Anda di halaman 1dari 31

REKONSTRUKSI PEMIKIRAN Dr. NASIWAN, M.

Si DALAM BUKUNYA
TEORI-TEORI SOSIAL INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Teori Sosial
Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun oleh:

Dian Larasati 16416241008

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah
Teori Sosial Indonesia tentang “Rekonstruksi Pemikiran Dr. Nasiwan, M.Si
dalam Buku Teori-Teori Sosial Indonesia”. Sesuai topik tersebut, makalah ini
memaparkan adanya suatu kenyataan bahwa ilmu sosial di Indonesia
mengalami sedikit pada permasalahan-permasalahan yang ada. Hal ini
disebabkan salah satunya peran para ahli yang masih minim dalam
memecahkan masalah, untuk mengatasi permasalahan tersebut akan dijelaskan
mengenai beberapa tokoh yang mempunyai pemikiran dan kontribusinya
terhadap permasalahan tersebut.

Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Teori Sosial Indonesia juga dilakukan sebagai sarana pembelajaran dan
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat, menumbuhkan kesadaran dan
kepedulian akan perkembangan dan problematika serta diskursus ilmu sosial.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dalam makalah ini baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 27 Desember 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4


A. Latar Belakang ................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 6


A. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia .......................................................... 6
B. Biografi dan Pemikiran Tokoh Mansur Fakih ................................................. 9
1. Biografi Singkat Mansur Fakir (1953-2004)................................................ 9
2. Pemikiran Mansur Fakih ............................................................................ 13
C. Biografi dan Pemikiran Tokoh Selo Sumarjdan ............................................ 19
1. Biografi Tokoh Selo Sumardjan ................................................................ 19
2. Pemikiran Tokoh Selo Sumardjan ............................................................. 21
D. Biografi dan Pemikiran Tokoh Kuntowijoyo ................................................ 24
1. Biografi Tokoh Kuntowijoyo ..................................................................... 24
2. Pemikiran Tokoh Kuntowijoyo .................................................................. 25

BAB II PENUTUP ................................................................................................ 28


Kesimpulan ........................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29


LAMPIRAN...........................................................................................................29

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di lingkup Asia sudah sejak lama
tergantung dan terpengaruh oleh ilmu-ilmu sosial yang berkembang di
Eropa dan Amerika. Tanpa kita sadari, hal tersebut sudah berlangsung
lama bahkan lebih dari satu abad lamanya. Kondisi ini mengundang
intelektual di Asia dan juga Indonesia untuk mencari strategi jalan keluar
dari ketergantungan-ketidakberdayaan atau captive mind dengan ilmu-ilmu
sosial yang berkembang di Barat.
Diskusi tentang pentingnya membangun suatu diskursus alternatif
ilmu-ilmu sosial di Indonesia, memiliki makna strategis bagi
perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia hal tersebut sangat mendesak
dilakukan oleh para ilmuwan Indonesia dikarenakan adanya kenyataan
bahwa perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia setelah sekian abad
berjalan masih memiliki ketergantungan akademis yang sangat tinggi
dengan ilmu-ilmu sosial di Eropa. Melalui ikhtiar untuk melakukan
indigenousisasi ilmu-ilmu sosial di berbagai bidang keilmuwan.
Ilmu sosial Barat lahir dari sistem dan struktur sosial yang berbeda
dengan masyarakat Indonesia, yang tidak semua yang berasal dari Barat
dapat diaplikasikan di Indonesia. Semangat meniru yang kuat sehingga
menjadikan kita adanya ketergantungan terhadap ilmu sosial Barat.
Kritikan yang muncul dari ilmuwan-ilmuwan Asia dan khususnya
Indonesia memberikan momentum untuk mengembangkan diskursus
alternatif untuk mengatasi arus ilmu sosial dari Barat.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan ilmu sosial di Indonesia ?
2. Bagaimana biografi dan pemikiran dari tokoh Mansur Fakih ?
3. Bagaimana biografi dan pemikiran dari tokoh Selo Sumarjdan?
4. Bagaimana biografi dan pemikiran dari tokoh Kuntowijoyo?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pemikiran dan pendapatnya dari tokoh Mansur
Fakih.
3. Untuk mengetahui pemikiran dan pendapatnya dari tokoh Selo
Sumarjdan.
4. Untuk mengetahui pemikiran dan pendapatnya dari tokoh
Kuntowijoyo.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia


Seorang ilmuwan Indonesia yang bernama Selo Soemardjan,
mengekpresikan kegelisahannya tentang perkembangan ilmu-ilmu sosial
di Indonesia yang sangat memprihatinkan, karena sangat minim kontribusi
ilmuwan sosial Indonesia dalam melahirkan teori-teori sosial yang sesuai
dengan konteks keindonesiaan. Kegelisahan intelektual tersebut sudah
diteriakkan oleh Selo Soemardjan 22 tahun yang lalu pada forum akademis
yang prestisius di Yogyakarta. Kegelisahan inteletual ilmuwan dari Selo
Soemardjan hingga hari ini masih tetap relevan untuk dijawab oleh kaum
terpelajar Indonesia, karena sampai hari ini belum ada jawaban serius
secara akademik yang komprehensif-elaboratif.
Dengan pemikiran yang hampir sama seorang cendikiawan
muslim Indonesia, Kuntowijoyo, juga memberikan kritik yang tajam
tentang perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Dalam pandangannya
ilmu sosial di Indonesia mengalami proses kemandegan bahkan
kehilangan kerangka nilai yang mampu mengarahkan kemana transformasi
masyarakat di Indonesia digerakkan. Dalam kaitan ini untuk memperbaiki
kondisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia Kuntowijoyo mengusulkan perlunya
memberikan ruang untuk hadirnya apa yang disebut dengan Ilmu Sosial
Profetik.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas menghadapi kemandegan
ilmu-ilmu sosial di Asia, sejumlah intelektual muslim di berbagai negara
memiliki kegelisahan yang sama untuk menghadirkan ilmu sosial yang
dapat langsung diterapkan dalam menjelaskan masyarakat muslim.
Diantara pandangan penting Al-Faruqi dan Al Atas adalah berkaitan
dengan pertama, fenomena kebiasaan ilmuwan di negara-negara Asia
untuk menggunakan kategori-kategori, pemilihan masalah,

6
konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi dan
interprestasi yang ditiru dari Barat. Sebagian negara dunia ketiga
sebenarnya telah berusaha untuk keluar dari belenggu imperialisme
akademis seperti yang dilakukan oleh intelektual India, China, dan juga
negara-negara berkembang lainnya, tetapi keinginan itu belumlah
dilakukan secara sistematis dan melembaga, tingkat kebergantungan
ekonomi. Tingkat kebergantungan ilmuwan sosial negara berkembang
menurut catatan Syed Farid Alatas meliputi; 1) kebergantungan pada
gagasan; 2) kebergantungan pada media gagasan; 3) kebergantungan pada
teknologi pendidikan; 4) kebergantungan pada bantuan riset dan
pengajaran; 5) kebergantungan pada investasi pendidikan; 6)
kebergantungan ilmuwan sosial dunia ketiga pada permintaan Barat akan
keterampilan mereka.
Kedua, adalah pencermatan Alatas kebiasaan ilmuwan di negara-
negara Asia dalam hal proses meniru Barat secara membabi buta.
Merespon kondisi keilmuwan di negara dunia ketiga tersebut, pada dekade
1970-an Syed H Alatas telah memperkenalkan teori captive mind sebagai
cara membaca perkembangan ilmu sosial di dunia ketiga. Menurut teori
captive mind bahwa ilmu sosial nusantara (Indonesia) menjadi korban
orientalisme dan eurosentrime yang dicirikan oleh cara berfikir yang
didominasi pemikiran Barat dengan cara meniru dan bersikap tidak kritis.
Peniruan yang tidak kritis tersebut merasuk ke semua tingkatan aktivitas
ilmiah, memengaruhi latar masalah, analisis, abstraksi, generalisasi,
konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi. Teori ini
dikembangkan bersesuaian dengan pola penyebaran konsumsi dunia
ketiga, begitu juga dengan pola imperialisme akademik yang berlangsung
di Indonesia.
Berkaitan dengan pentingnya ditumbuhkan sikap kritis, kiranya
perlu dicatat bahwa ilmu sosial Barat tentu lahir dan berkembang dari
struktur dan latar kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Indonesia,
bahkan para orientalis membaca Timur menurut kategori dan perspektif

7
Barat. Intelektual dan para akademisi Indonesia lebih menyukai dean
perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat, tana memiliki dasar pijakan empiris
yang kuat. Keadaan ini terus berlangsung, bahkan setelah lebih dari satu
abad ilmu-ilmu sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada
teori-teori sosial yang dihasilkan oleh para intelektual kita dalam rangka
menyejahterakan kehidupan sosial yang dihasilkan oleh intelektual kita
dalam rangka menjelaskan kehidupan sosial masyarakat yang memadai.
Keadaan ini barangkali disebabkan karena rendahnya penghargaan sesama
intelektual Nusantara dalam menghargai ide dan gagasan diantara mereka,
sehingga ilmu sosial Nusantara tidak pernah mengalami perkembangan,
bahkan mereka yang selesai belajar di Barat dengan sangat bangga dan
hebat meniru dan mengulang-ngulang apa yang mereka pelajari di Barat
tersebut, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan teori-teori
sosial ang orisinil dan khas Nusantara.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia tidak lepas dari
pengaruh perkembangan ilmu sosial yang ada di Barat. Selama ini
dikotomi barat dan timur menjadi salah satu hal yang menyebabkan
perkembangan ilmu sosial di Indonesia terkesan di dominasi pemikiran
Barat. Barat selalu dipersepsikan sebagai sumber pengertahuan, sedangkan
timur sebagai pengguna ilmu pengetahuan itu yang secara tidak sadar
didoktrin oleh dunia barat. Sangat jarang bahkan hampir tidak ada
pemikiran orisinil ilmu sosial yang bersumber dari negaranya sendiri.
Negara Timur dipersepsikan sebagai negara yang terbelakang dan tertekan
oleh dominasi pemikiran Barat sehingga sangat jarang sehingga sangat
jarang ditemui pemikiran dari para pemikir negara timur.
Kritikan terhadap perkembangan ilmu sosial di Asia muncul dari
diskursus-diskursus alternatif. Beberapa pemikiran Barat yang menjadi
sumber kritikan seperti tinjauan orientalisme, eurosentrime, the captive
mind, imperialisme akademik dan kebergantungan akademik yang
menyerukan perlunya diskursus alternatif pemikiran ilmu sosial yang
muncul dari negara-negara dunia ketiga.

8
Ilmu sosial di Indonesia terkesan lebih mengarah kepada pemikiran
Barat. Ketidaktepatan teori yang ada di Barat untuk membca realita dan
fenomena yang ada di Indonesia turut andil dalam menambah
ketidakmampuan untuk menyelesaikan suatu masalah. Akademisi di
Indonesia terkesan hanya mengambil tanpa melihat apakah teori yang
diambil pas untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan
apabila selama ini banyak permasalahan yang mendera negara-negara di
Asia tidak mampu dipecahkan secara tubtas, bukan karena
ketidakmampuan ahli dan akademisi di negara Asia, tetapi lebih kepada
kesalahan pembacaan masalah akibat ketidaktepatan analisis yang dalam
hal ini berupa teori.
Dari berbagai diskursus alternatif tersebut menarik untuk kemudian
menelisik sejauh mana perkembangan ilmu sosial yang ada di Indonesia,
sehingga nantinya dapat dipetakan secara jelas ilmu sosial lokal yang
dikembangkan oleh tokoh akademisi Indonesia asli, dan bagaimana pula
perkembangan ilmu sosial yang dikembangkan sebagai bagaian dari
mimpi melokalkan (indigeniusasi) ilmu sosial dalam kacamata lokal.

B. Biografi dan Pemikiran Tokoh Mansur Fakih


1. Biografi Singkat Mansur Fakir (1953-2004)
Mansur Fakih dilahirkan di desa Ngawi, Bojonegoro, Jawa Timur.
Ia merupakan anak tertua dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama
Mansur bin Yahya dan ibunya bernama Siti Maryam binti Imam Fakih.
Mansur Fakih menikah dengan Nena Lam’anah dan dari pernikahan
tersebut ia memiliki dua orang anak laki-laki.
Karir akademis Mansur Fakih dimulai sejak ia diterima menjadi
seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah yang dulu dikenal sebagai Institut Agama Islam
Indonesia (IAIN). Ia belajar di fakultas Ushuluddin dan menyelesaikan
kuliah sarjana pada tahun 1979. Pada tahun 1970-ana, diskursus
pemikiran Islam Indonesia didominasi oleh ide modernisasi Islam, dan

9
IAIN Syarif Hidayatullah dengan rektornya, Harus Nasution pada saat
itu aktof menyebarkan ide modernisasi Islam ini dalam tradisi
pemikiran Islam Indonesia. Diantara teman-teman angkatan Mansur
Fakih pada saat itu adalah Azyumardi Azra, dan Komaruddin Hidayat,
yang mana keduanya dikenal sebagai ilmuwan muslim Indonesia.
Berbeda dengan mayoritas koleganya yang saat itu bergabung dengan
diskursus dan gerakan politik Islam, Mansur Fakih lebih tertarik untuk
memfokuskan diri pada proses dan perkembangan pendidikan di
Indonesia. Pada tahun 1990 Mansur Fakih mendapatkan gelar Master
Pendidikan dan Perubahan Sosial (M. Ed. In Education and Social
Change) dari University of Massachusetts. Kemudia pada tahun 1994,
ia menyelesaikan pendidikan doktor dari universitas yang sama. Dalam
menyelesaikan pendidikan doktornya, Mansur Fakih menggunakan
pengalaman aktivisme sosialnya di Indonesia untuk membangun
sebuah teori dan kritik terhadap studi pembangunan.
Pemikiran-pemikiran Mansur Fakih dikategorikan sebagai kritis
Freire versi Indonesia karena ia menggunakan metodologi pendidikan
kritis dalam pemikiran dan aktivisme sosialnya. Selain itu, ia juga
mengintegrasikan ide aktivisme sosial dengan alam ideal teorisasi
akademis. Melalui pendekatan ini, Mansur Fakih membangun tradisi
intelektual organik diantara aktivis gerakan sosial dan ilmuwan
Indonesia. Salah satu falsafah hidup Mansur Fakih adalah “idealisme
tanpa ilmu kosong, ilmu tanpa idealisme mubadzir”. Filsafat hidup ini
membawa Mansur Fakih kepada pengembangan pendidikan populer
sebagai salah satu fakus aktivisme sosialnya setelah menyelesaikan
progam doktoral.
Selama mengikuti training di progam doktoralnya, pemikiran
Mansur Fakih diperdalam dengan ide-ide Antonio Gramsci dan teori-
teori gerakan feminisme. Diantara professor pembimbingnya di
Universtity of Massachusetts adalah Arturo Escobar, seorang
antropolog Amerika Latin yang mengembagkan teori dependensi

10
melalui ide-idenya yang didasarkan kepada kasus kemiskinan dan
ketertinggalan pembangunan di Amerika Latin. Meskipun demikian,
Mansur Fakih menganggap pandangan Escobar terlalu diwarnai oleh
analisis Marxia klasik yang bersifat stukrtural dan deterministikm
sehingga Mansur Fakih lebih mengembangkan alternatif pemikiran
dan kritik pembangunan melalui diskusi-diskusinya tentang isu-isu
gender bersama mahasiswa doktoral lainnya, William Smith, murid
langsung Paulo Freire yang berhasil mengembangkan praktek
pedagogi pembebasan ala Freire (Makoe, etal. 2004)
Pada tahun 1994, bersama dengan teman-temannya termasuk
Roem Topatimasang, Zumrotin K. Susilo, Wardah Hafidz, dal lain-
lain, Mansur Fakih mendirikan Resource Management and
Development Consultants (REMDEC) di Jakarta. Organisasi ini
ditujukan untuk memfasilitasi capasity building untuk lembaga
swadaya masyarakat atau LSM dan organisasi komunitas. Sebelum
dan khususnya pada tahun 1997, rezim Soharto bereaksi secara agresif
terhadap berbgaai bentuk aktivisme sosial di Indonesia yang dianggap
berani memberontok serta mengancam kestabilan kekuasaan dan
keamanan sosial. Dengan kondisi demikian, di bawah pengawasan
Orde Baru, REMDEC, organisasi yang didirikan Mansur Fakih
bersama teman-temannya tidak dapat beroperasi maksimal seperti
yang telah dicita-citakan. Berdasarkan dari hasil dsikusi panjangnya
dengan Roem Topatimasang atas masalah ini, Mansur dan Roem
berinisiasi mendirikan sebuah organisasi yang bersifat lebih fleksibel
daripada REMDEC. Organisasi yang kemudian didirikan ini
dinamakan Institute fo Social Transformation atau Insist.
Insist dibentuk sebagai respons terhadap proses pembangunan di
Indonesia yang termasuk di dalamnya kritik terhadap maraknya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi agen dan
pendukung pelaksana progam-progam pemerintah yang
tidakberkeadilan sosial. Selain itu, Insist dibentuk untuk mengevaluasi

11
LSM yang selama ini sangat bergantung pada dana asing selama era
globalisasi. Lebih lanjut, Insist, sebagaimana dijelaskan dalam website
mereka, berkeinginan untuk mereformasi LSM di Indonesia menjadi
representasi utama untuk usaha Indonesia dalam mengembangkan
diskursus kritis, perspektif alternatif, dan diskursus baru pemikiran.
Pada tahun 2004, untuk memeringati 100 hari meninggalnya Mansur
Fakih, bersama dengan anggota organisasi, ROEM Topatimasang
mengganti nama organisasi ini menjadi Indonesian Society for Social
Transformation.
Mansur Fakih menganggap Insist sebagai tempat dimana sebagai
berbagai aktivis pergerakan sosial Indonesia dapat bertemu, belajar
dan saling memperkaya keilmuwan dan pengalaman satu dengan
lainnya. Dalam pandangannya, Insist berfungsi tidak hanya sebagai
sekolah, melainkan juga sebagai tempat dimana aktivis sosial
Indonesia bergelut tidak hanya dalam level diskursus intelektual
melainkan juga berjuang untuk transformasi sosial.
Sejak tahun 19993hingga tahun 1996, Mansur Fakih ditunjuk
sebagai representasi OXFAM-UK-I untuk Indonesia. Melalui OXFAM
Mansur Fakih memperkenalkan analisis gender dan beragam
pendekatan gender lainnya secara lebih komprehensif kepada aktivis
gerakan sosial Indonesia. Selain menjadi representasi OXFAM,
Mansur Fakih juga dipilih sebagai utusan Indonesia dalam “Helsinski
Process”, sebuh forum internasional yang diinisiasi pendiriannya oleh
materi luar negeri Firlandia, beberapa negara selatan dan LSM
internasional untuk membuka dialog inklusif antar stakeholder utama
dengan pemerintahan global dalam mengatasi masalah yang dihasilkan
dari proses globalisasi. Sejak tahun 2002 sampai 2004, Mansur Fakih
terpilih menjadi anggota Komnas HAM. Selanjutnya pada tanggal 6
Februari 2004, berbagai media nasional mengabarkan bahwa Mansur
Fakih meninggal dunia dan dikebumikan di Sleman Yogyakarta
setelah serangan jnatung yang ketiga.

12
2. Pemikiran Mansur Fakih
a. Neoliberalisme, Globalisasi dan Ketidakadilan Global

Jalan lain Manifesto Intelektual Organik dan Neoliberarisme


dan Globalisasi, Mansur Fakih menjelaskan secara kronologis arti
globalisasi dalam konteks pembangunan di Indonesia. Ia
menyadari bahwa sejak kemerdekaannya, Indonesia tidak pernah
benar-benar merdeka secara nasional dalam hal ekonomi dan
pembangunan sebagaimana yang terjadi pada negara-negara di
Afrika pada era postkolonial. Mansur Fakih juga beragumen bahwa
globalisasi adalah sebuah istilah yang sangat berkaitan dengan
neoliberalisme dan neoliberalisme pada kenyataannya adalah
kepanjangan daripada kapitalisme dan developmentalisme.
Neoliberalisme menurut Mansur Fakih tidak beranjak dari konsep
liberalisme Adam Smith. Neoliberalisme adalah reivensi
kapitalisme yang telah ditolak oleh konsep ekonomi baru yang
berspektif keadilan sosial, perlindungan terhadap tradisi dan hak
tanah ulayat, dan bentuk-bentuk lain dari pergerakan sosial di
penghujung abad ke-20.

Neoliberalisme berpendirian bahwa kesejahteraan sosial pada


dasarnya dihitung dan diukur dengan pertumbuhan ekonomi
nasional atau Gross National Product (GNP). Neoliberalisme
percaya bahwa secara umum pertumbuhan ekonomi nasional akan
mencapai tingkat maksimalnya jika pasar jika pasar mengikuti
prinsip-prinsip ekonomi neoliberal. Diantara prinsip-prinsip
ekonomi neoliberal tersebut adalah pertama, meliberaliskan pasar
dan kurs mata uang, kedua mesntabilkan inflasi dan ekonomi
makro, ketiga, memprivatisasi aset dan layanan publik, dan
terakhir, tidak adanya intervensi dari negara. Ide dasar tentang
bagaimana ekonomi pasar harus dijalankan secara global

13
berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi neoliberal berkembang
kepada apa yang kita kenal sekarang sebagai globalisasi yang
secara massif dipromosikan dalam Washington Consensus yang
didukung oleh perdana menteri Margareth Thatcher dan presiden
Ronald Reagan.

Globalisasi juga dikenal sebagai perkembangan yang cepat dari


kapitalisme mellaui pasar global, ivestasi, dan produksi bahan-
bahan konsumen oleh korporasi transnasional (TNCs). Institusi
institusi internasional seperti International Finance Institution
(IFIs), International Monetary Fund (IMF), World Trade
Organization (WTO) mengatur pelaksanaan struktur ekonomi
global ini melalui bank dunia. Dalam penjelasan sederhananya,
Mansur Fakih mendefinisasikan globalisasi sebagai proses
pengintegrasian ekonomi negara msikin dan berkembang kepada
apa yang disebut dengan sebuah sistem ekonomi global. Hasil dari
mistifikasi ini adalah bahwa paradigma pasar bebas membuat
negara miskin dan negara berkembang termasuk orang-orang yang
tidak beruntung didalamnya termarginalkan ke pojok
pembangunan karena dengan menggunakan sistem ekonomi
nonregulasi ini, hanya pemiliki modallah yang mendapatkan
keuntungan. Adapun negara msikin dan berkembang tidak
memiliki kemerdekaan untuk memilih apa yang mereka perlukan
untuk pembangunan ekonomi nasional mereka, sebaliknya, mereka
diwajibkan untuk mengembangkan kebijakan ekonomi mereka
dengan mengikuti syarat dan kondisi yang ditentukan berdasarkan
kebutuhan dan keuntungan pemilik modal, yakni korporasi
transnasional dan negara maju yang didukung oleh institusi-
institusi ekonomi dunia tersebut di atas.

Hutang negara msikin dan berkembang merupakan yang efektif


untuk “menjinakkan” negara-negara tersebut sekaligus memaksa

14
mereka untuk mengikuti model pembangunan yang telah didesain
oleh IMF dan bank dunia melalui stuctural adjusment progam
(SAP). Diantara contoh nyata ketidakadilan economic game yang
menguntungkan negara maju dan merugikan negera berkembang
dan miskin ini adalah retorika terselubung dari tatanan ekonomi
global, yakni, untuk mengurangi beban hutang, negara miskin dan
berkembang serta serta menambah penghasilan nasional negara-
negara yang berhutang tersebut, WTO bersama IMF, Bank Dunia
dan TNCs, melalui SAP memaksa negara-negara miskin dan
berkembang untuk secara bersamaan memproduksi secara massif
bahan-bahan mentah seperti teha, kopi, kelapa sawit, bahkan
mentah dari perut bumi dan lainnya serta mengeksportnya ke
negara-negara maju. Ketersediaan barang yang melimpah dari
berbagai negara ini kemudian menyebabkan over-produksi dan
konsekuensi nyata dari over-produksi adalah penuruanan harga
barang secara signifikan. Bahkan seseorang yang tidak pernah
belajar sistem ekonomi yang rumit juga akan mengerti bahwa
ketersediaan barang yang melimpah akan menurunkan harga
barang. Penurunan harga barang ini menguntungkan bagi negara-
negara industri karena ketersediaan barang mentah dengan harga
murah menurunkan biaya produksi barang-barang ekport mereka,
dan merugikan negara miskin atau negara berkembang yang
terbelit hutang karena kemudian merekalah yang diharuskan untuk
membeli barang-barang eksport negara industri tersebut dengan
harga yang mahal. Mansur Fakih, seperti halnya banyak ilmuwan
kritis lain, beranggapan bahwasanya tatanan ekonomi global yang
baru ini tidak adil, karena pemberian pinjaman dan bantuan kepada
negara miskin dan berkembang pada hakikatnya hanyalah
memberikan keuntungan bagi perusahaan transnasional dan engara
maju yang berafiliasi.

15
b. Mansur Fakih dan Ide Transformasi Sosial
Dalam karya-karyanya, Mansur Fakih menyatakan bahwa
negara miskin dan negara berkembang menyerap paradigma
globalisasi sebagai proses pembangunan mainstream di negara
emreka melalui berbagai imposisi Structural Adjusment Progams
(SAP) yang diterapkan oleh organisasi ekonomi dunia untuk
negara mereka. Paradigma developmentalisme yang seperti ini
wajib diterapkan di negara-negara tersebut melalui regulasi
nasional dan internasional mereka. Selain itu, hal ini juga
diterapkan melalui adanya penciptaan stabilisasi dan keamanan
nasional (kebanyakan dalam bentuk pemerintahan otoriter) dan
pendidikan.
Analisis diatas mendukung sebagian pandangan mengatakan
bahwa di berbagai negara miskin dan berkembang, terdapat rezim
boneka yang menggunakan kekuatan militer untuk emngamankan
berjalannya proses globalisasi ekonomi di negara dan pemerntahan
mereka. Selain itu, proses pendidikan juga kerap digunakan untuk
melestarikan pembenaran reizm dan ekkuasaan. Pendidikan dan
proses kependidikan di Indonesia bukanlah sebuah arena yang
netral. Pendidikan di Indonesia yang seharusnya bersifat netral dan
digunakan untuk mempuku nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan
kemanusiaan lebih sering dimanfaatkan untuk keberlangsungan
kekuasaan pemerintah dalam kurun waktu yang selama mungkin.
Mansur Fakih menyatakan bahwa pendidikan seringkali
disalahgunakan untuk menyebarluaskan propaganda ideologi,
kekuasaan, dan politik yang mendukung keberlanjutan paradigma
developmentalisme. Kondisi pendidikan yang seperti ini pada
akhirnya menciptakan suatu kondisi sosial dimana
mempertanyakan dan mengkiritisi struktur sosial yang tidak
berkeadilan menjadi suatu hal yang mustahil untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, diperlukan pendidikan yang bersifat kritis yang

16
membangun kesadaran masyarakat untuk mempertanyakan struktur
sosial dan mengganti sistem guna melaksanakan proses
transformasi sosial.

c. Gender dan Analisis sebagai Alat Transformasi Sosial


Tidak hanya dikenal sebagai bapak pendidikan pedagogi
kritis Indonesia, Mansur Fakih juga dianggap sebagai pionir gender
mainstraiming Indonesia di kalangan penggiat perempuan
Indonesia. Mansur Fakih, menurutnya langkah untuk
mentransformasi masyarakat adalah dengan menciptakan
hubungan yang berkeadilan dalam relasi gender. Meskipun gender
telah dikenal sebagai istilah yang populer dalam diskursus keadilan
sosial di Indonesia, implementasi riil daripada keadilan gender di
banyak aspek dalam masyarakat di Indonesia terutama dalam level
pemerintahan masihlah sekedar hiasan bibir. Masih banyak
terdapat kesalah pahaman tentang gender sebagai isu aktivisme
sosial bahkan diantara para pekerja keadilan sosial itu sendiri. Hal
ini terjadi karena isu sensitivitas gender kerapkali dianggap dan
didistori sebagai melulu gerakan peremupuan mencari pembebasan
dari laki-laki. Padahal, gerakan keadilan gender adalah payung
lebar untuk segala bentuk pergerakan yang mengkritisi struktur
ketiadakadilan sosial saat ini sangat dipengaruhi oleh terutama
sturktur ekonomi baru.
Mansur Fakih menjelaskan bahwa gender analisis
merupakan analisis baru dalam sejarah diskursus keadilan sosial.
Analisis gender, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut, mempertajam
analisis kritis yang telah ada, sebagai contoh kritik budaya dan
hegemoni ideologi Antonio Gramsci akan lebih kontekstual jika
Gramscians juga menganalisa isu-isu gender. Mansur Fakih juga
menyebutkan mebnagun hubungan gender yang berkeadilan dalam
masyarakat merupakan hal yang sulit, tidak hanya karena hal itu

17
mempertanyakan kembali hubungan perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat, melainkan juga karena pemikiran berbasis
gender dan aktivisme sosial berbasi gender seringkali dianggap
sebagai produk Barat yang dianggap tidak sesuai untuk diterapkan
dalam kultur di Indonesia. Indonesia kaitannya dalam hal ini,
adalah negara msulim terbesar dunia, sehingga Indonesia mengakui
persamaan hak dan kemuliaan perempuan dan laki-laki di mata
Tuhan. Islma memuliakan perempuan dan ketidakadilan yang
dialami oleh terutama perempuan kaum marginal sebagai
konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi globabl perlu
dianalisis dan ditransformasi melalui salah satunya alat analisis
gender yang dianggap tajam untuk mendapatkan data-data akurat
subkoordinasi gender.
Berdasarakan riset analisis gender Mansur Fakih
menyampaikan bahwa diantara bentuk ketidakadilan sosial yang
umum terjadi di masyarakat di era pembangunan adalah
marginalisasi gender dan perempuan. Para ilmuwan membuktikan
bahwa perempuan termarginalkan dari sumber ekonomi tradisional
mereka dikarenakan globalisasi, modernisasi, dan industrialisasi.
Dalam kasus Indonesia termarginalkan dari lahan mereka dengan
adanya revolusi hijau yang hanya berfokus pada mesin dan petani
laki-laki semasa Orde Baru. Lebih lanjut Mansur Fakih
menjelaskan bahwa proses marginalisasi tersebut menciptakan
kondisi kemiskinan baru baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Perempuan menjadi pihak yang paling dipojokkkan oleh
sistem ekonomi neoliberal karena setelah dimarginalkan dari
sumber pendapatan ekonomi tradisonal mereka, eperempuan
kemudian dipaksa untuk berpartisipasi sebagai pekerja utama
sistem ini. Untuk mendapatkan keuntungan lebih, sebagai nafas
utama sistem neoliberalisme, koporasi transnasional membutuhkan
tangan terampil perempuan untuk produksi massal berbagai produk

18
mereka. Tangan perempuan dianggap lebih terampil untuk
pekerjaan-pekerjaan massal sehingga waktu produksi yang
diperlukan menjadi lebih singkat dan hasil pekerjaan menjadi lebih
baik. Selain itu, kosporasi transnasional lebih memilih perempuan
sebagai pekerja juga dikarenakan oleh anggapan bahwa perempuan
tidak memiliki aliansi yang kuat dengan organisasi dan pergerakan,
sehingga perempuan dianggap lemah dan dapat dibayar dengan
gaji yang lebih rendah. Dari penjelasan ini, dapat kita pahami
emngapa banyak dari laki-laki yang merupakan tulang punggung
keluarga dalam sistem sosial Indonesia kehilangan pekerjaan dan
selanjutnya tidak mendapatkan lowongan epkerjaan, sedangkan
perempuan, dalam sistem ekonomi yang seperti ini menjadi tulang
punggung utama keluarga jika tidak sebagai tulang punggung
kedua.
Berdasarkan sejarah struktur sosial ini, Mansur Fakih
beragumentasi bahwasannya merupakan hal yang paling penting
untuk membangun kelestarian dalam isu-isu gender di lingkungan
institusi pendidikan LSM yang bergerak dalam bidang hak asasi
manusia. Selain itu, penulis beranggapan bahwa penting untuk
menanamkan pemahaman akan mistifikasi globalisasi dan sistem
ekonomi neoliberal di institusi pendidikan tanah air, sehingga
manusia Indonesia kedepannya dapat bertransformasi kepada suatu
keadaan kritis yang selanjutnya menjadi pemicu utnuk
menciptakan sistem ekonomi Indonesia yang independent dari
hutang dan hegemoni internasional.

C. Biografi dan Pemikiran Tokoh Selo Sumarjdan


1. Biografi Tokoh Selo Sumardjan
Selo Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di
Indonesia sebagai Bapak Sosiologi, ilmu yang digelutinya sejak beliau
menempuh pendidikan tingginya untuk memperoleh gelar doktor.

19
Thesis beliau yang berjudul social change in Jogjakarta, menjadi salah
satu puncak pencapaian beliau yang melahirkan gelar sebagai
professor dengan arus utama sosiologi.
Selo Sumardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915, merupakan
pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (seakarang FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya
dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI).
Nama Selo Sumardjan selalu melekat dengan sosiologi. Ilmu itu
sebenarnya baru benar-benar ditekuni pada saat usinya sudah di atas
empat puluh tahun, yaitu ketika ia pada tahun 1956 memperoleh
kesempatan menuntut ilmu di Cornell University, Amerika serikat. Di
disinilah bekas camat lulusan Mostivia (tingkat SLTA) ini
menunjukkan kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari
empat tahun beliau boleh pulang ke tanah air dengan menyandang
gelar Ph.D. di bidang sosiologi. Disertasinya “Social Changes in
Jogjakarta” pun dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar
negeri yang menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pasca
kemerdekaan.
Selo Sumardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan
Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung
Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta.
Berkat jasa sang kakek, Selo Sumardjan mendapat pendidikan di
Belanda. Pada masa hidupnya, beliau dikenal sebagai seorang yang
tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus,
bersih, dan sederhana. Beliau juga seorang dari sedikit orang yang
sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Ia orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan
keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak
tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos
kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.

20
http://arsip.infokade-mika.com/profil-akademis/07/prof.-dr.-selo.-
soemardjan.html

2. Pemikiran Tokoh Selo Sumardjan


Pemikiran utama dari Selo Sumardjan bersumber dari karya beliau
yang dibukukan dengan judul “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku
ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di
Yogyakarta. Perubahan sosial yang dikupas di buku ini tidak melihat
pada proses perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh berbagai
proses perkembangan biologis, seperti pertumbuhan penduduk dan
pergantian generasi. Perubahan sosial yang digagas oleh Selo
Sumardjan berfokus pada perubahan di dalam lembaga-lembaga
masyarakat yang memenegaruhi sistem sosial, yang di dalamnya
termasuk, nilai, norma, sikap dan tingkah laku. Selo Sumardjan
memusatkan studinya tentang perubahan sosial di lembaga-lembaga
politik yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada kurun waktu
masa penjajahan Belanda (1775-1942), masa pendudukan Jepang
(1942-1945) dan perjuangan kemerdekaan nasional berlangsung
selama empat tahun.
Perubahan-perubahan dalam tata pemerintahan DIY dari tingkat
atas hingga tingkat pedesaan dilaksanakan oleh penguasa daerah, yaitu
sultan. Sultan Haememgkubuwono IX mendahului kebijakan
desentralisasi yang diharapkan dari pemerintah nasional Indonesia.
Perubahan yang sama itu terjadi pada lembaga-lembaga ekonomi,
pendidikan serta dalam sistem kelas di masyarakat.
Perubahan sosial di Yogyakarta menarik karena Yogyakarta
memiliki subkultur yang berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya
dimana Yogyakarta merupakan daerah swaparaja (Kesultanan) yang
tetap mempertahankan banyak tatanan feodal (Sumardjan, 2009).
Menurut Sunyoto Usman (Gunawan, 2010), faktor penting dalam
perubahan masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta adalah ideologi

21
politik. Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2
hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya
dengan negara, dari dalam posisi subordinasi (didominasi, diabaikan)
dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut
kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat,
transparansi, dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga
pemerintahan, dari yang snagat sentralistik dan otolratis menjadi
pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik
semacam ini buian sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih,
tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan
martabat manusia.
Tidak seperti revolusi sosial di Peranci yang digerakkan oleh
kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan
kekuasan raja yang absolut, perubahan sosial di malah digerakkan oleh
pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni raja
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX. Sehingga para
bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang
digulirkan sang raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk
perbaikan ke depan. Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa
gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi
kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil
membawa perubahan tenpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan
sosial yang terjadi pada masyarakat kita cenderung mengabaikan nilai-
nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan
kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan
langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang
bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-
kampaye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya upaya perangkulan
(koalisi) setelah pemiliahn menjadi sia-sia, karena pendukung masing-
masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu

22
sama lain. Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai
pelapor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima
sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan
teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada
rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-
sekat keraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan
keraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk
kepentingan bersama.
Perubahan sosial yang merupakan pemikiran dari Selo Sumardjan
merupakan bagian dari ilmu sosiologi yang mencoba memotret
dinamika sosial masyarakat. Perubahan sosial dalam konsep pemikiran
Selo Sumardjan adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
amsyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai
sosial, sikap dan pola tingkah laku anatar kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial di sini berasal dari perubahan-perubahan ideologi
politik dalam masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta. Untuk
mendalami proses perubahan sosial perlu mengetahui siapa pelopor
perubahan (agent of change). Pelopor perubahan adalah seseorang atau
sekelompo orang yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin
dalam salah satu atau beberapa kaidah sistem sosial baru atau yang
diperbahatui.
Perubahan politik dan pemerintahan di Yogyakarta diprakarsai
oleh Sultan Hamengkubuwono atau oleh pemerintah provinsi di
baawahnya. Dalam konteks ini perubahan sosial memunculkan dua
aspek penting tentang dugaan bahwa perubaha sosial ini disengaja atau
tidak disengaja. Perubahan sosial yang disengaja adalah perubahan
yang telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh anggota
masyarakat. Dalam perubahan sosial di Yogyakarta, perubahan sosial
yang disengaja adalah perubahan pemerintahan, sedangkan perubahan
yang tidak disengaja adalah pola semakin kuatnya masyarakat

23
padukuhan, termasuk pula hilangnya kaum bangsawan secara
berangsur-angsur dari kedudukan kelas atas dalam masyarakat.
Perubahan ini yang disengaja di dalam proses pemerintahan
dimulai dari yang sngat sentralistir dan otokratis menjadi pemerintahan
yang didesentralisir dan demokratis.pada tahun 1957 pemerintah
propinsi mengelurakan keputusan untuk memberi para pemilik tanah di
pedesan hak waris dalam memiliki tanah. Keputusan ini tidak lebih
dari suatu keberlanjutan logis dari perubahan yang disengaja yaitu
untuk memberi kaum tani hak waris untuk menggarap sawah.
Perubahan ini mendorong demokratisasi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pemikiran ini justru
bersumber dari permasalahan di masyarakat akibat kurangnya hak atas
tanah yang kemudian diselesaikan melalui pemkiran yang demokratis
dan konstektual pada masanya.
Konteks tersebut di atas sebenarnya merupaka gagasan yang sangat
tepay yang pada awal tahun 2000, pada era reformasi diterapkan di
Indonesia dalam bentuk otonomi daerah, proses pemerintahan akan
lebih dekat dengan rakyat dengan hasil kesejahteraan rakyat akan
meningkat karena hasil bumi yang ada di duatu wilayah akan diolah
dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa demokratisasi sebenarnya
sudah ada dalam pikiran Selo Sumardjan dan berasala dari kearifan
lokal seorang raja di Yogyakarta yang mendorong perubahan sosial di
tataran masyarkat yang hasilya luar biasa bagi perkembnagan dan
dinamika masyarakat khususnya di Yogyakarta.

D. Biografi dan Pemikiran Tokoh Kuntowijoyo


1. Biografi Tokoh Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawongggo, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten, 18 Sepetmber 1943. Pendidikan SD dan SMP
ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP Negeri

24
Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian
melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).
Kuntowijoyo meraih master di University of Connecticut, AS (1974)
dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)
deangan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura
1850-1940.

Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan


budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang
mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses
belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya. Dia
rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Selain sebagai
sastrwan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir intelektual Islam
yang cerdas, jujur, dan berintegritas. Buku-buknya seperti Paradigma
Islam dan politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Meyongsong
Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan
kecerdasan, kejujuran, dan integritasnya sebagai seorang intelektual
muslim(http://www.tokohindonesia.-com/biografi/article/285-
ensiklopedi/1515-sejarawan-beridentitas-paripurna) latar belakang itu
pulalah yang mendorongnya merumuskan pemikiran tentang Ilmu
Sosial Profetik.

2. Pemikiran Tokoh Kuntowijoyo


Persoalan yang serius yang dihadapi oleh ilmuwan sosial di
Indonesia adalah ilmu sosial pada dekade ini masih mengalami
kemandekan. Ilmu sosial yang dibutuhkan adalah bukan hanya mampu
menjelaskan fenomena sosial, namun juga mentransformasikan
fenomena sosial tersebut, memberi petunjuk ke arah mana transformasi
dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Menurut refleksi Kuntowijoyo
dalam menghadapi persoalan ini ilmu sosial akademis dan ilmu sosial
kritis, belum bisa memberikan jawaban yang jelas.

25
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah deangan
membangun ilmu sosial prodetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi
petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh
siapa. Oleh karena ituilmu sosial profetik, tidak sekedar mengubah
demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan
profetik tertentu. Dalam pengertian ini maak ilmu sosial profetik
secara sengaja memuat kandungan dari cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo arah perubahan yang
diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita humanisasi atau
emansipasi, liberalisasi dan transendensi. Dengan muatan inilah yang
menjadi karakteristik ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa
masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.
Dengan ilmu sosial profetik, akan dilakukan orientasi terhadap
epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan made of
inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan
empiris, tetapi juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu sosial profetik
ilmuawan sosial Muslim tidak perlu khawatir yang berlebihan terhadap
dominasi ilmu sosial Barat did alam proses theory building. Islamisasi
pengetahuan dengan proses peminjaman dan sintesis ini tidak harus
diartikan sebagai westernisasi Islam.
Dalam pencermatan penulis Kuntowijoyo, telah merintis melalui
sebuah ikhtiar sebagaimana dapat dimak dalam analisis yang
dilakukannya dengan melakukan kritik sekaligus penyempurnaan pada
tipologi santri, abangan, dan priyayi yang dikonseptualisasikan oleh
Clifford Geertz, berikut ini.
Diantara kritik dan sekaligus penyempurnaan dari konsep Geertz
ini ialah dilakukan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, pada
saat ini (dekade delapan puluhan-sembilan puuhan) pengelompokkan
abangan-santri secara horizontal (berdasarakan pengalaman
keagamaan) dan priyayi wong cilik (berdasarakan stratifikasi sosial)

26
telah mengalami perubahan karema adanya konvergensi sosial. Terjadi
mobilitas sosial dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya priyayi ke
bawah. Sementara itu golongan santri dan abangan sudah membuka
diri sehingga terjadi proses saling mengisi. Akibatnya batas-batas
kultural diantara mereka sulit dikenali lagi.

27
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Asia termasuk di dalamnya di
Indonesia dalam waktu yang lama berada dalam pengaruh, dominasi serta
mengadopsi ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Eropa atau Amerika. Kondisi
yang demikian sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama lebih dari satu
abad, jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kondisi perkembangan
ilmu sosial yang demikian telah mengundang beberapa intelektual di Asia dan
juga di Indonesia, untuk mempertanyakan sekaligus mencari jalan keluar, kondisi
perkembangan ilmu sosial yang memprihatinkan dari suatu kondisi
ketidakberdayaan-ketergantungan (captive mind) dengan ilmu-ilmu sosial barat.

Pentingnya kehadiran diskursus alternatif ilmu-ilmu sosial di Asia lebih


khusus lagi Indonesia, yang di dalamnya memberikan peluang untuk terjadinya
proses indigenousasi ilmu-ilmu sosial, yang dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan ilmu-ilmu sosial yang ada di Indonesia.

28
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Anggun, 2010, Kematian Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia (online)


tersedia di url: http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/01/kematian-ilmu-ilmu-
sosial-di-indonesia diakses pada 28 Desember 2017

Hadi, N. (2008). Diskursus (wacana) dan Kekuasaan: Sebuah Investigasi Kritis


tersedia di url: http://bahas.multiply.com/journal/item/33 diakses pada 28
Desember 2017

Beihanz, Peter, 2003. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Jurdi, Syarifuddin, 2012. Dekonstruksi Ilmu Sosial Indonesia (online) tersedia di


url: http://makassar.tribbunews.com/2012/01/26/dekontruksi-ilmu-sosial-
indonesia diakses pada 28 Desember 2017

Nasiwan, 2016. Seri Teori-Teori Sosial Indonesia. Yogyakarta: UNY Press

Yunus, F. (2010). Filsafat Sosial; Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia


tersedia di url: http://www.lkas.org/filsafat/detail/33/filsafat sosial indigenisasi
ilmu-ilmu sosial di indonesia.html diakses pada 28 Desember 2017

Biografi Kuntowijoyo. Tersedia di url:


http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/ diakses pada tanggal 28
Desember 2017

Alatas, S.F. (2010). Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia. Yogyakarta:
Mizan

Beilharz, P. (2003). Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof


Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kuntowijoyo, (2006). Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Mtodologi, dan Etika.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

29
Achman, Rochman. (2010). Ilmu Sosial di Indonesia: Peluang, Persoalan, dan
Tantangan tersedia di url:
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/download/157/137 diakses pada 28
Desember 2017

30
LAMPIRAN

31

Anda mungkin juga menyukai