Anda di halaman 1dari 48

A.

Defenisi filsafat Ilmu

Pengantar filsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu filsafat adalah berfikir secara
mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan agama dalam mencari kebenaran sedang
ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang(pengetahuan) yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang itu. Sebagaimana yang di rumuskan para ahli Sebagaimana yang dikutip A.
Susanto dalam Filsafat Ilmu sebagai berikut :

1. Menurut Berry Filsafat Ilmu adalah penelaahan tentang logika intern dan teori
teori ilmiah dan hubungan hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang
metode ilmiah. Bagi Berry, filsafat ilmu adalah ilmu yang di pakai untuk menelaah
tentang logika, teori teori ilmiah serta upaya pelaksanaannya untuk menghasilkan
suatu metode atau teori ilmiah.[1]
2. May Brodbeck, Filsafat ilmu adalah suatu analis netral yang secara etis dan falasafi,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan landasan ilmu menurut Brodbck, ilmu
itu harus bisa menganalisis, menggali, mengkaji bahkan melukiskannya sesuatu
secara netral , etis dan filosofis sehingga ilmu itu bisa di manfaatkan secara benar
dan relevan.
3. Lewis White Filsafat ilmu atau philosophy of science adalah ilmu yang mengkaji
dan mengevaluasi metode metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan
dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.Lebih jauh Lewis
menjelaskan Filsafat ilmu adalah ilmu yang mempertanyakan dan menilai metode
metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha
ilmiah sebagai suatu keseluruhan. Melalui filsafat ilmu ini kita akan mampu
memahami dan menetapkan akan arti pentingnya usaha ilmiah, sebagai suatu
keseluruhan
4. A. Cornelius Benyamin, mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah studi sistematis
mengenai sifat dan hakikat ilmu, khususnya yang berkenaan dengan metodenya,
konsepnya, kedudukannya di dalam skhema umum disiplin intelektual. Benyamin lebih
melihat sifat dan hakikat ilmu ditinjau dari aspek metode, konsep, dan
kedudukannya dalam disiplin keilmuan.
5. Robert Ackermann filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat
pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat pendapat
lampau yang telah dibuktikan atau dalam rangka ukuran ukuran yang
dikembangkan dari pendapat pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian
jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktik ilmiah senyatanya .[2]
6. Peter Caw filsafat ilmu adalah suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi
ilmu apa yang filsafat umumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia.
Filsafat melakukan dua macam hal di satu pihak, ini membangun teori teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya landasan bagi keyakinan dan
tindakan di pihak lain, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat
disajikan sebagai suatu landasan bagi tindakan termasuk teori teori nya sendiri
dengan harapan dan penghapusan tidak ajegan dan kesalahan. Caw yakin bahwa
melalui filsat ilmu seseoang membangun dua hal, menyajikan teori sebagai
landasan bagi keyakinan tindakan dan memeriksa secara kritis segala sesuatu
sebagai landasan bagi sebuah keyakinan atau tindakan.
7. Alfred Cyril Ewing Filsafat ilmu menurutnya adalah salah satu bagian filsafat
yang membahas tentang logika, di mana di dalamnya membahas tentang cara yang
di khususkan metode metode dari ilmu ilmu yang berlainan . Lebih lanjut
menjelaskan tanfa penguasaan filsafat ilmu, maka akan sulitlah seseorang dalam
usahanya untuk memahami tentang ilmu secara baik dan profesional.
8. The Liang Gie Merumuskan Filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan
ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Bagi Gie,
filsafat ilmu bukan hanya di pahami sebagai ilmu untuk mengetahui metode dan
analisis ilmu ilmu lain, tetapi filsafat ilmu sebagai usaha seseorang dalam
mengkaji persoalan persoalan yang muncul melalui perenungan yang mendalam
agar dapat diketahui duduk persoalannya secara mendasar sehingga dapat di
manfaatkan dalam kehidupan manusia.
9. Menurut Beerling, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri ciri mengenai
pengetahuan ilmiah dan cara cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi yang
secara umum menyelidiki syarat syarat serta bentuk bentuk pengalamn manusia
juga mengenai logika dan metodologi. [3]
10. Jujun S, Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu
pengetahuan atau epistemologi yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar
gejala alamiah tak lagi merupakan misteri, secara garis besar, Jujun menggolongkan
pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni 1) pengetahuan tentang yang baik
dan yang buruk yang disebut juga dengan etika 2) pengetahuan tentang indah dan
jelek, yang disebut dengan estetika atau seni 3) pengetahuan tentang yang benar
dan salah, yang disebut dengan logika.[4]

pengantar Filsafat Ilmu dan Tujuannya

Lebih lanjut Jujun S menjelaskan pengantar filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah) Ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu ilmu alam dengan ilmu sosial, namun
karena permasalahan permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering
dibagi menjadi filsafat ilmu ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing
masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu ilmu alam atau ilmu ilmu sosial dan tidak
mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom, ilmu memang berbeda dari pengetahuan
pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsif antara ilmu ilmu
alam dan ilmu ilmu sosial dimana mempunyai ciri ciri keilmuan yang sama.

Beberapa pendapat lain mengenai pengertian filsafat ilmu seperti yang dijelaskan H. Endang
Komara dalam buku filsafat ilmu dan metodologi penelitian seperti yang di jelaskan berikut :

filsafat ilmu

1. Robert ackman filasafat ilmu dalam suatu segi tinjauan krtis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini dengan perbandngan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan
dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat pengetahuan jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktik ilmiah secara aktual.
2. Michael V. Berry filsafat ilmu penelaahan tentang logika intern dari teori-teori ilmiah
dan hubungan-hubungan anatara percobaan dan teori yakni tentang metode ilmiah
3. May Brodbeck filsafat adalah : analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan
dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
4. Stephen R. Toulman filsafat ilmu adalah sebagai suatu cabang ilmu, filsafat pengetahuan
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan
ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode
penggantian dan perhitungan, peranggapan-peranggapan metafisis dan seterusnya
menilai landasan-landasan bagi kesalahnnya dari sudut tinjauan logika formal,
metodologis praktis, dan metafisika.[5]

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pengantar filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu,
baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji
hakikat ilmu.

B. TUJUAN FILSAFAT ILMU

Tujuan Filsafat ilmu sebagaimana yang disebutkan sebagai berikut :

1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami
sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai bidang
sehingga kita mendapatkan gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
3. Menjadi pedoman para insan akademis di perguruan tinggi dalam mendalami studi
diperguruan tinggi, terutama persoalan yang ilmiah dan yang non ilmiah.[6]

SEJARAH FILSAFAT ILMU


Sejarah Filsafat ilmu pengetahuan tidak terlepas dari priodisasi sejarah terdahulu yaitu sejak
dari cara berpikir yang sangat sederhana hingga cara berfikir modern zaman kemajuan ilmu
pengetahuan modern yang dikelompokkan kedalam beberapa masa yaitu :

1. Zaman prasejarah. Zaman prasejarah sering juga disebut zaman batu tua atau
manusia purba. Pada zaman ini manusia telah mampu menciptakan konsep tentang alat
sebagai perkakas untuk keperluan kehidupan manusia hal ini menunjukkan telah ada
pemikiran menuju arah ilmu pengetahuan pada masa ini manusia. Kemudian pada masa
ini mereka sudah mampu memelihara tanaman dan hewan liar hingga menjadi hewan
dan tanaman yang kualitasnya sesuai serta memenuhi kebutuhan manusia.6
2. Zaman sejarah. Zaman sejarah disebut juga dengan zaman batu muda atau zaman
peradaban dan pertanian. Pada masa ini manusia ini manusia telah mempunyai
kemampuan menulis, membaca dan menghitung sehingga setiap peristiwa dapat dicatat
dan dapat memperkecil kesalahan. Di zaman ini telah dapat memasyarakatkan
pengetahuan secara luas walaupun disampaikan lisan. Kemajuan pengetahuan terlihat
pesat dengan bukti lahirnya kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Babilonia dan juga
kerajaan-kerajaan lain yang lahir di India dan Cina.
3. Zaman logam. Zaman logam ini masuk kategori kebudayaan klasik. Pada masa ini
perkembangan ilmu lebih pesat lagi, yaitu telah ditemukannya logam yang diolah
sedemikian rupa menjadi sebuah perhiasan yang indah dan mahal harganya. Kemampuan
yang tinggi, kemudian dipakai untuk hal-hal diabadikan dalam bentuk patung yang
sekarang masih tersimpan dalam museum, bernilai artistik tinggi, misalnya patung
nefertili, istri raja Firaun di Mesir.
4. Zaman Yunani dan Romawi. Perkembangan know how di masa ini tingkatannya lebih
maju dari zaman sebelumnya. Pengetahuan empiris berdasarkan sikap receptive attitude
mind, artinya bangsa Yunani tidak dapat menerima empiris secara pasif reseptif karena
mereka memiliki jiwa an inquiring attitude
5. Filsafat ilmu pada masa islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir dari kandungan
islam yaitu menemukan metode ilmiah menjadi kunci rahasia pembuka rahasia alam yang
jadi perintis modernisasi eropa dan Amerika. Percobaan-percobaan yang dilakukan
dalam dunia islam mirip dengan percobaan trial and erorr untuk membuat logam emas
yang sangat berharga lahirlah metode kimia (alkimia) dan penemuan dalam kedokteran
ialah salmak dari sini lahirlah pemikir pemikir dalam islam seperti Ibnu Sina Ibnu
Rusd, al-Rasi.
6. Filsafat ilmu pada abad kegelapan, pada masa ini bangsa Romawi lebih sibuk dengan
masalah-masalah keagamaan yang terus mempelaari dosa dan bagaimana cara
menghapuskannya. Bangsa Romawi pada masa ini tidak memperhatikan soal
pengetahuan dan soal duniawi sehingga kerajaan romawi runtuh maka masa ini dikenal
sebagai masa kegelapan.
7. Filsafat ilmu pada abad ke 18 dan 19 . pada masa ini kecepatan perkembangan ilmu
pengetahuan pada abad-abad berikutnya sangat menakjubkan, Ilmu pengetahuan empiris
makin mendominasi ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan pada akhir abad 18 di
dominasi oleh pengetahuan dibidang fisika.[7]

RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU

Ruang lingkup filsafat ilmu seperti yang dikutip A.Susanto meliputi beberapa bidang seperti
berikut ini :

1. Peter Angeles merumuskan filsafat pengetahuan terbagi ke dalam empat bidang kajian,
yaitu :
2. Telaah berbagai konsep, pra anggapan dan metode ilmu,berikut analisis, perluasan, dan
penyusunan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
3. Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu
4. Telaah mengenai saling kaitan diantara berbagai ilmu
5. Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan
penerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas hubungan logika dan matematika
dengan realitas.[8]
1. Cornelius Benyamin merumuskan filsafat alam ke dalam tiga bidang kajian
merumuskan filsafat ilmu ke dalam tiga bidang kajian, yaitu
2. Telaah mengenai metode ilmu, telaah ini banyak menyangkut logika da teori
pengetahuan dan teori umum tentang tanda.
3. Penjelasan mengenai konsep dasar, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-
;andasan empiris, rasional atau pragmatis yang menjadi tumpuannya.
1. Edward Madden, merumuskan lingkup filsafat pengetahuan kedalam tiga
bidang kajian yaitu, probabilitas, induksi, dan hipotesis
2. Ernes Nagel memberikan rumusan ruang lingkup filsafat ilmu ke dalam
tiga bidang kajian yaitu pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam
ilmu, pembentukan konsep ilmiah dan pembuktian keabsahan
kesimpulan sifat ilmiah.

Dengan memperhatikan pendapat para ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan ruang
lingkup filsafat ilmu mencakup dua pokok bahasan utama yaitu membahas sifat-sifat
pengetahuan ilmiah (epistimologi) dan menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah
(metodologi) sehingga filsafat ilmu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu
filsafat keilmuan umum yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman, serta
hubungan diantara segenap ilmu dan yang kedua filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat
pengetahuan yang membicarakan kategori-kategori serta metode yang digunakan dalam ilmu-
ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, kelompok ilmu kemasyarakatan, kelompok ilmu
teknik dan sebagainya.

Teori pengetahuan adalah cabang dari filsafat ilmu yang membicarakan atau mengkaji tentang
cara memperoleh pengetahuan. Cabang ini sering disebut epistemologi. Epistemologi umumnya
membicarakan tentang hakikat pengetahuan, yaitu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
pengetahuan.

Dalam bidang ini, dikaji soal sumber pengetahuan dan bagaimana manusia (bersifat
metodologis) memperoleh pengetahuan serta norma berpikir seperti apa yang dimungkinkan
dapat melahirkan atau dapat memperoleh dan membentuk pengetahuan yang benar. Oleh karena
itu, tidak salah juga jika ada yang menyatakan bahwa logika adalah ilmu pengetahuan (science),
sekaligus juga keterampilan (act) untuk berpikir lurus, cepat dan teratur (Ahmad Tafsir, 1998:
34-35).

Teori Nilai
Teori ini adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu
pengetahuan. Cabang filsafat ini sering disebut sebagai axiologi. Cabang ini dapat menjadi
sarana orientasi manusia dalam menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental yakni
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak berdasarkan nilai yang dianggap benar baik dalam
perspektif masyarakat maupun dalam perspektif agama. Untuk itu, para ilmuwan membagi
bidang ini pada apa yang disebut dengan etika dan estetika.

Etika membicarakan tentang baik dan buruk dilihat dalam perspektif yang luas. Sedangkan
estetika berbicara tentang indah tidak indah, nikmat dan tidak nikmat, membahagiakan dan tidak
membahagiakan. Estetika sering terkait dengan bidang kesenian, meski tidak identik dengan
kesenian (Frans Magnin Suserio, 19887: 13-15).

Objek Kerja Filsafat Ilmu

Penjelasan tentang makna filsafat, ciri dan karakter berpikir filosofis di atas, lalu apa
hubungannya dengan filsafat ilmu? Filsafat ilmu adalah cabang dari ilmu filsafat. Ilmu ini
hendak mengkaji ilmu dari sisi kefilsafatan yakni untuk memberikan jawaban terhadap sejumlah
pertanyaan menyangkut apa itu ilmu (dijawab oleh ontology), bagaimana ilmu diperoleh
(dijawab oleh epistemologi) dan untuk apa ilmu itu dilahirkan (dijawab oleh aksiologi).

Filsafat ilmu diperkirakan lahir pada abad ke 18 Masehi. Orang mentahbiskan Immanuel Kant
sebagai pendiri lahirnya Filsafat Ilmu. Alasan penyebutan tokoh ini sebagai pendiri Filsafat Ilmu
dilatari oleh suatu asumsi yang menyebutkan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang
mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.

Sejak itu, refleksi filsafat mengenai pengetahuan menjadi menarik perhatian uniat manusia,
sebab ilmu tidak lagi terjun bebas dengan paradigma positivismenya. Ilmu mulai dikawal oleh
aspek-aspek aksiologis. Bukti penting dari telah lahirnya filsafat ilmu pada abad ke-18 itu
adalah, di Eropa telah lahir filsafat yang disebut filsafat pengetahuan (theori of knowledge,
Erkenistlehre, kennesler, atau epistemologi) di mana logika, filsafat bahasa, matematika,
metodologi dan nilai guna keilmuan menjadi landasan utama dalam melahirkan ilmu.
Perlu dicatatkan bahwa pada abad ke-18 dan apalagi sebelumnya, secara praksis ciri khas ilmu
yang berkembang pada abad itu, cenderung bersifat positivistik. Dengan demikian, lahirnya
filsafat ilmu dapat dipandang sebagai respon sekaligus antitesis dari corak keilmuan yang
sebelumnya saya sebut positivistik.

Ciri menonjol dari gejala filsafat yang positivistik adalah terabaikannya sesuatu yang bersifat
beyond. Penalaran yang empirik sekaligus rasional tidak mampu memberikan jawaban terhadap
apa yang dibutuhkan aspek yang beyond tadi. Oleh karena itu, eksistensi Tuhan yang kehadiran-
Nya di balik yang fisik, otomatis dianggap tidak ada.

Filosof dan saintis yang positivistik, menyebut beberapa argumentasi yang menunjukkan
keberatan akan eksistensi Tuhan. Di antara argumentasi dimaksud adalah: pertama, perbincangan
akan eksistensi Tuhan yang saya sebut beyond adalah sesuatu yang non sence. Kenapa
demikian? Manusia dengan berbagai kemampuannya dapat menafikan Tuhan karena manusia
dapat berbuat apa saja tanpa Tuhan. Kedua, mereka yang mengklaim bahwa percaya kepada
Tuhan adalah sikap diri yang inkonsisten dan tidak memiliki logika yang lurus.

Contohnya, banyak ahli teologi yang yakin bahwa Tuhan itu ada, tetapi ia tidak memiliki tubuh.
Sehingga bagaimana meyakini sesuatu itu ada, padahal yang dimaksud Adanya itu tidak
memiliki tubuh. Oleh karena itu, argumentasi yang ketiga, percaya kepada Tuhan persis seperti
orang yakin akan adanya Syeitan atau Malaikat yang adanya hanya diyakini dan tidak mungkin
dapat dibuktikan. Manusia bukan saja dapat mengalahkan Syeitan, tetapi manusia juga dapat
membunuhnya.

Mulai Tumbuhnya Filsafat Ateistik

Pemikiran yang secara eksplisit ateistik, diawali tokoh- tokoh dan filosof akhir abad pertengahan.
Sebut saja filosof dimaksud adalah: John Lock dan David Hume. Dua tokoh ini dapat disebut
sebagai tokoh kunci yang meyakini bahwa eksistensi sesuatu itu harus dapat dibuktikan secara
empirik dan dapat diterima secara akal. Dua filosof ini menjadi pelekat dasar teori empirisme
dan rasionalisme yang menjadi bangunan ilmu pengetahuan modern. Sesuatu yang berada di luar
dua jangkauan nalar. Sesuatu yang berada di luar dua jangkauan tadi, menurut Lock dan Hume
harus berani ditolak.
Rekomendasi untuk anda !! Ishlah dalam Bentuk Affirmasi | Perspektif Al-Quran dan Al
Sunnah

Atas pemikiran dua filosof tadi, bagaimana Tuhan yang berada di luar kategori historis manusia
dapat diyakini benar adanya? Alat bukti apa yang kuat untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu
memang benar-benar ada? Jika penalaran logika dan empirisme yang dipakai, maka
konsekwensinya memang Tuhan itu tidak ada. Kenapa demikian? Sebab Tuhan tidak berwujud
dan tidak mewujudkan dirinya seperti wujudnya manusia da lam perspektif manusia.

Pemikiran ini juga telah menjadi landasan yang kokoh bagi munculnya pemikiran dialektis, di
mana sesuatu itu menjadi eksis karena ada sesuatu yang mendahului. Dalam istilah lain sering
juga diistilahkan dengan sebutan prima kausa. Pendapat- pendapat tadi secara pribadi tidak dapat
difahami melalui pemahaman saya dan intelektualitas saya. Saya tidak percaya pada sebuah
kewajiban yang mesti harus pasti. Karena keimanan saya.

Upaya Sintetik dalam Filsafat

Upaya sintetik dimaksud ternyata belum sepenuhnya berhasil. Bahkan dalam banyak hal, basis
keilmuan Barat semakin positivistik kalau bukan ateistik. Dalam banyak hal, filsafat ilmu yang
positivistik ini bertahan dan sulit tergoyahkan bahkan terlalu kokoh untuk dikoreksi dalam durasi
waktu yang lama. Baru pada tahun 1960-an, corak filsafat ilmu yang sintetik (gabungan antara
paradigma empirik-rasional sensual) dengan paradigma intuisi/wahyu mulai memperlihatkan
tanda-tanda keberhasilannya, metodologi pengembangan ilmu yang sebelumnya positivistic tadi,
juga mengalarpi perkembangan kalau bukan perubahan.

Pacia paruh abad kedua puluh, mulai diperkenalkan istilah baru, yakni: post positivisme, post
modernisme dan post paradigmatik. Jika pada abad ke-18 filsafat ilmu yang positivistik lebih
menggunakan paradigma ilmu-ilmu kealaman, sehingga kebenaran hanya diakui jika empirik-
rasional sensual, maka pada era post modernisme, filsafat ilmu lebih menggunakan positivisme
linguistik dan positivisme fungsional yang berupaya mencari makna di balik yang empirik-
rasional sensual.
Post positivisme atau apapun istilah sejenis dengannya, menuntut sebuah keyakinan pada sesuatu
yang sebelumnya, di era positivisme, dihilangkan, yakni kepereayaan pada sesuatu yang fisik.
Pendapat ini setidaknya diwakili oleh Alvin Plantinga, teolog sekaligus filosof Kristen Barat
Modern yang menyebut bahwa kepereayaan kepada adanya Tuhan dan keyakinan pada
eksistensinya harus menjadi jantung sikap hidup manusia.

Tulisan Alvin Plantinga (1983: 16-90) ini tampaknya dimaksudkan untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan: Dapatkah manusia menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan semata tanpa
pertimbangan rasionalitas? Pertanyaan ini dimunculkan sebagai jawaban atas perkembangan
asumsi di kalangan filosof positivis bahwa eksistensi Tuhan harus diyakini dengan penalaran
ilmiah (akal) dan dapat dibuktikan secara empiris. Atas masalah seperti ini, Alvin Plantinga
kemudian memberikan pertanyaan tambahan: apakah orang yang percaya kepada Tuhan berarti
telah melakukan pertentangan dengan akal? Atau apakah percaya akan adanya dan eksistensi
Tuhan ia dapat disebut sebagai orang yang irasional ?

Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dia munculkan itu, Alvin Plantinga
kemudian merumuskan jawaban dengan menggunakan paradigma berpikir seperti yang dipakai
para pemikir dan ahli teologi Calvinis yang sering diakui sebagai aliran yang sangat rasional.
Dalam ajaran agama ini disebutkan bahwa terlalu banyak argumentasi ilmiah yang cocok untuk
menyebut adanya eksitensi Tuhan termasuk kenapa manusia mesti mengimani- Nya.

Namun demikian, sebagai seorang pemikir yang netral, Alvin Plantinga tampaknya ingin
mencoba mengeksplorasi pemikiran tentang ketuhanan dalam sudut yang beragam. Ia mencoba
sebisa mungkin untuk tetap netral dengan mengajukan beberapa argumentasi kenapa banyak
orang tidak yakin akan eksistensi Tuhan. Inilah hasil analisis dan kajiannya.

Alvin Plantinga menyebut beberapa tokoh dan filosof modern yang banyak mengajukan
keberatan terhadap eksistensi Tuhan. Di antara tokoh yang disebut itu adalah: W.K. Clifford,
Brand Blanshard Russell, Michael Scriven dan Anthony Flew. Nama-nama dimaksud
menurutnya adalah termasuk di antara filosof yang memberikan argumentasi bahwa percaya
kepada Tuhan adalah sesuatu yang irasional dan tidak dapat diterima oleh akal pikiran yang
sehat. Russel misalnys menyatakan bahwa Tuhan itu ada. Keyakinan pada eksistensi Tuhan
adalah

Filsafat dalam Nalar Filosof

Pemikiran filosof di atas, Alvin Plantinga kemudian memberikan pertanyaan: Bagaimanakah kita
menafsirkan kepercayaan kepada Tuhan? Sub judul ini dimaksudkannya untuk membuat second
opinion terhadap pemikiran filosofis para filosof tadi yang perkembangannya sangat cepat dan
merembes ke berbagai soal kehidupan umat dan cenderung mengalahkan teori teosofi dan
sekaligus teologis seperti dibangun kaum beriman dan para teolognya.

Rekomendasi untuk anda !! Ishlah Dalam Bentuk Adjective | Perspektif Al-Quran dan AL-
Sunnah

Alvin Plantinga kemudian berpendapat bahwa Tuhan adalah Dzat yang ada-Nya tanpa mulai.
Sebab jika kehadiran Tuhan diawali oleh sesuatu yang tidak ada, maka bukan saja ia sama
dengan makhluk, tetapi ia tidak mungkin menciptakan alam yang demikian besar. Alam yang
demikian besar tidak mungkin diciptakan oleh sesuatu yang kehadirannya tidak ajaib. la juga
menyebut bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Bijaksana, adil dan berpengetahuan. Atas
sifatnya yang demikian, Tuhan mampu menciptakan keselarasan dalam dunia yang dibangun-
Nya dengan dunia yang demikian besar.

Menurutnya, tidak mungkin alam ini berjalan dan berkembang secara teratur tanpa ada suatu
Dzat yang bijaksana, adil dan berpengetahuan. Keteraturan alam (teleleogis) terjadi pasti karena
ada Dzat yang mencipatakan dan ada Dzat yang kuat untuk mengaturnya. Pemikiran yang
tampak filosofis yang dimunculkan Alvin Plantinga ini, diakuinya sendiri dinukil dari keterangan
kitab Suci Injil (Heb: 11: 6). Atas argumen ini, ia kemudian menyatakan bahwa wahyu Tuhan
juga rasional. Termasuk dalam menunjukkan keberadaan Tuhan.

Para ahli teologi kontemporer Barat di bawah pengaruh Immanuel Kant telah menarik akan
keyakinan pada Tuhan dengan sesuatu yang sangat innate, idea atau sebuah penafsiran yang
terbentuk konstruk mental. Gondon Kaufman seorang ahli teologi berkebangsaan Amerika
misalnya, ia kutif untuk kepentingan pembuktian teorinya itu. Kaufman misalnya menyebut
bahwa: perbicangan tentang eksistensi Tuhan menarik berbagai kalangan dalam waktu yang
cukup panjang.

Kaufman juga menyebutkan bahwa, jangankan eksitensi Tuhan, kata Tuhan sendiri sebenamya
telah muncul sebagai problem khusus sebab ia harus ditafsirkan dari sesuatu yang transenden
kepada sesuatu yang prophan (dengan ciri bertempat dan berpengalaman), Pemikiran Kaufman
ini, dianggap Alvin Plantinga persis seperti pemikiran Kant yang menarik soal ketuhanan dari
sebelumnya yang transenden kepada sesuatu yang duniawi bendawi. Pemikiran yang demikian,
diakui Alvin Plantinga diamini oleh tokoh setingkat Prof. John Hick yang menganggap bahwa
perbincangan tentang Tuhan akan mencorong orang para sikap mental yang imaginative.

Tugas Filsafat Ilmu itu Apa

Jika demikian kronologi sejarahnya, lalu apa itu Filsafat Ilmu? Dilihat dari objek kajiannya,
Filsafat Ilmu mempersoalkan dan mengkaji segala persoalan yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, fisik dan metafisik. Filsafat ilmu memfokuskan pembahasan dalam metodologi
ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan salah satu cara untuk mengetahui bagaimana budi manusia
bekerja. Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis dan imajinatif sekaligus bernurani.
Ilmu berfisik empiric, sistematik, observatif, dan objektif.

Filsafat ilmu bertugas membuka pikiran manusia agar mempelajari dengan serius proses logic
dan imajinatif dalam cara kerja ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu berbicara tentang metode ilmu
pengetahuan, bagaimana pengembangannya dan bagaimana prinsip-pfinsip penerapannya.

Filsafat ilmu menjadi bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah) dilihat dari berbagai perspektifi merupakan cabang
pengetahuan yang mempunya tertentu. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafati yang
bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud objek yang hakiki? Bagaimana hubungan antar
objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
menghasilkan ilmu pengetahuan. Jenis pertanyaan ini disebut dengan landasan ontologi.

Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu?


Bagaimana prosedurnya? Hal- hal apa yang harus diperhatikan agar manusia dapat memperoleh
pengetahuan yang benar? Apa yang dimaksud dengan yang benar itu? Apa kriterianya? Teknik
dan sarana apa yang membantu manusia dalam memperoleh ilmu? Sumber seperti apa yang
digunakan untuk mendapatkan ilmu.

Selain itu, filsafat ilmu juga membahas tentang untuk apa ilmu dikontruk? Bagaimana manusia
mesti bersikap terhadap hasil telaahan keilmuan? Wilayah keilmuan seperti apa yang
memungkinkan memberi manfaat terhadap keliidupan umat manusia. Itulah beberapa manfaat
yang mungkin akan diperoleh dari pengkajian terhadap Filsafat Ilmu. So kenapa filsafat ilmu
harus diabaikan? Prof. Cecep Sumarna

TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT

BAB I

RINGKASAN MATERI

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha memeluk suatu kebenaran.

A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,
diolah pula dengan rasio

3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya

4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.

B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1. Teori Corespondence menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti
benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

2. Teori Consistency Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran.
Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.

3. Teori Pragmatisme Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra
pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang
ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia
harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia,
karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.

BAB II

PEMBAHASAN

Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama
untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi
rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha memeluk suatu kebenaran.

Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa
melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran
illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya


Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan
kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia

6. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,


diolah pula dengan rasio

7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya

8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan

Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada
tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.

Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Ukuran Kebenarannya :

Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran

Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain

Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran

Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)

2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)

3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu
ditunjukkan oleh kebanaran.

Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal
dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran
ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki
status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh
tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada
puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup
manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.

B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1. Teori Corespondence

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide
atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka
sesuatu itu benar.

Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau


sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut.

Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :

1. Statemaent (pernyataan)

2. Persesuaian (agreemant)

3. Situasi (situation)

4. Kenyataan (realitas)

5. Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).


Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan
lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel
pada abad moderen.

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah
merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai
moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan
dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam
waktu dan tempat yang lain.

Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin
sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di
dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.

Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti
dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran.
Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.

Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap
benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.

Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A
= B dan B = C maka A = C

Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar
dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan
teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

3. Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu
benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu
ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian
dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.

Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang
dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).

Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil
itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.

Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan
(workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu
tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.

Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :

1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan

2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen


3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)

Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya
adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).

Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak
di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi)
atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi).
Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.

4. Kebenaran Religius

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.

Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah,
kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :

Agama sebagai teori kebenaran

Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran
melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agamadengan kitab
suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.

BAB III

KESIMPULAN

Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu
itu.

Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang
sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai
(norma dan hukum) yang bersifat umum.

Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang
mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r
asio, intelektual).

Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.

Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

BAB IV

DAFTAR BACAAN

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius


Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Kebenaran dalam Filsafat

Alvianica Nanda Utami 1:25 AM Add Comment

Pengertian Kebenaran

Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato
pernah berkata: Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh
belakangan Bradley menjawab; Kebenaran itu adalah kenyataan, tetapi bukanlah
kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi
bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu
kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari
keburukan (ketidakbenaran) (Syafii, 1995).

Dalam bahasan ini, makna kebenaran dibatasi pada kekhususan makna kebenaran
keilmuan (ilmiah). Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun langgeng, melainkan bersifat
nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan
bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian
maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran
sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya
harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).

Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara


pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang
dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu
saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian
seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan
kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini
terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu
terdapat diluar jangkauan manusia.

Teori-Teori kebenaran
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar
kepada 5 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta),
teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatis, teori kebenaran performatif, dan teori kebenaran
konsensus.

1. Teori Korespondensi (Kebenaran Faktual)

Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322 S.M.)
dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :

VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI

[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].

Kemudian teori korespondensi ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-


1970). Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas
oleh kelompok realisme dan materialisme. Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu
pengambilan kesimpulan dari Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah diadakan
pengamatan dan pembuktian (Observasi dan Verifikasi).

Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective
reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau
antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan,
karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut
(Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan kota Yogyakarta
terletak di pulau Jawa maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek
yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa.
Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra maka
pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan
terebut. Dalam hal ini maka secara faktual kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra
melainkan di pulau Jawa.

Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada
kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta,
maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).

2. Teori Koherensi (Kebenaran Rasio)

Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun,
1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti
akan mati adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang
pertama.

Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan
bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi
pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana
pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap
pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-
pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih
lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.

Kelompok idealis, seperti Plato (427-347 S.M.) juga filosof-filosof modern seperti Hegel, F.
H. Bradley (1864-1924) dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia;
dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan
tersebut (Titus, 1987:239). Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada
konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.

3. Teori Pragmatik

Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari
bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan.

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang
terbit pada tahun 1878 yangberjudul How to Make Ideals Clear. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di
antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead
(1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi


mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau
akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan
pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis
(Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.

Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah
dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan
bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan
itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu
ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung
menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan
keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar
adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran
(koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada
saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang
kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta
pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang
sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan
pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya
dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).

4. Teori Kebenaran Performatif

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia
mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti
fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama
berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI
adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak
hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543)
mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan
dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat,
pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.
Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini
seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan
tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

5. Teori Kebenaran Konsensus

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.

Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena
atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh
pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah
apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain
masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.

Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi
determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok
menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman
individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu
pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak
tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di
antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains.
Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak
karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi.
Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan
memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan
teori.

Pengalih kesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi
yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan
relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa
mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.
Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan
metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan
pemecahan berbagai masalah.

Arti Kebenaran Menurut Filsafat


Pendidikan sebuah hal yang terpenting dalam kehidupan dan dalam pendidkan pada
umumnya mengajarkan sebuah arti dari kebenaran dan kebaikan. dan semua orang berhasrat
untuk melakukan kebenaran, tapi apa itu kebenaran sendiri? Kebenaran adalah satu nilai utama
di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat
manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha memeluk suatu
kebenaran Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan
batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat
tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan
kualitasnya ada yang kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami
dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal. Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.

Berdasarkan potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :

1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah
pula dengan rasio.
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya.
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Kebenaran itu ialah
fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan
menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Sifat Kebenaran

Kebenaran mempunyai sifat-sifat tertentu apabila dilihat dari segi kualitas


pengetahuannya. Secara kualitas ada empat macam pengetahuan yaitu: pertama, Pengetahuan
biasa, pengetahuan ini mempunyai sifat subjektif. Artinya amat terikat pada subjek yang
mengenal. Kedua, Pengetahuan ilmiah, pengetahuan ini bersifat relatif. Artinya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh
hasil penemuan yang paling mutakhir.

Ketiga, pengetahan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui


metodologi pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasa dan menyekuruh dengan model
pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran ini bersifat absolut-
intersubjektif. Keempat, pengetahuan agaama. Pengetahuan agama mempunyai sifat dogmatis,
artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan.

Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara
terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi
dan fakta observasi.

1. Evolusionisme

Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah
bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat
ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran,
karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari zaman ke zaman.

2. Falsifikasionis

Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa
ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke
kebenaran. Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-
teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah
mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior
dibanding dengan teori yang telah digantinya.

3. Relativisme

Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari
penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai
sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar
masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan
kriteria kebenarannya.
4. Objektivisme

Apa yang diartikan sebagai benar ketika kita mengklaim suatu pernyataan adalah
sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu sesuai dengan keadaan: pernyataan benar adalah
representasi atas objek atau cermin atas itu. Tarski menekankan teori kebenaran
korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi
kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski
merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat objektif, karena pernyataan
yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga absolut karena
tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran,
sifat kemanusiannya pasti terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksankan konflik kebenaran,
manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang
dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan tentang kebenaran sudah


dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog
membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling
awal. Sejak itulah teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan
sampai kini.

Untuk mengetahui apakah pengetahuan kita mempunyai nilai kebenaran atau tidak.
Hal ini berhubungan erat dengan sikap, bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Apakah
hanya kegiatan dan kemampuan akal pikir ataukah melalui kegiatan indera? Yang jelas, bagi
seorang skeptik pengetahuan tidaklah mempunyai nilai kebenaran, karena semua diragukan
atau keraguan itulah yang merupakan kebenaran.
Secara tradisional, teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:

1. Teori Corespondence

menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

2. Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen
dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten
dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

3. Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode
project atau metode problem solving dari dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya
jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengmbalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam
keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-
tuntutan lingkungan.

4. Kebenaran Religius

Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis
dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

5. Teori Koherensi

Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun,
1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan
pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa si Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti
akan mati adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan
yang pertama.

Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia
mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai,
akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut.
Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat
teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa
berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5,
maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap
kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap
pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus
dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239).
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni
persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
Daftar Pustaka

Irvan Jaya. 2009. https://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/.(Diakses 10 November


2016)

Istioqomah Tika Kirana 2014. http://itikakirana.blogspot.co.id/2014/08/pengantar-filsafat-ilmu-teori-


kebenaran.html.(Diakses 10 November 2016)

Imam muwardi.2008. https://mawardiumm.wordpress.com/2008/06/02/kebenaran-dalam-perspektif-


filsafat-ilmu/.(Diakses 10 November 2016)

Miftahul Ulum. 2015. http://chantryintelex.blogspot.co.id/2015/01/hakikat-dan-teori-kebenaran-


dalam.html#.. (Diakses 10 November 2016)

Diposting 11th November 2016 oleh maulina

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat adalah sumber dan dasar dari cabang-cabang filsafat yang lain termasuk
didalamnya adalah filsafat ilmu. Filsafat ilmu dari berbagai kalangan filsuf dianggap
sebagai suatu cabang filsafat yang sangat penting dan mesti dipelajari secara
mendalam. Filsafat tentunnya sangat berbeda dengan ilmu karena untuk mengkaji dan
mengetahui apakah sesuatu itu adalah ilmu ternyata dasarnya adalah dengan jalan
berfikir secara mendalam atau berkontemplasi.
Dalam perumusan suatu ilmu ataupun pengetahuan sebelum secara konkrit
disebut sebagai ilmu dan pengetahuan tentunya ada rumusan yang dianggap mampu
memberikan nilai-nilai yang mendekati suatu kesempurnaan berfikir sehingga pada
akhirnya sesuatu itu dikatakan sebagai ilmu atau pengetahuan. Dalam kajian itu pula
ternyata harus melalui suatu proses yang oleh para ahli disebut berfilsafat.
Filsafat ilmu dan filsafat tidak dapat dipisahkan bahkan jikalau diibaratkan
keduanya seperti mata uang logam atau dua sisi yang saling terkait. Untuk memahami
secara umum kedua sisi tersebut maka perlu pemisahan dua hal itu yaitu filsafat ilmu
disatu sisi sebagai disiplin ilmu dan disisi lain sebagai landasan filosofis bagi proses
keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat
yang membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan
karakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya dan filsafat ilmu
sebagai landasan filosofis.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian filsafat dan ilmu
2. Pengertian filsafat ilmu dan pengetahuan
3. Peranan filsafat dalam ilmu pengetahuan
4. Peranan filsafat ilmu dalam kebenaran

BAB II
PEMBAHASAN
PERANAN FILSAFAT DALAM ILMU PENGETAHUAN

A. Pengertian Filsafat Dan Filsafat Ilmu


1. Pengertian filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani
philosophia yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah
philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari
zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian
sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan
saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan
dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah
dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984),
secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah
pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah
realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika,
estetika dan teori pengetahuan.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama
memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni
seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang
menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya philosophos (pencinta
kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh
Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak
Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan
aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie,
1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang
mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran,
tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus
mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada
tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam
perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak
semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh
menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang
pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
2. Pengertian filsafat ilmu
Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek


dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah
mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama.
Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal
ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan
(sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada


strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada
dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu,
tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).

Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang


hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian
lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar,
mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut
Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu ada yang dijadikan objek
sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang
filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.

3. Pengertian Filsafat Dalam Ilmu Pengetahuan

Jika kita mengatakan berapa pentingnya filsafat sebagai ilmu dan filsafat terapan
termasuk di dalamnya filsafat Agama, filsafat pancasila, filsafat pendidikan dan
sebagainya, namun amatlah sukar untuk memberikan definisi yang konkret apalagi
abstrak terhadap masing-masingnya. Terutama kata filsafat berkaitan erat dengan
segala sesuatu yang bisa di fikirkan oleh manusia dan bahkan dapat di katakan tidak
akan pernah habisnya. Karena daripadanya mengandung dua kemungkinan yaitu
proses berfikir dan hasil berfikir. Filsafat dalam artian pertama adalah jalan yang di
tempuh untuk memecahkan masalah, sedangkan pada pengertian yang kedua adalah
kesimpulan atau hasil yang di peroleh dari pemecahan atau pembahasan masalah.

Kemudian sesuai dengan perkembangan akal pikiran manusia yang senantiasa


mengalami pertumbuhan, perkembangan dan perubahan, maka pengertian filsafat juga
mengalami perkembangan dan perubahan konotasi yang telah dapat menguasai
kehidupan umat manusia sehingga mempengaruhi filsafat hidup suatu bangsa menjadi
norma negara.Dan pemikiran manusia tidak didapat di pelajari ada 4(empat) golongan
pemikiran itu:

1) Pemikiran pseudo ilmiah

2) Pemikran awam

3) Pemikiran ilmiah

4) Pemikiran filosofis

Pemikiran pseudo ilmiah bertumpu kepada aspek kepercayaan dan kebudayaan


mitos,dan bekas-bekasnya dapat kita jumpai dalam astrologi atau kepercayaan
terhadap buku primbun. Kalau pemikiran awam adalah pemikran orang-orang dewasa
yang menggunakan akal sehat, karena bagi orang awam untuk memacahkan kesulitan
dalam kehidupan cukup dengan menggunkaan akal sehat tanpa melakukan penelitiaan
lazimnya terlebih dahulu. Selanjutnya pemikiran ilmiah sebagaimana lazimnya
menggunakan metode-metode, tata pikir dalam paradigma ilmu pengetahuan tertentu,
dilengkapi dengan penggunaan hipotesis untuk menguji kebenaran konsepteori atau
pemikiran dalam dunia empiris yang tidak pernah selesai dalam proses keilmuan.
Sedangkan ilmu filosofi adalah kegiatan berfikir reflektif mengikuti kegiatanan analisis
pemahaman, deskripsi, penilaian, penafsiran dan perekaan yang bertujuan untuk
memperoleh kejelasan, kecerahan, keterangan, kebenaran, pengertiaan, dan penyatu
panduan tentang objek. Filsafat juga merupakan ilmu yang tertua yang menjadi induk-
induk ilmu pengetahuan.

B. Hubungan filsafat ilmu dengan ilmu pengetahuan

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu
sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana
pohon ilmu pengetahuan telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-
masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.Dengan demikian,
perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-
ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru
bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-
spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985),
bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat
asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak
dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan
baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam
Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat
ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu
dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat
memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

1. Hubungan filsafat ilmu dengan cabang ilmu pengetahuan[2]

Pengetahuan sebagai produk berpikir merupakan obor dan semen peradaban


dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.
Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya
dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan
penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer
zaman sekarang.

Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi


kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai
bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun kelihatannya betapa banyak dan
keanekaragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakekatnya upaya manusia dalam
memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yakni : Apakah yang
ingin kita ketahui? (ontologi) Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?
(epismotologi) dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (aksiologi).

2. Hubungan filsafat ilmu dengan antropologi

Antropologi membahas tentang segala aspek hubungan manusia. Filsafat


menelaah segala yang mungkin dipikirkan oleh manusia. Ilmu hanya maju apabila
masyarakat dan peradaban berkembang. Filsafat ilmu merupakan metode penalaran
dari suatu bidang studi, misalnya antropologi.

Manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang didalamnya


terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan dengan pikiran,
kemauan, dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu
hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian
terhadap objek dan kelebihan

3. Hubungan filsafat ilmu dengan ilmu politik

Ilmu politik mempelajari salah satu aspek kehidupan manusia antara manusia
tentang kewenangan sehingga diperlukan analisis yang jelas dalam menelaahnya dan
menurut van Dyke politik memenuhi syarat sebagai suatu ilmu karena
memiliki variability, systematic, generality. Selain itu ilmu polotik merupakan suatu
pengetahuan campuran yang pengembangannya bergantung pada hubungan timbal
balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu sehingga terjadi relevansi antara
politik dan filsafat ilmu.

Politik dapat dikatakan sebagai filsafat karena dalam mempelajari politik


diperlukan cara berpikir yang kompleks sistematis serta politik adalah sebuah ilmu yang
menyangkut salah satu aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan kemenangan
yang perlu dianalisis secara kritis.

C. Peranan filsafat dalam Ilmu pengetahuan

Semakin banyak manusia tahu, semakin banyak pula pertanyaan yang timbul
dalam dirinya. Manusia ingin tahu tentang asal dan tujuan hidup, tentang dirinya sendiri,
tentang nasibnya, tentang kebebasannya, dan berbagai hal lainnya. Sikap seperi ini
pada dasarnya sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara
metodis dan sistematis dapat dibagi atas banyak jenis ilmu.

Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia dalam


mengorientasikan diri dalam dunia dan memecahkan berbagai persoalan hidup.
Berbeda dari binatang, manusia tidak dapat membiarkan insting mengatur perilakunya.
Untuk mengatasi masalah-masalah, manusia membutuhkan kesadaran dalam
memahami lingkungannya. Di sinilah ilmu-ilmu membantu manusia
mensistematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses
pencariannya.

Pada abad modern ini, ilmu-ilmu pengetahuan telah merasuki setiap sudut
kehidupan manusia. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena ilmu-ilmu pengetahuan banyak
membantu manusia mengatasi berbagai masalah kehidupan. Prasetya T. W. dalam
artikelnya yang berjudul Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend
mengungkapkan bahwa ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan menjadi begitu
unggul. Pertama, karena ilmu pengetahuan mempunyai metode yang benar untuk
mencapai hasil-hasilnya. Kedua, karena ada hasil-hasil yang dapat diajukan sebagai
bukti keunggulan ilmu pengetahuan. Dua alasan yang diungkapkan Prasetya tersebut,
dengan jelas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memainkan peranan yang cukup
penting dalam kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, ada pula tokoh yang justru anti terhadap ilmu pengetahuan. Salah
satu tokoh yang cukup terkenal dalam hal ini adalah Paul Karl Feyerabend. Sikap anti
ilmu pengetahuannya ini, tidak berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi
anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud
utamanya. Feyerabend menegaskan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tidak menggunguli
bidang-bidang dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Menurutnya, ilmu-ilmu
pengetahuan menjadi lebih unggul karena propaganda dari para ilmuan dan adanya
tolak ukur institusional yang diberi wewenang untuk memutuskannya.

Sekalipun ada berbagai kontradiksi tentang keunggulan ilmu pengetahuan, tidak


dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya memberikan pengaruh yang
besar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari peranan ilmu
pengetahuan dalam membantu manusia mengatasi masalah-masalah hidupnya,
walaupun kadang-kadang ilmu pengetahuan dapat pula menciptakan masalah-masalah
baru.

Meskipun demikian, pada kenyataannya peranan ilmu pengetahuan dalam


membantu manusia mengatasi masalah kehidupannya sesungguhnya terbatas. Seperti
yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, keterbatasan itu terletak pada cara
kerja ilmu-ilmu pengetahuan yang hanya membatasi diri pada tujuan atau bidang
tertentu. Karena pembatasan itu, ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang keseluruhan manusia. Untuk mengatasi masalah ini, ilmu-ilmu
pengetahuan membutuhkan filsafat. Dalam hal inilah filsafat menjadi hal yang penting.
C.Verhaak dan R.Haryono Imam dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu
Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, menjelaskan dua penilaian filsafat atas
kebenaran ilmu-ilmu. Pertama, filsafat ikut menilai apa yang dianggap tepat dan
benar dalam ilmu-ilmu. Apa yang dianggap tepat dalam ilmu-ilmu berpulang pada
ilmu-ilmu itu sendiri. Dalam hal ini filsafat tidak ikut campur dalam bidang-bidang ilmu
itu. Akan tetapi, mengenai apa kiranya kebenaran itu, ilmu-ilmu pengetahuan tidak
dapat menjawabnya karena masalah ini tidak termasuk bidang ilmu mereka. Hal-hal
yang berhubungan dengan ada tidaknya kebenaran dan tentang apa itu kebenaran
dibahas dan dijelaskan oleh filsafat. Kedua, filsafat memberi penilaian tentang
sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan pengetahuan manusia guna mencapai
kebenaran.

Dari dua penilaian filsafat atas kebenaran ilmu-ilmu di atas, dapat dillihat bahwa
ilmu-ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu pasti) tidak langsung berkecimpung dalam usaha
manusia menuju kebenaran. Usaha ilmu-ilmu itu lebih merupakan suatu sumbangan
agar pengetahuan itu sendiri semakin mendekati kebenaran. Filsafatlah yang secara
langsung berperan dalam usaha manusia untuk mencari kebenaran. Di dalam filsafat,
berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan kebenaran dikumpulkan dan diolah
demi menemukan jawaban yang memadai.

Franz Magnis Suseno mengungkapkan dua arah filsafat dalam usaha mencari
jawaban dari berbagai pertanyaan sebagai berikut: pertama, filsafat harus mengkritik
jawaban-jawaban yang tidak memadai. Kedua, filsafat harus ikut mencari jawaban yang
benar. Kritikan dan jawaban yang diberikan filsafat sesungguhnya berbeda dari
jawaban-jawaban lain pada umumnya. Kritikan dan jawaban itu harus dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.

Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah


harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan, serta harus dipertahankan
secara argumentatif dengan argumen-argumen yang objektif. Hal ini berarti bahwa
kalau ada yang mempertanyakan atau menyangkal klaim kebenaran suatu pemikiran,
pertanyaan dan sangkalan itu dapat dijawab dengan argumentasi atau alasan-alasan
yang masuk akal dan dapat dimengerti.

Dari berbagai penjelasan di atas, tampak jelas bahwa filsafat selalu mengarah
pada pencarian akan kebenaran. Pencarian itu dapat dilakukan dengan menilai ilmu-
ilmu pengetahuan yang ada secara kritis sambil berusaha menemukan jawaban yang
benar. Tentu saja penilaian itu harus dilakukan dengan langkah-langkah yang teliti dan
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Penilaian dan jawaban yang diberikan
filsafat sendiri, senantiasa harus terbuka terhadap berbagai kritikan dan masukan
sebagai bahan evaluasi demi mencapai kebenaran yang dicari.

Inilah yang menunjukkan kekhasan filsafat di hadapan berbagai ilmu


pengetahuan yang ada. Filsafat selalu terbuka untuk berdialog dan bekerjasama
dengan berbagai ilmu pengetahuan dalam rangka pencarian akan kebenaran. Baik ilmu
pengetahuan maupun filsafat, bila diarahkan secara tepat dapat sangat membantu
kehidupan manusia.

Membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang


pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu
pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan
tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi
harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia

Hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh


pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir
selalu digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah
kehidupan.antara ilmu Pengetahuan dan ilmu Filsafat ada persamaan dan
perbedaannya.Ilmu Pengetahuan bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah
melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan Filsafat bersifat
priori kesimpulannya ditarik tanpa pengujian,sebab Filsafat tidak mengharuskan adanya
data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena Filsafat bersifat Spekulatif.Disamping
adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-
sama mencari kebenaran.Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk
menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana
menjawab pelukisan fakta sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan
bagaimana sesungguhnya fakat itu darimana awalnya dan akan kemana akhirnya.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Filsafat berasal dari kata Yunani philosophia yang lazim diterjemahkan sebagai
cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta
kearifan.sedangkan filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap
saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa
meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan
untuk mencari pengetahuan baru dan Ilmu pengetahuan atau Knowledge ini merupakan
terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita ketahui seperti filsafat,
sosial, seni, beladiri, dan ilmu sains itu sendiri.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak
dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Sangat jelas jika filsafat
mempunyai hubungan yang sangat erat.Hubungan filsafat ilmu dengan ilmu
pengetahuan adalah sebagai filsafat ilmu dengan cabang ilmu pengetahuan, filsafat
ilmu dengan antropologi dan filsafat ilmu dengan ilmu politik.

Peranan filsafat dalam ilmu pengetahuan adalah filsafat memberi penilaian


tentang sumbangan ilmu-ilmu pada perkembangan pengetahuan manusia guna
mencapai kebenaran tapi filsafat tidak ikut campur dalam ilmu-ilmu tersebut dimana
filsafat selalu mengarah pada pencarian akan kebenaran. Pencarian itu dapat dilakukan
dengan menilai ilmu-ilmu pengetahuan yang ada secara kritis sambil berusaha
menemukan jawaban yang benar. Tentu saja penilaian itu harus dilakukan dengan
langkah-langkah yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Penilaian dan jawaban yang diberikan filsafat sendiri, senantiasa harus terbuka
terhadap berbagai kritikan dan masukan sebagai bahan evaluasi demi mencapai
kebenaran yang dicari.
2. SARAN

Demikian tugas makalah yang dapat saya susun. Saya menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun
dari dosen pembimbing dan para pembaca sangat diharapkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembanganya Di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
2010
Drs. Bukhanuddin salam, pengantar filsafat, bumi aksara, jakarta,2012

Anda mungkin juga menyukai