DISUSUN OLEH
KELOMPOK 7
KELAS/SEMESTER : E/2
METRO LAMPUNG
TA. 2022/2023
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Pendekatan dalam Filsafat Ilmu
(Positivistik dan Non-Positivistik)” guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu tepat pada waktunya.
Kelompok 7
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Kesimpulan.................................................................................................12
B. Kritik dan Saran..........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendekatan adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi
dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model. Untuk
memahami dari dunia beserta seluruh isinya, kita sebagai manusia pasti
menggunakan pendekatan. Manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai
nafsu terkadang menimbulkaan masalah bagi dirinya sendiri.untuk
menyelesaikan masalahnya dalam hal ini manusia tersebut bisa menggunakan
pendekatan-pendekatan ilmiah. Lalu Dalam konteks ini, pendekatan itu disebut
“objektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, prilaku-prilaku, dan
peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata” yang diamati oleh panca indra,
diukur, dan diramalkan. Bagi seorang ilmuan penguasaan pendekatan ilmiah
merupakan suatu kewajiban, karena tanpa pendekatan ilmiah tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan ilmiah, sehingga mudah bagi seorang ilmuan untuk
mengembangkanmateri pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari positivistik dan non-positivistik?
2. Bagaimana perkembangan positivistik?
3. Bagaimana sejarah positivistik?
4. Apa kelebihan dan kelemahan positivistik?
1
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian positivistik dan non-positivistik.
2. Untuk mengetahui perkembangan positivistik.
3. Untuk mengetahui sejarah positivistik.
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan positivistik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Postivisme (positivism) berasal dari bahasa Latin positives atau ponere yang
berarti meletakkan. Dalam filsafat, positivisme merupakan istilah umum untuk
posisi filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya
pengetahuan ilmiah. Umumnya positivisme menjabarkan pernyataan faktual
pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Dengan kata lain, positivisme
merupakan aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai
kognitif dari studi filosofis atau metafisik.3
1
Atang Abdul Hakim and Beni Saebani, Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm 296.
2
Praja S Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 134.
3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 2000), hlm 858.
3
Auguste Comte (1798-1857), ilmuwan Perancis yang berlatar belakang
kesarjanaan matematika dan fisika.4
Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal berikut: pada teori
pengetahuan (epistemologi) dan pada teori (akal budi) manusia. Sebagai teori
tentang perkembangan sejarah manusia, istilah posivisme identik dengan tesis
comte sendiri mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang
secara linier bergarak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu
bermula dari tahap mistis atau teologi.
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825).
Positivisme berakar pada empirisme, prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon (sekitar 1600).
Tesis positivism adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang
valid, dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode diluar yang
digunakan untuk menelaah fakta.5
4
Antony Flew, A Dictionary of Phylosophy (New York: St Martin’s Press, 1984), hlm 283.
5
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains,” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (December 12, 2016): hlm 168.
4
pengetahuan, akan tetapi ilmu yang bisa meramalkan dan mengendalikan
proses-proses sosial, sebagaimana semboyan Comte, savoir pour prevoir
(mengetahui untuk meramalkan). Dengan cara ini, ilmu pengetahuan
diharapkan dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional.
6
Arditya Prayogi, “Paradigma Positivisme dan Idealisme dalam Ilmu Sejarah: Tinjauan
Reflektif Terhadap Posisi Sejarah Sebagai Ilmu,” Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra
Islam 21, no. 1 (2021): hlm 79.
5
membuat hidup nyaman, nyaman dan bermakna. Kami selalu mengikuti
tuntunan yang kami yakini dari kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, karena kami ingin kehidupan yang lebih baik di surga, kami takut
menyimpang dari petunjuk nabi, karena kami takut menderita dan siksaan di
neraka. Edmund Husserl mengemukakan bahwa objek ilmu tidak terbatas pada
yang empirik (sensual), tetapi mencangkok fenomena yang tidak lain daripada
persepsi pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek tentang sesuatu diluar
subjek: ada sesuatu yang inden, di samping yang aposteriorik.
7
Rafika Rasdin, “PENDEKATAN POSITIVISTIK DAN NON-POSITIVISTIK DALAM
PENELITIAN PENDIDIKAN (Rafika Rasdin, Sofyan Sauri),” Filsafat Pendekatan positivistik
dan Non-Positivsitik dalam Penelitian Pendidikan (January 1, 2020): hlm 6
6
B. Perkembangan Positivistik
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan Positivistik sebagai berikut:
C. Sejarah Positivistik
Positisvik berkata bahwa pada zaman dahulu banyak diskusi yang tak ada
faedahnya oleh sebab pihak-pihak yang bertentangan tidak membicarakan hal-
hal yang mengandung arti. Untuk bertanya: “apa maksud Tuhan dalam
menciptakan alam?” pertanyaan ini merupakan pertanyaan atau suara yang
kosong dan tidak berarti. Bukan saja oleh karena kita tak dapat mengetahui
maksud Allah, sebab kita ini bangsa manusia, akan tetapi juga oleh karena tiap-
tiap susunan kata yang mengenai ketuhanan tidak mengandung sesuatu arti apa
8
Ulfatun Hasanah, “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) Terhadap Dasar
Pengembangan Ilmu Dakwah,” Al-I’lam: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam 2, no. 2 (March
30, 2019): hlm 2.
7
pun sebab susunan kata itu tak dapat dibuktikan, dan hanya membentangkan
hal-hal yang sebenarnya dengan tidak ditambah-tambah.
Gelombang kedua dari pada positivism itu dipimpin oleh C.S Peirce dari
John Hopkins University. Positivisme pada zaman ini memakai istilah yang
dipakai oleh Kant dan kawan-kawannya serta mementingkan kepada sains dan
empirisme (aliran yang mengatakan, bahwa yang perlu kita ketahui hanya
barang-barang yang dapat kita rasakan dengan indera).
Positivism pada waktu ini merupakan suatu gabungan dari pada empirisme
dan logika-logika formil yang baru. Empirisme membatasi segala pengetahuan
atas dasar perasaan (sense). Selain hal-hal yang dapat dirasakan ada susunan
kata-kata yang jika kita selidiki lebih jauh akan ternyata hanya merupakan
tautology, yakni kedua perkataan yang sama artinya, atau istilah bahasa
(convention of language).
Jadi kalau kita mengatakan biru itu warna, kita tidak mengatakan apa-apa
yang baru, akan tetapi hanya mengulangi di dalam predikat apa yang sudah
terkandung di dalam subyek.
Jika ada susunan kata yang kelihatannya bertentangan, akan tetapi
pertentangan itu tak dapat dibuktikan dengan percobaan, maka pertentangan itu
khayal belaka. Susunan kata itu bukan saja susunan kata yang tak benar, akan
tetapi merupakan susunan kata yang tak ada artinya sama sekali.
8
Memang positivisme merupakan revolusi dalam filosofi, oleh karena sejak
zaman dahulu ahli filsafat hanya menyelidiki Tuhan, zat yang mutlak, jiwa
baik dan jiwa buruk, keadilan, kemerdekaan bertindak, serta alam di luar alam
dunia ini, sedang positivisme mengingkari semua itu dan mengatakan,
umpamanya:
Kemerdekaan kemauan tidak dapat dibuktikan dengan alat. Tuhan tak dapat
ditemukan dalam laboratorium. Kebaikan tak dapat dilihat dengan mata.9
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan
belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi.
Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang
berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika,namun
jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan
tidak tepatsebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan
ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah
kesalahan dalam penarikan kesimpulan,dimana dari premis-premis yang
dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulanatau
generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya
agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang
harus dipakai adalah penalaran deduktif.Penolakan lainnya adalah tentang
9
M Rasjidi, Philosophy Of Religion Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm
116.
9
Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan
terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkaitdengan
teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan
demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk
membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakan benar
secara mutlak.
1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan
menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan
konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong
untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta,tetapi juga meramalkan masa depannya.
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan
teknologi.
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemologny ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
dasar pemikirannya.
10
dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar
kebenarannya dankeberadaannya. Hal iniditandai pada saat paham
positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orangyang tidak percaya
kepada agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia
tidak dapatmerasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivistic semua halitu dinafikan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapatmenemukan pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang
nampak yangdapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah
bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca
indera manusia adalah terbatasdantidak sempurna. Sehingga kajiannya
terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak
nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai
teorisi yangoptimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan
sejarah evolusimerupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya,
untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai
masyarakat positivistic.10
10
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl R. Popper (Jakarta: PT
Gramedia, 1989), hlm 350.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
12
4. Kelebihan positivistik, positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional,
sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham
tersebut. Sedangkan kelemahan positivistic,
5. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai
sebagaiakar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang, and Beni Saebani. Filsafat Umum Dari Metologi Sampai
Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
14