Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN IPS DAN PEMIKIRAN DALAM


PEMBAHARUAN PEMBELAJARAN IPS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok:


Mata Kuliah : Pendidikan IPS Terpadu
Semester :V
Prodi : Pendidikan Ekonomi
Dosen : Drs. Gani Haryana, M.Pd., M.Si

Disusun oleh:
Ade Saputri 1705110850
Alda Meiwinda Lestari 1705114696
Anisa Aulia 1705110902
Anisa Rahmadani 1705114633

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS RIAU
2019
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWTyang
telah memberikan penulis rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih dari berbagai sumber yang telah penulis pakai
sebagai data dan fakta pada karya tulis ini. Dan penulis memberi judul dari makalah penulis
yaitu “ Perkembangan Pendidikan IPS dan Pemikiran dalam Pembaharuan
Pembelajaran IPS “ di bawah bimbingan bapak Drs. Gani Haryana, M.Pd., M.Si
Tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan
makalah ini yang telah penulis selesaikan. Tidak semua hal penulis deskripsikan dengan
sempurna dalam makalah ini. Penulis melakukannya semaksimal mungkin dengan
kemampuan yang penulis miliki. Dimana penulis juga memiliki keterbatasan kemampuan.
Maka dari itu seperti yang telah dijelaskan bahwa penulis memiliki keterbatasan dan
juga kekurangan, penulis bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca. Penulis akan
menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki
makalah penulis dimasa datang. Semoga makalah berikutnya dapat diselesaikan dengan hasil
yang lebih baik.
Dengan menyelesaikan makalah ini penulis mengharapkan banyak manfaat yang
dapat dipetik dan diambil dari makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya dan menerapkannya.

Pekanbaru, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Ilmu Sosial (Social Science) ................................................................... 3
B. Social Study/Ilmu Pengetahuan Sosial ................................................... 4
C. Perkembangan Social Study/Ilmu Pengetahuan Sosial di Dunia ........... 6
D. Perkembangan Social Study/Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia ..... 13
E. Pemikiran dalam Pembaharuan Pembelajaran IPS.................................. 18
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 26
B. Saran ....................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan
sosial masyarakat yang diseleksi menggunakan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial yang
digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Keadaan sosial masyarakat selalu mengalami
perubahan dari waktu ke waktu, kemajuan diberbagai bidang kehidupan harus dapat
ditangkap dan diperhatikan oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadi bahan
materi pembelajaran, sehingga bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam
bentuk kurikulum. Guru sebagai pelaksana pendidikan pasti sudah tidak asing lagi dengan
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial atau yang biasa disebut dengan IPS. Mengacu
pada kurikulum di Indonesia yang masih terpusat (sentralisasi) artinya segala keputusan
tentang pendidikan yang akan diberikan kepada peserta didik dirumuskan di
pemerintahan pusat. Mulailah darisana IPS diajarkan di sistem pendidikan kita. Setiap
jenjang pendidikan mestilah diajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial ini, mulai dari Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Mengajarkan sebuah mata pelajaran seorang guru harus memahami betul mata
pelajaran tersebut. Sehingga tidak terjadi guru asal mengajar, guru asal memberikan
informasi kepada peserta didiknya. Hal tersebut akan terjadi apabila guru kurang
menyenangi dengan mata pelajarannya, guru tidak menyelami dan mendalami mata
pelajaran tersebut. Kondisi inilah yang banyak terjadi di lingkungan pendidikan kita.
Guru hanya asal mengajar tanpa tahu kenapa mata pelajaran tersebut perlu diajarkan di
sekolahnya. IPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah pun perlu dipahami
lebih jauh oleh seorang guru. Kepentingan apa yang mendasari kita perlu mengajarkan
IPS, seorang guru harus mengetahuinya.
Melihat vitalnya visi dari Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial untuk membentuk
pribadi peserta didik yang kuat dalam masyarakat tentunya guru diberikan amanat yang
besar terhadapnya. Supaya visi ini terwujud dengan baik maka diperlukan langkah-
langkah tepat bagi guru untuk mengajarkan mata pelajaran IPS ini secara menyeluruh.
Apabila guru mengajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial ini dengan menarik, maka akan
tertanam kebermaknaan dalam belajar bagi siswa itu sendiri.

1
B. Rumusan Masalah
Melihat dari apa yang dipaparkan di latar belakang, maka penulis ingin memfokuskan
penulisan makalah ini ke dalam :
1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Sosial (Social Science) ?
2. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (Study Social ?
3. Bagaimana perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial di Dunia ?
4. Bagaimana perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia ?
5. Bagaimana pemikiran dalam pembaharuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ?
C. Tujuan
Dari penulisan makalah ini diharapkan mahasiswa sebagai calon guru dapat
mengetahui bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan social sebagai disiplin ilmu
yang harus diajarkan kepada siswa serta dapat mengimplementasikan tujuan-tujuan
terbentuknya ilmu pengetahuan social dalam dunia pendidikan di Indonesia sebagai bekal
menuju dunia professional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Sosial (Social Science)


Semua ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu social dilihat dari perkembangannya
bermula sebagai filsafat. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui
dan apa yang belum diketahui. Dorongan ingin tahu itu dimanifestasikan melalui
observasi, penelaahan dan penyelidikan-penyelidikan alam sekitarnya sesuai dengan
kapasitas dan perkembangan alam pikirannya. Semakin tinggi tingkat kecerdasan individu
atau kelompok manusia, semakin banyak rasa ingin tahunya dan semakin banyak pula
persoalan-persoalan dan tantangan dalam kehidupan.
Untuk menjawab aneka ragam persoalan dan tantangan dalam kehidupan ini, lahirlah
berbagai cabang ilmu pengetahuan. Berdasarkan sumber filsafat yang dianggap sebagai
ibu dari ilmu pengetahuan, lahirlah 3 kelompok (cabang) ilmu pengetahuan, yaitu:
1) Natural sciences (ilmu-ilmu alamiah), meliputi : fisika, kimia, astronomi,
biologi, botani dan lain-lain.
2) Social sciences (ilmu-ilmu social) terdiri atas: sosiologi, ekonomi, politik,
antropologi, sejarah, psikologi, geografi dan lain-lain
3) Humanities (ilmu-ilmu budaya) meliputi: bahasa, agama, kesusastraan,
kesenian dan lain-lain.
Sesuai dengan sebutannya sebagai ilmu, ilmu social ini tekanannya kepada keilmuan
yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat atau kehidupan social. Berkenaan dengan
ilmu social ini, Norma Mackenzie (1975) dalam Sardjiyo (2014:1.22) mengemukakan
bahwa ilmu social adalah semua bidang ilmu yang berkenaan dengan manusia dalam
konteks sosialnya atau dengan kata lain semua bidang ilmu yang mempelajari manusia
sebagai anggota masyarakat. Menurut Susanto (2014: 7) social science adalah keilmuan
yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat atau kehidupan sosial. Social science ini
menitik beratkan pada konsep dan teori keilmuannya, diajarkan dan dikembangkan di
perguruan tinggi. Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial
(Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat
perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”. Sedangkan menurut Gross (Kosasih
Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia
sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota
3
masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk. Selanjutnya Nursid
Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku
kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Somantri (2001)
dalam Sapriya (2014:..) mengemukakan bahwa Social sciences adalah ilmu-ilmu social,
ilmu-ilmu alam dan humanitis atau humaniora. Ilmu-ilmu alam mempunyai tiga bagian
disiplin ilmu yang meliputi biologi, fisika dan kimia. Sementara humanitis terdiri dari
sejarah dan sastra. Setiap disiplin ilmu mempunyai filsafatnya masing-masing yang pada
akhirnya semua disiplin ilmu berhulu pada ajaran agama.

Ilmu-ilmu social berkembang terus sesuai dengan kebutuhan manusia dalam era
pembangunan, khususnya di Indonesia. Wujud dan kenyataan adanya perkembangan
ilmu-ilmu social di Indonesia, setelah bangsa Indonesia mendapat kemerdekaan adalah
sebagai berikut:

1) Pertama-tama didirikan di Yogyakarta suatu akademi ilmu politik. Sponsor-


sponsor yang mendirikan akademi ini terdiri dari tenaga-tenaga akademis
Pembina ilmu politik di Negeri Belanda.
2) Sedang waktu berikutnya, didirikan pula Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada
pada tanggal 17 Februari 1946, yang diresmikan pembukaanya pada tanggal 3
Maret 1946, mempunyai 2 fakultas, ialah Fakultas Sastra. Balai perguruan
tinggi itu ialah perguruan tinggi swasta yang dikelola oleh sebuah yayasan.
3) Didirikan Akademi Kepolisian

B. Social Study/ Ilmu Pengetahuan Sosial


Dalam ilmu pengajaran, ilmu social mengalami perkembangan sehingga timbulah
paham studi social (social studies). Paham ini dipergunakan bagi keperluan pendidikan
dan pengajaran dan bukan merupakan satu disiplin ilmu yang mandiri. Ali Imran Udin
(1976) dalam Noor (1997:22) mengemukakan bahwa social studies atau Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) adalah ilmu-ilmu social yang disederhanakan untuk tujuan-
tujuan pendidikan dan pengajaran di sekoah dasar dan menengah. Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) adalah bidang studi yang merupakan paduan (fusi) dari sejumlah mata
pelajaran social.

4
Antara ilmu social, studi social dan ilmu pengetahuan social ternyata terdapat kaiatan
satu sama lainnya sehingga terdapat persamaan dan perbedaan. Sebagaimana Sardjiyo
(2014:1.27) mengemukakan persamaan dan perbedaan antara ilmu social dengan studi
social/IPS sebagai berikut :
Ilmu Sosial (Social Persamaan/Perbedaan Studi Sosial/IPS
Sciences)
Ilmu social adalah semua Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial
bidang ilmu yang (IPS) adalah bidang studi
berkenaan dengan yang mempelajari,
manusia dalam konteks menelaah dan
sosialnya atau semua menganalisis gejala dan
bidang ilmu yang masalah social di
mempelajari manusia masyarakat ditinjau dari
sebagai anggota berbagai aspek kehidupan
masyarakat secara terpadu
Hal-hal yang berkenaan Ruang lingkup Hal-hal yang berkenaan
dengan manusia dan dengan manusia dan
kehidupannya meliputi kehidupannya meliputi
semua aspek kehidupan semua aspek kehidupan
manusia sebagai anggota manusia sebagai anggota
masyarakat masyarakat
Aspek-aspek kehidupan Objek Aspek kehidupan manusia
manusia yang dikaji dikaji berdasarkan satu
secara terlepas-lepas kesatuan gejala social atau
sehingga melahirkan satu masalah social (tidak
bidang ilmu melahirkan bidang ilmu)
Menciptakan tenaga ahli Tujuan Membentuk warga Negara
pada bidang ilmu sosial yang bermkemampuan
social dan yakin akan
kehidupannya sendiri di
tengah-tengah kekuatan
fisik dan social
Pendekatan disipliner Pendekatan Pendekatan intradisipliner

5
Ilmu Sosial (Social Persamaan/Perbedaan Studi Sosial/IPS
Sciences)
atau multidisipliner dan
lintas sektoral
Dipelajari dan Tempat pembelajaran IPS diajarkan pada tingkat
dikembangkan pada rendah sampai tingkat
tingkat Perguruan Tinggi persekolahan (SD_SMA)

C. Perkembangan Social Study/ Ilmu Pengetahuan Sosial di Dunia


Istilah studi sosial atau social studies diserap kedalam bahasa indonesia dengan istilah
ilmu pengetahuan sosial (IPS), yang merupakan nama mata pelajaran ditingkat
persekolahan. Studi Sosial bertujuan mendidik siswa menjadi warga negara yang baik.
Warga negara yang baik adalah idaman kita semua, guru, dosen, pimpinan, anggota
masyarakat agar masyarakat menjadi lebih teratur, mapan, bisa berpikir kritis
menghormati pendapat orang lain, disiplin, jujur, bertanggung jawab, menjunjung tinggi
demokrati dan sebagainya seperti diungkap Buchori (2010:3).
Berbagai negara memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam perkembangan
social studi dalam kurikulum pendidikannya sebagaimana ditulis dalam Hidayati (2008:7-
9). Di negara-negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat istilah IPS lebih dikenal
dengan sebutan social studies. Hal ini merupakan hasil kesepakatan dari para ahli dalam
seminar Nasional tentang “civic Education” tahun 1972 di Tawangmangu, Solo. Sebelum
Amerika Serikat istilah social studies masuk kedalam kurikulum disekolah oleh Ruggby
dari Inggris pada tahun 1827 atau setengah abad setelah revolusi industri abad ke 18 yang
ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Revolusi
industri membawa perubahan yaitu mendatangkan kemakmuran bagi sebagian
masyarakat Inggris. Disisi lain Revolusi industri menimbulkan faham kapitalisme dan
dehumanisasi yaitu manusia tidak dihargai sebagaimana manusia atau tidak
memanusiakan manusia karena para industrialis lebih menghargai faktor produksi, modal,
dan uang daripada tenaga manusia. Setelah memperhatikan situasi tersebut,
Setelah itu disusul oleh Amerika Serikat. Latar belakang dimasukannya social studies
dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan
kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari
berbagai macam ras, diantaranya Ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit

6
putih yang datang dari Eropa dan ras negro yang di datangkan dari Afrika untuk
dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut. Pada awalnya penduduk
Amerika Serikat yang multi RAS itu tdak menimbulkan masalah. Baru setelah
berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan perang
budak yang berlangsung tahun 1861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap
untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang
multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa. Selain itu juga adanya
perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan
berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu
bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukan
social studies kedalam kurikulum sekolah dinegara bagian Wisconsin pada ahun 1892.
Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20 sebuah komisi nasional dari The
National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies
dimasukan kedalam kurikulum semua sekolah dassar dan sekolah menengah Amerika
Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari
matapelajaran sejarah, geografis, dan civic. Disamping sebagai reaksi para pakar ilmu
sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan social studies
kedalam kurikulum sekolah juga dilatar belakangi oleh keinginan para pakar pendidikan.
Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan seolah dassar dan menengah,
para sisiwa: 1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan
hak-hak dan kewajibannya; 2) dapat hidup berasyarakat secara seimbang, dalam arti
memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
para siswa tidak perlu harus menunggu belajar ilmu-ilmu sosial diperguruan tinggi, tetapi
sebenarnya mereka sudah mendapat pelajaran IPS disekolah dasar dan menengah.
Selajutnya perkembangan social study mulai dikenalkan sebagaimana dalam Sapriya
(2014:34-38) menjelaskan bahwa pada tahun 1915, Commite on Social Studies,
mengeluarkan sebuah dokumen yang bernama The Teaching of Commnity Civis. Dalam
dokumen tersebut dirumuskan konsep warga negara yang baik sebagi sosok pribadi yang
baik yang sudah terbiasa melakukan sesuatu untuk kesejahteraan individu masyarakat
secara cerdas dan aktif bekerja sama dengan anggota masyarakat lain hingga akhir
hayatnya (Saxe, 1990 :188 appendix). Menurut CSS, “community civis“ sebagai elemen
terpenting dari “warga negara yang baik“ merupakan kondisi kewarganegaraan didalam
konteks komunitasnya“. Warga negara yang baik adalah mereka yang memiliki perasaan

7
sosial (sosial feeling ), pikiran sosial (social thought),dan melakukan tindakan sosial
(social action). (Saxe, 1991 :188 appendix).
Rekomendasi Social Studies yang di rumuskan dalam dokumen CSS tahun 1913,1915
dan 1916 merupakan konsep awal dan sangat berharga bagi National Council For The
Studies (NCSS) yang berdiri tahun 1921. Dapat dianggap bahwa gagasan-gagasan CSS
menjadi berharga bagi NCSS yang saat ini menjadi eksis bahkan semakin berkembang.
Dengan kata lain, NCSS merupakan pelanjut dan pemelihara hasil hasil pendidikan
termasuk tujuan kewarganegaraan yang telah dicapai CSS.
Pada tahun 1935, tepatnya tanggal 28-30 November 1935 atau 14 tahun setelah
berdirinya, NCSS mengadakan pertemuan pertama dengan keputusan pentingnya
berhasil meletuskan dasar dasar pemikiran Social Studies berbasis intelektual keilmuan
atau Social Sciences as the community of the Curriculum. Pada periode ini muncul
pemikiran Edgar Werley salah satu staf CSS berjudul The Teaching The Social Studies.
Dalam karyanya tersebut, Wesley berhasil merumuskan definisi social studies yang
selanjutnya di jadikan sebagai definisi resmi oleh The United States of Educations
Standar Terminology For Curriculum and Instruction. Definisi yang dimaksud adalah
Social studies are the social sciences simlified for pedagogical purposes( lihat. Bart, &
Shermis 1977: 1-2) Soemantri, (1990; 2001).
Lebih jauh dalam Saripudin (2011:2-10) menjelaskan pengertian awal social studies
tersebut menyiratkan: pertama, social studies merupakan disiplin turunan dari ilmu-ilmu
social atau menurut Welton dan Mallan (1988:14) sebagai an offspring of the social
sciences; kedua, disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan
pendidikan/pembelajaran, baik pada tingkat persekolahan maupun tingkat pendidikan
tinggi; dan ketiga, aspek-aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu
diseleksi sesuai dengan tujuan tersebut.
Dalam perjalanannya ternyata bidang social studies ini didera oleh masalah
ketakmenetuan, yang oleh pionir social studies Edgar Bruce Wesley (dalam Barr et
al,1978:iv) dikemukakan bahwa The field of social studies has long suffered from
conflicting definition, an overlapping functions, and a confusion of philosophies”.
Keadaan itu diniliai telah menimbulkan “uncertainties; …perpetuated indecision;
…hindered unification; …and delayed progress. Keadaan yang ditandai dengan
ketakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan tersebut
dirasakan terutama pada periode 1940-1970-an. Pada tahap itu, seperti digambarkan oleh
Barr et al, (1977:35-46), social studies menjalani periode yang sangat sulit. Pada periode
8
1940-1950-an ia mendapat serangan hampir dari segala penjuru, yang pada dasarnya
berkisar pada pertanyaan mesti tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap
demokrasi kepada para pemuda. Persoalan itu tumbuh sebagai salah satu dampak dari
perang sipil yang berkepanjangan, yang pada gilirannya melahirkan tuntutan bagi
sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tuntutan tersebut telah mendorong
muculnya upaya pemberian tekanan pada pentingnya pengajaran sejarah, berupa fakta-
fakta sejarah yang perlu mendapat perhatian; kelembagaan pemerintahan Amerika; dan
analisis rinci mengenai Konstitusi Amerika. Pada saat itu proses pembelajarannya sangat
kuat menekankan pada mata pelajaran sosial yang terpisah-pisah, memorisasi informasi
faktual, dan transmisi secara tidak kritis dari nilai-nilai budaya terpilih.
Pada dasawarsa 1960-an , timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam
pendidikan, yang secara khusus dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam social
studies, yang dipelopori oleh para sejarahwan dan ahli ilmu-ilmu sosial. Kedua
kelompok ilmuwan tersebut nampaknya terpikat oleh social studies, antara lain karena
pada saat itu pemerintah Federal Amerika menyediakan dana yang sangat besar untuk
pengembangan kurikulum. Dengan dukungan dana tersebut para ahli dari berbagai
disiplin bekerjasama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan
belajar innovatif dan menantang dalam skala yang besar. Gerakan akademis tersebut
dikenal sebagai gerakan “The New Social Studies”. Namun demikian sampai dasawarsa
1970- an ternyata gagasan untuk mendapatkan the new social studies ini belum menjadi
kenyataan penuh.
Jika dilihat secara keseluruhan dalam periode 1940-1960, seperti ditegaskan oleh
Barr et al (1977:36) yang sangat menonjol terjadi, adalah terjadinya tarik menarik antara
dua visi social studies.
Di satu pihak, adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial
untuk tujuan citizenship education yang terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih
canggih. Di lain pihak, terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial
yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education.
Kecenderungan social studies untuk melatih keterampilan “reflective thinking” ini,
demikian ditekankan oleh Barr et al (1977:37) diperkuat oleh gagasan Shirley Engle
yang pada tahun 1960 menerbitkan buku Decision Making: The Heart of Social Science
Instruction yang secara mendasar dan tegas merefleksikan gagasan John Dewey tentang
pendidikan berpikir kritis. Tekanan perubahan lain yang juga cukup dahsyat muncul
9
pada tahun 1957 dalam bentuk upaya komprehensif untuk mereformasi social studies.
Yang menjadi pemicu dan pemacu perubahan tersebut adalah keberhasilan Rusia
meluncurkan Sputnik yang telah membuat Amerika menjadi panik dan merasa jauh
tertinggal dari Rusia, dan dipublikasikannya hasil penelitian dua orang dosen Purdue
University, H.H,Remmers dan D.H. Radles yang dikenal dengan Purdue Opinion Poll.
Social studies yang bersifat content-centered dengan dominasi pendekatan expository,
yang sekaligus memberi petunjuk perlunya perubahan pembelajaran social studies
menjadi pembelajaran yang berorientasi kepada the integrated, reflective inquiry, and
problem-centered (Barr et al,1977:41- 42). Kesemua itu telah memperkuat munculnya
gerakan the new social studies. Gerakan the new social studies yang dapat dipandang
sebagai pilar kedua dalam perkembangan epistemologi social studies pada tahun 1960-an
itu, juga bertolak dari kesimpulan bahwa social studies sebelumnya dinilai sangat tidak
efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan sikap siswa. Oleh
karena itu para ilmuwan, dalam hal ini sejarahwan dan ahli ilmu-ilmu sosial bersatu padu
untuk bergerak meningkatkan social studies kepada taraf higher
Pada akhir dasawarsa 1960-an tercatat (Barr, et al,1977:45) adanya perubahan
orientasi pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari
hubungan interdisipliner. Untuk ini The Social Studies Curriculum Center at Syracuse
mengidentifikasi 34 konsep dasar yang digali dari sejumlah disiplin ilmu sosial yang
dinilai perlu untuk diajarkan di sekolah. Hal ini memberi petunjuk terjadinya rekonsiliasi
para ahli ilmu sosial dengan kelompok yang menekankan “social studies” pada
“citizenship education”. Pada masa itulah Paul R.Hanna merintis pengembangan
kurikulum yang bertolak dari “basic human activities” dan berhasil menghimpun lebih
dari 3000 generalisasi yang relevan, yang digali dari berbagai disiplin ilmu sosial.
Pada dasawarsa 1970-an (Barr et al: 1977:46) terjadi pertumbuhan social studies yang
serupa dengan perkembangan sebelumnya dengan hasilnya hampir semua projek
kurikulum menitik beratkan pada inquiry process, decision making, value questions, and
student-oriented problems. Namun demikian hasil studi mengenai kurikulum dan
pembelajaran tersebut ternyata sangat mengejutkan. Para ahli ternyata mendapatkan
kesimpulan yang sama yakni, terlepas dari upaya terbaik dari para pendidik dan besarnya
biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, ternyata …
Perkembangan selanjutnya, yakni antara tahun 1976-1983, seperti dikemukakan oleh
Stanley (1985:310) … social studies education was a field of numerous competing
definitions and rationales. Hal tersebut memang sejalan dengan apa yang dilihat dan
10
dialami oleh Wesley (dalam Barr, Barth, & Shermis,1978:iv) yang telah mencatat
penggunaan istilah social studies sebagai social sciences, social service, socialism,
radical left-wing thinking, social reform, anti history, a unification of social subjects, a
field, a federation, an integrated curriculum, a pro-child reform, and a curriculum
innovation. Terlepas dari adanya aneka penggunaan pengertian tersebut, ditegaskan
bahwa The heart of the social studies is relationship; relationships premarily between
and among human beings. Sedangkan jika dilihat dari visi, missi, dan strateginya, Barr et
al (1978:17-19) social studies dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yakni Social
Studies Taught as Citizenship Transmission, Social Studies Taught as Social Science,
and Social Studies Taught as Reflective Inquiry. Sedangkan definisi baru yang diajukan
yang dapat dipandang sebagai pilar ketiga epistemologi social studies adalah sebagai
berikut.
Social Studies is an integration of social sciences and hummanities for the
purposes of instruction in citizenship education. We emphasize ‘integration’, for
social studies is the only field which deliberately attempts to draw upon, in an
integrated fashion, the data of the social sceinces and the insights of
hummanities. We emphasize citizenship’, for social studies’, despite the
difference in orientation, outlook, purpose, and methods of teachers, is almost
universally perceived as preparation for citizenship in a democracy (Barr et
al,1978:18)

Definisi social studies dan pengindentifikasian social studies ke dalam tiga tradisi
pedagogis tersebut di atas dapat dianggap sebagai pilar utama dari social studies pada
dasawarsa 1970-an. Dalam definisi tersebut tersurat dan tersirat beberapa hal. 1) social
studies merupakan suatu sistem; 2) missi utama social studies adalah pendidikan
kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis; 3) sumber utama konten
social studies adalah social sciences dan hummanities, dan 4) dalam upaya penyiapan
warga negara yang demokratis terbuka kemungkinan perbedaan dalam orientasi, dan
strategi pembelajaran. Jika dilihat lebih jauh, adanya variasi tiga tradisi social studies
menyiratkan bahwa dimanapun terbuka kemungkinan untuk mengembangkan social
studies atas dasar salah satu tradisi atau kombinasi dua atau semua tradisi. Masing-
masing tradisi tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tradisi pertama, Social Studies Taught as Citizenship Transmission merujuk pada
suatu modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk mengembangkan warga negara
yang baik, yang ditandai oleh ciri-ciri: …conforms to certain accepted parctices, hold
particular beliefs, is loyal to certain values, participates in certain activities, and
conforms to norms which are often local in character (Barr et al,1978:22). Oleh karena
11
itu tujuan dari tradisi ini adalah mengembangkan a reasoned patriotism; a basic
understanding and appreciation of (American) values, institution,and practices;
personal identity and integrity and responsible citizenship; understanding and
appreciation of the (American )heritage; active democratic participation; an awareness
of social problems, and desirable ideals, attitudes, and behavioral skills (Barr et
al,1978:47). Dalam ungkapan lain, tradisi ini bertujuan untuk mengembangkan karakter
warganegara yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang telah diterima secara baku
dalam suatu negara.
Tradisi kedua, Social Studies Taught as Social Science merupakan modus
pembelajaran sosial yang juga mengembangkan karakter warganegara yang baik, yang
ditandai oleh penguasaan mode of thinking from social science disiplines; that this mode
of thinking is generalizable; and having learned it he will understand properly, appreciate
deeply, infer carefully, and conclude logically (Barr et al,1978:23-24). Hal tersebut
dilandasi oleh kepercayaan bahwa …if a student acquires the habit of mind and the
thinking patterns associated with a particular social science discipline, he will become
more discriminating, make better personal as well as social policy decisions, and
ultimately understand the structure and the process of our society (Barr, et al,1978:71).
Dengan kata lain tradisi ini memusatkan perhatian pada upaya pengembangan karakter
warganegara yang baik, yang antara lain ditandai oleh kemampuannya dalam melihat
dan mengatasi masalah-masalah sosial dan personal dengan menggunakan visi dan cara
kerja para ilmuwan sosial.
Tradisi ketiga, Social Studies Taught as Reflective Inquiry merupakan modus
pembelajaran sosial yang menekankan pada hal yang juga sama, yakni pengembangan
warganegara yang baik dengan kriteria yang berbeda, yaitu dilihat dari kemampuannya
… to engage in a continual process of clarifying process of clarifying their own value
structure (Barr, et al,1978:27). Oleh karena itu tujuan utama dari radisi ini adalah … the
enhancement of the students’ decision making abilities, for decision making is the most
important requirement of citizenship in a political democracy (Barr, et al, 1978:111).
Dengan kata lain tradisi ini memusatkan perhatian pada pengembangan karakter
warganegara yang baik dengan ciri pokonya mampu mengambil keputusan. .
Pada dasawarsa 1980-an perkembangan social studies ditandai oleh lahirnya dua
dokumen akademis yakni Report of the National Council for Social Studies Task Force
on Scope and Sequence yang berjudul In Search of a Scope and Sequence for Social
Studies (NCSS,1983) dan A Report of the Curriculum Task Force of the National
12
Commission on Social Studies in the School yang berjudul Charting A Course: Social
Studies for the 21st Century (NCSS,1989). Kedua dokumen tersebut dapat dipandang
sebagai pilar epistemologis social studies keempat dan kelima. Laporan pertama
menghasilkan definisi, tujuan, lingkup, dan urutan materi mulai dari Kindergarten
sampai dengan kelas XII; rincian democratic beliefs and values; dan rincian Skills in the
Social Studies Curriculum. Definisi Social Studies yang diajukan adalah sebagai berikut.
Social Studies is a basic subject of the K-12 curriculum that (1) derives its goals
from the nature of citizenship in a democratic society that is closely linked to
other nations and peoples of the world; (2) draw its content primarily from
history, the social sciences, and in some respects from the hummanities and
science; and (3) is taught in ways that reflect an awareness of the personal,
social, and cultural experiences and developmental level of learners
(NCSS,1983:251)

Pada than 1970 an, muncul kritik dari Shaver 1976 dalam surat yang ditunjukan
kepada NCSS menyatakan bahwa The structure of the dicipline approach that domainted
most curriculum development projects..social studies in 1960s was a fad that exemplid
our long standing and unthinjing subservience to professors in academis disiplines.
Sehingga program atau kurikulum PIPS lebih menunjukan tingkat fragmentasi
intelektual yang tinggi.
Dijelaskan dalam Sapriya (2014:37) pada tahun 1985, giliran Smith yang mengkritik
gerakan The New Social Stadies. Ia berpendapat bahwa hasil perkembangan dari
kurikulum dari proyek tahun 1960 an tersebut gagal, karena 1) Ada kecendrungan
bahwa reformasi kurikulum dilakukan hanya karena tersedia dana yang memadai,
walaupun sesungguhnya tidak ada kebutuhan untuk melakukan reformasi. 2) Para guru
tidak banyak dilibatkan dalam pengembangan materinya, sehingga hasilnya tidak
merefleksikan realitas pembelajaran dikelas. 3) Dalam orientasinya kurikulum tersebut
bersifat positifistik, serta tidak diorientasikan kepada kebutuhan pendidikan (Lybarger,
1991 ;10).

D. Perkembangan Social Study / Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia


Latar belakang dimasukannya bidang studi IPS kedalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di
Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai
akibat pemberontakan G30SPKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh pemerintah orde
baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan rencana pembangunan lima tahun

13
(Repelita). Pada masa Repelita 1 (1969-1974) tim peneliti nasional dibidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut
antaralain :
1) kuantitas, berkenaan dengan peluasan dan pemerataan kesempatan belajar
2) kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3) relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan.
4) efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan dana.
5) pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi
kepentingan pembangunan nasional.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan pembaharuan
kurikulum sekolah. Pada awal masa repelita 1, pemerintah membentuk proyek
pembaharuan kurikulum dan metode mengajar (PPKN),yang memberi kesempatan pada
masyarakat untuk menciptakan kurikulum sekolah secara lokal. Pembaharuan kurikulum
tersebut dilaksanakan disekolah laboratorium IKIP Malang yang dikenal dengan Sekolah
Ibu Pakasi. Disekolah ini diberakukan kurikulum lokal yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) penggabungan sekolah dasar dengan sekolah menengah pertama menjadi sekolah
dasar 8 tahun.
2) penggabungan mata pelajaran sejenis, salah satunya adalah menjadi bidang studi
IPS.
3) pelaksanaan sistem kredit yang memungkinkan siswa menyelesaikan program
pendidikan tidak secara klasikal melainkan secara individu.
Langkah pemerintah selanjutnya adalah melakukan pembaharuan sistem pendidikan
melalui proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP). Proyek ini menyelenggarakan
sekolah percobaan di 8 IKIP, yaitu : Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya,
Malang, Ujung Pandang dan Manado. Dalam kurikulum sekolah tersebut tercantum
bidang studi IPS, yang merupakan perpaduan dari sejarah, geografi, dan ekonomi, mulai
dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.
Keberadaan PIPS dalam sistem pendidikan di indonesia tidak dapat dipisahkan dari
sistem kurikulum yang pernah berlaku di indonesia seperti yang telah dikemukakan oleh
sejumlah pakar bahwa secara embrioni kurikuler, PIPS dilembaga pendidikan formal
atau sekolah di indonesia pernah dimuat dalam kurikulum tahun 1947, kurikulum
berpusat mata velajaran terurai tahun1952, kurikulum tahun1964, dan kurikulum 1968,
14
baru dalam kurikulum tahun 1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994, PIPS telah
menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri pada jenjang pendidikan dasa dan menengah
yang disesuaikan dengan peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar
Nasional pendidkan, maka tidak ada lagi kurikulum yang bersifat terpusat (Kurikulum
Nasional).
1. Pendidikan IPS pada tahun 1945 &1964
Pada kurun waktu tahun 1945-1964 istilah IPS di indonesia belum dikenal.
Namun, pembelajaran yang memiliki karakteristik sama dengan IPS merujjuk
pada definisi social studies menurut Edgar Wesley, pendidikan IPS adalah ilmu-
ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kenyataan ini dapat
dilihat dari adanya mata pelajaran sejarah, geografi, civics, koperasi yang
disampaikan secara terpisah di sekolah dasar, dan mata pelajran ekonomi,
sosiologi dan antropologi di sekolah menegah.
2. Pendidikan IPS pada kurikulum 1964 & 1968
Dalam kurikulum 1964, ada perubahan pendekatan dalam pengajaran IPS di
indonesia, meskioun istilah IPS pada kurun waktu ini belum dikenal.
Dimiyti(1989 menamakan pendekatan yang digunakan bersifat korelatif dari
ilmu ilmu sosial. Dalam kurikulum tersebut ada mata pelajaran ilmu bumi,
sejarah, dan civics. Pada tahun 1968, terjadi perubahan kurikulum yang di tandai
dengan adanya vengelompokan mata pelajaran sesuai dengan orientasi dan
perkembangan pendidikan. Pada saat ini mulai di perkenalalkan nam pendidikan
kewarganegaraan sehinggapendidikan kemasyarakatan di ubah menjadi
pendidikan kewarganegaraan yang merupakan korelasi dari ilmu bumi, sejarah,
dan pengetahuan kewarganegaraan.
IPS sebagi mata pelajaran pertama kali masuk dalam dunia persekolahan
terjadi pada tahun 1972 1973, yakni dalam kurikulum proyek perintis sekolah
pembangunan (ppsp IKIP di bandung (Winataputra, 2001).
3. Pendidikan IPS pada kurikulum 1975 &1984
Sebagai hasil kesepakatan komunitas akademik pada tahun sebelumnya,
maka pada tahu1975 mulai diperkenalkan mata pelajaran imu pengetahuan
sosial (IPS dalam sistem kurikulum di indonesia. IPS sebagai mata pelajaran
baru dalam kurikulum1975diberikan untuk jenjang SD,SMP, dan SMA
menggunakan pendekatan yang di sesuaikan dengan tingkat perkembangan dan
karakteristikpeserta didik yang ada disetiap jenjang tersebut. Pendekatan yang
15
digunakan dalam pengembangan kurikulum ini adalah berbasis pada materi
pelajaran. Ciri yang menonjol dari pengembangan materi dalam kurikulum ini
adalah pengembangan dimensi nilai berdasarkan pancasiala dan UUD 1945.
Dalam kurikulum 1984, pengajaran IPS disekolah khususnya pada jenjang
sekolah menengah diuraikan disiplin ilmu sosial untuk masing masing mata
pelajaran atau bahkan vembahasan tersendiri secara terpisah. Pada hakikatnya,
model kurikulum 1984 untuk jenjang smpdan sma tidak banyak mengalami
perubahan karena sebagai venyempurnaan dari kurikulum 1975. Demikian jugan
untuk jenjang SD, mata pelajaran IPS tidak mengalami perubahan, artinya
kurikulm yang berlaku adalah kurikulum 1975.
4. Pendidikan IPS pada kurikulum 1994
Pada kurikulum 1994, mata pelajaran IPS mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Hal ini terjadi setelah diberlakukannya Undang Undang Nomor
2,1989 tentang sistem pendidikan nasional. Sebagai implikasi dari velakdanaan
UU tersebut muncul kajian kurikuler yang menggantikan mata pelajaran
pendidikan moral pancalisa menjadi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.
Kedudukan mata pelajaran ppkn ini masih teap sebagai mata pelajaran dalam
lingkup IPS khusus dan wajib diikuti oleh semua siswa pada semua jenjang.
Khusus untuk IPS SD, materi pelajaran dibagi atas dua bagian, yakni materi
sejarah pengetahuan sosial, materi pengetahuan sosial meliputi lingkungan
sosial, geografi, ekonomi,, dan politik atau pemerintahan, sedangkan cakupan
materi sejarah meliputi sejarah lokal dan nasional. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan pengetahuan siswa dan keterampilan dasar yang akan
digunakan dalam kehiduvannya serta meningkatkan rasa nasionalisme dari
peristiwa masa lalu hingga masa sekarang agar para siswa memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air.
5. Pendidikan IPS dalam permendiknas
Pada tahun 2003 disahkanlah UU No 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. UU terebut telah menimbulkan dampak yang signifikan
terhadav sistem kurikulum di indonesia. Salah satu implikasi dari ketentuan UU
tersebut adalh lahirnya Peraturan Pemerintah (PP), Nomer 19 tahun 2005
tentang standar nasional pendidikan (SNP). Dalam PP tersebut dikemukakan
bahwa standar nasional adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan
diseluruh wilwyah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut pasal
16
35 UU No 20 tahun 2003, Standar Nasional pendidikan digunakan sebagai
acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, dan pembiayaan.
Sementara dalam pasal 2 ayat (1) PP No 19 tahun 2005 dinyatakan bahwa
lingkup standar nasional meliputi
a. Standar isi
b. Standar proses
c. Standar kompetensi lulusan
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan
e. Standar saran dan prasaran
f. Standar pengelolaan,
g. Standar pembiayaan
h. Standar penilaian pendidikan
Pada pasal 37 UU sikdiknas dikemukakan bahwa mata pelajaran IPS merupakan
muatan yang wajib yang harus ada dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah. Lebih lanjut dikemukanakn pada bagian penjelasan UU Sikdiknas pasal
37 bahwa kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah, ekonomi,
kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkanpengetahuan,
pengalaman, dan kemapuan analisis pesrta didik terhadap kondisi sosial mayarakat.
Dengan adanya ketentuan UU yang meawajibkan IPS sebagai mata pelajaran
dalam sistem pendidikan di indonesian telah menjadikan keduduka IPS semakin jelas
dan kokoh. Hal ini sekaligus menjawab sebagian keraguan dan kekhawatiran yang
pernah dialami oleh para akademisi dan praktisi IPS di berbagai lembaga pendidikan
pada saat sebelum lahirnya UU.
Dijelaskan dalam Hidayati (2008:9) pertimbangan lain dimasukannya social
studies kedalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat menentukan
dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih
menarik dan mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-
bahannya diambil dari kehidupan nyata dilingkungan masyarakat. Bahan atau materi
yang diambil dari pengalaman pibadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan akam,
dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai
makna lebih besar bagi para siswa daripada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit
dari ilmu-ilmu social.

17
E. Pemikiran dalam Pembaharuan Pembelajaran IPS
1. Upaya Pembaharuan di Negara Lain
 Upaya Pembaruan Social Studies Di Amerika Serikat

Adanya pembaruan pendidikan di amerika serikat saat ini telah menyadarkan para
pendidik dan masyarakat umum tentang banyaknya kelemahan dalam program
pembelajaran social studies. Banyak program perubahan yang telah di dukung oleh
dewan nasiona social studies (the national council for the sicial studies –NCS) dan
kelompok profesional lainnya yang berpengaruh.

 Upaya Poembaruan Social Studies Di Australia

Di australia,social studies sebagai suatu mata pelajaran yang di berikan sejak


sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah (P-10) dianggap sebagai mata
pelajaran yang mempunyai kedudukan yang penting di seluruh negara bagian.

 Pendekatan inkuiri (Inquri Approach)

Pembelajaran inkuiri memperkenalkan konsep-konsep untuk para siswa secara


induktif. Belajar dengan menggunakan pendekatan induktif yang mencakup proses
berpikir dari hal-hal yang khusus kepada hal-hal yang bersifat umum dimulai dengan
upaya gurumemperkenalkan sejumlah contoh konsep yang spesifik.

 Kecakapan berpikir kreatif (creatif thinking)

Berpikir kreatif lebih mengutamakan pada pendekatan untuk memecahkan masalah


yang membingungkan. Umumnya para penemu adalah orang-orang kratif. Orang yang
menciptakan musik angklung di jawa barat adalah orang kreatif.

 Kecakapan berpikir kritis (citikal thinking)

Berpikir kritis dapat mendorong siswaa untuk siswa mengeluarkan ide baru.
Pembelajaran keterampilan berfikir kritis kadam\ng-kadang dikaitkan dengan
keterampilan berfikir kreatif.apa bila hal ini dilakukan maka sebagian pembelajaran
berfikir kreatif yang dijadikan sebagai langkah pertama. Selama lamgkah pertama
ini,para siswa dapat membuat ide baru lagi.sedangkan pada langkah berikutnya barulah
mereka menggunakan ketarampilan berfikir kritis untuk melakukan pengujian atau
penilaian terhadap ide-ide ini.

18
 Keterampilan Memecahkan Masalah (problem solving)

Proses pembelajaran dengaan teknik (problem sulving) menvakup langkah-langkah


sebagai berikut:

1. Mengenali adanya masalah.


2. Mencari alternatif pendekan untuk memecahkan masalah itu.
3. Memilih dan menerapkan pendekatan.
4. Mencapai kesimpulan yang dapat di pertanggung jawabkan.

 Proses Pengambilan Keputusan (decesion making process)


Proses pembelajaran dengan pendekatan ‘’decesion making’’ mengikuti langkah-
lamgkah sebagai berikut:
 Mengenal persoalan atau masalah dasar.
 Memberikan jawaban alternatif.
 Mendeksprisikan bukti yang mendukung setiap alternatif.
 Mengenal nilai yang tersirat pada setiap alternatif jawaban .
 Mendeksprisikan kemungkinan akibat yang muncul ketika memilih setiap
alternatif.
 Memuat pilihan dari tiap alternatif.
 Mendeksprisikan bukti dan nilai yang digunakan dalam membuat pilihan.

 Model Ingkuri Sosial


1. Perumusan masalah (problem formation)
2. Perumusan hipotesis (formalition of hypoteses)
3. Defenisi istilah: konseptualisasi
4. Pengumpulan data (collection of data)
5. Penguji dan analisis data (evalotion and analysis of data)
6. Menguji analisis untuk memperoleh generalisasi dan teori
7. Memulai imgkuiri lagi

19
2. Upaya Pembaharuan Pendidikan IPS di Indonesia

1) Pembaharuan kurikulum

Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam sistem pendidikan di Indonesia baru dikenal
sejak lahirnya Kurikulum tahun 1975. Sebelumnya, pembelajaran ilmu-ilmu sosial untuk
tingkat persekolahan menggunakan istilah yang berubah-ubah sesuai dengan situasi politik
pada masa itu. Pembaharuan kurikulum IPS di Indonesia diantaranya :

 Kurikulum 1964 menggunakan istilah Pendidikan Kemasyarakatan. Ada dua


kelompok mata pelajaran, ialah kelompok dasar yang terdirir atas Sejarah
Indonesia dan Geografi Indonesia, Bahasa Indonesia dan Civics dan kelompok
cipta yang terdiri atas Sejarah Dunia dan Geografi Dunia. Dan kemudian
digabungkan selanjutnya berubah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara yang
merupakan korelasi dari ilmu bumi, sejarah dan pengetahuan kewargaan negara.
 Pada tahun 1968 terjadi perubahan pengelompokkan mata pelajaran sebagai
akibat perubahan orientasi pendidikan. Mata pelajaran di sekolah dibedakan
menjadi pendidikan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar dan
pembinaan kecakapan khusus.
 Pada tahun 1975, lahirlah Kurikulum 1975 yang mengelompokkan tiga jenis
pendidikan, yakni pendidikan umum, pendidikan akademis dan pendidikan
keahlian khusus. Dalam Kurikulum 1975 dikemukakan secara eksplisit istilah
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang merupakan fusi (perpaduan)
dari mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi. Selain mata pelajaran IPS,
pendidikan kewarganegaraan dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri ialah
Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam Kurikulum 1975, IPS termasuk
kelompok pendidikan akademis sedangkan PMP termasuk kelompok
pendidikan umum. Namun IPS sebagai pendidikan akademis mempunyai misi
menyampaikan nilai-nilai berdasarkan filsafat Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian mata pelajaran IPS pun berfungsi dan mendukung tercapainya
tujuan PMP.
 Menjelang adanya perbaikan Kurikulum 1975, tahun 1980 muncul bidang studi
PSPB, gagasan dari Mendikbud mata pelajaran ini hampir sejenis dengan IPS

20
Sejarah dan PMP. Upaya perbaikan Kurikulum IPS 1975 (KYD) baru terwujud
pada tahun 1984.
 Kurikulum IPS 1984 pada hakikatnya menyempurnakan atau memperbaiki
kelemahan-kelmahan Kurikulum 1975. Ditinjau dari segi pendekatan
(metodologi) pembelajaran, Kurikulum IPS 1975 dan 1984 menggunakan
pendekatan integrative dan structural untuk IPS SMP dan pendekatan disiplin
terpisah (separated disciplinary approach) untuk SMA. Sedangkan pendekatan
untuk IPS Sekolah Dasar (SD) lebih mirip menggunakan integrative (integrated
approach).
 Pada tahun 1994, terjadi lagi perubahan kurikulum IPS. Dalam Kurikulum 1994
dinyatakan bahwa IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan
sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi,
antropologi, tata negara, dan sejarah. Untuk IPS SD, bahan kajian pokok
dibedakan atas dua bagian, ialah pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian
pengetahuan sosial meliputi lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan
pemerintahan, sedangkan bahan kajian sejarah mencakup perkembangan
masyarakat Indonesia sejak masa lampau hingga kini. Ada perbedaan yang
cukup menonjol dalam Kurikulum IPS Sekolah Dasar 1994 dibandingkan
dengan Kurikulum IPS sebelumnya, yakni dalam metode dan penilaian.
Kurikulum IPS 1994 hanya memberikan anjuran umum bahwa pelaksanaan
proses belajar mengajar hendaknya para guru menerapkan prinsip belajar aktif.
Dari bunyi rambu-rambu yang terakhir ini, menunjukkkan bahwa Kurikulum
IPS 1994 memberikan keleluasaan atau kekuasaan otonom yang cukup besar
terhadap guru.
 Memasuki Abad 21 yang ditandai oleh perubahan mendasar dalam segala aspek
kehidupan khususnya perubahan dalam bidang politik, hukum, dan kondisi
ekonomi telah menimbulkan perubahan ekonomi yang sangat signifikan dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2003 disahkanlah Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang
tersebut telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan
sistem kurikulum di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah melakukan
perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi

21
Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan
keadaan dan kebutuhan setempat
 Ketentuan tentang implikasi dari peraturan perundangan tersebut adalah
dikeluarkannya kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan
(KTSP) beserta pedomannya dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dengan panduan KTSP
yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 ini, antara IPS dan PKn
dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli
pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu
perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn
meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara
yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara
terpisah dengan IPS.

2) Pembaharuan KBM

IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan
perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan
lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa
kini, dan diantisiapsi untuk masa yang akan datang.

Ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui
IPS, di antaranya:

1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-


pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan
pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative
learning. Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja
menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru
sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk

22
berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja
kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini
artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber
yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru
selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati
proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk
pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social skill) selama
kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra
pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS
dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal
memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan
dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis
harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam
mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber
yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan
dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk
memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif
siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat
melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi
yang diterima.
3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan
keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau
informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada
beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:

a. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic
dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam
memcahkan masalah.

b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu,


mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi
mereka secara pribadi.

23
c. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya
sebagai pusat kegiatan belajar.

Supardi (2008) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi berdaya apabila
proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:

a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang


mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam
topik-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara
penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan
pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan pada
perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan
terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan,
perberlakuan dan assessment pembelajaran.

Hambatan Pembaharuan Pendidikan IPS di Indonesia

Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan
harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak
berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:

1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar
yang dapat merangsang motivasi belajar siswa.
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi
proses belajar IPS.
3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran
konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak
mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat
sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor

24
ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini
sebagaimana mestinya.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan salah satu mata pelajaran yang dimasukan dalam
kurikulum pendidikan di Indonesia yang mulai dikenalkan pada kurikulum 1975. IPS
diturunkan dari ilmu-ilmu social yang dipadukan dengan ilmu pendidikan untuk
menjawab tantangan nasional, khususnya tentang kewarganegaraan. Setiap Negara di
dunia mengajarkan studi social/IPS dengan latar belakang yang berbeda-beda. Inggris
menganggap social study penting akibat dari masalah revolusi industry yang terjadi di
negaranya, Amerika dengan masalah kewarganegaraannya yang beragam sehingga
berbuntut pada masalah genosida. G30SPKI merupakan latar belakang tercetusnya Ilmu
Pengetahuan Sosial di masukan dalam kurikulum di Indonesia.
Melihat dari latar belakang dimasukannya IPS/Social Study di dalam kurikulum setiap
negara, sangat jelas bahwa mata pelajaran ini memiliki misi yang sangat besar untuk
mengajarkan tentang kemanusiaan bagi setiap warga negaranya. Terlebih era teknologi
seperti sekarang pandangan terhadap norma kemanusiaan sebagai pedoman
bermasyarakat sudah mulai luntur. Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu
mengenal masyarakat dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat
belajar melalui media cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui
pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan
siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan
bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam
kehidupannya.

B. Saran
Mahasiswa Pendidikan Ekonomi sebagai calon guru seharusnya memahami betul
sejarah IPS ini sebagai acuan dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut kepada siswa.
Sehingga dengan memahaminya, guru akan sejalan dengan pemikiran para ahli untuk
mengatasi masalah kemanusiaan dengan mengajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial/Social
Study sejak dini. Pengajaran yang baik dalam kelas akan memberikan makna yang kuat

26
dalam diri siswa sehingga akan melekat terus sebagai pribadi anggota masyarakat yang
baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alma, Buchori. (2010). Pembejaran Studi Sosial. Bandung: CV. ALFABHETA


Djahiri, A. Kosasih. (1981). Ilmu-ilmu Sosial dalam IPS Persekolahan dan Program
IKIP(FPIS). Jakarta: Depdikbud
Hidayati dkk. (2008). Pengembangan Pendidikan IPS SD. Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Noor, Arifin. (1997). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: CV. Pustaka Setia
Numan, Somantri Muhammad. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Sanusi, Achmad. (1971). Studi Sosial di Indonesia. Bandung: IKIP
Sapriya. (2014). Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Sardjiyo. (2014). Pendidikan IPS di SD. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka
Saripudin, Sumanah (2011). Dinamika Konseptualisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
(PIPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jurnal Pendidikan. Volume 12, No. 1, 1-20
Sumaatmadja, Nursid. (2006). Konsep dasar IPS. Jakarta : Universitas Terbuka
Susanto, Ahmad. (2014). Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Jakarta:
Prenada Media

28

Anda mungkin juga menyukai