FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR 2017 RASIONALISME DAN EMPIRISME Secara epistemologis terdapat beberapa aliran filsafat ilmu pengetahuan yang berkembang hingga saat ini seperti Materialisme, Dualisme, Empirisme, Rasionalisme, Kritisisme, Idealisme, Renaissance, Eksistensialisme, Fenomenologi, Instuisionalisme, Tomisme, Pragmatisme, Filsafat Analitik, Strukturalisme, Post- Strukturalisme, dan Dekonstuksionisme. Namun hanya ada dua aliran yang khususnya mengkaji tentang bagaimana timbulnya sebuah prosedur dan apa yang disebut dengan kebenaran. Dua aliran tersebut yaitu rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran tersebut ini juga lebih mengacu pada aliran filsafat modern atau filsafat barat. A. Rasionalisme Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasar rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-XVII sampai akhir abad ke- XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam (Wilardjo, 2009). Menurut KBBI rasionalisme merupakan paham yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan kebenaran yang lepas dari jangkauan indera. Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja (Natsir, dkk, 2014). Salah satu pemikir utama rasionalisme adalah Rene Descartes. Descartes lewat filsafatnya berobsesi mencari atau menemukan sebuah kepastian (certainty). Menurut Copleston, 1963 kepastian itu merupakan kepastian yang bersifat tak tergoyahkan, kepastian yang dasariah (Wibowo, 2009). Guna mendapatkan kepastian itu, Descartes mulai melangkah dengan jalan meragukan segala sesuatu, contohnya, Descartes mulai meragukam: apakah pandangan- pandangan metafisis atau asas-asas matematika yang berlaku tentang dunia dapat dipegang? Jangan-jangan, pandangan-pandangan itu hanyalah hasil tipuan belaka dari iblis yang sangat cerdik (genius malignus)? Jika kita benar-benar sedang dipermainkan dan tertipu habis-habisan oleh iblis yang sangat cerdik tersebut, apakah yang bisa kita jadikan pegangan? (Wibowo, 2009) Menurut Rene Descartes (Wibowo, 2009) semakin kita dapat meragukan segala sesuatu, termasuk meragukan kalau kita meragukan, keraguan itu semakin menunjukkan bahwa diri kita ada (exist) Meragukan berarti berpikir bahwa kepastian akan eksistensi itu dicapai melalui aktivitas meragukan. Dengan kata lain, kepastian tersebut melekat pada keraguan itu sendiri. Inilah yang kemudian dirumuskan Descartes dalam ajaran, cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) (Wibowo, 2009). Cogito (kesadaran-diri) adalah hasil dari metode keraguan Descartes. Cogito endiri merupakan kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan, karena aku mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah (clear and distinct). Cogito tidak ditemukan melalui Kitab Suci, prasangka, dongeng, atau pendapat orang, melainkan ditemukan lewat pikiran kita sendiri, sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri. Cogito ini yang selanjutnya dijadikan Descartes sebagai landasan filsafatnya. Dengan inklinasi ini Descartes mengawali pemikiran rasionalisme (Modern) (Wibowo, 2009). Selain Descartes, tokoh rasionalisme lainnya yakni Spinoza dan Leibniz. Para pemikir rasionalisme ini memiliki isi pemikiran yang berbeda satu sama lain. Misalnya asumsi mereka tentang substansi. Descartes percaya bahwa substansi itu ada tiga yaitu res cogitans, res extensa, dan Allah, sementara Spinoza menyatakan substansi itu hanya ada satu (Allah), beda lagi dengan Leibniz, Leibniz menyatakan bahwa ada banyak substansi yang ia sebut dengan monad. Meski secara isi pemikiran berbeda, tetapi secara prinsip epistemologis ketiga tokoh rasionalisme ini sama-sama berdiri di atas batu asumsi yang sama, yakni bahwa rasio manusia mampu mengenal dan menjelaskan kenyataan. Dengan kata lain, bagi mereka pengetahuan manusia berdasarkan atau bersumber pada rasio (bersifat a priori) (Wibowo, 2009). B. Empirisme Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara observasi/penginderaan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan manusia (Wilardjo, 2009). Menurut KBBI empirisme merupakan aliran ilmu pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode empiris yang mengatakan bahwa semua pengetahuan didapat dengan pengalaman. Empirisme berasal dari kata Yunani yakni empieria atau empeiros, yang secara harafiah mengandung arti meraba-raba; pengalaman. Bagus (2002) mengatakan bahwa empirisme merupakan sebuah aliran filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan itu harus dicari dalam atau berhubungan dengan pengalaman. Dengan kata lain, pengetahuan itu tidak bersifat a priori seperti yang diyakini rasionalisme, melainkan bersifat a posteriori (Wibowo, 2009). Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini menganggap pengalaman sebagi satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi (Wilardjo, 2009). Pandangan empirisme mendasarkan diri pada asas berpikir yang disebut induksi, karena ia menyimpulkan pengetahuan yang bersifat umum dari data-data pengalaman konkret. Menurut Chris Hornes (2000) empirisme menganut correspondence theory of truth, yang berarti bahwa sesuatu itu benar jika ada korespondensi antara objek yang kita pikirkan dengan objek yang sama yang berada di luar pikiran. Asumsinya adalah bahwa dunia luar itu ada lepas dari pikiran kita tentangnya, sementara tugas pikiran hanyalah menyesuaikan diri dengan objek-objek di luarnya (Wibowo, 2009). Jhon Locke adalah salah satu di antara pemikir dari gugusan empirisme. John Locke sendiri merupakan Bapak empirisme yang berasal dari Britania. Locke mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akal atau pikiran manusia harus diandaikan seperti tabula rasa (kertas kosong), lalu dalam proses pengenalannya terhadap dunia luar, pengalaman memberi kesan-kesan (impressions) dalam pikiran (Natsir, dkk, 2014). Dengan demikian kebenaran dan kenyataan dipersepsi subjek berdasarkan pengalaman. Atau dengan kata lain, pengetahuan kita menurut Locke diturunkan atau bersumberkan dari pengalaman (Wibowo, 2009). Pandangan Locke ini tampak jelas berbeda dengan pandangan rasionalisme (Descartes) yang menyatakan bahwa pengetahuan kita bersumber dari rasio (asas-asas a priori yang terdapat di dalam rasio). Adapun pandangan empirisme Locke bisa lebih jelasnya dilihat dari teori pengetahuannya. Teori pengetahuan Locke ini beranjak dari asumsi bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman. Menurut Locke, ide-ide yang kita pikirkan terjadi lewat jalan proses pengindraan yang rumit (kompleks) dengan bertolak dari pengalaman. Sebelum kita berpikir abstrak, kita harus mengamati warna, ukuran, mencium bau, atau mendengarkan sesuatu. Apa saja yang kita tangkap dari dunia luar itu menjadi proses-proses internal kita seperti: berpikir, merasa dan berkehendak. Proses internal langsung berdasarkan pengalaman lahiriah itu menghasilkan ide-ide seperti: ide sakit, ide nikmat, ide kesatuan, dan sebagainya. Ide yang dihasilkan dari penangkapan langsung ini disebut Locke ide-ide simpleks (Wibowo, 2009). Sementara itu hasil penyusunan ide-ide simpleks yang terpisah-pisah itu kemudian menjadi ide kompleks. Proses internal dalam manggabung-gabungkan ide-ide simpleks menjadi ide kompleks ini disebut Locke sebagai abstraksi. Proses abstraksi ini pada prinsipnya adalah penggabung-gabungan ide-ide simpleks menjadi ide-ide kompleks yang bersifat universal. Misalnya pada tahap ide simpleks kita mengetahui manusia-manusia khusus: si A yang pemarah, si B yang pemalu, si C yang pecemburu, si D yang pendiam dan seterusnya berdasarkan pengamatan langsung; kemudian pada tahap berikutnya kita menggabungkan semua ide partikular itu sehingga membentuk ide abstrak tentang hakikat manusia. Tampak pula di sini Locke tidak sama sekali menolak kemungkinan pengetahuan abstrak, yang ditolak oleh Locke adalah segala pengetahuan a priori (Wibowo, 2009). Selain Locke, pemikir empirisme lainnya yakni David Hume. Secara isi pemikiran, isi pemikiran mereka berbeda satu sama lain, bahkan Hume mengkritik Locke. Di dalam rasionalisme diyakini adanya substansi material di luar diri kita. Tetapi menurut Locke, meskipun mulai mempersoalkan pendekatan rasionalistis, tetap mengandaikan adanya substansi dengan membedakan antara persepsi dan objek. Hume tidak setuju dengan pendirian Locke tersebut. Menurut Hume yang dapat diketahui pikiran hanyalah persepsi, bukan objek. Kita tidak tahu bagaimana kaitan antara persepsi dan objek-objek d luar pikiran kita. Bukti untuk hal itu juga tidak ditemukan secara empiris. Namun, meskipun secara isi pemikiran berbeda, Hume dan Locke sama-sama berpijak pada titik awal yang sama yakni tak ada satu pun dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada realitas indrawi (nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu). Dengan kata lain, Hume dan Locke masih sama-sama mengandai mengandaikan bahwa pengetahuan kita berasal dari pengalaman (bersifat a posteriori) (Wibowo, 2009). C. Kelemahan Aliran Rasionalisme dan Empirisme Menurut Peursen (1983) kelemahan rasionalisme dan empirisme yakni kedua aliran tersebut sama-sama masih berat sebelah mengenai pandangan mereka terhadap dasar (sumber) pengetahuan, keduanya masih berusaha memisahkan pengalaman (segi indrawi) dan segi akal-budi (rasio) di mana yang satu lebih di atas dari yang lain. Secara khusus aliran rasionalisme memiliki kelemahan sebagai berikut (Wibowo, 2009) : 1. Pengetahuan yang diperoleh manusia tidak pernah lepas dari jejaring pengalaman, entah itu pengalaman yang bersifat indrawi maupun spiritual. Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh manusia tidak mutlak bersifat a priori (mendahului pengalaman), melainkan membentuk dan dibentuk bersama hadirnya jalinan-jalinan pengalaman yang ada. Eksistensi rasio di sini, tentu bukan diletakkan atau diartikan menempatkan posisi sekunder begitupun sebaliknya, pengalaman di sini juga tidak harus diartikan lebih primer daripada rasio, melainkan kedua-duanya saling mengandalkan. Pengalaman tanpa rasio adalah hampa, rasio tanpa pengalaman adalah kosong. 2. Kemampuan rasio untuk menangkap dan menjelaskan realitas, begitu saja diterima oleh rasionalisme. Rasionalisme luput melakukan terlebih dahulu pengujian atas sejauh mana kemampuan rasio bisa dijadikan pegangan. Bukan berarti hendak mengatakan, bahwa kita harus membatasi kerja rasio, melainkan hendak melakukan pemeriksaan terhadap rasio sejauh mana rasio mampu guna menangkap dan menjelaskan kenyataan (sebelum rasio atau akal budi itu melakukan penyelidikannya). Sedangkan secara khusus kelemahan aliran empirisme adalah sebagai berikut (Wibowo, 2009): 1. Jika empirisme memercayai pengalaman sebagai dasar utama, sumber dan asal pengetahuan, bagaimana dengan akal budi atau rasio? Apakah rasio sekadar tempat tampung bagi impressions yang diperoleh dari dunia luar? Bila rasio sekadar tempat tampung kesan-kesan yang ditangkap dari dunia luar, apakah kemudian pengetahuan kita peroleh atau yang diasalkan dari pengalaman adalah murni dari pengalaman? Kenyataannya, pengetahuan yang diasumsikan berasal dari pengalaman, baik berbentuk kesan atau pun gagasan, selalu muncul bersamaan dengan keterlibatan penilaian. Penilaian itu berasal dari subjek. Jadi, pengetahuan yang diasalkan bersumber dari pengalaman tidak pernah lepas dari penilaian, yang artinya, pengetahuan yang diasalkan dari pengalaman tidak pernah murni, namun terkdang bercampur dengan penilaian subjek. Pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman tidak pernah lepas dari keterlibatan subjek (penilaian). 2. Pengalaman yang dipandang empirisme sebagai dasar pengetahuan, yang sekaligus juga bersandar pada kekuatan persepsi panca indra. Panca indra manusia nyatanya memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu berbentuk jangkauan kemampuan panca indra dalam mempersepsi sebuah objek. Misalnya, jika kita dalam sebuah laboratorium yang sudah dilengkapi peralatan untuk sebuah penelitian, namun saat sedang melakukan penelitan tersebut, seketika padam saja lampu di laboratorium itu. Dalam keadaan seperti itu, tidak tertutup kemungkinan bagi panca indra untuk salah, keliru dan terkecoh dalam aktivitas mempersepsi suatu objek. Kelemahan empirisme di sini sifatnya hampir sama dengan kelemahan rasionalisme. Jika rasionalisme menerima pengandaian kemampuan rasio begitu saja untuk menangkap dan menjelaskan kenyataan, empirisme pun demikian. Empirisme diam-diam bersikap dogmatis (mengikuti) karena percaya begitu saja pada kemampuan daya cerap indra tanpa mempertanyakan sejauh mana daya cerap indra ini dapat diandalkan. Daftar Pustaka
M. Natsir Nessa, dkk. (2014). Buku ajar ilmu filsafat. Makassar: