Anda di halaman 1dari 15

1.

Teori Humanistik
Teori humanistik atau psikologi humanistik merupakan suatu pendekatan
yang memfokuskan pada keunikan dan aktualisasi diri manusia melalui pengalaman
dan tingkah laku (Budiningsih, 2005). Tujuan belajar pada teori ini adalah untuk
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Pengembangan aspek emosional,
sosial, mental, dan keterampilan mengembangkan diri menjadi fokus utama dalam
model pendidikan humanistik.
Teori humanistik cenderung eklektif, artinya teori ini dapat memanfaatkan
teori apa saja asalkan tujuannya untuk mengoptimalkan aktualisasi diri individu
tercapai (Budiningsih, 2005). Pada teori ini, tujuan belajar telah dicapai apabila
siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Dengan kata lain,
siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar mampu mencapai aktualisasi
dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan berparadigma humanistik, yaitu praktek pendidikan yang
memandang manusia sebagai satu kesatuan yang integralistik. Pendidikan yang
humanistik memandang manusia sebagai manusia seutuhnya yang harus
melangsungkan dan mempertahankan hidupnya, dapat memecahkan masalah
dengan tegas, dan dapat mengembangkan potensi dirinya dengan segala hak dan
kewajiban yang dimilikinya. Pendidikan humanistik dipandang begitu penting
karena bermaksud untuk membentuk manusia yang memiliki komitmen, kesadaran,
kebebasan dan tanggungawab sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial
(Sulistyarini, 2011).

1.1 Tokoh – Tokoh Teori Humanistik


1) Arthur W. Combs
Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori humanistik.
Seberapa besar kebermaknaan dari suatu materi bagi siswa (peserta didik) menjadi
peran sentral dalam teori ini. Jadi, guru tidak dapat memaksakan suatu materi yang
tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk itu ada kalanya tenaga pendidik
memahami perilaku siswa dengan menyelami dunia persepsi mereka (Sukardjo
2010).
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang terkandung dalam materi
tersebut tidak menyatu dengan makna yang diharapkan siswa (Sukardjo 2010).
Combs mengilustrasikan lukisan persepsi diri dan persepsi dunia seseorang dengan
menggunakan dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat sama (Gambar
2.1).

A
.
B

Gambar 2.1 Ilustrasi Combs 1. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri


seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan
persepsi dunia yang lebih luas.

Makin jauh kebermaknaan persepsi dari peristiwa-peristiwa (lingkaran B)


dengan persepsi diri (lingkaran A), makin berkurang pengaruhnya terhadap
perilaku siswa. Sehingga, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan keterkaitan
diri, akan makin mudah terlupakan oleh siswa. Sebaliknya, apabila makin dekat
kebermaknaan persepsi diri (lingkaran A) dengan peristiwa-peristiwa dalam
persepsi dunia (lingkaran B), makin besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa.
Sehingga, hal-hal tersebut akan mudah diingat oleh siswa (Gambar 2.2).

A A
.

B
B
Gambar 2.2 Ilustrasi Combs 2. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri
seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan
persepsi dunia yang lebih luas.
2) Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua
hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan
atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu
berperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada
dasarnya setiap individu memiliki perasaan takut. Takut untuk berusaha dan
berkembang, takut untuk mengambil peluang, takut untuk mencoba hal-hal baru,
dan sebagainya. Namun di sisi lain, setiap individu juga memiliki dorongan yang
kuat untuk menjadi lebih maju dan berkembang menuju keutuhan, keunikan diri,
ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri, dan juga
menerima diri sendiri.
Manusia sebagai individu memiliki berbagai macam kebutuhan-kebutuhan
yang berkecenderungan meningkat dalam kehidupannya. Sebagai contoh, ketika
manusia telah berhasil memperoleh kebutuhan pertama seperti kebutuhan
fisiologis, barulah mereka ingin memperoleh kebutuhan yang berada di atas
kebutuhan pertama dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia ini menurut
Maslow memiliki implikasi penting yang harus diperhatikan oleh guru pada saat
mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin akan
berkembang apabila kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Dalam artikel “Some Educational Implications of the Humanistic
Psychologist”, Maslow berpendapat bahwa yang terpenting dalam melihat manusia
adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan
positif manusia. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi
manusia. Para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif di sini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya keterampilan membangun dan
menjaga hubungan dengan orang lain, mengajarkan kepercayaan, memahami
perasaan orang lain, kejujuran dan sebagainya. Intinya adalah mengajarkan
peningkatan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitikberatkan pada hubungan interpersonal, para pendidik yang
beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu
peserta didik didik dalam membuat, berimajinasi, berintuisi, merasakan, berfantasi
dan mempunyai pengalaman. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia.
Melihat hal-hal yang dikembangkan oleh para pendidik humanistik, tampak
bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi (emotional quotation)
dalam dunia pendidikan. Karena berpikir dan merasakan berjalan saling beriringan,
mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi
terbesar manusia.

3) Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan
experiential (pengalaman). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam
pengetahuan terpakai. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan
dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup keterlibatan
siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek
membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan
pembelajaran, yaitu :
a) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Artinya
siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
c) Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang
proses.
Salah satu model pendidikan terbuka yang dikembangkan oleh Rogers
mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif. Model ini menekankan
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati,
penghargaan, dan umpan balik positif (Hadis 2006). Ciri-ciri guru fasilitatif adalah
:

a) Merespon perasaan siswa.


b) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah
dirancang.
c) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
d) Menghargai siswa.
e) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
f) Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa
g) Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu mengurangi
angka membolos, meningkatkan angka konsep diri, meningkatkan upaya untuk
meraih prestasi akademik, mengurangi tingkat masalah yang berkaitan dengan
kedisiplinan, serta menjadikan siswa lebih spontan dan menggunakan tingkat
berpikir yang lebih tinggi.

1.2 Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik


Prinsip pembelajaran menurut aliran humanistik yaitu pembelajaran
merupakan usaha guru untuk menciptakan suasana yang menyenangkan untuk
belajar (enjoy learning) yang membuat peserta didik terpanggil untuk belajar
(Darsono, 2001).
Dari bukunya Freedom to Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip
dasar humanistik yang penting di antaranya :
a) Memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuan
belajarnya.
b) Manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami.
c) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran yang dirasakan
memiliki relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
d) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
e) Adanya potensi negatif yang rendah membuat siswa dapat lebih mudah
memperoleh pengalaman belajar bermakna bagi dirinya sendiri.
f) Belajar akan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
g) Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang
mendalam.
h) Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk
mawas diri.
i) Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

1.3 Aplikasi belajar humanistik


Aplikasi teori humanistik lebih mununjuk kepada roh atau spirit selama
proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru
dalam pembelajaran humanistik sebagai fasilitator bagi para siswa dengan
memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Dakir 1993).
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa
memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan
meminimalkan potensi negatif yang ada dalam dirinya.
Tujuan pembelajaran dari humanistik lebih menitikberatkan pada proses
belajar daripada hasil belajar yang pada umumnya melalui serangkaian proses
antara lain :
a) Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
b) Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur dan positif.
c) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar
atas inisiatif sendiri.
d) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, dan memaknai proses belajar
secara mandiri.
e) Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat, memilih pilhannya
sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku
yang ditunjukkan.

1.4 Kelebihan dan Kelemahan Teori Humanistik


Teori humanistik sering dikritik karena sifatnya yang terlalu deskriptif
(meskipun semua teori belajar sebenarnya bersifat deskriptif). Kelemahan lain
adalah sukarnya menerjemahkan teori ini ke langkah-langkah yang lebih praktis
dan konkrit (Suciati & Prasetya 2001). Namun, karena sifatnya yang deskriptif
itulah maka teori ini seolah memberi arah proses belajar. Semua tujuan belajar
bersifat ideal dan teori humanistik inilah yang menjelaskan bagaimana tujuan ideal
itu seharusnya.
Teori humanistik akan sangat membantu dalam proses pemahaman belajar
serta melakukan proses belajar dalam dimensi yang lebih luas, jika kita mampu
menempatkannya dalam konteks yang tepat. Kalaupun teori ini sulit untuk
diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis, namun
ide-ide yang diberikan dalam teori ini setidaknya telah membuka mata kita agar
lebih memahami hakekat jiwa manusia.

2. Teori Revolusi Sosio-kultural


Teori ini mengemukaan bahwa peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang
terutama berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari
individu itu sendiri (Budiningsih, 2005). Konsep-konsep yang penting dalam teori
ini yaitu genetic law of development, zone of proximal development, dan mediasi
mampu membuktikan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar
sosial-budaya dan sejarahnya. Dalam teori revolusi sosio-kultural, perolehan
pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai dengan teori sociogenesi,
artinya dimensi kesadaran sosial bersifat primer sedangkan dimensi individual
bersifat sekunder. Oleh sebab itu, anak diberikan kesempatan yang luas untuk
mengembangkan potensinya melalui kegiatan belajar dan berkembang.
2.1 Tokoh-tokoh Teori Sosio-kultural
Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural:
1) Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu
artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan
sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu
utama terjadinya belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa), sedangkan
lingkungan sosial menjadi faktor sekunder. Keaktifan siswa menjadi penentu utama
dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar
memudahkan belajar.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik,
yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan
system syaraf. Makin bertambah umur seseorang, makin komplekslah susunan sel
syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi
seturut dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang. Ketika
individu berkembang menuju kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis
dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan
kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Perolehan kecakapan intelektual akan
berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan
dan ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru
sebagai pengalaman atau persoalan.
Untuk memperoleh keseimbangan atau ekuilibrasi, seseorang harus
melakukan adaptasi dua bentuk dan terjadinya secara simultan, yaitu asimilasi dan
akomodasi. Melalui asimilasi siswa mengintregasikan pengetahuan baru dari luar
ke dalam struktur kognitif yang telah ada pada dirinya. Sedangkan melalui
akomodasi siswa memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan
pengetahuan yang baru. Adaptasi akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di
dalam struktur kognitifnya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman, dan kedewasaan akan terjadi melalui tahap-tahap perkembangan
tertentu (Budiningsih 2005).
Teori konflik-sosiokognitif ini mampu berkembang luas dan mendominasi
bidang psikologi dan pendidikan. Namun, bila dicermati ada beberapa aspek dari
teori Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif pada
kegiatan pembelajaran jika dilihat dari perspektif revolusi sosio-kultural saat ini.
Dilihat dari locus of cognitive development atau asal-usul pengetahuan, Piaget
cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam
individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan
lingkungan sosial. Siswa mengkonstruksikan pengetahuannya lewat tindakan yang
dilakukannya terhadap lingkungan sosial. Pemahaman atau pengetahuan
merupakan penciptaan makna pengetahuan baru yang bertolak dari interaksinya
dengan lingkungan sosial. Kemampuan menciptakan makna atau pengetahuan baru
itu sendiri lebih ditentukan oleh kematangan biologis. Menurut Piaget, dalam
fenomena belajar lingkungan sosial hanya berfungsi sekunder, sedangkan faktor
utama yang menentukan terjadinya belajar, tetap pada individu yang bersangkutan.
Teori belajar semacam ini lebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya
belajar sokratik yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat yang mengunggulkan
self-generated knowledge atau individualistic pursuit of truth yang dipelopori oleh
Sokrates.

2) Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dari latar sosial-budaya dan
sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara
menelusuri apa yang ada di dalam otaknya melainkan dari asal-usul tindakan
sadarnya dan dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan).
Kehidupan sosial atau kelompok menentukan peningkatan fungsi-fungsi mental
individu (Budiningsih, 2003).
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Peserta didik memperoleh berbagai
pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan
sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan
perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran
berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan dimensi
individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder. Oleh karena itu, teori belajar
Vygotsky disebut dengan pendekatan co-konstruktivisme artinya perkembangan
kognitif seseorang di samping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga
ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky, perkembangan kognisi peserta didik dapat terjadi melalui
kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya.
Perkembangan peserta didik terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang
hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain (Moll, 1994). Dari perspektif ini
para penganut aliran sosio-kultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin
menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di
lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang
diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan
manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan
budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di
lingkungan sosialnya. Selain itu, Vygotsky juga menekankan bagaimana peserta
didik dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil
di dalam bidang-bidang tersebut.

2.2 Prinsip-Prinsip Teori Revolusi Sosio-kultural


Menurut Budiningsih (2005), ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis
Vygotsky tentang perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural
dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu hukum genetik tentang perkembangan
(genetic law of development), zona perkembangan proksimal (zona of proximal
development), dan mediasi.
1) Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu sosial atau intermental dan intrapsikologis
atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental atau lingkungan
sosial sebagai faktor primer dalam pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau
keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi
terhadap proses-proses sosial tersebut.
Pada mulanya anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial tertentu tanpa
memahami maknanya. Pemaknaan atau konstruksi pengetahun baru muncul
melalui proses internalisasi. Internalisasi yang dimaksud Vygotsky bersifat
transformtif, yaitu mampu memunculkan perubahan dan perkembangan yang tidak
hanya berupa peniruan, namun juga merupakan proses belajar dan berkembang
yang membetuk satu kesatuan dan saling menentukan.
2) Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal
development) ke dalam dua tingkat. Pertama, tingkat perkembangan aktual yang
tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau
memecahkan berbagai masalah secara mandiri (intramental). Kedua, tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa
atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (intermental).
Jarak antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini
disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal diartikan
sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang
masih berada dalam proses pematangan (Tudge dalam Moll, 1994).
Pematangan kemampuan ini melalui interaksi dengan orang dewasa atau
kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Zona perkembangan
proksimal ini menjadi dasar perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas dan pengoptimalan perkembangan kognitif anak. Konsep
kunci dalam zona ini yaitu perkembangan seseorang yang bersifat context
dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial sehingga sebelum
terjadinya proses internalisasi dalam diri atau sebelum kemampuan intramental
terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses belajar. Orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih kompoten perlu membantu dengan berbagai cara seperti
memberikan contoh, memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan lainnya
sehinggan bisa memengaruhi perkembangan kemampuannya.
3) Mediasi
Semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi didimensikan
dengan alat-alat psikologis berupa bahasa, tanda dan lambang, atau disebut
semiotika. Tanda-tanda atau lambang-lambang yang dimasudkan berfungsi sebagai
mediator interaksi sosial atau berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas
sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya proses
mental.. Tanda atau lambang tersebut bersifat spesifik dan merupakan produk dari
lingkungan sosiokultural dimana seseorang berada.
Ada dua jenis mediasi, yaitu: pertama, mediasi metakognitif adalah
penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self-regulation
yang meliputi: self planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating.
Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi. Selama
menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten
biasa menggunakan alat-alat semiotik tertentu untuk membantu mengatur tingkah
laku anak. Selanjutnya anak akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk
dijadikan sarana regulasi diri.
Kedua, mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau subject-
domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa
salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-konsep
ilmiah yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam
pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan
deklaratif (declarative knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan
berbagai persoalan, pengetahuan prosedural (procedural knowledge) berupa
metode atau strategi utnuk memecahkan masalah. Pengembangan pengetahun yang
sangat bermakna dapat dilakukan dengan cara memadukan antara konsep-konsep
dan prosedur melalui demonstrasi dan praktik.

2.3 Aplikasi Teori Sosio-kultural


Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural
dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
1) Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan peserta didik dimulai dari lingkungan keluarga, dimana peserta
didik pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari
lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, perkembangan perilaku masing-masing
peserta didik akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda, karena
faktor yang mempengaruhi perkembangan peserta didik dalam keluarga beragam,
misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan
dalam keluarga dan sebagainya.
2) Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku pada peserta didik, misalnya
kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali peserta didik hal-hal
tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
3) Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari
beberapa segi antara lain:
Kurikulum. Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan
kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 tentang standar
kompetensi, dan Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 tentang standar
kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia
memberikan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap kepada peserta didik untuk
mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional
melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
Siswa. Dalam pembelajaran KTSP peserta didik mengalami pembelajaran
secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu, pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi peserta didik
mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu, pembelajaran memberikan
kebebasan peserta didik untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya
pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Guru. Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran
lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer
pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam
pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu
perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan,
remedial pembelajaran.
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Revolusi Sosio-Kultural
Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan, di
antaranya peserta didik memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan
zona perkembangan potensinya melalui belajar dan berkembang. Pembelajaran
perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya daripada tingkat
perkembangan aktualnya. Kelebihan lainnya adalah pembelajaran lebih diarahkan
pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya
daripada kemampuan intramental. Peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan
masalah. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih
merupakan co-konstruktivisme, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau
makna baru secara bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Kelemahan dari teori revolusi sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang
tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep,
belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir
sukar diamati secara langsung. Oleh karena itu, perlu diteliti mengenai perilaku
pada proses belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Belajar.


Hadis A. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Budiningsih CA. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Suciati, Prasetya P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : PAU-PPAI,
Universitas Terbuka.
Rachmahana SR. 2008. Psikologi humanistik dan aplikasinya dalam pendidikan.
Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi 1: 99-114.
Tudge J. 1994. Vygotsky: The Zone of Proximal Development, and Peer
Collaboration: Implications for Classroom Practice. Cambrige: University
Press.
Sulistyarini (2011). pentingnya oendidikan humanistik di era globalisasi. Jurnal
pendidikan sosiologi dan humaniora vol. 2 no. 1.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=28&cad
=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjL3oPm_a3WAhXFqI8KHclZD444FBAWCEkwB
w&url=http%3A%2F%2Fjurnal.untan.ac.id%2Findex.php%2FJPSH%2Farticle%
2Fdownload%2F389%2F392&usg=AFQjCNGQwuwRPrCShLzTMhwoPm0B0aj
1Vw.
C. Asri Budiningsih (2003). Dinamika pendidikan No 1/Tahun X.
https://media.neliti.com/media/publications/58843-ID-perkembangan-teori-
belajar-dan-pembelaja.pdf.
Moll, L. C., ed. 1994. Vygotsky and education: Instructiona implications and
applications of sociohystorycal sychology. Cambrige: University Press.

Anda mungkin juga menyukai