Yuangga Kurnia Y
Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan merupakan istilah yang jamak didengungkan saat ini dan
menjadi sebuah term tersendiri yang tak terpisahkan. Pada hakekatnya, term “Ilmu
Pengetahuan” terdiri dari dua kata “Ilmu” dan “Pengetahuan”. Kata Ilmu berasal dari
bahasa Arab yaitu “ ‘alima “ yang berarti pengetahuan (Suaedi, 2016: 17). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “ilmu” berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
segala sesuatu yang diketahui. Gabungan kedua kata tersebut melahirkan makna
“gabungan pengetahuan tertentu yang disusun secara logis dan bersistem dengan
memperhitungkan sebab dan akibat”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
ilmu pengetahuan besifat lebih khusus dibandingkan pengetahuan atau dengan kata lain
tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu pengetahuan kecuali ia disusun secara logis,
Dalam kajian filsafat ilmu, dikenal berbagai paradigma ilmu yang menopang
tegaknya teori-teori keilmuan. Fungsi paradigma ilmu ini tergolong amat sentral karena ia
(Muslih, 2016: 85). Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan
atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang yang bertindak pada kehidupan sehari-
hari. Karenanya, pembicaraan terkait paradigm inilah yang menentukan sikap dalam
melihat realitas pengetahuan, apakah berhak mendapat predikat “ilmiah” atau “non-
tertua yang berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan dan berpengaruh selama lebih
dari 400 tahun. Paradigma ini berakar dari paham ontology realism yang menyatakan
bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam
(natural laws). Paradigma ini bertujuan mencapai obyektivitas absolut bagi suatu obyek
ilmu pengetahuan, tanpa campur tangan sedikitpun dan mengakui eksistensi subyek.
(measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat diramalkan (predictable) (Muslih, 2016: 89).
dalam bidang metafisika yang jauh dari kata ilmiah. Hal ini tidaklah mengherankan
karena para penganut paham ini memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai
sikap skeptis terhadap ilmu agama (dogma agama tepatnya) yang mengekang rasionalitas
dan keilmiahan ilmu pengetahuan selama berabad-abad dan segala hal yang berbau
metafisika.
ilmu sosial dengan realitas sosial yang tidak pasti dan diiringi kausalitas yang niscaya
seperti ilmu alam. Tulisan ini membahas beberapa bentuk khas dari ilmu sosial dengan
berbagai obyeknya yang membuatnya tidak dapat dilihat melalui paradigma positivisme
dan hubungan yang erat antara perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan,
(natural science) dan ilmu sosial (social science), namun perlu kiranya keduanya dibedakan
berdasarkan objek kajian yang berbeda. Apabila satu obyek bahasan yang sama dilihat
dari sudut pandang yang berbeda dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda, terlebih
bila obyek bahasan memiliki bentuk dan cangkupan yang berbeda. Adalah perbuatan
yang adil kiranya membedakan sesuatu yang pada dasarnya berbeda dan menyamakan
sesuatu yang sama, tidak membedakan yang sama atau menyamakan yang berbeda.
Ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada
rumpun ilmu yang memiliki obyek benda-benda alam dengan hukumnya yang bersifat
pasti dan umum, berlaku dimanapun dan kapanpun. Penelitian ilmu ini akan melahirkan
konsep sebab akibat (kausalitas) yang niscaya dan pasti. Dengan tingkat kepastian yang
relatif tinggi dengan obyeknya yang kongrit, rumpun ilmu ini sering disebut ilmu pasti.
Cabang-cabang utama dari ilmu alam adalah: Astronomi, Biologi, Ekologi, Fisika, Geologi,
Rumpun tetangganya adalah ilmu sosial (yang dalam konteks ini termasuk sosio-
humaniora, seni dan teologi) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari
utama dari ilmu sosial adalah: Antropologi, Akuntansi, Ekonomi, Hukum, Linguistik,
akademik yang berlaku, disiplin ilmu dibedakan menjadi ilmu alam, ilmu matematika dan
komputer, ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu terapan, namun secara garis besar dapat
dikelompokkan antara ilmu pasti dan ilmu “tak pasti”, antara ilmu “yang nyata” dan
Pengaruh Postivisme
Aliran yang digagas oleh Auguste Comte, John Stuart Mill dan Emile Durkheim ini
menguasai paradigma selama berabad-abad. Tidak kurang dari 400 tahun, dunia
keilmuan berada dibawah dominasi dan otoritas paradigma ini, tidak hanya dalam ranah
aslinya yaitu natural science, namun juga pada ilmu-ilmu sosio-humaniora (Muslih, 2016:
149). Paradigma ini bergeser dari problem pengetahuan ke problem metodologi, dimana
itu sendiri. Hal ini disebabkan dari istilah “Positif” itu sendiri yang bermakna “apa yang
berdasarkan fakta yang pbjektif”. Bahkan Auguste Comte lebih jelas menjelaskan istilah
“positif” dengan memuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’, ‘yang
pasti’ dan ‘yang meragukan’. Dengan batasan-batasan yang jelas tersebut, postivisme
meletakkan dasar ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta objektif. Manakala faktanya adalah
“gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah biologi dan disisi lain bila
Puncak dari gagasan Comte akan positivism adalah rumusan pengetahuan ilmiah
yang dimotori oleh kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut: 1) Mereka menolak pembedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu
menyatukam semua ilmu pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal
(unified science), dan 4) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau
pernyataan-pernyataan.
Disinilah yang membuat kajian ilmu sosial semakin terpuruk dengan kungkungan
paradigma positivism. Seperti telah disebutkan di atas, ilmu sosial memiliki objek kajian
yang berbeda dengan ilmu alam. Objek kajian ilmu sosial adalah masyarakat dan manusia
sebagai makhluk historis yang selalu berubah dan berkembang. Tidak seperti proses-
proses alam yang dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis, proses-proses sosial yang
terdiri dari tindakan-tindakan manusia tidak dapat begitu saja diprediksi apalagi dikuasai
secara teknis. Dalam kacamata positivisme, obyek kajian ilmu sosial dapat dikatakan
di/teruji (testable) dan diramalkan (predictable). Peran subyek dalam membentuk ‘fakta
sosial’ juga disingkirkan dan digantikan oleh teknologi sosial yang telah tercipta. Sehingga
yang terjadi kemudian adalah lahirnya obyektivisme, dimana subyek hanya bertugas
menyalin fakta obyektif yang diyakini dapat dijelaskan menurut jalan mekanisme yang
obyektif.
Demi menjaga eksistensi subyek dalam penelitian ilmu sosial, para ahli berusaha
memunculkan upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu
sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subyek ke dalam proses keilmuan itu sendiri.
Setidaknya ada 3 pendekatan yang mencoba menawarkan metodologi baru yang lebih
memposisikan subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian yang tak terpisahkan
meneliti suatu obyek kajian sosial. Tugas dari fenomenologi adalah menjalin keterkaitan
manusia dengan realitas yang ada. Tidak hanya membicarakn teori-teori yang diluar
realitas yang berlangsung. Aliran epistemology ini juga mengenalkan konsep “dunia-
kehidupan” (Lebenswelt) sebagai alarm bagi para peneliti agar selalu dekat atau
mendekatkan diri dengan realitas kehidupan. Metode yang digunakan oleh pencetusnya,
Edmund Husserl adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa
dibarengi dengan prasangka demi menemukan yang esensial, yang dalam fenomenologi
merupakan teori dalam penafsiran teks atau kitab suci kemudian obyeknya diperluas
menjadi ‘teks’ kehidupan sosial. Secara bahasa, kata hermeneutika lebih dekat dengan
kata ‘to interpret’ atau interpretasi. Teori ini mengedepankan peran subyek dalam
penelitian. Hal ini dikarenakan pemahaman (verstehen) manusia terhadap obyek di dunia
sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya yang perlu penjelasan (erklären).
Konsep pemahaman dan penafsiran ini lagi-lagi demi mengatasi objektivisme yang lahir
Teori yang terakhir adalah teori kritis (critical theory) yang merupakan pendekatan
lebih lanjut dari dua pendekatan di atas. Teori ini ditopang oleh konsep dunia-kehidupan
tentang adanya keterkaitan antara nilai yang dianut dengan struktur bangunan pola pikir
tertentu. Tidak ada jarak antara ilmu dan masyarakat, seperti tidak adanya jarak antara
teori ilmuwan dan praktek di lapangan. Teori ini digunakan terutama untuk menghantam
pola pikir liberalisme di bidang politk dan kapitalisme di bidang ekonomi kala itu. Ketika
pendekatan di atas saling bertautan satu sama lain dalam rangka memberi atau
mencegah lahirnya obyektivisme. Di sisi lain, pendekatan tersebut menegaskan pula tugas
ilmuwan untuk mendekatkan ilmu dan masyarakat, bahkan menghilangkan jarak sama
sekali.
organisasi sosial dan bersifat kompleks. Kehidupan bermasyarakat di mana pun pasti
akan mengalami perubahan dan dinamika sebagai akibat adanya interaksi antarmanusia
para ahli sosiolog. Seperti Willam F Orgburn misalnya, yang mengungkapkan bahwa
ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material
perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masyarakat. Pendapat selanjutnya datang dari sosiolog tanah air, Selo Soemardjan yang
Sebagai kesimpulan dari berbagai pendapat dan definisi di atas, Sri Sudarmi dan
W. Indriyanto dalam buku paket Sosiologi memberikan definisi perubahan sosial sebagai
perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan kurun waktu tertentu terhadap
organisasi sosial yang meliputi nilai-nilai norma, kebudayaan, dan sistem sosial, sehingga
sistem sosialnya, baik nilai, sikap maupun pola perilaku antar kelompok dalam
Terkait perubahan sosial, dalam ilmu sosiologi berkembang banyak teori guna
menjelaskan hal tersebut. Teori pertama adalah teori tentang asal-usul penyebab
terjadinya perubahan sosial, yaitu Teori Evolusi, Teori Konflik, Teori Fungsional, dan
Teori Siklis (siklus) (Sudarmi dan Indriyanto, 2009: 55-56). Teori selanjutnya adalah teori
yang ditinjau dari perubahan yang bersifat lamban (evolusi) dan bersifat cepat (revolusi).
Adapula teori perubahan yang direncanakan (PIN dan KB) dan tidak direncanakan
(bencana dan perang) dan perubahan sosial yang berdampak besar dan berdampak kecil.
historis yang selalu berkembang dan berubah, perubahan sekecil apapun dalam
kehidupan sosial tentu berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan. Teori yang
telah ada pun dapat digugurkan atau diperbaharui dengan realitas sosial yang ditemukan.
Bahkan sebuah kemunafikan (bila tidak ingin disebut kebuntuan atau kemunduran) bila
tetap mempertahankan teori-teori kuno yang berseberangan dengan realitas masa kini.
Disini penulis akan memberikan beberapa contoh perubahan pemikiran dan ilmu
pengetahuan seiring berubahnya kondisi sosial masyarakat dalam pemikiran Barat dan
manusia. Perkembangan ilmu merupakan kajian yang melihat visi dan pergeseran
paradigma yang menandai revolusi ilmu pengetahuan. Rentang waktu ini dimulai dari
zaman Pra-Yunani hingga zaman kontemporer dengan berbagai ciri khas masing-masing
sedikit ilmuwan dan filsuf yang lahir pada zaman ini. Zaman ini terkenal
dengan perkembangan pemikiran yang logis dan kritis dan menolak mitos-
Masa Pencerahan (renaissance). Zaman ini dikenal pula sebagai ‘dark age’
khazanah pengetahuan baru. Tokoh zaman ini antara lain adalah Galileo,
hingga penemuan mesin uap yang menjadi cikal bakal Revolusi Industri
Berbagai disiplin ilmu juga turut lahir di zaman ini, seperti taksonomi,
6. Zaman kontemporer, yang diawali pada awal abad ke 20 hingga saat kini.
Perkembangan ilmu pengetahuan di Barat tidak lepas dari perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat Barat. Perkembangan serupa dapat pula ditemukan dalam
perkembangan ilmu linguistik Arab yang keseluruhan berada dalam minat kajian Timur
Tengah. Dalam karya sastra Arab dikenal periodisasi sejak zaman Jahiliyyah hingga
agama. Pada masa ini karya sastra Arab mengenal berbagai penyair terkemuka
seperti pasar Ukaz, Dzul Majaz dan Mihnah. Ciri khas karya sastra zaman ini
banyak didominasi oleh sya’ir dan dalam satu pedoman atau kerangka yang
2. Zaman Shadrul Islam. Zaman ini diawali dengan lahirnya agama Islam hingga
prosa yang lekat dengan ajaran keagamaan dan tak sedikit menggunakan
uslub dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Perkembangan masa ini lebih
penciptaan karya sastra. Ahmad Syauqi Dhaif menandai zaman kelesuan ini
dengan madzhab Tashannu’, yaitu aliran yang tidak menciptakan karya sastra
5. Zaman modern. Zaman ini ditandai dengan geliat para pujangga Arab dalam
(periodisasi ini menurut Ahmad al-Iskandi dan Mustafa Anani dalam al-Wasit al-
sosial yang terjadi di Turki. Dahulunya Turki merupakan pusat kekuatan terbesar Islam
Namun setelah runtuhnya Kerajaan Turki Ottoman pada 1924, Mustafa Kemal Ataturk
republik. Perubahan tidak berhenti sampai di sini, Turki juga menerapkan konstitusi dan
sistem hukum sekuler (bukan syari’ah Islam). Bahasa dan aksara Turki pun menjadi
bahasa resmi negara menggantikan bahasa dan aksara Arab. Penduduk Turki dianjurkan
mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian Barat dan meninggalkan pakaian yang
berbau Arab. Bahkan hingga tahun 1950, adzan di Turki diwajibkan menggunaka bahasa
Turki. Hal yang sama terjadi pula di Andalusia (Spanyol) yang dahulu menjadi pusat
kekuatan Islam di Eropa lalu beberapa abad kemudian Islam menjadi asing di wilayah
tersebut.
Dalam ranah linguistik Arab juga dikenal dengan berbagai perkembangan akibat
linguistik Arab adalah aliran Kufah, aliran Bashrah, aliran Baghdad, aliran Andalusia,
aliran Mesir dan aliran pasca 5 madzhab terdahulu / aliran modern (Dhaif, 1968: 373-375).
Bila kelima madzhab terdahulu berbicara dalam ranah sintaksis dan morfologis, madzhab
pembentukan istilah-istilah ilmiah baru dan proses arabisasi istilah-istilah ilmiah asing
Arab dan menjaga eksistensinya yaitu Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. Berbagai ilmuwan
di bidang bahasa Arab juga menelurkan berbagai penelitian dan penemuan baru di
bidang linguistik Arab yang dahulu dianggap telah paripurna dan selesai.
Penutup
kapanpun dan dimanapun. Menolak perubahan itu sendiri berarti menghilangkan fungsi
akal dan interaksi sosial antarmanusia atau antarkelompok. Karenanya, ilmu sosial yang
mengamati perubahan sosial tidak dapt dikaitkan dengan keniscayaan hubungan sebab-
akibat seperti yang digaungkan para tokoh postivisme. Obyek kajiannya yang berupa
masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis mengharuskan peneliti sebagai subyek
penelitian berperan aktif dalam mengamati perubahan sosial yang terjadi. Menjadi sebuah
lelucon bila teori yang dikembangkan oleh para ilmuwan hanya berada di taraf
“khayalan” dan jauh dari realitas masyarakat yang ada, karena tugas ilmuwanlah
mendekatkan ilmu dan masyarakat, bahkan menghilangkan jarak sama sekali antara
masyarakat yang terjadi. Baik di Barat, yang merupakan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan modern maupun dalam ranah keilmuan Islam di Timur Tengah semuanya
mengamini perubahan tersebut. Meskipun perubahan tersebut tidak selalu menuju pada
kemajuan, namun yang jelas perubahan sosial menyangkut perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi sistem sosialnya, baik nilai, sikap maupun
pola perilaku antar kelompok dalam masyarakat penting demi menjaga keberlangsungan
umat manusia, atau menjaga sifat-sifat manusia yang senantiasa berpikir dan
menggunakan akalnya.
Daftar Pustaka
Muslih, Muhammad. 2016. Filsafat Ilmu: Kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka
Sudarmi, Sri dan W. Indriyanto. 2009. Sosiologi untuk kelas X SMA dan MA. Jakarta: Pusat
Ziyyat, Ahmad Hasan. Tanpa Tahun. Tarikh al-Adab al-‘Araby. Kairo: Daaru Nahdhati
Sumber Internet
https://kbbi.kemdikbud.go.id
https://cak-son.blogspot.co.id/2015/01/perkembangan-sastra-arab-modern_8.html, diakses
http://www.re-tawon.com/2015/04/sejarah-runtuhnya-ottoman-berdirinya.html, diakses