Si DALAM BUKUNYA
TEORI-TEORI SOSIAL INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Teori Sosial
Indonesia
Disusun oleh:
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah
Teori Sosial Indonesia tentang “Rekonstruksi Pemikiran Dr. Nasiwan, M.Si
dalam Buku Teori-Teori Sosial Indonesia”. Sesuai topik tersebut, makalah ini
memaparkan adanya suatu kenyataan bahwa ilmu sosial di Indonesia
mengalami sedikit pada permasalahan-permasalahan yang ada. Hal ini
disebabkan salah satunya peran para ahli yang masih minim dalam
memecahkan masalah, untuk mengatasi permasalahan tersebut akan dijelaskan
mengenai beberapa tokoh yang mempunyai pemikiran dan kontribusinya
terhadap permasalahan tersebut.
Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Teori Sosial Indonesia juga dilakukan sebagai sarana pembelajaran dan
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat, menumbuhkan kesadaran dan
kepedulian akan perkembangan dan problematika serta diskursus ilmu sosial.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di lingkup Asia sudah sejak lama
tergantung dan terpengaruh oleh ilmu-ilmu sosial yang berkembang di
Eropa dan Amerika. Tanpa kita sadari, hal tersebut sudah berlangsung
lama bahkan lebih dari satu abad lamanya. Kondisi ini mengundang
intelektual di Asia dan juga Indonesia untuk mencari strategi jalan keluar
dari ketergantungan-ketidakberdayaan atau captive mind dengan ilmu-ilmu
sosial yang berkembang di Barat.
Diskusi tentang pentingnya membangun suatu diskursus alternatif
ilmu-ilmu sosial di Indonesia, memiliki makna strategis bagi
perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia hal tersebut sangat mendesak
dilakukan oleh para ilmuwan Indonesia dikarenakan adanya kenyataan
bahwa perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia setelah sekian abad
berjalan masih memiliki ketergantungan akademis yang sangat tinggi
dengan ilmu-ilmu sosial di Eropa. Melalui ikhtiar untuk melakukan
indigenousisasi ilmu-ilmu sosial di berbagai bidang keilmuwan.
Ilmu sosial Barat lahir dari sistem dan struktur sosial yang berbeda
dengan masyarakat Indonesia, yang tidak semua yang berasal dari Barat
dapat diaplikasikan di Indonesia. Semangat meniru yang kuat sehingga
menjadikan kita adanya ketergantungan terhadap ilmu sosial Barat.
Kritikan yang muncul dari ilmuwan-ilmuwan Asia dan khususnya
Indonesia memberikan momentum untuk mengembangkan diskursus
alternatif untuk mengatasi arus ilmu sosial dari Barat.
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan ilmu sosial di Indonesia ?
2. Bagaimana biografi dan pemikiran dari tokoh Mansur Fakih ?
3. Bagaimana biografi dan pemikiran dari tokoh Selo Sumarjdan?
4. Bagaimana biografi dan pemikiran dari tokoh Kuntowijoyo?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pemikiran dan pendapatnya dari tokoh Mansur
Fakih.
3. Untuk mengetahui pemikiran dan pendapatnya dari tokoh Selo
Sumarjdan.
4. Untuk mengetahui pemikiran dan pendapatnya dari tokoh
Kuntowijoyo.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi dan
interprestasi yang ditiru dari Barat. Sebagian negara dunia ketiga
sebenarnya telah berusaha untuk keluar dari belenggu imperialisme
akademis seperti yang dilakukan oleh intelektual India, China, dan juga
negara-negara berkembang lainnya, tetapi keinginan itu belumlah
dilakukan secara sistematis dan melembaga, tingkat kebergantungan
ekonomi. Tingkat kebergantungan ilmuwan sosial negara berkembang
menurut catatan Syed Farid Alatas meliputi; 1) kebergantungan pada
gagasan; 2) kebergantungan pada media gagasan; 3) kebergantungan pada
teknologi pendidikan; 4) kebergantungan pada bantuan riset dan
pengajaran; 5) kebergantungan pada investasi pendidikan; 6)
kebergantungan ilmuwan sosial dunia ketiga pada permintaan Barat akan
keterampilan mereka.
Kedua, adalah pencermatan Alatas kebiasaan ilmuwan di negara-
negara Asia dalam hal proses meniru Barat secara membabi buta.
Merespon kondisi keilmuwan di negara dunia ketiga tersebut, pada dekade
1970-an Syed H Alatas telah memperkenalkan teori captive mind sebagai
cara membaca perkembangan ilmu sosial di dunia ketiga. Menurut teori
captive mind bahwa ilmu sosial nusantara (Indonesia) menjadi korban
orientalisme dan eurosentrime yang dicirikan oleh cara berfikir yang
didominasi pemikiran Barat dengan cara meniru dan bersikap tidak kritis.
Peniruan yang tidak kritis tersebut merasuk ke semua tingkatan aktivitas
ilmiah, memengaruhi latar masalah, analisis, abstraksi, generalisasi,
konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi, dan interpretasi. Teori ini
dikembangkan bersesuaian dengan pola penyebaran konsumsi dunia
ketiga, begitu juga dengan pola imperialisme akademik yang berlangsung
di Indonesia.
Berkaitan dengan pentingnya ditumbuhkan sikap kritis, kiranya
perlu dicatat bahwa ilmu sosial Barat tentu lahir dan berkembang dari
struktur dan latar kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Indonesia,
bahkan para orientalis membaca Timur menurut kategori dan perspektif
7
Barat. Intelektual dan para akademisi Indonesia lebih menyukai dean
perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat, tana memiliki dasar pijakan empiris
yang kuat. Keadaan ini terus berlangsung, bahkan setelah lebih dari satu
abad ilmu-ilmu sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada
teori-teori sosial yang dihasilkan oleh para intelektual kita dalam rangka
menyejahterakan kehidupan sosial yang dihasilkan oleh intelektual kita
dalam rangka menjelaskan kehidupan sosial masyarakat yang memadai.
Keadaan ini barangkali disebabkan karena rendahnya penghargaan sesama
intelektual Nusantara dalam menghargai ide dan gagasan diantara mereka,
sehingga ilmu sosial Nusantara tidak pernah mengalami perkembangan,
bahkan mereka yang selesai belajar di Barat dengan sangat bangga dan
hebat meniru dan mengulang-ngulang apa yang mereka pelajari di Barat
tersebut, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan teori-teori
sosial ang orisinil dan khas Nusantara.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia tidak lepas dari
pengaruh perkembangan ilmu sosial yang ada di Barat. Selama ini
dikotomi barat dan timur menjadi salah satu hal yang menyebabkan
perkembangan ilmu sosial di Indonesia terkesan di dominasi pemikiran
Barat. Barat selalu dipersepsikan sebagai sumber pengertahuan, sedangkan
timur sebagai pengguna ilmu pengetahuan itu yang secara tidak sadar
didoktrin oleh dunia barat. Sangat jarang bahkan hampir tidak ada
pemikiran orisinil ilmu sosial yang bersumber dari negaranya sendiri.
Negara Timur dipersepsikan sebagai negara yang terbelakang dan tertekan
oleh dominasi pemikiran Barat sehingga sangat jarang sehingga sangat
jarang ditemui pemikiran dari para pemikir negara timur.
Kritikan terhadap perkembangan ilmu sosial di Asia muncul dari
diskursus-diskursus alternatif. Beberapa pemikiran Barat yang menjadi
sumber kritikan seperti tinjauan orientalisme, eurosentrime, the captive
mind, imperialisme akademik dan kebergantungan akademik yang
menyerukan perlunya diskursus alternatif pemikiran ilmu sosial yang
muncul dari negara-negara dunia ketiga.
8
Ilmu sosial di Indonesia terkesan lebih mengarah kepada pemikiran
Barat. Ketidaktepatan teori yang ada di Barat untuk membca realita dan
fenomena yang ada di Indonesia turut andil dalam menambah
ketidakmampuan untuk menyelesaikan suatu masalah. Akademisi di
Indonesia terkesan hanya mengambil tanpa melihat apakah teori yang
diambil pas untuk diterapkan di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan
apabila selama ini banyak permasalahan yang mendera negara-negara di
Asia tidak mampu dipecahkan secara tubtas, bukan karena
ketidakmampuan ahli dan akademisi di negara Asia, tetapi lebih kepada
kesalahan pembacaan masalah akibat ketidaktepatan analisis yang dalam
hal ini berupa teori.
Dari berbagai diskursus alternatif tersebut menarik untuk kemudian
menelisik sejauh mana perkembangan ilmu sosial yang ada di Indonesia,
sehingga nantinya dapat dipetakan secara jelas ilmu sosial lokal yang
dikembangkan oleh tokoh akademisi Indonesia asli, dan bagaimana pula
perkembangan ilmu sosial yang dikembangkan sebagai bagaian dari
mimpi melokalkan (indigeniusasi) ilmu sosial dalam kacamata lokal.
9
IAIN Syarif Hidayatullah dengan rektornya, Harus Nasution pada saat
itu aktof menyebarkan ide modernisasi Islam ini dalam tradisi
pemikiran Islam Indonesia. Diantara teman-teman angkatan Mansur
Fakih pada saat itu adalah Azyumardi Azra, dan Komaruddin Hidayat,
yang mana keduanya dikenal sebagai ilmuwan muslim Indonesia.
Berbeda dengan mayoritas koleganya yang saat itu bergabung dengan
diskursus dan gerakan politik Islam, Mansur Fakih lebih tertarik untuk
memfokuskan diri pada proses dan perkembangan pendidikan di
Indonesia. Pada tahun 1990 Mansur Fakih mendapatkan gelar Master
Pendidikan dan Perubahan Sosial (M. Ed. In Education and Social
Change) dari University of Massachusetts. Kemudia pada tahun 1994,
ia menyelesaikan pendidikan doktor dari universitas yang sama. Dalam
menyelesaikan pendidikan doktornya, Mansur Fakih menggunakan
pengalaman aktivisme sosialnya di Indonesia untuk membangun
sebuah teori dan kritik terhadap studi pembangunan.
Pemikiran-pemikiran Mansur Fakih dikategorikan sebagai kritis
Freire versi Indonesia karena ia menggunakan metodologi pendidikan
kritis dalam pemikiran dan aktivisme sosialnya. Selain itu, ia juga
mengintegrasikan ide aktivisme sosial dengan alam ideal teorisasi
akademis. Melalui pendekatan ini, Mansur Fakih membangun tradisi
intelektual organik diantara aktivis gerakan sosial dan ilmuwan
Indonesia. Salah satu falsafah hidup Mansur Fakih adalah “idealisme
tanpa ilmu kosong, ilmu tanpa idealisme mubadzir”. Filsafat hidup ini
membawa Mansur Fakih kepada pengembangan pendidikan populer
sebagai salah satu fakus aktivisme sosialnya setelah menyelesaikan
progam doktoral.
Selama mengikuti training di progam doktoralnya, pemikiran
Mansur Fakih diperdalam dengan ide-ide Antonio Gramsci dan teori-
teori gerakan feminisme. Diantara professor pembimbingnya di
Universtity of Massachusetts adalah Arturo Escobar, seorang
antropolog Amerika Latin yang mengembagkan teori dependensi
10
melalui ide-idenya yang didasarkan kepada kasus kemiskinan dan
ketertinggalan pembangunan di Amerika Latin. Meskipun demikian,
Mansur Fakih menganggap pandangan Escobar terlalu diwarnai oleh
analisis Marxia klasik yang bersifat stukrtural dan deterministikm
sehingga Mansur Fakih lebih mengembangkan alternatif pemikiran
dan kritik pembangunan melalui diskusi-diskusinya tentang isu-isu
gender bersama mahasiswa doktoral lainnya, William Smith, murid
langsung Paulo Freire yang berhasil mengembangkan praktek
pedagogi pembebasan ala Freire (Makoe, etal. 2004)
Pada tahun 1994, bersama dengan teman-temannya termasuk
Roem Topatimasang, Zumrotin K. Susilo, Wardah Hafidz, dal lain-
lain, Mansur Fakih mendirikan Resource Management and
Development Consultants (REMDEC) di Jakarta. Organisasi ini
ditujukan untuk memfasilitasi capasity building untuk lembaga
swadaya masyarakat atau LSM dan organisasi komunitas. Sebelum
dan khususnya pada tahun 1997, rezim Soharto bereaksi secara agresif
terhadap berbgaai bentuk aktivisme sosial di Indonesia yang dianggap
berani memberontok serta mengancam kestabilan kekuasaan dan
keamanan sosial. Dengan kondisi demikian, di bawah pengawasan
Orde Baru, REMDEC, organisasi yang didirikan Mansur Fakih
bersama teman-temannya tidak dapat beroperasi maksimal seperti
yang telah dicita-citakan. Berdasarkan dari hasil dsikusi panjangnya
dengan Roem Topatimasang atas masalah ini, Mansur dan Roem
berinisiasi mendirikan sebuah organisasi yang bersifat lebih fleksibel
daripada REMDEC. Organisasi yang kemudian didirikan ini
dinamakan Institute fo Social Transformation atau Insist.
Insist dibentuk sebagai respons terhadap proses pembangunan di
Indonesia yang termasuk di dalamnya kritik terhadap maraknya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi agen dan
pendukung pelaksana progam-progam pemerintah yang
tidakberkeadilan sosial. Selain itu, Insist dibentuk untuk mengevaluasi
11
LSM yang selama ini sangat bergantung pada dana asing selama era
globalisasi. Lebih lanjut, Insist, sebagaimana dijelaskan dalam website
mereka, berkeinginan untuk mereformasi LSM di Indonesia menjadi
representasi utama untuk usaha Indonesia dalam mengembangkan
diskursus kritis, perspektif alternatif, dan diskursus baru pemikiran.
Pada tahun 2004, untuk memeringati 100 hari meninggalnya Mansur
Fakih, bersama dengan anggota organisasi, ROEM Topatimasang
mengganti nama organisasi ini menjadi Indonesian Society for Social
Transformation.
Mansur Fakih menganggap Insist sebagai tempat dimana sebagai
berbagai aktivis pergerakan sosial Indonesia dapat bertemu, belajar
dan saling memperkaya keilmuwan dan pengalaman satu dengan
lainnya. Dalam pandangannya, Insist berfungsi tidak hanya sebagai
sekolah, melainkan juga sebagai tempat dimana aktivis sosial
Indonesia bergelut tidak hanya dalam level diskursus intelektual
melainkan juga berjuang untuk transformasi sosial.
Sejak tahun 19993hingga tahun 1996, Mansur Fakih ditunjuk
sebagai representasi OXFAM-UK-I untuk Indonesia. Melalui OXFAM
Mansur Fakih memperkenalkan analisis gender dan beragam
pendekatan gender lainnya secara lebih komprehensif kepada aktivis
gerakan sosial Indonesia. Selain menjadi representasi OXFAM,
Mansur Fakih juga dipilih sebagai utusan Indonesia dalam “Helsinski
Process”, sebuh forum internasional yang diinisiasi pendiriannya oleh
materi luar negeri Firlandia, beberapa negara selatan dan LSM
internasional untuk membuka dialog inklusif antar stakeholder utama
dengan pemerintahan global dalam mengatasi masalah yang dihasilkan
dari proses globalisasi. Sejak tahun 2002 sampai 2004, Mansur Fakih
terpilih menjadi anggota Komnas HAM. Selanjutnya pada tanggal 6
Februari 2004, berbagai media nasional mengabarkan bahwa Mansur
Fakih meninggal dunia dan dikebumikan di Sleman Yogyakarta
setelah serangan jnatung yang ketiga.
12
2. Pemikiran Mansur Fakih
a. Neoliberalisme, Globalisasi dan Ketidakadilan Global
13
berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi neoliberal berkembang
kepada apa yang kita kenal sekarang sebagai globalisasi yang
secara massif dipromosikan dalam Washington Consensus yang
didukung oleh perdana menteri Margareth Thatcher dan presiden
Ronald Reagan.
14
mereka untuk mengikuti model pembangunan yang telah didesain
oleh IMF dan bank dunia melalui stuctural adjusment progam
(SAP). Diantara contoh nyata ketidakadilan economic game yang
menguntungkan negara maju dan merugikan negera berkembang
dan miskin ini adalah retorika terselubung dari tatanan ekonomi
global, yakni, untuk mengurangi beban hutang, negara miskin dan
berkembang serta serta menambah penghasilan nasional negara-
negara yang berhutang tersebut, WTO bersama IMF, Bank Dunia
dan TNCs, melalui SAP memaksa negara-negara miskin dan
berkembang untuk secara bersamaan memproduksi secara massif
bahan-bahan mentah seperti teha, kopi, kelapa sawit, bahkan
mentah dari perut bumi dan lainnya serta mengeksportnya ke
negara-negara maju. Ketersediaan barang yang melimpah dari
berbagai negara ini kemudian menyebabkan over-produksi dan
konsekuensi nyata dari over-produksi adalah penuruanan harga
barang secara signifikan. Bahkan seseorang yang tidak pernah
belajar sistem ekonomi yang rumit juga akan mengerti bahwa
ketersediaan barang yang melimpah akan menurunkan harga
barang. Penurunan harga barang ini menguntungkan bagi negara-
negara industri karena ketersediaan barang mentah dengan harga
murah menurunkan biaya produksi barang-barang ekport mereka,
dan merugikan negara miskin atau negara berkembang yang
terbelit hutang karena kemudian merekalah yang diharuskan untuk
membeli barang-barang eksport negara industri tersebut dengan
harga yang mahal. Mansur Fakih, seperti halnya banyak ilmuwan
kritis lain, beranggapan bahwasanya tatanan ekonomi global yang
baru ini tidak adil, karena pemberian pinjaman dan bantuan kepada
negara miskin dan berkembang pada hakikatnya hanyalah
memberikan keuntungan bagi perusahaan transnasional dan engara
maju yang berafiliasi.
15
b. Mansur Fakih dan Ide Transformasi Sosial
Dalam karya-karyanya, Mansur Fakih menyatakan bahwa
negara miskin dan negara berkembang menyerap paradigma
globalisasi sebagai proses pembangunan mainstream di negara
emreka melalui berbagai imposisi Structural Adjusment Progams
(SAP) yang diterapkan oleh organisasi ekonomi dunia untuk
negara mereka. Paradigma developmentalisme yang seperti ini
wajib diterapkan di negara-negara tersebut melalui regulasi
nasional dan internasional mereka. Selain itu, hal ini juga
diterapkan melalui adanya penciptaan stabilisasi dan keamanan
nasional (kebanyakan dalam bentuk pemerintahan otoriter) dan
pendidikan.
Analisis diatas mendukung sebagian pandangan mengatakan
bahwa di berbagai negara miskin dan berkembang, terdapat rezim
boneka yang menggunakan kekuatan militer untuk emngamankan
berjalannya proses globalisasi ekonomi di negara dan pemerntahan
mereka. Selain itu, proses pendidikan juga kerap digunakan untuk
melestarikan pembenaran reizm dan ekkuasaan. Pendidikan dan
proses kependidikan di Indonesia bukanlah sebuah arena yang
netral. Pendidikan di Indonesia yang seharusnya bersifat netral dan
digunakan untuk mempuku nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan
kemanusiaan lebih sering dimanfaatkan untuk keberlangsungan
kekuasaan pemerintah dalam kurun waktu yang selama mungkin.
Mansur Fakih menyatakan bahwa pendidikan seringkali
disalahgunakan untuk menyebarluaskan propaganda ideologi,
kekuasaan, dan politik yang mendukung keberlanjutan paradigma
developmentalisme. Kondisi pendidikan yang seperti ini pada
akhirnya menciptakan suatu kondisi sosial dimana
mempertanyakan dan mengkiritisi struktur sosial yang tidak
berkeadilan menjadi suatu hal yang mustahil untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, diperlukan pendidikan yang bersifat kritis yang
16
membangun kesadaran masyarakat untuk mempertanyakan struktur
sosial dan mengganti sistem guna melaksanakan proses
transformasi sosial.
17
mempertanyakan kembali hubungan perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat, melainkan juga karena pemikiran berbasis
gender dan aktivisme sosial berbasi gender seringkali dianggap
sebagai produk Barat yang dianggap tidak sesuai untuk diterapkan
dalam kultur di Indonesia. Indonesia kaitannya dalam hal ini,
adalah negara msulim terbesar dunia, sehingga Indonesia mengakui
persamaan hak dan kemuliaan perempuan dan laki-laki di mata
Tuhan. Islma memuliakan perempuan dan ketidakadilan yang
dialami oleh terutama perempuan kaum marginal sebagai
konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi globabl perlu
dianalisis dan ditransformasi melalui salah satunya alat analisis
gender yang dianggap tajam untuk mendapatkan data-data akurat
subkoordinasi gender.
Berdasarakan riset analisis gender Mansur Fakih
menyampaikan bahwa diantara bentuk ketidakadilan sosial yang
umum terjadi di masyarakat di era pembangunan adalah
marginalisasi gender dan perempuan. Para ilmuwan membuktikan
bahwa perempuan termarginalkan dari sumber ekonomi tradisional
mereka dikarenakan globalisasi, modernisasi, dan industrialisasi.
Dalam kasus Indonesia termarginalkan dari lahan mereka dengan
adanya revolusi hijau yang hanya berfokus pada mesin dan petani
laki-laki semasa Orde Baru. Lebih lanjut Mansur Fakih
menjelaskan bahwa proses marginalisasi tersebut menciptakan
kondisi kemiskinan baru baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Perempuan menjadi pihak yang paling dipojokkkan oleh
sistem ekonomi neoliberal karena setelah dimarginalkan dari
sumber pendapatan ekonomi tradisonal mereka, eperempuan
kemudian dipaksa untuk berpartisipasi sebagai pekerja utama
sistem ini. Untuk mendapatkan keuntungan lebih, sebagai nafas
utama sistem neoliberalisme, koporasi transnasional membutuhkan
tangan terampil perempuan untuk produksi massal berbagai produk
18
mereka. Tangan perempuan dianggap lebih terampil untuk
pekerjaan-pekerjaan massal sehingga waktu produksi yang
diperlukan menjadi lebih singkat dan hasil pekerjaan menjadi lebih
baik. Selain itu, kosporasi transnasional lebih memilih perempuan
sebagai pekerja juga dikarenakan oleh anggapan bahwa perempuan
tidak memiliki aliansi yang kuat dengan organisasi dan pergerakan,
sehingga perempuan dianggap lemah dan dapat dibayar dengan
gaji yang lebih rendah. Dari penjelasan ini, dapat kita pahami
emngapa banyak dari laki-laki yang merupakan tulang punggung
keluarga dalam sistem sosial Indonesia kehilangan pekerjaan dan
selanjutnya tidak mendapatkan lowongan epkerjaan, sedangkan
perempuan, dalam sistem ekonomi yang seperti ini menjadi tulang
punggung utama keluarga jika tidak sebagai tulang punggung
kedua.
Berdasarkan sejarah struktur sosial ini, Mansur Fakih
beragumentasi bahwasannya merupakan hal yang paling penting
untuk membangun kelestarian dalam isu-isu gender di lingkungan
institusi pendidikan LSM yang bergerak dalam bidang hak asasi
manusia. Selain itu, penulis beranggapan bahwa penting untuk
menanamkan pemahaman akan mistifikasi globalisasi dan sistem
ekonomi neoliberal di institusi pendidikan tanah air, sehingga
manusia Indonesia kedepannya dapat bertransformasi kepada suatu
keadaan kritis yang selanjutnya menjadi pemicu utnuk
menciptakan sistem ekonomi Indonesia yang independent dari
hutang dan hegemoni internasional.
19
Thesis beliau yang berjudul social change in Jogjakarta, menjadi salah
satu puncak pencapaian beliau yang melahirkan gelar sebagai
professor dengan arus utama sosiologi.
Selo Sumardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915, merupakan
pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (seakarang FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya
dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI).
Nama Selo Sumardjan selalu melekat dengan sosiologi. Ilmu itu
sebenarnya baru benar-benar ditekuni pada saat usinya sudah di atas
empat puluh tahun, yaitu ketika ia pada tahun 1956 memperoleh
kesempatan menuntut ilmu di Cornell University, Amerika serikat. Di
disinilah bekas camat lulusan Mostivia (tingkat SLTA) ini
menunjukkan kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari
empat tahun beliau boleh pulang ke tanah air dengan menyandang
gelar Ph.D. di bidang sosiologi. Disertasinya “Social Changes in
Jogjakarta” pun dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar
negeri yang menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pasca
kemerdekaan.
Selo Sumardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan
Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung
Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta.
Berkat jasa sang kakek, Selo Sumardjan mendapat pendidikan di
Belanda. Pada masa hidupnya, beliau dikenal sebagai seorang yang
tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus,
bersih, dan sederhana. Beliau juga seorang dari sedikit orang yang
sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Ia orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan
keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak
tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos
kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
20
http://arsip.infokade-mika.com/profil-akademis/07/prof.-dr.-selo.-
soemardjan.html
21
politik. Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2
hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya
dengan negara, dari dalam posisi subordinasi (didominasi, diabaikan)
dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut
kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat,
transparansi, dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga
pemerintahan, dari yang snagat sentralistik dan otolratis menjadi
pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik
semacam ini buian sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih,
tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan
martabat manusia.
Tidak seperti revolusi sosial di Peranci yang digerakkan oleh
kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan
kekuasan raja yang absolut, perubahan sosial di malah digerakkan oleh
pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni raja
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX. Sehingga para
bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang
digulirkan sang raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk
perbaikan ke depan. Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa
gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi
kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil
membawa perubahan tenpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan
sosial yang terjadi pada masyarakat kita cenderung mengabaikan nilai-
nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan
kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan
langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang
bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-
kampaye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya upaya perangkulan
(koalisi) setelah pemiliahn menjadi sia-sia, karena pendukung masing-
masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu
22
sama lain. Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai
pelapor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima
sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan
teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada
rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-
sekat keraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan
keraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk
kepentingan bersama.
Perubahan sosial yang merupakan pemikiran dari Selo Sumardjan
merupakan bagian dari ilmu sosiologi yang mencoba memotret
dinamika sosial masyarakat. Perubahan sosial dalam konsep pemikiran
Selo Sumardjan adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
amsyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai
sosial, sikap dan pola tingkah laku anatar kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial di sini berasal dari perubahan-perubahan ideologi
politik dalam masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta. Untuk
mendalami proses perubahan sosial perlu mengetahui siapa pelopor
perubahan (agent of change). Pelopor perubahan adalah seseorang atau
sekelompo orang yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin
dalam salah satu atau beberapa kaidah sistem sosial baru atau yang
diperbahatui.
Perubahan politik dan pemerintahan di Yogyakarta diprakarsai
oleh Sultan Hamengkubuwono atau oleh pemerintah provinsi di
baawahnya. Dalam konteks ini perubahan sosial memunculkan dua
aspek penting tentang dugaan bahwa perubaha sosial ini disengaja atau
tidak disengaja. Perubahan sosial yang disengaja adalah perubahan
yang telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh anggota
masyarakat. Dalam perubahan sosial di Yogyakarta, perubahan sosial
yang disengaja adalah perubahan pemerintahan, sedangkan perubahan
yang tidak disengaja adalah pola semakin kuatnya masyarakat
23
padukuhan, termasuk pula hilangnya kaum bangsawan secara
berangsur-angsur dari kedudukan kelas atas dalam masyarakat.
Perubahan ini yang disengaja di dalam proses pemerintahan
dimulai dari yang sngat sentralistir dan otokratis menjadi pemerintahan
yang didesentralisir dan demokratis.pada tahun 1957 pemerintah
propinsi mengelurakan keputusan untuk memberi para pemilik tanah di
pedesan hak waris dalam memiliki tanah. Keputusan ini tidak lebih
dari suatu keberlanjutan logis dari perubahan yang disengaja yaitu
untuk memberi kaum tani hak waris untuk menggarap sawah.
Perubahan ini mendorong demokratisasi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pemikiran ini justru
bersumber dari permasalahan di masyarakat akibat kurangnya hak atas
tanah yang kemudian diselesaikan melalui pemkiran yang demokratis
dan konstektual pada masanya.
Konteks tersebut di atas sebenarnya merupaka gagasan yang sangat
tepay yang pada awal tahun 2000, pada era reformasi diterapkan di
Indonesia dalam bentuk otonomi daerah, proses pemerintahan akan
lebih dekat dengan rakyat dengan hasil kesejahteraan rakyat akan
meningkat karena hasil bumi yang ada di duatu wilayah akan diolah
dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa demokratisasi sebenarnya
sudah ada dalam pikiran Selo Sumardjan dan berasala dari kearifan
lokal seorang raja di Yogyakarta yang mendorong perubahan sosial di
tataran masyarkat yang hasilya luar biasa bagi perkembnagan dan
dinamika masyarakat khususnya di Yogyakarta.
24
Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian
melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).
Kuntowijoyo meraih master di University of Connecticut, AS (1974)
dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)
deangan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura
1850-1940.
25
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah deangan
membangun ilmu sosial prodetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi
petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh
siapa. Oleh karena ituilmu sosial profetik, tidak sekedar mengubah
demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan
profetik tertentu. Dalam pengertian ini maak ilmu sosial profetik
secara sengaja memuat kandungan dari cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo arah perubahan yang
diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita humanisasi atau
emansipasi, liberalisasi dan transendensi. Dengan muatan inilah yang
menjadi karakteristik ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa
masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.
Dengan ilmu sosial profetik, akan dilakukan orientasi terhadap
epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan made of
inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan
empiris, tetapi juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu sosial profetik
ilmuawan sosial Muslim tidak perlu khawatir yang berlebihan terhadap
dominasi ilmu sosial Barat did alam proses theory building. Islamisasi
pengetahuan dengan proses peminjaman dan sintesis ini tidak harus
diartikan sebagai westernisasi Islam.
Dalam pencermatan penulis Kuntowijoyo, telah merintis melalui
sebuah ikhtiar sebagaimana dapat dimak dalam analisis yang
dilakukannya dengan melakukan kritik sekaligus penyempurnaan pada
tipologi santri, abangan, dan priyayi yang dikonseptualisasikan oleh
Clifford Geertz, berikut ini.
Diantara kritik dan sekaligus penyempurnaan dari konsep Geertz
ini ialah dilakukan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, pada
saat ini (dekade delapan puluhan-sembilan puuhan) pengelompokkan
abangan-santri secara horizontal (berdasarakan pengalaman
keagamaan) dan priyayi wong cilik (berdasarakan stratifikasi sosial)
26
telah mengalami perubahan karema adanya konvergensi sosial. Terjadi
mobilitas sosial dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya priyayi ke
bawah. Sementara itu golongan santri dan abangan sudah membuka
diri sehingga terjadi proses saling mengisi. Akibatnya batas-batas
kultural diantara mereka sulit dikenali lagi.
27
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Asia termasuk di dalamnya di
Indonesia dalam waktu yang lama berada dalam pengaruh, dominasi serta
mengadopsi ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Eropa atau Amerika. Kondisi
yang demikian sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama lebih dari satu
abad, jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kondisi perkembangan
ilmu sosial yang demikian telah mengundang beberapa intelektual di Asia dan
juga di Indonesia, untuk mempertanyakan sekaligus mencari jalan keluar, kondisi
perkembangan ilmu sosial yang memprihatinkan dari suatu kondisi
ketidakberdayaan-ketergantungan (captive mind) dengan ilmu-ilmu sosial barat.
28
DAFTAR PUSTAKA
Beihanz, Peter, 2003. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alatas, S.F. (2010). Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia. Yogyakarta:
Mizan
29
Achman, Rochman. (2010). Ilmu Sosial di Indonesia: Peluang, Persoalan, dan
Tantangan tersedia di url:
http://jmb.lipi.go.id/index.php/jmb/article/download/157/137 diakses pada 28
Desember 2017
30
LAMPIRAN
31