PENDAHULUAN
A. Pengantar
Filsafat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan
dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, yakni berpikir
yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskriptif, evaluative,
interpretative, dan spekulatif. Musa Asy’ari menulis, filsafat adalah berpikir bebas,
radikal, dan berada pada dataran makna.bebas artinya tidak ada yang menghalangi
kerja pikiran. Radikal artinya berpikir sampai ke akar masalah, mendalam, bahkan
sampai melewati batas-batas fisik atau disebut metafisis.sedangkan berpikir dalam
tahap makna berarti menemukan makna terdalam dari sesuatu yang terkandung di
dalamnya. Menurut M. Amin Abdullah, filsafat diartikan (1) sebagai aliran atau hasil
pemikiran, yang berujud system pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu
sebagai sistem tertutup (closed system), dan (2) sebagai metode berpikir, yang dapat
dicirikan a) mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas),
b)membentuk cara berpikir kritis (critical thought), dan c) menjunjung tinggi
kebebasan serta keterbukaan intelektual (intellectual freedom).
Lewis White Beck menulis : philosophy is science questions and evaluates
the methods of scientific thinking tries to determine the value and significance of the
scientific enterprise as a whole. Peter A. Angeles, sebagaimana dikutip The Liang
Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan “ suatu analisis dan pelukisan
tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi,
sejarah ilmu dan lain-lain”. A. Cornelis Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu
sebagai disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar-
dasar ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif, radikal dan mendasar atas berbagai
persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan dan hubungannya dengan segala
segi kehidupan manusia. Filsafat ilmu dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin
ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan.
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu.
Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek, dan pertemuan
keduanya. Empat aliran kefilsafatan, yakni rasionalisme, empirisisme, kritisisme, dan
intuisionisme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup ekstrim, yang ketiga
adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran sebelumnya. Aliran keempat adalah
aliran yang sampai saat ini sedang mencari dukungan epistemoologis dan metodologis untuk
suatu pengetahuan yang bersumber (origin) dari pengalaman (batin).
A. Rasionalisme
Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui
benar oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia
dan tidak di jabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada
prinsip-prinsip ini.Prinsip-prinsip itu oleh Descartes, dikenalkan dengan istilah
substansi, yang tak lain adalah ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada dalam jiwa
sebagai kebenaran yang clear and distinct tidak dapat diragukan. Ada tiga ide bawaan
yang diajarkan Descartes, yaitu
a.) Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b.) Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide
sempurna mesti ada penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak
melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu yidak bisa lain dari pada Tuhan.
c.) Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi (extension).
Spinoza menetapkan prinsip dasar yang pasti dan menganggap bahwa setiap
langkah dari pencarian kepastian itu merupakan satu-satunya jaminan bagi
pengetahuan. Leibniz menyebut substansi dengan “monade” sebagai principles of
Nature and the Grace founded on reason. Leibniz dijuluki sebagai bapak logika
modern. Berdasarkan dasar pembedaan jenis kebenaran, Leibniz membedakan dua
jenis pengetahuan. Pertama pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran
eternal (abadi), kebenaran logis. Pengetahuan ini didasari pada prinsip identitas dan
prinsip kontradiksi. Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada observasi atau
pengamatan, hasilnya disebut “kebenaran kontingen” atau “kebenaran fakta”.
Akhirnya rasionalisme dilihat pada Cristian Wolff. Prinsip-prinsip dasar yang ia
sebut dengan premis, kemudian ia membagi lapangan pengetahuan menjadi tiga
bidang, yaitu :
1. Kosmologi rasional adalah pengetahuan yang berangkat dari premis.
2. Psikologi rasional adalah pengetahuan yang berhubungan dengan jiwa.
3. Teologi rasional. Wolff mengemukakan prinsip bahwa Tuhan adalah realitas
yang sesungguhnya yang paling sempurna.
Rasionalisme menganggap sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Rasio
itu berpikir yang membentuk pengetahuan.
B. Empirisisme
Secara harfiah, istilah empirisisme berasal dari kata Yunani, emperia yang
berarti pengalaman. Thomas Hobbes (1588-1679) menganggap bahwa pengalaman
inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Ajaran Hobbes merupakan sistem
materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern. John Locke (1632-1704), rasio
mula-mula harus dianggap “as a white paper”dan seluruh isinya berasal dari
pengalaman. Berkeley (1685-1753) merancang teori yang dinamakan
“immaterialisme” yang didasari prinsip-prinsip empirisisme. Aliran empirisisme
memuncak pada David Hume, ia menerapkan prinsip empirisisme secara radikal dan
konsisten. Karya terbesar Hume : A Treatise of Human Nature terdiri tiga bagian.
Pertama, mengupas problem-problem epistemologi. Kedua, membahas masalah
emosi manusia. Ketiga, membicarakan prinsip-prinsip moral.
Filsafat Hume pada garis besarnya merupakan reaksi atas tiga hal : a.)
melawan rasionalisme terutama berkaitan dengan ajaran tentang innate ideas yang
dipakai sebagai landasan kaum rasionalis dalam usahanya memahami realitas. b.)
reaksi dalam masalah religi yang mengajarkan adanya aksiomi universal seperti
hukum kausalitas yang dapat menjamin pemahaman manusia akan Tuhan dan alam.
c.) melawan empirisisme Locke dan Berkeley yang masih percaya pada adanya
substansi, meski dalam beberapa ia menyetujui.
Substansi vs Relasi
David Hume berpendapat bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari
pengalaman yang ia sebut sebagai persepsi. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua
macam, yaitu kesan-kesan (impresions) dan gagasan (ideas). Hume membedakan
dua jenis kesan yaitu sensasi dan refleksi serta dua jenis gagasan yaitu memory dan
imaginasi. Menurut Hume, pengalaman memberikan kepada kita hanya suatu
kualitas khusus bukan suatu substratum yang unik. Hume berkesimpulan bahwa ide
tentang substansi adalah ide kosong.
Kausalitas vs Induksi
Dalam pandangan Hume, tidak benar jika kita mengatakan adanya hubungan
sebab akibat antara berbagai kejadian, sebagai pertanda adanya suatu bentuk
hubungan yang mutlak di dunia, yang disebut hukum kausalitas. Menurut Hume,
manusia cenderung menerima konsep kausalitas ini, sebenarnya hanya karena suatu
“kebiasaan berpikir”, yaitu karena dipengaruhi oleh bermacam-macam pengamatan
yang telah dilakukannya.
A. Pengantar
Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan,
bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Paradigma ilmu lahir dari
akumulasi teori-teori yang saling mendukung dan saling menyempurnakan,
sehingga menjadi satu kebulatan dan sebuah konsistensi yang ‘utuh’, sebaliknya
dari suatu paradigma ilmu dapat dilahirkan teori-teori baru, berdasarkan temuan-
temuan dari ilmuwan. Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat
kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak
pada kehidupan sehari-hari. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai
seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma ilmu pada
dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia,
yakni bagaimana, apa, dan untuk apa, kemudian dirumuskan menjadi beberapa
dimensi, yaitu :a.) dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh
seorang ilmuwan adalah : Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat
diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realita (reality). b.)
dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
adalah : Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan
objek yang ditemukan (know atau knowable) ? c.) dimensi axiologis, yang
dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian. d.)
dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah suatu bahasa yang digunakan
dalam penelitian. e.) dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab
pertanyaan ; bagaimana cara atau metodologis yang dipakai seseorang dalam
menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan ? Jawaban terhadap kelima
dimensi pertayaan ini akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk
menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan
keilmuan.
B. Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Positivime muncul pada abad ke-19
dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari
empat jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim (1982 : 59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial
(social fact) : “....any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting
over the individual an external constraint, or something which in general over
the whole of a given society whilst having an existence of its individual
manifestation.” Dibawah naugan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek
ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (scientific
proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973), sebagai
berikut ; dapat di/ter amati (observable), dapat di/ter ulang (repeatable), dapat
di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable), dan dapat di/terramalkan
(predictable). Paradigma positivisme telah menjadi pegangan ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas.
C. Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-
kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara epistemologis, hubungan antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme.
D. Konstruktivisme
Konstruktivisme, satu diantara paham yang menyatakan bahwa
positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam
mengungkap realitas dunia. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan
menolak tiga prinsip positivisme :
1.) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas,
2.) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan,
3.) hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu
dan tempat yang berbeda.
Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial
dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari
masyarakatnya. Tujun penemuan ilmu dalam konstruktivisme adalah
menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan
atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal dan
spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya. Dengan ditemukannya
paradigma konstruktive ini, dapat memberikan alternatif paradigma dalam
mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai terjadinya
pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan-aturan ke
model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan-aturan ke model
rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interpretasi mental.
E. Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma,
tetapi lebih tepatnya disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana
atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi idiologis terhadap
paham tertentu. Ideologi ini meliputi : Neo-Marxisme, Materialisme,
Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara.
Dilihat dari segi ontologis, paradigma ini sama dengan postpositivisme yang
menilai objek atau realitas secara (critical realism), yang tidak dapat dilihat
secara benar oleh pengamatan manusia. Terdapat dua konsepsi tentang Critical
Theory yang perlu diklarifikasi dalam tulisan ini yaitu : Pertama, kritik internal
terhadap analisis argumen atau metode yang digunakan dalam berbagai
penelitian. Kedua, makna critical dalam memformulasikan masalah logika.
Terdapat enam tema pokok yang menjadi ciri paradigma Critical Theory dalam
praktik keilmuan, pertama : problem prosedur, metode dan metodologi
keilmuan. Kedua : perumusan kembali standard dan aturan keilmuan sebagai
logika dalam konteks historis. Ketiga : dikotomi yaitu subjek dan objek.
Keempat : keperpihakan ilmu dalam interaksi sosial. Kelima : pengembangan
ilmu merupakan produksi nilai-nilai. Keenam : ilmu pengetahuan (khususnya
ilmu sosial) merupakan studi tentang masa lalu.
F. Penutup
Keempat paradigma tersebut mempunyai tampilan yang berbeda.
Perbandingan paradigma-paradigma tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel
Tiga Paradigma Imu Sosial
Positivisme dan Konstruktivisme Critical Theory
Postpositivisme (interpretatif)