Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH RASIONALISME DAN EMPIRISME

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

OLEH
ADIEL STELLA JULIA M.RATU
1571023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
2017
RASIONALISME DAN EMPIRISME
Secara epistemologis terdapat beberapa aliran filsafat ilmu pengetahuan yang
berkembang hingga saat ini seperti Materialisme, Dualisme, Empirisme,
Rasionalisme, Kritisisme, Idealisme, Renaissance, Eksistensialisme, Fenomenologi,
Instuisionalisme, Tomisme, Pragmatisme, Filsafat Analitik, Strukturalisme, Post-
Strukturalisme, dan Dekonstuksionisme. Namun hanya ada dua aliran yang
khususnya mengkaji tentang bagaimana timbulnya sebuah prosedur dan apa yang
disebut dengan kebenaran. Dua aliran tersebut yaitu rasionalisme dan empirisme.
Kedua aliran tersebut ini juga lebih mengacu pada aliran filsafat modern atau filsafat
barat.
A. Rasionalisme
Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasar rasio, ide-ide yang
masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman
rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke-XVII sampai akhir abad ke-
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan
yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu
pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu
alam (Wilardjo, 2009). Menurut KBBI rasionalisme merupakan paham yang
menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk
memecahkan kebenaran yang lepas dari jangkauan indera.
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada
kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya
dapat diperoleh dengan akal budi saja (Natsir, dkk, 2014).
Salah satu pemikir utama rasionalisme adalah Rene Descartes. Descartes
lewat filsafatnya berobsesi mencari atau menemukan sebuah kepastian
(certainty). Menurut Copleston, 1963 kepastian itu merupakan kepastian yang
bersifat tak tergoyahkan, kepastian yang dasariah (Wibowo, 2009). Guna
mendapatkan kepastian itu, Descartes mulai melangkah dengan jalan meragukan
segala sesuatu, contohnya, Descartes mulai meragukam: apakah pandangan-
pandangan metafisis atau asas-asas matematika yang berlaku tentang dunia dapat
dipegang? Jangan-jangan, pandangan-pandangan itu hanyalah hasil tipuan belaka
dari iblis yang sangat cerdik (genius malignus)? Jika kita benar-benar sedang
dipermainkan dan tertipu habis-habisan oleh iblis yang sangat cerdik tersebut,
apakah yang bisa kita jadikan pegangan? (Wibowo, 2009)
Menurut Rene Descartes (Wibowo, 2009) semakin kita dapat meragukan
segala sesuatu, termasuk meragukan kalau kita meragukan, keraguan itu semakin
menunjukkan bahwa diri kita ada (exist) Meragukan berarti berpikir bahwa
kepastian akan eksistensi itu dicapai melalui aktivitas meragukan. Dengan kata
lain, kepastian tersebut melekat pada keraguan itu sendiri. Inilah yang kemudian
dirumuskan Descartes dalam ajaran, cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku
ada) (Wibowo, 2009).
Cogito (kesadaran-diri) adalah hasil dari metode keraguan Descartes. Cogito
endiri merupakan kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan, karena aku
mengertinya secara jelas dan terpilah-pilah (clear and distinct). Cogito tidak
ditemukan melalui Kitab Suci, prasangka, dongeng, atau pendapat orang,
melainkan ditemukan lewat pikiran kita sendiri, sesuatu yang dikenali melalui
dirinya sendiri. Cogito ini yang selanjutnya dijadikan Descartes sebagai landasan
filsafatnya. Dengan inklinasi ini Descartes mengawali pemikiran rasionalisme
(Modern) (Wibowo, 2009).
Selain Descartes, tokoh rasionalisme lainnya yakni Spinoza dan Leibniz. Para
pemikir rasionalisme ini memiliki isi pemikiran yang berbeda satu sama lain.
Misalnya asumsi mereka tentang substansi. Descartes percaya bahwa substansi
itu ada tiga yaitu res cogitans, res extensa, dan Allah, sementara Spinoza
menyatakan substansi itu hanya ada satu (Allah), beda lagi dengan Leibniz,
Leibniz menyatakan bahwa ada banyak substansi yang ia sebut dengan monad.
Meski secara isi pemikiran berbeda, tetapi secara prinsip epistemologis ketiga
tokoh rasionalisme ini sama-sama berdiri di atas batu asumsi yang sama, yakni
bahwa rasio manusia mampu mengenal dan menjelaskan kenyataan. Dengan kata
lain, bagi mereka pengetahuan manusia berdasarkan atau bersumber pada rasio
(bersifat a priori) (Wibowo, 2009).
B. Empirisme
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi/penginderaan. Pengalaman merupakan faktor
fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan
manusia (Wilardjo, 2009). Menurut KBBI empirisme merupakan aliran ilmu
pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode empiris yang mengatakan bahwa
semua pengetahuan didapat dengan pengalaman.
Empirisme berasal dari kata Yunani yakni empieria atau empeiros, yang
secara harafiah mengandung arti meraba-raba; pengalaman. Bagus (2002)
mengatakan bahwa empirisme merupakan sebuah aliran filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan itu harus dicari dalam atau berhubungan
dengan pengalaman. Dengan kata lain, pengetahuan itu tidak bersifat a priori
seperti yang diyakini rasionalisme, melainkan bersifat a posteriori (Wibowo,
2009).
Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu
objek yang merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam
otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Empirisme
memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini
menganggap pengalaman sebagi satu-satunya sumber dan dasar ilmu
pengetahuan. Pengalaman indrawi sering dianggap sebagai pengadilan yang
tertinggi (Wilardjo, 2009).
Pandangan empirisme mendasarkan diri pada asas berpikir yang disebut
induksi, karena ia menyimpulkan pengetahuan yang bersifat umum dari data-data
pengalaman konkret. Menurut Chris Hornes (2000) empirisme menganut
correspondence theory of truth, yang berarti bahwa sesuatu itu benar jika ada
korespondensi antara objek yang kita pikirkan dengan objek yang sama yang
berada di luar pikiran. Asumsinya adalah bahwa dunia luar itu ada lepas dari
pikiran kita tentangnya, sementara tugas pikiran hanyalah menyesuaikan diri
dengan objek-objek di luarnya (Wibowo, 2009).
Jhon Locke adalah salah satu di antara pemikir dari gugusan empirisme. John
Locke sendiri merupakan Bapak empirisme yang berasal dari Britania. Locke
mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan, akal atau pikiran manusia
harus diandaikan seperti tabula rasa (kertas kosong), lalu dalam proses
pengenalannya terhadap dunia luar, pengalaman memberi kesan-kesan
(impressions) dalam pikiran (Natsir, dkk, 2014). Dengan demikian kebenaran dan
kenyataan dipersepsi subjek berdasarkan pengalaman. Atau dengan kata lain,
pengetahuan kita menurut Locke diturunkan atau bersumberkan dari pengalaman
(Wibowo, 2009).
Pandangan Locke ini tampak jelas berbeda dengan pandangan rasionalisme
(Descartes) yang menyatakan bahwa pengetahuan kita bersumber dari rasio
(asas-asas a priori yang terdapat di dalam rasio). Adapun pandangan empirisme
Locke bisa lebih jelasnya dilihat dari teori pengetahuannya. Teori pengetahuan
Locke ini beranjak dari asumsi bahwa sumber pengetahuan berasal dari
pengalaman. Menurut Locke, ide-ide yang kita pikirkan terjadi lewat jalan proses
pengindraan yang rumit (kompleks) dengan bertolak dari pengalaman. Sebelum
kita berpikir abstrak, kita harus mengamati warna, ukuran, mencium bau, atau
mendengarkan sesuatu. Apa saja yang kita tangkap dari dunia luar itu menjadi
proses-proses internal kita seperti: berpikir, merasa dan berkehendak. Proses
internal langsung berdasarkan pengalaman lahiriah itu menghasilkan ide-ide
seperti: ide sakit, ide nikmat, ide kesatuan, dan sebagainya. Ide yang dihasilkan
dari penangkapan langsung ini disebut Locke ide-ide simpleks (Wibowo, 2009).
Sementara itu hasil penyusunan ide-ide simpleks yang terpisah-pisah itu
kemudian menjadi ide kompleks. Proses internal dalam manggabung-gabungkan
ide-ide simpleks menjadi ide kompleks ini disebut Locke sebagai abstraksi.
Proses abstraksi ini pada prinsipnya adalah penggabung-gabungan ide-ide
simpleks menjadi ide-ide kompleks yang bersifat universal. Misalnya pada tahap
ide simpleks kita mengetahui manusia-manusia khusus: si A yang pemarah, si B
yang pemalu, si C yang pecemburu, si D yang pendiam dan seterusnya
berdasarkan pengamatan langsung; kemudian pada tahap berikutnya kita
menggabungkan semua ide partikular itu sehingga membentuk ide abstrak
tentang hakikat manusia. Tampak pula di sini Locke tidak sama sekali menolak
kemungkinan pengetahuan abstrak, yang ditolak oleh Locke adalah segala
pengetahuan a priori (Wibowo, 2009).
Selain Locke, pemikir empirisme lainnya yakni David Hume. Secara isi
pemikiran, isi pemikiran mereka berbeda satu sama lain, bahkan Hume
mengkritik Locke. Di dalam rasionalisme diyakini adanya substansi material di
luar diri kita. Tetapi menurut Locke, meskipun mulai mempersoalkan pendekatan
rasionalistis, tetap mengandaikan adanya substansi dengan membedakan antara
persepsi dan objek. Hume tidak setuju dengan pendirian Locke tersebut. Menurut
Hume yang dapat diketahui pikiran hanyalah persepsi, bukan objek. Kita tidak
tahu bagaimana kaitan antara persepsi dan objek-objek d luar pikiran kita. Bukti
untuk hal itu juga tidak ditemukan secara empiris. Namun, meskipun secara isi
pemikiran berbeda, Hume dan Locke sama-sama berpijak pada titik awal yang
sama yakni tak ada satu pun dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat
pada realitas indrawi (nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu). Dengan
kata lain, Hume dan Locke masih sama-sama mengandai mengandaikan bahwa
pengetahuan kita berasal dari pengalaman (bersifat a posteriori) (Wibowo,
2009).
C. Kelemahan Aliran Rasionalisme dan Empirisme
Menurut Peursen (1983) kelemahan rasionalisme dan empirisme yakni kedua
aliran tersebut sama-sama masih berat sebelah mengenai pandangan mereka
terhadap dasar (sumber) pengetahuan, keduanya masih berusaha memisahkan
pengalaman (segi indrawi) dan segi akal-budi (rasio) di mana yang satu lebih di
atas dari yang lain. Secara khusus aliran rasionalisme memiliki kelemahan
sebagai berikut (Wibowo, 2009) :
1. Pengetahuan yang diperoleh manusia tidak pernah lepas dari jejaring
pengalaman, entah itu pengalaman yang bersifat indrawi maupun spiritual.
Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh manusia tidak mutlak bersifat
a priori (mendahului pengalaman), melainkan membentuk dan dibentuk
bersama hadirnya jalinan-jalinan pengalaman yang ada. Eksistensi rasio di
sini, tentu bukan diletakkan atau diartikan menempatkan posisi sekunder
begitupun sebaliknya, pengalaman di sini juga tidak harus diartikan lebih
primer daripada rasio, melainkan kedua-duanya saling mengandalkan.
Pengalaman tanpa rasio adalah hampa, rasio tanpa pengalaman adalah
kosong.
2. Kemampuan rasio untuk menangkap dan menjelaskan realitas, begitu saja
diterima oleh rasionalisme. Rasionalisme luput melakukan terlebih dahulu
pengujian atas sejauh mana kemampuan rasio bisa dijadikan pegangan.
Bukan berarti hendak mengatakan, bahwa kita harus membatasi kerja rasio,
melainkan hendak melakukan pemeriksaan terhadap rasio sejauh mana
rasio mampu guna menangkap dan menjelaskan kenyataan (sebelum rasio
atau akal budi itu melakukan penyelidikannya).
Sedangkan secara khusus kelemahan aliran empirisme adalah sebagai berikut
(Wibowo, 2009):
1. Jika empirisme memercayai pengalaman sebagai dasar utama, sumber dan
asal pengetahuan, bagaimana dengan akal budi atau rasio? Apakah rasio
sekadar tempat tampung bagi impressions yang diperoleh dari dunia luar?
Bila rasio sekadar tempat tampung kesan-kesan yang ditangkap dari dunia
luar, apakah kemudian pengetahuan kita peroleh atau yang diasalkan dari
pengalaman adalah murni dari pengalaman? Kenyataannya, pengetahuan
yang diasumsikan berasal dari pengalaman, baik berbentuk kesan atau pun
gagasan, selalu muncul bersamaan dengan keterlibatan penilaian. Penilaian
itu berasal dari subjek. Jadi, pengetahuan yang diasalkan bersumber dari
pengalaman tidak pernah lepas dari penilaian, yang artinya, pengetahuan
yang diasalkan dari pengalaman tidak pernah murni, namun terkdang
bercampur dengan penilaian subjek. Pengetahuan yang diperoleh lewat
pengalaman tidak pernah lepas dari keterlibatan subjek (penilaian).
2. Pengalaman yang dipandang empirisme sebagai dasar pengetahuan, yang
sekaligus juga bersandar pada kekuatan persepsi panca indra. Panca indra
manusia nyatanya memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu berbentuk
jangkauan kemampuan panca indra dalam mempersepsi sebuah objek.
Misalnya, jika kita dalam sebuah laboratorium yang sudah dilengkapi
peralatan untuk sebuah penelitian, namun saat sedang melakukan penelitan
tersebut, seketika padam saja lampu di laboratorium itu. Dalam keadaan
seperti itu, tidak tertutup kemungkinan bagi panca indra untuk salah, keliru
dan terkecoh dalam aktivitas mempersepsi suatu objek. Kelemahan
empirisme di sini sifatnya hampir sama dengan kelemahan rasionalisme. Jika
rasionalisme menerima pengandaian kemampuan rasio begitu saja untuk
menangkap dan menjelaskan kenyataan, empirisme pun demikian. Empirisme
diam-diam bersikap dogmatis (mengikuti) karena percaya begitu saja pada
kemampuan daya cerap indra tanpa mempertanyakan sejauh mana daya cerap
indra ini dapat diandalkan.
Daftar Pustaka

M. Natsir Nessa, dkk. (2014). Buku ajar ilmu filsafat. Makassar:


file:///E:/UAJM/Semester%204/Filsafat%20Ilmu%20Pengetahuan/FILSAFAT
%20IKAN.pdf.

Wibowo, W. (2009). Kritisisme Kant: Sintesis antara rasionalisme dan empirisme .


13-23.

Wilardjo, S. B. (2009). Aliran-aliran dalam filsafat ilmu berkait dengan ekonomi.


Jurnal Unimus , 2-5.

Anda mungkin juga menyukai