Teori Humanistik
Teori humanistik atau psikologi humanistik merupakan suatu pendekatan
yang memfokuskan pada keunikan dan aktualisasi diri manusia melalui pengalaman
dan tingkah laku (Budiningsih, 2005). Tujuan belajar pada teori ini adalah untuk
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Pengembangan aspek emosional,
sosial, mental, dan keterampilan mengembangkan diri menjadi fokus utama dalam
model pendidikan humanistik.
Teori humanistik cenderung eklektif, artinya teori ini dapat memanfaatkan
teori apa saja asalkan tujuannya untuk mengoptimalkan aktualisasi diri individu
tercapai (Budiningsih, 2005). Pada teori ini, tujuan belajar telah dicapai apabila
siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Dengan kata lain,
siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar mampu mencapai aktualisasi
dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan berparadigma humanistik, yaitu praktek pendidikan yang
memandang manusia sebagai satu kesatuan yang integralistik. Pendidikan yang
humanistik memandang manusia sebagai manusia seutuhnya yang harus
melangsungkan dan mempertahankan hidupnya, dapat memecahkan masalah
dengan tegas, dan dapat mengembangkan potensi dirinya dengan segala hak dan
kewajiban yang dimilikinya. Pendidikan humanistik dipandang begitu penting
karena bermaksud untuk membentuk manusia yang memiliki komitmen, kesadaran,
kebebasan dan tanggungawab sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial
(Sulistyarini, 2011).
A
.
B
A A
.
B
B
Gambar 2.2 Ilustrasi Combs 2. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri
seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan
persepsi dunia yang lebih luas.
2) Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua
hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan
atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu
berperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis. Pada
dasarnya setiap individu memiliki perasaan takut. Takut untuk berusaha dan
berkembang, takut untuk mengambil peluang, takut untuk mencoba hal-hal baru,
dan sebagainya. Namun di sisi lain, setiap individu juga memiliki dorongan yang
kuat untuk menjadi lebih maju dan berkembang menuju keutuhan, keunikan diri,
ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri, dan juga
menerima diri sendiri.
Manusia sebagai individu memiliki berbagai macam kebutuhan-kebutuhan
yang berkecenderungan meningkat dalam kehidupannya. Sebagai contoh, ketika
manusia telah berhasil memperoleh kebutuhan pertama seperti kebutuhan
fisiologis, barulah mereka ingin memperoleh kebutuhan yang berada di atas
kebutuhan pertama dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia ini menurut
Maslow memiliki implikasi penting yang harus diperhatikan oleh guru pada saat
mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin akan
berkembang apabila kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Dalam artikel “Some Educational Implications of the Humanistic
Psychologist”, Maslow berpendapat bahwa yang terpenting dalam melihat manusia
adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan
positif manusia. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi
manusia. Para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif di sini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya keterampilan membangun dan
menjaga hubungan dengan orang lain, mengajarkan kepercayaan, memahami
perasaan orang lain, kejujuran dan sebagainya. Intinya adalah mengajarkan
peningkatan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitikberatkan pada hubungan interpersonal, para pendidik yang
beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu
peserta didik didik dalam membuat, berimajinasi, berintuisi, merasakan, berfantasi
dan mempunyai pengalaman. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia.
Melihat hal-hal yang dikembangkan oleh para pendidik humanistik, tampak
bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi (emotional quotation)
dalam dunia pendidikan. Karena berpikir dan merasakan berjalan saling beriringan,
mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi
terbesar manusia.
3) Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan
experiential (pengalaman). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam
pengetahuan terpakai. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan
dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup keterlibatan
siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek
membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan
pembelajaran, yaitu :
a) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Artinya
siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
c) Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang
proses.
Salah satu model pendidikan terbuka yang dikembangkan oleh Rogers
mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif. Model ini menekankan
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati,
penghargaan, dan umpan balik positif (Hadis 2006). Ciri-ciri guru fasilitatif adalah
:
2) Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dari latar sosial-budaya dan
sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara
menelusuri apa yang ada di dalam otaknya melainkan dari asal-usul tindakan
sadarnya dan dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan).
Kehidupan sosial atau kelompok menentukan peningkatan fungsi-fungsi mental
individu (Budiningsih, 2003).
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Peserta didik memperoleh berbagai
pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan
sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan
perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran
berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan dimensi
individual bersifat derivatif atau turunan dan sekunder. Oleh karena itu, teori belajar
Vygotsky disebut dengan pendekatan co-konstruktivisme artinya perkembangan
kognitif seseorang di samping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga
ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky, perkembangan kognisi peserta didik dapat terjadi melalui
kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya.
Perkembangan peserta didik terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang
hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain (Moll, 1994). Dari perspektif ini
para penganut aliran sosio-kultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin
menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di
lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang
diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan
manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan
budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di
lingkungan sosialnya. Selain itu, Vygotsky juga menekankan bagaimana peserta
didik dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil
di dalam bidang-bidang tersebut.