Disusun oleh :
NIM: (20800119027)
PGMI: 2
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmat – Nyalah saya bisa menyusun makalah mata kuliah IPS ini dengan sebaik-
baiknya.
Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kita dalam mempelajari tentang sejarah perkembangan IPS di Indonesia, sehingga
makalah ini ada manfaatnya khususnya bagi saya umumnya bagi pembaca.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu Kritik dan saran sangat saya nantikan demi perbaikan
penyusunan makalah dalam masa mendatang.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…………………………... i
BAB I PENDAHULUAN…………………………….………………………………………………………………..1
1.3 Tujuan……………………….…………………………….………………………………….…………………….2
1.4 Manfaat……………………………………………….……………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………….………..…………………….……………......3
3.1 Kesimpulan……………………………………………………..………..……...……………………………..11
3.2 saran………………………………………………………………....…………………………………………… 11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………….…………………………………………………………...12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah IPS di Sekolah Dasar
dan agar mahasiswa dapat memperoleh pemahaman mengenai sejarah
perkembangan IPS di Indonesia.
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu setelah membaca makalah ini diharapkan
para mahasiswa memiliki kemampuan untuk menjelaskan perkembangan IPS.
Secara khusus mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk;
1. Menjelaskan hakikat IPS
2. menjelaskan sejarah perkembangan IPS di Indonesia
3. Menjelaskan paradigma pembangunan dalam bidang PDIPS
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat IPS
Pada bab ini akan diuraikan secara ringkas tentang Pokok Bahasan Hakikat IPSyang
meliputi;Rasional, Sejarah, Definisi, dan Tujuan mempelajari IPS serta Sub PB
Konsep-konsep
Dasar IPS, Ilmu-ilmu Sosial dan Bidang Studi lain, dalam hubungannya dengan IPS.
Namun sebelumnya akan di perjelas istilah kata hakikat IPS. Hakikat IPS dapat
diartikan sebagai kebenaran, kenyataan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1985).
Jadi IPS adalah suatu kebenaran IPS, atau kenyataan IPS, dan apa sebenarnya IPS itu.
2. Integrasi dari berbagai cabang Ilmu Sosial seperti: Sejarah, Geografi, Ekonomi,
Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik dan Psykologi sosial.
4. IPS bukan Ilmu Sosial walaupun bidang perhatiannya sama yaitu hubungan timbal
balik antara manusia (human relation ship).
Konsep IPS pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun
1972-1973, yakni dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir
dalam Seminar Civic Education di Tawangamangu itu, seperti Achmad Sanusi,
Numan Somantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP
Bandung, dan para pengembangan Kurikulum PPSP IKIP Bandung berperan sebagai
anggota tim pengembang kurikulum tersebut. Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP
digunakan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan Negara/Studi Sosial” sebagai mata
pelajaran sosial terpadu penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya
peengaruh dari konsep pengajaran sosial yang walaupun tidak diberi label IPS, telah
diadopsi dalam kurikulum SD tahun 1968. Dalam kurikulum tersebut digunakan
istilah Pendidikan Kewarganegaraan yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia,
Ilmu bumu Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai pengetahuan Kewargaan
Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan
sama dengan pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilahstudi nampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran sebuah manuskrip berjudul studi sosial: “Pengantar
menuju Sekolah Komprehensif yang isinya diwarnai oleh pemikiran Leonard
Kenworth, (1970) dengan bukunya Teaching Social Studies.Sedangkan dalam
kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun,digunakan istilah yakni (1) “studi Sosial”
sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk mata
pelajaran sosial yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai mata
pelajaran mayor pada jurusan IPS, (2) “Pendidikan Kewargaan Negara” sebagai mata
pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) “Civics dan Hukum” sebagai mata
pelajaran mayor pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung, 1973a, 1073b).
Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan
pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang
IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini konsep pendidikan IPS diwujudkan
dalam 3 bentuk, yakni: pendidikan IPS, terintegrasi dengan nama Pendidikan
Kewargaan Negara/Sudi Sosial;pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya
digunakan sebagai konsep payung untuk mata pelajaran geografi, sejarah, dan
ekonomi;pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS
khusus, yang dalam konsep tradisi social studies termasuk “citizenship transmission”
(Barr, dkk; 1978).
Di SMU bidang pendidikan IPS terpisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional
dan Sejarah Umum di kelas I dan II; ekonomi dan geografi di kelas I dan II; sosiologi
di kelas II; Sejarah Budaya di kelas program IPS.
Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran sosial memiliki tujuan yang bervariasi.
Mata pelajaran sejarah nasional dan sejarah umum bertjuan untuk “menanamkan
pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini,
menumbuhkan rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas
wawasan hubungan masyarakat antarbangsa di dunia: (Depdikbud, 1993; 2324).
Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan
kewarganegaraan atas tradisi citizenship transmission (Barr,dkk.; 1978). Mata
pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan
teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi
yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk
program IPS mata pelajaran ekonomi ini bertujuan untuk “…untuk memberikan
bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk
menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud,
1993:29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan
ekonomi di SMU baik untuk program umummaupun program IPS mengisyaratkan
diterapkannya tradisi social studies taught as social science (Barr,dkk:1978).
Tradisi ini nampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi,
Tata Negara, Seni Budaya, Antropologi sebagaimana dapat dikaji dari masing-masing
tujuannya. Mata pelajaran Sosiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan
kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan sehari-hari yang muncul
seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya,menanamkan kesadaran
perlunya ketentuan masyarakat, dan mampu menempatkan diri dalam berbagai
situasi sosial dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di
masyarakat” (Depdikbud,1993:30). Sedangkan mata pelajaran Tata Negara
menggariskan tujuan “… untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami
penyelenggaraan Negara sesuai dengan tata kelembagaan Negara, tata peradilan,
sistem pemerintahan Negara RI maupun Negara lain” (Depdikbud: 1993: 31).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran
Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk “menanamkan pengertian
adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa
kini, dan masa mendatang sehingga dan siswa menyadari dan menghargai hasil dan
nilai budaya pada masa lampau dan masakini” (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga
dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorientasikan pada
upaya untuk “memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan,
pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bangsa
sendiri,” dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk “… menanamkan kesadaran
tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat
serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat” (Depdikbud,
1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran IPS yang terwujudkan dalam kurikulum
sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Ibdonesia mempunyai dua
konsep pendidikan IPS, yakni: pertama pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi
citizenship transmission dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam
tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah di SMU, yang
terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD. Selanjutnya perlu untuk dikaji
lebih jauh bagaimana perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS ini, bila
dilihat dari kajian konseptial para pakar Indonesia. Dalam pembahasannya tentang
“perspektif pendidikan ilmu (pengetahuan) Sosial, Achmad Sanusi (1998) dalam
konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP,
menyinggung sedikit tentang pengajaran IPSdi sekolah. Sanusi (1998:222-227)
melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikbertkan pada penguasaan
hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak
miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru
sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang mengulit bawang”; rendahnya rasa
percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran,kontradiksi materi
dengan kenyataan, dominannya latihan berpikir taraf rendah,guru yang tidak
tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan
dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi
(1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup
peningkatan mutu SDM dalan hal ini agar guru lebih mampu mengembangkan
kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan
sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu pula diperlukan upaya
konseptual, Sanusi (1998) :24-247) menyarankan perlunya batasan yang jelas
mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang
pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemillihan dan pengorganisasian tema-tema
pembelajaran yang di nilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntunan perubahan dalam masyarakat.
PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora,
serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar
manusia yang diorganisir dan disajikan secara olmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan”.
Jika dilihat dari pokok-pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Somantri selaku
ketua HISPISI (Somantri: 1998) “Position Paper” itu akan menyajikan penegasan
mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau menurut Hartoonian
(1992) sebagai integred system of knowledge.
Oleh karena itu, PIPS tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS,
direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi
pendidikan disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat PDIPS. Dengan demikian
kelihatannya HISPISI akan memegang dua konsep yakni konsep IPS untuk dunia
persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS masih
perlu dikembangkan adalah logika internal dan struktur dari kedua sistem
pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki jati dari
konseptual yang unik dan dapat dipahami lebih jernih.
Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks orang lebih luas tampaknya cukup
prospektif. Misalnya, Dahlan (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis
pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu
Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Alfian ketika mengenang tokoh LIPI
Profesor Sarwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam perspektif
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi di Indonesia, yang seyogianya
memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat, ketekunan
yang luar biasa, integritas diri yang kokoh, wibawa yang mantap, rasa tanggung
jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam. Dilihat dari perkembangan
pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah
dalam dua arah, yakni pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya
merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang
diorganisasikan secara psikopedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan
kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya
merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta
psikopedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan untuk
tujuan pendidikan profesional guru IPS.PIPS merupakan salah satu konten dalam
PDIPS.
PIPS di dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik
pedagogis, yakni pertama, PIPS dalam tradisi citizenship transmission dalam bentuk
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia;
dan kedua, PIPS dalam tradisi social science dalam bentuk mata pelajaran IPS
terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS
terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN
dan UU No.9/1998 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Bidang pengetahuan yang bersifat ilmiahini dikenal sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagai cirri tambahan, Dufty (1967 dalam Somantri , 1993;1998) menyebutkan
adanya a community of scholars atau masyarakat atau komunitas ilmiah yang
menjadi pendukung, pemelihara, dan pengembang disiplin itu. Ahli lainnya 9 anonim
dalam Somantri, 1998: 7) menambahkan empat syarat lainnya, yakni the societal
goals, the heritage and value, the dimension of interrelationship of today world,an
aspecific process of national inquiry and tenets of good scholarship. Maksudnya,
suatu disiplin itu selain harus memiliki logika internal sebagaimana telah
dikemukakan oleh Goldmark dalam Banks (1977), juga perlu memiliki logika
eksternal: memberi kontribusi terhadap masyarakat,mengusung peradaban dan
nilai, berkaitan dengan kehidupan dunia saat ini, dan mencerminkan adanya
pemikiran nasionaldan kepakaran yang baik.
Logika internal disiplin ilmu seperti dikemukakan oleh Goldmark tersebut di atas,
pada dasarnya mencerminkan apa yang menjadi bidang telaah dan bagaimana
pengetahuan itu digali dan dikembangkan dengan mengikuti prinsip dan produser
yang baku. Dalam wacana filsafat pengetahuan (suriasumantri, 1984; 1986).
Kerangka pemikiran tersebutdi kenal sebagai “ landasan ontology dan epistomologi
“. Sedangkan logika eksternal seperti di kemukakan oleh dufty (1997) dan somantri
(1998),pada dasarnya mencerminkan sebagaimana seharusnya pengetahuan itu di
gunakan sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat,
Negara, dan apabila mungkin terhadap masyarakat dunia.dalam wacana filsafat
pengetahuan kerangka pemikiran tersebut di kenal sebagai “ landasan aksiologi”.
Apabila di lihat dari kriteria dasar pengetahuan ilmiah tersebut, apakah PDIPS
sudahdapat di anggap dan di terima sebagai sistem pengetahuan ilmiah? Untuk
menjawab pertanyaan ini, ada 3 pertanyaan substansi yang di bahas, yakni:
Dilihat dari banyaknya dimensi yang diidentifikasi tercakup dalam bidang telaah
PDIPS, dapat dikatakan bahwa sistem pengetahuan PDIPS itu ternyata bersifat
multidimensional. Melihat sifat multidimensionalnya itu, Somantri (1998) menyikapi
PDIPS sebagai suatu synthetic discipline atau sebagai suatu integrated knowledge
system menurut Hartoonian (1992). Dalam perkembangan pengetahuan, fenomena
ini tumbuh sebagai konsekuensi logis dari hakikat, masalah dan perkembangan
masyarakat. We know that life is integrated Therefore, unless we construct
curriculum or instructional programs based upon this truth, we put our student at
risk.We also know that knowledge is culturally and historically determined demikian
dikemukakan oleh Hartoonian (1992:162). Pandangan ini sangat realistik dan dapat
diterima.
Hal yang dimaksud dengan paradigma atau paradigm adalah accepted pattern or
model: (Kuhn: 1970). Secara operasional paradigm pembangungan pengetahuan
dalam bidang PDIPS diartikan sebagai pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang
tertata secara utuh yang seyogianya digunakan oleh para pakar atau ilmuwan PDIPS
dalam melakukannkegiatan “konstruksi, interpretasi, transformasi, dan rekonstruksi
(KITR)” pengetahuan sampai pada akhirnya ditemukan teori(Sanusi, 1998: 19).
Teori inilah yang pada gilirannya membangun suatu sistem pengetahuan atau disiplin
ilmu. Namun demikian disiplin itu sendiri tidak bisa dipandang hanya sebagai
akumulasi informasi, fakta, teori, atau paradigm. Melainkan sistem berpikir
(Wilardjo, 1987;Pranarka, 1987 dalam Supriadi, 1998: 19). Sejalan dengan
pandangan tersebut Mehlinger (Somantri, 1998: 89) menegaskan bahwa dalam
perkembangannya saat itu suatu disiplin bukanlah sesuatu yang statis, tetapi
menunjukkan cirri-ciri sebagai berikut.
5.The disciplines are in general our most reliable source of information about society.
Pandangan di atas memberikan suatu visi dinamis dari perkembangan disiplin, karena
disiplin disikapi sebagai domain akademik yang selalu berubah, saling merangsang
antara disiplin sehingga menghasilkan teori baru; keberhasilannya diukur dari
pencapaian terhadap tujuannya; merupakan pencerminan nilai, dan merupakan
sumber informasi bagi masyarakat. Visi tersebut, sangat tepat dan dapat diterima
karena memang realita kehidupan atau menurut Sanusi (1998) real life system (RLS)
bersifat multifaset dan berubah dengan cepat, yang pada gilirannya menuntut upaya
untuk melakukan observasi, interpretasi, konstruksi, transformasi dan rekonstruksi
orang juga dinamis. Apabila rangkaian kegiatan itudilakukan dengan semangat dan
komitmen keilmuwan yang tepat, akan menghasilkan suatu sistem pengetahuan baru.
Berkenaan dengan hal tersebut, apa yang dikatakan Goldstein (1980, Supriadi, 1998:
20).
“… scince is not dry, orderly compilation of useful fact, although some of those
hold the negative view of science may thunk that it is. Science is an activity of
creative and imaginative human beings, not computers and other machines The
creativity and imagination must be controlled by disciplin and self critism”.
Dengan menggunakan visi dinamis dari perkembangan ilmu tersebut maka
tumbuhnya sistem pengetahuan yang baru yang kemudian berkembang menjadi
disiplin baru, bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi justru merupakan kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri. Hal ini juga merupakan cirri-ciri dari perkembangan ilmu
pasca-positivisme, yang oleh Kuhn (1970) dilukiskan bahwa ilmu berkembang
melalui alur perjalanan historis epistemologis yang dimulai dari tahap pra-
paradigmatik; diterimanya paradigm secara meluas yang melahirkan ilmu normal;
ditemukannya paradigm baru yang lebih handal. Namun demikian, tidaklah berarti
bahwa kemudian ilmu itu berhenti, tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Goldstein
dalam kutipan di atas, proses ilmu itu akan berlangsung terus secara dinamis
mengikuti dinamikanya pemikiran manusia dalam menghadapi fenomena tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk pengembangan PDIPS sebagai suatu sistem yang terpadu, perlu diupayakan
pengembangan sinergi akademis dan pedagogis PDIPS pada FPIPS dan komponen
akademis dan pedagogis PDIPS pada FPIPS serta PPS IKIP/dan penelitian semua
komponen PIPS dan PDIPS.
PDIPS sebagai suatu sistem pengetahuan terpadu yang perlu dikaji secara terus-
menerus melalui berbagai upaya penelitian, pengembangan, dan penerapan (research,
development, and diffusion) yang melibatkan para pakar dan praktisi dalam bidang
PIPS dan PDIPS. Dengan demikian, PDIPS dapat berkembang memenuhi tuntutan
sebagai suatu disiplin.
3.2 Saran
Demikian makalah yang penulis buat dengan segala kekurangan dan keterbatasan
penulis.oleh karena itu, penulis mohon saran dan kritik yang kontruktif demi
perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Saripudin, U. W. (1989). Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Ilmu Sosial di Sekolah
Menengah. Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti. Proyek Pengembangan LPTK.
Myers, C. B. et.al. (2000). National Standards for Social Studies Teacher 2. Program
Standards for The Initial Preparation of Social Studies Teachers, Washington DC:
National Council for The Social Studies.