JURNAL
AKSIOLOGI ANTARA ETIKA, MORAL, DAN ESTETIKA
Disusun Oleh :
ASMARITA
11830221559
KELAS C
SEMESTER IV
JURUSAN ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN
2020
AXIOLOGI BETWEEN ETHICS, MORALS, AND AESTHETICS
BY :
Asmarita (asmaritads12@gmail.com)
ABSTRACT
: ﺑﻮاﺳﻄﺔ
Asmarita (asmaritads12@gmail.com)
اﻟﻤﻠﺨﺺ
نھ ا، وا ط ا ا .ن ا ! دا .#$ $)('& أ * ! ا
) ون وا، أ أن ا ! ) ون د ( ل أ, .-( و ا- . ل ا 'م ر ا1 ر و-, ي3 ا
ح-(9 .ن ةا #6 ; ة6 -<=أ ھ ! م ا, أن45 ، # ا ط4 5 ا#6 ، 7 3 .( ل 6-
وا @?ق وا @?ق , اAB C(' D D $ $ اE; =- ى اG= 7 D أن ! اC = Bه ا ر3ھ
.ت 5 وا
ل ا و،ق وا، ق وا، وا، ا : تا ا
2
A. Pendahuluan
Ada tiga pilar utama dalam filsafat ilmu yang selalu menjadi
pedoman, yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga pilar itulah
manusia berupaya untuk mencari dan menggali eksistensi ilmu sedalam-
dalamnya. Hakikat apa yang ingin diketahui manusia merupakan pokok
bahasan dalam ontologi. Dalam hal ini manusia ingin mengetahui tentang
“ada” atau eksistensi yang dapat dicerap oleh pancaindera. Epsitemologi
merupakan landasan kedua filsafat yang mengungkapkan bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan atau kebenaran tersebut. Setelah
memperoleh pengetahuan, manfaat apa yang dapat digunakan dari
pengetahuan itu. Inilah yang kemudian membawa pemikiran kita
menengok pada konsep aksiologi, yaitu, filsafat yang membahas masalah
nilai kegunaan dari nilai pengetahuan.
1
Rina Rehayati, Filsafat Sebagai Induk Ilmu Pengetahuan, (Pekanbaru: Asa Riau, 2017).hlm. 70-71
3
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari asal mula
atau sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Epistimologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme berarti pengetahuan dan logos berarti
perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani
berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan,
atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan
sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan
setepatnya. Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai definisi ilmu itu,
jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran
ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya.2
Etika sering disebut sebagai filsafat moral. Ethos yang berasal dari
bahasa Yunani dan berarti sifat, watak, kebiasaan merupakan istilah yang
selalu merujuk pada etika. Begitu halnya dengan ethikos yang berarti
susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Sementara
moral berasal dari bahasa Latin yaitu mores (bentuk jamak dari mos), yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat, dan cara
hidup. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia.
Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Sedangkan objek
formalnya adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak
bermoral dari tingkah laku tersebut.
2
Tafsir Ahmad,. Filsafat umum akal dan hati sejak thales sampai capra. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya,2009). Hal 23
4
terbentuk istilah artist, seniman, yaitu penghasil seni. Estetika adalah
cabang filsafat yang berkaitan dengan analisa konsep-konsep dan
pemecahan persoalanpersoalan yang timbul ketika seseorang
merenungkan benda-benda estetik (mengandung segi-segi keindahan).3
B. Metode
C. Pembahasan
1. Aksiologi
Sebuah ilmu ditemukan dalam rangka memberikan kemanfaatan
bagi manusia. Dengan ilmu diharapkan semua kebutuhan manusia
dapat terpenuhi secara cepat dan lebih mudah. Peradaban manusia
akan sangat bergantung pada sejauh mana ilmu dimanfaatkan.
Beberapa kemajuan yang dirasakan manusia dengan ditemukannya
ilmu pengetahuan antara lain kemudahan dalam transportasi,
komunikasi, pendidikan, pertanian, dan sebagainya. Ilustrasi ini akan
berkaitan dengan ilmu dilihat dalam perspektif aksiologi. Ada
beberapa definisi tentang aksiologi yang diungkapkan oleh Amsal
Bahtiar sebagai berikut.
a. Bedasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata ‘axios’
dalam bahasa Yunani artinya nilai dan logos yang artinya ilmu.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi
adalah ‘ilmu tentang nilai’.
3
Rina Rehayati, Filsafat Sebagai Induk Ilmu Pengetahuan, (Pekanbaru: Asa Riau, 2017).hlm. 74-75
5
b. Dengan mengutip pada Jujun. S Suriasumantri, aksiologi berarti
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.
c. Mengutip dari Bramei, aksiologi terbagi dalam 3 bagian penting,
antara lain:1.) Tindakan moral yang melahirkan etika; 2) Ekspresi
keindahan yang melahirkan estetika; 3) Kehidupan sosial politik
yang melahirkan filsafat sosial politik.
d. Dalam encyclopedia of philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi
disamakan dengan ‘value’ dan valuation. Dalam hal ini nilai
dianggap sebagai nilai memberi nilai dan dinilai. Richard Laningan
sebagaimana dikutip Efendi mengatakan bahwa aksiologi yang
merupakan kategori keempat dalam dilsadar merupakan studi
etika dan estetika. Hal ini berarti bahwa aksiologi berfokus pada
kajian terhadap nilai-nilai manusiawi serta bagaimana cara
mengekspresikannya.
e. Adapun Jujun S. Suriasumantri, aksiologi lebih difokuskan kepada
nilai kegunaan ilmu. Ilmu dipandang akan berpautan dengan
moral. Nilai sebuah ilmu akan diwarnai sejauh mana ilmuwan
mempunyai tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki,
apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan
digunakannya sebagai sebuah kejahatan. Oleh karena itu, ilmu
akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan mempunyai
peradaban.4
Ilmu tidak bebas nilai. Artinya, pada tahap-tahap tertentu kadang
ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu
masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan
oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan
4
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu.(Bogor: IPB Press, 2016).hlm. 106-107
6
bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.5 Ilmu itu
sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk.
Manusialah sebagai pemilik ilmu pengetahuan harus mempunyai
sikap. Untuk apa sebenarnya ilmu itu akan digunakan oleh manusia.
Dengan kata lain, netralitas ilmu terletak pada dasar epistemologinya
saja. Ilmu tidak berpihak kepada siapa pun. Ia hanya berpihak kepada
kebenaran yang nyata. Secara ontologis dan aksiologis, manusialah yang
harus memberikan penilaian tentang baik dan buruk. Manusialah yang
menentukan sikap dan mengkategorikan nilai- nilai.
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dua kata yaitu axios yang berarti layak atau pantas dan logos
berarti ilmu atau studi mengenai. Dari pengertian secara etimologis
tersebut paling tidak ada beberapa makna terminologis aksiologi,
yaitu:
a. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini
ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status
epistemologis dari nilai-nilai itu.
b. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang
nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
c. Aksiologi merupakan studi filosofi tentang hakikat-hakikat nilai.
5
I Gusti Bagus Rai Utama, Filsafat Ilmu dan Logika.(Bandung: Universitas Dhayana
Pura,2013).hlm.11
7
hasrat atau keinginan (desire). Suatu objek menyatu dengan nilai
melalui keinginan yang aktual atau yang kemungkinan, artinya suatu
objek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat
tersebut, nilai adalah milik objek itu sendiri.
Secara bahasa, nilai berasal dari bahasa latin valere yang berarti
berguna, mampu akan, berdaya , berlaku, atau kuat. Dari sini, nilai
dapat berarti harkat yakni kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu
dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek
kepentingan. Namun, nilai juga bias bermakna keistimewaan yakni
apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai suatu kebaikan.
6
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu.(Jakarta:Raja grafindo persada,2015).hlm.90
8
Istilah etika (Ethict, dalam bahasa Inggris, atau ethica, dalam
bahasa latin) secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal
yang biasa; padang rumput; kandang habitat; kebiasaan, adat; akhlak,
watak; perasaan, sikap, cara berfikir . dalam bentuk jamak (ta etha)
artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah “etika”. Dalam istilah latin Ethos
atau Ethikos selalu disebut dengan mos sehingga dari perkataan
tersebut lahirlah moralitas atau yang sering diistilahkan dengan
perkataan moral. Perkataan etika dalam pemakaian dipandang yang
lebih luas dari perkataan moral, karena terkadang istilah moral sering
dipergunakan hanya untuk menerapkan sikap lahiriah seseorang yang
biasa dinilai dari wujud tingkah laku atau perbuatannya saja.
Sedangkan etika dipandang selain menunjukkan sikap lahiriah
seseorang juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan
seseorang itu.7
Etika adalah cabang filsafat yang membahas tentang baik dan
buruknya tindakan manusia, bukan sah dan tidaknya tindakan
manusia seperti dalam logika. Juga tidak membahas tentang indah
tidaknya perbuatan manusia. Mengingat tindakan manusia itu ada
yang disengaja dan ada pula yang tidak disengaja, maka hanya
tindakan manusia yang disengaja saja yang menjadi sorotan etika,
yaitu tindakan yang dihasilkan dari kehendaknya, tindakan yang
sudah dipikirkan sebelumnya. Untuk mengetahui tindakan yang
disengaja dan tidak yang tidak disengaja, etika melihatnya sejauh akal
mampu mengetahuinya. Ini berarti, secara logis akal menilai tindakan
mana yang kira-kira dihasilkan dari kemauan hati dan mana yang
7
Fahrur Siregar. “Etika Sebagai Filsafat Ilmu Pengetahuan, Vol. 1, No 1 (Tahun 2015). Hlm.56
9
karena terpaksa. Oleh sebab itu, dalam penilaian etik, harus
memperhatikan situasi saat tindakan manusia itu mulai muncul.
Apakah seseorang yang melakukan perbuatan itu dalam keadaan
sadar, apakah ada jarak antara si pelaku dengan hasil tindakannya.
Tindakan yang dilakukan secara tiba-tiba, karena situasi tidak
memungkinkan untuk mengelak, tidak memungkinkan untuk
memilih, maka tindakan tersebut di luar jangkauan etika. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan. Dengan demikian, etika mengandung tiga makna, yaitu:
Kata etika bisa digunakan dalam arti nilai-nilai dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya.
Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral.
Etika berarti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi
ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-
nilai tentang yang dianggap baik dan yang dianggap buruk) yang
begitu saja diterima dalam suatu masyarakat. Seringkali tanpa
disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.8
Dalam perspektif para ahli, etika secara garis besar dapat di
klasifikasi ke dalam 3 bidang studi, yaitu etika deskriptif, etika
normatif, dan metaetika.
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan
pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak
dari kenyataan bahwa ada berbagai fenomena moral yang dapat
digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dilakukan
8
Rina Rehayati, Filsafat Sebagai Induk Ilmu Pengetahuan, (Pekanbaru: Asa Riau, 2017).hlm. 73-74
10
terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh
karena itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam ilmu
pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi.
Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya
menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan
pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.
Etika deskriptif dapat dibagi dalam 2 bagian: pertama, sejarah
moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan, dan norma-norma
moral yang diberlakukan dalam kehidupan manusia pada kurun
waktu dan suatu tempat tertentu atau dalam lingkungan besar
yang mencakup beberapa bangsa; kedua, fenomenologi moral, yang
berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari berbagai
fenomena moral yang ada.
Fenomenologi moral tidak bermaksud menyediakan petunjuk-
petunjuk atau patokan-patokan moral yang perlu dipegang
manusia. Karena itu, fenomenologi moral tidak dipermasalahkan
apa yang besar dan apa yang salah.
b. Etika Normatif
Etika normatif berarti system-sistem yang dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan
yang menyangkut baik dan buruk, benar atau salah. Etika normatif
berarti system-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang
menyangkut baik dan buruk, benar atau salah. Etika normatif
secara global ke dalam 2 teori besar, yaitu etika teleologis dan etika
deontologis.
• Etika teleologis. Etika teleologis memiliki pandangan bahwa
sebuah tindakan dapat dinilai etis apabila dilihat dari
konsekuensinya atau akibatnya.
11
• Etika deontologis menekankan sifat pembuktian diri dari yang
benar sebagai sesuatu yang lahir dari penalaran, intuisi, dan
rasa moral.
Sebagai etika intuisionisme, etika deontologis menekankan
objektivitas kebenaran atau kebaikan moral, objektivitas aksiologis,
dan menekankan non naturalistik dari penentuan moral, yakni
karakter yang tidak dapat direduksi.
Seorang deontogis akan mengatakan bahwa wajar suatu
tindakan atau aturan tindakan dapat menjadi benar atau menjadi
kewajiban secara moral walaupun hal itu tidak terjadi dan
membawa kepada akibat yang baik, seperti dikatakan Kant,
dimana suatu tindakan secara moral dapat dikatakan benar
dilakukan atas dasar, imperative mutlak dan perantaranya secara
moral adalah baik, seperti dia berbuat atas dasar kewajiban, dengan
niat baik hal itu tetap saja akan menghasilkan suatu akibat buruk,
yakni menyebabkan si perantara atau lainnya menjadi tidak
senang. Inilah yang disebut pandangan moral, dimana seseorang
melaksanakan apa yang benar karena hal itu benar dan tanpa
melihat apakah hal itu terjadi karena kepentingannya (prinsip
imparsialitas).9
3. Metaetika
Menurut Jan Hendrik Rapar, metaetika merupakan suatu studi
terhadap disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad ke-20, yang
secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-
istilah normatif yang diungkapkan lewat pertanyaan-pertanyaan etnis
yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istlah
normatif yang sering mendapat perhatian khusus,antara lain,
9
Muhammad Syukri dan Rizki Muhammad Haris. Filsafat Ilmu.(Depok: Rineka cipta,2015).hlm.91
12
keharusan, baik, buruk, benar, salah, yang terpuji, yang tidak terpuji,
yang adil, yang semestinya, dan sebagainya.
4. Estetika
Estetika akan dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dari
penilaian manusia tentang keindahan. Kattsof sebagaimana yang
dikutip Effendi mengatakan bahwa estetika akan menyangkut
perasaan, dan perasaan ini adalah perasaan indah. Nilai keindahan
tidak semata-mata pada bentuk atau kualitas objeknya, tetapi juga isi
atau makna yang dikandungnya. Dengan demikian sebuah estetika
akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun batinnya, bukan hanya
sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita cantik belum tentu indah,
karena cantik disini belum tentu menimbulkan kesenangan pada
perasaan orang lain. Ilustrasi lain, misalnya kita bangun pagi, matahari
memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita
merasakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak
indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal
ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu,
artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap,
padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Contoh yang lain dalam hal komunikasi. Komunikasi juga dapat
dilihat dari sisi estetikanya. Warner J Saverin dan James Tankard Jr
dalam bukunya: “Communication Theories, Origins, Methods, Uses’,
mengatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagian keterampilan,
sebagai seni, dan sebagai ilmu. Komunikasi massa adalah
keterampilan yang meliputi teknik-teknik tertentu yang secara
fundamental dapat dipelajari, seperti memfokuskan kamera televisi,
mengoperasikan perekam pita, dan mencatat ketika wawancara.
Komunikasi massa adalah seni dalam artian tantangan-tantangan
kreatif seperti menulis naskah untuk acara dokumenter televisi,
13
mengembangkan tata letak yang menyenangkan dan memikat untuk
iklan majalah, serta menampilkan teras berita yang menarik dan
mengena untuk kisah berita. Ia adalah ilmu yang mencakup asas-asas
yang dapat diuji dalam membuat karya komunikasi yang dapat
dipergunakan untuk mencapai tujuan khusus yang lebih efektif.10
D. Simpulan
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, khususnya kajian
tentang nilai-nilai etika. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan
diterapkan pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat
menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi
bencana bagi manusia. Di sinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi
harus diperhatikan sebaik-baiknya. Dalam filsafat penerapan teknologi
meninjaunya dari segi aksiologi keilmuan. Seorang ilmuwan mempunyai
tanggungjawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh masyarakat. Pengetahuan merupakan kekuasaan,
kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau
sebaliknya dapat pula disalahgunakan seperti nuklir dan rekayasa
genetika.
E. Saran
Semoga, makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Apabila ada
kesalahan dan kekurangan harap dimaafkan. Penulis juga menerima
segala kritikan dan saran untuk perkembangan makalah ini agar semakin
lebih baik lagi.
F. Daftar Pustaka
Rehayati,Rina. Filsafat Sebagai Induk Ilmu Pengetahuan. Pekanbaru:
Asa Riau, 2017
10
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu.(Bogor: IPB Press, 2016).hlm. 111
14
Ahmad,Tafsir. Filsafat umum akal dan hati sejak thales sampai capra.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press, 2016
I Gusti Bagus Rai Utama, Filsafat Ilmu dan Logika. Bandung:
Universitas Dhayana Pura, 2013
Zaprulkhan. Filsafat Ilmu. Jakarta:Raja grafindo persada, 2015
Albani, Muhammad Syukri dan Rizki Muhammad haris. Filsafat
Ilmu. Depok: Rineka cipta, 2015
Fahrur Siregar. “Etika Sebagai Filsafat Ilmu Pengetahuan, Vol. 1,
No 1 (Tahun 2015)
15
Tugas Terstruktur Dosen Pengampu
Filsafat Umum Dr. Husni Thamrin, M.Si.
Disusun Oleh :
KELAS C
SEMESTER IV
JURUSAN ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN
2020
16
KATA PENGANTAR
ار ن ار م م
Penulis
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN
ii
ABSTRAK
By:
1
BAB I
PENDAHULUAN
11
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 13.
2
yang kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi manusia itu
sendiri, karena terjadi kesalahan pahaman tentang perbedaan itu.
Dari persoalan-persoalan yang telah dikemukakan dan
dipaparkan di atas tadi, maka dalam makalah ini penulis ingin
mencoba untuk membahas apa dan bagaimana perbedaan dan
hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama.
A. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari kata bahasa arab falsafah, yang dalam
bahasa ingris dikenal dengan philosophy, sedangkan dalam bahasa
yunani disebut dengan philosophia terdiri dari kata philein yang
berarti cinta (love) dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom).12
Istilah Philosophia memiliki akar kata philien yang berarti
mencintai, dan shopos yang berarti bijaksana. Jadi, istilah Philosophia
berarti mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana. Berdasarkan
uraian diatas, dapat dipahami bahwa, filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Sedangkan orang yang berusaha mencari
kebijaksanaan atau pencinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau
filosof.13
Sedangkan secara istilah, para ahli mengemukakan pengertian
filsafat adalah sebagai berikut:
1) Socrates (469-399 SM) ia adalah seorang filosof dalam bidang moral
yang terkemuka pada zaman Yunani kuno. Socrates memahami
bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif
atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan
bahagia.
2) Plato (427-347 SM) seorang sahabat dan murid dari Socrates.
Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli dalam karya tulisnya republika, plato
menegaskan bahwa para filosof adalah pecinta pandangan tentang
12
A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2019), hlm. 1.
13
Ibid., hlm. 2.
4
kebenaran (Vision of truth). Dalam konsep plato filsafat
merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan
terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Maka filsafat pato
tersebut kemudian dikenal dengan sebutan filsafat spekulatif.
3) Aristoteles (384-332 SM) Aistoteles adalah salah seorang murid
plato yang terkemuka. Berkenaan dengan pengertian filsafat
menurutnya adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
yang terkandung didalamnya ilmu metafisika, alogika, retorika,
etika, ekonomi, politik dan estestika.
4) Al- Kindi (870-950 M). Al-Farabi (870-950 M). ia adalah seorang
folosof muslim pertama. Menurutnya, filsafat adalah oengetahuan
tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas pengetahuan
manusia, karena tujuan para filosofdalam berteori adalah mencari
kebenaran, maka dalam praktenya pun harus menyesuaikan
kebenaran pula.
5) Al- Farabi (870-950 M). Menurutnya, filsafat adalah ilmu tentang
semua yang ada (al- maujudat) dan dengan apa dia ada. Filsafat
meliputi masalah ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.14
B. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang di
ambil dari akar kata ‘alima-ya‘limu-‘ilman/ilmun, yang berarti
pengetahuan. Pemakaian kata ilmu itu di dalam bahasa Indonesia
dapat disejajarkan dengan istilah science. Science adalah kata yang
berasal dari bahasa Latin: Scio, cire, yang berarti pengetahuan.15
Tidak semua pengetahun dapat dikatakan ilmu, sebab kalau
semua pengetahuan dikatakan ilmu tentu banyak yang bisa dikatakan
14
Saidul amin, Filsafat barat Abad 21, (Pekanbaru: Daulat Riau, 2012), hlm. 3.
15
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 39.
5
ilmu, karena pengetahuan itu sifatnya baru sebatas tahu, akan tetapi
sebaliknya semua ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi yang
dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang di susun secara sistematis,
memiliki metode dan berdiri sendiri, tidak memihak kepada sesuatu.
Dikalangan masyarakat umum Indonesia, dipahami bahwa ilmu itu
adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu, dan yang
lebih awam lagi mengartikan ilmu itu dengan pengetahuan dan ke
pandaian tentang sesuatu persoalan, baik itu persoalan sosial
kemasyarakatan maupun persoalan ekonomi, persoalan agama dan
lain-lain sebagainya, seperti soal pergaulan, soal pertukangan, soal
duniawi, soal akhirat, soal lahir, soal batin, soal dagang, soal adat
istiadat, soal pertanian, soal gali sumur dan lain-lain sebagainya.
C. Pengertian Agama
Ada tiga istilah yang hampir sama di dalam masalah agama ini,
yaitu religion adalah kata yang berasal dari Bahasa Inggris, din kata
yang berasal dari Bahasa Arab dan agama kata yang berasal dari
Bahasa Sanskerta, yang mana ketiga istilah tersebut masing-masing
mempunyai riwayat dan sejarah sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam
arti teknis terminologi ketiga istilah tersebut mempunyai inti makna
yang sama, yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
manusia lingkungannya.16
Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa
kata agama berasal dari Bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hlm. 12.
6
gama. A berarti “tidak” dan gama berarti “kacau”. Jadi, kata agama
diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan
benar.17
17
Op., cit. Susanto, hlm. 125.
18
Ahmad jamin dan Norman Ohira, Filsafat Ilmu, (Bandung: ALFABETA, 2016), hlm. 41.
19
Gazalba, Sistematika Filsafat, hlm. 40.
7
maupun kebenaran filsafat, semuanya nisbi (relatif). Sedangkan
kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena ajaran agama
adalah wahyu yang diturunkan oleh yang maha benar, yang maha
mutlak.20
Baik ilmu maupun fisafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap
sangsi atau tidak percaya. Ilmu dan filsafat diawali dengan keraguan
(curiosty), dan keingintahuan. Sedangkan agama dimulai dengan sikap
percaya atau iman.
Dalam hal ini, Ahmad D Marimba memberikan argument yang
berbeda. Menurutnya, kurang tepat jika deikatakan kesangsian atau
kergauan sebagai awal dari filsafat. Penggunaan istilah kesangsian
atau keraguan akan menyebabkan orang-orang (yang beragama)
enggan berfilsafat, karena mereka menganggap bahwa filsafat
bertentangan dengan agama yang bersumber dan dimulai dengan
keyakinan tanpa kesangsian didalamya. Yang benar adalah
“ketakjuban”. Kita takjub akan sesuatu maka timbul keinginan untuk
mengetahui; kita renungkan dan kita fikirkan. Kita takjub akan
kebesaran Tuhan, kitab takjub akan Kitab Suci Al-Qur’an, kita takjub
akan alam, maka kita akan memahami dan menemukan kebenaran
didalamnya. Inilah maksud filsafat yang sebanarnya.21
Ilmu mendasarkan pada akal pikir lewat pengalaman dan
indera, dan filsafat berdasarkan otoritas akal murni secara bebas
dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama
dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama berdasarkan
pada otoritas wahyu.
20
Ahmad jamin dan Norman Ohira, Filsafat Ilmu, (Bandung: ALFABETA, 2016), hlm. 41.
21
Ibid., hlm. 42.
8
Menurut Prof. Nasroen, S. H., mengemukakan bahwa filsafat
yang sejati haruslah berdasarkan pada agama. Apabila filsafat tidak
berdasarkan pada agama, dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan
atas akal fikir saja, filsafat tersebut tidak akan memuat kebanaran
objektif karena yang memberikan penerangan dan putusan adalah
akal fikiran. Sementara itu, kesanggupan akal fikitan itu terbatas
sihingga filsafat yang hanya berdasarkan akal fikiran saja tidak akan
sanggup memberikan kepuasan bagi manusia, terutama dalam rangka
pemahamanya terhdap hal yang Ghaib.22
Terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu, filsafat, dan
agama dimana ilmu dan filsafat bersumber dari akal budi atau rasio
manusia, sedangkan agama bersumber dari wahyu Tuhan.23
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan cara
penyelidikan (riset), pengalaman (empiris), dan percobaan
(eksperimen). Fislafat menemukan kebenaran atau kebijakan dengan
cara penggunaan akal budi atau rasio yang dilakukan secara
mendalam, menyeluruh, dan universal. Kebenaran yang diperoleh
atau ditemukan oleh filsafat adalah murni hasil pemikiran (logika)
manusia, dengan cara perenungan (berpikir) yang mendalam (logika)
tentang hakikat sesuatu (metafisika). Agama mengajarkan kebenaran
atau memberi jawaban berbagai masalah asasi melalui wahyu atau
kitab suci yang berupa firman Tuhan.24
2.3 Hubungan Antara Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama
Filsafat, ilmu pengetahuan dan agama adalah bertujuan
setidak-tidaknya berurusan dengan hal-hal yang sama, yaitu
22
Asmoro cahyadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajawali pres,2016), hlm. 18.
23
A. Susanto, Filsafat Ilmu, … hlm. 134.
24
Ibid., hlm. 134.
9
kebenaran dan bertindak atas dasar rumusan mengenai suatu
kebenaran tersebut.25
Seperti filsafat yang berusaha mencari kebenaran dengan jalan
menggunakan akal, pikiran dan logika, ilmu pengetahuan berusaha
mencari kebenaran dengan menggunakan metode ilmiah melalui
penelitian-penelitian, sementara itu agama berusaha untuk
menjelaskan kebenaran itu melalui wahyu dari Tuhan. Jadi ketiganya
sasaran adalah sama, yaitu kebenaran. Jadi filsafat berupaya mencari
kebenaran, ilmu berusaha membuktikan kebenaran sementara agama
adalah berupaya menjelaskan kebenaran itu, maka tidak
mengherankan kalau kaum muktazillah mengatakan tidak semuanya
kandungan yang ada di dalam al-Qur’an itu sifatnya kamunikasi, akan
tetapi banyak juga yang sifatnya konfirmasi, yaitu membenarkan,
mempertegaskan dan menguatkan apa yang pernah dilakukan
manusia.
Ilmu pengetahuan, dengan metodenya sendiri mencoba
berusaha mencari kebenaran tentang alam semesta beserta isinya dan
termasuk di dalamnya adalah manusia. Filsafat dengan wataknya
sendiri, juga berusaha mencari kebenaran, baik kebenaran tentang
alam maupun tentang manusia (sesuatu yang belum atau tidak dapat
dijawab oleh ilmu pengetahuan, karena di luar atau di atas
jangkauannya) ataupun tentang Tuhan, Sang Pencipta segala-galanya.
Sementara itu agama dengan kepribadiannya sendiri pula, berupaya
memberikan jawaban atas segala persoalan-persoalan yang bersifat
asasi yang dipertanyakan oleh manusia baik tentang alam semesta,
manusia maupun tentang Tuhan itu sendiri, dengan kata lain agama
25
Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 20.
10
adalah memberikan penjelasan, penegasan dan pembenaran tentang
sesuatu yang benar dan yang tidak benar.26
Jadi keduanya adalah bertujuan untuk mencapai kebahagiaan,
filsafat mencapai kebahagiaan dengan berupaya menemukan
kebenaran, sebab apabila suatu kebenaran itu sudah ditemukan, maka
akan muncul rasa puas, rasa puas itulah yang membuat timbulnya
rasa bahagia, sementara itu agama (Islam) mengungkapkan
kebahagiaan dengan berupaya memberikan penjelasan kepada
penganutnya bahwa apabila seseorang ingin mencapai kebahagiaan, ia
harus mengikuti aturan yang diajarkan oleh agama, karena aturan
yang diajarkan oleh agama itu semuanya benar, maka apabila sudah
mengikuti aturan dan ajaran agama yang benar, yang sesuai dengan
petunjuk, maka ia akan mendapatkan kebahagaiaan itu, baik
kebahagiaan di atas dunia ini maupun kebahagiaan di alam akhirat
nanti.
Yang paling pokok persamaan antara ilmu, filsafat, dan agama
adalah sama-sama untuk mencari kebenaran. Ilmu melalui metode
ilmiahnya berupaya mencari kebenaran. Metode ilmiah yang
digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau riset untuk
membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Filsafat dengan
caranya sendiri berusaha menempuh hakikat sesuatu baik tentang
alam, manusia maupun tentang Tuhan. Agama dengan
karakeristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi perihal alam, manusia, dan Tuhan.27
26
Osman Bakar, Hirarki Ilmu, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 100.
27
A. Susanto, Filsafat Ilmu, … hlm. 133.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
• filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan, atau cinta
kepada pengetahuan yang bijaksana.
• Ilmu adalah pengetahuan, namun tidak semua pengetahuan disebut
dengan ilmu. Ilmu cakupannya lebih luas.
• Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata
agama berasal dari Bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A
berarti “tidak” dan gama berarti “kacau”. Jadi, kata agama diartikan
tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
• Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama terdapat perbedaannya,
yaitu dari aspek sumber, metode dan hasil yang ingin dicapai.
• Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama selain memiliki
perbedaan juga memiliki hubungan atau titik persamaannya, yaitu
mencari kebenaran.
B. Saran
Demikianlah makalah kami yang berisikan tentang perbedaan dan
hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Makalah inipun
tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin
dicapai. Adapun kiranya kritik, saran, maupun teguran sangatlah kami
harapkan untuk menunjang pembuatan makalah yang lebih baik untuk
selanjutnya. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
12
DAFTAR PUSTAKA
13