Anda di halaman 1dari 10

Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi)


DOI: http://dx.doi.org/10.15408/tazkiya.v10i2.27776 http://
journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya

Pengaruh Hubungan Beracun dalam Persahabatan terhadap Kesejahteraan Psikologis


Mahasiswa Universitas Islam

Siti Rahimah, Muhammad Zainal Abidin, Mahdia Fadhila

Jurusan Psikologi Islam, UIN Antasari Banjarmasin, Indonesia

srahimah578@gmail.com

Abstrak
Kesejahteraan psikologis yang baik ditandai dengan individu yang memiliki emosi positif dan dapat melewati
masa-masa sulit yang menyebabkan munculnya emosi negatif. Data diperoleh dari Riskesdas ( Naik
Kesehatan Dasar ), pada tahun 2007 sekitar 11,6% penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun
menunjukkan gangguan jiwa emosional yang ditandai dengan gejala depresi dan kecemasan. Kemudian pada
tahun 2018 prevalensi gangguan jiwa emosional kembali meningkat menjadi sekitar 9,8% (Idaiani & Isfandari, 2020).
Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah dukungan sosial yang berasal dari teman. Dukungan dari
teman tidak selalu positif, tapi juga negatif. Teman yang negatif disebut dengan toxic friend, yaitu pertemanan
yang merugikan. Tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan tingkat kesejahteraan psikologis Mahasiswa
Universitas Islam, (2) mendeskripsikan tingkat toxic relationship yang terjadi di lingkungan pertemanan
Mahasiswa Universitas Islam, dan (3) untuk menganalisis pengaruh hubungan beracun pada kesejahteraan
psikologis. kepada mahasiswa Mahasiswa Universitas Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah regresi sederhana. Dengan jumlah populasi 11.000 orang dan sampel 265 siswa usia 18-22 tahun. Hasil
dari penelitian ini adalah, (1) tingkat kesejahteraan psikologis mahasiswa Universitas Islam didominasi oleh
kategori sangat tinggi sebanyak 155 mahasiswa dengan persentase 58,5%, (2) tingkat toxic relationship antar
umat Islam. Mahasiswa didominasi oleh kategori rendah sebanyak 140 mahasiswa dengan persentase sebesar
52,8%, (3) ada pengaruh antara variabel toxic relationship dan kesejahteraan psikologis dengan tingkat
pengaruh sebesar 11,4%. Meski tidak berpengaruh besar, penting bagi kita untuk mengontrol lingkungan
pertemanan yang sehat untuk menjaga kesejahteraan psikologis dalam diri kita.

Kata kunci: persahabatan, kesejahteraan psikologis, toxic relationship

Abstrak
Kesejahteraan psikologis yang baik ditandai dengan individu yang memiliki emosi positif dan dapat melalui
masa-masa sulit yang menyebabkan munculnya emosi negatif. Data yang diperoleh dari Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar), pada tahun 2007 sekitar 11,6% penduduk Indonesia yang
15 tahun menunjukkan gangguan mental emosional yang ditandai dengan gejala depresi dan atas
kecemasan. Kemudian pada tahun 2018 prevalensi gangguan jiwa emosional kembali meningkat menjadi
sekitar 9,8% (Idaiani & Isfandari, 2020). Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah dukungan sosial yang
berasal dari teman. Dukungan dari teman tidak selalu positif, tetapi juga negatif.
Teman negatif disebut sebagai teman yang beracun, yaitu pertemanan yang merugikan. Tujuan penelitian ini
adalah, (1) mendeskripsikan tingkat Mahasiswa UIN, (2) mendeskripsikan
kesejahteraan psikologis
tingkat yang terjadi di lingkungan
pertemanan Mahasiswa UIN, hubungan
dan (3) beracun
menganalisis efek pada Kepada Mahasiswa
hubungan beracun kesejahteraan psikologis .

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), p-ISSN: 2829-4904, e-ISSN: 2654-7244 Ini


adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-sa /4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

Universitas Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier sederhana. Dengan jumlah populasi 11.000
orang dan sampel sebanyak 265 siswa berusia 18-22 tahun. Hasil dari penelitian ini adalah, (1) tingkat pada Mahasiswa UIN
didominasi dengan kategorikesejahteraan
sangat tinggi psikologis
sebanyak 155 mahasiswa dengan proporsi 58,5%, (2) tingkat antar mahasiswa Islam.
Mahasiswa didominasi oleh kategori rendah sebanyak 140 mahasiswa dengan proporsi
hubungan
52,8%, beracun
(3) terdapat pengaruh antara
variabel dengan tingkat pengaruh sebesar 11,4%. Walaupun pengaruhnya tidak besar, penting bagi kita untuk mengontrol
lingkungan pertemanan yang sehat untuk menjaga
hubungan beracun dan kesejahteraan psikologis

kesejahteraan psikologis dalam diri kita.

Kata kunci: kesejahteraan psikologis, hubungan beracun, persahabatan

Perkenalan
Kesejahteraan psikologis dapat dikatakan dengan kondisi individu mampu menjalani kehidupan sehari-harinya secara
positif, yang mengarah pada aktualisasi diri dan kedewasaan. Kesejahteraan psikologis merupakan sumber kebutuhan dalam
kehidupan manusia, dimana sumber-sumber tersebut harus seimbang satu sama lain untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan.
Sumbernya adalah psikologis, sosial, dan fisik (Dodge & Daly, 2012). Kesejahteraan psikologis yang baik diharapkan tidak
hanya memberikan kebebasan individu dari berbagai masalah mental tetapi juga diharapkan membuat manusia hidup sehat,
yaitu hidup sehat secara fisik dan mental. Dengan demikian, kebahagiaan tercipta pada individu yang menjalani kehidupannya
(Kurniasari et al., 2019). Kesejahteraan psikologis adalah bentuk realisasi dan pencapaian penuh potensi individu. Dengan
demikian, kesejahteraan psikologis yang baik ditandai dengan individu yang memiliki emosi positif dan dapat melewati masa-
masa sulit yang menyebabkan munculnya emosi negatif, puas dengan hidupnya, memiliki otoritas penuh atas hidupnya,
memiliki hubungan sosial yang positif, dapat mengontrol lingkungannya. , dapat berkembang dan memiliki arah tujuan hidup
yang jelas. Faktor utama kesejahteraan psikologis adalah kualitas hubungan dalam keluarga. Selain itu, popularitas, kesehatan
fisik, stres dan kedekatan hubungan dengan teman sebaya (Juwita & Kustanti, 2020).

Konsep kesejahteraan psikologis yang dirumuskan oleh Ryff, (1995) adalah individu yang memiliki sikap dan pandangan
positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, mampu menjadikan dirinya lebih dominan daripada orang lain dalam berperilaku
dan mengambil keputusan, terus menerus berusaha mengembangkan dirinya, dapat menciptakan dan mengendalikan
lingkungan dan keadaan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan mampu membuat hidup lebih bermakna.
Dengan kata lain, kesejahteraan psikologis dapat dikatakan sebagai evaluasi diri yang positif bagi individu untuk memperbaiki
perilakunya. Dengan demikian, individu dapat menemukan jati dirinya yang unik dengan menjadi pribadi yang lebih baik dan
utuh (Ryff, 1995).

Sedangkan bahasan kesejahteraan psikologis yang cukup menarik dalam penelitian ini adalah kesejahteraan psikologis
mahasiswa. Sebab, pada umumnya siswa merupakan masa peralihan antara remaja dan dewasa sehingga memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Selain itu, mahasiswa juga membawa status baru
bagi dirinya yang diharapkan menjadi agen perubahan. Dimana, beban dan tanggung jawab mahasiswa tidak hanya sebatas
menjalankan tugas dan kewajibannya, tetapi juga sebagai agen perubahan bagi negara Indonesia (Jannah & Sulianti, 2021).
Pusat Kesehatan Jiwa Masyarakat merupakan salah satu unit kerja Psikologi Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2012
mengadakan workshop yang membahas tentang program kampus Indonesia Sejahtera yang dilatarbelakangi oleh berbagai
permasalahan kemahasiswaan khususnya masalah di bidang akademik dimana mahasiswa dituntut untuk menyesuaikan diri
dalam studi mereka yang berbeda dari sekolah tinggi. Sementara itu, masalah non akademik bersumber dari tekanan sosial di
lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari, seperti hubungan sosial dalam lingkup pertemanan yang berbeda budaya,
suku, dan ras, kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, masalah dalam hubungan lawan jenis juga. sebagaimana permasalahan
yang terjadi pada organisasi dan kegiatan kemahasiswaan (Julika & Setiyawati, 2019). Dengan demikian, kesejahteraan
psikologis merupakan bentuk kepuasan individu yang ditandai dengan perasaan damai dan bahagia dalam segala aspek
kehidupan.

Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis juga bermacam-macam, antara lain faktor psikososial (identitas
individu dan pengalaman hidup), faktor sosiodemografi (data demografis individu seperti jenis kelamin,

156-164 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini adalah


artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://
creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

usia, dll), faktor resiliensi (ketahanan individu terhadap lingkungan), faktor dukungan sosial (persepsi bahwa orang lain akan
memberikan bantuan), faktor teknik koping (mengubah fungsi kognitif dan perilaku untuk tuntutan eksternal yang penuh
tekanan) (Simanjuntak & Sulistyaningsih, 2018 ). Dari kelima faktor di atas, faktor yang paling mempengaruhi kesejahteraan
psikologis adalah dukungan sosial, yaitu perasaan nyaman yang diberikan orang lain kepada kita, perasaan diperhatikan oleh
orang lain, dan selalu merasa dibantu oleh orang lain. Dengan demikian, dukungan sosial berfungsi sebagai penyangga atau
mediator antara individu dengan stressor. Sumber dukungan sosial ini bisa berasal dari siapa saja, baik itu pasangan, keluarga,
teman, komunitas, maupun organisasi (Kurniawan & Eva, 2020). Ada tiga dimensi dukungan sosial, yaitu: dimensi keluarga,
dimensi teman, dan dimensi orang penting. Sedangkan faktor yang mempengaruhi dukungan sosial terbagi menjadi dua, yaitu:
faktor internal (keinginan dalam diri seseorang untuk mencari dukungan sosial) dan faktor eksternal (kemauan orang lain untuk
membantu) (Zimet et al., 1988).

Sarafino menyebutkan dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, perasaan dicintai, dan penghargaan yang diperoleh
dari orang lain, baik secara individu maupun kelompok. Jadi, apapun yang terjadi dalam lingkup sosial dapat dikatakan sebagai
dukungan sosial atau bukan, tergantung sejauh mana individu dapat merasakan dan mengalaminya sebagai dukungan sosial.
Menurut Sarafino, dukungan sosial terbagi menjadi empat bentuk, yaitu: Pertama, dukungan emosional (berupa ungkapan kasih
sayang, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan, menyampaikan empati, kepedulian, perhatian, dan sebagainya);
Kedua, dukungan instrumental (melibatkan bantuan secara langsung, bisa berupa jasa, waktu, atau uang); Ketiga, dukungan
informasional (memberikan saran, arahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang harus dilakukan); dan Keempat dukungan
pertemanan (ketersediaan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama). Dukungan tersebut terlihat dalam setiap interaksi
yang dilakukan individu sehingga secara fisik dan psikologis individu akan merasa nyaman (Sarafino & Smith, 2014).

Interaksi dengan individu dalam penelitian ini adalah interaksi mahasiswa dalam lingkup teman sebaya pada mahasiswa
UIN. Siswa yang memiliki tingkat dukungan sosial yang baik cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Hal
ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa rantau di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe (Adyani
et al., 2019). Dalam penelitian lain, Nur Eva, Pravissi Shanti, Nur Hidayah, dan Moh. Bisri menyimpulkan bahwa dukungan
sosial diperlukan untuk memperkuat kesejahteraan psikologis mahasiswa karena dukungan sosial merupakan prediktor
kesejahteraan psikologis.
Pengaruh dukungan sosial terhadap kesejahteraan psikologis siswa di Indonesia diperkuat dengan budaya kolektif yang
berkembang di masyarakat. Dengan demikian, dapat ditekankan bahwa dukungan sosial berkontribusi dalam meningkatkan
kesejahteraan psikologis siswa (Eva et al., 2020).

Salah satu bentuk dukungan sosial yang dikemukakan Sarafino adalah dukungan emosional. Dukungan emosional ini dapat
dikategorikan ke dalam kebutuhan akan cinta yang mengacu pada hirarki kebutuhan dasar ketiga yang dikemukakan oleh
Abraham Maslow, yaitu kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta (belonging and love). Kebutuhan ketiga ini merupakan
kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial di lingkungannya, dan cinta kasih merupakan tujuan utama yang ingin
dicapai. Perasaan dicintai dan diterima di lingkungan adalah jalan menuju perasaan sehat dan berharga, begitu pula sebaliknya,
kegagalan memenuhi kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta (belonging and love) merupakan penyebab dari hampir semua
bentuk psikopatologi. Menurut Maslow, ada dua jenis cinta yaitu: Defisiensi (D-love) dan Being (B-love). D-cinta adalah cinta
yang egois karena hanya mementingkan diri sendiri, mendapatkan lebih banyak cinta daripada memberi cinta.
Sedangkan B-love adalah cinta yang bersifat positif, karena tujuan utamanya adalah memberikan citra positif dan penerimaan
diri kepada orang lain, tidak ada niat untuk memiliki, dan pengaruh. Sehingga dapat membuka peluang bagi orang lain untuk
terus berkembang karena merasa dicintai (Alwisol, 2016). Lantas, bagaimana jika D-love yang diharapkan tidak sesuai dengan
ekspektasi individu yang mengalaminya? Berharap mendapatkan cinta-B yang positif, tetapi yang Anda dapatkan adalah cinta-
B yang negatif. Peristiwa seperti ini dapat terjadi dalam hubungan dalam keluarga, teman sebaya, rekan kerja, dan pasangan.
Dengan kata lain, hubungan semacam ini bisa disebut sebagai “Toxic Relationship”.

Toxic relationship adalah suatu kondisi hubungan yang didalamnya terdapat perilaku emosional baik secara psikis maupun
fisik, dan melampiaskannya kepada seseorang yang menjadi partner dari lawan bicaranya. Di mana, salah satu lawan bicara
terus menerus menguras lawan bicara secara mental, emosional, psikologis, dan spiritual (Gruder, 2018). Toxic relationship
adalah segala bentuk hubungan yang terjalin antar individu, tetapi tidak ada dukungan satu sama lain, ada persaingan, ada
masalah, berusaha merusak, dan tidak menghargai individu lain. Toxic relationship berbahaya bagi individu yang mengalaminya
karena dapat mengikis martabat, kepercayaan diri, dan kepribadian seseorang. Hubungan beracun dicirikan oleh situasi non-
egaliter, di mana korban bergantung pada pelaku, sehingga menciptakan mekanisme dominasi dan ketundukan. Korban akan
mendapatkan pengaruh lebih dari yang lain.

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini adalah 157-164


artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://creativecommons.org/licenses/
by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

Tidak ada ruang bagi diri sendiri untuk mempertahankan kapasitas dan takdirnya, dan tidak ada keuntungan timbal balik (Alfiani,
2020).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Toxic Relationship adalah hubungan beracun yang tidak sehat dan merugikan
karena tidak lagi menghubungkan kedua belah pihak. Sehingga saling menyakiti antara kedua belah pihak dan menimbulkan emosi
negatif yang tidak dapat dikendalikan. Bagi individu yang mengalami toxic relationship, mereka mampu membawa individu pada
kesehatan mental yang buruk, karena merasa tertekan dan tidak bahagia yang menjadi penghambat untuk bisa hidup produktif,
sehat, dan bahagia.

Kenyataannya, masih banyak orang yang terjebak dalam toxic relationship, baik disadari maupun tidak. Padahal toxic relationship
memiliki banyak dampak negatif, baik dampak fisik maupun psikis. Dampak yang ditimbulkan dari toxic relationship ini adalah
terganggunya kesehatan mental seseorang seperti mengalami kecemasan, stres, depresi, dan mengganggu kesehatan fisik (Agnes
et al., 2021). Selain itu, dampak psikologisnya adalah dapat membuat individu merasa rendah diri, membenci diri sendiri, dan
menjadi individu yang pesimis. Hal ini terjadi karena perlakuan atau perkataan negatif yang diberikan orang-orang di lingkungannya
kepadanya. Sehingga dapat menyebabkan munculnya emosi negatif pada individu (Alfiani, 2020).

Abu Sayed Zahiduzzaman membagi toxic relationship menjadi tiga kategori, yaitu: toxic relationship, toxic friends, dan toxic
family. Keterbatasan penelitian ini adalah peneliti hanya menggunakan satu kategori yaitu toxic friends, karena keterbatasan peneliti
dalam mencari responden dengan tiga kategori sekaligus. Teman beracun umumnya sangat berbakat dan dapat meyakinkan orang
lain tentang apa pun tentang orang yang mereka pilih. Berteman dengan orang-orang yang “beracun”, seseorang secara tidak
langsung membiarkan mereka memiliki otoritas yang tinggi atas dirinya. Ketika seseorang secara sadar atau tidak sadar memutuskan
untuk menjadi teman yang “beracun”, mereka bertekad untuk melakukan atau mengatakan apa pun kepada orang lain untuk
melayani motif apa pun yang mendorong mereka.
Menyebarkan kebohongan atau memutarbalikkan kebenaran dengan cara yang mengangkat pelaku, memberi mereka kekuatan dan
selebriti di antara lingkaran teman mereka (Zahiduzzaman, 2015).

Dalam pandangan Islam dijelaskan bahwa persahabatan pada hakekatnya adalah simbiosis mutualisme, yaitu keduanya
pihak saling menguntungkan. Allah SWT berfirman:

“Orang-orang mukmin memang bersaudara. Karena itu berdamailah (perbaikan hubungan) antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” Surat Al-Hujjarat: 49 (10).

Ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya orang mukmin yang beriman itu seperti keturunan. Sebab, menjalin hubungan
satu sama lain dalam keimanan dan juga satu nasab, diperintahkan untuk mendamaikan antar saudara, tidak ada konflik dan saling
menyakiti serta seruan untuk bertakwa kepada Allah SWT (Mukafi, 2020).

Dari penelitian sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh hubungan yang tidak sehat antara kesejahteraan
psikologis individu yang mengalaminya. Karena setiap individu membutuhkan kebahagiaan dalam setiap hubungan yang terjalin,
baik hubungan dalam keluarga, teman sebaya, maupun pasangan. Dimana kebahagiaan dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologis setiap individu. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, kekerasan emosional sering dijadikan sebagai variabel dalam
penelitian yang berkaitan dengan hubungan romantis dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga pada suami istri.
Sedangkan dalam hubungan pertemanan, kekerasan emosional ini terjadi pada kasus bullying atau perundungan di sekolah, dalam
hal ini pelaku tindak pidana Bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisik, ingin populer, sering membuat masalah, dan
mencari-cari kesalahan. lain, pendendam, iri hati, hidup berkelompok dan menguasai lingkungan sosial di sekolah (Zakiyah et al.,
2017). Dari segi pelaku, inilah yang membedakan bullying dengan toxic friends. Dalam toxic friends, perilaku yang biasanya dilakukan
adalah ucapan yang secara tidak langsung menghina atau merendahkan orang lain, kata-kata menyindir yang dikemas dalam bentuk
pujian, memberikan komentar buruk kepada orang lain (gosip), berlindung dalam candaan, menguping, dan menyebarkan informasi.
diperoleh setelah dimanipulasi, dan suka menyudutkan orang lain (Ridla, 2020).

Dalam penelitian Annisa Verizka dan Fatchiah Ekowaty Kertamuda menyebutkan bahwa kekerasan emosional sulit diidentifikasi
karena tidak ada bukti fisik korban, namun dampaknya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis dan menghambat
perkembangan individu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Annisa mengenai kesejahteraan psikologis perempuan
yang pernah mengalami kekerasan emosional, dari enam dimensi kesejahteraan psikologis, terdapat 3 dimensi yang menjadi

158-164 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini adalah


artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://
creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

subjek dapat melakukannya dengan baik, yaitu dimensi hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan pertumbuhan
diri. Sedangkan dimensi lain yang belum tercapai pada mata pelajaran yaitu penerimaan diri, kemandirian, dan penguasaan
lingkungan masih dalam proses pencapaian (Verizka & Kertamuda, 2020).

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa permasalahan yang terjadi di lingkungan pertemanan sangat beragam.
Dari permasalahan tersebut, muncul pemikiran di benak individu yang mengalami toxic relationship dan menimbulkan perasaan
yang tidak nyaman bagi mereka. Hal ini terkait dengan kesejahteraan psikologis individu. Dalam kasus kekerasan fisik, hal itu
terkait erat dengan kesejahteraan psikologis. Namun, bagaimana dengan kekerasan emosional yang terjadi dalam pertemanan
yang dibungkus dengan alasan bercanda, menyakiti secara halus, dan sebagainya yang dimodernisasi dengan kalimat toxic
relationship.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengetahui seberapa besar pengaruh toxic friends terhadap
kesejahteraan psikologis seseorang.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan tipe korelasional. Pengambilan sampel menggunakan
teknik probability sampling simple random sampling, yaitu sampel dipilih secara acak dan tidak melihat tingkatan dalam
populasi (Latipah, 2014). Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan tabel Isaac dan Michael, dengan rumus sebagai
berikut:
2
. .
s= 2
2( ÿ1)+

Informasi:

S = ukuran sampel yang diperlukan

N = jumlah penduduk
P = proporsi populasi 0,5

Q = 1 – P = 0,5

D = tingkat akurasi = 0,05


ÿ = tabel chi-square menurut tingkat kepercayaan 1%, 5%, dan 10% dengan df=1

Dalam penelitian ini jumlah populasi yang diketahui adalah 11000 orang, dan tingkat kepercayaan yang akan digunakan
peneliti adalah 10%. Sehingga diperoleh dari tabel chi-square dengan tingkat kepercayaan 10% adalah 2,706. Dengan
demikian, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
2,706 × 11000 × ,5 × ,5
s=
.052(11000ÿ1)+ 2.706.× .5 × .5

7441.5
=
28.174

= 264.126

= 265 (dibulatkan)

Sehingga penelitian ini membutuhkan sampel sebanyak 265 yang dapat mewakili populasi dengan mahasiswa UIN Antasari
Banjarmasin yang berusia 18-22 tahun. Sedangkan objek penelitian ini adalah variabel X dan sebagai hubungan beracun sebagai

variabel Y. kesejahteraan psikologis

Skala hubungan toksik diukur berdasarkan indikator hubungan toksik yang dikemukakan oleh JA
Mc Gruder. Skala toxic relationship akan dirancang oleh peneliti sendiri berdasarkan indikator yang dikemukakan oleh JA Mc
Gruder dengan total 31 item dan disajikan dalam bentuk skala Likert dengan 4 pilihan jawaban yaitu sangat tidak setuju, tidak
setuju, setuju, dan sangat setuju. Indikator hubungan beracun yang ditemukan oleh JA Mc Gruder adalah sebagai berikut:
Kurang percaya pada orang lain; Emosional dan

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini adalah 159-164


artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://creativecommons.org/licenses/
by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

agresif; Manipulasi diri; Berbohong kepada lawan bicara; dan Melakukan kekerasan untuk mengikat lawan bicara untuk selalu
bersamanya (Gruder, 2018).
Kesejahteraan psikologis diukur berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Carol D. Ryff. Skala kesejahteraan psikologis dalam
penelitian ini merupakan adaptasi dan modifikasi dari penelitian disertasi sebelumnya oleh Najib Amrullah dengan judul penelitian
“Pengembangan Alat Ukur Kesejahteraan Psikologis dan Kompetensi Interpersonal Guru PAI”. Ada 6 dimensi yang dikemukakan oleh
Carol D. Ryff dengan total 27 item (Amrullah, 2021). Dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner yang akan
disajikan dalam bentuk skala Likert dengan 4 pilihan jawaban yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju.

Dimensi yang dikemukakan oleh Carol D. Ryff adalah: Self-Acceptance; Hubungan Positif dengan Orang Lain/Hubungan Positif
dengan Orang Lain; Otonomi/Kemerdekaan/Otonomi; Tujuan Hidup/Tujuan Hidup; Pengembangan Pribadi/Pertumbuhan Pribadi;
Penguasaan Lingkungan (Ryff, 1989). Untuk mengetahui konsistensi pengukuran sampai sejauh mana dapat dipercaya bila dilakukan
pengukuran berulang maka dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach (Sujarweni, 2015). Tes ini dibantu
dengan program komputer IBM SPSS Statistics 22 dan hasil Cronbach Alpha untuk skala kesejahteraan psikologis adalah 0,856 dan
skala hubungan beracun adalah 0,934. Analisis data yang digunakan adalah uji regresi sederhana. Uji regresi sederhana digunakan
untuk mengukur pengaruh toxic relationship terhadap kesejahteraan psikologis pada mahasiswa dengan bantuan the

Program IBM Statistics SPSS 22 .

Hasil dan Diskusi


Intensitas dari kesejahteraan psikologis Dan hubungan beracun pada siswa adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Intensitas Kesejahteraan Psikologis F Persen Valid Persen


Kumulatif Persen

Valid Sangat rendah 0


Rendah 0 0 0
Tinggi 1 ,4 ,4 ,4
Sangat tinggi 109 41,1 41,1 41,5 100,0
Total 155 265 58,5 100,0 58,5 100,0

Diketahui menunjukkan intensitas pada siswa terbagi menjadi empat kategori


kesejahteraan yaitu tidak ada siswa yang memiliki tingkat sangat
psikologis
rendah pada kategori rendah terdapat 1 siswa dengan prosentase 0,4%, terdapat 109 kesejahteraan
siswa pada kategori ,
tinggi dengan persentase
psikologis
41,1% dan terdapat 155 siswa yang berada pada tingkat sangat tinggi dengan persentase 58,5%.
kesejahteraan psikologis

Tabel 2. Intensitas Toxic Relationship

F Persen Persen Valid Persentase


Kumulatif
Valid Sangat rendah 104 39,2 39,2 39,2
Rendah 140 52,8 52,8 92,1
Tinggi 16 6,0 6,0 98,1
Sangat tinggi 1,9 1,9 100,0
Total 5 265 100,0 100,0

Diketahui bahwa intensitas toxic relationship antar siswa terbagi menjadi empat kategori yaitu pada kategori sangat rendah terdapat
104 siswa dengan persentase 39,2%, terdapat 140 siswa pada kategori rendah dengan persentase 52,8%, terdapat terdapat 16 siswa
dalam kategori rendah. tinggi dengan persentase 6% dan 5 siswa berada pada kategori toxic relationship tingkat sangat tinggi dengan
persentase 1,9%.

Uji regresi sederhana digunakan untuk mengukur pengaruh toxic relationship terhadap kesejahteraan psikologis pada mahasiswa.
Sedangkan hasil uji regresi sederhana adalah sebagai berikut.

160-164 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini adalah


artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://
creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

Tabel 3. Hasil Uji Regresi Sederhana RR Square


Variabel F Sig.

Hubungan Beracun (X) .338 .114 33.915 .000


Kesejahteraan Psikologis
(Y)

Pada Tabel 3 di atas, terdapat F hitung sebesar 33,915 dan signifikansi 0,000, di mana 0,000 < 0,05. Artinya, model
regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dan terdapat pengaruh antara variabel toxic relationship terhadap
variabel kesejahteraan psikologis. Sedangkan untuk nilai R yang merupakan simbol dari nilai koefisien korelasi yaitu
sebesar 0,338. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa hubungan kedua variabel penelitian berada pada kategori sedang.
Selain itu terdapat nilai R square yaitu koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa baik model regresi yang dibentuk
oleh interaksi variabel bebas yaitu toxic relationship dalam persahabatan dan variabel terikat kesejahteraan psikologis.
Koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 11,4% yang dapat diartikan bahwa toxic relationship dalam pertemanan
memberikan kontribusi sebesar 11,4% terhadap kesejahteraan psikologis dan 88,6% dipengaruhi oleh faktor lain di luar
toxic relationship dalam pertemanan.

Dari hasil penelitian tidak ada siswa yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis sangat rendah, pada kategori
rendah terdapat 1 siswa dengan persentase 0,4%, dan pada kategori tinggi terdapat 109 siswa dengan persentase
sebesar 41,1% dan jumlah siswa sebanyak 155 orang. siswa yang berada pada kategori kesejahteraan psikologis sangat
tinggi dengan persentase 58,5%. Dari hasil tersebut terlihat bahwa tingkat kategori kesejahteraan psikologis yang paling
mendominasi berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata siswa memiliki tingkat kesejahteraan
psikologis yang sangat tinggi yang berarti sejahtera secara psikologis. Hal ini menunjukkan tercapainya potensi psikologis
dalam diri siswa atau perasaan dimana siswa dapat menerima dirinya apa adanya, dapat berteman, dapat mengatur
lingkungan, memiliki tujuan hidup, mandiri dan terus mengembangkan potensinya. (Ryff, 1989).

Temuan penelitian ini bertentangan dengan temuan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sari
dan Diana di UGM pada tahun 2019 (Julika & Setiyawati, 2019) dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sulis di
Universitas Esa Unggul pada tahun 2017 (Mariyanti, 2017). Dimana kedua universitas tersebut menyatakan bahwa
mahasiswa disana memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan mahasiswa
UIN Antasari yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis dominan yang sangat tinggi.
Hasil yang diperoleh berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya, hal ini kemungkinan disebabkan oleh salah
satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu religiusitas yang berkaitan dengan transendensi segala
persoalan hidup kepada Tuhan. (Ardani & Istiqomah, 2020). Sejalan dengan visi dan misi UIN Antasari Unggul dan akhlak
yang berlandaskan Islam. Dibuktikan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sri Yuni Yulianti pada tahun
2021 yang meneliti tentang tingkat religiusitas mahasiswa Psikologi Islam UIN Antasari, dari hasil penelitian ini diketahui
bahwa tingkat religiusitas mahasiswa UIN Antasari sebesar 80,5%. Hal ini menunjukkan hasil religiusitas yang kuat pada
mahasiswa Psikologi Islam UIN Antasari dengan kategori tinggi (Yulianti, 2021). Begitu juga penelitian sebelumnya dari
Annisa Fitiani bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan kesejahteraan psikologis
(Fitriani, 2016).
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan psikologis dapat dipengaruhi oleh tingkat religiusitas.
Sedangkan hasil tingkat hubungan toxic yang diperoleh berada pada kategori sangat rendah terdapat 104 siswa
dengan persentase 39,2%, kategori rendah terdapat 140 siswa dengan persentase 52,8%, terdapat 16 siswa pada kategori
tinggi. dengan persentase 6% dan terdapat 5 siswa yang berada pada kategori toxic relationship sangat tinggi dengan
persentase 1,9%.
Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata siswa tidak mengalami toxic relationship yang ditandai dengan siswa mampu
membangun kepercayaan satu sama lain dalam kelompok pertemanan, mampu mengendalikan emosi dan agresivitas
dalam bersosialisasi, mampu menampilkan diri apa adanya tanpa memanipulasi diri mereka sendiri ketika persahabatan
terjalin, jujur. dalam berbicara, dan tidak saling mengekang dalam lingkup persahabatannya dalam arti memberikan
kebebasan kepada orang-orang di sekitarnya (Gruder, 2018). Jadi, tidak ada lingkaran pertemanan yang beracun.

Kemudian, aspek toxic relationship yang memberikan kontribusi paling efektif terhadap kesejahteraan psikologis
adalah aspek emosional dan agresif yang ditandai dengan persentase sebesar 5,2%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
mahasiswa UIN Antasari merasa masih ada lingkaran pertemanan yang tidak suka melihat

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini 161-164


adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://creativecommons.org/
licenses/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

diri mereka bahagia, seperti yang ditunjukkan oleh kurangnya kontrol emosi dan agresivitas. Sedangkan
kontribusi pengaruh toxic relationship terhadap kesejahteraan psikologis hanya sebesar 11,4%. Dengan
demikian, 88,6% lainnya dipengaruhi oleh kadar variabel lain yang tidak diteliti oleh peneliti. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh toxic relationship tidak begitu berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis
siswa dalam menjalani kehidupannya.

Kesimpulan
Pada penelitian ini tingkat kategori kesejahteraan psikologis yang paling mendominasi berada pada kategori
sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya potensi psikologis dalam diri siswa atau perasaan dimana
siswa dapat menerima dirinya apa adanya, dapat berteman, dapat mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup,
mandiri dan terus mengembangkan potensinya. Dengan tingkat kesejahteraan psikologis dominan yang sangat
tinggi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa UIN Antasari dapat mengevaluasi dirinya secara positif
dalam memperbaiki perilakunya. Dengan demikian, dapat membuat siswa menemukan jati dirinya yang unik
dengan menjadi pribadi yang lebih baik dan utuh.
Kesejahteraan psikologis baik ketika siswa mampu kembali fokus pada tujuan hidupnya ketika mereka
menghadapi masalah di lingkungan pertemanan. Sebab, individu yang memiliki tujuan hidup akan melangkah
dengan pasti untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Hidupnya akan penuh makna dan memiliki arah tujuan
yang jelas. Tujuan hidup dalam perspektif Islam adalah untuk beribadah kepada-Nya. Umat Islam dituntut untuk
menjalankan segala perintah-Nya, baik yang menyangkut akidah maupun syariah, karena semua itu merupakan
hakekat dan tujuan penciptaan manusia.

Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian


Responden penelitian hanya terfokus pada mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin dan jumlah sampel tidak
cukup representatif untuk menyimpulkan kondisi populasi. Dengan demikian, hasil penelitian tidak dapat
digeneralisasikan untuk populasi umum. Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk mencari lebih banyak
responden dalam penelitian. sehingga penelitian dapat digeneralisasikan untuk populasi. Berdasarkan temuan
dalam penelitian ini bahwa terdapat variabel lain yang lebih besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan psikologis
individu, maka disarankan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema penelitian ini untuk menggunakan
variabel toxic parents yaitu cenderung memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan teman beracun.

Referensi
Adyani, L., Suzanna, E., Safuwan, S., & Muryali, M. (2019). Dukungan sosial dan psikologis yang dirasakan
kesejahteraan di kalangan mahasiswa antar negara bagian di universitas Pribumi: Jurnal Ilmiah
Psikologi malikussaleh. , 3(2), 98–104.

Agnes, T., Dendi, V., & Bala, OLEH (2021). Persepsi generasi milenial terhadap toxic relationship dari . https://
analisis transaksional pandangan. PsyArXiv doi.org/10.31234/osf.io/n637h

Alfiani, VR (2020). Upaya Resiliensi Pada Remaja Dalam Mengatasi Toxic Relationship Yang Terjadi Dalam
Hubungan Pacaran. Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto .

Alwisol. (2016). Psikologi keperawatan . Pers Universitas Muhammadiyah Malang.

Amrullah, N. (2021). Pengembangan Alat Ukur Kesejahteraan Psikologis Dan Kompetensi


Interpersonal Guru PAI .

Ardani, TA, & Istiqomah. (2020). Psikologi Positif Perspektif Kesehatan Mental Islam . PT Remaja
Rosdakarya.

Dodge, R., & Daly, A. (2012). P.Huyton. Sanders, LD Tantangan mendefinisikan kesejahteraan. , 2(3), 222–235.
Jurnal Internasional dari Kesejahteraan

162-164 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini


adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

Eva, N., Shanti, P., Hidayah, N., & Bisri, M. (2020). Pengaruh dukungan sosial terhadap kesejahteraan
mahasiswa psikologi dengan religiusitas sebagai moderator. Jurnal Kajian Bimbingan Dan
Konseling , 5(3), 122–131.

Fitriani, A. (2016). Peran religiusitas dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis. Al-Adyan: Jurnal
Studi Lintas Agama , 11(1), 57–80.

Gruder, JAM (2018). Memotong Kerugian Anda Dari A BurukAtau Hubungan Beracun . Xlibris Corp.

Idaiani, S., & Isfandari, S. (2020). Pola Gangguan Mental Emosional: Studi tentang Dasar Nasional
Riset Kesehatan 2007, 2013, dan 2018 . 522–525.

Jannah, F., & Sulianti, A. (2021). Perspektif Mahasiswa sebagai Agen Perubahan melalui Pendidikan Kewarganegaraan. ,
2(2), 181–193. ASANKA: Jurnal dari Ilmu Sosial Dan Pendidikan

Julika, S., & Setiyawati, D. (2019). Kecerdasan emosional, stres akademik, dan kesejahteraan subjektif , 5(1), 50–59.
pada mahasiswa. Jurnal Gadjah Mada Psikologi (GamaJoP)

Juwita, VR, & Kustanti, ER (2020). Hubungan antara pemaafan dengan kesejahteraan psikologis pada korban
perundungan. , 7(1), 274–282. Jurnal Empati

Kurniasari, E., Rusmana, N., & Budiman, N. (2019). Gambaran umum kesejahteraan psikologis
mahasiswa. Jurnal dari Konseling Inovatif: Teori, Praktek, dan Penelitian 3 , (02), 52–58.

Kurniawan, SR, & Eva, N. (2020). . 1(1). Hubungan antara dukungan sosial dengan kesejahteraan psikologis
pada mahasiswa rantau

Latipah, E. (2014). Metode Penelitian Psikologi Pendidikan . Terbitkan dalam-dalam.

Mariyanti, S. (2017). Profil kesejahteraan psikologis mahasiswa reguler program studi psikologi semester 1 di universitas
esa unggul. (2). Jurnal Psikologi: Media Ilmiah Psikologi 15 ,

Mukafi, HA (2020). Konsep Pertemanan Dalam Islam Menurut Al-Shyaikh Al-Zarn ÿ ÿ Dalam Kitab j

Ta'l M Al-Muta'al im ÿ . (Disertasi, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2020). Akses dari http://
Saya

etesis.iainponorogo.ac.id/9653/

Ridla, IZ (2020). Perancangan Informasi Mengenai Toxic People Melalui Feed Media Sosial
Instagram . (Disertasi, Universitas Komputer Indonesia, 2020). Akses dari https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/
2996/

Ryff, CD (1989). Kebahagiaan adalah segalanya, atau bukan? Eksplorasi tentang makna sumur psikologis
makhluk. Jurnal dari Psikologi Kepribadian dan Sosial , 57(6), 1069.

Ryff, CD (1995). Kesejahteraan psikologis dalam kehidupan Arah Saat Ini di Ilmu Psikologi ,
dewasa. 4(4), 99–104.

Sarafino, EP, & Smith, TW (2014). Psikologi kesehatan: Interaksi biopsikososial . John Wiley &
Anak laki-laki.

Simanjuntak, LS, & Sulistyaningsih, W. (2018). Perbedaan kesejahteraan psikologis lansia ditinjau dari bentuk dukungan
teman sebaya: perbedaan kesejahteraan psikologis lansia ditinjau dari bentuk abstrak dukungan teman sebaya. ,
13(2), 59– 73. Psikologia: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi

Sujarweni, VW (2015). SPSS Untuk Penelitian . Pustaka Baru Press.


Verizka, A., & Kertamuda, FE (2020). Kesejahteraan psikologis pada perempuan dewasa awal yang
memiliki pengalaman kekerasan emosional. INQUIRY: Jurnal Ilmiah Psikologi , 11(1), 27–39.

Yulianti, SY (2021). Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kecemasan Dalam Menghadapi Pandemi
Covid-19 Pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Islam Uin Antasari Banjarmasin . (Disertasi,

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini 163-164


adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://creativecommons.org/
licenses/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

TAZKIYA (Jurnal Psikologi), 10(2), 2022

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2021). Akses dari https://idr.uin antasari.ac.id/16302/

Zahiduzzaman, AS (2015). Hubungan Beracun A Poin Psikologis DariMelihat. Rumah Penulis.

Zakiyah, EZ, Humaedi, S., & Santoso, MB (2017). Faktor yang mempengaruhi remaja dalam melakukan bullying.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat , 4(2).

Zimet, GD, Dahlem, NW, Zimet, SG, & Farley, GK (1988). Skala multidimensi dari (1), 30–41.
dukungan sosial yang dirasakan. Jurnal dari Penilaian Kepribadian 52 ,

164-164 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tazkiya Ini


adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC-BY-SA (https://
creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)

Anda mungkin juga menyukai