanggapan peserta didik terhadap media pembelajaran berbasis website,
tingkat pencapaian media pembelajaran mencapai 76,67% dengan kriteria baik
sehingga layak untuk digunakan.
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan penelitian yang lebih mendalam baik
dengan cara menguji efektifitas, hubungan atau pengaruh adanya media pembelajaran
kimia berbasis website terhadap motivasi, gaya belajar, minat dan hasil belajar peserta
didik serta mengembangkan media pada materi yang berbeda karena media
pembelajaran berbasis website ini hanya terbatas pada materi larutan penyangga.
REFERENSI
Abdullah. 2005. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Abdullah Sani, Ridwan. 2015. Pembelajaran saintifik untuk Implementasi Kurikulum
2013. Jakarta: PT Kalola Printing.
Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja
Rosadakarya Offset.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Arsyad, Azhar . 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budi Rahardjo, Sentot. 2014. Kimia Berbasis Eksperimen Untuk Kelas XI SMA dan MA
Kelompok Peminatan Matematika dan Ilmu Alam. Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.
Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar: Konsep-konsep IntiJilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta:
Erlangga .
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan instrumen self-assessment pada praktikum
kimia dasar untuk meningkatkan keterampilan laboratorium calon guru kimia. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode penelitian
pengembangan. Penelitian dilakukan di UIN Walisongo Semarang. Penelitian diawali dengan
validasi instrumen self-assessment oleh pakar dengan kriteria sangat layak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan instrumen self-assessment pada praktikum
kimia dasar telah tercapai kesepahaman antar observer dengan harga koefisien
generalisabilitas 0,7. Dampak penggunaan instrumen self-assessment adalah 24 dari 30
mahasiswa dengan rata-rata kinerja sangat baik, tanggapan mahasiswa sangat setuju yaitu
20 dari 30 mahasiswa dan dosen pengampu memberikan tanggapan sangat setuju dengan
penggunaan instrumen ini. Implementasi instrumen self-assessment terbukti efektif
meningkatkan keterampilan laboratorium calon guru kimia.
PENDAHULUAN
Kegiatan praktikum merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran
kimia. Kegiatan praktikum dapat digunakan untuk lebih memahami teori dan
mengembangkan keterampilan dasar (Rustaman, 2005: 137). Dalam perkuliahan di
jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang terdapat mata kuliah Praktikum
Kimia Dasar, praktikum ini merupakan bagian tak terpisahkan dari mata kuliah Kimia
Dasar sebagai pemahaman konsep, hukum dasar dan teori kimia melalui kegiatan
laboratorium. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, penilaian praktikum kimia
dasar Jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo yang berjalan selama ini berdasarkan
pretest, jurnal praktikum, laporan praktikum dan ujian semester, walaupun kinerja juga
dinilai tetapi realitanya berjalan kurang maksimal, penilaian kinerja hanya dilakukan
pada saat ujian akhir semester dengan instrumen yang digunakan sifatnya global atau
tidak spesifik pada praktikum tertentu, sehingga mahasiswa tidak mengetahui secara
spesifik kriteria penilaian. Selain itu, banyaknya jumlah mahasiswa yang diampu oleh
seorang dosen juga menjadi masalah dalam melakukan penilaian kinerja, karena dosen
harus memantau kinerja mahasiswa secara menyeluruh, sehingga keterampilan
laboratorium mahasiswa tidak terukur secara maksimal. Hal ini menyebabkan
keterampilan laboratorium mahasiswa tidak meningkat (rendah). Rendahnya
keterampilan laboratorium mahasiswa juga diakui oleh dosen dan laboran Jurusan
Pendidikan Kimia UIN Walisongo, hal ini dibuktikan dari kemampuan mahasiswa
semester lanjut yang mengalami kesulitan ketika persiapan bahan praktikum, misalnya
pembuatan reagen. Oleh karena itu diperlukan upaya lebih intens untuk mengatasi hal
tersebut dengan cara mengembangkan rubrik penilaian kinerja.
Penilaian kinerja sangat diperlukan dalam konteks untuk mengukur kinerja
praktikum mahasiswa terutama pada praktikum kimia dasar karena praktikum ini
merupakan praktikum awal atau dasar bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Kimia UIN
Walisongo. Pemahaman konsep, hukum dasar dan teori kimia, pembentukan pribadi
yang memiliki keterampilan akademik, menemukan ide-ide, tekun, kreatif dan inovatif
merupakan tujuan esensial dari praktikum kimia dasar.
Salah satu jenis penilaian kinerja yang efektif dikembangkan pada penelitian ini
adalah self-assessment, yaitu proses pengumpulan informasi, melakukan refleksi,
pertimbangan sendiri terhadap kemajuan dan kualitas kinerjanya berdasarkan bukti-
bukti dan kriteria yang jelas, agar mahasiswa dapat memiliki kesadaran dan pengertian
atas diri sendiri dan dapat meningkatkan di masa mendatang (Rolheiser, 2013). Evaluasi
diri adalah kemampuan dan kesadaran mahasiswa untuk mengetahui tingkat
perkembangan atau kemajuan perilaku dan berpikirnya sesuai target-target belajarnya.
Implementasi strategi kemampuan mahasiswa untuk menerapkan strategi belajar
sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kinerjanya (MacMillan, 2008).
Assesmen kinerja dipandang memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk
mengukur keterampilan dan komunikasi yang kompleks, yang dianggap sebagai
kompetensi penting dan disiplin pengetahuan yang dibutuhkan di masyarakat saat ini.
Singkatnya, penilaian kinerja lebih cocok untuk mengukur pencapaian keterampilan dari
pada penilaian tradisional (Palm, 2008). Asesmen ini dapat meningkatkan kinerja
praktikum mahasiswa (Zaki, 2012), meningkatkan motivasi mahasiswa (Ardli at al,
2012), lebih bermakna bagi mahasiswa dan penilaian dapat dilakukan baik oleh
instruktur maupun mahasiswa (situasi alamiah belajar mahasiswa) berdasar standar
proses dan produk yang mengacu pada spesifikasi konstruksi (Dedy, 2009).
Sejalan dengan hal di atas, penelitian Kearney (2004) menunjukkan bahwa self-
assessment terbukti berpengaruh positif pada hasil “service learning” mahasiswa,
mereka dapat berfikir kritis, berkomunikasi dan berinteraksi sosial, memiliki tanggung
jawab dan kesadaran sosial serta keahlian profesi mereka pun meningkat. Self-
assessment membuat mahasiswa lebih realistis terhadap tujuan belajarnya, akurat
melakukan asesmen atas dirinya sehingga dapat membantu mahasiswa dalam tes
persiapan dan mereka merasa seperti telah mencapai tujuan belajarnya (Kelberlau,
2006). Penelitian Tousignant dan DesMarchais (2002) dengan desain pre-posttest, juga
membuktikan model self-assessment dapat meningkatkan kinerja-diri pada mahasiswa
program kedokteran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menghasilkan produk berupa instrumen
self-assessment praktikum kimia dasar yang valid dan reliabel, (2) mengetahui
efektivitas instrumen self-assessment praktikum kimia dasar untuk meningkatkan
keterampilan laboratorium mahasiswa calon guru kimia, (3) mengetahui respon
mahasiswa terhadap instrumen self-assessment yang diterapkan pada praktikum kimia
dasar.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau R&D. penelitian
dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang. Uji coba terbatas
dilakukan terhadap 6 mahasiswa semester 4, sedangkan uji coba luas dilakukan
terhadap 30 mahasiswa semester 2.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian meliputi wawancara, observasi,
dokumentasi dan angket. Jenis data meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif diperoleh dari lembar observasi kinerja, angket tanggapan mahasiswa dan
dosen, sedangkan data kuantitatif meliputi pengaruh penggunaan instrumen self-
assessment praktikum kimia dasar terhadap aspek psikomotor dan afektif mahasiswa.
Instrumen yang dikembangkan berupa non-tes berupa lembar observasi dan pedoman
penilaian kinerja (self-assessment) dan angket. Data dianalisis secara deskriptif dan
validasi instrumen
Untuk mengetahui pengaruh pada aspek psikomotor dilakukan dengan skala
kinerja praktikum dan pengaruh pada aspek afektif mahasiswa menggunakan skala
sikap (angket tanggapan).
tujuan belajarnya, akurat melakukan asesmen atas dirinya sehingga dapat membantu
mahasiswa dalam tes persiapan, meningkatkan penguasaan konsep dan mereka merasa
seperti telah mencapai tujuan belajarnya. Lebih lanjut MacMillan (2008), menyatakan
bahwa self-assessment adalah kemampuan dan kesadaran siswa untuk mengetahui
tingkat perkembangan atau kemajuan perilaku dan berpikirnya sesuai target-target
belajarnya. Implementasi strategi kemampuan mahasiswa untuk menerapkan strategi
belajar sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan menetapkan tujuan
belajarnya dapat membantu peningkatan pemahaman siswa, mengidentifikasi kriteria
belajar, mengevaluasi kemajuan diri mereka dalam belajar, bercermin pada pelajaran
mereka, dan menghasilkan strategi untuk lebih banyak belajar, mereka akan
menunjukkan peningkatan performa dan motivasi.
Selain penilaian pada keterampilan laboratorium, penilaian juga dilakukan pada
aspek afektif. Penilaian afektif digunakan untuk mengetahui sikap mahasiswa yang
muncul selama pembelajaran. Penilaian afektif spesifik pada kehadiran mahasiswa di
laboratorium, kejujuran dalam melakukan penilaian, motivasi dan kemandirian
melakukan praktikum, tanggungjawab dalam penilaian, dan kedisiplinan melakukan
praktikum. Rata-rata nilai afektif mahasiswa selama pembelajaran disajikan pada Tabel
5.
Tabel 5 Rata-rata Nilai Afektif Mahasiswa
Rata-
No. Nilai Afektif rata Kriteria
Nilai
1 Kehadiran mahasiswa di
3,40 Sangat Tinggi
laboratorium
2 Kejujuran dalam melakukan
3,40 Sangat Tinggi
penilaian
3 Motivasi dan kemandirian
3,43 Sangat Tinggi
melakukan praktikum
4 Tanggungjawab dalam
3,47 Sangat Tinggi
penilaian
5 Kedisiplinan melakukan
3,37 Sangat Tinggi
praktikum
Berdasarkan Tabel 5 rata-rata nilai afektif mahasiswa sangat tinggi. Data tersebut
menunjukkan bahwa disamping meningkatkan keterampilan laboratorium, penggunaan
instrumen self-assessment juga efektif membangun sikap mahasiswa ke arah positif.
Pengujian efektivitas juga dilakukan dengan angket respon yang diisi oleh
mahasiswa dan dosen. Data hasil angket mahasiswa menyatakan sebagian besar
mahasiswa sangat setuju yaitu 20 mahasiswa dari 30 mahasiswa. Hasil analisis angket
tanggapan mahasiswa dapat dilihat pada Gambar 1.
20
Jumlah Mahsiswa
15
10
0
Sangat Setuju Tidak Sangat
Setuju Setuju Tidak
Setuju
Respon Mahasiswa
Gambar 1 Hasil Angket Tanggapan Mahasiswa
KESIMPULAN
Hasil pengembangan instrumen self-assessment pada praktikum kimia dasar
dinyatakan valid oleh validator dan reliabel. Berdasarkan hasil uji coba, instrumen self-
assessment pada praktikum kimia dasar efektif meningkatkan keterampilan
laboratorium, penguasaan konsep dan sikap mahasiswa calon guru kimia.
REFERENSI
Andrade, H. dan Du, Y. 2007. “Student responses to criteria-referenced self-assessment”.
Journal Assessment & Evaluation in Higher Education. Volume32 No. 2. Page 159-
181.
Ardli, I., Ade G. A., Siti M., dan Ana. 2012. “Perangkat Penilaian Kinerja Untuk
Pembelajaran Teknik Pemeliharaan Ikan”. Jurnal Invotec. Volume 8 No. 2. Hal 147-
166.
Dedy dan Yusa. 2009. “Model Pembelajaran Berbasis Produksi dengan Pendekatan
Asesmen Portofolio pada Perkuliahan Praktik Kerja Bangunan”. Jurnal Penelitian.
Volume 9 No. 1.
Kearney, K. R. 2004. “Students’ Self-Assessment of Learning through Service-Learning”.
American Journal of Pharmaceutical Education. Volume 68 No. 1. Page 1-13.
Kelberlau-Berks, A. R. 2006. The Effects of Self-Assessment on Student Learning. “A report
on an action research project submitted in partial fulfillment of the requirements
for participation in the Math in the Middle Institute Partnership and the MAT
degree. Lincoln, Nebraska.
MacMillan, J. H. dan Hearn, J. 2008. “Student Self-Assessment: The Key to Stronger
Student Motivation and Higher Achievement”. Journal Educational Horizons.
Volume 87 No. 1. Page 40-49.
Palm, T. 2008. “Performance Assesment and Authentic Assesment: A Conceptual
Analysis of the Literature”. Practical Assessment, Research and Evaluation. Volume
13 No. 4. Page 1-11.
Rolheiser, C. dan Ross, J. A. Student Self-Evaluation: What Research Says And What
Practice Shows. http://www.cdl.org/resourcelibrary/articles/self_eval.php
(diunduh 12 Oktober 2013).
Ross, J. A. 2006. “The Reliability, Validity, and Utility of Self-Assessment”. Journal of
Practical Assessment, Research & Evaluation. Volume 11 No. 10. Page 1-13.
Rustaman, N. Y. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Tousignant, A dan DesMarchais, J. E. 2002. “Accuracy of Student Self-Assessment Ability
Compared to Their Own Performance in a Problem-Based Learning Medical
Email: mufidah@gmail.com
3Chemistry education Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Email: anitafibonacci@walisongo.ac.id
Abstract
This study aims to develop a chemistry learning module based on unity of sciences and
multilevel representations for learners. The developed module tries to integrate chemistry
by instilling the spiritual side of it, and presenting chemical content in macroscopic,
submicroscopic and symbolic languages in full. Research and development design used in
this research include define, design, and develop. The subjects of the study were students of
XI IPA 1 class at SMA Negeri 1 Boja. The data analysis used in testing the feasibility,
readability, and student response of the module is a descriptive statistic with the calculation
of the percentage score from the experts. The result of development is obtained by learning
module. The results show that the module developed by the researchers is qualified
according to the experts with the average score of the expert is 77.78%. The module student
response test is included in the good category with a percentage of 67.03%, and readability
test 73.81% is included in the high category so that the module of unity of sciences and
multi-level representation can be used as an alternative source of chemical learning.
PENDAHULUAN
Media pembelajaran merupakan suatu alat atau bahan yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran.Schramm dalam Daryanto (2013) mengelompokkan media
berdasarkan kemampuan daya liputan meliputi liputan luas seperti televisi, liputan
serentak seperti video, media tersebut menuntut sekolah memiliki fasilitas yang
memadai (Daryanto, 2013).Selanjutnya yaitu media untuk belajar secara individu, salah
satunya yaitu buku ajar.Penyusunan buku ajar erat kaitannya dengan karakteristik dari
materi atau disiplin ilmu tertentu. Penyajian materi pokok dalam kimia disarankan
melibatkan keterhubungan tiga level representasi yaitu level makroskopik,
submikroskopik, dan simbolik (Gkitzia, et al., 2010). Suryani dalam Nurpratami (2015)
menyatakan bahwa masih minimnya buku yang menghubungkan ketiga level
representasi tersebut (Nurpratami, Farida Ch, dan Helsy, 2015). Oleh karena minimnya
buku ajar kimia yang menghubungkan ketiga level representasi tersebut terutama buku
ajar yang sifatnya mandiri (modul), maka perlu dikembangkan modul kimia. Modul
diharapkan dapat menggambarkan hubungan tiga level representasi kimia
(makroskopik, submikroskopik, dan simbolik) agar peserta didik dapat memahami
kimia secara komprehensif (Gilbert dan Treagust, 2009), karena masih banyak peserta
didik yang belum memahami konsep materi secara komprehensif, terutama pada level
submikroskopik dan bahasa simbolik (Indrayani, 2013), mengingat konsep-konsep
kimia bersifat abstrak seperti interaksi antar atom, molekul, dan ion (Gkitzia, et al.,
2010).
Salah satu konsep kimia yang masih menjadi kendala bagi peserta didik adalah
kelarutan dan hasil kali kelarutan berdasarkan hasil angket.Hal ini diperkuat dengan
data jawaban peserta didik yang masih kurang tepat ketika uji coba soal. Contoh,
peneliti membuat pertanyaan tentang materi kelarutan dan hasil kali kelarutan
terutama kemampuan memvisualisasikan suatu fenomena.
Pertanyaan atau soal yang dibuat meminta peserta didik untuk menggambarkan
secara submikroskopik larutan garam NaCl dan larutan gula. Sebagian besar peserta
didik menjawab gambaran submikroskopik larutan garam NaCl dan gula kurang tepat,
mereka masih menganggap bahwa garam NaCl yang mengalami ionisasi maka di dalam
larutannya tidak terdapat air, seharusnya jawaban yang tepat yaitu dalam larutan garam
NaCl terdapat Na+, Cl-, dan H2O (Chang, 2005). Peserta didik menganggap bahwa gula
dalam air mengalami ionisasi, sehingga mereka memisahkan atom C, H, dan O dalam
larutan gula. Dengan demikian, modul hasil pengembangan yang melibatkan tiga level
representasi diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi peserta didik.
Pentingnya peranan tiga level representasi dalam pembelajaran kimia, pertama
yaitu level makroskopik yang memuat fenomena yang dapat diamati oleh panca indra.
Fenomena yang dapat diamati yaitu terbentuknya endapan AgCl dari larutan HCl dengan
AgNO3. Kedua, level submikroskopik merupakan level abstrak yang menjelaskan
fenomena makroskopik. Representasi submikroskopik dilakukan dengan
menggambarkan atom-atom, molekul-molekul, dan ion-ion yang terdapat dalam reaksi
terbentuknya endapan AgCl.Ketiga yaitu level simbolik yang dirumuskan dalam bentuk
lambang dan persamaan (Gilbert dan Treagust, 2009). Bentuk lambang dan persamaan
dari fenomena terbentuknya endapan AgCl yaitu HCl direaksikan dengan AgNO3akan
menghasilkan endapan AgCl dan senyawa HNO3.
Jika modul yang dikembangkan telah mencakup ketiga level representasi kimia,
maka modul hasil pengembangan berpotensi dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami
peserta didik (Milenkovic et. al, 2016; Guzel, dan Adadan, 2013). Apabila modul hasil
pengembangan dilengkapi dengan pendekatan multipel level representasi dan integrasi
Islam-kimia (Unity of Sciences) pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan, maka
tidak hanya memberikan pengetahuan dalam memahami materi kimia, tetapi juga
pengetahuan tentang hubungan ilmu agama dengan ilmu kimia, sehingga hal tersebut
dapat menjadikan peserta didik sebagai seseorang yang memandang semua cabang ilmu
sebagai satu kesatuan holistik tidak terpisah-pisah (Fanani, 2015) dan pada akhirnya
mampu memberikan kontribusi terhadap ketercapaian tujuan pendidikan nasional
sebagaimana yang diamanahkan dalam UU nomer 20 tahun 2003.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di SMA N 1 Boja. Penelitian dilaksanakan pada bulan mei
2017. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas XI IPA 1 yang berjumlah 9 dari 34
peserta didik.Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
4D (Define, Design, Develop, andDisseminate) (Thiagarajan, 1974), akan tetapi tahap
disseminate tidak dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa adanya keterbatasan
waktu, dan dengan sampai pada tahap develop sudah menghasilkan produk yang valid.
Adapun prosedur penelitian mencakup: a) tahap define, b) tahap design, dan c) tahap
develop.
Tahap definemeliputi lima langkah analisis. Analisis yang dilakukan yaitu analisis
ujung depan, peserta didik, tugas, konsep, dan tujuan pembelajaran. Sumber data dalam
melakukan analisis diperoleh dari peserta didik dan guru di SMA Negeri 1 Boja.
Selanjutnya tahap design, seluruh informasi yang diperoleh dari tahap define
dipertimbangkan pada tahap design. Hal ini bertujuan agar modul yang dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik selaku pengguna modul. Terakhir yaitu tahap
develop, pada tahap ini dilakukan uji kelayakan atau validasi ahli yang meliputi ahli
materi dan ahli media, serta dilakukan uji respon peserta didik dan uji keterbacaan
modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi pada materi kelarutan dan
hasil kali kelarutan.
hasil uji
80.00%
79.00%
77.00%
76.00%
ahli materi ahli media
Gambar 1. Hasil Uji Kelayakan oleh Ahli Materi dan Ahli Media
Berdasarkan gambar 1 di atas, uji kelayakan modul berbasis unity of sciences
dan multi level representasi oleh validator ahli materi diperoleh persentase skor
sebesar 77,81%, dan ahli media 80% termasuk dalam kategori layak (berdasarkan
tabel 1 dan 2). Skor diperoleh melalui revisi-revisi sesuai dengan saran atau
masukan dari para ahli. Beberapa saran yang diberikan ahli yaitu: a) memberikan
contoh yang dapat menjadi pengantar untuk masuk dalam materi; b) mengganti
gambar submikroskopik pada sub bab reaksi pengendapan; c) menuliskan reaksi
kesetimbangan dengan lengkap; d) masih ada salah pengetikan yang perlu diganti.
35.00%
30.00%
25.00%
20.00%
15.00%
10.00%
5.00% Hasil Skor
0.00%
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Modul berbasis unity of sciences dan multi level representasi memiliki komposisi
yaitu: Cover, Kata Pengantar, Daftar Isi, Pendahuluan (berisi KI, KD, indikator,
tujuan pembelajaran, dan petunjuk penggunaan modul), Peta Konsep, Materi, Soal
Latihan, Penilaian, Rangkuman, Soal Evaluasi, Kunci Jawaban, Halaman Pemahaman,
Glosarium, dan Daftar Pustaka.
2. Modul kimia berbasis unity of sciences dan multi level representasi layak digunakan
berdasarkan validasi ahli dan tanggapan peserta didik pada skala kecil. Hasil
validasi modul oleh ahli materi memperoleh persentase skor sebesar 77,78% dan
ahli media sebesar 80%. Berdasarkan skor yang diperoleh modul berbasis unity of
sciences dan multi level representasi tergolong dalam kriteria “layak”, dan respon
peserta didik terhadap modul tergolong “baik” dengan persentase skor 67,03%.
REFERENSI
Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar Konsep-konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Chang, Raymond. 2005.. Kimia Dasar Konsep-konsep Inti Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta:
Erlangga.
Daryanto. 2013. Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting Dalam Mencapai
Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
Fanani, M. 2015. Buku Ajar Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan. Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya.
Gilbert, J.K and David F. Treagust. 2009. Introduction: Macro, Submicro, and Symbolic
Representations and the Relationship Between Them: Key Models in Chemical
Education. Multiple Representations in Chemical Education, Models and Modeling in
Science Education . 4: 1-8.
Gkitzia V, Katerina Salta, dan Chryssa Zougraki. 2010. Development and application of
suitable criteria for the evaluation of chemical representations in school textbooks.
Chemistry Education Research and Practice.
Guzel, Buket Yakmaci dan Emine Adadan. 2013. Use of multiple representations in
developing preservice chemistry teachers’ understanding of the structure of
matter. International Journal of Environmental & Science Education.Vol 8 No. 1.
Milenkovic, Dusica, Mirjana D. Segedinac, Tamara N. Hrin, dan Sasa Horvat. 2016. The
impact of instructional strategy based on the triplet model of content
representation on elimination of students’ misconceptions regarding inorganic
reactions. Journal of the Serbian Chemical Society.
Nurpratami, Handini, Ida Farida Ch, dan Imelda Helsy. 2015. Pengembangan Bahan Ajar
pada Materi Laju Reaksi Berorientasi Multipel Representasi Kimia. Bandung:
Prosiding SNIPS.
Thiagarajan, Sivasailam, dkk. 1974. Instructional Development for Training Techers of
Exceptional Children A Sourcebook. Indiana: Indiana University Bloomington.
Abstrak
Penelitian pengembangan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry ini
didasarkan pada tidak adanya buku petunjuk praktikum kimia di sekolah, kurangnya
pemahaman peserta didik terhadap prosedur kerja praktikum, banyaknya limbah yang
dihasilkan saat praktikum, serta kurang waspadanya peserta didik pada keselamatan kerja di
laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pengembangan produk dan
kualitas buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry pada materi asam basa, larutan
penyangga, dan hidrolisis garam di kelas XI IPA SMA Institut Indonesia. Buku petunjuk
praktikum ini dikembangkan dengan menggunakan model pengembangan 4-D yang terdiri
dari tahap define (pendefinisian), design (perancangan), development (pengembangan), dan
disseminate (penyebaran). Akan tetapi penelitian ini terbatas pada tahap ketiga yaitu
development. Pengembangan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry
mendapatkan masukan dari tiga ahli materi, dua ahli media, dan sembilan peserta didik. Hasil
validasi ahli materi didapatkan bahwa buku petunjuk praktikum kimia yang dikembangkan
mendapatkan kategori sangat baik dengan persentase 85,3 % sedangkan penilaian ahli media
mendapatkan kategori baik dengan persentase 80,6%. Respon peserta didik terhadap buku
petunjuk praktikum menunjukkan kategori sangat baik dengan persentase 89%. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry
layak digunakan dalam pelaksanaan praktikum di laboratorium dan perlu ditindaklanjuti
melalui penerapan di kelas besar untuk mengetahui keefektifan produk dalam pembelajaran.
Kata Kunci : Buku Petunjuk Praktikum, Green Chemistry, Asam Basa, Larutan Penyangga,
Hidrolisis Garam
PENDAHULUAN
Metode praktikum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu
objek, menganalisis data, dan menarik kesimpulan mengenai suatu keadaan atau proses
sesuatu (Djamarah, 2010). Pada pelaksanaan kegiatan praktikum guru harus
memberikan arahan atau petunjuk kepada peserta didik sebelum kegiatan praktikum
dimulai supaya kegiatan praktikum berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir
terjadinya kecelakaan kerja di laboratorium. Jenis arahan atau petunjuk yang diberikan
kepada peserta didik dapat berupa buku petunjuk praktikum yang berfungsi sebagai
bahan ajar untuk mencapai tujuan pelaksanaan praktikum sekaligus tujuan
pembelajaran. Berdasarkan observasi pelaksanaan praktikum kimia di SMA Istitut
Indonesia Semarang memiliki beberapa permasalahan di antaranya peserta didik tidak
mendapatkan buku petunjuk praktikum kimia. Di samping itu, pelaksanaan praktikum
kurang memberi penekanan terhadap tata tertib pelaksanaan praktikum. Di dalam
melaksanakan praktikum peserta didik juga kurang memahami materi praktikum dan
merasa kebingungan dengan prosedur kerja yang tersedia. Selain itu, pembuangan
limbah hasil praktikum dan keselamatan kerja di dalam laboratorium kurang
diindahkan. Akan tetapi, peserta didik juga kurang mengetahui sifat-sifat bahan dalam
praktikum dan penanganan hasil limbah praktikum. Salah satu solusi untuk
meminimalisir limbah hasil praktikum dan untuk meningkatkan keselamatan kerja di
dalam laboratorium adalah penerapan prinsip green chemistry. Oleh karena itu, perlu
adanya pengembangan buku petunjuk praktikum bernuansa green chemsitry sebagai
suatu solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Dengan adanya
buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry, diharapkan peserta didik mampu
mengkonstruksi konsep melalui kegiatan praktikum dengan mengindahkan nilai-nilai
yang terdapat dalam prinsip green chemistry. Menurut Anastas & Warner (1998), green
chemistry adalah suatu konsep teknologi kimia inovatif yang mengurangi penggunaan
maupun produksi bahan kimia berbahaya, pembuatan dan penggunaan produk kimia.
Tujuan dari teknologi green chemistry adalah mengurangi limbah, meminimalkan
penggunaan bahan-bahan yang berbahaya, mengurangi penggunaan energi dan sumber
daya alam tidak terbarukan, dan memaksimalkan penggunaan suatu bahan dalam
proses kimia.
Menurut Husniyah (2016) dan Septiana (2016) buku petunjuk praktikum kimia
berbasis green chemistry dikembangkan untuk meminimalisir banyaknya limbah hasil
praktikum dan meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium. Buku petunjuk
praktikum keduanya dapat mengarahkan peserta didik untuk melaksanakan praktikum
dengan menerapkan green chemistry. Namun, buku petunjuk praktikum yang
dikembangkan oleh Husniyah (2016) dan Septiana (2016) tidak mengarahkan kepada
guru untuk memastikan bahwa peserta didik benar-benar membaca, memperhatikan
tata tertib praktikum. Oleh karena itu perlu adanya arahan dan kontrol dari guru
misalnya dalam bentuk lembar kontrak keselamatan kerja di setiap praktikum yang
harus ditanda tangani oleh peserta didik. Ditambah pula pengembangan keduanya tidak
ada bimbingan kepada peserta didik untuk berhati-hati dalam melaksanakan praktikum.
Oleh karena itu, perlu adanya kolom peringatan praktikum dan intruksi green chemistry
dalam prosedur kerja. Pengembangan keduanya juga tidak membimbing peserta didik
dalam menyimpulkan konsep yang telah dipelajarinya dan perlu adanya bimbingan
pengamatan dan pertanyaan yang dapat menstimulasi peserta didik serta membuat
kesimpulan atau menemukan konsep yang sedang dipelajarinya secara mandiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara pengembangan produk dan kualitas
buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry pada materi asam basa, larutan
penyangga, dan hidrolisis garam di kelas XI IPA SMA Institut Indonesia Semarang.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah model pengembangan 4-D (Four D). Model
pengembangan 4-D merupakan model pengembangan perangkat pembelajaran yang
dikembangkan oleh S. Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974). Model pengembangan
4-D terdiri atas 4 tahap yaitu: (1) define (pendefinisian), (2) design (perancangan), (3)
develop (pengembangan) (4) disseminate (penyebaran). Tetapi penelitian ini hanya
dilakukan sampai tahap ketiga yaitu pengembangan karena keterbatasan peneliti. Tahap
define merupakan tahap untuk menetapkan dan mendefinisikan kebutuhan dalam
pengembangan pembelajaran. Penetapan kebutuhan dilakukan dengan menyesuaikan
kebutuhan pelaksanaan praktikum untuk peserta didik. Tahap define mencakup tiga
langkah pokok yaitu analisis ujung depan, analisis peserta didik, dan analisis konsep.
a. Analisis Ujung Depan
Analisis ujung depan dimulai dari pengetahuan, ketrampilan, dan sikap awal peserta
didik untuk mencapai tujuan yang sudah tercantum pada kurikulum.
Pengidentifikasian masalah dilakukan dengan wawancara langsung dengan guru
kimia, peserta didik, dan pengisian angket kebutuhan oleh peserta didik. Hal
tersebut bertujuan untuk mengetahui kebermanfaatan produk yang dikembangkan
oleh peneliti dalam dunia pendidikan.
b. Analisis Karakteristik Peserta Didik
Pada tahap ini analisis karakteristik peserta didik di setiap pembelajaran harus
disesuaikan dengan karakteristik peserta didiknya. Begitu pula buku petunjuk
3. Analisis Tugas
Pada tahap ini, peneliti menganalisis standar kompetensi atau kompetensi dasar
pada materi asam-basa, larutan penyangga, dan hidrolisis garam berdasarkan
pelaksanaan praktikum peserta didik. Pada pelaksanaan praktikum peserta didik
melakukan pengamatan, menganalisis data, dan menyimpulkan hasil praktikum.
Pada pelaksanaan praktikum peserta didik melakukan pengamatan, menganalisis
data, dan menyimpulkan hasil praktikum di antaranya :
1) Peserta didik dapat menguji dan mengelompokkan bahan-bahan alam di kehidupan
sehari-hari dalam sifat asam, basa, dan netral menggunakan indikator alami dan kertas
lakmus.
2) Peserta didik dapat melakukan penyelidikan dan perhitungan kadar cuka dengan titrasi
asam dan basa.
3) Peserta didik dapat menyelidiki sifat larutan penyangga berdasarkan penambahan
sedikit asam atau basa.
4) Peserta didik dapat menyelidiki sifat larutan garam berdasarkan nila pH-nya
5) Peserta didik dapat mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip green chemistry pada
praktikum.
4. Analisis Konsep
Pada tahap ini dilakukan analisis pada empat hal yaitu materi pokok, standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian dari mata pelajaran yang
akan dijadikan praktikum. Konsep-konsep dasar pada materi asam basa, larutan
penyangga, dan hidrolisis garam harus dikuasi oleh peserta didik adalah ciri-ciri
asam dan basa, prinsip dalam melakukan titrasi asam basa, penambahan larutan
pada sistem larutan penyangga, proses hidrolisis, serta prinsip-prinsip dalam green
chemistry.
5. Merumuskan Tujuan
Pada tahap ini untuk mencapai tujuan akhir pelaksanaan praktikum yang diinginkan,
maka buku petunjuk praktikum yang dikembangkan disesuaikan dengan silabus dan
kurikulum KTSP serta kebutuhan peserta didik.
Design (Perancangan)
Tahap perancangan dilakukan setelah tahapan define. Berdasarkan analisis kebutuhan
pada tahap define, maka rancangan modul dilakukan dengan mengumpulkan referensi
mengenai percobaan-percobaan yang terkait dengan materi yang dijadikan dalam
materi buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry. Referensi tersebut
didapatkan dari beberapa buku dan jurnal ilmiah. Memilih format kriteria buku
petunjuk praktikum kimia yang bernuansa green chemistry. Format tersebut meliputi
lembar judul praktikum, apersepsi, tujuan praktikum, konsep kunci materi, alat dan
bahan, cara kerja, lembar pengamatan, contoh format laporan praktikum, dan contoh
format penilaian laporan praktikum. Membuat rancangan awal buku petunjuk
praktikum kimia bernuansa green chemistry disesuaikan dengan indikator pencapaian
pelaksanaan praktikum. Prinsip-prinsip green chemistry disesuaikan dengan materi
praktikum yang akan dilaksanakan.
Develop (Pengembangan)
Pada tahap develop, langkah yang dilakukan adalah membuat buku petunjuk
praktikum bernuansa green chemistry yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran
dan kebutuhan peserta didik. Tahap pengembangan produk dilakukan uji validasi
produk dan uji lapangan yaitu implementasi pada peserta didik. Hasil validasi kualitas
buku petunjuk praktikum kimia bernuansa green chemistry pada materi asam basa,
larutan penyangga, dan hidrolisis garam oleh validator ahli materi dan ahli media dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Persentase Keseluruhan 89 % SB
Setelah mengisi angket, peserta didik memberikan beberapa tanggapan, kritik,
dan saran. Sebagian besar peserta didik memberikan tanggapan pada beberapa aspek
buku petunjuk praktikum bernuansa green chemistry yang dihasilkan kategori sangat
baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Berdasarkan penilaian ahli media,materi,dan
respon peserta didik menunjukkan bahwa buku petunjuk praktikum bernuansa green
chemistry layak digunakan dalam pelaksanaan praktikum di laboratorium dengan
kategori sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful B. & Aswan Zain. 1997. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
EPA. 2013. Green Chemistry. Diakses pada 20 November 2016 pukul16.06,dari
http://www.epa.grov/greenchemistry/
Husniyah, Fatihah. 2016. Pengembangan Buku Petunjuk
Praktikum Kimia Berbasis Green Chemistry Materi LajuReaksi Untuk SMA/MA Kelas
XI Semester 1. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Kalijaga.
Iqbal, Syed Aftab dan Neelofar Iqbal. 2011. Textbook of Green Chemistry. New Delhi :
Discovery Publishing House PVT.LTD.
Abstrak
Integrasi karakter Islam dalam pembelajaran kimia sangat penting demi terbentuknya
peserta didik beriman, bertaqwa, dan berilmu pengetahuan. Efektivitas modul kimia
terintegrasi karakter Islam inovatif untuk meningkatkan penguasaan konsep dan respons
peserta didik dalam pengajaran kimia. Penelitian ini bertujuan adalah mengetahui efektifitas
penggunaan modul kimia terintegrasi karakter islami pada materi reaksi redoks. Penelitian
dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan lapangan dan media pembelajaran interaktif
ke dalam topik kimia. Metode penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan
pendekatan eksperimen. Desain penelitian berupa control group pretest protest design.
Sampel yang digunakan adalah peserta didik kelas X di MAN 1 Kudus. Teknik
pengumpulan data dengan angket, lembar observasi, dan tes penguasaan konsep kognitif.
Teknik analisis data kemudian diuji menggunakan uji T-Test (Paired Samples T-Test) dan
dihitung dengan N-gain ternormalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modul yang
dikembangkan efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep peserta didik dalam bidang
kimia. Berdasarkan data yang dihasilkan diperoleh di kelas eksperimen yang diajarkan
dengan modul pembelajaran inovatif (M = 81,88) ditemukan lebih tinggi dari kelas kontrol
(M = 74,76) dimana hasil uji t paired sample menunjukkan thitung (18,98) > ttabel (1,992)
sehingga dapat disimpulkan bahwa modul kimia terintegrasi karakter Islam dapat
meningkatkan penguasaan konsep kognitif peserta didik. Respons peserta didik juga
menunjukkan hasil yang sangat baik dengan ditunjukkan skor rata-rata 67,4 dari skor total
80
PENDAHULUAN
Pendidikan karakter peserta didik sangat berperan penting demi meningkatnya
perilaku, etika, dan kreatifitas peserta didik ke arah yang lebih baik. Upaya pemerintah
mewujudkan itu dengan menerapkan pembelajaran yang menanamkan muatan karakter
dalam setiap pembelajaran. Penanaman nilai karakter ini sebagai perwujudan
pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter dapat menjadi sebuah jalan untuk
merubah wajah pendidikan sekolah di masa depan (Mulkey, 1997:37). Sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar mampu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pelaksanaan pendidikan di Indonesia terkait aspek agama dan moral sesuai UUD
No. 20 tahun 2003 sangat mengejutkan dan mengecewakan pendidikan Indonesia.
Perilaku anarkis, brutal, amoral dan semakin banyaknya pengguna narkoba di kalangan
peserta didik, baik di tingkatan sekolah bahkan sampai tingkatan perkuliahan
merupakan fakta lemahnya agama dan moral. Terciptanya produk-produk atau output
lulusan dari berbagai lembaga penyelenggara pendidikan yang nilai agama dan
moralnya sangat kurang juga menjadikan dunia pendidikan di Indonesia perlu
berbenah, seperti banyaknya tindakan korupsi, dari mulai korupsi migas, korupsi sapi,
korupsi e-ktp, hingga korupsi pengadaan Alquran, ditambah lagi adanya skandal
perbankan, dan mafia peradilan yang kesemuanya bukan tidak dilakukan oleh orang-
orang bodoh, melainkan orang-orang terpelajar. Hasil observasi peneliti di MAN 1 Kudus
juga menunjukkan bahwa masih ditemukannya tindakan perkelahian antar peserta
didik. Penguasaan konsep yang didapatkan oleh peserta didik juga masih kurang dari
yang ditetapkan oleh guru kimia melalui kriteria ketuntasan minimal 73.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan modul terintegrasi karakter islam
sebagai sumber belajar untuk meningkatkan penguasaan konsep pada materi reaksi
redoks. Instrumen penelitian ini meliputi angket, lembar observasi, dan soal tes
penguasaan konsep kognitif peserta didik. Lembar observasi digunakan untuk
mengamati penilaian afektif dan psikomotor peserta didik. Soal tes digunakan untuk
mengetahui peningkatan penguasaan konsep kognitif peserta didik. Penelitian ini
dilaksanakan di MAN 1 Kudus dengan subyek penelitian peserta didik kelas X IPA pada
tahun pelajaran 2014/2015. Populasi dalam penelitian adalah peserta didik kelas X
semester 1 di MAN 1 Kudus, sedangkan sampel dalam penelitian 2 kelas X IPA di MAN 1
Kudus. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
penelitian diusahakan relatif sama. Evaluasi belajar dilakukan pada jam pelajaran kimia
pada minggu efektif berikutnya setelah paket pembelajaran dalam satu modul ajar
telah selesai diajarkan, bertujuan untuk memberikan waktu cukup bagi peserta didik
menggunakan bahan ajar untuk belajar mandiri untuk menyelesaikan soal-soal
kimia. Penguasaan konsep peserta didik diukur berdasarkan kemampuan peserta didik
dalam menyelesaikan evaluasi belajar dan skor peserta didik dalam bentuk nilai pada
tabel.
Penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islami dapat meningkatkan
penguasaan konsep peserta didik, ini menegaskan bahwa modul kimia terintegrasi
karakter Islami sangat tepat untuk diterapkan pada proses pembelajaran sains, karena
di dalam modul kimia terintegrasi karakter Islami ini berupaya untuk menghindarkan
kehampaan spiritual yaitu dengan meningkatkan penguasaan konsep kimia peserta
didik disertai meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada sang Pencipta alam
semesta karena kesadaran akan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah swt.
Konsep-konsep kimia diintegrasikan dengan nilai-nilai agama yang relevan dalam bahan
ajar dan pembelajaran kimia, akan bermanfaat karena sains dipadukan dengan
pengajaran dan konsep-konsep lain, menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi
peserta didik (Carin, 1997: 242) dan akan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik
(Forgarty, 1991). Sains sebagai sunatullah tentang alam semesta berperan penting
dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya, disamping itu juga berperan
penting sebagai media pengenalan dan objek berpikir manusia kepada Khaliqnya untuk
memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah swt di langit dan di bumi, sehingga peserta
didik akan semakin sadar tentang kebesaran dan keagungan Allah swt dan menjadikan
pembelajaran menyenangkan ketika belajar. Karena menurut Turella (2010: 55) proses
pembelajaran menyenangkan dapat menarik minat peserta didik untuk belajar,
bersemangat, konsentrasi tinggi dan ceria. Belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan
bagi peserta didik dan bukan sebaliknya menjadi beban karena membosankan.
Hipotesis Kedua
Hasil Respons Peserta Didik terhadap Modul
Berdasarkan aspek respons peserta didik terhadap pembelajaran menggunakan
modul kimia terintegrasi karakter Islam menunjukkan bahwa respons sangat baik
terhadap penggunaan modul lebih banyak diperoleh dibanding yang memberikan
respon cukup. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan modul kimia terintegrasi
karakter Islam dalam proses pembelajaran peserta didik berminat untuk belajar lebih
serius dan merasa senang. Hal tersebut disandarkan modul dirancang semenarik
mungkin dibuat rangsangan-rangsangan yang positif berupa pengintegrasian konsep
sains dan karakter Islam sehingga peserta didik tertarik dan merespons positif terhadap
modul yang digunakan dan suasana kelas menjadi nyaman.
Hasil analisis data respons peserta didik menunjukkan bahwa dari 39 peserta didik,
26 peserta didik memberikan sangat baik, 12 peserta didik memberikan respons baik
dan 1 peserta didik memberikan respons cukup baik. Hasil angket respons peserta didik
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
12 Sangat Baik
26 Baik
Cukup
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: efektifitas penggunaan
Modul kimia terintegrasi karakter Islam pada pokok bahasan redoks kelas X MAN 1
Kudus tercapai, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a). penguasaan konsep
redoks peserta didik menggunakan modul kimia terintegrasi karakter Islam lebih baik
daripada penguasaan konsep peserta didik dengan buku paket kimia di sekolah. b).
respon peserta didik terhadap penggunaan modul kimia terintegrasi karakter Islam
sangat baik.
Pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam pembelajaran melalui modul kimia
terintegrasi karakter Islam diharapkan dapat mencetak muslim yang ideal karena
memiliki prinsip tawazun antara urusan dunia dan akhirat, dan bermanfaat bagi
lingkungannya.
REFERENSI
Benninga, J.S. 2003. The Relationship of Character Education Implementation and
Academic Achievement in elementary School. Journal of Research in Character
Education, 1(1): 19-32
Carin, R.B. 1997. Teaching Modern Science (7th edition). Merril Prentice Hall: New Jersey,
Columbus Ohio, USA.
Ceglie, R. 2013. Religion as a Support Factor for Women of Color Pursuing Science
Degrees: Implications for Science Teacher Educators. J Sci Teacher Educ 24:37–65
Danielson, K. 2010. Learning Chemistry: Text Use and Text Talk in a Finland-Swedish
Chemistry Classroom. International Assosiation for Research of Textbook and
Educational Media (IARTEM e-journal). 3(2): 1-28.
Fogarty, R. 1991. The Mindful School. How to Integrate the Curricula. Palatine Skyliht
Publishing, Inc : Illionis, USA.
Hakim, F., Susilaningsih, E., Cahyono, E. 2015. Pengembangan Modul Kimia Terintegrasi
Karakter Islami Pada Materi Reaksi Redoks di MAN 1 Kudus. Journal of Innovative
Science Education 4 (1).
Liou, D. D., Gonzalez, R. A., & Cooper, R. (2009). Unveiling the promise of community
cultural wealth to sustaining latina/o students’ college going information
networks. Educational Studies, 45, 534–555. Meadows, L., D
Mansour, N. 2008. Religious beliefs: A hidden variable in the performance of science
teachers in the classroom. European Educational Research Journal, 7 (4), 557-576
Mulkey, Y.J. 1997. The History Of Character Education. Journal of Physical Education,
Recreation, and Dance, 68, 35-37
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher
Turella, Rella. 2010. Science Classroom Supervision. Bandung: Seameo Qitep In Science
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung
Sugiono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta,
Abstrak
Hukum dasar dan Stoikiometri merupakan materi dasar (prasyarat) dari materi
kesetimbangan kimia, asam-basa, larutan penyangga, hidrolisis, dan kelarutan dan hasil kali
kelarutan. Penguasaan konsep terhadap materi prasyarat sangat penting untuk dimiliki oleh
peserta didik sebelum mempelajari materi berikutnya. Namun, dalam pembelajaran kimia
materi Hukum dasar dan stoikiometri sulit dipahami dan sering terjadi miskonsepsi.
Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami peserta
didik dalam materi hukum dasar dan stoikiometri. Sampel penelitian adalah 31 peserta didik
kelas X IPA 8 SMA Negeri 5 Semarang tahun ajaran 2016/2017. Miskonsepsi peserta didik
diidentifikasi menggunakan metode CRI termodifikasi. Wawancara dilakukan pada 9 peserta
didik untuk mengetahui miskonsepsi peserta didik lebih dalam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa persentase rata-rata peserta didik mengalami miskonsepsi sebesar 17,25 %.
Miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik yaitu pada konsep massa atom relatif, persamaan
reaksi, hukum Lavoisier, hukum Proust, hukum Dalton, hukum Gay-Lussac, rumus molekul,
volume gas pada keadaan STP, dan pereaksi pembatas. Adapun persentase tertinggi dari
kelompok peserta didik yang mengalami miskonsepsi terdapat pada konsep massa molar
senyawa air kristal.
PENDAHULUAN
Ilmu kimia merupakan ilmu yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Didalamnya mempelajari banyak konsep, mulai dari konsep sederhana sampai konsep
yang lebih kompleks dan abstrak. Konsep-konsep tersebut saling berkaitan dan
berjenjang. Konsep-konsep dasar kimia mendasari dan membangun konsep yang lebih
kompleks, apabila peserta didik salah dalam memahami konsep dasar kimia tersebut,
maka memungkinkan sekali konsep yang lebih kompleks sulit dipahami atau tidak dapat
dipahami dengan benar. Pemahaman konsep yang salah atau berbeda dengan
pemahaman konsep secara ilmiah disebut miskonsepsi (Tekkaya, 2002). Miskonsepsi
pada peserta didik dalam belajar kimia dapat terjadi karena konsep kimia yang
kompleks, bersifat abstrak, dan saling berkaitan.
Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kimia di SMA N 5
Semarang menunjukkan bahwa, hampir di semua materi kimia peserta didik mengalami
miskonsepsi. Salah satu materi yang dianggap sulit dipahami dan sering terjadi
miskonsepsi pada peserta didik yaitu stoikiometri. Pada materi stoikiometri, peserta
didik sering mengalami miskonsepsi pada konsep mol, hukum-hukum dasar kimia, dan
persamaan reaksi. Selain itu, hasil observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa
hampir semua peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami soal-soal yang
berhubungan dengan konsep stoikiometri. Hal ini menunjukkan bahwa, konsep
stoikiometri sulit dipahami peserta didik. Jika miskonsepsi tersebut tidak dikoreksi dan
dilakukan perbaikan maka mengakibatkan konsep kimia selanjutnya akan berpeluang
menimbulkan miskonsepsi juga. Akibat lebih lanjut, jika miskonsepsi ini tidak diperbaiki
sejak dini, maka bukan tidak mungkin miskonsepsi tersebut akan bertahan sampai
perguruan tinggi bahkan sampai usia tua. Oleh karena itu, identifikasi miskonsepsi
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif
(Sugiyono, 2015: 29). Pada penelitian ini mendeskripsikan permasalahan pada bentuk-
bentuk miskonsepsi dalam materi stoikiometri yang dialami peserta didik kelas X IPA
SMA N 5 Semarang. Sumber data dalam penelitian ini berupa data hasil belajar peserta
didik, hasil observasi, hasil wawancara, dan hasil tes diagnostik.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk tes pilihan ganda
disertai alasan terbuka dan kolom tingkat keyakinan (CRI). Setiap butir soal yang
digunakan dalam penelitian terdiri dari 5 pilihan jawaban. Soal dengan 5 pilihan
jawaban digunakan untuk memperkecil kemungkinan peserta didik dalam menebak
jawaban soal. Adapun tingkat keyakinan berdasarkan CRI dapat dilihat pada tabel 3.1.
(Hasan, et al., 1999)
Tabel 1. Keyakinan Peserta didik Berdasarkan CRI
CRI Kriteria
0 Totally guessed answer
(menerka)
1 Almost guess (hampir
diterka)
2 No sure (tidak yakin)
3 Sure (yakin)
4 Almost certain (hampir pasti
benar)
5 Certain (pasti benar)
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat kami simpulkan sebagai
berikut:
1. Miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik yaitu pada konsep massa atom relatif,
persamaan reaksi, hukum Lavoisier, hukum Proust, hukum Dalton, hukum Gay-
Lussac, rumus molekul, volume gas pada keadaan STP, dan pereaksi pembatas.
REFERENSI
Astuti, F., Redjeki, T., & Nurhayati, N. D. (2016). Identifikasi Miskonsepsi dan
Penyebabnya pada Siswa Kelas XI MIA SMA Negeri 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran
2015/2016 pada Materi Pokok Stoikiometri. Jurnal Pendidikan Kimia, 5(2), 10–17.
Brady, James E. (1999). Kimia Universitas Asas dan Struktur Jilid 1. Tanggerang: Binarupa
Aksara.
Chang, Raymond. (2005). Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 2 Edisi ke 3. Jakarta:
Erlangga
Effendy. (2016). Ilmu Kimia untuk Siswa SMA dan MA Jilid 1. Malang: Indonesia Academic
Publishing
Gurel, D. K., Eryılmaz, A., & Mcdermott, L. C. (2015). A Review and Comparison of
Diagnostic Instruments to Identify Students ’ Misconceptions in Science. Eurasia
Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 11(5), 989–1008.
https://doi.org/10.12973/eurasia.2015.1369a.
Hakim, A., Kadarohman, A., & Liliasari. (2012). Student Concept Understanding of
Natural Products Chemistry in Primary and Secondary Metabolites Using the Data
Collecting Technique of Modified CRI. International Online Journal of Educational
Sciences, 4(3), 544–553.
Hasan, S., Bagayoko, D., & Ella, L. K. (1999). Misconceptions and the Certainty of
Response Index (CRI). Phys. Educ, 34(5), 294–299. https://doi.org/10.1088/0031-
9120/34/5/304
Hermawan, Sutarjawinata, P., & Al, H. P. (2009). Aktif Belajar Kimia: untuk SMA dan MA
Kelas X.
Huddle, P. A., & Pillay, A. E. (1996). An In-Depth Study of Misconceptions in
Stoichiometry and Chemical Equilibrium at a South African University. Journal of
Research in Science Teaching, 33(1), 65–77.
Lathifa, U., Ibnu, S., & Budiasih, E. (2015). Identifikasi Kesalahan Konsep Larutan Asam-
Basa dengan Menggunakan Teknik Certainty of Response Index (CRI)
Termodifikasi. In Seminar Nasional Pendidikan Sains UKSW (pp. 242–249).
Mahardika, R. (2014). Identifikasi Miskonsepsi Siswa Menggunakan Certainty of Response
Index (CRI) dan Wawancara Diagnosis pada Konsep sel.
McMurry, John E dan Fay, Robert C. (2010). General Chemistry Atoms First Second
Edition. USA: Pearson Education
Mulyatun. (2015). Kimia Dasar (Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Biologi). Semarang: CV.
Karya Abadi Jaya
Nasution, S. (2005). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta :
Bumi Aksara
Ozmen, H., & Ayas, A. (2003). Students’ Difficulties in Understanding of The
Conservation of Matter in Open and Closed-System Chemical Reactions. Chemistry
Education : Research and Practice, 4(3), 279–290.
Pesman, H., & Eryilmaz, A. (2010). Development of a Three-Tier Test to Assess
Misconceptions About Simple Electric Circuits. The Journal of Education Research,
103, 208–222. https://doi.org/10.1080/00220670903383002
Petrucci, Ralph H. (1987). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Edisi ke Empat Jilid 1.
Jakarta: Erlangga
Petrucci, Harwood, Herring, dan Madura. (2008). Kimia Dasar Prinsip-Prinsip dan
Aplikasi Modern Edisi ke Sembilan Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Purwanto. (2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sidauruk, S. (2005). Miskonsepsi Stoikiometri pada Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Dan
Evaluasi Pendidikan, (2), 253–272.
Sudjana, N. (1992). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Syukri, S. (1999). Kimia Dasar Jilid 2. Bandung: Penerbit ITB
Tekkaya, C. (2002). Misconceptions As Barrier To Understanding Biology. Hacettepe
Onoversities Egitim Fakultesi Dergisi, 23, 259–266.
Treagust, D. F. (1988). Development and Use of Diagnostic Tests to Evaluate Students ’
Misconceptions in Science. International Journal of Science Education, 10(2), 159–
169. https://doi.org/10.1080/0950069880100204
Winarni, S., Ismayani, A., & Fitriani. (2013). Kesalahan Konsep Materi Stoikiometri yang
Dialami Siswa SMA. Jurnal Ilmiah Didaktika, 14(1), 43–59.
Winarni, S., & Syahrial. (2011). Analisis Kesalahan Konsep Level Mikroskopis yang Dialami
Mahasiswa Tingkat Akhir Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Unsyiah pada Materi
Persamaan Reaksi.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan modul berpendekatan
inkuiri untuk meningkatkan pemahaman konsep termokimia pada siswa. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode eksperimen dengan Posstest Only Control-Group Design.
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 1 Lasem. Data penelitian yang
diambil berupa pemahaman konsep siswa melalui hasil belajar kognitif. Pengumpulan data
dilakukan melalui tes dan dokumentasi. Pengambilan sampel menggunakan teknik random
sampling. Teknik analisis data menggunakkan analisis uji t-test related (Independent-Sample
T-Test) dari hasil posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari hasil dan analisis yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa penerapan modul berpendekatan inkuiri efektif untuk
meningkatkan pemahaman konsep termokimia siswa. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata
nilai evaluasi termokimia kelas eksperimen sebesar 73,08 dan kelas kontrol sebesar 64,56
dan dengan signifikansi < 0,05.
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan Indonesia yang berlaku saat ini mengharapkan tidak sekedar
berorientasi pada pengembangan kognitif (otak kiri), namun juga memperhatikan
pengembangan afektif, empati, dan rasa (otak kanan). Namun pada penerapannya
terkadang masih belum maksimal. Mata pelajaran yang berhubungan dengan
pendidikan karakter pun (seperti kewarganegaraan dan agama) ternyata pada
prakteknya juga lebih menekankan pada aspek hafalan atau hanya sekedar tahu
(Suharyadi, et. al., 2013). Pembentukan karakter seharusnya dilakukan secara sistematis
dan berkesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting.
Hal seperti ini pun terjadi pada mata pelajaran eksakta, misalnya kimia. Pelajaran
kimia merupakan salah satu pelajaran yang memiliki karakteristik tersendiri dan
memerlukan keterampilan khusus dalam memecahkan masalah-masalah yang berupa
teori, konsep, hukum dan fakta. Karakteristik khas pelajaran kimia tersebut adalah
adanya tiga level representasi kimia, yaitu: level makroskopik, level submikroskopik dan
level simbolik (Treagust, et al., 2003). Banyaknya representasi yang harus dikuasai
dalam pelajaran kimia, menyebabkan banyak siswa menganggap pelajaran kimia itu
konsepnya abstrak dan sulit untuk dipahami..
Kesulitan siswa untuk memahami konsep kimia berhubungna erat dengan
pemahaman konspe yang dimiliki siswa itu sendiri. Pemahaman konsep merupakan
ranah kognitif manusia dan merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan untuk belajar
siswa, sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat proses
belajar. Jika pemahaman siswa terhadap materi tidak sesuai dengan konsep yang
sebenarnya, maka dapat menimbulkan miskonsepsi pada siswa (Istijabatun, 2008).
Miskopsensi inilah yang menyebabkan siswa kesulitan dalam belajar, sehingga
mempengaruhi prestasi belajar yang kurang baik.
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap hasil Ujian Nasional, menunjukkan
bahwa tingkat kesalahan siswa terbanyak adalah pada materi termokimia. Termokimia
merupakan materi yang sarat dengan konsep dan aplikasinya pada perhitungan. Pada
materi ini siswa masih mengalami kesulitan terutama mengenai cara menentukan ∆H
reaksi dengan menggunakan hokum Hess dan data perubahan entalpi pembentukan
standar (∆Hof) (Mahpuzah, dalam Aprialisa dan Mahdian, 2010). Hasil ini juga oleh
penelitian Rovona (dalam Aprialisa dan Mahdian, 2010) bahwa kemampuan siswa
dalam menyelesaikan reaksi dan perhitungan ∆H reaksi berdasarkan hokum Hess masih
kurang.
Pemilihan dan penggunaan metode dan metode yang tepat dalam menyajikan
suatu materi dapat membantu siswa dalam mengetahui serta memahami segala sesuatu
yang disajikan guru, sehingga melalui tes hasil belajar dapat diketahui peningkatan
prestasi belajar siswa. Penggunaan metode pembelajaran yang cenderung monoton dan
kurangnya keterlibatan siswa dalam menemukan suatu konsep dalam proses
pembelajaran juga menjadi penyebab kimia kurang menarik bagi siswa (Suharyadi, et
al., 2013). Biasanya siswa yang mempelajari kimia cenderung diberikan dengan fakta
terisolasi dan rumus-rumus kimia yang tidak ada hubungan dengan kehidupan mereka,
sehingga mereka cenderung untuk menghafal, kemudian siswa dengan mudah
membuangnya tanpa bekas (Brist, 2012). Sehingga perlu adanya media dan metode
yang tepat dalam pembelajaran. Melalui pembelajaran yang tepat, siswa diharapkan
mampu memahami dan menguasai materi ajar sehingga dapat berguna dalam
kehidupan nyata. Salah satu indikator keberhasilan proses belajar mengajar dapat
dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa.
Berdasarkan analisis permasalahan di atas, maka dilakukan penelitian untuk
melakukan inovasi pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan pemahaman
konsep melalui pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa belajar lebih
aktif, lebih berpartisipasi dalam proses belajar mengajar serta mampu memiliki
karakter yang baik. Salah satu solusi alternatif inovatif yang dapat dilakukan tersebut
dituangkan dalam bentuk penerapan modul. Namun modul yang diterapkan tentunya
harus memiliki karakteristik yang memadai dan membantu untuk menciptakan
pembelajaran yang menarik, salah satunya dengan modul yang berpendekatan inkuiri.
Siswa lebih suka dengan bahan ajar tertulis (contohnya modul), meskipun siswa
menikmati fleksibilitas yang ditawarkan bahan ajar berbasis ICT (Horsley, et al., 2010).
Strategi pengorganisasian materi pelajaran mengacu pada upaya penyajian materi
pelajaran, dan synthesizing yang mengacu pada upaya untuk menunjukkan kepada
siswa keterikaitan antara fakta, konsep, prosedur dan prinsip yang terkandung dalam
materi pelajaran (Indriyamti, 2010: 1).
Modul berpendekatan inkuiri dapat menggambarkan proses ketika para saintis
secara rutin mengerjakan penelitian ilmiah dan menyediakan sebuah metode bagi siswa
untuk mempelajari content dan skills sains (Sadeh & Zoin, 2012). Strategi pembelajaran
inkuiri merupakan strategi yang berorientasi pada siswa, memberikan kesempatan pada
siswa untuk memformulasi dan melakukan investigasi. Inkuiri sebagai proses umum
yang dikerjakan oleh manusia untuk memcari atau memahami suatu informasi. Sund
(Trianto, 2007: 135) menyatakan bahwa discovery merupakan bagian dari inquiry, atau
inquiry merupakan perluasan dari discovery yang digunakan lebih mendalam.
METODE PENELITIAN
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
eksperimental, dengan menggunakan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas XI MIA SMAN I Lasem. Penerapan modul menggunakan
4 kelas yaitu XI MIA 1 dan 2 (kelas eksperimen) dan XI MIA 3 dan 4 (kelas kontrol).
Desain implentasi menggunakan Posttest Only Control-Group Design (Creswell, 2009:
161).
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran berupa
tes pemahaman konsep. Tes ini berupa soal esai untuk mengetahui pemahaman siswa.
Analisis hasil tes ini digunakan untuk mengukur pemahaman konsep siswa sesuai
dengan indikator-indikator yang sudah ditentukan. Data yang tertera pada lembar hasil
tes merupakan penilaian terhadap jawaban siswa pada post test pada kelas yang
dilakukan eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol dan untuk memastikannya
dilakukan dengan uji t-test related (Independent-Sample T-Test).
REFERENSI
Brist, A.H. 2012. The Effect Of A Contextual Approach To Chemistry Instruction On
Students‟ Attitudes, Confidence, And Achievement In Science. Proposal for Science
Master. Master Programme di Montana University.
Creswell, J. 2009. Research Desaign; Qualitative, Quantitative, and Mix Methods
Approaches. California: SAGA.
Horsley,M., Knight, B., & Huntly, H. 2010. The Role Of Textbooks And Other Teaching
And Learning Resources In Higher Education In Australia:Change And Continuity
In Supporting Learning. International Assosiation for Research of Textbook and
Educational Media (IARTEM e-journal). 3(2):43-61.
Istijabatun, Siti (2008). Pengaruh Pengetahuan Alam Terhadap Pemahaman Mata
Pelajaran Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, Vol .2, No. 2, 2008. 325
Prodjosantoso, A.K. 2008.„Pembelajaran Kimia Secara Menarik dan Menyenangkan
Pendekatan Relevansi‟. Makalah disajikan dalam Seminar Pembekalan Calon
Guru Kimia. Semarang: Jurusan Kimia FMIPA UNNES Semarang, 12 Juli 2008
Sadeh, I & Zion, M. 2012. Which Type of Inquiry Project Do High School Biology Students
Prefer: Open or Guided?. Research and Science Education. 42(5):831-848.
Suharyadi, Permanasari,A., dan Hernani. 2013. Pengembangan Buku Ajar Berbasis
Kontekstual Pada Pokok Bahasan Asam dan Basa. Jurnal Riset dan Praktik
Pendidikan Kimia.1(1): 60-68.
Treagust D.F., Chittleborough G.D. and Mamiala T.L., (2003), The role of submicroscopic
and symbolic representations in chemical explanations, International Journal of
Science Education, 25, 1353-1369.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovativ Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Abstrak
Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mendapatkan informasi bagaimana hubungan
penguasaan konsep dan KGS mahasiswa. Penelitian ini menggunakan metode pre-
experiment melibatkan 55 orang mahasiswa calon guru di sebuah LPTK di Jawa Tengah pada
pembelajaran kimia bahan pangan terintegrasi etnosains. Instrumen yang digunakan adalah
soal penguasaan konsep dan soal KGS yang telah dinyatakan valid oleh ahli. Data dianalisis
dengan uji korelasi product momen Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penguasaan konsep dan KGS memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat korelasi
sedang.
PENDAHULUAN
Di abad ke 21 ini harus dipersiapkan warga-negara yang mampu bersaing dalam
menghadapi berbagai tantangan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi harus
dikembangkan sejak dini. Mahasiswa perlu diberikan sejumlah pengalaman untuk
mengerti tentang konsep-konsep kimia disamping membimbing mereka agar terampil
menggunakan pengetahuan kimia yang sudah diperolehnya (Galagher, 2007).
Keterampilan untuk berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan sains yang telah
dimiliki ini disebut dengan ketrampilan generik sains (Liliasari (2007).
Keterampilan generik sains (KGS) ini memiliki peran yang sangat penting dalam
membangun sikap dan pengetahuan karena melibatkan pengetahuan kognitif atau
intelektual, manual dan sosial. Keterampilan generik sains merupakan dasar dalam
proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini juga ditegaskan oleh Liliasari (2007) bahwa KGS merupakan dasar dalam proses
berpikir tingkat tinggi Dengan demikian KGS ini merupakan keterampilan yang sangat
penting dalam upaya membangun kepribadian dan pola tindakan manusia Indonesia
(Brotosiswoyo, 2001).
Permasalahannya, pembelajaran kimia selama ini cenderung mengarahkan
mahasiswa untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip kimia saja, sehingga
menyebabkan mahasiswa hanya mengenal banyak peristilahan kimia secara tidak
bermakna (Liliasari, 2011). Sebagian besar dosen kurang memperhatikan aspek-aspek
lain seperti keterampilan berpikir. Walaupun sebenarnya, dalam belajar konsep atau
prinsip, mahasiswa dituntut tidak hanya mengetahui konsep-konsep, namun sampai
dengan mampu menggunakan konsep-konsep kimia yang telah dipelajarinya untuk
memecahkan persoalan baik dalam bentuk soal tes maupun penerapannya dalam situasi
baru (Dahar, 2011)..
Dampak dari permasalahan di atas, walaupun hasil belajar khususnya pada aspek
kognitif tinggi, namun karena pada proses pembelajarannya kurang menekankan pada
pembekalan keterampilan generik sains maka belum diketahui bagaimana gambaran
hubungan antara keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dengan penguasaan
konsep kimianya. Menurut Dahar (2011), konsep-konsep merupakan pondasi-pondasi
pembangunan (building block) berpikir. Oleh karena itu, ketika seseorang telah
menguasai konsep, maka ia akan memiliki pondasi-pondasi pembangunan berpikir yang
kokoh. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Mundilarto (2003) bahwa tingkat
pemahaman konsep fisika yang rendah berakibat pada banyaknya kesalahan yang
dilakukan mahasiswa dalam menggunakan persamaan dan perhitungan matematis.
Beberapa peneliti juga mengakui bahwa KGS memiliki hubungan dengan
pembangunan kognisi /penguasaan konsep mahasiswa, diantaranya Yuliyanti (2016)
menemukan peningkatan yang tinggi pada KGS kesadaran akan skala besaran
diakibatkan kemampuan yang tinggi siswa dalam menerapkan konsep hukum Ohm,
Megadomani (2011) dan Maliyah et al. (2012) juga menyampaikan adanya keterkaitan
antara kemampuan matematis terhadap kemampuan kognitif.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memperoleh informasi/ gambaran bagaimana hubungan penguasaan konsep dan KGS
mahasiswa, khususnya pada pembelajaran kimia bahan pangan berbasis proyek. Dengan
diketahuinya gambaran keterkaitan antara KGS dan penguasaan konsep mahasiswa,
maka diharapkan pada masa datang akan diperoleh informasi, apakah untuk
meningkatkan KGS mahasiswa cukup dengan meningkatkan penguasaan konsepnya saja
atau sebaliknya untuk meningkatkan penguasaan konsep cukup dengan membekali
mahasiswa dengan KGS saja ataukah untuk meningkatkan keduanya diperlukan
strategi/pendekatan/ model pembelajaran tertentu.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode pre-experiment melibatkan 55 mahasiswa
calon guru di salah satu LPTK di Jawa Tengah yang dipilih melalui non random sampling.
Peneliti hanya ingin memperoleh informasi penguasaan konsep dan KGS mahasiswa,
sehingga penelitian hanya difokuskan pada satu kelompok mahasiswa. Data
penguasaan konsep dan keterampilan generic sains mahasiswa diperoleh setelah
implementasi pembelajaran kimia bahan pangan terintegrasi etnosains (PKBPTE) pada
bahan kajian karbohidrat, lemak dan protein. Butir soal tes Penguasaan konsep dan KGS
dikembangkan oleh Sumarni (2016) dan telah dinyatakan valid dan reliable melalui
proses judgement dan uji coba pada mahasiswa. Korelasi antara penguasaan konsep dan
KGS ditentukan dengan formula koefisien korelasi product moment Karl Pearson,
karena data berdistribusi normal dan homogen. Uji normalitas pada data rata-rata
penguasaan konsep dan KGS menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji
homogenitas menggunakan Levene’s test. Semua uji dilakukan menggunakan software
SPSS 20,0 for windows.
Tabel 1 Hasil pengujian statistik korelasi penguasaan konsep terhadap KGS mahasiswa
Parameter Penguas KGS Uji Uji Sig Ketera
aan Levene korel (2- ngan
Konsep asi tai
Pear le
son d)
N 55 55 0,219 0,557 0.0 Ada
Rerata 0,54 0,52 (homog ** 00 korelasi
SD 0,049 0,06 en) (seda yang
0 ng) signifika
Kolmogoro 0,849 1,05 n
v-Smirnov 9 dengan
Z tingkat
Asymp Sig 0,467 0,21 korelasi
(2 tailed) 2 sedang
Keputusan normal Nor
mal
Pengamatan Bahasa
simbolik
PENGUASAAN Hub Sebab akibat
KONSEP KGS
Logical
frame
Konsistensi logis
Gambar 1 Korelasi Penguasaan konsep terhadap KGS mahasiswa
Inferensi Pemodelan
logika
Pada Tabel 2 diperlihatkan uji beda rerata penguasaan konsep pada ketiga bahan
kajian dan keseluruhan KGS.
Tabel 2 Hasil Uji Beda Rerata N-gain antara Bahan Kajian dan KGS
Jumlah mahasiswa Hubungan KGS dan bahan kajian
(N) = 55 KGS -lemak KGS-protein KGS-Lemak
Z -0,931 -1,574 -1,592
Asymp Sig (2-tailed) 0.352 0.116 0.210
Kesimpulan Tidak Tidak Tidak
berbeda berbeda Sign berbeda Sign
Sign
Pada Tabel 2 tampak bahwa penguasaan konsep mahasiswa pada bahan kajian
lemak, karbohidrat dan protein terhadap KGS tidak berbeda secara signifikan. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Megadomani (2012) yang menunjukkan rendahnya KGS
pemodelan matematis karena kurangnya penguasaan siswa dalam hal dasar penurunan
rumus matematik. Penelitian Hidayat (n.d) juga menemukan bahwa pemahaman konsep
yang rendah berdampak pada keterampilan generik sains yang rendah pula, begitu juga
Maliyah et al. (2012) menyampaikan adanya keterkaitan antara kemampuan matematis
terhadap kemampuan kognitif. Peserta didik dengan kemampuan matematis tinggi
memperoleh prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan peserta didik dengan
kemampuan matematis rendah. Hal ini disebabkan dengan kemampuan matematik
tinggi memberi peluang kepada peserta didik untuk lebih cepat menganalisis data yang
berkaitan dengan hitungan matematis. Kemampuan matematik diperlukan untuk
mengabstraksikan kesebandingan matematis dari data analisis ke konsep dan untuk
memecahkan masalah yang memerlukan perhitungan matematis secara tepat.
Keterkaitan antara penguasaan konsep dan KGS di atas juga di dukung hasil
angket tanggapan mahasiswa yang menunjukkan sekitar 93% menyatakan setuju dan
sangat setuju pada pernyataan bahwa implementasi PKBPTE menjadikan mahasiswa
mampu memperkirakan penyebab atau akibat dari suatu fenomena/peristiwa kimia
berdasarkan konsep kimia yang telah dipahami (KGS Hukum sebab akibat) , sekitar
96% mahasiswa menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa implementasi PKBPTE
mampu menggeneralisasi/menyusun suatu kesimpulan berdasarkan fenomena-
fenomena yang diamati dan konsep kimia yang telah dipahaminya (KGS inferensi
logika), dan 93% mahasiswa menyatakan setuju dan sangat setuju jika implementasi
PK-BPTE menjadikannya mampu menginterpretasikan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip kimia secara benar. Kondisi inilah sebagai pendorong berkembangnya
berbagai keterampilan generik sains .
Contoh keterkaitan antara penguasaan konsep dengan KGS tampak juga
sebagaimana yang diungkapkan melalui inferensi logika (Sumarni, 2010). Mahasiswa
dapat menggali konsekuensi-konsekuensi logis yang dilahirkan melalui KGS inferensi
logika yang merupakan kemampuan generik untuk membuat suatu
generalisasi atau mengambil suatu kesimpulan sebagai akibat logis dari
teori-teori atau konsep-konsep yang ada sebelumnya. Jadi , KGS inferensi
logika mahasiswa akan meningkat jika penguasaan konsepnya juga tinggi.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Agustianingsih et al, (2014) bahwa
keterampilan generik adalah salah satu keterampilan yang harus dicapai oleh
mahasiswa melalui penguasaan kompetensi yang diterima oleh mahasiswa. Hasil
penelitian Badcock et al. (2010) terkait pengembangan keterampilan generik
memperoleh hasil bahwa keterampilan generik mahasiswa meningkat seiring dengan
kemajuan yang dicapai dalam studi yang ditempuh.
UCAPAN TERIMA-KASIH
Terima-kasih penulis ucapkan kepada para mahasiswa peserta mata kuliah Kimia Bahan
Pangan atas kesediaan, partisipasi dan kerjasamanya dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinaningsih, W., Sarwanto, & Suparmi. 2014. Pengembangan instruksi praktikum
berbasis keterampilan generik sains pada pembelajaran fisika materi teori
kinetik gas Kelas XI IPA SMA Negeri 8 Surakarta tahun ajaran 2012/2013. Jurnal
Inkuiri 3(1), 50-61
Badcock, P. B. T., Pattison, P. E. & Harris, K. L., (2010). Developing generic skills through
university study:a study of arts, science and engineering in Australia. Higher
Education , Volume 60, pp. 441-458.
Brotosiswojo, S., (2001). Hakekat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Kimia di
Perguruan Tinggi.. Jakarta: : PAU-PPAI.
Dahar, R. W. (2011). Teori-teori Belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Gallagher, J., (2007). Teaching Science for Understanding: A Practical Guide for School
Teachers.,. New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall. ..
Hidayat, R. (.n.d.) Implementasi pendekatan pembelajaran berbasis tantangan untuk
meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generic sains siswa SMP
UMUM
Abstrak
Tracer study merupakan kegiatan yang sangat banyak membutuhkan waktu dan biaya.
Tingkat kesulitan untuk mencari data para alumni di berbagai kota sangat sulit. Kemajuan di
bidang teknologi web diharapkan bisa membantu mengatasi masalah tracer study ini. Untuk
itu perlu analisis kebutuhan dan proses pengembangan sistem informasi tracer study
khususnya di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA UNNES. Permasalahannya, (1) bagaimana
mengembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang
perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang, (2)
bagaimana tata aturan berkaitan pengembangan sistem informasi berbasis web untuk tracer
study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas
Negeri Semarang, Untuk melakukan pengembangan sistem ini, dilakukan dengan Model
R&D. Model ini dilakukan dengan langkah (1) melakukan pendefinisian sistem, (2)
melakukan pembuatan desain sistem informasi, (3) melakukan pengembangan sistem, (4)
melakukan evaluasi sistem.
Penelitian ini telah (1) dikembangkan aplikasi tracer study yang dikembangkan dengan
Model R&D (2) Aplikasi ini sudah bisa digunakan untuk menggali informasi berkaitan
alumni.
PENDAHULUAN
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menyentuh di
segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari dunia bisnis sampai dunia pendidikan
sangat merasakan kebermanfaatannya. Sejalan dengan perkembangan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) tersebut, maka teknologi komputer sangat pesat,
sehingga keunggulan komputer tidak hanya terbatas pada kemampuan mengolah data,
tetapi lebih dari itu komputer dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan komputer dapat menjalankan informasi yang berbasiskan komputer maka data
yang masuk akan diolah secara tepat, akurat, mudah dalam mengaksesnya.
Selain sarana untuk menyajikan informasi, komputer dapat dimanfaatkan di
berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Pemanfaatan komputer sudah tidak
berkembang tidak hanya sebagai alat yang hanya dipergunakan untuk membantu
urusan keadministrasian saja, melainkan juga sangat dimungkinkan untuk digunakan
sebagai salah satu alternatif dalam pembuatan sistem penilaian administrasi akreditasi
instirusi perguruan tinggi.
Dalam penilaian akreditasi untuk setiap pendidikan tinggi di nilai oleh asesor.
Asesor ini adalah tenaga pakar pada bidang ilmu, bidang studi, profesi, dan atau praktisi
yang mewakili BAN-PT dalam penilaian akreditasi program studi. Dalam penilaian,
asesor mempunyai dua tahap penilaian yaitu : (1) penilaian terhadap borang dan atau
portfolio program studi/institusi yang disampaikan oleh program studi beserta
lampiran-lampirannya melalui pengkajian "di atas meja" (desk evaluation) , (2) penilaian
di lapangan (visitasi) untuk validasi dan verifikasi hasil desk evaluation, dan melakukan
penilaian di tempat kedudukan program studi/institusi.
Salah satu point penilaian adalah bagaimana program studi dalam menelusur
para alumninya atau disebut dengan tracer study. Tracer study merupakan kegiatan yang
sangat banyak membutuhkan waktu dan biaya. Tingkat kesulitan untuk mencari data
para alumni di berbagai kota sangat sulit. Teknologi jaringan sosial dan kemajuan di
bidang teknologi web dapat membantu untuk kegiatan tracer study ini.
Untuk mendukung sistem tracer study secara manual, maka perlu dikembangkan
sistem tracer study dengan berbantuan komputer dengan mengembangkan web. Dengan
adanya sistem ini diharapkan Jurusan Ilmu Komputer dapat mengambil data berkaitan
tracer study dengan lebih mudah.
Hasil dari sistem dapat menunjukkan data alumni baik keberadaannya maupun
tempat bekerjanya secara up to date. Data alumni yang di sampaikan untuk mengisi
borang menjadi mudah dan valid. Sehingga hasilnya ini dapat digunakan sebagai
rujukan program studi untuk memperbaiki point point yang kurang, terutama pada
point penelusuran alumni, yang pada akhirnya akreditasi dengan nilai “A” dapat diraih
dengan mudah.
Sistem ini sangat dibutuhkan bagi pengelola Jurusan Ilmu Komputer, karena
merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberikan informasi kepada alumni dan
umpan balik alumni terkait dengan data alumni secara up to date. Dalam
perkembangannya, sistem ini merupakan pengenbangan dari website jurusan yang
perlu ditingkatkan fasilitasnya dan kelengkapan informasinya guna mendukung kinerja
Jurusan Ilmu Komputer dan kemudahan dalam mengakses informasi, sehingga perlu
adanya penelitian dan pengembangan (research and development).
Permasalahan utama yang dikaji dalam artikel ini adalah sebagai berikut.
Bagaimana Analisis Perancangan Sistem Informasi Tracer Study pada Jurusan Ilmu
Komputer? Dari permasalahan utama tersebut, dapat disusun sub-sub permasalahan
sebagai berikut. (1) Bagaimana mengembangkan sistem informasi berbasis web untuk
tracer study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA
Universitas Negeri Semarang? (2) Bagaimana tata aturan berkaitan pengembangan
sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data
alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang?
Tujuan utama penelitian ini: Tersusun prototip Sistem Informasi Tracer Study
pada Jurusan Ilmu Komputer. Dari tujuan utama tersebut, dapat disusun sub-subtujuan
sebagai berikut. (1) Untuk mengembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer
study guna menunjang perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA
Universitas Negeri Semarang. (2) Untuk membuat tata aturan berkaitan pengembangan
sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang perbaikan data
alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Sistem Informasi
Sistem, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perangkat unsur yang
secara beratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, sedangkan,
informasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keseluruhan makna yang
menunjang amanat yang terlihat di bagian-bagian amanat itu.
Menurut Ferdinand Magaline (2007) sistem pada dasarnya adalah
sekelompok unsur yang saling berhubungan erat dan bersama-sama bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu. Sedangkan informasi secara umum didefinisikan dengan hasil
dari pengolahan data ke dalam bentuk yang lebih berguna. Jadi dapat disimpulkan
bahwa definisi sistem informasi secara umum adalah suatu sistem yang menyediakan
informasi bagi semua golongan dari organisasi tersebut.
Tracer Study
Studi penelusuran (tracer study) merupakan bagian penting dari aktivitas sebuah
lembaga pendidikan. Melalui penelusuran lulusan akan diperoleh berbagai informasi
penting yang sangat bermanfaat bagi lembaga pendidikan yang bersangkutan, bagi para
lulusan, dan juga lembaga-lembaga lain yang terkait dengan penyelenggaraan
MySQL
MySQL adalah sebuah software yang Open Source. sehingga bebas dipakai dan
dimodifikasi oleh semua orang. Setiap orang dapat mendownload MySQL dari internet
dan menggunakannya tanpa perlu membayar.
Dengan karakteristik MySQL tersebut diatas maka dapat memberikan kelebihan
sebagai berikut:
1. Menghemat waktu proses pengisian data.
2. Menghemat waktu proses pengambilan data.
3. Proses pengambilan data lebih fleksibel.
Data dapat diakses secara bersama oleh lebih dari satu pengguna pada waktu
yang bersamaaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA UNNES. Tahapan
penelitian ini sesuai dengan tahapan pengembangan sistem model R&D (Trianto, 2007).
a. Tahap Pendefinisian
Tahap ini merupakan tahap pendefinisian dan syarat-syarat dari sistem yang akan
dibangun setelah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan.
b. Tahap Perencanaan
Tahap ini merupakan tahap membuat prototipe dalam bentuk desain. Desain yang
dibuat meliputi perancangan kerangka sistem informasi, perancangan tracer study,
perancangan aturan, perancangan proses, dan perancangan antarmuka.
c. Tahap Pengembangan
Tahap ini merupakan tahap implementasi sistem berdasarkan desain yang telah
dibuat pada tahap sebelumnya dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP.
d. Tahap Penyebaran.
Tahap ini merupakan tahap pengujian sistem dengan mengukur hasil
pengembangan system.
SIMPULAN
Telah dikembangkan sistem informasi berbasis web untuk tracer study guna menunjang
perbaikan data alumni di Jurusan Ilmu Komputer FMIPA Universitas Negeri Semarang.
SARAN
Agar manfaat hasil penelitian ini lebih optimal maka perlu diteruskan dengan penelitian
lanjutan dengan membuat sistem informasi Tracer Study berbasis Android.
REFERENSI
Hardjono, D. (Ed). 2006. Seri Panduan Lengkap Menguasai Pemrograman Web dengan
PHP 5. Yogyakarta: ANDI.
Kadir, A. 2008. Tuntunan Praktis: Belajar Database Menggunakan MySQL. Yogyakarta:
ANDI.
MADCOMS. 2004. Aplikasi Program PHP dan MySQL untuk Membuat Website Interaktif.
Yogyakarta: ANDI.
Magaline, Ferdinand. 2013. Sistem Informasi. Jurnal SI
Nugroho, B. 2007. Latihan Membuat Aplikasi Web PHP dan MySQL dengan Dreamwaver
MX (6, 7, 2004) dan 8. Yogyakarta: Gava Media.
Peranginangin, K. 2006. Aplikasi Web dengan PHP dan MySQL. Yogyakarta: ANDI
Purbo, O.W. 2006. Buku Sakti Menjadi Programmer Sejati PHP. Jakarta: Solusi Media.
Saputro, W. 2005. MySQL Untuk Pemula. Yogyakarta: Pena Media
Sidik, B. 2005. MySQL untuk Pengguna, Administrator, dan Pengembang Aplikasi Web.
Bandung: INFORMATIKA.
Schomburg, Harald (2003). Handbook for Graduate Tracer Study. Moenchebergstrasse
Kassel, Germany:Wissenschaftliches Zentrum für Berufs-und
Hochschulforschung, Universität Kassel
Sudijono, A. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Suhud, H. 2004. Pengembangan Template Sistem Evaluasi Pembelajaran Berbasis Web
(Skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang
Sunarfrihantono, B. 2002. PHP dan MySQL untuk Web. Yogyakarta: ANDI
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk melihat pengaruh perangkat perkuliahan dengan menggunakan
strategi metakognitif dalam membentuk kemandirian belajar mahasiswa. Penelitian ini
dilakukan pada mahasiswa semester II Prodi PGSD Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Cirebon T.A 2016/2017 pada mata kuliah Konsep Dasar
Matematika. Pengaruh perangkat perkuliahan dengan menggunakan strategi metakognitif
dapat dilihat dari hasil pengamatan kemandirian belajar mahasiswa. Data dianalisis
menggunakan uji-t untuk mengetahui pengaruh penggunaan strategi metakognitif terhadap
kemandirian belajar. Hasil uji-t pada pembelajaran konsep dasar matematika materi
geometri ruang dengan menggunakan strategi metakognitif terhadap kemandirian belajar
adalah sebesar 4,465 > 2,027 maka penggunaan strategi metakognitif dianggap berpengaruh
terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang tatangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia memasuki era
globalisasi maka perlu dipersiapkan kegiatan pendidikan yang mampu membekali
peserta didik dalam menghadapi tantangan hidup di masa depan, yaitu
menyelenggarakan pendidikan yang tanggap terhadap era globalisasi. Untuk
menghadapi tantangan tersebut, maka perlu melatih peserta didik agar mampu belajar
secara mandiri dan berkembang kemampuan bernalar serta berpikirnya (Depdikbud,
2006).
Tantangan dan permasalahan serius yang sering ditemui pada tingkat
perguruan tinggi adalah belajar secara mandiri. Sejalan dengan ini permasalahan
akademik yang sering muncul berdasarkan pengalaman dan kegiatan observasi
terhadap proses pembelajaran pada mata kuliah konsep dasar matematika di semester
dua Prodi PGSD adalah (1) rendahnya keinginan mahasiswa untuk membahas soal dan
bertanya di kelas, (2) kecenderungan mahasiswa hanya menerima materi dari dosen
tanpa usaha untuk mempelajari atau mencari informasi sendiri, dan (3) jika ada tugas
latihan atau pekerjaan rumah saling mencontek, serta permasalahan lainnya.
Permasalahan tersebut diduga terjadi karena rendahnya kemandirian belajar
mahasiswa pada saat perkuliahan. Ketercapaian kemandirian belajar mahasiswa
dipengaruhi oleh pelaksanaan proses perkuliahan.dalam pelaksanaannya tentu
diperlukan strategi yang tepat, sehingga digunakan strategi metakognitif agar dapat
mengatasi permasalahan tersebut diatas. Sehingga dirumuskan tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh strategi metakognitif terhadap
kemandirian belajar mahasiswa PGSD UMC
Schneider (Murtadho, 2013) strategi metakognisi merupakan proses yang
berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan bahwa
tujuan kognitif telah tercapai. Metakognitif memiliki empat karakteristik sebagaimana
dikemukakan oleh Buron (Kamaluddin dan Sulisworo, 2016), yaitu: (1) mengetahui
tujuan yang ingin dicapai, (2) memilih strategi untuk mencapai tujuan, (3) mengamati
proses pengembangan pengetahuan diri sendiri, untuk melihat apakah strategi yang
dipilih sudah tepat, (4) mengevaluasi hasil untuk mengetahui apakah tujuan sudah
tercapai.
Hatler (Murtadho, 2013) mengelompokan indikator strategi metakognitif
menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kesadaran, meliputi kesadaran mengidentifikasi apa
yang diketahui dan menentukan tujuan belajar; (2) perencanaan, meliputi kegiatan
memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, membuat checlis
tentang aktivitas yang perlu dilakukan, mengorganisasikan materi, dan mengambil
langkah yang yang perlu dilakukan; dan (3) pemantauan atau refleksi, meliputi
kegiatan mengawasi proses belajar, memantau belajar dengan pertanyaan sendiri,
member umpan balik, serta menjaga motivasi dan konsentrasi. Samuels (2005)
menyatakan metakognisipun melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang
tentang aktivitas kognitifnya sendiri, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan
aktivitas kognitifnya.
Berdasarkan definisi mengenai strategi metakognisi diatas dapat disimpulkan
strategi ini mampu menggiring siswa menjadi lebih mandiri dalam belajar.
Yang (Sumarmo, 2006) menyatakan bahwa siswa yang memiliki kemandirian
belajar yang tinggi memiliki ciri; cenderung belajar lebih baik dalam pengawasannya
sendiri daripada pengawasan program serta mampu mengatur belajarnya secara
efektif dan efisien. Haris Mujiman (Aini dan Taman, 2012) mejelaskan definisi
kemandirian belajar dapat diartikan sebagai sifat serta kemampuan yang dimiliki
siswa untuk melakukan kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh motif untuk
menguasai suatu kompetensi yang telah dimiliki. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa
yang memiliki kemandirian belajar adalah siswa yang dapat merencanakan mengelola
kegiatan belajarnya dengan baik untuk mencapai kompetensi yang di inginkan.
Peraturan menteri nomor 41 Tahun 2007 menjelaskan bahwa sikap
kemandirian belajar atau sikap yang dimiliki individu untuk belajar dengan inisiatif
sendiri dalam upaya menginternalisasi pengetahuan tanpa tergantung atau mendapat
bimbingan langsung dari orang lain. Berikut lebih lanjut mengenai indikator
kemandirian belajar yang dikemukakan oleh Hidayati dan Listyani (Sunanto, 2014)
yaitu: (1) ketidaktergantungan terhadap orang lain, (2) memiliki kepercayaan diri, (3)
berperilaku disiplin, (4) memiliki rasa tanggung jawab, (5) berperilaku berdasarkan
inisiatif sendiri, dan (6) melakukan kontrol diri.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan strategi metakognitif pada
mahasiswa semester dua Prodi PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) Tahun
Akademik 2016/2017 di mata kuliah konsep dasar matematika materi geometri ruang.
Penelitian ini bersifat asosiatif untuk mengetahui apakah ada pengaruh strategi
metakognitif terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD UMC pada mata kuliah
konsep dasar matematika materi bangun ruang. Rancangan penelitian ini menggunakan
desain true experimental pola pretest-posttest control group design yaitu terdapat dua
kelompok yang dipilih secara random kemudian diberi pretest untu mengetahui
keadaan awal antara kelompok eksperimen berjumlah 30 mahasiswa dan kelompok
kontrol berjumlah 32 mahasiswa. Setelah itu diberi posttest untuk mengetahui hasil
kemandirian belajar mahasiswa setelah mendapat perlakuan. Desain penelitian pola
pretest-posttest control group design dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
pretest-posttest control group design
Kelompok R O1 X O2
Eksperimen
Kelompok R O3 O4
Kontrol
(Sugiyono, 2010)
Tabel 3.
Hasil Uji Homogenitas Kelas Kontrol
dan Kelas Eksperimen
Varian Varian Ftabel
Fhitung Ket
Terbesar Terkecil (db=n-1)
91,99 82,99 1,108 2,15 Varian Homogen
Sumber: Data diolah, 2017
Tabel 4.
Hasil Uji Perbedaan Rata-rata
Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
X1 X2 S21 S22 thitung ttabel Ket
80,9 63,5 132,04 171,79 4,465 2,027 Ha : Diterima
Sumber: Data diolah, 2017
Pada Tabel 4 diatas lambang 1 menandakan data dari kelas ekspermen dan
lambang 2 menandakan data dari kelas kontrol. Sehinga dapat diketahui bahwa pada
kelas eksperimen X= 80,9, S2 = 132,04 dan pada kelas kontrol diketahui X = 63,5, S2 =
171,79. Dengan n1 = 20, n2 = 20, maka diperoleh thitung = 4,465 dan diperoleh ttabel = 2,027.
Ternyata uji perbedaan rata-rata diperoleh thitung > ttabel atau 4,465 > 2,027 maka sesuai
dengan kriteria pengujiannya Ha diterima. Artinya ada perbedaan nilai rata-rata antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol, dengan kata lain strategi metakognitif berpengaruh
positif terhadap kemandirian belajar mahasiswa PGSD.
PENUTUP
Berdasarkan data penelitian yang didapat bahwa kelas kontrol dan kelas eksperimen
berasal dari kemampuan awal yang sama. Sedangkan pada hasil analisis data post-test
memperoleh thitung > ttabel atau 4,465 > 2,027 maka sesuai dengan kriteria pengujiannya
dapat disimpulkan Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata
antara kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah kelas eksperimen mendapat
perlakuan dengan strategi metakognitif dan kelas kontrol dengan metode diskusi.
Dengan kata lain, strategi metakognitif berpengaruh positif terhadap
kemandirian belajar mahasiswa PGSD Universitas Muhammadiyah Cirebon pada mata
kuliah konsep dasar matematika materi Bangun Ruang.
REFERENSI
Aini, P.N dan Taman, A. 2012. Pengaruh Kemandirian Belajar dan Lingkungan Belajar
Siswa Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Sewon
Bantul Tahun Akademik 2010/2011. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. X,
No.8.
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Guru SD/MI Lulusan S-1 PGSD. Jakarta: Depdiknas.
Hidayati, K & Listyani, E. 2007. Improving Instruments of Students Self-Regulated
Learning. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Kamaluddin dan Sulisworo, D. 2016. Pengaruh Penggunaan Strategi Metakognitif untuk
Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa. Paper Presented at the Pertemuan
Ilmiah XXX HFI Jateng & DIY.
Murtadho, F. 2013. Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi: Alternatif Sarana
Pengoptimalan Latihan Menulis Argumentasi. Paper Presented at the 2nd
International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE).
Samuels, S.Jay, Kari Ann. 2005. Role of Autometicity in Metakognition Literacy
Instruction. Handbook. New Jersey. University of Minnesota Twin Cities, Vol.3, No.4.
Sugiyono (2010) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan ke-10.
Bandung: Alfabeta.
Sumarmo, U. 2006. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan
pada Peserta Didik. Bandung. FMIPA UPI.
Sunanto, L. 2014. Pengembangan Strategi Meta-Think-Pair-Share untuk Meningkatkan
Kemandirian Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Journal of Primary Education Vol. 3,
No.1.
Abstrak
Pendidik merupakan amanah yang amat strategis dalam menunjang proses dan hasil
pendidikan secara keseluruhan. Bahkan pendidik sebagai gerbang awal yang representatif
dalam kondisi dan kinerja pendidikan. Pengaruh positif pendidik di dalam kelas amat sangat
penting untuk menjawab tantangan pendidikan dan memandu pemikiran peserta didik yang
masih sangat membutuhkan bimbingan menuju pengembangan potensi dirinya. Pendidik
bukan hanya transfer of knowledge akan tetapi juga mendidik terkait dengan nilai-nilai,
dimana memberikan, menanamkan, dan menumbuhkan nilai pada peserta didik. Maka dari
itu, kinerja pendidik berdasar pada kompetensi dan berlandaskan kualitas kepribadian yang
harus dapat terwujudkan secara nyata. Kompetensi pendidik dapat mewujudkan
kemampuannya dalam kualitas kepribadian untuk berinteraksi dengan lingkungan
pendidikan agar kebutuhan dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif. Well Being
pendidik berkaitan dengan bagaimana seorang pendidik mampu berfungsi positif secara
psikologis dalam hidupnya, yang diukur dari enam aspek yaitu penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup serta
pertumbuhan pribadi. Well Being pendidik dapat meningkatkan kesadaran kinerjanya lebih
tinggi dalam kompetensi dan kewajibannya menjadi seorang pendidik. Akan lebih baik jika
well being yang dimiliki pendidik lebih terarah dan terstruktur dengan dikelola sesuai fungsi
manajemen. Dengan memiliki well being seorang pendidik dapat berinteraksi dan
berkomunikasi dengan baik terhadap peserta didiknya.
PENDAHULUAN
Pendidikan karakter merupakan tujuan dari pendidikan nasional di Indonesia
seperti yang tertuang dalam Undang-undang no. 20 tahun 2003 bahwa Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Namun pendidikan saat ini dianggap belum mampu sepenuhnya
membentuk karakter peserta didik karena proses pembelajaran yang berorientasi pada
akhlak dan moralitas serta pendidikan agama cenderung bersifat transfer of knowledge
dan kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak
kehidupan sehari-hari.
Komponen pendidikan yang sangat menetukan keberlangsungan pendidikan
adalah pendidik. Pendidik sangat berperan dalam membantu peserta didik untuk
mengembangkan berbagai kemampuan seperti kemampuan kognitif, sosial dan
emosionalnya. Dalam berbagai kesempatan seorang pendidik dapat mengembangkan
berbagai keterampilan yang diperlukan oleh peserta didik agar peserta didik dapat
mengamalkan nilai-nilai yang dianut dan dijadikan bekal sehingga berperilaku
konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Kemampuan kognitif yang ditanamkan
menjadi harapan bahwa peserta didik dapat berpikir kritis, berpikir kreatif,
berkomunikasi secara jelas, menemukan resolusi konflik, bertindak asertif dalam
masyarakat. Seorang pendidik dituntut untuk kreatif, kreatifitasnya memberikan
semangat yang kuat buat peserta didiknya.
Kemampuan sosial yang ditanamkan menjadi harapan bahwa peserta didik dapat
mengatasi berbagai masalah dalam masyarakat dan memiliki kepekaan sosial sehingga
peserta didik mampu mengaplikasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat dasar
yang harus dimiliki objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kokoh dalam pendirian, dan berani mengakui kesalahan ( Darmiyati Zuchdi, 2009: 128).
Kemampuan emosional yang ditanamkan menjadi harapan bahwa peserta didik
mampu mengelola emosi. Mengelola emosi berupa mengatasi masalah diri sendiri dan
mengatasi masalah orang lain ( Darmiyati Zuchdi, 2009: 160-161).
Rusting & Larsen (1997) dalam studinya menemukan bahwa seorang yang
gembira dan yang sedang sedih, akan menghasilkan reaksi yang berbeda terhadap
stimulus yang sama. Orang yang mempunyai perasaan gembira akan lebih tertarik
dengan gambar yang positif dari pada yang negatif, akan tetapi sebaliknya. Orang yang
mempunyai perasaan sedang sedih lebih tertarik dengan gambar yang negatif dari pada
yang positif. Kondisi tersebut menjelaskan mengenai pengaruh dari kepribadian
seseorang dalam subjectif well being.
Pendidik harus selalu tampil prima dan berpandangan positif dalam menghadapi
kondisi seburuk apapun. Pendidik bagian dari pendidikan, pendidikan pribadi
merupakan landasan atau modal utama dalam pembinaan terhadap keluarga, lembaga
(sekolah), dan masyarakat. Betapa pentingnya pendidikan pribadi dalam hal ini bagi
pendidik sebelum melakukan pembinaan terhadap peserta didik. Dalam Islam
menekankan tentang pendidikan pribadi atau aktualisasi diri, seperti dalam potongan
ayat al Qur’an surat Al Baqarah ayat 44, yang artinya: “ Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaikan sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri...”
Penerimaan diri, dengan penerimaan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya
sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dirinya dalam menghadapi peserta
didik. Pendidik sebagai individu yang mempunyai kemampuan dalam memahami
dan menerima kemampuan diri termasuk didalamnya kualitas baik maupun buruk
dirinya, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap
kehidupan yang dijalaninya. Mampu menjalin hubungan positif dengan orang
lain, terutama dengan peserta didik mampu membina hubungan yang hangat dan
penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta
memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi.
Sebaliknya, pendidik sebagai individu yang rendah dalam hubungan positif
terhadap orang lain, terisolasi dan membina hubungan yang baik interpersonal, tidak
berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain
(Ryff, 1995). Otonomi, pendidik yang mempunyai kemampuan untuk mengatur hidup
dan tingkah lakunya. Pendidik yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan
bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur
perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu
mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur
tangan orang lain.
Penguasaan lingkungan (environmental mastery), penguasaan lingkungan
digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol
lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan
lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Pendidik
dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk
mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan
yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhan pribadi.
Tujuan dalam hidup (purpose of life), tujuan hidup memiliki pengertian individu
memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan
bahwa seorang pendidik mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan merasa bahwa
pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Pendidik yang
tinggi dalam aspek ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup,
merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki
keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup.
Pertumbuhan pribadi (personal growth), pendidik yang tinggi dalam aspek
pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai anggapan yang baik
dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang,
tidak menutup diri terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan
dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi
pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang
lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.
Pendidik yang memiliki aspek-aspek seperti dipaparkan di atas akan mampu
mendidik, membimbing, membina, dan membawa peserta didiknya menjadi manusia
yang tangguh, cerdas, kreatif dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pendidik akan
dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan keprofesionalannya dan dapat mewujudkan
tujuan dari pendidikan nasional.
PEMBAHASAN
Dalam upaya menuju masa depan pendidikan bermutu yang lebih efektif dan
efisien, pendidikan memberikan berbagai kontribusi baik dibidang pendidik, peserta
didik, metode, materi, kurikulum dan lain-lain. Setiap komponen itu saling berkaitan dan
berkesinambungan sampai mencapai suatu tujuan pendidikan. Untuk memaksimalkan
perannya setiap komponen mempunyai cara tersendiri dalam satuan pendidikan
tersebut. Komponen pendidik yang mempunyai peran sangat penting untuk
keberlangsungan jalannya pendidikan. Maka dari itu, pendidik sebagai tenaga
profesional yang bertugas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi
pembelajaran. Menurut Megarry dan Dean, bahwa pendidik wajib mengembangkan
keprofesionalannya agar dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas,
karena pendidikan di masa yang akan datang menuntut keterampilan profesi
pendidikan yang bermutu (Abdul Hadi dan Nurhayati, 2010: 5).
Kadang terlalu banyaknya tugas pendidik dalam merencanakan, melaksanakan
dan mengevaluasi pembelajaran yang dialami pendidik sehingga merasa letih, jenuh,
cemas, yang akhirnya tidak bertanggung jawab. Untuk mengatasi masalah tersebut
perlunya sikap positif yang dimiliki oleh seorang pendidik. Well being menawarkan
sikap positif yang efektif untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan kejiwaan.
pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri
seseorang.” Misi Seligman adalah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi
patogenis yang hanya berkisar ada kekurangan manusia menjadi psikologi positif,
yang berfokus pada kelebihan manusia.
2. Implementasi Aspek Well-Being
Seorang pendidik menampilkan jati dirinya sebagai seorang yang patut menjadi
contoh dan suri tauladan tidak hanya dalam lingkungan sekolah bahkan lebih luas
lagi yaitu di lingkungan masyarakat, karena dia sebagai model yang patut untuk
ditiru. Implementasi aspek well being merupakan bentuk pengembangan diri bagi
pendidik Aspek well being menurut Ryff (2005: 6) menghasilkan suatu model
kesejahteraan dalam bentuk multidimensi yang terdiri atas enam fungsi psikologis
positif, yaitu: Penerimaan diri, Penerimaan bukan berarti pendidik bersikap pasif
atau pasrah, akan tetapi pemahaman yang jelas akan peristiwa yang terjadi
sehingga individu dapat memberikan tanggapan secara efektif (dalam Lopez, 2007:
642). Berarti seorang pendidik mampu memberikan pemahaman yang jelas kepada
peserta didik dan mendapat tanggapan positif dari muridnya sebagai bentuk
apresiasi terhadap apa yang diberikannya.
Hubungan positif dengan sesama, Diener dan Seligman menemukan bahwa
hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, akan tetapi tidak
cukup untuk membuat subjective well-being seseorang tinggi. Dalam aspek ini,
pendidik selalu menjalin komunikasi yang baik kepada siapa saja dan dapat
mengembangkan sifat-sifat yang baik kepada semua warga sekolah. Serta
mempunyai sifat empati, data penelitian menunjukkan bahwa empati merupakan
kekuatan yang hebat untuk mencapai kebaikan. Pendidik yang mmemiliki tingkat
empati yang tinggi dapat mengmbangkan kemampuan akademik yang lebih besar
kepada muridnya. Carl Rogers mengatakan bahwa empati merupakan alat yang
paling efektif untuk membantu perkembangan pribadi dan meningkatkan hubungan
serta komunikasi dengan orang lain.
Autonomi, Ciri utama dari seorang pendidik yang memiliki autonomi yang baik
antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan
mandiri. Seorang pendidik mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan
campur tangan orang lain mampu memandang dari kaca mata positif. Selain itu,
pendidik memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur
tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standard
personal.
Penguasaan lingkungan, Seorang pendidik yang baik dalam aspek penguasaan
lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan.
Pendidik dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di
lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-
hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih
dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.
Sebaliknya seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan
mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk
mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap
kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap
lingkungan.
Tujuan dalam hidup, Seorang pendidik yang mempunyai komitmen dalam
mengejar tujuan hidupnya, dia akan dapat memahami makna hidup dan mampu
mengatasi masalah. Jika pendidik memiliki tujuan dalam hidupnya maka akan
memahami dengan jelas tugasnya, memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai
tujuannya, dan yakin akan dapat melakukan suatu perubahan hidupnya. Hal itu
memiliki arti pada masa sekarang dan masa lalu dalam kehidupan. Sedangkan
orang yang komitmen dalam hidupnya kurang maka dia tidak mampu
memaknai hidup.
Pertumbuhan pribadi, Pribadi pendidik yang mampu berfungsi sepenuhnya
adalah pribadi yang mempunyai locus of control sebagai alat evaluasi, dimana
seseorang tidak melihat orang lain untuk mendapatkan persetujuan, tetapi
mengevaluasi diri dengan menggunakan standard pribadinya.
terhadap kepuasan pada domain tertentu adalah suatu penilaian yang dibuat
seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik
dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga.
Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah. Evaluasi terhadap
kepuasan hidup secara global merupakan refleksi dari persepsi seseorang terhadap
hal-hal yang ada dalam hidupnya, ditambah dengan bagaimana kultur
mempengaruhi pandangan hidup yang positif dari seseorang.
5. Komponen aktif
Secara umum, komponen aktif subjective well-being merefleksikan pengalaman
dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-
tipe dari reaksi afektif yang ada seorang peneliti dapat memahami cara seseorang
mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen afektif well-being
dapat dibagi menjadi:
a. Afek positif (positive affect)
Afek positif mempresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan seperti
kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari well-being
karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap
peristiwa- peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa
yang diinginkan. Afek positif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti tertarik
atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited), kuat (strong),
antusias (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert), bangga (proud),
bersemangat (inspired), penuh tekad (determined), penuh perhatian (attentive),
dan aktif (active).
b. Afek negatif (negatif affect)
Afek negatif adalah pravelensi dari emosi dan mood yang tidak menyenangkan
dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya
terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan, dan peristiwa yang mereka alami. Afek
negatif terlihat dari emosi-emosi spesifik seperti sedih atau susah (distressed),
kecewa (disappointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile),
lekas marah (irritable), malu (shamed), gelisah (nervous), gugup (jittery),
khawatir (afraid).
6. Faktor yang Mempengaruhi Well-Being
Menurut Pavot dan Diener (dalam Linely dan Joseph, 2004: 681) faktor-faktor
yang mempengaruhi subjective well-being adalah: Perangai/watak, watak seorang
dapat diinterpretasikan sebagai sifat dasar dan universal dari kepribadian, dianggap
menjadi yang paling dapat diturunkan, dan ditunjukkan sebagai faktor yang stabil di
dalam kepribadian seseorang. Sifat, Sifat ekstrovert berada pada tingkat
kebahagiaan yang lebih tinggi karena mempunyai kepekaan yang lebih besar
terhadap imbalan yang positif atau mempunyai reaksi yang lebih kuat terhadap
peristiwa yang menyenangkan.
Menurut Ngalim Purwanto (Heri Jauhari Muchtar, 2005:152), bahwa sikap dan
sifat pendidik hendaknya: adil (tidak membedakan dan pilih kasih), percaya dan
suka pada murid-muridnya, sabar dan rela berkorban, memiliki wibawa terhadap
peserta didiknya, penggembira, bersikap baik sama pendidik yang lain, bersikap baik
sama masyarakat, menguasai materi, menyenangi pelajaran yang diberikan, dan
berpengetahuan luas. Karakter pribadi lain, Karakter pribadi lain seperti
optimisme dan percaya diri berkaitan dengan subjective well-being. Orang yang
lebih optimis tentang masa depannya didapat merasa lebih bahagia, tidak mudah
menyerah dan puas atas hidupnya dibandingkan dengan orang pesimis yang mudah
menyerah dan putus asa jika suatu hal terjadi tidak sesuai dengan keinginannya.
Hubungan sosial, hubungan yang positif dengan orang lain berkaitan dengan
subjective well-being, karena dengan adanya hubungan yang positif tersebut akan
mendapat dukungan sosial dan kedekatan emosional. Pada dasarnya kebutuhan
untuk berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu kebutuhan
bawaan. Pendapatan, Dari survei diketahui, 96 persen orang mengakui bahwa
kepuasan hidup bertambah seiring meningkatnya pendapatan pribadi maupun
negara bersangkutan. Meski demikian bahwa ketimbang uang, perasaan bahagia
lebih banyak dipengaruhi faktor lain seperti merasa dihormati, kemandirian,
keberadaaan teman serta memiliki pekerjaan yang memuaskan.
Pengangguran, adanya masa pengangguran dapat menyebabkan berkurangnya
subjective well-being, walaupun akhirnya orang tersebut dapat bekerja kembali.
Pengalaman menganggur adalah penyebab adanya ketidakbahagiaan, namun perlu
diperhatikan bahwa tidak semua pengangguran mengalami ketidakbahagiaan.
Pengaruh sosial/budaya, pengaruh masyarakat bahwa perbedaan subjective
well-being dapat timbul karena adanya perbedaan budaya dalam suatu negara. Ia
menerangkan lebih lanjut bahwa pengaruh sosial dapat menimbulkan subjective
well-being yang tinggi karena kebiasaan yang dianut dalam suatu negara yang kaya
menghargai hak asasi manusia, memungkinkan orang yang hidup disitu untuk
berumur panjang dan memberikan demokrasi. Aspek budaya terdapat 2 bagian yaitu
budaya progresif dan budaya ekspresif. Budaya progresif tercermin dalam kemauan
untuk maju dan berkembang, disamping itu dalam rangka pemenuhan kebutuhan
secara efisiensi berdasarkan pemikiran secara rasional dan logis. Sedangkan budaya
ekspresif yang diwarnai oleh nilai agama dan nilai estetik yang berdasarkan
perasaan, intuisi, imajinasi, dan kepercayaan (Darmiyati Zuchdi, 2009: 186).
7. A sense of meaning and purpose to life (Pemahaman tentang arti dan tujuan hidup)
Kedua variabel tersebut diukur sebagai religiusitas dalam subjective well-being.
Agama memberikan perasaan bermakna bagi pendidik di samping juga dukungan
sosial dan meningkatkan self esteem melalui proses verifikasi diri ketika individu
berhubungan dengan individu lain untuk berbagi cerita.
SIMPULAN
Salah satu landasan pendidikan adalah psikologis. Landasan psikologis merupakan
landasan psiko-fisik seseorang sebagai individu maupun anggota masyarakat, yang
dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya.
Pendidik bagian dari komponen pendidikan yang sangat berperan karena pendidik yang
berinteraksi langsung dengan peserta didik. Well being pendidik sangat membantu
terciptanya jalinan interaksi yang harmonis baik antar pendidik dengan peserta didik,
antar pendidik dengan rekan sejawat dan atasan, serta antar pendidik dengan
masyarakat. Well being berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia,
kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Dengan manajemen
pelaksanaan well being pada pendidik dapat berjalan lebih sistematis dan terstruktur
dengan baik.
REFERENSI
Ahmadi. 20013. Manajemen Kurikulum: Pendidikan Kecakapan Hidup. Yogyakarta:
Pustaka Ifada.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya.
Asri C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta
Azwar, Saifuddin. 2011. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Compton, William C. 2005. Introduction to Positive Psychology. USA: Thomson Learning
Compton, William C dan Edward Hoffman. 2005. Positive Psychology The Science of
Happiness and Flourishing. USA: Jon-David Hague
Darmiyati Zuchdi. 2009. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
De Porter B, Hernarcki M. 1999. Quantum Learning. Bandung: Penerbit Kaifa
Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Depdikbud.
Diener, E. 2009. The Science of Well-Being The Collected Works of Ed Diener. USA:
Springer
Diener, E. et al. 1993. The Relationship Between Income and Subjective Well-Being:
Relative or Absolute?. Netherlands: Kluwer Academic Publisher
Eid, M. & Larsen R.J. 2008. The Science of Subjective Well-Being. London: The Guilford
Perss
Endraswara, S. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha
Widya
Fafchamps, Marcel dan Bereket Kebede. Subjective well-being, disability and adaptation:
A case study from rural Ethiopia. CSAE WPS/2008-01
Feist, Gregory J. dan Jess Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika
Fudyartanto, Ki. 2003. Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Guardiola, Jorge and Teresa García-Muñoz. Subjective well being and basic needs:
Evidence from rural Guatemala. JEL Codes: I31, I32, O13, O18
Hamzah B. Uno, 2008. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Yogyakarta: Bumi
Aksara
I Nyoman S. – Olga D. Pandeirot, 2014. Psikologi Pendidikan 1, Jakarta: Erlangga.
Jarvis, Matt. 2009. Teori-teori Psikologi. Bandung: Nusa Media
Jarvis, Matt. 2009. Teori-teori Psikologi. Bandung: Nusa Media
Jatman, Darmanto. 2011. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kayoman
Koentjaraningrat. 2007. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Linley, P.A & Joseph S. 2004. Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley &
Sons. Inc
Lopez, S. J & Synder, C.R. 2007. Positive Psychological Assessment A Handbook of Model
and Measures: The Measurement and Utility of Adult Subjective Well-Being.
Washington, DC, US: American Psychological Assosiation
Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi Edisi Sepuluh. Yogyakarta: PENERBIT ANDI
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA
Morissan, M.A. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana
Munandar, Ashar Sunyoto. 2008. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press)
Purwa Atmaja Prawira, 2013. Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru, Jogyakarta:
Ar- Ruzz Media
Sumadi Suryabrata. 1987. Psikologi Pendidikan.Jakarta: Rajawali.
Ryff. C. & Keyes. C. 2005. The Ryff Scales of Psychological Well-Being. Journal of
Personality and Social Psychology. Vol 69. No. 4
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengembangkan tes objektif yang layak untuk mengukur
keterampilan proses sains: (1) ditinjau dari standar tes, dan (2) ditinjau melalui
karakteristik tes. Penelitian ini merupakan research & development dengan model 4D. Teknik
pengambilan data meliputi wawancara, angket, dan tes. Instrumen yang digunakan adalah
pedoman wawancara, lembar penilaian kelayakan soal dan soal keterampilan proses. Hasil
penelitian berupa tes objektif yang layak secara teoritis dan empiris. Setiap butir soalnya
memiliki daya beda > 0,25 dan reliabilitas sebesar 0,71. Jumlah soal sebanyak 36 butir.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kemakmuran suatu bangsa. Semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin makmur bagsa itu. Untuk mencapai hal
tersebut maka dapat dilakukan dengan membangun sebuah sistem pendidikan nasional.
Dengan adanya sistem ini diharapkan kualitas dari pendidikan dapat meningkat.
Kualitas sistem dapat dilihat melalui hasil dari tujuan pendidikan. Hasil dari tujuan
sistem pendidikan nasional secara operasional dapat dilihat melalui sistem
pembelajaran yang memuat proses pembelajaran. Proses pembelajaran terdiri dari tiga
tahap, yaitu perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran, serta penilaian hasil
belajar.
Kemudian pada tahap proses pembelajaran, penilaian merupakan aspek yang
penting dan perlu diperhatikan. Pengertian penilaan dijelaskan oleh Uno & Koni (2012,
p.2) bahwa assessement dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan informasi
dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untuk dasar pengambilan keputusan
tentang siswa, baik yang menyangkut kurikulum, program pembelajaran, iklim sekolah,
maupun kebijakan-kebijakan sekolah. Penilaian hasil belajar siswa dapat berupa hasil
belajar pengetahuan (kognitif), keterampilan, dan sikap. Kegiatan penilaian dapat
dilakukan dengan teknik tes dan non tes, sedangkan instrumen yang digunakan dapat
berupa soal maupun non soal. Teknik dan instrumen tersebut masing-masing memiliki
kelebihan dan kelemahan. Sehubungan dengan itu penggunaan teknik dan instrumen
harus sesuai dengan fungsi dan sasaran pengukuran sehingga didapatkan hasil yang
valid.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dianggap memiliki beberapa
kelemahan sehingga dikembangkan kurikulum 2013 (K-13). K-13 memiliki empat
elemen perubahan antara lain; Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses,
dan Standar Penilaian. Standar penilaian merupakan salah satu elemen perubahan yang
manjadi perhatian. Hal ini dikarenakan penilaian yang selama ini diterapkan dianggap
tidak sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan. Penilaian keterampilan yang
selama ini dilakukan di sekolah, khususnya untuk sains, mengarah kepada penilaian
kognitif. Hal tersebut tidak sesuai dengan esensi yang ada pada penilaian keterampilan.
Idealnya penilaian keterampilan harus mengukur kemampuan proses sains setiap siswa
sehingga sesuai dengan hakikat sains.
Hakikat sains meliputi sains sebagai body of knowledge dan sains sebagai a way of
investigation. Sains sebagai body of knowledge merupakan dimensi pengetahuan dari
sains (produk), sedangkan sains sebagai a way of investigation merupakan dimensi
proses. Produk yang dihasilkan sains berupa pengetahuan. Dimensi pengetahuan dibagi
menjadi empat ranah dimana dimensinya meliputi pengetahuan faktual, pengetahuan
konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Pengetahuan
tersebut didapatkan melalui serangkaian ketrampilan proses. Keterampilan proses
dibagi menjadi dua macam yaitu ketrampilan proses sains dasar dan ketrampilan proses
sains terintegrasi. Ketrampilan proses sains dasar meliputi mengamati,
mengelompokkan, mengukur, inferensi, dan prediksi sedangkan ketrampilan proses
sains terintegrasi meliputi menggambarkan secara operasional (komunikasi),
mengendalikan variable, interpretasi data, hipotesis, dan eksperimen. Oleh karena itu,
untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap penguasaan dimensi pengetahuan maka
dapat dilakukan dengan mengukur keterampilan proses.
Pengertian mengenai sains yang lebih luas dinyatakan oleh Hewitt, et al. (2007: 1)
“Science is an organized a body of knowledge about nature. It is the product of
observations, common sense, rational thinking, and (sometimes) brilliant insights” yaitu
sains adalah sebuah susunan badan pengetahuan tentang alam. Itu merupakan produk
dari hasil observasi, akal sehat, pola pikir rasional, dan kadang kala dari ide yang brilian.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa “Yet science is more than a body of knowledge. It is also a
method, a way of exploring nature and discovering the order within it” sains lebih dari
sekedar sebuah tubuh pengetahuan. Namun juga termasuk metode dan cara untuk
mengeksplorasi alam dan menemukan susunan yang berada didalamnya.
Sains memiliki hubungan dinamis antara tiga faktor, seperti yang dikemukakan
Bybee. & Trowbrige (1990: 48), “The nature of science is represented as a dynamic
relationship among three factors-the extant body of scientific knowledge, the value of
science, and the methods and process of science” sains mewakili sebuah hubungan
dinamis antara pengetahuan saintifik, nilai sains, dan metode serta proses sains.
Sains dipelajari dengan metode tersendiri yaitu metode ilmiah. Dalam metode
ilmiah terdapat beberapa bagian prosedural yang digunakan oleh saintis dalam menguji
sebuah hipotesis. Kerangka dasar prosedur tersebut dalam Muslimin dan Nur (2007:
16) dibagi menjadi enam tahapan diantaranya: (a) Sadar akan adanya masalah dan
perumusan masalah, (b) Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (c)
Penyusunan atau klarifikasi data, (d) Perumusan hipotesis, (e) Deduksi dan hipotesis, (f)
Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa.
Melalui metode ini para saintis memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, perlu
adanya pembiasaan melatihkan kemapuan tersebut agar seseorang mampu menguasai
sains secara ilmiah dan empiris layaknya seorang saintis.
Hasil wawancara terhadap guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kabupaten
Gunung Kidul menunjukkan bahwa terdapat beberapa kendala terhadap penilaian
keterampilan proses. Kendala tersebut berkaitan dengan banyaknya jumlah siswa yang
diampu dan kompetensi yang harus dicapai. Rata-rata guru IPA mengampu sebanyak 6
kelas dengan rombongan belajar yang bervariasi antara 24 sampai 32 siswa per kelas.
Sebagai tambahan, penilaian keterampilan proses setiap siswa juga membutuhkan
waktu yang cukup lama, karena guru dituntut untuk menyelesaikan sejumlah
kompetensi yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Ketika guru
melakukan penilaian keterampilan proses untuk setiap siswa, maka kompetensi yang
harus diselesaikan dalam waktu satu semester tidak dapat dicapai tepat waktu.
Sehubungan dengan hal itu, guru menilai siswa dengan cara perkiraan yang subjektif,
dimana menilai baik keterampilan proses siswa yang dilihat aktif dalam melakukan
praktek. Hal ini dapat disimpulkan bahwa guru belum melakukan penilaian sesuai
dengan fungsi dan sasaran pengukuran menggunakan instrumen yang valid dan reliabel.
Oleh sebab itu, dibutuhkan instrumen penilaian alternatif yang efektif, efisien dan
mampu mengukur keterampilan proses setiap siswa secara valid dan reliabel.
Instrumen tersebut harus mudah digunakan, objektif, dan tidak memakan waktu yang
lama.
Teknik tes dengan instrumen berupa soal dapat menjadi alternatif solusi terhadap
masalah yang dimiliki guru dalam penilaian keterampilan proses setiap siswa. Stanley
(1964: 221) menyatakan “A multiple-choice test is made up of items of which presents two
or more responses, only one of which is correct or definitely better than the othes.” Sebuah
tes pilihan ganda terbuat dari item yang disajikan dengan jumlah respon dua atau lebih,
dan hanya ada satu jawaban yang benar atau lebih baik dari yang lainnya. Pendapat ini
sejalan dengan Mardapi (2008: 71) yang mengemukakan bahwa tes bentuk pilihan
ganda adalah tes yang jawabannya dapat diperoleh dengan memilih alternatif jawaban
yang telah disediakan.
Keterampilan yang dikuasai setiap siswa dapat diukur melalui instrumen soal
dalam bentuk tes objektif tipe pilihan ganda, namun demikian hasil observasi guru
harus tetap dilakukan untuk mengetahui korelasi antara tes objektif ini dengan
kemampuan praktis siswa. Instrumen tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan yang dimiliki diantaranya dapat digunakan untuk mengukur pemahaman dan
kemampuan berfikir kompleks, mencakup materi dan soal yang cukup banyak,
pensokran sangat mudah dilakukan dan objektif, serta memiliki reliabilitas yang sangat
tinggi. Disamping itu, kelemahan yang dimiliki oleh instrumen ini diantaranya kurang
efisien untuk mengukur kemampuan mengorganisasikan gagasan, kemampuan menulis,
dan problem solving.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai merupakan penelitian pengembangan atau Research
and Development (R&D). Model R&D yang akan digunakan adalah 4D oleh Thiagarajan
Semmel, & Semmel (1974) untuk mengembangkan instrumen tes berupa soal pilihan
ganda untuk mengukur keterampilan proses sains siswa SMP kelas VII.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di D.I.Yogyakarta, yaitu untuk uji coba kelompok kecil
adalah SMP N 3 Sentolo dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan. Pelaksanaan penelitian
dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2015
Subjek Penelitian
Sampel populasi dalam penelitian ini adalah pada kelas VII SMP semester II di 17
SMP yang berbeda, yaitu: SMP N 3 Sentolo, dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan
Variabel Penelitian
Variabel yang terlibat dalam penelititan ini adalah penguasaan keterampilan
proses sains siswa SMP kelas VII.
Prosedur Penelitian
Berdasarkan empat langkah pelaksanaan strategi penelitian dan pengembangan
yang dilakukan oleh Thiagarajan Semmel, dan Semmel (1974) maka penelitian ini
menggunakan langkah berupa define, design, develope dan disseminate.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis butir soal.
Data yang dianalisis meliputi: (1) Analisis data dari Validator: Draf awal yang di validasi
menghasilkan data kualitatif. Data tersebut berupa masukan dan saran pada tiap butir
soal yang berasal dari validator. Masukan dan saran dari validator dipadukan dan
digunakan untuk merevisi draf awal yang sudah diberikan. (2) Analisis data dengan
program Quest: Analisis data secara kuantitatif dilakukan setelah draf awal diujicobakan
kepada siswa. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik soal yang dapat
berupa tingkat kesukaran, daya beda, pengecoh dan indeks reliabilitas.
dan 8 butir ditolak. Butir soal yang diterima langsung dimasukkan produk utama,
sedangkan yang ditolak dibuang. Butir soal yang berada pada kategori diperbaiki,
dilakukan revisi sesuai dengan analisis yang dilakukan dengan bantuan program
komputer Quest. Dari 12 butir soal yang dalam kategori diperbaiki, hanya 4 soal yang
dimasukkan pada produk utama setelah dilakukan perbaikan, hal ini dikarenakan 8
butir soal yang lain memiliki daya beda mendekati nol atau dapat dikatakan tidak
mampu membedakan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan kemampuan rendah.
Selain itu, 8 butir soal yang lain tidak diperbaiki karena soal yang ada sudah memenuhi
indikator keterampilan proses yang diharapkan pada masing-masing kategori
keterampilan proses. Perbaikan yang dilakuakan pada pengecoh yang tidak berfungsi
karena terdapat option yang dipilih kurang dari 2,5 % dari jumlah siswa yang ada.
Setelah semua perbaikan dilakukan sesuai dengan hasil analisis, maka semua
butir soal disusun dan dirakit kembali berdasarkan karakteristik yang sudah
didapatkan. Butir soal yang sudah dirakit menjadi produk utama kemudian digunakan
untuk mengukur keterampilan proses siswa.
Setelah saran dan masukan didapatkan, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan revisi terhadap draf awal. Draf awal diperbaiki sesuai dengan masukan dan
saran yang telah diberikan oleh expert judgement. Setelah diperbaiki, butir soal
kemudian dirakit kembali dan dijadikan sebagai produk awal. Produk awal digunakan
untuk mengetahui validitas tiap butir soal secara empiris.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Validasi Ahli
al N Nomor Butir Soal
da o Valid tanpa revisi Valid dengan revisi Tidak
or Valid
Validitas dan reliabilitas instrumen soal diperoleh dari uji coba kelompok kecil.
Uji coba dilakukan pada tiga kelas di dua sekolah yang berbeda. Sekolah tersebut adalah
SMP Negeri 3 Sentolo sebanyak dua kelas, dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan
sebanyak satu kelas. Jumlah siswa pada kedua sekolah tersebut adalah 94 siswa.
Ujicoba kelompok kecil menghasilkan informasi tentang karakteristik butir soal.
Karakteristik tersebut dilihat dari tingkat kesukaran, daya beda, pengecoh, dan
reliabilitas. Informasi tentang karakteristik soal diperoleh dari analisis menggunakan
bantuan program komputer Quest yang diolah dengan teori klasik.
Tingkat kesukaran yang dihasilkan melalui ujicoba kelompok kecil dapat dilihat
pada tabel 2. Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa produk awal memiliki soal dalam
kategori sulit sebanyak 15 soal (29,41 %), kategori sedang sebanyak 31 soal (60,79 %),
dan kategori mudah sebanyak 5 soal (9,8 %).
Daya beda soal melalui uji coba kelompok kecil diketahui melalui poin biserial.
Hasil dari analisis terangkum pada tabel 3. Sesuai dengan tabel 3, maka soal yang
termasuk kategori diterima sebanyak 32 soal (62,75 %), kategori diperbaiki sebanyak
11 soal (21,57 %), dan untuk yang ditolak sebanyak 8 soal (15,68 %).
Tabel 3. Daya Pembeda Butir Soal Produk Awal
No Kategori Jumlah Persentase
Nomor Butir Soal (%)
1 p > 0,25 1,2,4,5,6,10,11,12,15,17,18,19,20,21,2
2,23,24,26,29,31,33,36,37,38,39,40,4 32 62,75
1,43,44,45,49,51
2 0<DP≤0,25 3,7,13,14,16,25,28,35,42,48,50 111 21,57
3 p≤0 8,9,27,30,32,34,46,47 8 15,68
Penyebaran jawaban (pengecoh) pada butir soal produk awal dapat dilihat pada
tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, sebanyak 46 soal memiliki pemilih lebih dari 2,5 % untuk
tiap option dengan persentase 90,2 % sedangkan yang dibawah 2,5 % sebanyak 9,8 %
atau 5 butir soal. Hal ini menunjukkan sebagian besar butir soal memiliki pengecoh yang
berfungsi dengan baik.
Tabel 4. Penyebaran Jawaban Butir Soal Produk Awal
No Kategori jumlah Persenta
Nomor Butir Soal se (%)
1 Pemilih > 2,5 % 1,5,6,7,8,9,11,12,13,14,15,16,17,19,20,21,
22,23,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33,34,3
46 90,2
5,36,37,38,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49,
50, 51
2 Pemilih < 2,5 % 2,4,10,18, 40 55 9,8
Berdasarkan karakteristik butir soal yang ditunjukkan pada tabel 2, tabel 3, dan
tabel 4 dapat diestimasi jumlah butir soal yang diterima, diperbaiki, dan ditolak seperti
ditunjukkan pada Tabel 5. Sesuai dengan Tabel 5, maka soal dengan kategori “diterima”
langsung digunakan, soal dengan kategori “ditolak” tidak digunakan untuk produk
utama, soal dengan kategori “diperbaiki” direvisi terlebih dahulu sebelum digunakan.
Delapan soal dengan kategori “diperbaiki” tidak direvisi dan tidak digunakan dalam
produk utama karena nilai daya beda mendekati nol. Soal yang memiliki daya beda
mendekati nol adalah nomor (3, 13, 16, 25, 28, 35, 49). Selain itu, alasan mengapa soal
yang memiliki daya beda mendekati nol tidak digunakan untuk produk utama adalah
soal yang lain sudah mewakili indikator keterampilan proses yang diperlukan.
Perakitan kembali soal yang sudah diterima dan direvisi dilakukan sehingga
menghasilkan produk utama. Produk utama terdiri dari 36 soal yang selanjutnya
digunakan untuk uji lapangan pada tahap desiminasi. Rekapitulasi kategori butir soal
disajikan pada Tabel 5 berikut.
Diseminasi dilakukan dengan mengujikan produk utama. Ujicoba dilakukan pada
15 sekolah di Kabupaten Gunung Kidul pada penelitian berbeda.
Kajian produk akhir dapat dilakukan melalui hasil uji validitas secara teori dan uji
validitas secara empiris. Kajian dari kedua uji tersebut dapat dilihat pada penjelasan
berikut.
Tabel 5. Rekapitulasi Kategori Butir Soal
Uji validitas secara teori dilakukan oleh ahli evaluasi dan ahli materi. Pada uji ini,
produk awal divaliadasi untuk mendapatkan masukan dan saran. Masukan dan saran
yang diperoleh dari kedua ahli digunakan untuk merevisi produk. Hasil validasi
menunjukkan bahwa butir soal yang sudah dibuat sebagian besar berada pada kategori
valid tanpa revisi dan sebagian yang lain berada pada kategori valid dengan revisi, serta
tidak ada butir soal yang tidak valid. Sesuai dengan hasil tersebut butir soal yang sudah
dibuat dapat dikatakan merupakan butir soal yang baik.
Uji validitas secara empiris dilakukan dengan mengujicobakan soal yang sudah
direvisi dari ahli. Soal diujikan kepada 94 anak dari dua sekolah yang berbeda, yaitu
SMP Negeri 3 Sentolo dan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan. Setelah uji coba dilakukan
maka dilakukan analisis terhadap semua butir soal dengan teori klasik. Analisis dibantu
dengan menggunakan program Quest dan didapatkan bahwa terdapat soal yang valid
sebanyak 32 butir soal, 8 butir soal gugur, dan 12 butir soal diperbaiki. 4 dari 12 butir
soal diperbaiki dan digunakan pada produk utama. Produk utama yang dihasilkan
berjumlah 36 butir soal. Nilai reliabilitas pada produk utama dilihat dari internal
consistency yang terdapat pada hasil analisis program Quest dan dihasilkan angka 0,71.
Angka tersebut berarti butir soal yang dianalisis memiliki reliabilitas yang cukup karena
berkisar antara 0,7 sampai 0,8.
Berdasarkan kajian produk akhir melalui validasi ahli dan validasi empiris, maka
dapat disimpulkan bahwa produk akhir merupakan perangkat soal yang telah valid baik
secara teoritis menurut ahli maupun empiris setelah di uji di lapangan. Perangkat soal
yang sudah valid kemudian dapat digunakan untuk mengukur keterampilan proses
siswa SMP kelas VII.
beda yang dimiliki > 0,25, tingkat kesukaran bervariasi dari rendah, sedang, dan sulit
dengan proporsi 13,9 % : 72,2 % : 13,9%, pengecoh dipilih minimal 2,5 % dari semua
responden, dan nilai reliabilitas instrument sebesar 0,71.
Saran
Pertama, Guru IPA dapat menerapkan produk akhir soal keterampilan proses
tipe pilihan ganda ini untuk mengukur penguasaan keterampilan proses siswa.
Kedua, Produk akhir soal diharapkan dapat digunakan sebagai contoh oleh guru
IPA SMP untuk mengembangkan instrumen pengukur keterampilan berpikir kritis IPA
siswa.
REFERENSI
Bybee, R.W. & Trowbrige L.W. (1990). Becoming a Secondary School Science Teacher.
USA: Merrill Publishing Company
Hewitt, Paul G., Lyons, Suzanne, Suchocki, John, Yeh, Jennifer (2007). Conceptual
Integrated Science. San Fransisco: Pearson Addison Wisely
Mardapi, Djemari. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta:
Mitra Cendikia Press
Muslimin & Nur, M. (2007). Hakikat Sains. UNY Press: Yogyakarta
Stanley, J.C. (1964). Measurement In Today’s Schools. Prentice Hall: Englewood Cliffs,
New Jersey
Thiagarajan, S., Semmel, D.S. & Semmel, M.I. (1974). Instructional Development For
Training Teachers Of Exceptional Children. Leadership Trining Institute/ Special
Education: Minneapolis, Minnesota: University Of Minneasota
Uno, H.B. & Koni, S. (2012). Assessment Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Abstrak
Entrepreneurship education merupakan salah satu aspek penting untuk menumbuhkan minat
wirausaha pada siswa Sekolah Dasar (SD). Entrepreneurship education memberikan peluang
tumbuh dan berkembangnya potensi kreativitas dan inovasi siswa. Entrepreneurship
education di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan, sedangkan
pengintegrasian dalam proses pembelajaran di SD belum optimal. Artikel ini mengkaji
penerapan entrepreneurship education pada pembelajaran tematik. Artikel ini berupa kajian
pustaka melalui berbagai referensi yang berkaitan. Integrasi entrepreneurship education
pada pembelajaran tematik SD diharapkan menumbuhkan minat kewirausahaan pada siswa
SD. Sangat urgen adanya upaya pengembangan minat wirausaha pada siswa, sehingga siswa
tidak hanya menguasai aspek pengetahuan dan sikap saja namun juga memiliki
keterampilan yang terkait dengan minat wirausaha, dapat diterapkan program berbasis
entrepreneurship education seperti student canteen, handycrafts market, market day, dan
belajar jual beli. Program tersebut dikaitkan dengan materi yang ada pada pembelajaran
tematik kelas 1 SD. Integrasi minat wirausaha kepada siswa dapat dilakukan dalam
pembelajaran. Minat wirausaha tersebut dapat terintegrasi dalam proses pembelajaran.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka penerapan entrepreneurship education perlu
dipertimbangkan untuk mengintegrasikan minat wirausaha dalam proses pembelajaran.
PENDAHULUAN
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3
UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Satuan Pendidikan harus mengembangkan tujuan
pendidikan nasional yang merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia.
Oleh karena itu, dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
merupakan rumusan tujuan pendidikan nasional. Fungsi dan tujuan di atas,
menunjukkan bahwa pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diselenggarakan
secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Sistem pendidikan di indonesia harus
selalu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik
ditingkat lokal,nasional maupun global. Untuk melihat mutu penyelenggaraan
pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator.
Beberapa indikator mutu hasil pendidikan yang selama ini digunakan
diantaranya adalah nilai Ujian Nasional (UN), persentase kelulusan, angka drop out (DO),
angka mengulang kelas, persentase lulusan yang melanjutkan ke jenjang pendidikan
diatasnya. Indikator-indikator tersebut cenderung bernuansa kuantitatif, mudah
pengukurannya, dan bersifat universal. Di samping indikator kuantitatif, indikator mutu
hasil pendidikan lainnya yang sangat penting untuk dicapai adalah indikator kualitatif
yang meliputi: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
METODE
Dalam tulisan ini, penulis mengumpulkan data melalui beberapa metode, di
antaranya adalah: Studi Kepustakaan, serta pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini.
PEMBAHASAN
Salah satu upaya sistemik untuk menumbuhkan karakter wirausaha pada
seseorang atau sekelompok orang adalah melalui entrepreneurship education. Nilai-nilai
yang dikembangkan dalam entrepreneurship education harus di arahkan pada
pengembangan nilai-nilai dari ciri-ciri seorang wirausaha. Menurut para ahli
kewirausahaan, ada banyak nilai-nilai kewirausahaan yang dianggap paling pokok dan
sesuai dengan tingkat perkembangan siswa sebanyak 17 (tujuh belas) nilai yang
seharusnya dimiliki oleh siswa. Implementasi dari nilai-nilai pokok kewirausahaan
tersebut tidak secara langsung dilaksanakan sekaligus oleh satuan pendidikan, namun
dilakukan secara bertahap. Hal ini bukan berarti membatasi penanaman nilai-nilai
(internalisasi) kewirausahaan tersebut kepada semua sekolah secara seragam, namun
setiap jenjang satuan pendidikan dapat menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan
yang lain secara mandiri sesuai dengan keperluan.
Implementasi nilai-nilai kewirausahaan yaitu: (1) mandiri, (2) kreatif, (3) berani
mengambil resiko dengan pertimbangan , (4) berorientasi pada tindakan, (5)
kepemimpinan, (6) kerja keras, (7) Jujur, (8) Disiplin, (9) Inovatif , (10) Tanggung-
jawab, (11) Kerja sama , (12) Pantang menyerah (ulet), (13) Komitmen, (14) Realistis,
(15) Rasa ingin tahu, (16) Komunikatif, (17) Motivasi kuat untuk sukses.(Kemendiknas:
2010, 10). Apabila entrepreneurship education dilaksanakan secara terus menerus baik
melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal maka akan mampu
menumbuhkembangkan semangat dan jiwa kewirausahaan. Di samping itu
entrepreneurship education dapat juga diintegrasikan dalam pembelajaran tematik pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-
nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran yang berwawasan
entrepreneurship education tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus
mempelajari matapelajaran lain; (7) Guru dapat menghemat waktu karena beberapa
mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan
diberikan dalam dua atau tiga pertemuan,waktu selebihnya dapat digunakan untuk
kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Berikut adalah Penerapan pembelajaran tematik melalui program berbasis
entrepreneurship education yang disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Penerapan Pembelajaran Tematik pada Kelas 1 SD melalui Program
Berbasis Entrepreneurship Education
N Kelas Tema Program Penerapan
o
1 1 SD Tema 1: - Student Pada Tema 1. mata pelajaran Bahasa
Diriku Canteen Indonesia terdapat KD 4.4
Sub tema : Menyampaikan penjelasan (berupa
Aku gambar dan tulisan) tentang anggota
merawat tubuh dan panca indera serta
tubuhku perawatannya menggunakan kosakata
bahasa Indonesia dengan bantuan
bahasa daerah secara lisan dan/atau
tulis. Penerapan entrepreneurship
education yang sesuai yaitu
memperjualbelikan peralatan mandi
untuk merawat tubuh pada kantin
siswa. Hal ini akan melatih siswa untuk
jujur dan disiplin. Selanjutnya siswa
menjelaskan penggunaan peralatan
tersebut menggunakan kosakata bahasa
indonesia dengan bantuan bahasa
daerah. Selain itu dapat dikaitkan pula
dengan mata pelajaran PJOK pada KD
4.8 Menceritakan bagian-bagian tubuh,
bagian tubuh yang boleh dan tidak
boleh disentuh orang lain, cara menjaga
kebersihannya, dan kebersihan pakaian.
- Handycraf Pada Mata pelajaran SBdP terdapat KD
ts Market 4.2 Membuat karya ekspresi dua dan
tiga dimensi. Karya tersebut nantinya
diperjualbelikan saat akhir semester di
Handycrafts Market. Tentunya hasil
penjualan dapat digunakan siswa untuk
menabung dan membeli kebutuhan lain
sehingga dapat melatih siswa untuk
hidup hemat dan mandiri.
- Market Market Day ini menjual berbagai produk
Day kebutuhan siswa. Di dalam market day
siswa diajarkan untuk kerja keras,
pantang menyerah dan komunikatif.
Pada KD 4.2 Menceritakan kegiatan
sesuai dengan aturan yang berlaku
dalam kehidupan
sehari-hari yang terdapat dalam mata
PENUTUP
Entrepreneurship education selama ini hanya dilakukan dengan pengenalan tanpa ada
program khusus yang juga dikaitkan dengan pembelajaran tematik , dengan program
tersebut harapan terciptanya jiwa entrepreneurship pada siswa semakin meningkat.
Sehingga siswa memiliki karakter kewirausahaan yang berguna bagi kehidupan ke
depannya.
REFERENSI
Hadi Subroto.2000. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan.
Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai
Budaya untuk Membentuk Daya Saing danKarakter Bangsa. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Sukmadinata. 2004. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, sistem pendidikan nasional, Bab II Pasal 3.
Abstrak
Bahan ajar IPA bervisi SETS dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV pada mata
pelajaran IPA dalam materi sumber daya alam. Dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi nilai
rata-rata 85 dan hasil ketuntasan klasikal sebesar 86%. Metode penelitian yang digunakan
adalah Penelitian Tindakan Kelas menggunakan bahan ajar IPA bervisi SETS. Model
penelitian meliputi beberapa tahap, yaitu Perencanaan (Planning), Implementasi Tindakan
dan Pengamatan (Acting and Observe) dan Refleksi (Reflecting). Proses penelitian
dilaksanakan sebanyak dua siklus yang terdiri atas dua kali pertemuan.
Dari hasil analisis, bahwa ada peningkatan yang signifikan pada nilai tes tiap siklus. Pada
siklus I, siswa yang mendapat nilai lebih dari 75 sebanyak 23 (66%) siswa dengan nilai rata-
rata yang dicapai 73. Pada siklus II siswa yang mendapat nilai lebih dari 75 sebanyak 30
(86%) siswa dengan nilai rata-rata 85.
PENDAHULUAN
Dunia pendidikan saat ini dituntut menghadapi tantangan perkembangan zaman
yang secara kualitatif cenderung meningkat. Pendidikan IPA sebagai bagian dari
pendidikan umumnya memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan,
khususnya di dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Prinsip psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada
peserta didik, tetapi peserta didiklah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam
pikiran mereka sendiri.13 Kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar guru harus
menyesuaikan bahan ajarnya dengan Kurikulum 2013.
Bahan ajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan
(materi pelajaran), merangsang pikiran, dan perasaan, perhatian dan kemampuan
peserta didik, sehingga dapat mendorong proses pembelajaran.14 Materi pelajaran yang
sangat teknis dengan istilah terlalu banyak untuk dihafal secara rinci akan membuat
peserta didik sering merasa mengantuk. Buku bahan ajar yang ada tidak menarik maka
dapat membuat pembelajaran yang berlangsung kurang menarik bagi peserta didik.
Buku bahan ajar sebaiknya mengaitkan pembelajaran dengan konsep kontekstual,
dengan kata lain buku bahan ajar sebaiknya harus terkait dengan konsep ilmu dan
lingkungan selain itu ditunjang dengan gambar dan tampilan yang menarik yang
disusun untuk sebuah proses pembelajaran yang efektif.15 Kolaborasi antar unsur
materi dengan lingkungan jika tidak sesuai akan mempengaruhi kebermaknaan
pembelajaran bagi peserta didik. Kolaborasi yang tidak sesuai dengan unsur-unsur
dilingkungan bisa sangat mempengaruhi proses kebermaknaan belajar dalam
pembelajaran, mempengaruhi kognitif dan metakognitif karakteristik proses itu
sendiri.16
13
Esa Nur Wahyuni dan Baharuddin. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2010. hlm.
115.
14
Rusman. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2010.
15
Rosario, B.,I, Science, Technology, Society, dan Evironment (STSE). Approach in Environment Science For
Non Science Student in a local Culture. ISSN: 20994-1064 CHED Accredited Research Journal,
CategoryB. 2009. 6 (1).
16
Viola, S. R., giretti, A., & leo, T. Detecting Differences in “Meaningful Learning” Behaviours and their
Evaluation: a Data Driven Approach. International Journal of Computing & Information Science.
2007. 5 (2) : 63-73.
IPA di Sekolah Dasar bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut; (1) Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, (2) Mengembangkan
pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap
positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi; antara IPA,
lingkungan, teknologi dan masyarakat, (4) Mengembangkan keterampilan proses untuk
menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (5)
Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam, (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan
gejala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, (7) Memperoleh bekal
pengetahuan konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan
SMP/MTs.17
Bahan ajar merupakan salah satu sumber belajar, yakni segala sesuatu yang
memudahkan peserta didik memperoleh sejumlah informasi pengetahuan, pengalaman,
dan keterampilan dalam proses belajar mengajar. Sedangkan pemilihan bahan ajar
berpendekatan SETS adalah berdasarkan faktor kebutuhan bahan ajar yang masih
sangat minim dan kurang variatif. Menggunakan bahan ajar berpendekatan SETS
diharapkan peserta didik memahami konsep yang disampaikan dan memahami dampak
dari proses yang dipelajari baik bagi lingkungan maupun bagi dirinya sendiri.
Penyusunan bahan ajar ini akan berpengaruh pada kompleks tidaknya materi ajar yang
diperoleh peserta didik dalam setiap pembelajarannya, maka perlu pengembangan
bahan ajar yang sesuai dengan standar isi dan kontekstual.
Khususnya bahan ajar IPA perlu dikaitkan dengan lingkungan sekitar,
masyarakat, dan teknologi agar peserta didik tidak hanya memahami sainsnya saja akan
tetapi mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari. Pengkaitan ini lebih dikenal
dengan pembelajaran IPA bervisi Science, Environment, Technology, And Society (SETS).
SETS memberi peluang untuk mempelajari hakikat sains, teknologi, dan keterkaitannya
dengan lingkungan dan masyarakat. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa melalui
pendekatan SETS diharapkan peserta didik memiliki kemampuan memandang sesuatu
secara terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur SETS, sehingga memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan yang dimiliki.18
Pada dasarnya dalam kehidupan manusia, unsur sains, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat itu saling berkaitan satu sama lainnya. Hal tersebut menguatkan pernyataan
bahwa peserta didik belajar sebagai bekal hidup di masyarakat. Peserta didik harus
hidup bermasyarakat dan sebagai bagian dari masyarakat harus berinteraksi dengan
alam. Dari pembelajaran peserta didik mengenal konsep alam yang selanjutnya dikenal
dengan sains dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya dalam bentuk teknologi
untuk memperoleh kemudahan atau kemanfaatan dalam proses kehidupan individu
maupun masyarakat.
Melalui penelitian ini diharapkan pembelajaran tentang materi sumber daya
alam dapat membantu peserta didik mengaplikasikan pemahaman konsepnya dalam
dunia nyata, dan benar-benar memahami fenomena-fenomena yang terjadi dalam
lingkungan serta mampu memahami lingkungan tempat tinggal peserta didik sangat
17
Depdiknas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional. 2006.
hlm. 6.
18
Achmad Binadja. Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And Society) Dalam
Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Semarang: UNNES. 1999.
19
Sri Sulistyorini. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya Dalam KTSP. Semarang: Tiara
Wacana. 2007. hlm. 39.
20
Iskandar. Pendidikan Ilmu Pengetahuan alam. IKIP Malang. 2001. hlm. 2.
21
Abdullah. Pendidikan Sains Yang Humanistis. Surabaya: Kanisius. 1998. hlm. 18.
belaka dan tidak membosankan; (4) mata pelajaran IPA mempunyai nilai pendidikan
yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara holistik.
HAKIKAT PEMBELAJARAN IPA
Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang
dilaksanakan dengan menuangkan pengetahuan kepada siswa.22 Pembelajaran
merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar.23 Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang
sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan
interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan
pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan.24 Dari pernyataan
menurut para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses
untuk mentransfer pengetahuan anatara dua pihak pendidik dan peserta didik yang
sistematik dan direncanakan.
Ditinjau dari karakteristiknya, peserta didik sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah
memiliki rasa ingin tahu yang berlebih, penyelidik, penemu, dan pembelajar.
Sehubungan dengan hal tersebut, peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
berinteraksi secara aktif dengan objek, orang, dan sumber-sumber belajar lainnya.
Pembelajaran sains dapat membangun proses keterlibatan mental, fisik serta emosional.
Selain itu pembelajaran sains juga harus ditunjang dengan pembelajaran yang
menyenangkan dan bahan ajar yang baik. Bahan ajar yang baik disini yang seyogyanya
dapat mengarahkan peserta didik kedalam proses perolehan, pengembangan, dan
penerapan suatu konsep. Dengan demikian peserta didik akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta menumbuhkembangkan nilai-nilai
pendidikan karakter.
BAHAN AJAR IPA BERVISI SETS
Bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks yang disusun
secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai
peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan
dan penelaahan implementasi pembelajaran.25 Bahan ajar memiliki peran yang penting
dalam pembelajaran. Bahan ajar harus mempertimbangkan hal-hal berikut; (1) urutan
tampilan harus yang mudah terlebih dahulu, kemudian judul yang singkat dan tidak
bertele-tele, terdapat daftar isi, kerangka berfikirnya jelas, memenuhi prinsip bahan
ajar, memuat refleksi, dan ada penugasan; (2) mempergunakan bahasa yang mudah
dengan kosa kata yang sederhana, adanya kejelasan kalimat, keterkaitan masing-masing
ide paragraf dengan kalimat yang tidak terlalu panjang; (3) adanya stimulant atau
rangsangan pemikiran dengan kalimat-kalimat yang mendorong pembaca untuk berfikir
dan menguji stimulant; (4) memuhi etika dan estetika dengan tidak menyalahi aturan
penulisan, dan enak untuk dilihat dan dibaca; (5) materi harus instruksional, yang
menyangkut pemilihan teks, bahan kajian serta lembar kerja; (6) harus ditentukan
materi apa yang dibuat dan (7) mengetahui sasaran pembaca.26
Sebuah bahan ajar yang baik tentu harus memenuhi unsur-unsur yang disusun
sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Ada enam komponen yang berkaitan dengan
unsur-unsur dalam penyusunan bahan ajar dapat mencakup; (1) petunjuk belajar, (2)
kompetensi yang akan dicapai, (3) informasi pendukung, (4) latihan-latihan, (5)
22
Oemar Hamalik. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. hlm. 25.
23
UU No. 20. Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20. 2003.
24
Nana Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensido Offset. 2004. hlm. 28.
25
Andi Prastowo. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press. 2014. hlm.17.
26
Imas Kurniasih. Panduan Membuat Bahan Ajar Buku Teks Pelajaran Sesuai Dengan Kurikulum 2013.
Surabaya: Kata Pena. 2014. hlm. 67.
petunjuk kerja atau lembar kerja, (6) evaluasi.27 Bahan ajar merupakan sarana
penunjang bagi peserta didik untuk kelancaran proses pembelajaran baik di kelas
maupun di rumah, memuat materi pelajaran sains mengarahkan peserta didik ke
pembelajaran IPA bervisi Science, Environment, Technology, And Society (SETS).28
Teori yang mendukung model pembelajaran SETS adalah sebagai berikut: (1)
Gagne, menyatakan untuk terjadinya kegiatan belajar pada peserta didik diperlukan
kondisi belajar, baik kondisi internal maupun eksternal. Gagne menyatakan lima
kelompok, yaitu intelectual skill, cognitive strategy, verbalinformation, motor skill, and
attitude. (2) Dahar, menggolongkan teori-teori belajar (abad ke-20) kedalam golongan
besar, yaitu teori perilaku (behavioristik), misalnya stimulus-respons dan teori belajar
Gestalt-feald, yaitu teori kognitif dan (3) Yager (2009), mengajukan empat tahap strategi
dalam pembelajaran yang memrhatikan konstruktivisme, yaitu (a) invitasi; (b)
eksplorasi; (c) pengajuan penjelasam dan solusi; (d) menentukan langkah.29
Visi SETS adalah cara pandang yang menyatakan bahwa segala yang kita ketahui
di alam ini mengandung empat unsur yaitu Sains, Lingkungan, Teknologi dan
Masyarakat.30 Pendidikan bervisi SETS adalah pendidikan yang membawa sistem
pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang dapat menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya guna meningkatkan kualitas hidup manusia Binadja.31
Karakteristik pembelajaran IPA bervisi SETS yaitu: 1) pembelajaran konsep IPA
(sains) tetap diberikan; 2) peserta didik dibawa ke situasi untuk melihat teknologi yang
terkait; 3) peserta didik diminta untuk menjelaskan keterhubungkaitan antara unsur
sains yang dibincangkan dengan unsur-unsur lain dalam SETS.32 Untuk warga negara di
masa datang dalam masyarakat demokratis, memahami hubungan timbal balik dari ilmu
pengetahuan, teknologi dan masyarakat mungkin sama pentingnya dengan memahami
konsep dan proses sains.33
METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap, penelitian menggunakan
beberapa metode, sehingga jika salah satu ada kelemahan dapat teratasi oleh metode
yang lain. Metode yang digunakan adalah wawancara , observasi, dokumentasi, dan
analisis data pada instrumen lembar observasi dengan menggunakan teknik deskriptif
melalui persentase.
Hasil belajar dapat dianalisis dengan cara menghitung rata-rata nilai ketuntasan
belajar secara klasikal. Adapun rumus yang digunakan:
Menghitung nilai rata-rata
Nilai rata-rata= Jumlah seluruh siswa
N (Jumlah Siswa)
27
Andi Prastowo. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press. 2014. hlm.28-30.
28
Achmad Binadja. (1999). Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And Society)
Dalam Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar Lokakarya Pendidikan
SETS 14-15 Desember 1999. Semarang: UNNES
29
Wisudawati & Eka. Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara. 2014. hlm.74.
30
Puskur Balitbang Depdiknas. Draft Panduan Penyusunan Kurikulum dan Silabus Bervisi SETS (Salintemas)
Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. 2006.
Hlm. 4.
31
Binadja, Achmad. Pemikiran dalam SETS (Science, Environment, Technology, and Society). Semarang:
Laboratorium SETS-Universitas Negeri Semarang. 2007. hlm. 127.
32
Binadja, Achmad. (1999). Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And Society)
Dalam Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar Lokakarya Pendidikan
SETS 14-15 Desember 1999. Semarang: UNNES
33
Aikenhead, G., S. AvisionFor Science Education: Responding to the Work of Peter J. Fensham. International
Journal of STS Education. 2003.
Nilai 45 50 55 60 65 75 80
Frekuensi 3 7 3 5 3 9 5
9
8
7
6
5
4 Jumlah
3
2
1
0
45 50 55 60 65 75 80
Pada tahap pra siklus dari 35 siswa terdapat 14 siswa yang belum mencapai kriteria
ketuntasan minimal. Secara keseluruhan pada pra siklus belum mencapai ketuntasan
minimal yang ditentukan melalui standar nilai yaitu 75. Karena hanya 14 peserta didik
(40%) yang sudah mencapai KKM, sedangkan sisanya 21 peserta didik (60%) belum
mencapai KKM. Dari hasil tes tersebut didapat nilai terendah 45, tertinggi 80 dan rata-
rata 63.
Tabel 3
Ketuntasan Tes Siklus I
Kriteria
No Jumlah Persentase
Ketuntasan
1. Tuntas 23 65,7%
2. Belum tuntas 12 34,3%
Jumlah 35 100%
Batas Tuntas = 75
Tabel 4
Rentang Nilai Siklus I
Nilai 50 55 60 65 70 75 80 85 90 Jumlah
Frekuensi 2 1 3 3 3 13 4 4 2 35
14
12
10
8
6 Juml…
4
2
0
50 55 60 65 70 75 80 85 90
Gambar.2 Grafik Siklus I
Dari hasil tes tersebut diperoleh 12 siswa atau sebanyak (34%). Bagi yang telah tuntas
sebanyak 23 siswa atau sebanyak (66%), dengan nilai terendah 50 dan nilai tertinggi 90.
Secara keseluruhan keberhasilan pada siklus I cukup baik tetapi masih banyak siswa
yang belum mencapai ketuntasan belajar minimal
Tabel 5
Ketuntasan Hasil Tes Siklus II
No Kriteria Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase
1. Tuntas 30 85,7%
Batas Tuntas = 75
Tabel 6
Rentang Nilai Siklus II
Nilai 60 70 75 80 85 90 95 100
Frekuensi 1 4 4 3 9 6 3 5
9
8
7
6
5
4 Jumlah
3
2
1
0
60 70 75 80 85 90 95 100
Gambar 3. Grafik Siklus II
Dari hasil tes di dapat nilai terendah 70, tertinggi 100 dan rata-rata 85. Secara
keseluruhan keberhasilan pada siklus II ini sudah mencapai ketuntasan minimal
sedangkan untuk ketuntasan klasikal juga telah mencapai 86% yaitu diatas standar yang
telah ditentukan yaitu 80%
Tabel 7
Perbandingan rata-rata evaluasi pada tahap Pra siklus, siklus I, dan siklus II
No Pelaksanaan Siklus Ketuntasan Prosentase
1 Pra Siklus 10 40%
2 Siklus I 23 66%
3 Siklus II 30 86%
Gambar.4 Grafik Perbandingan Rata-rata Evaluasi Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II
Dari hasil penelitian antara pra siklus, siklus I, dan siklus II terjadi peningkatan
hasil belajar. Pada tahap pra siklus di dapat nilai ketuntasan klasikal:
P= 10 x 100% = 40%
35
Pada pra siklus tersebut dapat disimpulkan bahwa didapat nilai terendah 45,
tertinggi 80 dan rata-rata 63. Secara keseluruhan keberhasilan pada pra siklus belum
mencapai ketuntasan minimal yang ditentukan melalui standar nilai yaitu 75. Karena
hanya 14 siswa (40%) yang sudah mencapai KKM, sedangkan sisanya 21 peserta didik
(60%) dari 35 peserta didik kelas IV yang belum mencapai KKM.
Pada pengamatan siklus I dari hasil diperolehan nilai ketuntasan klasikal yaitu
dengan rumus:
P= 23 x 100% = 66%
35
Pada siklus ini mengalami peningkatan yaitu hanya 13 peserta didik (34%), dan
yang telah tuntas belajar sebanyak 22 siswa (66%) dari 35 siswa. Pada pengamatan
siklus II dari hasil diperolehan nilai ketuntasan klasikal yaitu dengan rumus:
P= 30 x 100% = 86%
35
Siklus II diperoleh hasil peserta didik telah mencapai ketuntasan belajar
sebanyak 30 (86%), yang belum tuntas hanya 5 (14%) dari 35 peserta didik kelas IV
dengan memperoleh ketuntasan klasikal 86%.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bahan ajar IPA bervisi SETS dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil evaluasi
dengan nilai rata-rata 85 dan hasil ketuntasan klasikal sebanyak 86%.
REFERENSI
Abdullah. Pendidikan Sains Yang Humanistis. Surabaya: Kanisius. 1998.
Aikenhead, G., S. AvisionFor Science Education: Responding to the Work of Peter J.
Fensham. International Journal of STS Education. 2003.
Baharuddin, dan Esa Nur Wahyuni. Teori Belajar & Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media. 2010.
Binadja, Achmad. Hakekat dan Tujuan Pada SETS (Science, Environment, Technology, And
Society) Dalam Konteks Kehidupan Pendidikan Yang Ada. Makalah Seminar
Lokakarya Pendidikan SETS 14-15 Desember 1999. Semarang: UNNES.
1999.
Binadja, Achmad. Pemikiran dalam SETS (Science, Environment, Technology, and Society).
Semarang: Laboratorium SETS-Universitas Negeri Semarang. 2007.
Depdiknas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:Departemen
Pendidikan Nasional. 2006.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika.
Iskandar. Pendidikan Ilmu Pengetahuan alam. IKIP Malang. 2001.
Prastowo, Andi. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press.
2014.
Puskur Balitbang Depdiknas. Draft Panduan Penyusunan Kurikulum dan Silabus Bervisi
SETS (Salintemas) Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Puskur Balitbang Depdiknas. 2006.
Rosario, B.,I,. Science, Technology, Society, dan Evironment (STSE). Approach in
Environment Science For Non Science Student in a local Culture. ISSN: 20994-
1064 CHED Accredited Research Journal, CategoryB. 6 (1). 2009.
Rusman. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2010.
Sudjana, Nana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung :Sinar Baru Algensido
Offset. 2004.
Sulistyorini, Sri. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya Dalam KTSP.
Semarang: Tiara Wacana. 2007.
UU No. 20. 2003. Tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20. 2008.
Viola, S. R., giretti, A., & leo, T. Detecting Differences in “Meaningful Learning”
Behaviours and their Evaluation: a Data Driven Approach. International
Journal of Computing & Information Science. 5 (2) : 63-73. 2007.
Wisudawati & Eka. Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.
Abstrak
Pendidikan budi pekerti merupakan karakter Bangsa Indonesia sejak sebelum terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karakter sebagai moral excellence atau akhlak atau
pula budi pekerti dibangun di atas kebijakan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki
makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam budaya (bangsa). Untuk
meningkatkan karakter individu yang lebih baik pemerintah kabupaten Cirebon sejak tahun
2004 menjadikan mata pelajaran Budi Pekerti sebagai matapelajaran di Sekolah Dasar.
Tujuan dari Penelitian ini ialah Mengetahui seberapa besar pengaruh implementasi
pembelajaran muatan lokal Budi Pekerti terhadap karakter siswa Sekolah Dasar di
Kabupaten Cirebon. Jenis penelitian ini adalah korelasional, mengingat penelitian sejenis
di lokasi penelitian ini belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai sebuah penelitian
korelasi untuk mengetahui pengaruh implementasi pembelajaran muatan lokal budi pekerti
terhadap karakter siswa.Hasil Uji regresi terdapat R Square sebesar 0,665 dari koefisien
korelasi (0,815) R-Square disebut koefisien determinasi yang dalam hal ini 66% peningkatan
nilai karakter siswa dapat dipengaruhi oleh pembelajaran budi pekerti dan 34% dipengaruhi
faktor lain. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai F yang mengasumsikan bahwa
kedua varian sama adalah dengan nilai t = 4,337 dengan derajat kebebasan (df) = n1 + n2 – 2
= (200 + 200 – 2 = 398). α = 0,05 diperoleh Sig. 0,000. Karena nilai Sig. 0,000 < 0,05 dengan
demikian Ho ditolak dengan kata lain Ha diterima, artinya terdapat pengaruh pembelajaran
budi pekerti terhadap karakter siswa.
PENDAHULUAN
Di indonesia angka kenakalan remaja sangat tinggi,hal ini menurut Wahidin (2011 :
116 ) di sebabkan oleh sistem pendidikan yang kurang berhasil dalam membentuk
sumberdaya manusia melalui pendidikan karakter yang tangguh berbudi pekerti luhur,
tanggung jawab, disiplin dan mandiri yang terjadi hampir disemua jenjang pendidikan.
Hal tersebut membuktikan bahwa lembaga pendidikan yang ada belum dapat
mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU No 20 tahun 2003
tentang sisdiknas.
Pendidikan budi pekerti merupakan karakter Bangsa Indonesia sejak sebelum
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. karakter sebagai moral excellence
atau akhlak atau pula budi pekerti dibangun di atas kebijakan (virtues) yang pada
gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam
budaya (bangsa). Karakter bangsa indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara
indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebijakan
berdasarkan nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa indonesia. Oleh karena itu,
pendidikan budaya dan karakter bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-
nilai yang mendasari suatu kebijakan sehingga menjadi suatu kepribadian tersendiri
dari warga negaranya dengan bertingkah laku yang berbudi pekerti luhur.
Ki Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa menekankan betapa pentingnya
pendidikan budi pekerti sejak usia dini di sekolah. Mata pelajaran ini memfasilitasi
siswa guna mengkaji nilai-nilai humanitas, misalnya prinsip kejujuran, memperjuangkan
keadilan,sikap tepa slira dan menghargai perbedaan yang ada (SKH Kedaulatan Rakyat
Oktober 2006). Budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah.2007:17). Menurut
draf kurikulum berbasis kompetensi (2001) budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku
manusia Ada Beberapa Pendapat tentang Budi Pekerti yaitu: yang akan diukur menurut
kebaikan dan keburukan melalui norma agama, norma hukum, tatakrama dan sopan
santun, norma budaya adat istiadat masyarakat. Budi pekerti berinduk pada “etika” atau
filsafat moral.
Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma
agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat-istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah
yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilainilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil (Tim
Pendidikan Karakter, 2010).
Martin Luther King, Jr., dalam sebuah ceramahnya di Morehouse Colege 1948
menegaskan: “We must remember that intelligence is not enough. Intelligence plus
character—that is the goal of true education”. Kutipan “ceramah” filosuf handal tersebut
menegaskan satu hal bahwa parameter keberhasilan sebuah pendidikan tidak cukup
hanya melahirkan siswa yang memiliki kecerdasan secara intelektual saja, namun
diperlukan intelejensi tambahan yakni karakter, inilah tujuan dari sebuah pendidikan
(Freeforum.org, 2012). Sementara itu, Down berdasarkan pengalamannya di berbagai
negara menyimpulkan, bahwa tujuan pendidikan itu ada dua, yakni: membantu anak-
anak muda menjadi pintar dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Lebih
lanjut, Down menegaskan; karakter yang baik tidak bisa dibentuk secara otomatis. Ia
dibentuk melalui proses waktu dalam pendidikan yang berkelanjutan, melalui teladan,
belajar dan praktik (“Good character is not formed automatically; it is developed over time
through a sustained process of teaching, example, learning and practice. It is developed
through character education”).
Nilai-nilai karakter dan budi pekerti yang dapat dintegrasikan dan dipraktekan di
sekolah antara lain keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mentaati ajarannya,
menaati ajaran masing-masing agama, memiliki dan mengembangkan sikap toleransi,
memiliki rasa menghargai diri sendiri, tumbuhnya disiplin diri, mengembangkan etos
kerja/etos belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki rasa keterbukaan, mampu
mengendalikan diri, mampu berfikir positif, mengembangkan kualifikasi diri,
menumbuhkan rasa cinta dan kasuh sayang, memiliki kebersamaan dan gotong royong,
memiliki rasa kesetiakawanan, saling menghormati, memiliki tata krama dan sopan
santun, memiliki rasa malu, menumbuhkan kejujuran.
Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin sebagaimana dikutip
Abdul Majid dan Diyan Andayani mengandung tiga unsur pokok yaitu mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (Loving the good) dan melakukan
kebaikan (doing the good) (Majid dan Andayani, 2011: 11). Lebih lanjut Furqon
menyimpulkan bahwa karakter adalah kualitas mental atau kekuatan mental atau moral,
akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi
pendorong dan penggerak, serta membedakan dengan individu yang lain (Hidayatullah,
2010: 13).
Kata karakter terkadang juga disandingkan dengan beberapa kata seperti budi
pekerti, akhlak, etika atau moral. Budi pekerti secara epistemologi berarti penampilan
diri berbudi sedangkan secara leksikal budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, watak
atau akhlak. Secara operasional, budi pekerti adalah perilaku yang tercermin dalam
kata, perbuatan, pikiran, sikap, perasaan, keinginan dan hasil karya (Majid dan
Andayani, 2011: 13).
Karakter atau budi pekerti berkembang melalui empat tahap yaitu tahap
anatomi, heteronomi, sosionomi, dan anatomi (Bull, 1969; Rachman, 2000). Mengingat
METODE
Jenis penelitian ini adalah korelasional, mengingat penelitian sejenis di lokasi
penelitian ini belum pernah dilakukan. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian kuantitatif. Oleh sebab itu, sebagai sebuah penelitian korelasi untuk
mengetahui pengaruh implementasi pembelajaran muatan lokal budi pekerti terhadap
karakter siswa.
Ada dua jenis variabel dalam penelitian ini, yakni variabel bebas (independent)
berupa pembelajaran budi pekerti (X), dan variabel terpengaruh (dependent) berupa
karakter siswa (Y). Kedua variabel tersebut akan diteliti mengenai pengaruhnya
satu sama lain sebagai objek materil dari penelitian ini.
Populasi dari penelitian ini adalah siswa SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD
Negeri 2 Pabuaran Kidul Kabupaten Cirebon Tahun Akademik 2016/2017. Total
populasinya adalah 712 siswa. Adapun rinciannya sesuai tabel berikut ini:
Tabel 1
Jumlah Populasi
Jumlah SDN 1 SDN 2
Siswa Cipeujeuh Pabuaran
Wetan Kidul
Laki-laki 218 154
Permpuan 194 146
Jumlah 412 300
Total 712
Sampel dalam penelitian ini adalah 200 SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD Negeri
2 Pabuaran kidul.
Instrument yang digunakan adalah lembar angket. Lembar angket ini digunakan
untuk mendapatkan data tentang kontribusi pembelajaran budi pekerti terhadap
karakter siswa. Lembar angket ini diberikan kepada siswa, berisi pernyataan dan
pertanyaan mengenai gambaran pembelajaran budi pekerti menumbuhkan karakter
bangsa pada siswa. Lembar angket ini dipilih karena memudahkan untuk mendapatkan
data dalam waktu yang singkat dan responden dalam jumlah yang banyak. Dengan
menggunakan lembar angket yang diberikan kepada siswa agar terhindar dari subjektif
guru. Berikut ini kisi-kisi angket yang di gunakan dalam penelitian:
Tabel 2
Kisi-kisi Angket
Budi Pekerti Berkaitan dengan Nilai Karakter
No
No Indikator Deskripsi
Pernyataan
1. Religius 1. Berdoa sebelum belajar 1
2. Melaksanakan ibadah sesuai
keyakinan 2
9
5. Kerja 1. Mengerjakan soal ulangan sendiri 10
Keras 2. Rajin belajar demi mendapat nilai
besar 11
6. Kreatif 1. Membuat rangkuman dari pelajaran 12
yang telah dipelajari
2. Membuat daftar pertanyaan atau
catatan kecil dari pelajaran yang akan
atau telah dipelajari 13
7. Mandiri 1. Menyiapkan perlengkapan sekolah 14
sendiri
2. Tidak mudah meminta pertolongan
teman saat mengerjakan tugas 15
sekolah
8. Demokrati 1. Tidak memaksakan pendapat kepada 16
s teman
2. Meminta pendapat teman saat ada
tugas kelompok
17
9. Rasa Ingin 1. Mendengarkan penjelasan guru 18
Tahu 2. Senang bertanya
19
10. Semangat 1. Senang memperingati hari besar 20
Kebangsa nasional
an 2. Iuran untuk kegiatan 17 Agustus
21
11. Cinta 1. Senang menggunakan bahasa 22
Tanah Air Indonesia
2. Hapal lagu kebangsaan Indonesia
23
12. Mengharg 1. Mengakui kelebihan teman 24
ai Prestasi 2. Menghargai hasil karya teman
25
13. Bersahaba 1. Membantu teman 26
t/ 2. Bermain dan belajar bersama 27
Komunika
tif
14. Cinta 1. Memaafkan ketika teman salah 28, 39
Damai 2. Berkata santun dan sopan kepada 29
teman
Tabel 3
Hasil Uji Reliabilitas Angket
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.635 40
Hasil uji regresi dilakukan dengan menggunakan. SPSS.V. 21, dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 4
Pengaruh Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Budi Pekerti terhadap
Karakter Siswa SD di Kabupaten Cirebon
Model Summary
Model R R Adjusted Std. Error of
Squ R Square the Estimate
are
1 .815 .665
a .663 6.711
a. Predictors: (Constant), trust
Pada tabel ini terdapat R Square sebesar 0,665 dari koefisien korelasi (0,815) R-
Square disebut koefisien determinasi yang dalam hal ini 66% peningkatan nilai karakter
siswa dapat dipengaruhi oleh pembelajaran budi pekerti. Sisanya 34% dipengaruhi oleh
faktor lain.
Tabel 5
Signifikansi Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal Budi Pekerti terhadap
Karakter Siswa SD di Kabupaten Cirebon
ANOVAa
Mo Sum of df Mean F Sig.
del Squares Squa
re
17681.710 1 1768 392 .00
Regress
1.71 .57 0b
ion
0 6
1
Residua 8917.970 198 45.0
l 40
Total 26599.680 199
a. Dependent Variable: partisipasi
b. Predictors: (Constant), trust
Pada tabel ini terlihat bahwa nilai probabilitasnya atau signifikasinya adalah
0,000 < 0,05 hal ini menunjukan model regresi linier dapat digunakan.
Tabel 6
Coefficientsa
Model Unstandardiz Standardiz t Sig.
ed ed
Coefficients Coefficient
s
B Std. Beta
Error
(Consta 11.9 5.424 2.19 .029
nt) 00 4
1
.916 .046 .815 19.8 .000
trust
14
a. Dependent Variable: partisipasi
Pada tabel ini menunjukan regresi yang dicari. Nilai signifikasi di atas adalah 0,029
dan 0,000 (<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai pada kolom B adalah
signifikan artinya persamaan yang paling tepat untuk kedua variable tersebut adalah : Y
= 11.900 + 0, 916 X.
Mengetahui hasil dari uji hipotesis dapat dilakukan dengan uji t, maka dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 7
Hasil Uji Hipotesis
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig.
Me Std. Std. 95% (2-
an Dev Err Confiden tail
iati or ce ed)
on Me Interval
an of the
Differenc
e
Lo Upp
wer er
pa 2.0 6.7 .47 1.1 3.0 4.3 199 .00
rti 70 50 7 29 11 37 0
si
Pa pa
ir si
1 -
tr
us
t
Berdasarkan hasil uji pada tabel di atas diperoleh nilai F yang mengasumsikan bahwa
kedua varian sama adalah dengan nilai t = 4,337 dengan derajat kebebasan (df) = n1 +
n2 – 2 = (200 + 200 – 2 = 398). α = 0,05 diperoleh Sig. 0,000. Karena nilai Sig. 0,000 <
0,05 dengan demikian Ho ditolak dengan kata lain Ha diterima, artinya terdapat
pengaruh pembelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa.
KESIMPULAN
Pada uji regresi terdapat R Square sebesar 0,665 dari koefisien korelasi (0,815) R-
Square disebut koefisien determinasi yang dalam hal ini 66% peningkatan nilai karakter
siswa dapat dipengaruhi oleh pembelajaran budi pekerti dan 34% dipengaruhi faktor
lain. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh nilai F yang mengasumsikan bahwa kedua
varian sama adalah dengan nilai t = 4,337 dengan derajat kebebasan (df) = n1 + n2 – 2 =
(200 + 200 – 2 = 398). α = 0,05 diperoleh Sig. 0,000. Karena nilai Sig. 0,000 < 0,05
dengan demikian Ho ditolak dengan kata lain Ha diterima, artinya terdapat pengaruh
pembelajaran budi pekerti terhadap karakter siswa.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kemajuan kegiatan
penelitian yang berjudul “Pengaruh Implementasi Pembelajaran Muatan Lokal
Budi Pekerti Terhadap Karakter Siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Cirebon”.
Laporan kemajuan kegiatan ini dapat diselesaikan dengan baik, tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankanlah
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan
2. Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon
3. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Muhammmadiyah Cirebon.
4. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammmadiyah
Cirebon
5. Kepala Sekolah dan Guru-guru SD Negeri 1 Cipeujeuh Wetan dan SD Negeri 2
Pabuaran Kidul Kabupaten Cirebon.
6. Pihak-pihak yang telah membantu dan mensukseskan pelaksanaan kegiatan ini.
Kami berharap kegiatan yang telah terlaksana ini dapat bermanfaat untuk
pengembangan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan Universitas
Muhammmadiyah Cirebon, serta masyarakat pada umumnya.
REFERENSI
Abdul Majid, Dian Andayani. 2011. Pendidikan Karakter Prespektif Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan
penguatan metodologi pembelajaran berdasarkan nilai-nilai budaya untuk
membentuk daya saing dan karakter bangsa (Pengembangan Pendidikan
Kewirausaaan). Jakarta:Pendidikan Nasional
Balitbang Dikbud, 1997, Pedoman Pembelajaran Budi Pekerti, Jakarta: Pusbang-
kurrandik
Cahyoto. 2002. Budi Pekerti Dalam Perspektif Pendidikan. Malang : Depdiknas Dirjen
Pendidikan Dasar dan Menengah – Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang
Depdiknas. 2001. Pedoman Umum Manajemen Sekolah Berwawasan Budi Pekerti.
Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas
Free Forum, 2012, Character Education, dalam
<http://www.freedomforum.org/publication/first/findingcommonground/B13.
CharacterEd.pdf> , diakses tanggal 18 Februari 2012.
Rachman, Maman. 2000. Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi
Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7 No. 028,
hlm. 1-11.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains
Berbasis Web dengan Certainty of Response Index (CRI) yang teruji baik untuk
mengidentifikasi miskonsepsi sains mahasiswa calon guru IPA. Metode yang digunkan pada
penelitian ini adalah metode waterfall. Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis
Web dengan CRI yang dikembang berupa website yang dapat diakses secara online.
Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI mendapatkan
penilaian yang sangat layak dari ahli materi dan evaluasi. Electronic Diagnostic Test
Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi
miskonsepsi yang dialami oleh mahasiswa secara secara online tanpa harus mencetak
mengunakan kertas (paperless). Dengan penerapan Electronic Diagnostic Test Miskonsepsi
Sains Berbasis Web dengan CRI dosen dapat merencanakan dan menganalisis remediasi
konsep yang benar sesuai pendapat para ilmuan.
PENDAHULUAN
Penguasaan konsep sains secara benar mutlak harus dimiliki oleh setiap guru
sains atau IPA. Apapun bentuk peran yang dimainkan seorang guru sains di kelas, siswa
akan belajar dari guru tentang konsep sains yang sedang mereka pelajari. Oleh karena
itu, guru sains tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun dalam memahami suatu
konsep, hukum maupun teori sains. Jika seorang guru memiliki kesalahan konsep Sains
dan hal tersebut tidak mereka sadari maka kesalahan itu akan secara tidak sengaja akan
beralih kepada para siswa.
Dalam beberapa studi tentang kesalahan konsep atau miskonsepsi terungkap
bahwa miskonsepsi tidak hanya terjadi pada siswa. Miskonsepsi juga dapat terjadi pada
guru dan calon guru sains (Taufiq, 2012; Widyasari, 2011). Miskonsepsi pada siswa
terjadi diantaranya karena miskonsepsi yang dimiliki guru kemudian ditransfer ke siswa
melalui kegiatan pembelajaran. Jika hal ini terjadi maka semakin banyak orang yang
mengalami miskonsepsi tersebut.
Guru atau calon guru IPA yang mengalami miskonsepsi sains memiliki resiko
yang besar pada pembelajaran konsep IPA yang benar. Pengetahuan yang diperoleh dari
seorang guru yang mengalami miskonsepsi akan menjadi konsepsi awal (prakonsepsi)
muridnya pada jenjang pendidikan yang selanjutnya. Prakonsepsi tersebut menjadi
masalah apabila masih menetap dalam diri siswa (resisten) walaupun telah diberikan
pemahaman yang benar (konsep ilmiah). Kesalahan terbesar dari suatu proses
pembelajaran adalah tidak menelusuri pengetahuan awal (prior knowledge) yang
dimiliki oleh siswa tentang topik pembelajaran sebelum menyajikan topik yang
dimaksud. Hal ini disebabkan siswa telah memiliki pengalaman sebelumnya dengan
topik yang tersebut. Eggen dan Kauchak, (2004) menyatakan berkaitan dengan
miskonsepsi adalah sekali miskonsepsi tersebut terjadi maka hal tersebut akan sulit
untuk dirubah dan memiliki miskonsepsi akan berakibat serius pada pembelajaran.
Boo (2007) melaporkan bahwa terdapat miskonsepsi pada guru mengenai
fenomena sains biologi dasar. Beberapa miskonsepsi pada konsep dasar khususnya
biologi diantaranya tentang bernapas dan respirasi, reproduksi pada tanaman, struktur
sel dan mekanismenya dan berbagai sistem pada manusia. Taufiq (2012) juga
mengungkapkan bahwa mahasiswa mengalami miskonsepsi berkaitan dengan konsep
gaya dengan tingkatan yang berbeda-beda yaitu tingkat tinggi, sedang, dan rendah.
Penyebab miskonsepsi yang dialami mahasiswa pada konsep gaya adalah karena
kesalahan bahasa, tayangan film, kemampuan berfikir, latar belakang keluarga, konsepsi
parallel, dan kesalahan konsepsi awal mahasiswa.
Kondisi demikian tentu saja perlu segera diatasi mengingat pengusaan materi
merupakan salah satu faktor yang utama yang harus dikusai oleh guru ataupun calon
guru. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya jika guru mengajar, namun konsep
yang diajarkan ternyata tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang benar atau
berkebalikan dengan konsep ilmuan. Miskonsepsi menjadi masalah yang serius dalam
pembelajaran karena memberikan murid-murid pemikiran/ rasa (sense) yang salah
dalam mengetahui sehingga membatasi usaha mental yang mereka investasikan dalam
belajar, dan terjadi interferensi antara konsep yang telah dipelajari (salah) dengan yang
sedang dipelajari (benar). Miskonsepsi juga dapat bersifat menetap saat tidak terbukti
salah atau mendapat tantangan konsep lain.
Berdasarkan uraian tersebut maka identifikasi miskonsepsi sains mahasiswa
calon guru IPA menjadi sangat penting dan harus segera dilakukan, mengingat
karakteristik pekerjaan guru IPA yang sangat memerlukan pemahaman konsep sains
yang benar. Pengembangan perangkat tes diagnostik sudah banyak dikembangkan,
namun masih terbatas karena berupa paper test dan belum bisa diakses secara online.
Identifikasi yang cepat dapat dilakukan dengan memanfaatkan IT (Information and
Communication Technology) berbasis web berupa pengembangan Electronic Diagnostic
Test miskonsepsi sains menggunakan Certainty of Response Index (CRI).
Identifikasi miskonsepsi sains sedini mungkin diharapkan dapat membantu
penyiapan tindakan perbaikan sebelum mereka melaksanakan kegiatan belajar
mengajar pada saat PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) atau bahkan bekerja sebagai
novice teacher (guru muda). Tes berbasis Certainty of Response Index (CRI)
dikembangkan untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi sekaligus dapat
membedakannya dengan tidak tahu konsep. Secara sederhana CRI dapat diartikan
sebagai ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam menjawab setiap
pertanyaan (soal) yang diberikan. Penelitian identifikasi miskonsepsi sains calon guru
IPA menggunakan tes berbasis Certainty of Response Index (CRI) dilakukan untuk
mengukur tingkat keyakinan/kepastian calon guru IPA dalam menjawab setiap
pertanyaan (soal) yang diberikan.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Development Research) yang
diarahkan untuk mengembangkan Electronic Diagnostic Test miskonsepsi sains
menggunakan Certainty of Response Index (CRI). Subjek penelitian adalah mahasiswa
pogram studi pendidikan IPA tahun ajaran 2016/2017. Penelitian ini dirancang sebagai
Research and Development (R & D) dengan metode waterfall. Model waterfall adalah
model klasik yang sistematis dan urut (Martono & Nurhayati, 2014).
jawabannya benar maka dikategorikan tahu konsep, dan apabila jawabannya salah
maka dikategorikan miskonsepsi. Sedangkan apabila jawaban salah dengan indeks CRI
rendah (<1,5 dari skala 3) maka dikategorikan tidak tahu konsep. Instrumen tes ini
terdiri dari 10 indikator secara umum dengan 10 item soal.
Tabel 1 Ketentuan untuk membedakan antara tahu konsep, miskonsepsi dan tidak tahu
konsep untuk responden secara individu
Kriteria jawaban CRI rendah (<1,5) CRI tinggi (>1,5)
Jawaban benar Jawaban benar tapi CRI Jawaban benar dan CRI
rendah berarti tidak tahu Tinggi berarti menguasai
konsep (lucky guess) konsep dengan baik
Jawaban salah Jawaban salah dan CRI Jawaban salah tapi CRI
rendah berarti tidak tahu tinggi berarti terjadi
konsep miskonsepsi
(Hasan et al., 1999)
Tabel 1 menunjukkan empat kemungkinan kombinasi dari jawaban (benar atau
salah) dan CRI (tinggi atau rendah) untuk tiap responden secara individu. Untuk seorang
responden dan untuk suatu pertanyaan yang diberikan, jawaban benar dengan CRI
rendah menandakan tidak tahu konsep, dan jawaban benar dengan CRI tinggi
menunjukkan penguasaan konsep yang tinggi. Jawaban salah dengan CRI rendah
menandakan tidak tahu konsep, sementara jawaban salah dengan CRI tinggi
menandakan terjadinya miskonsepsi. Selanjutnya dapat dilakukan pengecekan
keabsahan data dengan cara menggunakan angket dan dokumentasi. Adapun tahap-
tahap penelitian ini yaitu tahap pendahuluan, tahap pengembangan CRI, tahap
pengumpulan data, analisis dan membuat simpulan.
Berdasarkan aspek komunikasi visual, ahli TIK memberikan saran agar gambar
latar belakang hendaknya dipilih lebih interaktif dan menggunakan layout design yang
tepat, typography, dipilih warna yang lebih cerah. Secara umum ahli materi dan TIK
menyatakan bahwa desain electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan
CRI sudah sangat baik. Peneliti melakukan perbaikan dengan mempertimbangkan saran
dari ahli, kemudian dilakukan diskusi dan evaluasi untuk mendapatkan rekomendasi
baik dan valid terhadap desain electronic diagnostic test miskonsepsi sains
menggunakan CRI. Pada aspek rekayasa sistem secara umum dinyatakan bahwa
electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI sudah baik.
b. Validasi Produk
Kelayakan produk electronic diagnostic test miskonsepsi sains menggunakan CRI
dilakukan oleh ahli materi dan TIK menggunakan lembar validasi berupa angket yang
dikembangkan peneliti. Hasil validasi ahli terhadap produk electronic diagnostic test
miskonsepsi sains menggunakan CRI tersaji pada Tabel 4.
SIMPULAN
Telah dikembangkan electronic diagnostic test miskonsepsi sains berbasis web
dengan CRI yang mendapatkan validasi yang baik dari ahli dan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh mahasiswa secara secara online tanpa
harus mencetak mengunakan kertas (paperless). Dengan penerapan Electronic
Diagnostic Test Miskonsepsi Sains Berbasis Web dengan CRI dosen dapat dimudahkan
dalam merencanakan dan menganalisis remediasi konsep yang benar sesuai pendapat
para ilmuan.
REFERENSI
Amien, M. (1990). Pemetaan konsep: Suatu tehnik untuk meningkatkan belajar yang
bermakna. Jurnal Mimbar Pendidikan. 2 (1), 55-69.
Boo, H. K. 2007. Primary Science Assesment Item Setters’ Misconception Concerning
Biological Ccience Concept. Journal of Asia-Pasific on Science Learning and
Teaching. 8 (1), 1-13.
Eggen, P. & Kauchak, D. 2004. Educational Psychology: Windows, Classrooms. Upper
Saddle River: Pearson Prentice Hall.
Hasan, S., D. Bagayoko, D., & Kelley, E. L. (1999). Misconseptions and the Certainty of
Response Index (CRI). Physics Education Journal, 34(5), 294- 299.
Martono, K.T. & Nurhayati, O. D. 2014. Implementation of android based mobile
Learning application as a flexible learning Media. International Journal of
Computer Science. 11 (1), 168-174.
Sund, R. B., & Trowbridge, L. M. (1973). Teaching Science by inquiry in the secondary
school 2nd ed. Columbia, Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.
Suparno, P. (2013). Miskonsepsi & Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Sutrisno, L., Kresnadi, H., & Kartono. (2007). Pengembangan Pembelajaran IPA SD.
Jakarta: Depdiknas.
Taufiq, M., Nathan H., & Khumaedi. (2010). Student’s Science Misconceptions Concerning
The State Changes of Water and Their Remediation Using Three Different
Learning Models In Elementary School. Prosiding Seminar Nasional Fisika Unnes
2010. Universitas Negeri Semarang.
Taufiq, M. (2012). Remediasi miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika pada Konsep
gaya melalui penerapan model siklus belajar (learning cycle) 5E. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia (JPII). 1 (2), 198-203.
Van den Berg. (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga: UKSW.
Widyasari, R. (2011). Identifikasi Miskonsepsi Siswa dan Guru Terhadap Konsep-
konsep SAINS Kelas V Semester 1 di Gugus II Kecamatan Kartoharjo Kabupaten
Magetan . Skripsi. FKIP Universitas Negeri Malang.
Abstrak
Orientasi pendidikan saat ini tidak hanya menuntut guru untuk terampil menguasai bahan
ajar. Lebih dari itu, guru diharapkan dapat memiliki keterampilan menyusun dan
mengembangkan bahan ajar. Namun, rendahnya motivasi guru dan calon guru dalam
menyusun bahan ajar menjadi masalah yang perlu diselesaikan. Tujuan penelitian ini untuk
menganalisis motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui
model Project Based Learning (PjBL). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan menggunakan instrumen berupa lembar observasi dan lembar angket
motivasi. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi PGSD Universitas
Muhammadiyah Cirebon yang mengontrak matakuliah Pembelajaran IPA. Temuan penelitian
ini telah memberikan gambaran motivasi belajar mahasiswa dalam menyusun bahan ajar
cetak IPA. Hasil angket motivasi menunjukkan skor 3,9 yang berarti mahasiswa sangat
termotivasi dalam menyusun bahan ajar IPA. Dengan demikian, model Project Based
Learning (PjBL) dapat dijadikan salah satu alternatif model pembelajaran untuk
menciptakan motivasi belajar mahasiswa dalam menyusun bahan ajar.
PENDAHULUAN
Bahan ajar merupakan salah satu komponen kurikulum pendidikan yang
memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Seorang guru dituntut untuk
menguasai bahan ajar agar mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif dan
dinamis. Akan tetapi tidak semua bahan ajar yang tersedia sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik peserta didik. Sukerni (2014) dalam penelitiannya menjelaskan
“Berdasarkan analisis kebutuhan, para guru membutuhkan buku ajar yang sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dalam belajar”. Oleh karena itu, guru dituntut
untuk dapat menyusun dan mengembangkan bahan ajar agar pembelajaran yang
disampaikan relevan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.
Pada kenyataanya, motivasi guru dalam menyusun bahan ajar masih rendah. Hal
ini didukung oleh pendapat Sinaga (2015) yang mengemukakan “masalah yang
teridentifikasi pada studi lapangan ialah rendahnya kemampuan dan keterampilan guru
dalam menulis bahan ajar”. Para guru menganggap menulis bahan ajar merupakan hal
yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama sehingga kurang termotivasi dalam
menyusun bahan ajar. Hal ini berimplikasi pada rendahnya jumlah buku ajar yang
diterbitkan. Sembiring (2007) yang mengungkapkan “jumlah penerbitan buku yang
ditulis oleh guru relatif masih kurang dibandingkan dengan jumlah guru ada sekitar 2,7
juta orang”.
Berdasarkan hasil observasi pada matakuliah Pembelajaran Ilmu Pendidikan
Alam (IPA), mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang merupakan calon
guru juga memiliki motivasi yang rendah dalam menyusun bahan ajar khususnya IPA.
Mahasiswa beranggapan, bahan ajar IPA bisa didapatkan dengan mudah dari buku paket
baik cetak maupun online yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, guru terbiasa
membeli bahan ajar cetak lainnya yang ada di berbagai toko buku. Oleh karena itu,
mahasiswa kurang termotivasi dalam menyusun bahan ajar. Padahal penting bagi
mahasiswa PGSD untuk belajar menyusun bahan ajar agar terlatih untuk menampilkan
bahan ajar yang relevan dengan karakteristik dan kebutuhan siswa yang akan diajarnya.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengembangkan keterampilan
menulis mahasiswa PGSD adalah menggunakan pembelajaran berbasis proyek atau
Project Based Learning (PjBL). PjBL dapat memfasilitasi calon guru untuk dapat menulis
bahan ajar sehingga sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Tiantong, M &
Sumalee Siksen (2013) mengemukakan “PjBL has been found to be effective to increase
student learning achievement, acquiring knowledge through active learning, gaining
interdisciplinary and multidisciplinary knowledge”. Model PjBL juga dapat meningkatkan
berbagai keterampilan dan memberikan pengalaman nyata sehingga pembelajaran
menjadi aktif. Dengan demikian, melalui PjBL diharapkan keterampilan menyusun
bahan ajar IPA mahasiswa PGSD akan lebih baik sehingga kelak akan mampu
mengimplementasikan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah penelitian ini
adalah “motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui
model Project Based Learning (PjBL)?”. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis motivasi belajar mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar IPA melalui
model Project Based Learning (PjBL).
KAJIAN TEORITIS
1. Motivasi Belajar Mahasiswa PGSD
Motivasi merupakan salah satu faktor psikis yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pembelajaran. Mc. Donal (Sardiman, 2009) motivasi adalah perubahan
energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului
dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Tujuan dari motivasi adalah untuk
menggerakkan atau menggugah seseorang sehingga timbul keinginan dan kemauan
untuk melakukan sesuatu sehingga memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
Dalam kegiatan pembelajaran, motivasi bertujuan untuk menggerakkan atau
menggugah seseorang agar mau belajar dengan baik.
Terdapat berbagai macam motivasi yang berpengaruh terhadap
pembelajaran. Jenis-jenis motivasi itu dapat dilihat dari berbagai jenis sudut
pandangnya. Motivasi intrinsik merupakan motif yang tidak perlu dirangsang dari
luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan
sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motif yang aktif dan berfungsi
karena adanya perangsang dari luar.
Ada beberapa bentuk atau cara yang dapat digunakan oleh guru untuk
memotivasi siswa dalam belajar di sekolah, di antaranya menurut Sardiman (2009)
adalah: a) pemberian angka, angka merupakan salah satu motivasi yang sangat kuat
karena banyak siswa yang ingin mendapatkan angka atau nilai yang baik; b) hadiah,
hadiah dapat menjadi motivasi yang menarik bagi seseorang untuk belajar; c)
persaingan atau kompetisi, persaingan akan meningkatkan kegiatan belajar yang
berakibat pada peningkatan prestasi belajar siswa; d) ego-involvement, bekerja keras
demi mempertaruhkan harga diri merupakan salah satu bentuk motivasi belajar
yang cukup penting; e) memberi ulangan, ulangan akan membuat siswa lebih giat
dalam belajar; f) pujian, pujian merupakan reinforcement yang positif dan sekaligus
merupakan motivasi yang baik untuk meningkatkan harga diri siswa.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Sugiyono (2012)
mengemukakan bahwa “penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci”. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini berupa lembar observasi dan lembar angket motivasi.
Adapun kriteria dari nilai angket motivasi tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 1.1
Kriteria Motivasi Belajar
Rentang Rata-rata
No. Kriteria
Skor
1 3,01 < skor ≤ 4,00 Sangat
Termotivasi
2 2,01 < skor ≤ 3,00 Termotivasi
3 1,01 < skor ≤ 2,00 Cukup
Termotivasi
4 0 < skor ≤ 1,00 Kurang
Termotivasi
tahapan seperti yang telah dijelaskan oleh Doppelt (2005) dengan implementasi yang
telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.
Tabel 1.2
Implementasi PjBL di Kelas
N Tahapan PjBL Pelaksanaan Implementasi
o
1. Merancang Tujuan Pada tahapan ini, mahasiswa melakukan kegiatan
(Design Purpose) diskusi yang berkaitan dengan masalah-masalah
yaitu pembelajaran di SD. Masalah-masalah tersebut
mendefinisikan diantaranya pembelajaran yang disajikan kurang
masalah efektif dan interaktif. Selain itu, tujuan
pembelajaran lebih sulit dicapai oleh siswa
terutama pada pembelajaran IPA. Pada langkah ini
juga, mahasiswa membatasi permasalahan
pembelajaran yang bersumber pada bahan ajar.
2. Mengajukan Langkah ini dilakukan oleh mahasiswa dengan
pertanyaan/inquir menganalisis masalah bahan ajar IPA. Berbagai
y (Field Inquiry) masalah yang berkaitan dianalisis penyebabnya
yaitu apakah bersumber dari siswa, guru, atau
mendefinisikan pemerintah. Pada tahapan ini juga, mahasiswa
aspek inquiri mendapatkan sejumlah pertanyaan yang berkaitan
dalam cakupan dengan rendahnya kemampuan guru dalam
masalah menyusun bahan ajar sehingga menyebabkan
pembelajaran di kelas kurang efektif.
No Rata-
Pernyataan
. Rata
Based Learning (PjBL) menjadi menarik
10 Saya setuju bahwa model pembelajaran Project Based
Learning (PjBL) adalah model yang efektif dan inovatif untuk 3,8
diterapkan dalam pembelajaran menyusun bahan ajar
Rata-Rata 3,9
Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap item pernyataan yang
ada pada lembar angket motivasi menunjukkan nilai dengan rentang 3,8 sampai 4,0
(skor maksimum 4,0) yang bermakna mahasiswa PGSD sangat termotivasi dalam belajar
menyusun bahan ajar IPA dengan menggunakan model PjBL di kelas pada matakuliah
pembelajaran IPA. Hal ini menunjukkan nilai yang sangat positif terhadap ketertarikan
mahasiswa dalam belajar menyusun bahan ajar. Hasil ini sejalan dengan pendapat
Moursound (Wena: 2011) yang mengemukakan beberapa kelebihan dari implementasi
pembelajaran PjBL diantaranya yaitu increased motivation, meningkatkan motivasi
belajar siswa; increased collaboration, meningkatkan semangat dan keterampilan
berkolaborasi/bekerjasama; dan increased resource management skills, meningkatkan
keterampilan dalam manajemen sumber daya.
Berdasarkan hasil observasi dan angket, mahasiswa PGSD menunjukkan sikap
senang, tidak mudah bosan, dan semangat belajar dalam menyusun bahan ajar IPA pada
saat belajar di kelas menggunakan model PjBL. Dengan semangat yang tinggi hasil bahan
ajar yang dibuat menjadi lebih maksimal. Morales (2013) mengemukakan bahwa PjBl
dapat memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa. Selain itu, mahasiswa
juga menjadi lebih aktif berdiskusi dan bekerjasama dengan lebih baik dalam
pembelajaran ini. Mahasiswa beranggapan model PjBL menjadikan pembelajaran lebih
efektif dan inovatif sehingga mahasiswa menjadi sungguh-sungguh dan termotivasi
dalam belajar membuat bahan ajar IPA. ChanLin (2008) mengemukakan hasil
penelitiannya menggunakan PjBL “the results of the study indicate that all of the students
achieved their research goals”. Selain itu, Wang, etc (2015) juga menungkapkan bahwa
PjBL dapat meningkatkan kemampuan menulis siswa. Dengan demikian, PjBL
menjadikan mahasiswa PGSD mampu menyusun bahan ajar dengan baik.
KESIMPULAN
Penelitian ini telah memberikan manfaat dalam meningkatkan motivasi
mahasiswa PGSD dalam menyusun bahan ajar. Hal ini dibuktikan dengan hasil angket
motivasi menunjukkan skor 3,9 yang berarti mahasiswa sangat termotivasi dalam
menyusun bahan ajar IPA melalui PjBL. Mahasiswa menjadi lebih bersemangat belajar,
aktif, dan bekerjasama dengan rekan di kelas dalam menyusun bahan ajar IPA.
REKOMENDASI
Hasil penelitian ini memberikan rekomendasi guru, dosen maupun para
pemangku kebijakan untuk memperhatikan kebutuhan siswa akan bahan ajar. Oleh
karenanya, sorang guru perlu dilatih dalam menyusun dan mengembangkan bahan ajar
secara mandiri sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa yang dididiknya.
Dengan demikian, diharapkan pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan
serta tidak tergantung pada buku-buku yang tersedia. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan yaitu dengan mengimplementasikan model PjBL agar peserta didik menjadi
lebih termotivasi dalam belajar menyusun bahan ajar.
REFERENSI
ChanLin, L. 2008. Technology integration applied to project-based learning in science.
Innovations in Education and Teaching International
Vol. 45, No. 1, February 2008, 55–65.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2008. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas.
Doppelt, Y. 2005. Assessment of Project Based Learning in a Mechatronicts Context.
Journal of Technology Education. Volume 16, number 2.
Morales, T., etc. 2013. A One-year Case Study: Understanding the Rich Potential of
Project-based Learning in a Virtual Reality Class for High School Students. J J Sci
Educ Technol. 22; PP. 791–806.
Sardiman. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Sembiring, D. 2007. Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis dan Kualitas Karya Tulis
Ilmiah Guru. Artikel.
Sinaga, P. 2015. Desain Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Keterampilan Calon
Guru Fisika dalam Menulis Materi Ajar. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-
Journal) SNF2015 http://snf-unj.ac.id/kumpulan-prosiding/snf2015/. Volume
IV, Oktober 2015 p-ISSN: 2339-0654 e-ISSN: 2476-9398.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukerni, P. 2014. Pengembangan Buku Ajar Pendidikan IPA Kelas IV Semester I SD No. 4
Kaliuntu dengan Model Dick and Carey. Jurnal Pendidikan Indonesia. ISSN: 2303-
288X Vol. 3, No. 1, April 2014. Hal 386-396.
Tiantong, M & Sumalee Siksen. 2013. The Online Project-based Learning Model Based on
Student’s Multiple Intelligence. International Journal of Humanities and Social
Science. Vol. 3 No. 7; April 2013. PP. 204-211.
Wang, dkk. 2015. Let‘s Go Traveling – Project-Based Learning in a Taiwanese Classroom.
International Journal of Information and Education Technology. Vol. 5, No. 2,
February 2015. PP. 84-88.
Wena, M. 2011. Strategi Pembelajaran Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.
Abstrak
Implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan
metakognisi dilaksanakan pada pembelajaran sains di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kota
Salatiga. Implementasi pembelajaran ini merupakan manifestasi pelaksanaan perangkat
pembelajaran, khususnya silabus, Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP), lembar kerja,
media, dan asesmen sebagaimana diatur dalam permendiknas No. 41 Tahun 2007.
Pengembangan karakter secara tersirat tercermin dalam pembelajaran sains untuk
menumbuhkan kemampuan metakognisi. Inovasi model pembelajaran merujuk pada
penggunaan model problem based learning dalam pelaksanaan pembelajaran yang digunakan
untuk mengetahui pencapaian metakognisi peserta didik. Secara umum, penelitian ini
dilakukan dengan prosedur penelitian Research & Development. Tujuan akhir dari penelitian
ini adalah untuk meninjau secara spesifik karakteristik Program Pembelajaran Sains
Berkarakter dari penelitian yang telah dilakukan, menganalisis SWOT (Strength, Weakness,
Oppurtinities, and Threat) pada produk yang dikembangkan, serta menganalisis tingkat
pencapaian kemampuan metakognisi dari program tersebut.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan alam (IPA) akhir-akhir ini begitu pesat ditandai
dengan banyaknya penemuan-penemuan baru. Hal ini erat hubungannya dengan
perkembangan teknologi. Perkembangan IPA yang pesat menuntut para pendidik agar
mampu merancang dan melaksanakan pendidikan yang lebih terarah pada pengusaan
konsep IPA. IPA merupakan gabungan dari beberapa ilmu, antara lain biologi, fisika dan
kimia. Perkembangan IPA tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan fakta, melainkan
timbul akibat adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. IPA tidak hanya sekedar
pengetahuan, melainkan melibatkan operasi mental, keterampilan dan strategi dalam
menemukan konsep IPA itu sendiri.
IPA didefinisikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara
teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan
eksperimen. Pembelajaran IPA masih diajarkan meniru pada paradigma pendidikan
lama ”teacher centered”. Konsep dari guru diberikan kepada siswa dan siswa menerima
begitu saja sehingga siswa tidak paham untuk apa IPA dipelajari. Sehingga siswa tidak
dapat menerapkan konsep yang siswa dapat di lingkungannya. Siswa hanya menerima
konsep IPA saja tetapi jika diberi soal aplikatif dengan apa yang diajarkan gurunya maka
siswa merasa kesulitan untuk mengerjakannya. Pembelajaran IPA dewasa ini masih
diajarkan secara terpisah dan tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, sehingga perlu
adanya suatu model pembelajaran keterpaduan (Rosidi, 2015).
Karakter merupakan bentuk kepribadian yang melekat pada diri seseorang.
Berbeda dengan pendidikan moral, pendidikan karakter memiliki esensi lebih tinggi
karena menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa menjadi paham
(kognitif) tentang mana baik dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan
mampu melakukannya (psikomotor) (Khan, 2010). Lickona (1992) berpendapat bahwa
karakter yang baik meliputi memahami dengan baik, merasakan dengan baik yang
mengarah kepada kebiasaan berpikir, merasakan dan berbuat. Menurut Megawangi
(2004), pendidikan nilai bagi individu merupakan salah satu kewajiban utama yang
harus dijalankan oleh semua pihak, karena akan membentuk karakter dan merupakan
pondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera dan
beradab.
Pada prinsipnya, pengembangan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok
bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya
sekolah. Oleh karena itu, guru perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam pendidikan karakter bangsa ke dalam kurikulum berupa: Silabus, RPP, media,
serta asesmennya. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan karakter mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-
nilai agama, budaya, dan karakter sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas
keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan,
menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan
diri.
Metakognisi berasal dari kata meta yang artinya setelah, melebihi dan di atas,
sedangkan kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui serta dipikirkan oleh seseorang
atau yang mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berfikir.
Metakognisi dapat didefinisikan sebagai "berpikir tentang berpikir”, metakognisi
mengacu pada kesadaran peserta didik terhadap kemampuan yang dimilikinya serta
kemampuan untuk memahami, mengontrol dan memanipulasi proses-proses kognitif
yang mereka miliki Flavell dalam Weinert & Kluwe (1987;8) Downing (2010: 76).
Pengembangan metakognisi penting dilakukan, karena metakognisi adalah kunci
dalam pencapaian pemahaman suatu materi pelajaran agar lebih bermakna dan lebih
tahan lama. Metakognisi siswa dapat ditumbuhkan salah satunya melalui suatu program
pembelajaran yang kurikulumnya dikembangkan sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki. Program pembelajaran khususnya pada program pembelajaran sains
Berkarakter dirancang dengan suatu pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang diharapkan dapat
menumbuhkan matakognisi dan menstimulasi peserta didik untuk melakukan kegiatan
dalam rangka meningkatkan kemampuan individual dengan mengaplikasikan
kemampuan dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat kondisi tersebut, tentu saja reformasi pendidikan perlu dilakukan guna
memperbaiki keterampilan metakognisi peserta didik. Reformasi yang dimaksud
bukanlah menyangkut perubahan konten kurikulum, melainkan perubahan pedagogi,
yaitu pergeseran dari pengajaran tradisional (keterampilan berpikir tingkat rendah) ke
pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi, yang salah
satunya adalah metakognisi (Tsapartis & Zoller, 2003; Lubezky et al., 2004).
Dengan merujuk berbagai hal yang telah dipaparkan, perlu dilaksanakan suatu
pembaharuan dalam pembelajaran melalui implementasi pembelajaran sains
berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi khususnya
keterampilan metakognisi. Pembelajaran ini merupakan serangkaian poses
pembelajaran yang merupakan manifestasi pelaksanaan perangkat pembelajaran,
khususnya silabus, RPP, lembar kerja, media, dan asesmen sebagaimana diatur dalam
permendiknas No. 41 Tahun 2007. Selain itu, berkaitan dengan pengintegrasian nilai-
nilai pendidikan karakter yaitu karakter-karakter yang menunjukkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi yang salah satunya adalah metakognisi dalam pembelajaran,
program ini akan mendukung pula UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3.
METODE PENELITIAN
Implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan
keterampilan metakognisi difokuskan pada pembelajaran sains, yang pelaksanaannya
diberikan pada siswa tingkat MTs/SMP. Guna mencapai tujuan tersebut, digunakan
metode Research and Development hasil adaptasi, yang terbagi dalam beberapa tahapan
yaitu 1) define, 2) design, 3) develop dan 4) implementasi model/validasi model.
Penelitian dilakukan di MTs di Kota Salatiga dengan subjek penelitian para
siswa. Implementasi pembelajaran yang dikembangkan dilakukan melalui model
pembelajaran PBL berkarakter. Desain penelitian ditampilkan pada gambar berikut:
Data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif berupa: 1) hasil pengukuran kemampuan metakognisi siswa pada materi
sains, serta pengukuran karakter siswa; 2) analisis SWOT terkait dengan model
pembelajaran yang dilaksanakan selama penelitian yaitu model pembelajaran PBL
(Problem Based Learning). Data kualitatif tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Data kualitatif berupa skor kompetensi dalam pelaksanaan pembelajaran melalui
instrumen yang dikembangkan. Data kuantitatif berupa peningkatan kemampuan
metakognisi siswa.
Metakognisi
Metakognisi sering dikaitkan dengan John Flavell. Tokoh ini adalah seseorang
yang mengawali aktivitas penelitian tentang metakognisi. Metakognisi menurut Flavell
didefinisikan sebagai pengetahuan dan kognisi tentang objek-objek kognitif, yaitu
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kognitif Weinert & Kluwe (1987).
Metakognisi menurut Costa (1985) adalah suatu keterampilan yang berhubungan
dengan kesadaran peserta didik pada proses berfikirnya. Peserta didik harus dengan
aktif memonitor proses dan pengaturan berfikirnya untuk mencapai suatu tujuan
belajar.
Istilah metakognisi terkait dengan beberapa istilah lain dalam literatur biasanya
disebut sebagai metamemory dan metacomprehension yang membedakan antara
pengetahuan tentang isi memori dibandingkan proses yang digunakan untuk mengatur
dan memonitor memori dan kognisi. Istilah metacomprehension mengacu pada
pemahaman pada tingkat pemahaman luas yang diperlukan oleh seorang individu untuk
sepenuhnya mandiri. Dua komponen dari metacomprehension yang diperlukan untuk
pemahaman yang komprehensif, adalah metamemory dan metakognisi. Definisi
metamemory mengacu pada pengetahuan dan pemahaman tentang memori secara
umum, serta memori sendiri pada khususnya. Pengetahuan ini memungkinkan individu
untuk menilai tuntutan memori dan untuk menilai pengetahuan yang tersedia dan
strategi dalam memori. Metakognisi mengacu pada pengetahuan tentang kognisi dan
proses kognitif. Metakognisi biasanya dibagi menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu
pengetahuan tentang kognisi dan regulasi kognisi Weinert&Kluwe (1987:8-9).
4. Pembelajaran ini mengembangkan model pengendalian diri pada peserta didik. Hal
itu mengajarkan kepada peserta didik untuk membuat rencana yang prospektif,
menghadapi realita yang ada dan mengekspresikan emosi.
5. Model ini memungkinkan peserta didik untuk melihat peristiwa multidimensi dan
dengan perspektif yang lebih dalam.
6. Mengembangkan kemampuan tingkat sosialisasi dan komunikasi pada peserta didik
dengan memungkinkan mereka untuk belajar dan bekerja dalam tim.
7. Mengembangkan kemampuan tingkat berpikir tinggi/berpikir kritis dan berfikir
ilmiah peserta didik
8. Menyatukan teori dan praktek. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk
menggabungkan pengetahuan lama mereka dengan pengetahuan yang baru dan
mengembangkan keterampilan mereka dalam menilai lingkungan disiplin tertentu.
9. Memotivasi belajar bagi guru dan peserta didik.
10. Peserta didik memperoleh keterampilan manajemen waktu, fokus, pengumpulan
data, penyusunan laporan dan evaluasi.
11. Membuka jalan untuk belajar seumur hidup
Akinoglu dan tandogan (2007) menyatakan keterbatasan pembelajaran berbasis
masalah (PBL) adalah:
1. Sulit bagi guru untuk mengubah gaya mengajar mereka
2. Memakan waktu lebih banyak bagi peserta didik untuk memecahkan situasi yang
bermasalah ketika situasi ini pertama disajikan di kelas.
3. Kelompok atau individu dapat menyelesaikan karya mereka lebih awal atau
kemudian.
4. Pembelajaran berbasis masalah membutuhkan kaya bahan dan penelitian.
5. Sulit untuk menerapkan pembelajaran berbasis masalah di semua kelas. Hal ini
tidak bisa berhasil jika diterapkan pada peserta didik yang tidak bisa sepenuhnya
memahami nilai atau lingkup masalah dengan konten sosial.
6. Cukup sulit dalam menilai pembelajaran
Tabel 2: Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
FASE-FASE PERILAKU GURU
Hasil Pencapaian
Tes essay (uraian) disusun berdasarkan silabus dan RPP yang dikembangkan melalui
pembelajaran berbasis masalah. Tes essay terdiri dari 26 butir soal.
Soal tes essay yang diberikan pada saat pretest dan posttest menggunakan soal
dengan bobot yang sama.
Analisis Hasil Pretest-Posttest Asesmen Tes Essay
Rerata Skor <g> Normalitas *
Sebelum 21.2 0,5 Berdistribusi
pembelajaran (Sedang) normal
(pretest)
Setelah pembelajaran 75.8 Berdistribusi
(posttest) normal
Ket: * = uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov
35
30 0
8
25
15 IT
20
SBIT
15
SKIT
23 11
10 TMI
5
5
0 0
pra pembelajaran pasca pembelajaran
Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa porsi TMI pasca pembelajaran tidak ada.
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kemampuan yang signifikan dari peserta didik.
Pada pra pembelajaran kategori yang muncul hanya TMI dan SKIT, sedangkan pada
pasca pembelajaran sudah mulai muncul kategori SBIT dan IT. Hasil tersebut
menunjukkan dengan penggunaan asesmen metakognisi melalui pembelajaran berbasis
masalah dapat meningkatkan kemampuan metakognisi peserta didik.
Perubahan ketercapaian indikator metakognisi juga dapat dilihat pada masing-
masing konsep yang tertuang dalam butir soal. Ketercapaian indikator metakognisi
dapat dilihat dari hasil rerata angka kategori tiap soal pada pra pembelajaran dan pasca
pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk mengetahui indikator metakognisi apa yang
paling dominan tercapai. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
pra pembelajaran pasca pembelajaran
5
4 4 4 4 4
4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3
2 2 2 2 2 2 2 2 2
2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
Gambar 5: Analisis Hasil Ketercapaian Indikator Metakognisi Tiap Konsep (Butir Soal).
Hasil analisis Gambar 5 dapat dilihat, pada butir soal B1-1d (soal Bagian I no 1.b)
menunjukkan peningkatan yang paling signifikan yaitu dari kategori 0 (TMI) menjadi
4(IT). Pada butir tersebut menunjukkan indikator metakognisi yaitu menyusun dan
menginterpretasikan data atau pernyataan yang ada, indikator tersebut merupakan
salah satu indikator yang terdapat pada keterampilan metakognisi: Evaluasi, hal
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan metakognisi siswa sudah meningkat karena
selama pembelajaran berlangsung siswa sudah terlatih untuk mengidentifikasi dan
menginterpretasi suatu data. Sedangkan untuk pencapaian terendah adalah pada butir
soal B1-5a, B2-1b, B2-1c dan B2-2b yaitu dari kategori 1(TMI) menjadi 2 (SKIT), yang di
antaranya terdiri dari indikator berupa: menghubungkan informasi yang didapat
dengan teori yang ada (B1-5a), memecahkan permasalahan tentang reaksi (B2-1b),
mengidentifikasi informasi (B2-1c dan B2-2b). Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan siswa dalam keterampilan metakognisi berupa manajemen informasi
masih kurang, hal ini dikarenakan beberapa siswa yang masih kurang dalam penggalian
informasi untuk memecahkan masalah. Hasil dari tes menunjukkan bahwa siswa belajar
dengan mengandalkan keterangan yang diberikan oleh guru di kelas dan juga dari buku
diktat yang mereka gunakan.
SIMPULAN
Implementasi pembelajaran sains berkarakter untuk menumbuhkan keterampilan
metakognisi dilaksanakan pada pembelajaran sains di Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Kota Salatiga. Pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan PBL, dan pelaksanaan
penilaian metakognisi dilakukan melalui tes essay dengan dianalisis tahap ketercapaian
pada pra dan pasca pembelajaran. Selain itu juga dianalisis SWOT (Strength, Weakness,
Oppurtinities, and Threat) pada produk yang telah dikembangkan.
REFERENSI
Akinoglu, Orhan dan Ruhan Ozkardes Tandogan. 2007. The Effects of Problem-Based
Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement,
Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science &
Technology Education, 3(1), 71-81
Arends, Richard II. 2008. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar Edisi Ketujuh.
Terjemahan Helly P.S & Sri Mulyani S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bilgin, Ibrahim et al. 2009. The Effects of Problem-Based Active Learning in Science
Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning.
Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 5(2), 153-164
Costa, A. L. 1985. Teaching For, Of, and About. In A. L. Costa (Eds). Developing Minds: A
Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: Association for Supervision and
Curriculum Development.
Downing, Kevin. Problem-Based Learning and Metacognition. Asian Journal Education &
Learning, 1: 75-96, (2010)
Khan, Y. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
Lickona, T. 1992. Educating For Character. How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Book
Lubezki, A., Dori, Y. J., and Zoller, U. 2004. HOCS-Promoting Assessment of Students’
Performance on Environment-Related Undergraduate Chemistry. Chemistry
Education Research and Practice. 5(2), 175-184.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta:
Star Energy (Kakap) Ltd.
Rosidi, Irsad. 2015. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPATerpadu Tipe
Integrated untuk Mengetahui Ketuntasan Belajar IPA Siswa SMP pada Topik
Pengelolaan Lingkungan. Jurnal Pena Sains. Vol. 2, No. 1, April 2015.
Schraw, Dennison. 1994. Assesmen Metacognitive Awareness. Department of Educational
Psychology. Lincoln: University of Nebraska
Schraw, Olafson, Weibel, Sewing. 2012. Metacognitive Knowledge and Field-based Science
Learning in an Outdoor Environmental Education Program. Departmen of
Educational Psychology. Las Vegas: University of Nevada
Tsapartis, G. & Zoller, U. 2003. valuation of Higher vs. Lower-order Cognitive Skills-Type
Examination in Chemistry: Implications for University in-class Assessment and
Examination. U.Chem.Ed. 7, 50-57.
Weinert, F.E dan Kluwe, R.E. 1987. Metacognition, Motivation, and Understanding.
London: Lawrence Erbaum Associates