Anda di halaman 1dari 17

MATERI PPT

I.1 Definisi Gizi Balita


Gizi merupakan suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan,
metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan
kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan
energi (Supariasa, 2016). Gizi diartikan sebagai keadaan seimbang antara intake zat
gizi dengan kebutuhan dalam rangka menjalankan metabolisme (Supardi & dkk,
2023).

Gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan untuk


mencapai tumbuh kembang optimal pada masa bayi dan balita(Supardi & dkk, 2023).
Masa balita merupakan tahap perkembangan yang pesat bagi anak. Pada usia ini, anak
harus mendapatkan gizi yang cukup dan seimbang sehingga kebutuhan gizi anak bisa
terpenuhi dengan baik dan anak tidak mengalami kekurangan gizi. Kekurangan gizi
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kemiskinan, kurangnya persediaan
pangan, adanya daerah miskin gizi (iodium), serta kurangnya pengetahuan ibu tentang
gizi seimbang dan penerapan pola makan pada balita (Juliati, 2017).

I.2 Status Gizi Balita


Status gizi berhubungan dengan intake makronutrien serta energi. Energi
diperoleh dengan cara mengonsumsi zat makronutrien berupa karbohidrat, protein
serta lemak. Pada masa balita, asupan nutrisi untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangan menjadi hal krusial, tidak hanya dalam rangka menjaga kehidupan
manusia tetapi juga untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal(Supardi &
dkk, 2023).

Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap
orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan
fakta bahwa kurang gizi yan terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak
dapat pulih). Kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak anak dan
motorik kasar anak (Marimbi, 2017).

Status Gizi Anak dapat dinilai atau ditentukan dengan Standar Antropometri.
Penilaian status gizi Anak dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran berat
badan dan panjang/tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Standar
Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan dan panjang/tinggi badan
yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2020):

1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)


Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan dengan
umur anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat badan kurang
(underweight) atau sangat kurang (severely underweight), tetapi tidak dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan anak gemuk atau sangat gemuk. Penting
diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah, kemungkinan mengalami
masalah pertumbuhan, sehingga perlu dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau
BB/TB atau IMT/U sebelum diintervensi.

Gambar 1. Tabel Standar Berat Badan menurut Umur (BB/U) Anak


Laki-Laki Umur 0-60 Bulan
Gambar 2. Tabel Standar Berat Badan menurut Umur (BB/U) Anak
Perempuan Umur 0-60 Bulan

2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U
atau TB/U)
Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau tinggi
badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat mengidentifikasi anak-anak
yang pendek (stunted) atau sangat pendek (severely stunted), yang disebabkan
oleh gizi kurang dalam waktu lama atau sering sakit. Anak-anak yang tergolong
tinggi menurut umurnya juga dapat diidentifikasi. Anak-anak dengan tinggi
badan di atas normal (tinggi sekali) biasanya disebabkan oleh gangguan
endokrin, namun hal ini jarang terjadi di Indonesia.

Gambar 3. Tabel Standar Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau


Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Laki-Laki Umur 0-60 Bulan
Gambar 4. Tabel Standar Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Perempuan 0-60 Bulan
3. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB)
Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan anak
sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya. Indeks ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi kurang (wasted), gizi buruk
(severely wasted) serta anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible risk of
overweight). Kondisi gizi buruk biasanya disebabkan oleh penyakit dan
kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah lama
terjadi (kronis).

Gambar 4. Tabel Standar Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau


Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Perempnuan 0-60 Bulan

Gambar 5. Tabel Standar Berat Badan menurut Panjang Badan atau


Tinggi Badan (BB/PB) atau (BB/TB) Anak Laki-Laki Umur 0-60 Bulan
Gambar 6. Tabel Standar Berat Badan menurut Panjang Badan atau
Tinggi Badan (BB/PB) atau (BB/TB) Anak Perempuan Umur 0-24 Bulan
4. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi buruk, gizi kurang,
gizi baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik IMT/U dan grafik
BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama. Namun indeks
IMT/U lebih sensitif untuk penapisan anak gizi lebih dan obesitas. Anak dengan
ambang batas IMT/U >+1SD berisiko gizi lebih sehingga perlu ditangani lebih
lanjut untuk mencegah terjadinya gizi lebih dan obesitas.

Gambar 7. Tabel Standar Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)


Anak Laki-Laki Umur 0-60 Bulan
Gambar 8. Tabel Standar Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Anak Perempuan Umur 0-60 Bulan
Kategori dan ambang batas status gizi anak dapat dilihat melalui tabel berikut.

Gambar 9. Tabel Kategori dan ambang batas status gizi anak

I.3 Pola dan Tips Pemberian Makan pada Balita


Pada anak usia 6-23 bulan, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin
meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada usia ini anak
berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap
infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus
terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi. Agar
mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan makanan pendamping ASI atau
MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan sampai bayi berusia 2 tahun (Juliati, 2017).

Kapasitas lambung balita usia 6-23 bulan masih kecil yaitu 25-30 ml/kg
(sehingga belum dapat menampung makanan dalam jumlah besar. MP ASI yang
diberikan harus berupa makanan padat gizi sesuai dengan kebutuhan anak dengan
volume yang tidak terlalu besar. Berikut ini kebutuhan energi pada balita usia 6-59
bulan (Kemenkes RI, 2020):

a. Balita usia 6-8 bulan  600 kkal/hari dengan porsi ASI 60-70%, MP ASI 200
kkal dan kandungan lemak 30-45% dari kebutuhan energi.
b. Balita usia 9-11 bulan  800 kkal/hari dengan porsi ASI 60-70%, MP ASI 300
kkal dan kandungan lemak 30-45% dari kebutuhan energi.
c. Balita usia 12-23 bulan  1100 kkal/hari dengan porsi ASI 30-40%, MP ASI 550
kkal dan kandungan lemak 30-45% dari kebutuhan energi.
d. Balita usia 24-59 bulan  kebutuhan energinya adalah 90 kkal/kg BB, porsi
lemak 30-35% dari kebutuhan energi dan sisanya dipenuhi dari protein dan
karbohidrat.

Pada usia 12 bulan, anak sudah dapat diberikan menu makanan seperti menu
keluarga, hal ini berhubungan dengan pertumbuhan gigi bayi pada usia ini. Meskipun
demikian perhatikan pula bumbu yang digunakan dalam menu makanan, hindari
menggunakan bumbu dengan bau yang tajam dan juga tekstur yang terlalu keras.
Ajaklah untuk makan bersama dengan keluarga di meja makan sehingga terbiasa
dengan pola makan keluarga, siapkan pula piring dan sendok dengan bahan khusus
bayi (Pritasari et al., 2017).

Tabel 1. Pedoman pemberian makan pada bayi/anak usia 6-23 bulan


(Sugiyono et al., 2015)

Umur Tekstur Frekuensi Jumlah rata-rata/ kali


makan

6-8 bulan Mulai dengan bubur 2-3x /hari, ASI Mulai dengan 2-3
halus, lembut, cukup tetap sering sdm/kali ditingkatkan
kental, dilanjutkan diberikan. bertahap sampai ½
bertahap menjadi lebih Tergantung nafsu mangkok (= 125 ml)
kasar makannya, dapat Lama makan maksimal
diberikan 1-2x 30 menit
selingan

9-11 bulan Makanan yang 3-4x/hari , ASI ½ -¾ mangkok (125-


dicincang halus atau tetap diberikan. 175 ml) . Lama makan
disaring kasar, Tergantung nafsu maksimal 30 menit
ditingkatkan semakin makannya, dapat
kasar sampai makanan diberikan 1-2x
bisa dipegang / diambil selingan
dengan tangan

12-23 bulan Makanan keluarga, bila 3-4x/hari , ASI ¾ sampai 1 mangkok


perlu masih dicincang tetap diberikan. (175-250 ml) Lama
atau di saring kasar Tergantung nafsu makan maksimal 30
makannya, dapat menit.
diberikan 1-2x
selingan

Pemberian MP ASI pada bayi dan anak usia 6-23 bulan baik yang mendapatkan ASI
maupun yang tidak mendapatkan ASI adalah sebagai berikut (Supardi & dkk, 2023):

1. Bayi berusia 6-8 bulan


a) Bayi diberikan dua sampai tiga makanan kali utama per hari. Untuk memberikan
lebih banyak energi pada bayi, MP ASI diberikan dalam bentuk bubur kental.
b) Pemberian MP ASI dimulai dengan 2-3 sdm setiap kali makan dan secara
bertahap meningkat menjadi ½ mangkuk ukuran 250 ml (125 ml).
c) Kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin dalam MP ASI harus
mencukupi kebutuhan bayi
d) Dalam sehari, bayi diberikan 1-2 kali makanan selingan yang padat gizi dengan
tekstur disesuaikan dengan keterampilan oromotor/mengunyah dan menelan.
Contoh makanan selingan: puding susu, puding kacang hijau, atau makanan
dengan tekstur lunak dan mudah dicerna lainnya.
e) Bayi diberikan makanan dalam bentuk lumat agar bayi dapat mengunyah dan
menelannya, kemudian secara bertahap tingkatkan tekstur seiring dengan
bertambahnya usia bayi.
f) Bayi yang berusia 8 bulan sudah bisa diajari untuk makan sendiri. Beri anak
makanan yang bisa dipegangnya setelah ia bisa duduk untuk merangsang
kemampuan makannya.
g) Berikan ASI hingga anak berusia 2 tahun.
h) Untuk mencegah diare dan penyakit lain pada bayi, makanan harus disiapkan dan
disimpan di tempat yang bersih.
2. Bayi berusia 9-11 bulan
a) Bayi mengonsumsi 3 hingga 4 makanan utama setiap hari.
b) Setiap kali makan, bayi diberikan MP ASI sebanyak ½ mangkuk (125 ml) yang
secara bertahap ditingkatkan hingga ¾ mangkuk ukuran 250 ml (200 ml).
c) Kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin dalam MP ASI harus
mencukupi kebutuhan bayi.
d) Dalam sehari, bayi diberikan 1-2 kali makanan selingan yang padat gizi dengan
tekstur disesuaikan dengan keterampilan oromotor/mengunyah dan menelan.
Contoh makanan selingan: aneka puding, buah-buahan, kue talam, perkedel, dan
aneka kue yang lunak dan mudah dicerna bayi.
e) ASI tetap diberikan hingga usia 2 tahun.
f) Untuk mencegah diare dan penyakit lain pada bayi, makanan harus disiapkan dan
disimpan di tempat yang bersih.
3. Bayi dan anak berusia 12-23 bulan
a) Makanan utama diberikan 3 hingga 4 kali sehari.
b) Setiap kali makan, bayi diberikan MP ASI sebanyak ¾ mangkuk (200 ml) yang
secara bertahap ditingkatkan hingga 1 mangkuk ukuran 250 ml
c) Dalam sehari, bayi diberikan 1-2 kali makanan selingan yang padat gizi dengan
tekstur yang sudah mulai mendekati makanan.
d) ASI diberikan sebagai minuman, dengan frekuensi pemberian 3-4 kali sehari.
e) Makanan manis sebaiknya dihindari diberikan sebelum makan karena bisa
membuat bayi tidak merasa lapar dan tidak nafsu makan.
g) Untuk mencegah diare dan penyakit lain pada bayi, makanan harus disiapkan dan
disimpan di tempat yang bersih.
4. Bayi dan anak berusia 6-23 bulan yang tidak mendapatkan ASI
Pada bayi dan anak yang tidak mendapatkan ASI, kebutuhan dan ketentuan pemberian
makan hampir sama dengan bayi dan anak yang mendapatkan ASI. Namun, terdapat
ketentuan tambahan berikut:
a) Bayi dan anak diberikan satu hingga dua kali makanan tambahan per hari, di luar
makanan utama
b) Kuantitas dan variasi setiap makanan MP ASI diberikan sesuai ketentuan pada
setiap kelompok umur.
c) Untuk menambah energi, bayi atau anak diberikan 1-2 kali makanan selingan
d) Berikan tambahan 1-2 gelas susu segar atau susu formula (sekitar 250 ml) serta 2-
3 kali cairan tambahan seperti air putih, kuah sayur, dll yang diberikan terutama
ketika cuaca sedang panas atau ketika bayi/anak banyak mengeluarkan keringat.

Tabel 2. Pedoman pemberian makan pada bayi/anak usia 24-59 bulan


(Sugiyono et al., 2015)

Kelompok umur Jenis dan Jumlah Makanan Frekuensi Makanan

1-3 tahun (12-36 bulan) Makanan keluarga : 3 kali sehari


1-1½ piring nasi pengganti
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
½ mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan
1 gelas susu

4-6 tahun (48-72 bulan) 1-3 piring nasi pengganti 3 kali sehari
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1-1½ mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan
1-2 gelas susu

I.4 Faktor Risiko Kesalahan Penerapan Pola Makan pada Balita


a) Pengetahuan Ibu tentang Gizi Balita
Kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan orang tua, khususnya ibu
merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi pada anak balita (Agustin,
2021). Pengetahuan gizi merupakan suatu proses belajar tentang pangan,
bagaimana tubuh menggunakan dan mengapa pangan diperlukan untuk
kesehatan. Pengetahuan pangan dan gizi orang tua terutama ibu berpengaruh
terhadap jenis pangan yang dikonsumsi sebagai refleksi dari praktek dan perilaku
yang berkaitan dengan gizi. Adanya pengetahuan gizi diharapkan dapat
mengubah perilaku ibu yang kurang benar sehingga dapat memilih bahan
makanan bergizi serta menyusun menu seimbang sesuai dengan kebutuhan dan
selera anak serta akan mengetahui akibat apabila terjadi kurang gizi (Juliati,
2017).
b) Kebiasaan Makan atau Perilaku
Kebiasaan makan seseorang terbentuk dari proses belajar (learning behavior).
Apabila sejak dini orang tua tidak memperkenalkan atau membiasakan makan
dengan benar maka hal itu akan terbawa hingga anak dewasa. Hal ini karena
bersamaan dengan pangan yang disajikan dan diterima baik langsung atau tidak
langsung, anak-anak menerima pula informasi yang berkembang menjadi
perasaan, sikap dan tingkah laku serta kebiasaan yang dapat mereka kaitkan
dengan pangan (Juliati, 2017).
c) Lingkungan
Berkaitan dengan lingkungan, kebiasaan makan memengaruhi pembentukan
perilaku makan berupa lingkungan keluarga melalui promosi, media elektronik
dan media cetak. Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah akan menentukan
pola makan mereka. Promosi iklan makanan juga akan menarik seseorang yang
akan memengaruhi konsumsi makanan tersebut sehingga dapat memengaruhi
kebiasaan makan seseorang (Supardi & dkk, 2023).
Dalam proses tumbuh kembangnya, frekuensi dan intensitas interaksi anak
dengan lingkungannya sangat memengaruhi. Interaksi yang berkualitas dan
efektif akan mempunyai dampak yang baik. Sikap orang tua sangat menentukan
tumbuh kembang anak. Orang tua yang menerima kondisi anak, selalu memberi
dukungan, serta menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang,
dapat meningkatkan tumbuh kembang anak yang lebih optimal. Sebaliknya,
orang tua yang frustrasi, stres, merasa berdosa atau menolak anak, dapat
menghambat tumbuh kembang anak(Supardi & dkk, 2023).
d) Ekonomi
Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensional karena dipengaruhi
oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor ekonomi. Hal ini terkait dengan
kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pangannya sehingga akan
terkait pula dengan status gizi secara tidak langsung. Keluarga dengan
pendapatan yang rendah akan kurang mampu memenuhi ketersediaan jumlah dan
keanekaragaman makanan, keuangan yang terbatas tidak dapat mempunyai
banyak pilihan dalam pemilihan bahan makanan (Supardi & dkk, 2023).
I.5 Dampak Kesalahan Penerapan Pola Makan pada Balita
Kesalahan penerapan pola makan pada balita dapat menyebabkan terjadinya
permasalahan gizi pada balita. Permasalahan gizi tersebut seperti gizi lebih
(obesitas), gizi kurang, dan obesitas. Permasalahan gizi yang terjadi pada balita akan
menimbulkan dampak tersendiri seperti berikut (Agustin, 2021):

a. Dampak gizi lebih


Jika tidak teratasi akan berlanjut sampai remaja dan dewasa, hal ini akan
berdampak tingginya kejadian berbagai penyakit infeksi
b. Dampak gizi buruk
Gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem organ yang akan
merusak sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan
mekanik. Serta dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan terhadap
kemampuan belajar, kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungan dan
perubahan kepribadian anak.
c. Dampak gizi kurang
Pertumbuhan fisik terlambat, perkembangan mental dan kecerdasan terhambat,
daya tahan akan menurun sehingga mudah terserang penyakit infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, E. (2021). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Gizi Balita Terhadap


Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita Di Puskesmas Ambarawa Tahun 2021.
Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.
Juliati, S. (2017). Pengetahuan dan Praktik Ibu dalam Menyediakan Makanan Gizi seimbang
Untuk Anak Usia 1-5 Tahun di Desa Sendang Soko Jakenan Pati. Universitas
Diponegoro.
Kemenkes RI. (2020). Buku Saku Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk Pada Balita di
Layanan Rawat Jalan Bagi Tenaga Kesehatan. In Kemenkes RI: Jakarta.
Marimbi, H. (2017). Tumbuh Kembang,Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Nuha
Medika.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2020). PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG STANDAR
ANTROPOMETRI ANAK. http://repository.radenintan.ac.id/11375/1/PERPUS
PUSAT.pdf%0Ahttp://business-law.binus.ac.id/2015/10/08/pariwisata-syariah/
%0Ahttps://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results%0Ahttps://
journal.uir.ac.id/index.php/kiat/article/view/8839
Pritasari, Damayanti, D., & L, N. T. (2017). Gizi Dalam Daur Kehidupan (1st ed.).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sugiyono, Egayanti, Y., Luh, W., Wiguna, T., Prawitasari, T., Gultom, L. C., & Hendarto, A.
(2015). Current Issues in Pediatric Nutrition and Metabolic Problems (CIPRIME) 2015.
In Journal of Chemical Information and Modeling.
https://sipeg.ui.ac.id/ng/arsipsk/20190822-Cat-1886a26ea293c5f4fa3b9e1bbab34c80.pdf
Supardi, N., & dkk. (2023). Gizi pada Bayi dan Balita (A. Karim (ed.); Issue March).
Yayasan Kita Menulis.
https://www.researchgate.net/publication/369039953_Buku_Gizi_pada_Bayi_dan_Balit
a
Supariasa, I. D. N. (2016). Penilaian Status Gizi. EGC.

Anda mungkin juga menyukai