Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PARADIGMA DAN LANDASAN

FILOSOFIS PENDIDIKAN IPS


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial
Dosen Pengampu : Muhammad Ikrom K, S.Pd.I,M.Pd.I

Oleh:
Ikrimah Ayu Soraya (202191260025)
Ainy Nur Lathifah (202191260014)
Devi Permatasari (202191260019)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH


IBTIDAIYAH (PGMI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AT-TAQWA
BONDOWOSO
Tahun 2021
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan yang
Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah dengan judul “Paradigma dan Landasan Filosofis Pendidikan IPS”
dengan tepat waktu. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabat-
sahabatnya dan kita semua selaku umatnya.
Makalah ini berisi tentang pengertian Paradigma Pendidikan IPS dan
bagaimana Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia serta apa saja Landasan
Filosofis Pendidikan IPS. Manfaat bagi para pembaca adalah mengetahui apa
pengertian Paradigma Pendidikan IPS dan apa saja Landasan Filosofis Pendidikan
IPS, sedangkan manfaat bagi penulis adalah menambah wawasan tentang
paradigma dan landasan filosofis pendidikan serta untuk menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah “Konsep Dasar IPS”.
Makalah ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada dosen
pengampu yaitu Muhammad Ikrom Karyodiputro S.Pd.I,M.Pd.I dan juga semua
pihak yang turut membantu pembuatan makalah ini yang tidak bisa kami sebutkan
satu persatu.
Tak ada gading yang tak retak. Demikian pula, tak ada karya yang tak
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemajuan makalah ini di masa
mendatang. Apabila terdapat kesalahan pada makalah ini penulis memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah paradigma
dan landasan filosofis pendidikan IPS ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bondowoso, 19 Maret 2022

Kelompok 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................................................3
B. Rumusan masalah......................................................................................................3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Pendidikan IPS.........................................................................................4
B. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia....................................................................7
C. Landasan Filosofis Pendidikan IPS...........................................................................8

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................................11
Saran ............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan
di sekolah memiliki tujuan untuk memperbaiki, mengembangkan dan memajukan
hubungan-hubungan kemanusiaan dan kemasyarakatan. IPS terorganisasikan
secara sistematis dalam pengajaran dan kurikulum sekolah, fungsi nya yaitu untuk
mengkaji berbagai peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan
dengan isu sosial. IPS terdiri dari materi : geografi, sejarah, sosiologi, dan
ekonomi. Tujuannya adalah supaya warga negara Indonesia menjadi warga yang
demokratis dan bertanggung jawab, serta menjadi warga yang cinta damai.
Mata pelajaran ini berperan sebagai mengfungsionalkan dan
merealisasikan ilmu-ilmu sosial yang bersifat teoritik kedalam kehidupan nyata di
masyarakat. Oleh karena itu secara substansi materinya, IPS mengintegrasikan
dan mengorganisasikannya secara pedagogik dari berbagai ilmu sosial yang
dibutuhkan bagi pembelajaran di tingkat persekolahan, sehingga dengan adanya
pembelajaran IPS diharapkan peserta didik mampu membawa dirinya secara
dewasa dan bijak dalam kehidupan nyata, dan peserta didik tidak hanya mampu
menguasai teori-teori kehidupan dalam masyarakat tapi mampu menjalani
kehidupan nyata di masyarakat sebagai manusia sosial. Dalam mengawali
pembahasan mengenai teknis dan teori pendidikan IPS lebih lanjut maka
perlunya diawali dengan penjelasan mengenai hakikat IPS secara mendalam dan
juga landasan IPS, khususnya landasan Filosofisnya. Maka dari itu penulis
bermaksud mengkaji tentang paradigma dan landasan filosofis IPS dengan judul
“Paradigma dan Landasan Filosofis Pendidikan IPS”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Paradigma Pendidikan IPS ?
2. Bagaimana Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia ?
3. Apa saja Landasan Filosofis Pendidikan IPS ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, makalah ini mempunyai tujuan, yaitu:
1. Mengetahui pengertian Paradigma Pendidikan IPS.
2. Mengetahui bagaimana Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia.
3. Mengetahui apa saja Landasan Filosofis Pendidikan IPS.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Paradigma Pendidikan IPS


Paradigma IPS adalah model atau kerangka berpikir tentang
pengembangan IPS yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan
Indonesia, sedangkan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat
atau manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu
sosial. Ada tiga istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu : Ilmu
Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies), dan Ilmu Pengetahuan
Sosial ( IPS ). Selain istilah tersebut ada juga istilah yang terkadang digunakan
dalam menyebut bidang studi IPS, yaitu : Social Education dan Social Learning,
yang menurut Cheppy kedua istilah tersebut lebih menitik beratkan kepada
berbagai pengalaman di sekolah yang dipandang dapat membantu anak didik
untuk lebih mampu bergaul di tengah-tengah masyarakat.
1. Ilmu Sosial (Social Science)
a. Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo, 1996; 2)
adalah sebagai berikut: “ilmu sosial terdiri atas disiplin-disiplin ilmu pengetahuan
sosial yang bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan
tinggi, yang makin lanjut makin ilmiah”.
b. Menurut Gross (Kosasih Djahiri, 1981; 1), ilmu sosial merupakan disiplin
intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah,
memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau
masyarakat yang ia bentuk.
c. Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa ilmu sosial adalah cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan
maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu ilmu sosial adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota
masyarakat. Ilmu-ilmu sosial lebih menitik beratkan kepada interdisiplin pada
suatu bidang studi kajian disatu disiplin ilmu, seperti contoh pada disiplin ilmu
Antropologi.
2. Studi Sosial (Social Studies)
a. Berbeda dengan ilmu sosial, studi sosial bukan merupakan suatu bidang
keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah sosial. Tentang studi sosial ini, Achmad
Sanusi (1971; 18) memberi penjelasan sebagai berikut : Studi sosial tidak selalu
bertaraf akademis - universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi
siswa sejak pendidikan dasar dan dapat berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan
kepada disiplin-disiplin ilmu sosial. Studi Sosial merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat.
b. Studi sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul atau
masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan meninjaunya
dari beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan yang ada satu
dengan lainnya.
c. Studi sosial menurut John Jarolimek: “Tugas Studi Sosial sebagai suatu bidang
studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat yang mampu menyelaraskan
kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan social, serta membantu
melahirkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social yang dihadapainya.
Jadi, baik materi maupun metode pembelajaran penyajiannya harus sesuai dengan
misi yang diembannya”.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980: 8) memberi batasan IPS adalah
merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari
pelajaran Ilmu-ilmu sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-
ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah,
geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh
Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil perpaduan
dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi,
antropologi, politik. IPS lebih menitik beratkan kepada pendekatan multidisipliner
atau interdisipliner, dimana topik-topik dalam IPS dapat dimanipulasi menjadi
suatu isu, pertanyaan atau permasalahan yang berperspektif interdisiplin. Ilmu
pengetahuan IPS yg dikenal di Indonesia bukan ilmu sosial.
Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS pada berbagai tingkat
pendidikan tidak akan menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, melainkan
lebih menekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah serta mengkaji
gejala dan masalah sosial dengan mempertimbangkan bobot dan tingkatan peserta
didik pada tiap jenjang. Pendekatan yang dilakukan studi sosial sangat berbeda
dengan pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan studi
sosial bersifat interdisipliner atau multidisipliner dengan menggunakan berbagai
bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam Ilmu Sosial
(Social Sciences) bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing.
Konsep “Social Studies” secara umum berkembang di Amerika Serikat
merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi akademis dalam
bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for The Social Studies
(NCSS) pada tanggal 20-30 November 1935. Dalam pertemuan ini, disepakati
bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu menempatkan bahwa
social studies sebagai core curriculum. Sedangkan pada tahun 1937, pilar historis-
epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi tentang “social
studies” yang berawal dari Edgar Bruce Wesley yaitu “The Social Studies Are
The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose” yang artinya bahwa “The
Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan
pendidikan. Kemudian dikembangkan bahwa social studies berisikan aspek-aspek
ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu
geografi dan filsafat.
Berdasarkan pengamatan Edgar Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa
bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan adanya
ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan terutama
pada tahun 1940-1970-an. Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit
dalam menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies”
mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada
pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap
demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan
akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang
sebagai suatu revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para
sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok ilmuwan ini terpikat oleh
“social studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang
sangat besar untuk pengembangan kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja
sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar
yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis
tersebut dikenal sebagai gerakan “The New Social Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk
mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi kenyataan. Isu yang
terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan
pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian mengenai isi pembelajaran.
Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies,
disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial
untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus bergulirnya gerakan
pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi
social studies education. Hal ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang
dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan
dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, merupakan dampak dari opini
publik berkaitan dengan perang dunia II, perang dingin, dan perang korea serta
kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang
pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan
persekolahan.
Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari perkembangan
Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan bahwa “social
studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan
mempengaruhi perubahan siswa. Oleh karena itu, sejarawan dan ahli-ahli ilmu
sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan social studies kepada taraf
higher level of Intellectual Pursuit yakni mempelajari ilmu sosial secara mendasar.
Dengan orientasi tersebut maka dimulailah era modus pembelajaran Social
Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong timbulnya upaya
mentransformasikan “social studies” ke dalam “social science” dan mengajarkan
sebagai disiplin akademik yang terpisah. Gerakan inilah yang mendorong
berdirinya The Social Science Education Concortium (SSEC) yang kemudian
menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social
Studies Curriculum. Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi pada
disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan
interdisipliner. Definisi “social studies” dan pengidentifikasian “social studies”
atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari “social studies” pada
tahun 1970-an.
Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal yaitu pertama
social studies merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu, kedua misi utama
social studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis, ketiga sumber utama konteks social studies adalah social sciences dan
humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis (Barr
dkk, 1978) pada tahun 1980-1990-an mengenal pemikiran social studies yang
sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi. Dilihat dari
karakteristik dan tujuannya, Social Studies Education atau Social Studies yang
dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap menempatkan pendidikan
kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic Responsibility and Active Civic
Participation sebagai salah satu esensinya. Pada tahun 1992, The Board of
Directors of The National Council for The Social Studies mengadopsi visi terbaru
mengenai social studies yang kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS
pada tahun 1994 dengan judul Expectations of Excellence; Curricullum Standars
for Social Studies.
B. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu
negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan
dalam bidang itu. Reputasi tersebut terlihat dalam perkembangan pemikiran
mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang
dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS). Untuk
menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia
secara historis epistemologis terasa sangat susah karena dua alasan, yaitu :

1. Di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua


dan sekuat pengaruh NCSS atau SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki
Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia)
usianya masih sangat muda dan produktivitas akademisnya masih belum
optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan komunikasi
antar anggota masih insidental.

2. Perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu


pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran
individual atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk
mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh
akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS
tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang
kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh
berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task
Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia
akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan,
dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan
dalam bidang itu. Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat
ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic
Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo.
Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan
digunakan secara bergantian yakni “pengetahuan social, studi sosial, dan Ilmu
Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah sosial
yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner
dengan tujuan agar masalah-masalah sosial itu dapat dipahami peserta didik.
Dengan demikian, peserta didik akan dapat menghadapi dan memecahkan
masalah sosial sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke
dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam
seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya
istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains.
Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai
pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda
dengan kemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang
segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi
akademik, pemunculan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan
sedikit komentar.
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan
pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan
beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di
Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih
Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan
Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang
kurikulum tersebut.
Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan
Kewargaan Negara/ Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu.
Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari
konsep pengajaran sosial yang awal nya tidak diberi label IPS, telah diadopsi
dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah
Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia,
Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan
Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS
diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi
Sosial nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi
yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial:
Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”.
C. Landasan Filosofis Pendidikan IPS

Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang
majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagian dari masyarakat
yang pluralistik.

Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan pengajaran


Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memiliki peran yang strategis baik ditinjau dari
segi akademik maupun kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat
dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS dapat membekali anak didik
atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu sosial sebagai basis
dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga pendidikan atau
persekolahan.

Melalui pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki bakat


dan minat terhadap ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-persoalan
yang riil ketika mereka tamat pada jenjang persekolahan tertentu dan dapat hidup
berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai insan pembangunan bangsa
yang memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri.

Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik


Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai berikut :

1. Esensialisme : adalah aliran yang menggariskan  bahwa kurikulum harus


menekankan pada penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa,
pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Kurikulum yang
dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu.
Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme.
Proses belajar-mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki
kemampuan penguasaan disiplin ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih
banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa.

2. Perenialsme : adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus


dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang
kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh ruang
dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi
sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan
siswa atau peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.

3. Progresivisme : adalah memperhatikan kebutuhan individual yang


dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk
berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam
pengambilan keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan
masalah pada kehidupan sehari-hari. Aliran filsafat Progresivisme adalah
bagaimana mata pelajaran IPS mampu membekali  kepada siswa agar
dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran,
kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.

4. Rekonstruksionisme : adalah aliran ini berpendapat  bahwa sekolah harus


diarahkan kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran
filsafat ini menghendaki agar setiap individu dan kelompok tanpa
mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan pengetahuan,
teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan
mereka melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran
guna memproduksi pengetahuan baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini
lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran mampu menemukan
(inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan
hasilnya. Aktivitas siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya
pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari beberapa teori dan kajian yang telah dibahas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Paradigma IPS  adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS
yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan Indonesia,
dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau
manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu
sosial. Ada tiga istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu :
Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies), dan Ilmu
Pengetahuan Sosial ( IPS ). Pendidikan IPS lebih ditekankan pada
bagaimana cara mendidik tentang ilmu-ilmu social atau lebih kepada
penerapannya (application of knowledge social studies). Ilmu yang
disajikan dalam pendidikan IPS merupakan suatu synthetic antara ilmu-
ilmu social dengan ilmu ilmu-ilmu pendidikan. Pendidikan IPS
merupakan hasil rekayasa “inter cross” dan “trans disipliner” antara
disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu sosial murni untuk tujuan
pendidikan.
2. Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat.
Kemudian, konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia
persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung.
3. Landasan Filosofis sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik
Kajian Kebijakan Kurikulum  Mata Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI dirincikan sebagai
berikut :
a. Esensialisme
b. Perenialisme
c. Progresivisme
d. Rekonstruksionisme
B. Saran
Pendidik bijaknya harus menjadi seorang profesional dalam
menjalankan kewajibannya. Segi sikapnya tidak terlepas dari segi
keilmuannya dalam mendidik. Dalam hal ini pendidikan IPS SD harus
dikuasi penuh dalam menunjang kegiatannya. Penting bagi seorang pendidik
mengetahui hakikat IPS dan landsan yang dijadikan dasar adanya pendidikan
IPS, maka dari itu sebaiknya seorang calon pendidik maupun guru harus
paham terhadap konteks mata pelajaran yang ia ajarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, TR. dan Asep, S. 2011. Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi.
Subang: Royyan Press.

Depdiknas. 2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum 2007. Jakarta: Depdiknas.

Hermanto. 2009. Landasan Filsafat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Jurnal. Sekolah
Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Supriatna, Nana, dkk,. 2010. Bahan Belajar Mandiri Pendidikan IPS SD. Bandung : UPI
PRESS.

Anda mungkin juga menyukai