Disusun oleh :
Fachriza Nur Ichsani 16416241055
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
nikmat, dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Kemandirian Ilmu Sosial Keindonesiaan dalam
Menghadapi Masalah Sosial Indonesia”. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksanannya
penyusunan makalah ini. Hasil penyusunan makalah ini tentunya masih terdapat
banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang terkait sebagai sumbangan ilmu pengetahuan di bidang Pendidikan
IPS khususnya Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia
Penulis
ii
DAFTAR ISI
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
a. Kuntowijoyo ............................................................................................. 8
iii
b. Mengenalkan Ilmu Sosial Keindonesiaan Melalui Pendidikan Berbasis
Budaya........................................................................................................... 17
A. Simpulan ................................................................................................. 24
B. Saran ....................................................................................................... 24
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah Negara bekas jajahan belanda dan
jepang, selama bertahun tahun Negara ini berada dalam kekuasaan para
penjajah, namun berkat perjuangan dan kerjakaras rakyat Indonesia,
Indonesia berhasil merdeka dengan perjuanganya sendiri. Kemerdekaan
Indonesia juga tidak lepas dari peran aktif dari cendekiawan cendekiawan
Indonesia yang telah menyumbangkan ide idenya. Kini ide ide para
cendekiawan hanyalah menjadi sebuah sejarah dan seiring dengan
berkembangnya waktu, berkembang pula ilmu pengetahuan sains dan
teknologi yang menyebabkan ide-ide atau pemikiran-pemikiran barat dan
timur masuk ke Indonesia dan mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia salah satunya adalah ilmu sosial.
Dahulu Kondisi perkembangan Ilmu Sosial melibatkan cendekiawan
Indonesia, untuk mempertanyakan sekaligus mencari jalan keluar, kondisi
perkembangan ilmu Sosial yang memprihatinkan dari suatu kondisi
ketergantungan dengan ilmu-ilmu sosial Barat. Masalah social di Indonesia
masih cukup banyak namun, jika diselesaikan menggunakan pendekatan
teori-teori sosial barat atau timur, kurang relevan karena Indonesia memiliki
keanekaragaman suku, budaya dan adat istiadat yang khas, sehingga perlu
adanya kajian antara teori teori social barat dan teori teori social timur yang
kemudian menjadi alternatif baru untuk mengembangkan teori teori social
yang bercorak keindonesiaan
Teori sosial keindonesiaan ini merupakan sebuah teori dari
cendekiawan cendekiawan Indonesia yang mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan sosial yang ada di Indonesia. Masalah sosial yang dihadapi
Indonesia sangat beragam karena Indonesia memiliki memiliki kebaragaman
baik dari suku, budaya, agama, adat istiadat dan lain lain, dari keberagama
tersebut menyembabkan sering adanya masalah sosial yang muncul pada
masyarakat, masalah tersebut tidak bisa dihindari namun sebagai generasi
1
penerus bangsa para generasi muda harus menuntaskan masalah tersebut
dengan solusi solusi yang sesuai dengan masalah yang ada. Namun
kebanyakan teori mengenai ilmu sosial justru datang dari Negara lain
sehingga menyebabkan generasi muda binggung untuk mengambil keputusan
karena teori yang ada tidak relevan dengan kultur Indonesia maka dari itu
perlu adanya trobosan baru untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada
tanpa harus ketergantunga dengan teori sosial dari barat
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori sosial Indonesia memecahkan masalah sosial yang
ada di Indonesia ?
2. Bagaimana masalah sosial Indonesia menurut para tokoh cendikiawan
Indonesia ?
3. Bagaimana dukungan untuk mengembangkat teori sosial bercorak
keindonesiaan ?
C. Tujuan
1. Mengetahui teori sosial Indonesia memecahkan masalah sosial yang
ada di Indonesia
2. Mengetahui masalah sosial Indonesia menurut para tokoh
cendikiawan Indonesia
3. Mengetahui dukungan untuk mengembangkat teori sosial bercorak
keindonesiaan
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Perubahan sosial
Menurut Selo Sumarjan (dalam soerjono soekanto, 2012)
perubahan sosial merupakan perubahan pada lembaga kemasyarakatan
di dalam suatu masyarakat yang memenuhi system sosialnya, termasuk
di dalamnya nilai- nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok
dalam masyarakat. Setiap manusia akan terus melakukan perubahan
selama hidupnya namun setiap individu dalam masyarakat mengalami
perubahan yang berbeda beda yang membentuk sikap dan pola
perilakunya yang kemudian akan berpengaruh pada masyakarat
sekitarnya
Setiap perubahan dari membawa dampak tersendiri menurut ali
imron (dalam Suharno, 2017) dampak perubahan dibagi dua yaitu
aspek makro dan sektor mikro. Pada aspek makro, terjadi perubahan
pada struktur sosial. Saat ini, pembangunan di Indonesia masih
mengukuran keberhasilan pembangunan ekonomi kemudian
disandarkan pada peningkatan daya beli masyarakat dan kesejahteraan.
Artinya, apabila sebagian besar masyarakatnya memiliki daya beli
yang tinggi, maka bisa dianggap masyarakatnya telah sejahtera.
Menyebabkan masyarakat mengalami indovisualis dan konsumtif.
Pada sektor mikro, variasi perubahan yang terjadi justru lebih beragam.
Perubahan sosial yang terjadi justru berdampak pada munculnya
jejaring masyarakat, dimana setiap individu dapat berhubungan,
berjejaring, membangun komunikasi dan bekerjasama dengan individu
lain di belahan dunia yang lain.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini
serasa menjadi realitas yang hanya berlalu begitu saja tanpa ada
3
akademisi yang merekonstruksinya. Sedangkan konsep, teori, dan
metode yang ditawarkan Barat puluhan tahun lalu ternyata tidak lagi
relevan apabila digunakan untuk mengkaji dan menganalisis fenomena
perubahan sosial saat ini yang sangat cepat dan kompleks
Maka dari itu harus ada peran aktif dari masyarakat terutama
akademisi, menurut ali imron (dalam Suharno: 2017) tiga hal yang
dapat dilakukan. Pertama, perguruan tinggi sebagai sarana
pengembangan intelektual harus mampu menciptakan iklim akademik
yang kondusif. Menciptakan iklim penelitian, menulis, diskusi, debat,
dan kritik sosial. Aktivitas tersebut berlangsung tanpa mencari
keuntungan material semata. Dalam rangka merealisasikan iklim
akademik seperti ini, maka mutlak diperlukan orang orang yang secara
konsisten menyelenggarakan kegiatan ilmiah akademik. Sinergi positif
antar dosen dan mahasiswa semangat berharga dalam membangun
iklim akademik yang kondusif. Mahasiswa juga harus terlebih dahulu
membekali diri dengan bahan bacaan yang mencukupi agar aktivitas
ilmiah terus menerus bergulir.
Kedua, ketika para ilmuwan sudah semangat dengan iklim
akademik, maka diperlukan landasan moral untuk semakin
memperkuat jati diri seorang ilmuwan. Sifat asketis sangat
menonjolkan sikap kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban
dalam melakukan aktivitas kehidupan, termasuk dalam membangun
iklim akademik. Meskipun dalam kondisi yang terbatas, termasuk
sarana dan prasarana penunjang akademik yang terbatas, namun tetap
terdorong untuk senantiasa bekerja keras secara akademik sehingga
mampu mendongkrak produktivitas akademiknya, salah satunya hasil
kajian dan analisis kritis akan perubahan sosial sehingga menghasilkan
konsep, teori, dan metode yang baru.
Ketiga, memanfaatkan konsep-konsep asli ilmu-ilmu sosial,
terutama untuk mengkaji realitas perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat. Karena realitas sosial yang terjadi di Indonesia akan lebih
4
tepat dan relevan apabila dikaji dan dianalisis dengan menggunakan
konsep, teori, dan metode asli ilmuwan Indonesia
b. Masyarakat majemuk
Keanekaragaman suku bangsa ini membentuk kehidupan
masyarakat yang berpedang teguh kepada adat istiadat dan budayanya
masing-masing yang mewarnai kemajukan masyarakatnya. Menurut
Trianingsih (dalam Suharno, 2017) Hal ini tercermin dari interaksi
masyarakat dalam tata pergaulan sehari-hari saling menjaga dan
menghormati sesama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sepanjang
tidak terjadi pergesekan antar suku karena perbedaan kepentingan
maka keharmonisan hidup masyarakat majemuk akan terwujud dan
tidak menimbulkan konflik sosial. Sebaliknya, kekayaan budaya dan
adat istiadat tersebut juga sangat rawan akan terjadinya konflik sosial
Kemajemukan masyarakat seringkali menimbulkan konflik
seperti adanya pendatang di suatu daerah yang memiliki suku berbeda
dari daerah tersebut kemudian mereka tampak dengan kondisi sosial
ekonomi yang lebih sejahtera dibandingkan masyarakat yang tinggal
disana, Pada satu sisi menumbuhkan rasa bangga pada suku atas
keberhasilan tersebut, namun pada sisi lain menimbulkan rasa
kecemburuan sosial pada suku yang kurang berhasil. Kecemburuan
sosial ini lama kelamaan semakin terbuka, sehingga menimbulkan
konflik sosial antarsuku bangsa tersebut
Kehidupan masyarakat yang tampak stabil dan harmonis belum
merupakan sebuah jaminan bahwa didalam masyarakat tidak terdapat
permusuhan dan pertentangan. Kenyataan ini bisa ditemukan dalam
masyarakat yang tampak harmonis, damai, dan kecilnya tingkat
pertentangan diantara anggota-anggota masyarakat baik dalam dimensi
ekonomi, etnis, maupun agama. Akan tetapi dibalik stabilitas,
keharmonisan, dan perdamaian tersebut ternyata terdapat konflik yang
begitu besar. Hal ini dibuktikan ketika suatu masyarakat struktur
5
kekuasaannya runtuh, berbagai konflik laten dalam dimensi etnis,
keagamaan dan separatisme merebak seperti jamur di musim hujan
(Novri, Susan 2010: 100).
Pengelolaan konflik bertujuan untuk menciptakan masyarakat
hidup yang damai dan tanpa kekerasan. Oleh sebab itu, pengelolaan
konflik hendaknya menggunakan proses-proses tanpa kekerasan,
misalnya dengan cara merangkul, bekerja berdam-pingan, dan
menengahi. Dalam menengahi semua ini seringkali dituntut perubahan
“aturan main”, penolakan terhadap “permainan politik” yang tidak
tulus (Adi Fahrudin, 2011: 178). Peran strategi komunikasi juga sangat
diperlukan didalam pengelolaan konflik terutama pada konflik laten.
Karena komunikasi merupakan kunci dalam mengelola konflik,
dengan komunikasi seseorang dapat mengelola konflik kearah yang
lebih baik. Komunikasi yang baik dapat membantu pihak yang bertikai
mengidentifikasi masalah serta dapat memahami masalah dari sudut
pandang masing-masing pihak. Komunikasi dapat mencegah konflik
apabila, aktor komunikasi menggunakan pesan yang dapat diterima
secara psikolog dan sosial oleh para pihak yang terlibat komunikasi,
dan jika salah satu atau semua aktor komunikasi menghormati symbol
adat, suku, agama dan kepercayaan, serta jika salah satu aktor atau
semua aktor komunikasi mau dan mampu menempatkan diri atau
setara dengan pihak yang lain.
Strategi komunkasi EC (Equal Communication), strategi ini
merupakan strategi komunikasi untuk mengelola konflik yang paling
sesuai untuk konflik laten antara masyarakat. Mengingat strategi ini
merupakan komunikasi yang dipenuhi dengan pola hubungan yang
penuh dengan kesetaraan dan kerjasama. Strategi EC juga mempunyai
pola hubungan sebagai berikut; 1) Pola hubungan yang dipenuhi
dengan suasana saling mendukung dan bukan pola hubungan yang
menang sendiri, 2) Pola hubungan yang saling bergantung atau
membutuhkan dan bukan pola hubungan dimana kedua pihak saling
6
menandingi, 3) Pola hubungan yang ditunjukkan dengan kemajuan dan
bukan menunjukkan kemunduran, 4) Hubungan yang diisi dengan
saling percaya dan optimisme kerjasama dalam mencapai tujuan
bersama, dan bukan tujuan bersama yang diisi dengan saling tidak
percaya dan pesimisme didalam mencapai tujuan bersama. (Nuril,
2013)
7
Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu
menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain,
bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari
bangsa yang lain didunia. Jati diri bangsa sekaligus juga menunjukkan
keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu simbol
jati diri bangsa Indonesia itu adalah budaya Indonesia Oleh karena itu,
budaya Indonesia harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara
terus-menerus (Hidayati, 2016)
a. Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta pada 18
September 1943. Ia mendapatkan pendidikan formal keagamaan di
Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Setelah itu melanjutkan
sekolah di Klaten (SMP) dan Solo (SMA), melanjutkan kulah di
Universitas Gadjah Mada dan lulus menjadi sarjana sejarah pada tahun
1969. Gelar MA diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika
Serikat pada tahun 1974, yang disusul dengan gelar Ph.D Ilmu Sejarah
dari Universitas Columbia pada tahun 1980
Kuntowijoyo bukanlah nama yang asing di kalangan dunia
intelektual atau akademik. Dia tidak hanya dikenal sebagai seorang
sejarahwan, sastrawan, dan budayawan tapi juga seorang cendekiawan
muslim yang banyak memberikan sumbangsih bagi dunia pemikiran
Islam di Indonesia yang dalam banyak hal pemikirannya perlu
dijadikan rujukan. Kuntowijoyo juga layak disebut cendekiawan
muslim. Sangat tampak bahwa ketika Kuntowijoyo menterjemahkan
Islam sangat mudah dipahami dan menjadi enak untuk diikuti. Islam di
tangan Kuntowijoyo menjadi Islam yang ramah, yang cocok untuk
kultur Indonesia. Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang dikenal
kritis dan optimis akan masa depan Islam. (Nasiwan, 2016)
8
Salah satu masalah yang disoroti oleh kuntowijoya adalah
mengenai politik dimana masih banyak orang yang menganggap
politik sebagai satu satunya yang harus di perjuangkan namun mereka
lupa bahwa hal itu akan menimbulkan kecewa dan mengecewakan,
mereka juga melakukan kegiatan agama hanya kerena politik
kebiasaan itu menyebabkan orang hanya berpikir politik. Agama
adalah kekuatan sejarah yang memiliki metode sendiri
Menurut ummu yasmin (dalam Nasiwan, 2016) Ada tiga tahapan
interaksi politik gerakan Islam sebagai bagian dari manifestasi
pendidikan politik yang dilaksanakan meliputi::
1. Tahap Pertama: Penguasaan Ilmu Politik (al-‘ilm as-siyasi)
Penguasaan ilmu politik dibutuhkan untuk menentukan keshalihan
langkah-langkah yang diambil saat terdapat dorongan dan respon
politik dari dalam maupun dari luar, yang terdiri dari:
a. Muthola’ah siyasiyah (kritik atas literatur politik), meliputi:
kajian blibiotik, bertemu dengan narasumber, pengamatan
terhadap dinamika politik lokal, nasional, maupun
internasional.
b. Munawaroh siyasiyah (dialog politik) dengan beragam aliran
politik yang ada, peta dan rambu yang jelas, baik untuk
lapangan konsepsional maupun operasional.
c. Mutaba’ah siyasiyah (pelaksanaan evaluasi) terhadap seluruh
langkah yang telah diambil, sehingga akan diketahui seluruh
ruang lingkup politik telah dipahami dengan baik.
2. Tahap Kedua: Melakukan Aksi Penyadaran (Tan’iyah As-
Siyasiyah) Langkah tersebut ditempuh dengan menumbuhkan
solidaritas internal para kader, baik yang terjun pada lapangan
politik atau mereka yang mendukung dari luar serta diikuti dengan
upaya penumbuhan lembaga-lembaga politik internal sebagai
wahana tadribat (latihan) amal aktivis yang disiapkan terjun dalam
kancah politik. Dalam tahap ini diikuti pula dengan upaya
9
melakukan beberapa aksi politik, seperti: penyebaran teori politik
Islam, aksi-aksi politik (al-munawaroh as-siyasi) dalam skala lokal,
propaganda politik (ad-di’yan as-siyasi), pembentukan organisasi
politik (at-tandzim as-siyasi), dan penetrasi politik (al-ikhtiroq as-
siyasi)
3. Tahap Ketiga: Partisipasi Politik (al musyarokah as-siyasi) Di awali
dengan partisipasi sosial (musyarokah ijtima’iyah) dalam bentuk
keterlibatan aktif dalam upaya pengokohan dan penyehatan kondisi
masyarakat dalam segala aspeknya, ruhiyah, fikriyah, jasadiyah,
dan maliyah. Dari hal tersebut diharapkan akan muncul pribadi-
pribadi yang dikenal dan mengakar pada masyarakat, selanjutnya
akan terbentuk dukungan masyarakat dan program-program yang
membumi serta bermanfaat bagi masyarakat. Dengan basis
dukungan masyarakat yang kokoh, maka langkah berikutnya
diharapkan akan menjadi mudah. Pembentukan institusi politik
akan memiliki dukungan publik yang memadai, begitu pula ketika
memasuki arena Pemilu (al-intikhobiyah), memasuki parlemen,
maupun pemerintahan.
b. Selo sumarjan
Selo Soemardjan lahir pada tahun 1915 di Jogjakarta. Ia adalah
seorang guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia, pakar ilmu sosiologi dengan reputasi internasional. Setelah
menyelesaikan HIS dan MULO di kota kelahirannya, ia meneruskan
ke MOSVIA di Magelang pada tahun 1934 dan Universitas Counell,
Ithaca, New York. Gelar sarjana dan doktor dari perguruan tinggi
terkenal ini diraihnya pada tahun 1959.
Selo Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di
Indonesia sebagai bapak Sosiologi, ilmu yang digelutinya sejak beliau
menempuh pendidikan tingginya untuk memperoleh gelar doctor Selo
Sumardjan dibesarkan dilingkungan abdi dalem Kasultanan
10
Yogyakarta Hadiningrat. Pemikiran utama dari Selo Sumardjan
bersumber dari karya beliau yang dibukukan dengan judul “Perubahan
Sosial di Yogyakarta”. Perubahan sosial yang digagas Selo Sumardjan
berfokus pada perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosial, yang di dalamnya termasuk nilai, norma,
sikap dan tingkah laku.
Pemikiran selo sumarjan digambarkan dengan perubahan social
yang ada di Yogyakarta. Difokuskan pada perubahan politik dan
pemerintahan diYogyakarta diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono
atau oleh pemerintah propinsi di bawahnya. Dalam konteks ini
perubahan sosial memunculkan dua aspek penting tentang dugaan
bahwa perubahan sosial ini disengaja atau tidak disengaja. Namun
Rakyat menolak perubahan karena berbagai alasan, antara lain:
a. Mereka tak memahaminya,
b. Perubahan itu bertentangan dengan nilai-nilai serta norma-
norma yang ada,
c. Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan
yang ada (vested interest) cukup kuat menolak perubahan,
d. Resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar dari
pada jaminan sosial dan ekonomi yang bisa diusahakan,
e. Pelopor perubahan ditolak,
Namun kini peubahan sosial di Yogyakarta merupakan
menjadikan daerah ini menjadi daerah istimewa Yogyakarta karena
masyarakat Kesultanan Yogyakarta masih dapat mempertahankan
keberadaannya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kekuasaan politik
memang telah merosot, tetapi otoritas budaya Jawa masih hidup. Ini
merupakan salah satu modal sosial-kultural yang menjadikan salah
satu keunikan survivalitas sosio-kultural masyarakat Yogyakarta dalam
sejarah Jawa.
semenjak itu kota Yogyakarta, menunjukkan keistimewaannya,
tumbuh menjadi enbrio Pusat Kebudayaan. Pada saat yang sama
11
Yogyakarta tumbuh dan berkembang menjadi pusat kegiatan
pergerakan nasional, ditandai dengan digunakannya kota Yogyakarta
menja di tempat kongres Budi Utomo, dan tempat kelahiran
Pergerakan Muhammadiyah (1912), Taman Siswa, dan tempat
kegiatan pergerakan lainnya, termasuk pergerakan kaum perempuan
dan pemuda Indonesia Dengan demikian perkembangan Yogyakarta
pada hakekatnya telah menjadikan Kraton Yogyakarta berperan
menjadi katalisator transformasi masyarakat dan kebudayaan baru di
Indonesia sampai masa berakhirnya penjajahan Belanda. (Djoko
Suryo, 2011 : 13-14)
c. Mansyur fakih
Mansour Fakih lahir di desa Ngawi, Bojonegoro, Jawa Timur,
10 Oktober 1953. Mansour Fakih lulus sebagai sarjana dari Fakultas
Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, awal
1970-an. Pada tahun 1990 meraih master of education dari University
of Massachussetts dalam bidang pendidikan dan perubahan sosial.
Karena kemampuannya yang tinggi, almamater dia di Amherst
memberikan kesempatan bagi dirinya untuk meraih gelar doktor pada
1994.
Mansur Fakih menggunakan pengalaman aktivisme sosialnya di
Indonesia untuk membangun sebuah teori dan kritik terhadap studi
pembangunan. Pemikiran-pemikiran Mansur Fakih dikategorikan
sebagai pedagogi kritis Freire versi Indonesia karena ia menggunakan
metodologi pendidikan kritis dalam pemikiran dan aktivisme
sosialnya. Selain itu, ia juga mengintegrasikan ide aktivisme sosial
dengan alam ideal teorisasi akademis. Mansur Fakih menganggap
Insist sebagai tempat dimana berbagai aktivis pergerakan sosial
Indonesia dapat bertemu, belajar dan saling memperkaya keilmuan dan
pengalaman satu dengan lainnya selain itu berfungsi tidak hanya
sebagai sekolah, melainkan juga sebagai tempat dimana aktivis sosial
12
Indonesia bergelut tidak hanya dalam level diskursus intelektual
melainkan juga berjuang untuk transformasi social
Mansur Fakih berargumentasi bahwa globalisasi adalah sebuah
istilah yang sangat berkaitan dengan neoliberalisme dan neoliberalisme
pada kenyatannya adalah kepanjangan dari pada kapitalisme dan
developmentalisme. Globalisasi juga dikenal sebagai perkembangan
yang cepat dari kapitalisme melalui pasar global, investasi, dan
produksi bahan-bahan konsumen oleh korporasi transnasional Mansur
Fakih mendefinisikan globalisasi sebagai proses pengintegrasian
ekonomi negara miskin dan berkembang kepada apa yang disebut
dengan sebuah sistem ekonomi global. Hasil dari mistifikasi ini adalah
bahwa paradigma pasar bebas membuat negara miskin dan negara
berkembang termasuk orang-orang yang tidak beruntung di dalamnya
termarginalkan ke pojok pembangunan karena dengan menggunakan
sistem ekonomi nonregulasi ini, hanya pemilik modallah yang
mendapatkan keuntungan.
Dalam karya-karyanya, sebagaimana telah dijelaskan pada
subjudul sebelumnya, Mansur Fakih menyatakan bahwa negara
miskin dan negara berkembang menyerap paradigma globalisasi
sebagai proses pembangunan mainstream di negara mereka melalui
berbagai imposisi Structural Adjustment Programs (SAP) yang
diterapkan oleh organisasi ekonomi dunia untuk negara mereka.
Mansur Fakih menyatakan bahwa pendidikan seringkali
disalahgunakan untuk menyebarluaskan propaganda ideologi,
kekuasaan dan politik yang mendukung keberlanjutan paradigma
developmentalisme.
Kondisi pendidikan yang seperti ini pada akhirnya menciptakan
suatu kondisi sosial dimana mempertanyakan dan mengkritisi struktur
sosial yang tidak berkeadilan menjadi suatu hal yang mustahil untuk
dilaksanakan. Dengan demikian, diperlukan pendidikan yang bersifat
kritis yang dapat membangun kesadaran masyarakat untuk
13
mempertanyakan struktur sosial dan mengganti sistem guna
melaksanakan proses transformasi sosial. (Nasiwan, 2016)
14
komparatif dengan mengkontekskan dengan problema real yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia
15
Indonesia atau teori-teori sosial yang dilahirkan dari masyarakat
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap masyarakat
memiliki persoalan (social problem) dan memiliki cara penyelesaian
sendiri terhadap persoalan yang dihadapi. Dalam pembelajaran ilmu
sosial, peserta didik diajak mendiskusikan berbagai fenomena sosial
yang terjadi di Indonesia Dengan cara demikian, para mahasiswa bisa
mempersipakan diri menjadi pemimpin yang memahami karakateristik
masyarakat Indonesia, sehingga pada saat mereka mengambil tugas
kepemimpinan dalam mengambil kebijakan tidak menimbulkan
dampak sosial yang tidak diinginkan (Warsono : 2017)
16
bagaimana dapat ditemukan teori ilmu sosial keindonesiaan untuk
memecahkan berbagai persoalan sosial yang dihadapi masyarakat
Indonesia. Gagasan pengembangan ilmu sosial keindonesiaan tentu
tidak dapat dilepaskan dari konstalasi pengembangan ilmu sosial yang
telah ada dan berkembang sejak lama
17
budaya bangsa pendidikan berbasis budaya memegang peranan yang
penting.
Budaya memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan karena
pendidikan menjadi salah satu cara untuk menjaga eksistensi budaya
suatu daerah agar tetap lestari, Tujuan pendidikan adalah melestarikan
dan meningkatkan kebudayaan agar terwujud masyarakat dan
kebudayaan yang lebih baik. pendidikan berbasis budaya dapat
ditinjau dari tiga kerangka dasar yaitu (Subagya, 2016: 33-34) :
1. Budaya sebagai isi pendidikan, dalam hal ini sekolah
menyelenggarakan pembelajaran tentang budaya baik intra-
kurikuler maupun ekstra kurikuler.
2. Budaya sebagai metode dalam pelaksanaan pembelajaran, dalam
hal ini sekolah menyelenggarakan proses pengenalan,
pengetahuan, pembiasaan, dan pembudayaan nilai-nilai budaya
lokal.
3. Budaya sebagai konteks dan pendekatan dalam manajemen
pendidikan, dalam hal ini sekolah menyelenggarakan proses
pembelajaran dalam lingkungan budaya sehingga mewujudkan
sekolah sebagai lingkungan yang berbudaya.
Didalam pendidikan berbasis budaya terdapat ilmu sosial yang
membahas fenomena sosial yang ada. Pada hakikatnya ilmu sosial
mempelajari tentang manusia, perilaku manusia dan interaksinya
dalam masyarakat sehingga salah satu kajiannya adalah hubungan
antar manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Oleh karena
itu, objek ilmu sosial adalah manusia dan lingkungannya yaitu
lingkungan tempat tinggal, manusia lain dan objek fisik yang ada di
sekitarnya (Nasiwan, 2014: 104).
Membumikan ilmu sosial keindonesiaan melalui pendidikan
berbasis budaya dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
1. Penguatan peran ilmuwan sosial
18
Ilmuwan sosial harus mampu melakukan refleksi diri dan
mempertautkan antara teori dan praxis sehingga dapat keluar dari
belenggu ideologis ilmu pengetahuan untuk menghasilkan ilmu
sosial yang emansipatif. Dengan kata lain diperlukan adanya
dekontruksi pemikiran ilmuwan sosial dan ilmu sosial dengan
melakukan indegenisasi yang reflektif dan emansipatif (Martanto,
2012: 13-14).
2. Integrasi pembelajaran berbasis budaya dalam pembelajaran ilmu
sosial.
Pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu langkah
untuk menguak nilai-nilai budaya bangsa dan nilai-nilai kearifan
lokal. Dalam ranah persekolahan maka pembelajaran ilmu sosial
dapat diintegrasikan dengan pembelajaran berbasis budaya yang
disesuaikan dengan local wisdom masing-masing daerah. Hal ini
diharapkan dapat menghasilkan konseptualisasi ilmu sosial yang
cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia. Selain itu, integrasi
tersebut juga bertujuan untuk memancing kemampuan berpikir
kritis dan reflektif peserta didik terhadap penyelesaian
permasalahan sosial dimasyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks
ini budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu belajar
tentang budaya (menempatkan budaya sebagai bidang ilmu),
belajar dengan budaya (metode pemanfaatan budaya), dan belajar
melalui budaya (pemahaman makna yang diciptakan baik melalui
kreativitas maupun imajinasi dalam ragam perwujudan budaya)
(Subagya, 2016: 38).
3. Menanamkan jati diri dan sifat positif.
Pribumisasi ilmu sosial keindonesiaan dimaksudkan untuk
mengapresiasi kultur budaya sendiri dan tidak bersifat historis
(Nasiwan, 2014: 120) sehingga teori, metode, prosedur atau
paradigma-paradigma yang terkandung dalam ilmu sosial
merupakan teori yang sesuai dengan realitas dan jati diri bangsa
19
Indonesia. Oleh karena itu, terminologi pribumisasi atau
indigenisasi akan menjadi suatu tantangan sekaligus harapan bagi
perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
20
Dalam pelaksanaan pendidikan moral ada beberapa pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan ini agar peserta didik mengenal dan menerima
nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan
yang diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai
pilihan, menentukan pendirian, dan menerapkan nilai sesuai
dengan keyakinan diri.
2. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif
Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari
pemikiran moral. Guru dapat mengarahkan anak dalam
menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi masalah
moral sehingga peserta didik dapat membuat keputusan tentang
pendapat moral. Proses diskusi mulai disajikan dengan cerita yang
mengandung dilema. Dalam diskusi, siswa didorong untuk
menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang
terlibat,apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikannya
tentang alasan-alasan tersebut dengan teman-teman satu kelompok
(Winarno, 2013: 202).
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat
menggunakan kemampuan berfikir logis dan ilmiah dalam
menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai
tertentu. Selain itu, peserta didik dalam menggunakan proses
berpikir rasional dan analitis dapat menghubung-hubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
dan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang
lain. Pendekatan ini juga membantu peserta didik untuk mampu
mengomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai
21
mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik
dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional
dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri.
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik, seperti pada pendekatan analisis dan
klarifikasi nilai. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan
kegiatan sosial serta mendorong peserta untuk melihat diri sendiri
sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan
masyarakat (Zuriah, 2011: 200-201).
Nilai moral memilki ciri sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan tanggung jawab
Tanda khusus dalam nilai moral adalah bahwa nilai ini
berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai-
nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang bersalah atau tidak
bersalah, karena ia bertanggung jawab.
2. Berkaitan dengan hati nurani
Semua nilai selalu mengandung unangan atau imbauan.
Pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius.
Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa nilai ini
menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila
meremehkan atau menetang nilai-nilai moral dan memuji kita bila
mewujudkan nilai-nilai moral (Bertens, 2004: 144).
3. Mewajibkan
Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolute dan
dengan tidak bisa ditawar-tawar. Nilai-nilai lain sepatutnya
diwujudnya. Alasan yang menyebabkan nilai moral sebagai suatu
kewajiban adalah nilai moral berlaku untuk setiap manusia
(Bertens, 2004: 145-146).
4. Bersifat formal
22
Nilai-nilai moral tidak dapat terpisahkan dari nilai-nilai
lain. Sehingga nilai-nilai moral tidak memiliki isi tersendiri,
terpisah dari nilai-nilai lainnya. Tidak ada nilai moral yang murni,
terlepas dari nilai-nilai lain. Hal tersebutlah yang dimaksudkan
bahwa nilai-nilai moral bersifat formal (Bertens, 2004: 147).
23
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Indonesia memiliki keberagaman yang menimbulkan konflik social
dan sebagian besar teori sosial yang berkembang di Indonesia sudah tidak
relevan dengan kultur sosial yang ada di Indonesia, maka dari itu perlu
adanya kemandirian dari teori sosial keindonesiaan untuk menghadapi
masalah sosial Indonesia. Teori sosial Indonesia yang dari cendekiawan
Indonesia ini dapat memecahkan berbagai permasalahan di Indonesia dan
memberikan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang ada di
Indonesia
B. Saran
Meningkatkan rasa cinta terhadap karya karya cendekiawan
Indonesia karena ilu yang mereka miliki tidak kalah dengan cendekiawan
bangsa lain, teori teori yang dikemukakan oleh cendekiawan Indonesia ini
juga sangat tepat digunakan untuk menghadapi masalah sosial yang ada di
Indonesia maka dari itu sebaiknya para akademisi menggunakan teori teori
yang dikemukakan oleh cendekiawan Indonesia.
24
DAFTAR PUSTAKA
Hidayati, Fatma. 2016. Penguatan Diri Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia.
Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III di
Universitas Sebelas Maret
Nasiwan, dkk. 2016. Seri Teori Teori Sosial Indonesia. Yogyakarta : UNY Press
Nasiwan. (2014). Filsafat Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik. Yogyakarta:
Fistrans Institute.
Soekanto, soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja wali press
25
Zuriah, nurul. (2011). Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Prerspektif
perubahan. Jakarta: PT Bumi aksara.
26