Anda di halaman 1dari 13

Hubungan Perubahan Sosial dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Yuangga Kurnia Y

Pendahuluan

Ilmu Pengetahuan merupakan istilah yang jamak didengungkan saat ini dan

menjadi sebuah term tersendiri yang tak terpisahkan. Pada hakekatnya, term “Ilmu

Pengetahuan” terdiri dari dua kata “Ilmu” dan “Pengetahuan”. Kata Ilmu berasal dari

bahasa Arab yaitu “ ‘alima “ yang berarti pengetahuan (Suaedi, 2016: 17). Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kata “ilmu” berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang

disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk

menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Adapun “pengetahuan” berarti

segala sesuatu yang diketahui. Gabungan kedua kata tersebut melahirkan makna

“gabungan pengetahuan tertentu yang disusun secara logis dan bersistem dengan

memperhitungkan sebab dan akibat”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

ilmu pengetahuan besifat lebih khusus dibandingkan pengetahuan atau dengan kata lain

tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu pengetahuan kecuali ia disusun secara logis,

sistematis dengan metode tertentu, yaitu metode ilmiah.

Dalam kajian filsafat ilmu, dikenal berbagai paradigma ilmu yang menopang

tegaknya teori-teori keilmuan. Fungsi paradigma ilmu ini tergolong amat sentral karena ia

memberikan kerangka, mengarahkan bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan

(Muslih, 2016: 85). Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan

atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang yang bertindak pada kehidupan sehari-

hari. Karenanya, pembicaraan terkait paradigm inilah yang menentukan sikap dalam

melihat realitas pengetahuan, apakah berhak mendapat predikat “ilmiah” atau “non-

ilmiah”. Paradigma yang berkembang adalah Positivisme, Post-positivisme,

Konstruktivisme dan Teori Kritis (Critical Theory). Positivisme merupakan paradigma

tertua yang berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan dan berpengaruh selama lebih
dari 400 tahun. Paradigma ini berakar dari paham ontology realism yang menyatakan

bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam

(natural laws). Paradigma ini bertujuan mencapai obyektivitas absolut bagi suatu obyek

ilmu pengetahuan, tanpa campur tangan sedikitpun dan mengakui eksistensi subyek.

Baginya, obyek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan

haruslah dapat di/teramati (observable), dapat di/terulang (repetable), dapat di/terukur

(measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat diramalkan (predictable) (Muslih, 2016: 89).

Syarat-syarat yang secara otomatis mengkategorikan masalah agama, etika,

estetika,realitas sosial yang berubah-ubah tidak memiliki apa-apa sehingga tergolong ke

dalam bidang metafisika yang jauh dari kata ilmiah. Hal ini tidaklah mengherankan

karena para penganut paham ini memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai

sikap skeptis terhadap ilmu agama (dogma agama tepatnya) yang mengekang rasionalitas

dan keilmiahan ilmu pengetahuan selama berabad-abad dan segala hal yang berbau

metafisika.

Pendapat diatas mendapatkan banyak kritikan khususnya ketika memasuki ranah

ilmu sosial dengan realitas sosial yang tidak pasti dan diiringi kausalitas yang niscaya

seperti ilmu alam. Tulisan ini membahas beberapa bentuk khas dari ilmu sosial dengan

berbagai obyeknya yang membuatnya tidak dapat dilihat melalui paradigma positivisme

dan hubungan yang erat antara perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu pengetahuan sosial.

Pembagian Ilmu Pengetahuan

Dengan tidak bermaksud mendikotomi ilmu pengetahuan menjadi ilmu alam

(natural science) dan ilmu sosial (social science), namun perlu kiranya keduanya dibedakan

berdasarkan objek kajian yang berbeda. Apabila satu obyek bahasan yang sama dilihat

dari sudut pandang yang berbeda dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda, terlebih

bila obyek bahasan memiliki bentuk dan cangkupan yang berbeda. Adalah perbuatan
yang adil kiranya membedakan sesuatu yang pada dasarnya berbeda dan menyamakan

sesuatu yang sama, tidak membedakan yang sama atau menyamakan yang berbeda.

Ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada

rumpun ilmu yang memiliki obyek benda-benda alam dengan hukumnya yang bersifat

pasti dan umum, berlaku dimanapun dan kapanpun. Penelitian ilmu ini akan melahirkan

konsep sebab akibat (kausalitas) yang niscaya dan pasti. Dengan tingkat kepastian yang

relatif tinggi dengan obyeknya yang kongrit, rumpun ilmu ini sering disebut ilmu pasti.

Cabang-cabang utama dari ilmu alam adalah: Astronomi, Biologi, Ekologi, Fisika, Geologi,

Geografi, Ilmu Bumi dan Kimia.

Rumpun tetangganya adalah ilmu sosial (yang dalam konteks ini termasuk sosio-

humaniora, seni dan teologi) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari

aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Cabang

utama dari ilmu sosial adalah: Antropologi, Akuntansi, Ekonomi, Hukum, Linguistik,

Pendidikan, Politik, Psikologi, Sejarah dan Sosiologi. Meskipun menurut disiplin

akademik yang berlaku, disiplin ilmu dibedakan menjadi ilmu alam, ilmu matematika dan

komputer, ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu terapan, namun secara garis besar dapat

dikelompokkan antara ilmu pasti dan ilmu “tak pasti”, antara ilmu “yang nyata” dan

“yang khayal” sebagaimana pandangan positivisme.

Pengaruh Postivisme

Aliran yang digagas oleh Auguste Comte, John Stuart Mill dan Emile Durkheim ini

menguasai paradigma selama berabad-abad. Tidak kurang dari 400 tahun, dunia

keilmuan berada dibawah dominasi dan otoritas paradigma ini, tidak hanya dalam ranah

aslinya yaitu natural science, namun juga pada ilmu-ilmu sosio-humaniora (Muslih, 2016:

149). Paradigma ini bergeser dari problem pengetahuan ke problem metodologi, dimana

Mohammad Muslih (2016) menyebutnya sebagai penyempitan atau reduksi pengetahuan

itu sendiri. Hal ini disebabkan dari istilah “Positif” itu sendiri yang bermakna “apa yang
berdasarkan fakta yang pbjektif”. Bahkan Auguste Comte lebih jelas menjelaskan istilah

“positif” dengan memuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’, ‘yang

pasti’ dan ‘yang meragukan’. Dengan batasan-batasan yang jelas tersebut, postivisme

meletakkan dasar ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta objektif. Manakala faktanya adalah

“gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi dan disisi lain bila

faktanya adalah “benda-benda mati”, ilmu pengetahuannya adalah fisika.

Puncak dari gagasan Comte akan positivism adalah rumusan pengetahuan ilmiah

yang dimotori oleh kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang secara ringkas dapat

dipaparkan sebagai berikut: 1) Mereka menolak pembedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu

sosial, 2) menganggap pernyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara

empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika sebagai nonsense,3) berusaha

menyatukam semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal

(unified science), dan 4) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau

pernyataan-pernyataan.

Disinilah yang membuat kajian ilmu sosial semakin terpuruk dengan kungkungan

paradigma positivism. Seperti telah disebutkan di atas, ilmu sosial memiliki objek kajian

yang berbeda dengan ilmu alam. Objek kajian ilmu sosial adalah masyarakat dan manusia

sebagai makhluk historis yang selalu berubah dan berkembang. Tidak seperti proses-

proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis, proses-proses sosial yang

terdiri dari tindakan-tindakan manusia tidak dapat begitu saja diprediksi apalagi dikuasai

secara teknis. Dalam kacamata positivisme, obyek kajian ilmu sosial dapat dikatakan

ilmiah bila dapat di/teramati (observable), di/terukur (measurable), di/terulang (repeatable),

di/teruji (testable) dan diramalkan (predictable). Peran subyek dalam membentuk ‘fakta

sosial’ juga disingkirkan dan digantikan oleh teknologi sosial yang telah tercipta. Sehingga

yang terjadi kemudian adalah lahirnya obyektivisme, dimana subyek hanya bertugas

menyalin fakta obyektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut jalan mekanisme yang

obyektif.
Demi menjaga eksistensi subyek dalam penelitian ilmu sosial, para ahli berusaha

memunculkan upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu

sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subyek ke dalam proses keilmuan itu sendiri.

Setidaknya ada 3 pendekatan yang mencoba menawarkan metodologi baru yang lebih

memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian yang tak terpisahkan

dalam proses keilmuan, yaitu: fenomenologi, hermeneutika dan teori kritis.

Fenomenologi merupakan aliran yang memperhatikan peran subyek dalam

meneliti suatu obyek kajian sosial. Tugas dari fenomenologi adalah menjalin keterkaitan

manusia dengan realitas yang ada. Tidak hanya membicarakn teori-teori yang diluar

realitas yang berlangsung. Aliran epistemology ini juga mengenalkan konsep “dunia-

kehidupan” (Lebenswelt) sebagai alarm bagi para peneliti agar selalu dekat atau

mendekatkan diri dengan realitas kehidupan. Metode yang digunakan oleh pencetusnya,

Edmund Husserl adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa

dibarengi dengan prasangka demi menemukan yang esensial, yang dalam fenomenologi

disebut dengan prinsip “epoche”.

Teori pendekatan selanjutnya adalah Hermeneutika yang pada awalnya

merupakan teori dalam penafsiran teks atau kitab suci kemudian obyeknya diperluas

menjadi ‘teks’ kehidupan sosial. Secara bahasa, kata hermeneutika lebih dekat dengan

kata ‘to interpret’ atau interpretasi. Teori ini mengedepankan peran subyek dalam

penelitian. Hal ini dikarenakan pemahaman (verstehen) manusia terhadap obyek di dunia

sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya yang perlu penjelasan (erklären).

Konsep pemahaman dan penafsiran ini lagi-lagi demi mengatasi objektivisme yang lahir

dari pandangan positivisme.

Teori yang terakhir adalah teori kritis (critical theory) yang merupakan pendekatan

lebih lanjut dari dua pendekatan di atas. Teori ini ditopang oleh konsep dunia-kehidupan

fenomenologi dan metode pemahaman hermeneutika yang dalam praksisnya disebut


‘tindakan komunikatif’. Salah satu tokohnya adalah Jurgen Habermas yang berpendapat

tentang adanya keterkaitan antara nilai yang dianut dengan struktur bangunan pola pikir

tertentu. Tidak ada jarak antara ilmu dan masyarakat, seperti tidak adanya jarak antara

teori ilmuwan dan praktek di lapangan. Teori ini digunakan terutama untuk menghantam

pola pikir liberalisme di bidang politk dan kapitalisme di bidang ekonomi kala itu. Ketika

pendekatan di atas saling bertautan satu sama lain dalam rangka memberi atau

mengembalikan peran subyek dalam suatu bangunan pengetahuan ilmiah, khususnya

mencegah lahirnya obyektivisme. Di sisi lain, pendekatan tersebut menegaskan pula tugas

ilmuwan untuk mendekatkan ilmu dan masyarakat, bahkan menghilangkan jarak sama

sekali.

Perubahan Sosial akibat interaksi antarmanusia

Masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok yang membentuk

organisasi sosial dan bersifat kompleks. Kehidupan bermasyarakat di mana pun pasti

akan mengalami perubahan dan dinamika sebagai akibat adanya interaksi antarmanusia

atau antarkelompok. Proses pertukaran pengaruh pun tak terhindarkan, baik

‘mempengaruhi’ maupun ‘terpengaruhi’. Perubahan sosial memiliki beberapa definisi dari

para ahli sosiolog. Seperti Willam F Orgburn misalnya, yang mengungkapkan bahwa

ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material

maupun yang immaterial. Berbeda dengan Kingsley Davis yang mendefinisikan

perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi

masyarakat. Pendapat selanjutnya datang dari sosiolog tanah air, Selo Soemardjan yang

menyebutkan bahwa perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,

termasuk nilai-nilai sikap dan pola perilaku masyarakat tersebut.

Sebagai kesimpulan dari berbagai pendapat dan definisi di atas, Sri Sudarmi dan

W. Indriyanto dalam buku paket Sosiologi memberikan definisi perubahan sosial sebagai
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan kurun waktu tertentu terhadap

organisasi sosial yang meliputi nilai-nilai norma, kebudayaan, dan sistem sosial, sehingga

terbentuk keseimbangan hubungan sosial masyarakat. Karenanya, tidak selamanya

perubahan sosial menghasilkan kemajuan. Namun, yang jelas perubahan sosial

menyangkut perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi

sistem sosialnya, baik nilai, sikap maupun pola perilaku antar kelompok dalam

masyarakat (Sudarmi dan Indriyanto, 2009: 54).

Terkait perubahan sosial, dalam ilmu sosiologi berkembang banyak teori guna

menjelaskan hal tersebut. Teori pertama adalah teori tentang asal-usul penyebab

terjadinya perubahan sosial, yaitu Teori Evolusi, Teori Konflik, Teori Fungsional, dan

Teori Siklis (siklus) (Sudarmi dan Indriyanto, 2009: 55-56). Teori selanjutnya adalah teori

yang ditinjau dari perubahan yang bersifat lamban (evolusi) dan bersifat cepat (revolusi).

Adapula teori perubahan yang direncanakan (PIN dan KB) dan tidak direncanakan

(bencana dan perang) dan perubahan sosial yang berdampak besar dan berdampak kecil.

Pengaruh Perubahan Sosial dalam Ilmu Pengetahuan

Dikarenakan obyek yang berupa masyarakat dan manusia sebagai makhluk

historis yang selalu berkembang dan berubah, perubahan sekecil apapun dalam

kehidupan sosial tentu berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan. Teori yang

telah ada pun dapat digugurkan atau diperbaharui dengan realitas sosial yang ditemukan.

Bahkan sebuah kemunafikan (bila tidak ingin disebut kebuntuan atau kemunduran) bila

tetap mempertahankan teori-teori kuno yang berseberangan dengan realitas masa kini.

Disini penulis akan memberikan beberapa contoh perubahan pemikiran dan ilmu

pengetahuan seiring berubahnya kondisi sosial masyarakat dalam pemikiran Barat dan

kajian Timur Tengah yang menjadi minat penulis.

Perkembangan ilmu bersifat dinamis karena memiliki landasan tentang hakikat

(ontologis) pengetahuan tersebut dan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan


tersebut diproses dan apa manfaat (aksiologis) pengetahuan tersebut untuk kehidupan

manusia. Perkembangan ilmu merupakan kajian yang melihat visi dan pergeseran

paradigma yang menandai revolusi ilmu pengetahuan. Rentang waktu ini dimulai dari

zaman Pra-Yunani hingga zaman kontemporer dengan berbagai ciri khas masing-masing

zaman. Secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Zaman Pra-Yunani Kuno, yang berlangsung dari abad ke 8 hingga abad ke

6 SM. Pada zaman ini masyarakat Yunani berada dibawah paradigma

mitologi dan mitos-mitos dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

2. Zaman Yunani, yang berlangsung mulai abad ke 6 SM hingga awal abad

masehi. Zaman ini merupakan zaman terpenting dalam sejarah ilmu

pengetahuan, khususnya filsafat dan logika. Pada zaman ini muncul

Thales, Anaximandaros, Pythagoras, Plato, Socrates dan Aristotles adalah

sedikit ilmuwan dan filsuf yang lahir pada zaman ini. Zaman ini terkenal

dengan perkembangan pemikiran yang logis dan kritis dan menolak mitos-

mitos yang ada.

3. Zaman Pertengahan, yang berlangsung sejak abad ke 8 M hingga lahirnya

Masa Pencerahan (renaissance). Zaman ini dikenal pula sebagai ‘dark age’

dimana ilmu pengetahuan mengalami kejumudan dan aktivitas ilmiah

hanya digunakan dalam rangka mendukung dogma keagamaan. Di masa

ini aktivitas keilmuan dari Timur (Islam) berkembang dengan pesat.

4. Zaman Renaissance, yang berlangsung dari sekitar abad ke 14 hingga 17

M. Zaman ini menandai lahirnya aktivitas ilmiah dan perkembangan ilmu

pengetahuan yang bebas dari dogma-dogma agama. Berbagai ilmu

pengetahuan berkembang pesat pada zaman ini seperti astronomi,

geometri, logaritma, seni musik hingga kegiatan pelayaran yang membuka

khazanah pengetahuan baru. Tokoh zaman ini antara lain adalah Galileo,

Copernicus, Keppler, Pascal dan Fermatt


5. Zaman Modern, yang ditandai dengan penemuan di bidang ilmiah dan

menjadikan Eropa sebagai pusat berkembangnya ilmu pengetahuan.

Setelah diawali di zaman sebelumnya, zaman ini perkembangan

pengetahuan ilmiah berada di puncaknya. Teori Gravitasi, penghitungan

kalkulus, teori panas, penemuan CO2 , penemuan planet terakhir, Pluto

hingga penemuan mesin uap yang menjadi cikal bakal Revolusi Industri

pada abad ke 18 merupakan sedikit fenomena menakjubkan di zaman ini.

Berbagai disiplin ilmu juga turut lahir di zaman ini, seperti taksonomi,

ekonomi, statistika, ilmu teori informasi, logika matematika, fisika

kuantum, fisika nuklir, kimia nuklir dan lainnya.

6. Zaman kontemporer, yang diawali pada awal abad ke 20 hingga saat kini.

Zaman ini memandang bahwa ilmu fisika menduduki posisi paling

penting dalam kehidupan manusia. Fisikawan yang lahir di zaman ini

seperti Albert Einstein, Hubble, Gamow, Alpher, Herman dan masih

banyak lagi lainnya. Zaman ini juga ditandai dengan perkembangan

berbagai ilmu teknologi komunikasi, informasi dan komunikasi dengan

begitu cepat (Suaedi, 2016 : 25-41).

Perkembangan ilmu pengetahuan di Barat tidak lepas dari perubahan sosial yang

terjadi dalam masyarakat Barat. Perkembangan serupa dapat pula ditemukan dalam

perkembangan karya sastra Arab, perkembangan budaya di Timur Tengah dan

perkembangan ilmu linguistik Arab yang keseluruhan berada dalam minat kajian Timur

Tengah. Dalam karya sastra Arab dikenal periodisasi sejak zaman Jahiliyyah hingga

zaman kontemporer yang dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut:

1. Zaman Jahiliyyah. Zaman ini tidak sepenuhnya “Jahil” (bodoh/tidak berilmu),

namun kata “Jahil” lebih menunjukkan ketidaktahuan akan pengetahuan

agama. Pada masa ini karya sastra Arab mengenal berbagai penyair terkemuka

seperti Ummru’ul Qais, an-Nabighah ad-Dibyani, dan Ashabul Mu’allaqat lainnya.


Pertukaran pikiran antar pujangga Arab pun terjadi di pasar-pasar kebudayaan

seperti pasar Ukaz, Dzul Majaz dan Mihnah. Ciri khas karya sastra zaman ini

banyak didominasi oleh sya’ir dan dalam satu pedoman atau kerangka yang

disepakati sesame pujangga.

2. Zaman Shadrul Islam. Zaman ini diawali dengan lahirnya agama Islam hingga

zaman al-Khulafaur Rasyidun, bahkan terkadang hingga zaman Dinasti Bani

Umayyah. Zaman ini terkenal dengan berkembangnya sya’ir-sya’ir dan prosa-

prosa yang lekat dengan ajaran keagamaan dan tak sedikit menggunakan

uslub dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Perkembangan masa ini lebih

baik dikarenakan ilmu-ilmu kebahasaan mulai ditemukan.

3. Zaman Abbasiyyah. Zaman ini berpapasan dengan zaman pertengahan di

Eropa, dimana Eropa mengalami kejumudan ilmu pengetahuan. Namun

pengetahuan Islam berkembang dengan pesatnya, termasuk karya sastranya.

Ilmu Balaghah juga telah ditemukan dan dikembangkan dalam penulisan

karya sastra. Literatur-literatur karya sastra juga banyak dibukukan dan

disebarkan ke berbagai negeri.

4. Zaman Turki. Zaman ini menandai kemunduran pujangga Arab dalam

penciptaan karya sastra. Ahmad Syauqi Dhaif menandai zaman kelesuan ini

dengan madzhab Tashannu’, yaitu aliran yang tidak menciptakan karya sastra

baru, namun hanya mendaur ulang karya sastrawan terdahulu tanpa

menciptakan karya sastra yang orisinil.

5. Zaman modern. Zaman ini ditandai dengan geliat para pujangga Arab dalam

menghidupkan kembali kesusteraan Arab. Pada masa ini mulai digunakan

kritik-kritik sastra Barat dalam memandang karya sastra Arab. Aliran

strukturalisme, naturalism, klasikisme, surealisme, dan aliran kritik sastra

lainnya turut berperan dalam menghidupkan kembali karya sastra Arab

(periodisasi ini menurut Ahmad al-Iskandi dan Mustafa Anani dalam al-Wasit al-

Adab al-’Arabiyyah wa Tarikhihi) (lihat juga Ziyyat, tanpa tahun: 5).


Dalam hal kebudayaan Timur Tengah yang paling mencolok adalah perubahan

sosial yang terjadi di Turki. Dahulunya Turki merupakan pusat kekuatan terbesar Islam

selama berabad-abad dibawah kepemimpinan Kerajaan Turki Ottoman (Turki Utsmany).

Namun setelah runtuhnya Kerajaan Turki Ottoman pada 1924, Mustafa Kemal Ataturk

mengambil alih kepemimpinan dan menghapuskan sistem kekhilafan dengan sistem

republik. Perubahan tidak berhenti sampai di sini, Turki juga menerapkan konstitusi dan

sistem hukum sekuler (bukan syari’ah Islam). Bahasa dan aksara Turki pun menjadi

bahasa resmi negara menggantikan bahasa dan aksara Arab. Penduduk Turki dianjurkan

mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian Barat dan meninggalkan pakaian yang

berbau Arab. Bahkan hingga tahun 1950, adzan di Turki diwajibkan menggunaka bahasa

Turki. Hal yang sama terjadi pula di Andalusia (Spanyol) yang dahulu menjadi pusat

kekuatan Islam di Eropa lalu beberapa abad kemudian Islam menjadi asing di wilayah

tersebut.

Dalam ranah linguistik Arab juga dikenal dengan berbagai perkembangan akibat

perubahan sosial masyarakat di Timur Tengah. Aliran-aliran yang terkenal dalam

linguistik Arab adalah aliran Kufah, aliran Bashrah, aliran Baghdad, aliran Andalusia,

aliran Mesir dan aliran pasca 5 madzhab terdahulu / aliran modern (Dhaif, 1968: 373-375).

Bila kelima madzhab terdahulu berbicara dalam ranah sintaksis dan morfologis, madzhab

terakhir berbicara tentang penyederhanaan di bidang sintaksis dan morfologis,

pembentukan istilah-istilah ilmiah baru dan proses arabisasi istilah-istilah ilmiah asing

(Dhaif, 1982). Karenanya dibentuklah lembaga yang menaungi perkembangan bahasa

Arab dan menjaga eksistensinya yaitu Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. Berbagai ilmuwan

di bidang bahasa Arab juga menelurkan berbagai penelitian dan penemuan baru di

bidang linguistik Arab yang dahulu dianggap telah paripurna dan selesai.
Penutup

Perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat

kapanpun dan dimanapun. Menolak perubahan itu sendiri berarti menghilangkan fungsi

akal dan interaksi sosial antarmanusia atau antarkelompok. Karenanya, ilmu sosial yang

mengamati perubahan sosial tidak dapt dikaitkan dengan keniscayaan hubungan sebab-

akibat seperti yang digaungkan para tokoh postivisme. Obyek kajiannya yang berupa

masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis mengharuskan peneliti sebagai subyek

penelitian berperan aktif dalam mengamati perubahan sosial yang terjadi. Menjadi sebuah

lelucon bila teori yang dikembangkan oleh para ilmuwan hanya berada di taraf

“khayalan” dan jauh dari realitas masyarakat yang ada, karena tugas ilmuwanlah

mendekatkan ilmu dan masyarakat, bahkan menghilangkan jarak sama sekali antara

keduanya. Beragam teori dan pendekatan lahir untuk membendung pandangan

positivisme tersebut demi menghindari lahirnya objektivisme seperti fenomenologi,

hermeneutika dan teori kritis.

Perkembangan ilmu sendiri tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial

masyarakat yang terjadi. Baik di Barat, yang merupakan pusat pengembangan ilmu

pengetahuan modern maupun dalam ranah keilmuan Islam di Timur Tengah semuanya

mengamini perubahan tersebut. Meskipun perubahan tersebut tidak selalu menuju pada

kemajuan, namun yang jelas perubahan sosial menyangkut perubahan pada lembaga-

lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi sistem sosialnya, baik nilai, sikap maupun

pola perilaku antar kelompok dalam masyarakat penting demi menjaga keberlangsungan

umat manusia, atau menjaga sifat-sifat manusia yang senantiasa berpikir dan

menggunakan akalnya.
Daftar Pustaka

Dhaif, Syauqi. 1968. Al-Madaris an-Nahwiyyah. Kairo: Daar al-Ma’arif.

___________. 1982. Tajdid an-Nahwi. Kairo: Daar al-Ma’arif.

Muslih, Muhammad. 2016. Filsafat Ilmu: Kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka

teori ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Lesfi.

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: Penerbit IPB Press

Sudarmi, Sri dan W. Indriyanto. 2009. Sosiologi untuk kelas X SMA dan MA. Jakarta: Pusat

Perbukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ziyyat, Ahmad Hasan. Tanpa Tahun. Tarikh al-Adab al-‘Araby. Kairo: Daaru Nahdhati

Mishra li’thiba’ wa’n nasyr.

Sumber Internet

https://kbbi.kemdikbud.go.id

https://cak-son.blogspot.co.id/2015/01/perkembangan-sastra-arab-modern_8.html, diakses

pada 18 Maret 2017 pukul 05:37

http://www.re-tawon.com/2015/04/sejarah-runtuhnya-ottoman-berdirinya.html, diakses

pada 18 Maret 2017 pukul 05:45

https://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme, diakses pada 16 Maret 2017 pukul 06:54

https://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_sosial, diakses pada 15 Maret 2017 pukul 20:30

Anda mungkin juga menyukai