Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA

Dosen pembimbing: Immawati Nur Aisyah Rivai, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :

NAMA: ST. ULIUL ASMI

NIM: (20800119027)

PGMI: 2

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmat – Nyalah saya bisa menyusun makalah mata kuliah IPS ini dengan sebaik-
baiknya.

Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
kita dalam mempelajari tentang sejarah perkembangan IPS di Indonesia, sehingga
makalah ini ada manfaatnya khususnya bagi saya umumnya bagi pembaca.

Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu Kritik dan saran sangat saya nantikan demi perbaikan
penyusunan makalah dalam masa mendatang.

Samata, 5 Juni 2020

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..…………………………... i

DAFTAR ISI ………………………….…………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………….………………………………………………………………..1

1.1 Latar belakang……………………………………………………………………………………….…………...

1.2 Rumusan masalah………………….…………………………….…………………………………………...2

1.3 Tujuan……………………….…………………………….………………………………….…………………….2

1.4 Manfaat……………………………………………….……………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………….………..…………………….……………......3

2.1 Hakikat IPS……………………………………………………………………………..…………………………3

2.2 Sejarah Perkembangan IPS di Indonesia…………………………………..………………………..4

2.3 Paradigma Pembangunan Dalam Bidang PDI……………………………………………………..5

BAB III PENUTUP…………………………………………………..………………………………………………..11

3.1 Kesimpulan……………………………………………………..………..……...……………………………..11

3.2 saran………………………………………………………………....…………………………………………… 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………….…………………………………………………………...12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah IPS di Sekolah Dasar
dan agar mahasiswa dapat memperoleh pemahaman mengenai sejarah
perkembangan IPS di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa hakikat IPS ?


2. Apa sejarah perkembangan IPS di Indonesia ?
3. Apa paradigma pembangunan dalam bidang PDIPS ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui hakikat IPS


2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan IPS di Indonesia
3. Untuk mengetahui paradigma pembangunan dalam bidang PDIPS

1.4 Manfaat

Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu setelah membaca makalah ini diharapkan
para mahasiswa memiliki kemampuan untuk menjelaskan perkembangan IPS.
Secara khusus mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan untuk;
1. Menjelaskan hakikat IPS
2. menjelaskan sejarah perkembangan IPS di Indonesia
3. Menjelaskan paradigma pembangunan dalam bidang PDIPS

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Hakikat IPS

Pada bab ini akan diuraikan secara ringkas tentang Pokok Bahasan Hakikat IPSyang
meliputi;Rasional, Sejarah, Definisi, dan Tujuan mempelajari IPS serta Sub PB
Konsep-konsep

Dasar IPS, Ilmu-ilmu Sosial dan Bidang Studi lain, dalam hubungannya dengan IPS.
Namun sebelumnya akan di perjelas istilah kata hakikat IPS. Hakikat IPS dapat
diartikan sebagai kebenaran, kenyataan yang sebenarnya (Poerwadarminta, 1985).
Jadi IPS adalah suatu kebenaran IPS, atau kenyataan IPS, dan apa sebenarnya IPS itu.

Hakekat IPS itu adalah:

1. Perwujudan dari satu pendekatan Interdisipliner dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial.

2. Integrasi dari berbagai cabang Ilmu Sosial seperti: Sejarah, Geografi, Ekonomi,
Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik dan Psykologi sosial.

3. Menampilkan permasalahan sehari-hari masyarakat sekeliling.

4. IPS bukan Ilmu Sosial walaupun bidang perhatiannya sama yaitu hubungan timbal
balik antara manusia (human relation ship).

5. IPS hanya terdapat pada program pengajaran di sekolah.

6. IPS merupakan penyederhanaan Ilmu sosial untuk pengajaran.

2.1 Sejarah perkembangan IPS di Indonesia


Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia
secara historis terasa sngat sukar karena ada dua alasan.Pertama,di Indonesia belum
ada lembaga professional bidang pendidikan IPS sepertiCSS.Pengaruhnya lembaga
serupa yang memiliki Indonesia,yakni,HISPISI (Himpunan Serjana Pendidikan IPS
Ibdonesia)usiannya masih sanggat muda dan produktivitas akademinya sanggat
secara insidenstal.kedua,perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai
ontology ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada
pemikiran individual atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental
untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui pusat pengembangan
kurikulum dan sarjanapendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang
Diknas) dan pusat kurikulum (puskur).Pengaruh akademis dari HISPISI secara
institusional terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas,sebatas yang
tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan
tersebutjadi sangat jauh berbedadengan peranan dan konstribusi Social Studies
Curriculum Task Force-Nya di Amerika Serikat.

Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia


akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS dalam dunia persekolahan
dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan
dalam bidang itu,yang secara sporadis dan yang dapat dijangkau.Istilah IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial), untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang
Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo menurut laporaan Seminar
tersebut (Panitia Seminar Nasional Civic Education,1972:2,dalam
Winatapura,1978:42) ada 3 istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai
(interchangeably), yakni: pengetahuan sosial,studi sosial,danilmu pengetahuan sosial
Ketiga istilah ini diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah sosial yang dipilih
dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan
agar masalah-masalah sosial itu dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosial
sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum
sekolah, tetapibaru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut.
Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah IPA (Ilmu
Pengetahuan Alam) dalam wacana akademis Pendidikan Sains, pengertian IPS yang
disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam
perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan kemunculan
pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley dalam pertemuan pertama
NCSShun 1937 yang segera mendapat respons akademis secara meluas dan
melahirkan kontroversi akademik, pemunculan pengertian IPS dengan mudah
diterima dengan sedikit komentar.

Konsep IPS pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun
1972-1973, yakni dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir
dalam Seminar Civic Education di Tawangamangu itu, seperti Achmad Sanusi,
Numan Somantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP
Bandung, dan para pengembangan Kurikulum PPSP IKIP Bandung berperan sebagai
anggota tim pengembang kurikulum tersebut. Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP
digunakan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan Negara/Studi Sosial” sebagai mata
pelajaran sosial terpadu penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya
peengaruh dari konsep pengajaran sosial yang walaupun tidak diberi label IPS, telah
diadopsi dalam kurikulum SD tahun 1968. Dalam kurikulum tersebut digunakan
istilah Pendidikan Kewarganegaraan yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia,
Ilmu bumu Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai pengetahuan Kewargaan
Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut konsep IPS diartikan
sama dengan pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilahstudi nampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran sebuah manuskrip berjudul studi sosial: “Pengantar
menuju Sekolah Komprehensif yang isinya diwarnai oleh pemikiran Leonard
Kenworth, (1970) dengan bukunya Teaching Social Studies.Sedangkan dalam
kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun,digunakan istilah yakni (1) “studi Sosial”
sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk mata
pelajaran sosial yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai mata
pelajaran mayor pada jurusan IPS, (2) “Pendidikan Kewargaan Negara” sebagai mata
pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) “Civics dan Hukum” sebagai mata
pelajaran mayor pada jurusan IPS (PPSP IKIP Bandung, 1973a, 1073b).

Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan
pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang
IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini konsep pendidikan IPS diwujudkan
dalam 3 bentuk, yakni: pendidikan IPS, terintegrasi dengan nama Pendidikan
Kewargaan Negara/Sudi Sosial;pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya
digunakan sebagai konsep payung untuk mata pelajaran geografi, sejarah, dan
ekonomi;pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS
khusus, yang dalam konsep tradisi social studies termasuk “citizenship transmission”
(Barr, dkk; 1978).

Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum


1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui
Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidika IPS menampilkan empat profil,
yakni berikut ini.

Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk


pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi citizenship transmissionPendidikan IPS
terpadu untuk sekolah dasar.Pendidikan IPS terkompermasi untuk SNPI yang
menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pembelajaran
georgrapi, sejarah dan ekonomi koperasi.pendidikan IPS terpisah-pisah yang
mencakup mata pelajaran sejarah dan geografi,dan ekonomi untuk SMA atau
sejarah dan geografi untuk SPG (Dep.P dan K. 1975a; 1975b; 1975c;1976).Konsep
pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum1984, Yang menang
secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975 penyempuraan
yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi kurikum materi yang disesuaikan
dengan perkembangan baru dalam masing – masing disiplin, seperti masuknya
pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila (P4) sebagai materi
pokokpendidikan moral pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak
mengalami perubahan yang mendasar.Dengan berlakunya undang-undang No.
2/1989 tentang sistem pendidikan nasional.dalam wancana pendidikan pancasila
dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian, ketika ditetapkannya kurikulum 1994
menggantiakan kurikulum 1984, kedua bahan kajian tersebut dikembangkan
menjadi satu mata pelajaran Penidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN).
Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS
yang khusus mewadahi tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butir-
butir nilai pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan Spiral of
Concept development ala Taba (Taba 1967) dan Expanding environment approach
ala Hanna (Dufty ; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila
pancasila.Dalam kurikulum 1994 mata pelajaran PPKN merupakan mata pelajaran
sosial khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa dalam setiap jenjang pendidikan
(SD, SLTP, dan SMU). Sedang mata pelajaran IPS diwujudkan dalam;

1.pendidikan IPS terpadu di SD kelas III sampai dengan VI;

2.pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah,


dan ekonomi koperasi;
3.pendidikan IPS terpisah,yang mirip dengan tradisi “Social Studies” taught as social
scince menurut (Barr,dkk ;1978).

Di SMU bidang pendidikan IPS terpisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional
dan Sejarah Umum di kelas I dan II; ekonomi dan geografi di kelas I dan II; sosiologi
di kelas II; Sejarah Budaya di kelas program IPS.

Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran sosial memiliki tujuan yang bervariasi.
Mata pelajaran sejarah nasional dan sejarah umum bertjuan untuk “menanamkan
pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini,
menumbuhkan rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas
wawasan hubungan masyarakat antarbangsa di dunia: (Depdikbud, 1993; 2324).
Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan
kewarganegaraan atas tradisi citizenship transmission (Barr,dkk.; 1978). Mata
pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan
teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi
yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk
program IPS mata pelajaran ekonomi ini bertujuan untuk “…untuk memberikan
bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk
menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud,
1993:29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan
ekonomi di SMU baik untuk program umummaupun program IPS mengisyaratkan
diterapkannya tradisi social studies taught as social science (Barr,dkk:1978).

Tradisi ini nampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi,
Tata Negara, Seni Budaya, Antropologi sebagaimana dapat dikaji dari masing-masing
tujuannya. Mata pelajaran Sosiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan
kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan sehari-hari yang muncul
seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya,menanamkan kesadaran
perlunya ketentuan masyarakat, dan mampu menempatkan diri dalam berbagai
situasi sosial dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di
masyarakat” (Depdikbud,1993:30). Sedangkan mata pelajaran Tata Negara
menggariskan tujuan “… untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami
penyelenggaraan Negara sesuai dengan tata kelembagaan Negara, tata peradilan,
sistem pemerintahan Negara RI maupun Negara lain” (Depdikbud: 1993: 31).

Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran
Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk “menanamkan pengertian
adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa
kini, dan masa mendatang sehingga dan siswa menyadari dan menghargai hasil dan
nilai budaya pada masa lampau dan masakini” (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga
dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorientasikan pada
upaya untuk “memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan,
pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bangsa
sendiri,” dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk “… menanamkan kesadaran
tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat
serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat” (Depdikbud,
1993: 33).

Bila disimak dari perkembangan pemikiran IPS yang terwujudkan dalam kurikulum
sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Ibdonesia mempunyai dua
konsep pendidikan IPS, yakni: pertama pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi
citizenship transmission dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam
tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah di SMU, yang
terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD. Selanjutnya perlu untuk dikaji
lebih jauh bagaimana perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS ini, bila
dilihat dari kajian konseptial para pakar Indonesia. Dalam pembahasannya tentang
“perspektif pendidikan ilmu (pengetahuan) Sosial, Achmad Sanusi (1998) dalam
konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP,
menyinggung sedikit tentang pengajaran IPSdi sekolah. Sanusi (1998:222-227)
melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikbertkan pada penguasaan
hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak
miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru
sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang mengulit bawang”; rendahnya rasa
percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran,kontradiksi materi
dengan kenyataan, dominannya latihan berpikir taraf rendah,guru yang tidak
tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan
dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi
(1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup
peningkatan mutu SDM dalan hal ini agar guru lebih mampu mengembangkan
kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan
sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu pula diperlukan upaya
konseptual, Sanusi (1998) :24-247) menyarankan perlunya batasan yang jelas
mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang
pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemillihan dan pengorganisasian tema-tema
pembelajaran yang di nilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntunan perubahan dalam masyarakat.

Domensi konseptual mengenai pendidikan IPS nampaknya telah berulang kali


dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama tahun
1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di
Padang tahun 1992, di ujung Pandang tahun 1993, konvensi pendidikan kedua di
Medan tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda pembahasan
adalah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan ujung Pandang tahun 1993, M.
Numan Somantri selaku pakar dan ketua HISPISI (Somantri: 1993) kembali
menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan
Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut.

“Versi PIPS untuk pendidikan Dasar dan Menengah:

PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora,
serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.

Versi PIPS untuk jurusan Pendidikan IPS-IKIP:

PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar
manusia yang diorganisir dan disajikan secara olmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan”.

Kelihatannya HISPISI ingin mencoba menjernihkan penfertian PIPS dengan cara


menggunakan label yang sama, yakni PIPS, tetapi dengan dua pengertian, yakni
pengertian PIPS untuk pendidikan persekolahan dan untuk pendidikan tinggi untuk
guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP, dari dua versi pengertian itu, yang membedakannya,
dalam format sistem pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan
penyederhanaan atau sama dengan gagasan Wesley (1937) dengan konsep ”social
science simflied”…”sedang untuk pendidikan guru IPS berupa seleksi. Namun,
rasanya perbedaannya tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang pendidikan itu,
yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak,
sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf pendidikan tinggi. Kedua
pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dengan pertemuan Terbatas
HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri,1998:56), dan
disepakati akan menjadi salah satu esensi dari position paper HISPISI tentang Disiplin
PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.

Jika dilihat dari pokok-pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Somantri selaku
ketua HISPISI (Somantri: 1998) “Position Paper” itu akan menyajikan penegasan
mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau menurut Hartoonian
(1992) sebagai integred system of knowledge.

Oleh karena itu, PIPS tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS,
direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi
pendidikan disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat PDIPS. Dengan demikian
kelihatannya HISPISI akan memegang dua konsep yakni konsep IPS untuk dunia
persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS masih
perlu dikembangkan adalah logika internal dan struktur dari kedua sistem
pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki jati dari
konseptual yang unik dan dapat dipahami lebih jernih.

Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks orang lebih luas tampaknya cukup
prospektif. Misalnya, Dahlan (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis
pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu
Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Alfian ketika mengenang tokoh LIPI
Profesor Sarwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam perspektif
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi di Indonesia, yang seyogianya
memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat, ketekunan
yang luar biasa, integritas diri yang kokoh, wibawa yang mantap, rasa tanggung
jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam. Dilihat dari perkembangan
pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah
dalam dua arah, yakni pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya
merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang
diorganisasikan secara psikopedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan
kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya
merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta
psikopedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan untuk
tujuan pendidikan profesional guru IPS.PIPS merupakan salah satu konten dalam
PDIPS.

PIPS di dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik
pedagogis, yakni pertama, PIPS dalam tradisi citizenship transmission dalam bentuk
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia;
dan kedua, PIPS dalam tradisi social science dalam bentuk mata pelajaran IPS
terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS
terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN
dan UU No.9/1998 tentang sistem Pendidikan Nasional.

Perkembangan pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh pada pemikiran


mengenai PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP. Pendidikan IPS pada program perguruan tinggi
pendidikan IPS, sampai saat ini memang dibina oleh IKIP STKIP dan FKIP. Apabila
dilihat dari visi epistemologi, pendidikan IPS merupakan satu sistem pengetahuan
terpadu yang sedang tumbuh menjadi suatu disiplin baru dalam wacana keilmuwan
kependidikan. Untuk sementara sebagai embrio HISPISI member nama disiplin itu
pendidikan disiplin IPS.
Secara filsafat ilmu pengetahuan bagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang
bersifat ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang terorganisasikan dan
bersistem yang di gali dan di bangun dengan menggunakan pendekatan ilmiah
menurut Goldmark (1968, dalam Banks, 1977: 16) pendidikan ilmiah atau science
method bertolak dari asumsi … that truth os neither absolute nor unchanging.
Rather truth is a judgment that, by the agreement of an informed community,
produces desirable result. ”Bahwa suatu kebenaran tidaklah mutlak dan tida
berubah, akan tetapi merupakan suatu kesimpulan yang disepakati komunitas yang
memahaminya dengan baik dan menghasilkan sesuatu. Selanjutnya ditegaskan
bahwa, all judgment should be held as hypotheses to be tested, evaluated, and
reconstructed. “Maksudnya, segala kesimpulan tersebut seyoginya disikapi sebagai
jawaban sementara yang harus diuji, dievaluasi, dan direkonstruksi. Juga tak kalah
pentingnya adalah asumsi bahwa setiap orang lain dapat menerima suatu
kesimpulan dengan menggunakan metode yang terbuka, bersistem, dan dapat dikaji
ulang. Dengan kata lain, Goldmark dalam Banks (1977: 16-17) menyimpulkan bahwa
suatu metode ilmiah memiliki cirri-ciri systematized, precise, expanding, testable,
open it public judgment, demands responsibility and reconstructable. Artinya,
kegiatan itu memiliki struktur yang konsisten atau memiliki sistem; mengandung
makna yang tepat, terbuka pada perluasan alternative lain; terbuka untuk dikaji
ulang, terbuka pada umum; menuntut tnggung jawab atas kesimpulannya itu dan
terbuka untuk ditata ulang atau direkonstruksi.

Bidang pengetahuan yang bersifat ilmiahini dikenal sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagai cirri tambahan, Dufty (1967 dalam Somantri , 1993;1998) menyebutkan
adanya a community of scholars atau masyarakat atau komunitas ilmiah yang
menjadi pendukung, pemelihara, dan pengembang disiplin itu. Ahli lainnya 9 anonim
dalam Somantri, 1998: 7) menambahkan empat syarat lainnya, yakni the societal
goals, the heritage and value, the dimension of interrelationship of today world,an
aspecific process of national inquiry and tenets of good scholarship. Maksudnya,
suatu disiplin itu selain harus memiliki logika internal sebagaimana telah
dikemukakan oleh Goldmark dalam Banks (1977), juga perlu memiliki logika
eksternal: memberi kontribusi terhadap masyarakat,mengusung peradaban dan
nilai, berkaitan dengan kehidupan dunia saat ini, dan mencerminkan adanya
pemikiran nasionaldan kepakaran yang baik.

Logika internal disiplin ilmu seperti dikemukakan oleh Goldmark tersebut di atas,
pada dasarnya mencerminkan apa yang menjadi bidang telaah dan bagaimana
pengetahuan itu digali dan dikembangkan dengan mengikuti prinsip dan produser
yang baku. Dalam wacana filsafat pengetahuan (suriasumantri, 1984; 1986).
Kerangka pemikiran tersebutdi kenal sebagai “ landasan ontology dan epistomologi
“. Sedangkan logika eksternal seperti di kemukakan oleh dufty (1997) dan somantri
(1998),pada dasarnya mencerminkan sebagaimana seharusnya pengetahuan itu di
gunakan sehingga memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat,
Negara, dan apabila mungkin terhadap masyarakat dunia.dalam wacana filsafat
pengetahuan kerangka pemikiran tersebut di kenal sebagai “ landasan aksiologi”.

Apabila di lihat dari kriteria dasar pengetahuan ilmiah tersebut, apakah PDIPS
sudahdapat di anggap dan di terima sebagai sistem pengetahuan ilmiah? Untuk
menjawab pertanyaan ini, ada 3 pertanyaan substansi yang di bahas, yakni:

apakah yang menjadi bidang telaah PDIPS?Bagaimana paradigm pembangunan


pengetahuan dalam bidang kajian PDIP?bagaimana paradigm penggunaan sistem
penggunaan PDIPS?
Sebagaimana telah di bahas di muka istilah PDIPS (pendidikan ilmu pendidikan
sosial) di gunakan sebagai nomen klatur atau istilah teknis untuk program kurukuler
pendidikan (ilmu-ilmu pengetahuan) sosial pada perguruan tinggi pendidikan guru
IPS di IKIP/STKIP/FKIP. Sedangkan istilah teknis untuk program kurikuler pendidikan
(ilmu pengetahuan)sosial dalam dunia persekolahan (SD, SLTP dan SMU, SMK), yang
mencakup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), IPS
terpadu di SD, IPS Terkonfederasi di SUP, dan IPS Terpisah di SMU/SMK. Dalam
konteks sistem pengetahuan pendidikan guru, PIPS dunia persekolahan ini secara
substansi dan pedagogis merupakan bagian integral dari bidang kajian PDIPS di
IKIP/STKIP/FKIP.

Bertitik tolak dalam pemikiran mengenai kedudukan konseptual PDIPS tersebut,


dapatlah diidentifikasi sekolah objek telaah dari sisitem pengetahuan PDIPS tersebut
sebagai berikut.

Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP,dan SMUKarakteristik


potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-STKIP/FKIP.Kurikulum,
dan bahan belajar IPS SD, SUP dan SMU.Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan
disiplin lain yang relevan.Teori, prinsip, strategi, media, dan evaluasi pembelajaran
IPS.Masalah-masalah sosial, dan masalah ilmu dan teknologi yang berdampak
sosial.Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.

Dilihat dari banyaknya dimensi yang diidentifikasi tercakup dalam bidang telaah
PDIPS, dapat dikatakan bahwa sistem pengetahuan PDIPS itu ternyata bersifat
multidimensional. Melihat sifat multidimensionalnya itu, Somantri (1998) menyikapi
PDIPS sebagai suatu synthetic discipline atau sebagai suatu integrated knowledge
system menurut Hartoonian (1992). Dalam perkembangan pengetahuan, fenomena
ini tumbuh sebagai konsekuensi logis dari hakikat, masalah dan perkembangan
masyarakat. We know that life is integrated Therefore, unless we construct
curriculum or instructional programs based upon this truth, we put our student at
risk.We also know that knowledge is culturally and historically determined demikian
dikemukakan oleh Hartoonian (1992:162). Pandangan ini sangat realistik dan dapat
diterima.

2.3 Paradigma pembangunan dalam bidang PDIPS

Hal yang dimaksud dengan paradigma atau paradigm adalah accepted pattern or
model: (Kuhn: 1970). Secara operasional paradigm pembangungan pengetahuan
dalam bidang PDIPS diartikan sebagai pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang
tertata secara utuh yang seyogianya digunakan oleh para pakar atau ilmuwan PDIPS
dalam melakukannkegiatan “konstruksi, interpretasi, transformasi, dan rekonstruksi
(KITR)” pengetahuan sampai pada akhirnya ditemukan teori(Sanusi, 1998: 19).

Teori inilah yang pada gilirannya membangun suatu sistem pengetahuan atau disiplin
ilmu. Namun demikian disiplin itu sendiri tidak bisa dipandang hanya sebagai
akumulasi informasi, fakta, teori, atau paradigm. Melainkan sistem berpikir
(Wilardjo, 1987;Pranarka, 1987 dalam Supriadi, 1998: 19). Sejalan dengan
pandangan tersebut Mehlinger (Somantri, 1998: 89) menegaskan bahwa dalam
perkembangannya saat itu suatu disiplin bukanlah sesuatu yang statis, tetapi
menunjukkan cirri-ciri sebagai berikut.

1.Disciplines are continually changing.

2.Disciplines are an expression of human imagination. Theories are continually


being reated and just quickly discarded. Theories in one disciplines stimulate theriies
in other disciplines.
3.The disciplines are always attempting to develop a definite structure. But as
Mehlinger puts it: Structure is not athing waiting to be discovered, it is always to
organize existing knowledge in afield to advance knowledge Given structure is to be
judgedas good or bad according to its utility in a achieving to its purpose.

4.Disciplines explicitly represent certain values.

5.The disciplines are in general our most reliable source of information about society.

Pandangan di atas memberikan suatu visi dinamis dari perkembangan disiplin, karena
disiplin disikapi sebagai domain akademik yang selalu berubah, saling merangsang
antara disiplin sehingga menghasilkan teori baru; keberhasilannya diukur dari
pencapaian terhadap tujuannya; merupakan pencerminan nilai, dan merupakan
sumber informasi bagi masyarakat. Visi tersebut, sangat tepat dan dapat diterima
karena memang realita kehidupan atau menurut Sanusi (1998) real life system (RLS)
bersifat multifaset dan berubah dengan cepat, yang pada gilirannya menuntut upaya
untuk melakukan observasi, interpretasi, konstruksi, transformasi dan rekonstruksi
orang juga dinamis. Apabila rangkaian kegiatan itudilakukan dengan semangat dan
komitmen keilmuwan yang tepat, akan menghasilkan suatu sistem pengetahuan baru.
Berkenaan dengan hal tersebut, apa yang dikatakan Goldstein (1980, Supriadi, 1998:
20).

“… scince is not dry, orderly compilation of useful fact, although some of those
hold the negative view of science may thunk that it is. Science is an activity of
creative and imaginative human beings, not computers and other machines The
creativity and imagination must be controlled by disciplin and self critism”.
Dengan menggunakan visi dinamis dari perkembangan ilmu tersebut maka
tumbuhnya sistem pengetahuan yang baru yang kemudian berkembang menjadi
disiplin baru, bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi justru merupakan kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri. Hal ini juga merupakan cirri-ciri dari perkembangan ilmu
pasca-positivisme, yang oleh Kuhn (1970) dilukiskan bahwa ilmu berkembang
melalui alur perjalanan historis epistemologis yang dimulai dari tahap pra-
paradigmatik; diterimanya paradigm secara meluas yang melahirkan ilmu normal;
ditemukannya paradigm baru yang lebih handal. Namun demikian, tidaklah berarti
bahwa kemudian ilmu itu berhenti, tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Goldstein
dalam kutipan di atas, proses ilmu itu akan berlangsung terus secara dinamis
mengikuti dinamikanya pemikiran manusia dalam menghadapi fenomena tersebut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Di Indonesia Pendidikan IPS dalam dunia persekolahan berkembang juga secara


evolusioner sejak tahun 1967 dengan munculnya gagasan pengajaran IPS ala
pendidikan Kewarganegaraan menurut kurikulum 1975 dan 1984, dan pada akhirnya
muncul mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan
pengajaran IPS terpadu di SD, yang terkonfederasi di SUP, dan yang terpisah di SMU
atas dasar kurikulum.

Sebagai konsekuensi logis dari munculnya PIPS dalam dunia persekolahan di


IKIP/STKIP dikembangkan program pendidikan guru IPS, yakni yang dibina di
FPIPS/JPIPS yang di dalam kurikulumnya memuat konsep pendidikan disiplin IPS
(PDIPS) pada tingkat sarjana, magister dan doctor pendidikan.

Secara konseptual PDIPS merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu atau


integrated knowledge system yang bersumber dan bertolak dari ilmu-ilmu sosial, ilmu
pendidikan, ilmu lainnya sebagai extractive knowledge, dan masalah-masalah sosial
sebagai latar operasional; diorganisasikan secara ilmiah dan psikopedagogis. Dalam
konteks agama dan pancasila sebagai intraceptive knowledge. PDIPS secara
konseptual mencakup studi mengenai PIPS persekolahan. Oleh karena itu, antara
PDIPS terdapat jalinan yang erat dalam pola interaksi yang dinamis.

Untuk pengembangan PDIPS sebagai suatu sistem yang terpadu, perlu diupayakan
pengembangan sinergi akademis dan pedagogis PDIPS pada FPIPS dan komponen
akademis dan pedagogis PDIPS pada FPIPS serta PPS IKIP/dan penelitian semua
komponen PIPS dan PDIPS.

PDIPS sebagai suatu sistem pengetahuan terpadu yang perlu dikaji secara terus-
menerus melalui berbagai upaya penelitian, pengembangan, dan penerapan (research,
development, and diffusion) yang melibatkan para pakar dan praktisi dalam bidang
PIPS dan PDIPS. Dengan demikian, PDIPS dapat berkembang memenuhi tuntutan
sebagai suatu disiplin.
3.2 Saran

Demikian makalah yang penulis buat dengan segala kekurangan dan keterbatasan
penulis.oleh karena itu, penulis mohon saran dan kritik yang kontruktif demi
perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Winataoura, HUS. (2000). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas Terbuka

Saripudin, U. W. (1989). Konsep dan Masalah Pengajaran Ilmu Ilmu Sosial di Sekolah
Menengah. Jakarta: Depdikbud, Ditjen Dikti. Proyek Pengembangan LPTK.

Myers, C. B. et.al. (2000). National Standards for Social Studies Teacher 1.


Washington DC: National Council for The Social Studies.

Myers, C. B. et.al. (2000). National Standards for Social Studies Teacher 2. Program
Standards for The Initial Preparation of Social Studies Teachers, Washington DC:
National Council for The Social Studies.

Anda mungkin juga menyukai