Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENDEKATAN DALAM FILSAFAT ILMU

(POSITIVISTIK DAN NON-POSITIVISTIK)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafa Ilmu

Dosen Pengampu : Dr. Zainal Abidin,M.Ag

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 7

1. Alfina Hidayati ( 2101010009 )


2. Safiqul Haidar ( 2101010068 )

KELAS/SEMESTER : E/2

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )

METRO LAMPUNG

TA. 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

1‫بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِح ْيم‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “Pendekatan dalam Filsafat Ilmu
(Positivistik dan Non-Positivistik)” guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu tepat pada waktunya.

Kami selaku penyusun makalah ini, menyadari sepenuhnya bahwa masih


terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh
karena itu, kami memohon dengan ikhlas kepada pembaca makalah ini untuk
berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan
makalah yang lebih baik.

Akhir kata, kami mengucapkan banyak terimakasih, semoga Allah SWT.,


senantiasa memberkahi kehidupan kita dan mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

03, April 2022

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Pengertian Positivistik dan Non-Positivistik.................................................3


B. Perkembangan Positivistik............................................................................7
C. Sejarah Positivistik........................................................................................7
D. Kelebihan dan Kelemahan Positivistik.........................................................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................12

A. Kesimpulan.................................................................................................12
B. Kritik dan Saran..........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendekatan adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi
dukungan akan kebenaran yang relatif, yang sebagai suatu model. Untuk
memahami dari dunia beserta seluruh isinya, kita sebagai manusia pasti
menggunakan pendekatan. Manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai
nafsu terkadang menimbulkaan masalah bagi dirinya sendiri.untuk
menyelesaikan masalahnya dalam hal ini manusia tersebut bisa menggunakan
pendekatan-pendekatan ilmiah. Lalu Dalam konteks ini, pendekatan itu disebut
“objektif” berdasarkan pandangan bahwa objek-objek, prilaku-prilaku, dan
peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia “nyata” yang diamati oleh panca indra,
diukur, dan diramalkan. Bagi seorang ilmuan penguasaan pendekatan ilmiah
merupakan suatu kewajiban, karena tanpa pendekatan ilmiah tidak akan dapat
melaksanakan kegiatan ilmiah, sehingga mudah bagi seorang ilmuan untuk
mengembangkanmateri pengetahuannya berdasarkan metode-metode ilmiah.

Oleh karena itulah pendekatan ilmiah sangat penting sekali untuk


mengetahui seberapa jauh penalaran kita terhadap hal-hal yang jelas dan
objektif. Positivisme yang merupakan salah satu akar dari filsafat modern,
merupakan suatu paham yang hanya menerima ilmu kealaman sebagai satu-
satunya ilmu yang benar.nah,atas dasar itulah penulis makalah ini akan
memperdalam pendekatan positivisme tersebut agar menjadi suatu pemahaman
yang baru tentang keunggulan pendekatan positivistik tersebut.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari positivistik dan non-positivistik?
2. Bagaimana perkembangan positivistik?
3. Bagaimana sejarah positivistik?
4. Apa kelebihan dan kelemahan positivistik?

1
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian positivistik dan non-positivistik.
2. Untuk mengetahui perkembangan positivistik.
3. Untuk mengetahui sejarah positivistik.
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan positivistik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Positivistik dan Non-Positivistik


Positivisme berasal dari kata “positif” yang artinya faktual, sesuatu yang
berdasar fakta atau kenyataan, menurut positivism, pengetahuan kita tidak
boleh melebihi fakta-fakta yang ada, sehingga dalam bidang pengetahuan, ilmu
pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.
Positivisme adalah istilah umum dalam filsafat yang mengutamakan aspek
factual pengetahuan khususnya ilmiah.1 Dengan demikian, maka ilmu
pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.
Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu,
positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan hakikat benda-
benda, atau penyebab yang sebenarnya, termasuk juga filsafat, hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta dan
hubungan yang terdapatantara fakta-fakta.2

Postivisme (positivism) berasal dari bahasa Latin positives atau ponere yang
berarti meletakkan. Dalam filsafat, positivisme merupakan istilah umum untuk
posisi filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya
pengetahuan ilmiah. Umumnya positivisme menjabarkan pernyataan faktual
pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Dengan kata lain, positivisme
merupakan aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai
kognitif dari studi filosofis atau metafisik.3

Dilihat dari asal perkembangannya, positivisme merupakan paham falsafah


dalam alur tradisi Galilean yang muncul dan berkembang pada abad XVIII.
Positivisme berkembang sebagai hasil pemikiran filsafati yang dirintis oleh

1
Atang Abdul Hakim and Beni Saebani, Filsafat Umum Dari Metologi Sampai Teofilosofi
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), Hlm 296.
2
Praja S Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika (Jakarta: Kencana, 2005), hlm 134.
3
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 2000), hlm 858.

3
Auguste Comte (1798-1857), ilmuwan Perancis yang berlatar belakang
kesarjanaan matematika dan fisika.4

Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal berikut: pada teori
pengetahuan (epistemologi) dan pada teori (akal budi) manusia. Sebagai teori
tentang perkembangan sejarah manusia, istilah posivisme identik dengan tesis
comte sendiri mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang
secara linier bergarak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu
bermula dari tahap mistis atau teologi.

Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825).
Positivisme berakar pada empirisme, prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh empiris Inggris Francis Bacon (sekitar 1600).
Tesis positivism adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang
valid, dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode diluar yang
digunakan untuk menelaah fakta.5

Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi


yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah memberi
dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda ilmiah, sehingga
mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk melaksanakan atau operasional
ilmu. menekankan akan pentingnya mencari fakta dan penyebab dari gejala-
gejala sosial dengan kurang memperhatikan tingkah laku subyektif individu
yang dapat dimasukkan dalam kategori tertentu, yang dari anggapan itu tampak
bahwa positivisme melatarbalakangi penggunaan pendekatan kuantitatif dalam
ilmu sosial. Lebih lanjut mahzab positivisme dengan mengkuantifikasi data dan
mencapai perumusan deduktif-nomologis, ingin menjadikan ilmu-ilmu sosial
yang tidak sekadar sebagai ilmu yang murni untuk kemajuan ilmu

4
Antony Flew, A Dictionary of Phylosophy (New York: St Martin’s Press, 1984), hlm 283.
5
Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains,” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2 (December 12, 2016): hlm 168.

4
pengetahuan, akan tetapi ilmu yang bisa meramalkan dan mengendalikan
proses-proses sosial, sebagaimana semboyan Comte, savoir pour prevoir
(mengetahui untuk meramalkan). Dengan cara ini, ilmu pengetahuan
diharapkan dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional.

Positivisme lebih jauh mereduksi manusia hanya pada benda, tubuh


(biologis, kimiawi) yang dapat diukur. Ketika fenomena alam direduksi pada
objek-objek yang terukur dan teramati, maka pandangan dunia yang hidup,
punya makna dan tujuan, digantikan menjadi dunia yang mati, dunia dimana
pandangan kepekaan estetis dan etis, nilai-nilai, kualitas, roh kesadaran, jiwa
dibuang dari wacana ilmiah. Pandangan dunia ilmiah yang sekuler
menghapuskan pandangan dunia sakral. Secara sederhan, asumsi inti
positivisme menyatakan bahwa ilmu social mesti identik dalam logika untuk
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan yang melibatkan pencarian hukum
umum tentang fenomena empiris, dan bahwa penemuan dan penjelasan
tergantung pada suatu diuji dulu secara empiris dari fenomena dipertanyakan.
Proses-proses sosial tidak lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang
bebas, tapi sebagai (bagian) peristiwa alam.6

Non-positivistik adalah suatu teori yang menekankan kepada penelaah rasio


dan bukan kepada indrawi. Misalnya, saat seseorang stres berat karena urusan
pekerjaan yang sulit untuk dihadapi, sehingga menyebabkan orang tersebut
sering melamun dan berdiam diri. Saat seperti inilah yang dibutuhkan bukanlah
makanan jasmani, tetapi makanan rohani. Makanan rohani bisa berupa
keagamaan contohnya: mengaji, sholat, berdzikir, dll.

Metode non-positivistik melibatkan penalaran deduktif, yaitu keyakinan


ilmiah tentang semua orang. Karena beberapa hal itu benar, tetapi kita tidak
dapat membuktikannya dengan penglihatan indrawi, hanya kebenaran yang
berasal dari kepercayaan normatif yang dipercayai hati kita. Kebenaran bisa

6
Arditya Prayogi, “Paradigma Positivisme dan Idealisme dalam Ilmu Sejarah: Tinjauan
Reflektif Terhadap Posisi Sejarah Sebagai Ilmu,” Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra
Islam 21, no. 1 (2021): hlm 79.

5
membuat hidup nyaman, nyaman dan bermakna. Kami selalu mengikuti
tuntunan yang kami yakini dari kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, karena kami ingin kehidupan yang lebih baik di surga, kami takut
menyimpang dari petunjuk nabi, karena kami takut menderita dan siksaan di
neraka. Edmund Husserl mengemukakan bahwa objek ilmu tidak terbatas pada
yang empirik (sensual), tetapi mencangkok fenomena yang tidak lain daripada
persepsi pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek tentang sesuatu diluar
subjek: ada sesuatu yang inden, di samping yang aposteriorik.

Pendekatan non-positivistik adalah metode yang tidak dipengaruhi oleh


observasi dan pengalaman, tidak dapat diukur, dan dapat dibuktikan tanpa
observasi titik penalaran yang digunakan dalam metode ini adalah penalaran
deduktif yaitu penalaran dari suatu masalah umum kemudian mengarah ke
suatu masalah tertentu titik pendekatan non-potivistik ini ini tidak cocok untuk
menemukan kebenaran baru.

Pendekatan non-potivistik sebelum adanya positivistik. Adananya non-


positivistik dipelopori oleh Thomas Khun melalui bukunya The Structure of
Scientific Revolution yang terbit pada tahun 1602. Non-positivistik adalah
suatu cara pandang untuk mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk
generalisasi, yang entry pouint pendapatannya berawal dari pemaknaan untuk
menghasilkan Biore dan bukan mencari pembenaran terhadap suatu teori
ataupun menjelaskan suatu teori, dikarenakan kebenaran yang diperoleh ialah
pemahaman terhadap teori yang dihasilkan. Inilah kontrol yang tidak lagi dapat
diserahkan kepada bekerjanya Leibnizian ius yang menjamin keselarasan
secara alami, melainkan harus diupayakan dengan paradigm baru yang
Galilean, yang secara lebih poritif tidak hanya mampu menjelaskan hubungan
kausalitas antara fenomena control dengan tertib pelaku dalam masyarakat,
melainkan dapat pula mengupayakan terwujudnya.7

7
Rafika Rasdin, “PENDEKATAN POSITIVISTIK DAN NON-POSITIVISTIK DALAM
PENELITIAN PENDIDIKAN (Rafika Rasdin, Sofyan Sauri),” Filsafat Pendekatan positivistik
dan Non-Positivsitik dalam Penelitian Pendidikan (January 1, 2020): hlm 6

6
B. Perkembangan Positivistik
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan Positivistik sebagai berikut:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada sosiologi,


walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme empirio positivisme berawal
pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius.
Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata
obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme
ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina
dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain.
Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini
adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini
menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis,
serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya
tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.8

C. Sejarah Positivistik
Positisvik berkata bahwa pada zaman dahulu banyak diskusi yang tak ada
faedahnya oleh sebab pihak-pihak yang bertentangan tidak membicarakan hal-
hal yang mengandung arti. Untuk bertanya: “apa maksud Tuhan dalam
menciptakan alam?” pertanyaan ini merupakan pertanyaan atau suara yang
kosong dan tidak berarti. Bukan saja oleh karena kita tak dapat mengetahui
maksud Allah, sebab kita ini bangsa manusia, akan tetapi juga oleh karena tiap-
tiap susunan kata yang mengenai ketuhanan tidak mengandung sesuatu arti apa

8
Ulfatun Hasanah, “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) Terhadap Dasar
Pengembangan Ilmu Dakwah,” Al-I’lam: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam 2, no. 2 (March
30, 2019): hlm 2.

7
pun sebab susunan kata itu tak dapat dibuktikan, dan hanya membentangkan
hal-hal yang sebenarnya dengan tidak ditambah-tambah.

Gelombang kedua dari pada positivism itu dipimpin oleh C.S Peirce dari
John Hopkins University. Positivisme pada zaman ini memakai istilah yang
dipakai oleh Kant dan kawan-kawannya serta mementingkan kepada sains dan
empirisme (aliran yang mengatakan, bahwa yang perlu kita ketahui hanya
barang-barang yang dapat kita rasakan dengan indera).

Positivisme ingin membatasi penyelidikan-penyelidikan filsafat dan


menjauhi diskusi yang tak ada buahnya. Positivism mengatakan bahwa dengan
metodenya yang didasarkan atas apa yang dirasakan, hal-hal yang telah
merupakan gangguan kepada pikiran manusia selama berabad-abad, sekarang
dapat dibereskan.

Pertentangan antara rasionalisme (aliran yang mementingkan kepada


pikiran) dan empirisme (yang mementingkan segala apa yang dapat dilihat dan
dirasakan oleh indera) pada waktu ini telah dapat disingkirkan.

Positivism pada waktu ini merupakan suatu gabungan dari pada empirisme
dan logika-logika formil yang baru. Empirisme membatasi segala pengetahuan
atas dasar perasaan (sense). Selain hal-hal yang dapat dirasakan ada susunan
kata-kata yang jika kita selidiki lebih jauh akan ternyata hanya merupakan
tautology, yakni kedua perkataan yang sama artinya, atau istilah bahasa
(convention of language).

Jadi kalau kita mengatakan biru itu warna, kita tidak mengatakan apa-apa
yang baru, akan tetapi hanya mengulangi di dalam predikat apa yang sudah
terkandung di dalam subyek.
Jika ada susunan kata yang kelihatannya bertentangan, akan tetapi
pertentangan itu tak dapat dibuktikan dengan percobaan, maka pertentangan itu
khayal belaka. Susunan kata itu bukan saja susunan kata yang tak benar, akan
tetapi merupakan susunan kata yang tak ada artinya sama sekali.

8
Memang positivisme merupakan revolusi dalam filosofi, oleh karena sejak
zaman dahulu ahli filsafat hanya menyelidiki Tuhan, zat yang mutlak, jiwa
baik dan jiwa buruk, keadilan, kemerdekaan bertindak, serta alam di luar alam
dunia ini, sedang positivisme mengingkari semua itu dan mengatakan,
umpamanya:
Kemerdekaan kemauan tidak dapat dibuktikan dengan alat. Tuhan tak dapat
ditemukan dalam laboratorium. Kebaikan tak dapat dilihat dengan mata.9

D. Kelebihan dan Kelemahan Positivistik


Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus di uji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai
penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan
ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau
faktanyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut
positivisme logis tugas filsafatilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar
untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan
belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi.
Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang
berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika,namun
jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan
tidak tepatsebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan
ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah
kesalahan dalam penarikan kesimpulan,dimana dari premis-premis yang
dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulanatau
generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya
agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang
harus dipakai adalah penalaran deduktif.Penolakan lainnya adalah tentang
9
M Rasjidi, Philosophy Of Religion Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm
116.

9
Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan
terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkaitdengan
teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan
demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk
membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakan benar
secara mutlak.

Adapun kelebihan positivstik adalah sebagai berikut:

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan
menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu
menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan
konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong
untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta,tetapi juga meramalkan masa depannya.
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan
teknologi.
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemologny ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai
dasar pemikirannya.

Adapun kekurangan positivistic adalah sebagai berikut:

1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai


sebagaiakar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian
fisik-biologik.
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat
diujikebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya
manusia yangnantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga

10
dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar
kebenarannya dankeberadaannya. Hal iniditandai pada saat paham
positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orangyang tidak percaya
kepada agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia
tidak dapatmerasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivistic semua halitu dinafikan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak
dapatmenemukan pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang
nampak yangdapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah
bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca
indera manusia adalah terbatasdantidak sempurna. Sehingga kajiannya
terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak
nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai
teorisi yangoptimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan
sejarah evolusimerupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya,
untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai
masyarakat positivistic.10

10
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl R. Popper (Jakarta: PT
Gramedia, 1989), hlm 350.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Positivisme ialah pandangan filosofis yang dicirikan oleh suatu evaluasi


yang positif dari ilmu dan metoda ilmiah, yang dengan demikian telah
memberi dampak pada etika, agama, politik, dan filsafat serta metoda
ilmiah, sehingga mempersiapkan suatu rasionalitas baru untuk
melaksanakan atau operasional ilmu. Menekankan akan pentingnya mencari
fakta dan penyebab dari gejala-gejala sosial dengan kurang memperhatikan
tingkah laku subyektif individu yang dapat dimasukkan dalam kategori
tertentu, yang dari anggapan itu tampak bahwa positivisme
melatarbalakangi penggunaan pendekatan kuantitatif dalam ilmu sosial.
Sedangkan Non-positivistik adalah suatu teori yang menekankan kepada
penelaah rasio dan bukan kepada indrawi. Misalnya, saat seseorang stres
berat karena urusan pekerjaan yang sulit untuk dihadapi, sehingga
menyebabkan orang tersebut sering melamun dan berdiam diri. Saat seperti
inilah yang dibutuhkan bukanlah makanan jasmani, tetapi makanan rohani.
Makanan rohani bisa berupa keagamaan contohnya: mengaji, sholat,
berdzikir, dll.
2. Perkembangan positivistic ada 3 yaitu, tempat utama dalam positivisme
pertama diberikan pada sosiologi, munculnya tahap kedua dalam
positivisme empirio positivisme berawal pada tahun 1870-1890-an dan
berpautan dengan Mach dan Avenarius, dan perkembangan positivisme
tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya
O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain.
3. Sejarah positivistic Positisvik berkata bahwa pada zaman dahulu banyak
diskusi yang tak ada faedahnya oleh sebab pihak-pihak yang bertentangan
tidak membicarakan hal-hal yang mengandung arti.

12
4. Kelebihan positivistik, positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional,
sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham
tersebut. Sedangkan kelemahan positivistic,
5. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai
sebagaiakar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan

B. Kritik dan Saran


Makalah ini dibuat dengan tujuan memberikan wawasan kepada pembaca
terkait dengan pendekatan dalam filsafat ilmu (positivistik dan non-
positivistik). Selain itu kami pemakalah menyadari bahwa terdapat banyak
kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan evaluasi kami untuk pembuatan
makalah selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Atang, and Beni Saebani. Filsafat Umum Dari Metologi Sampai
Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia, 2000.

Flew, Antony. A Dictionary of Phylosophy. New York: St Martin’s Press, 1984.

Hasanah, Ulfatun. “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) Terhadap


Dasar Pengembangan Ilmu Dakwah.” Al-I’lam: Jurnal Komunikasi dan
Penyiaran Islam 2, no. 2 (March 30, 2019): 70.

Juhaya, Praja S. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika. Jakarta: Kencana, 2005.

Nugroho, Irham. “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis Dan Nilai


Etisnya Terhadap Sains.” Cakrawala: Jurnal Studi Islam 11, no. 2
(December 12, 2016): 167–177.

Prayogi, Arditya. “Paradigma Positivisme dan Idealisme dalam Ilmu Sejarah:


Tinjauan Reflektif Terhadap Posisi Sejarah Sebagai Ilmu.” Tamaddun:
Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam 21, no. 1 (2021): 75–90.

Rasdin, Rafika. “PENDEKATAN POSITIVISTIK DAN NON-POSITIVISTIK


DALAM PENELITIAN PENDIDIKAN (Rafika Rasdin, Sofyan Sauri).”
Filsafat Pendekatan positivistik dan Non-Positivsitik dalam Penelitian
Pendidikan (January 1, 2020). Accessed April 11, 2022.

Rasjidi, M. Philosophy Of Religion Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Taryadi, Alfons. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl R. Popper.


Jakarta: PT Gramedia, 1989.

14

Anda mungkin juga menyukai