Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL PADA MASA EARLY CHILDHO


OD

Dwi Gita Verasari

DISUSUN OLEH
1. Ilham Alle Prakoso (11521609)
2. Nabilah Sakha (10521954)
3. Faizal Raiz Nurrahman (10521521)
4. Maida Azzahra Fadhilla Rizal (10521799)
5. Regina Salsabilla (11521637)
6. Zummy Alfiana Ayyun Nisa (11521564)

UNIVERSITAS GUNADARMA

Jl. KH. Noer Ali, RT.005/RW.006A, Jakasampurna, Kec. Bekasi Bar., Kota Bks, Jaw
a Barat 17145

2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala kebesaran
dan limpahan nikmat yang diberikan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Pengantar Ilmu Pendidikan yang berjudul “PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL PAD
A MASA EARLY CHILDHOOD”.

Adapun pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkemban
gan sebagai tugas kelompok dan sebagai bahan materi tugas presentasi Dalam penuli
san makalah ini. selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi ka
mi penulis dan juga para pembaca.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang ikut membantu dalam p
enyelesaian makalah ini, Terutama Ibu Dwi Gita Verasari (belum ada gelarnya) Selaku M
ata Kuliah Psikologi Perkembangan.

Terakhir dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari pengetahuan dan pengalaman k
ami masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang membantu dari berbagai pihak agar makalah ini lebih baik dan bermanfaat.
DAFTAR ISI (Belum)
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Childhood (masa kanak-kanak) merupakan periode yang dimulai pada usia
2 tahun sampai usia pubertas (Yusuf, 2005). Menurut Papalia, Olds, dan Feldman
(2010) perkembangan anak terbagi menjadi tiga bagian, yaitu masa kanak-kanak a
wal 2 – 5 tahun (early childhood), masa kanak-kanak tengah 6 – 9 tahun (middle c
hildhood) dan masa kanak-kanak akhir 10 – 12 tahun (late childhood).
(http://scholar.unand.ac.id/33302/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf)
Saat anak memasuki tahap early childhood, terdapat banyak perubahan dal
am pertumbuhan dan perkembangannya, seperti tumbuh kembang fisik, kognitif,
dan moral (Papalia, Olds, dan Feldman, 2010). Pada tumbuh kembang fisik kana
k-kanak sudah mulai tumbuh berat badan, tumbuh tinggi. Selanjutnya pada perke
mbangan kognitif anak sudah mulai ada di tahap operasional konkret (concret ope
rational thought), artinya anak pada usia ini dapat menggunakan operasi mental d
alam memecahkan masalah yang konkret (aktual). Anak sudah mampu berpikir se
cara logis dan dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam perti
mbangan (Papalia, Olds, dan Feldman, 2010). Perkembangan moral pada periode
ini terlihat ketika anak mulai belajar mengikuti peraturan yang ada di luar lingkun
gan rumah, anak sudah mulai membuat peraturan sendiri ketika bermain dengan t
emannya (Dacey dan Travers, 2002).

( http://scholar.unand.ac.id/33302/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf)
Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak mulai mengembangkan "self
concept". Pada usia 3, (antara 18 dan 30 bulan), anak-anak telah mengembangkan
Diri Kategoris mereka, yang merupakan cara konkret untuk melihat diri mereka se
ndiri dalam label "ini atau itu". Misalnya, anak kecil melabeli diri mereka sendiri
berdasarkan usia "anak atau dewasa", jenis kelamin "laki-laki atau perempuan", k
arakteristik fisik "pendek atau tinggi", dan nilai, "baik atau buruk."
(https://courses.lumenlearning.com/wm-lifespandevelopment/chapter/gender-and-
early-childhood/)

Konsep diri awal didasarkan pada variabel yang mudah didefinisikan dan
diamati, dan karena banyak anak pada masa usia early childhood diberi banyak do
rongan oleh kedua orang tuanya, anak-anak seringkali memiliki self esteem yang r
elatif tinggi (penilaian tentang nilai seseorang). Anak kecil pada umumnya optimi
s bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru, men
gembangkan kreativitas, dan mampu menyelesaikan tugas jika mereka tetap menc
oba dan juga belajar melalui kesalahan. Harga diri terbentuk dari beberapa faktor
seperti faktor sekolah, kemampuan atletik, persahabatan, hubungan dengan penga
suh, dan tugas membantu dan bermain lainnya.
(https://www.gulfbend.org/poc/view_doc.php?
type=doc&id=12766#:~:text=During%20early%20childhood%2C%20children
%20start,%22this%20or%20that%22%20labels.)

Anak-anak belajar bahwa ada harapan yang berbeda untuk anak laki-laki d
an perempuan. Studi lintas budaya mengungkapkan bahwa anak-anak menyadari
peran gender pada usia dua atau tiga tahun. Pada usia empat atau lima tahun, seba
gian besar anak tertanam kuat dalam peran gender yang sesuai secara budaya (Ka
ne 1996). Anak-anak mendapatkan peran ini melalui sosialisasi, sebuah proses di
mana orang belajar untuk berperilaku dengan cara tertentu seperti yang ditentukan
oleh nilai-nilai masyarakat, keyakinan, dan sikap.
(https://www.gulfbend.org/poc/view_doc.php?
type=doc&id=12766#:~:text=During%20early%20childhood%2C%20children
%20start,%22this%20or%20that%22%20labels.)

Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa u


sia anak pada masa early childhood mempengaruhi perkembangan fisik, kognitif
maupun moral. selain itu anak pada usia tersebut sedang dalam masa pembentuka
n self concept, self esteem, dan mereka mulai menyadari peran dari masing-masin
g gender yang dimiliki.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini antara lain:
1. Pendekatan Self concept
2. Pendekatan Self esteem
3. peran gender pada masa early childhood

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengenali perkembangan pendekatan self concept dan juga self esteem pa
da masa early childhood
2. Memberitahukan bagaimana anak sudah mulai berfikir mengenai peran da
ri masing-masing gender
BAB 2
PEMBAHASAN

A. SELF CONCEPT
1. Definisi
Penilaian terhadap diri sendiri semakin sadar, realistis, seimbang, d
an komprehensif, terjadi semenjak anak mulai membentuk representationa
l system yang artinya konsep lebih luas, inklusif, yang mengintegrasikan b
erbagai aspek diri.
Self concept menurut Baron & Bryrne (dalam Helmi, 1999) merup
akan suatu asumsi-asumsi atau skema diri mengenai kualitas personal yan
g meliputi penampilan fisik (tinggi, pendek,berat,ringan), kondisi psikis (p
emalu dan pencemas) dan kadang-kadang juga berkaitan dengan tujuan da
n motif utama. Self Concept dapat dikatakan merupakan sekumpulan yang
dipegang oleh seseorang tentang dirinya. Menurut Soemanto (1998) konse
p diri adalah pikiran atau persepsi seseorang tentang dirinya sendiri, meru
pakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi tingkah laku.
Menurut Seifert dan Hoffnung (Desmita, 2010: 163) self concept a
dalah suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Self co
ncept merupakan landasan untuk dapat menyesuaikan diri dan terbentuk k
arena suatu proses umpan balik dari individu yang lain. Self concept bukan
suatu hal yang sudah ada sejak lahir tetapi itu terbentuk karena penilaian te
rhadap diri sendiri dan penilaian orang lain terhadap diri kita.
Menurut Bruns (1993) suatu self concept yang positif dapat disama
kan dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri yang positif, peneri
maan diri yang positif. Self concept yang negatif menjadi lawan dengan ev
aluasi diri yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tidak me
nghargai pribadi sendiri.
Dari beberapa teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa self conc
ept adalah sikap kepercayaan dirinya dan keyakinan mengenai kelemahan
dan kelebihan yang ada pada dirinya serta karakteristik fisiknya yang terbe
ntuk melalui persepsi dan interpretasi terhadap diri sendiri dan lingkungan
nya.

2. Dimensi self concept


Calhoun dan Acocella dalam (Desmita, 2021) menyebutkan 3 dime
nsi self concept utama dari konsep diri, yaitu:
a) Pengetahuan
Dimensi pertama dari self concept adalah apa yang kita tahu tentan
g diri kita sendiri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan mem
berikan gambaran tentang diri saya. Dimensi pengetahuan (kogniti
f) dari self concept mencakup segala sesuatu yang dipikirkan tenta
ng diri kita sebagai pribadi, seperti “saya baik”, “saya cantik”, “say
a cerdas”, dan seterusnya.
b) Harapan
Dimensi kedua ini merupakan pengharapan diri ideal (self ideal) at
au diri yang kita cita-citakan. Cita-cita diri (self ideal) terdiri atas d
ambaan, aspirasi, atau menjadi manusia seperti apa yang kita ingin
kan.
c) Penilaian
Dimensi ketiga self concept adalah penilaian terhadap diri kita sen
diri. Penilaian diri sendiri merupakan pandangan kita tentang harga
atau kejiwaan kita secara pribadi dan hasil penilaian tersebut mem
bentuk apa yang biasa kita sebut dengan harga diri (seberapa besar
kita menyukai diri sendiri).
3. Jenis-jenis self concept
menurut Brian Tracy, jenis jenis konsep diri atau self concept terb
agi menjadi 3 bagian utama yakni self ideal, self image dan juga self estee
m atau jati diri. Ketiga hal ini adalah 1 kesatuan yang nantinya akan memb
entuk kepribadian seseorang, menentukan apa yang dipikirkan seseorang,
apa yang dirasakan dan juga dilakukan serta menentukan semua yang terja
di pada diri sendiri. Berikut penjelasan selengkapnya
a) Self Ideal (diri ideal)
Self ideal merupakan komponen utama dari konsep diri yan
g terdiri dari harapan, impian, visi dan juga idaman. Sel ideal ini t
erbentuk dari nilai, kebaikan dan juga sifat yang paling dikagumi
dari diri sendiri atau orang lain yang dihormati. Self ideal merupa
kan sosok yang paling diidamkan agar menjadi panutan di segala
aspek kehidupan. Bentuk ideal ini nantinya juga akan menuntun s
eseorang untuk membentuk perilaku.

b) Self Image (Citra Diri)

Bagian berikutnya dari konsep diri adalah self image yang


memperlihatkan bagaimana seseorang membayangkan diri sendiri
dan menentukan bagaimana seseorang akan bertingkah laku pada
kondisi tertentu yang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi konsep diri. Dengan kekuatan self image, maka se
mua perbaikan di dalam hidup bisa dimulai dari perbaikan dalam
self image.

c) Self Esteem (Jati Diri)

Self esteem merupakan seberapa besar seseorang menyukai


diri sendiri. Semakin menyukai diri sendiri, maka seseorang juga
semakin baik dalam bertindak pada situasi apapun yang ditekuni.
Selain itu, semakin baik performansi seseorang maka juga mening
katkan rasa suka terhadap diri sendiri. Bagian tersebut adalah kom
ponen emosional dalam kepribadian yakni bagaimana seseorang b
erpikir, bagaimana seseorang merasa dan bagaimana seseorang be
rtingkah laku.
4. Faktor-faktor Self Concept

Menurut Rakhmat (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi self concept y


aitu:

a) Orang lain

Harry Satck Sullivan (dalam Rakhmat, 1985) menjelaskan bahwa ji


ka kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaa
n diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan meneri
ma diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, m
enyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan
menyenangi diri kita.

b) Kelompok Rujukan (reference concept)

Kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh t


erhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat kelompok,
orang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya de
ngan ciri-ciri kelompoknya.

5. Aspek-aspek Self concept

Berzonsky (Simanjutak, 2009) mengemukakan beberapa aspek self concep


t, yaitu:

a) Aspek fisik

Penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya, serta b


ersifat fisik.

b) Aspek psikis

Meliputi pemikiran, perasaan dan sikap individu terhadap dirinya.

c) Aspek sosial
Bagaimana perasaan sosial yang diperankan oleh individu dan penilaia
n individu terhadap peran tersebut.

d) Aspek moral

Meliputi nilai-nilai dan prinsip yang memberikan arti dan arah dala
m kehidupan.

Self concept terdiri dari dua aspek yaitu, (Hardy & Heyes, 1998):

a) Aspek citra diri (self image)

Gambaran individu terhadap dirinya yang meliputi aspek fisik dan


psikologis.

b) Aspek harga diri (self esteem)

Meliputi suatu penilaian, perkiraan seseorang mengenai pantas diri


(self worth)

B. SELF ESTEEM

1. Definisi

Self esteem merupakan salah satu bagian dari kepribadian seseorang yan
g sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Coopersmith (1967)
self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya berhubu
ngan dengan penghargaan terhadap diri sendiri, hal ini mengekspresikan sua
tu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukan tingkat dimana individu m
eyakini diri sendiri, mampu penting, berhasil dan berharga.

Menurut Brandent (2005) Self esteem adalah pengalaman dalam kehidu


pan dan persyaratan dari kehidupan lebih spesifik lagi. self esteem adalah pe
rtama, keyakinan dalam kemampuan untuk bertindak dan menghadapi tanta
ngan kehidupan ini.

Kedua, keyakinan dalam hak kita untuk bahagia, perasaan berharga, lay
ak, memungkinkan untuk menegaskan kebutuhan dan keinginan kita serta m
enikmati buah dari kerja keras cita (Nathaniel Branden, 2005).

Berdasarkan beberapa definisi para tokoh diatas, maka dapat disimpulk


an bahwa Self esteem adalah suatu penilaian subjektif yang dibuat individu s
ebagai hasil evaluasi mengenai dirinya yang tercermin dalam sikap positif at
au negatif. dengan mengekspresikan atau sikap setuju atau tidak setuju yang
berasa dari berbagai sumber, Baik internal maupun eksternal diri.

2. Aspek-aspek Self esteem

Coopersmith (1976) menyebutkan terdapat empat aspek dalam Self


esteem individu. Aspek-aspek tersebut yaitu power, significance, virtue, d
an competence.

a) Kekuatan

Kekuatan atau power menunjukan pada adanya kemampuan seseor


ang untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan menda
pat pengakuan atas tingkah laku tersebut dari orang lain.

b) Keberartian

Keberartian atau significance menunjukan pada kepedulian, perhati


an, afeksi dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari ora
ng lain yang menunjukkan adanya penerimaan dan popularitas indi
vidu dari lingkungan sosial.

c) Kebajikan

Kebajikan atau virtue menunjukkan suatu ketaatan untuk mengikut


i standar moral dan etika serta agama dimana individu akan menjau
hi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku y
ang diizinkan oleh moral, etika, dan agama.

d) Kemampuan

Kemampuan atau competence menunjukan satu performansi yang t


inggi untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai prestasi (need of a
chievement) dimana level dan tugas-tugas tersebut tergantung pada
variasi usia seseorang.

Crocker dan Wolfe (Crocker,dkk: 200) mengemukakan bahwa Self


esteem dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu:

a) Family support (dukungan keluarga)


b) Competition (dukungan keluarga)
c) Appearance (penampilan)
d) God’s Love (anugrah tuhan)
e) Academic competence (kompetensi akademik)
f) virtue (nilai moral)
g) Approval from others (penghargaan diri)

3. Tingkat dan Karakteristik Self esteem

a) Karakteristik Self esteem tinggi

Individu dengan Self esteem tinggi cenderung puas dengan karakter


dan kemampuan diri. Adanya penerimaan dan penghargaan dari ya
ng positif ini memberikan rasa aman dalam menyesuaikan diri yang
positif ini memberikan rasa aman dalam menyesuaikan diri atau ber
eaksi terhadap stimulus dan lingkungan sosial.

b) Karakteristik Self esteem rendah

Individu dengan Self esteem rendah memiliki rasa kurang percaya


diri dalam menilai kemampuan dan atribut-atribut dalam dirinya. A
lhasil individu tidak mampu mengekspresikan diri dalam lingkunga
nnya.

4. Kebutuhan akan Self esteem

Self esteem yang tinggi sangat penting bagi setiap orang, mereka a
kan menjadi efektif dan produktif serta dapat melakukan hubungan dengan
orang lain dalam cara-cara sehat dan positif, karena itu setiap orang perlu
memahami jika dirinya berharga, mampu untuk menguasai tugas dan mam
pu menghadapi rintangan dalam kehidupan.

5. Faktor Self esteem terhadap perkembangan anak

Evaluasi anak terhadap diri sendiri merupakan hasil interpretasi


subjektif anak terhadap feed back yang berarti dalam kehidupan (orang
tua, guru,dan teman) dan perbandingan dengan nilai atau standar
kelompok atau budaya. Perlakuan dan penilaian orang tua pada masa
sebelumnya juga akan mempengaruhi self esteem individu pada masa
akhir. Pendapat tersebut didukung oleh Cooley dalam konsep diri Burns
(1993) yang menyatakan penilaian individu tentang diri sendiri juga
merupakan cerminan bagaimana orang lain terutama keluarga
memperlakukan dan menilai anak. pentingnya peran orang tua dalam
perkembangan harga diri anak. Seorang anak dengan harga diritinggi
terbentuk karena sikap positif dari orang tua terhadap keberadaan anak,
orang tua memberikan kebebasan kepada anak, tidak terlalu mengekang
tetapi juga tidak terlalu membiarkan. Terdapat empat faktor utama yang
memberi kontribusi terhadap perkembangan harga diri anak, yaitu sebagai
berikut:
a) Adanya penerimaan dari significant other yang berada
di lingkungan anak
Significant other adalah orang yang dianggap penting atau
signifikan oleh anak. Orang tua merupakan significant other
yang utama bagi anak yang memberikan pengaruh besar
terhadap pembentukan self-esteem anak melalui pengasuhan
yang diberikan kepada anak. Pandangan orang tua tentang
kemampuan anak dapat mereduksi perasaan tidak aman atau
bahkan meningkatkan atau menurunkan perasaan berharga
anak. Tujuan pengasuhan yang dilakukan orang tua adalah
menyiapkan anak agar dapat mandiri dan menjalani kehidupan
dengan baik. Seusia balita berawal dari kondisi bergantung
pada orang lain terhadap kedua orang tua. Orang tua yang
berhasil dapat mengembangkan anak yang ketergantungan
menjadi manusia yang menumbuhkan keberhargaan diri,
bertanggung jawab, dan mampu bertahan menghadapi
tantangan.

b) Memiliki pengalaman keberhasilan


Pengalaman keberhasilan dalam kehidupan anak yang
memberi arti tersendiri secara pribadi. Ukuran pengalaman
keberhasilan memiliki makna yang berlainan untuk tiap
individu.

c) Nilai dan aspirasi


Pengalaman pada bidang tertentu dapat dirasakan sebagai
keberhasilan atau kegagalan sesuai nilai yang anak
sertakan pada bidang tersebut. Anak yang gagal pada
bidang yang dianggap tidak begitu penting oleh anak, tidak
akan begitu berpengaruh terhadap kondisi harga dirianak.
Apabila anak berhasil pada bidang yang dianggap penting
oleh anak, maka akan berpengaruh terhadap harga diri anak
dan menganggap keberhasilan pada bidang lain tidak begitu
penting. Penilaian seseorang terhadap bidang yang
diperkirakan berhubungan dengan kemampuan anak
biasanya lebih pada bidang tersebut, atau kepentingan pada
bidang yang individu internalisasi dari orang tuanya.
Penilaian terhadap diri biasanya melibatkan perbandingan
antara tampilan actual dan kapasitasnya dengan aspirasi
dan standar pribadinya. Jika standar telah dicapai, terutama
pada bidang yang dianggap penting, maka individu akan
merasa bahagia, sedangkan apabila apa yang dicapainya
berada di bawah standar, individu akan merasa tidak puas.
Individu dengan harga diritinggi menetapkan tujuan
pribadinya lebih tinggi daripada individu yang harga
dirinya rendah. Individu dengan harga diritinggi merasa apa
yang diharapkan dapat dicapai meskipun tujuan lebih
tinggi.

d) Cara individu dalam merespon atau menghadapi


hambatan
Kesulitan dan kegagalan dalam hal ini berkaitan dengan
sikap-sikap yang ditampilkan individu ketika mengalami
kesulitan atau kegagalan. Individu akanberusaha untuk
melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi
kegagalan dan untuk mengurangi kecemasan, sebab reaksi
kegagalan biasanya akan menimbulkan perasaan
ketidakberdayaan,ketidakmampuan, dan kurang bisa
menerima kenyataan.

C. Peran gender pada masa early childhood

1. Definisi

Satu ranah atau saluran terakhir dari perkembangan anak adalah id


entitas gender dan seksualitas. Banyak orang percaya bahwa perkembanga
n seksual tidak menjadi masalah penting sampai masa pubertas dan remaja
Namun, anak-anak mulai menunjukkan perilaku seksual dan minat pada f
ungsi seksual mereka sejak masa bayi. Pengembangan identitas gender da
n seksualitas melintasi dimensi perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan e
mosional. Namun, seperti halnya dalam semua jalur perkembangan, pentin
g untuk diingat bahwa setiap anak unik dan dapat berkembang lebih cepat
atau lebih lambat daripada anak lainnya.

Pengertian gender menurut Muhtar (2002), bahwa gender dapat dia


rtikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menent
ukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin.
(https://www.google.com/search?
q=pengertian+gender+menurut+para+ahli&oq=pengertian+gender+meb&
aqs=chrome.1.69i57j0i13l9.8537j0j15&sourceid=chrome&ie=UTF-8)

2. Perkembangan identitas gender pada masa early childhood

Menurut Pusat Nasional untuk Keterlibatan Orang Tua, Keluarga,


dan Komunitas mengidentifikasi perkembangan gender pada masa kanak-
kanak awal.
Pada usia 5-6 (early childhood) pemikiran anak-anak mungkin kak
u dalam banyak hal. Misalnya, anak usia 5 dan 6 tahun sangat sadar akan a
turan dan tekanan untuk mematuhinya. Mereka melakukannya dengan kak
u karena mereka belum siap secara perkembangan untuk berpikir lebih dal
am tentang keyakinan dan nilai-nilai yang menjadi dasar banyak aturan. M
isalnya, seperti yang diketahui oleh para pendidik dan orang tua awal, pen
ggunaan “kebohongan putih” masih sulit dipahami oleh mereka. Para pene
liti menyebut usia ini sebagai periode identitas gender yang paling “kaku”
(Weinraub et al., 1984; Egan, Perry, & Dannemiller, 2001; Miller, Lurye,
Zosuls, & Ruble, 2009). Seorang anak yang ingin melakukan atau memak
ai sesuatu yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya mungkin sadar bahw
a anak-anak lain menganggapnya aneh. Kegigihan pilihan ini, terlepas dari
reaksi negatif orang lain, menunjukkan bahwa ini adalah perasaan yang ku
at. Kekakuan gender biasanya menurun seiring bertambahnya usia anak-an
ak (Trautner et al., 2005; Halim, Ruble, Tamis-LeMonda, & Shrout, 2013)
Dengan perubahan ini, anak-anak mengembangkan dorongan moral yang
lebih kuat tentang apa yang "adil" untuk diri mereka sendiri dan anak-anak
lain (Killen & Stangor, 2001).

Oleh karena itu, pentingnya untuk memahami upaya khas dan nor
mal ini bagi anak-anak untuk memahami dunia di sekitar mereka. Akan sa
ngat membantu untuk mendorong anak-anak dan mendukung mereka seba
gai individu, daripada menekankan atau memainkan peran dan harapan ge
nder. Hal itu dapat menumbuhkan harga diri pada anak-anak dari jenis kel
amin apa pun dengan memberikan semua anak umpan balik positif tentang
keterampilan dan kualitas unik mereka. Misalnya, Anda dapat mengatakan
kepada seorang anak, "Saya perhatikan betapa baiknya Anda kepada tema
n Anda ketika dia jatuh" atau "Kamu sangat membantu membersihkan hari
ini—kamu adalah penolong yang hebat" atau "Kamu sangat membantu. pe
lari kuat di taman bermain hari ini.”

3. Cara bagaimana masa early childhood mengekspresikan gender ident


ity
a) Pakaian atau gaya rambut
b) Lebih disukai dipanggil dengan nama panggilan
c) Perilaku sosial yang mencerminkan berbagai tingkat agresi, domin
asi, ketergantungan, dan kelembutan.
d) Cara dan gaya perilaku dan gerak tubuh dan tindakan nonverbal lai
nnya diidentifikasi sebagai maskulin atau feminin.
e) Hubungan sosial, termasuk jenis kelamin teman, dan orang-orang y
ang dia putuskan untuk ditiru

Sementara perilaku spesifik gender anak (yaitu ekspresi gender) set


iap saat tampaknya dipengaruhi oleh paparan stereotip dan identifikasi me
reka dengan orang-orang dalam kehidupan mereka, perasaan internal menj
adi perempuan, laki-laki, di antara atau sesuatu yang lain (yaitu identitas g
ender) tidak dapat diubah.

D. Sususan Keluarga

Periode eraly childhood merupakan tahap transisi dari coregulation – ada


pembagian kekuasaan, dimana orang tua memantau anak secara keseluruhan,
sementara anak juga mengatur dirinya sendiri. Orang tua yang bekerja,
khususnya ibu yang bekerja juga memberikan dampak pada kesejahteraan anak.
Dalam suatu penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin puas seorang ibu
dengan status pekerjaannya, semakin efektif ia sebagai orang tua. Dampak ibu
yang bekerja tergantung pada banyak faktor termasuk usia anak, jenis kelamin,
temperamen, dan kepribadian, bekerja penuh waktu atau paruh waktu, dsb.

Berdasarkan penelitian, ada kaitannya antara kemiskinan dengan pengasuhan


orang tua. Anak-anak yang miskin lebih punya masalah perilaku atau emosional,
bahkan potensi kognitif dan performa sekolah nampak lebih buruk.

a. Keadaan Keluarga

Pengaruh yang paling penting dari ligkungan keluarga terhadap


perkembangan anak adalah keadaan atau atmosfir dari rumah

Masa perkembangan anak usia tengah adalah masa anak memasuki masa
coregulation, yang berarti orang tua dan anak akan berbagi wewenang.
Coregulation adalah masa transisi dari pengaturan tingkah laku yang mana orang
tua akan cenderung melakukan pengawasan dan anak-anak akan melatih dalam
pengaturan diri sendiri. Contohnya, orang tua sudah tidak akan berperan secara
langsung dalam mengatur anak, namun orang tua memberi nasihat dan arahan
kepada anak. Contohnya seperti:

Efek dari Orang Tua yang Bekerja

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti tentang efek kedua orang
tua yang bekerja terhadap perkembangan anak. Penelitian-penelitian yang
dilakukan lebih difokuskan kepada ibu yang bekerja di dalam sebuah keluarga.
Umumnya, semakin seorang ibu merasa puas terhadap pekerjaannya, semakin
bagus pula kinerjanya berperan sebagai orang tua.

Namun, sesungguhnya, hal yang lebih diutamakan adalah sebaik apa seorang
orang tua untuk mengenal dan mengikuti perkembangan anaknya yang akan lebih
penting bagi anak. Ada anak, dengan ibu yang bekerja, diasuh ayahnya atau
kerabat keluarganya sebelum dan setelah waktu sekolah. Beberapa, apalagi anak
yang hidup di keluarga single-parent, lebih sering mengunjungi tempat titipan
anak atau aktifitas-aktifitas yang mengembangkan bakat.

Anak-anak, khususnya laki-laki, akan dapat beradaptasi dengan mudah dan


belajar dengan baik di sekolah apabila ditempatkan pada progam ekstrakulikeler
sekolah yang fleksibel dan berorientasi ke arah yang positif.

Namun, menempatkan pengasuhan anak di luar dari lingkungan rumah dan


sekolah lebih baik hanya dilakukan pada anak yang sudah mulai matang,
bertanggung jawab, dan mandiri, sehingga dapat berkomunikasi dengan orang tua
melalui telepon.

Kemiskinan dan Pengasuhan

Kemiskinan dapat memotivasi orang tua anak untuk bekerja keras, atau malah
menyerah. Kemiskinan dapat merusak perkembangan anak melalui kondisi emosi
orang tua, pola pengasuhan orang tua, dan keadaan lingkungan rumah yang orang
tua ciptakan.

Keluarga yang miskin tentunya menguji tingkat emosi orang tua. Orang tua yang
stress dapat berakibat pada emosi anak, perilaku anak, dan prestasi akademis anak
yang kurang baik. Kemiskinan dapat membuat orang tua menjadi cemas, depresi,
dan mempunyai emosi yang mudah terganggu. Mereka akan menjadi kurang
menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dan kurang responsif terhadap segala
kebutuhan anak. Anak-anak dengan keadaan seperti ini akan menjadi depresi,
bermasalah dalam bersosialisasi, kurang percaya diri, mempunyai masalah pada
tingkah laku dan prestasi belajar, dan cenderung melakukan hal-hal yang buruk di
lingkungan sosial mereka. Keluarga dengan tingkat ekonomi yang lemah
cenderung kurang memeperhatikan anak dan berakibat pada prestasi belajar di
sekolah dan adaptasi sosial yang kurang baik.

Orang tua yang mendapat dukungan dari pihak keluarga atau lingkungan,
memperoleh bantuan dalam pengasuhan anak, akan dapat mengasuh anak dengan
baik. Sehingga perkembangan anak, walaupun dengan kondisi ekonomi yang
lemah, tidak akan mempunyai masalaha yang signifikan.

b. Struktur Keluarga

Struktur keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak dengan cukup


signifikan. Anak yang dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang mempunyai
kedua orang tua lengkap (ayah dan ibu) akan berkembang dengan baik
dibandingkan anak yang dibesarkan oleh satu orang tua atau orang tua asuh.
Orang Tua yang Bercerai

Berbagai hal mempengaruhi penyesuaian anak, apalagi dalam masa usia tengah,
dalam menghadapi perceraian orang tuanya, meliputi kematangan usia, gender,
temperamen, dan penyesuaian psikologis serta sosial sebelum perceraian. Anak
yang lebih muda akan lebih cemas dalam menghadapi perceraian orang tuanya.
Hal ini dikarenakan anak pada masa usia tengah masih kurang memiliki persepi
yang jelas tentang penyebab perceraian tersebut. Anak dalam usia sekolah sangat
sensitif terhadap tekanan dari orang tua dan konflik loyalitas.

Anak-anak menyesuaikan diri dengan lebih baik apabila orang tua yang
mendapatkan hak perwakilan menciptakan lingkungan yang stabil, terstruktur dan
tidak mengharapkan anak untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar
dari sebelumnya. Masalah emosional atau perilaku dapat terjadi disebabkan
karena anak menyaksikan atau merasakan adanya konflik di antara orang tua, baik
sebelum atau setelah perceraian, dan dari perpisahan itu sendiri.

Apabila orangtua dapat mengontrol kemarahan mereka, bekerja sama dalam


mengasuh anak, dan menghindarkan anak dari perselisihan,sang anak, kecil
kemungkinannya akan memiliki masalah. Sayangnya ketegangan dari perceraian
sering membuat pasangan sulit menjadi orangtua yang efektif.

Sebagian besar anak dari orang tua yang bercerai menyesuaikan diri dengan baik.
Walaupun demikian, kecenderungan untuk drop out dari sekolah dua kali lebih
besar dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak bercerai. Mereka juga
cenderung menikah pada usia muda, membentuk hubungan yang tidak stabil dan
rentan perceraian.karena merasakan perceraian orang tuanya ketika mereka kecil.
Beberapa orang dewasa yang masih muda takut membuat komitmen yang
berakhir kekecewaan, akan tetapi banyak dari mereka yang menghilangkan rasa
takut tersebut dan membentuk hubungan yang kokoh dan saling mengasihi.

Tentu saja semua efek dari perceraian saling berhubungan dan tentunya efek dari
perceraian orang tua dapat menjadi penyebab perilaku anak di kemudian hari.
Dukungan dari orang tua yang bercerai terhadap anak sangat diperlukan dalam
mendukung perkembangan anak di melewati masa ini.

Anda mungkin juga menyukai