PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan masalah ini adalah:
1. Memahami definisi filsafat ilmu menurut para ahli
2. Memahami sejarah munculnya filsafat ilmu
3. Memahami perkembangan filsafat ilmu di Indonesia
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan masalah ini adalah :
1. Pembuatan sebuah makalah diharapkan membawa sejumlah manfaat yang baik bagi
penulisnya yakni mengembangkan kreatifitas dan menuangkan serta mempublikasikan
gagasan pemikirannya tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di
sini penulis secara tidak langsung juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir kritis
secara logis-sistematis, kemampuan membahasakan dan kemampuan menganalisis-kritik.
2. Karya tulis ini tidak hanya berguna bagi penulis saja namun juga sebagai bahan referensi
ilmiah dan sumbangan pengetahuan kepada instansi juga kepada pembaca tentang ide penulis
melalui karya ilmiah ini.
3. Dalam bidang pengembangan pendidikan, diharapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai
tuntunan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang dalam dunia pengetahuan dan
pendidikan guna studi ilmiah dan mencapai gelar ilmiah selanjutnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between
experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari
teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah.)
May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two
sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers
them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may
be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman
manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai
suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan
pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the
elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on
and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic,
practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba
pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan
perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan
telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?
(Landasan ontologis)
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan
4
yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu? (Landasan epistemologis)
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982: 49)
6
memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari (Surajiyo.
2008: 87).
Adapun untuk zaman modern ditandai dengan penemuan berbagai bidang ilmu.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern dirintis oleh Rene Descartes dan terkenal
sebagai bapak filsafat modern. Ia seorang ahli ilmu pasti, penemuannya dalam ilmu ini adalah
sistem koordinat yang terdiri atas dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar. Selain Descartes
ada Isaac Newton (1642-1727) yang terkenal dengan teori grafitasinya. Walaupun penemuannya
terdiri atas tiga buah, yakni teori gravitasi, perhitungan calculus, dan optika, Newton pun
memaksakan pandangannya ke dalam bidang kehidupan kultural yang luas dan sampai pada
bidang psikologi. Ada pula charles darwin dengan teorinya ‘perjuangan untuk hidup’. Darwin
dikenal sebagai penganut evolusi yang fanatik. Ia mengatakan bahwa perkembangan yang terjadi
pada makhluk di bumi terjadi karena seleksi alam (Surajiyo. 2008: 88-89).
4. Filsafat ilmu pada zaman kontemporer
Perkembangan filsafat ilmu pada zaman kontemporer ditandai dengan penemuan berbagai
teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informatika termasuk salah satu yang mengalami
kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet dan
sebagainya. Akibatnya, terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Salah satu tokoh terkenal
pada zaman ini adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya
dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah totalitasnya atau bersifat dari waktu ke waktu.
Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta ini bersifat kekal, dengan
kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam (Banasuru, 2013: 94-95).
Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara
bidang ilmu satu dengan dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti
bioteknologi yang dikenal dengan teknologi kloning. Demikian pula dengan sintesis antara
psikologi dengan dengan linguistik yang menghasilkan psikolinguistik dan juga neurolinguistik.
Sintesis antara ilmu komputer dengan linguistik menghasilkan ilmu komputasional (Banasuru,
2013: 96-97).
7
Menurut Khun cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam tahap
- tahap sebagai berikut (Surajiyo, 2007: 157).
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu
normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkensempatan menjabarkan dan mengembangkan
paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dlaam tahap ini para
ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama
menjalankan aktivitas ilmiah para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat
diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya,
ini dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan
antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma dipakai (Surajiyo, 2007: 157).
Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan
terhadpa paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para imuwan mulai keluar dari
jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para imuwan bisa kembali lagi pada cara - cara ilmiah yang sama dengan
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan
masalah dan membimbing akivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradima lama ke
paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilimiah (Surajiyo, 2007: 157).
Gambaran ketiga tahap tersebut dapat diskematiskan sebagai berikut.
PARADIGMA
Dalam Masa Normal Science
ANOMALI
PARADIGMA BARU
Revolusi Ilmiah
Istilah iliah paradigma berkembang dalam berbagai bidang kehiduan manusia serta ilmu
pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, seta bidang lainnya. Dalam masalah
yang populer istilah paraigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan,
perubahan, serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi
maupun dalam pendidikan (Surajiyo, 2007: 158).
8
2.3.2 Landasan Ontologis, Epistemologis, Axiologis, Dan Antropologis Pancasila
Landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang diterapkan pada
Pancasila. Landasan epistemologis dimaksudkan untuk mengungkapkan sumber pengetahuan dan
kebenaran tentang pancasila sebagai sistem filsafat dan ideologi. Landasan aksisologis dimaksudkan
untuk mengungkapkan jenis nilai dasar yang terkandung dalam pancasila. Landasan antropologis
dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam rangka pengembangan sistem filsafat
pancasila (Surajiyo, 2007: 158).
a. Landasan ontologis Pancasila
Istilah ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti sesuatu yang sungguh – sungguh
ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang berarti teori atau ilmu. Ontologi
mempelajari keberadaan dalam bentuknya yang paling abstrak. Ontologi merupakan cabang
filsafat yang membicarakan tatanan dan struktir kenyataan dalam arti yang luas (Surajiyo, 2007:
158).
Atas dasar pengertian dari ontologis tersebut, pandangan ontologi dari pancasila adalaha
Tuhan, manusai, satu, rakyat dan adil (Damardjanti Supadjar, dkk., 1996). Tuhan adalah sebab
pertama dari segala sesuatu, yang esa dan segala sesuatu bergantung kepadaNya. Manusia
memiliki susunan hakikat pribadi yang monopluralis, yakni bertubuh-berjiwa, bersifat individu-
makhluk sosial, berkedudukan sebagai pribadi berdiri sendiri-makhluk Tuhan yang
menimbulkan kebutuhan kejiwaan dan religus, yang seharusnya secara bersama-sama dipelihara
dengan baik dalam kesatuan yang seimbang, harmonis, dan dinamis. Satu secara mutlak tidak
dapat terbagi, rakyat adalah kesuluruhan jumlah semua orang, warga dalam lingkungan daerah
atau negara tertentu. Hakikat rakyat adalah pilar negara dan yang berdaulat. Adila adalah
dipenuhinya sebagai wajib segala sesuatu yang merupakan hak dalam hubungan hidup
kemanusiaan yang mencakup hubungan anatar negara dengan warga negara, hubungan warga
negara dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara (Surajiyo, 2007: 159).
b. Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologis adalah cabang filsafat yang menyelidiki secara kritis hakikat, landasan,
batas-batas, dan patokan kesahihan pengetahuan. Epistemologi pancasila dimaksudkan mencari
sumber-sumber-sumber pengetahuan dan kebenaran dari pancasila. Sumber pengetahuan dalam
epistemologgi ada dua aliran, yakni empirisme dan rasionalisme (Surajiyo, 2007: 159).
Pengetahuan empiris pancasila bahwa pancasila merupakan cerminan dari masyarakat
Indonesia pada saat kelahirannya digali dari kebudayaan Indonesia sendiri. Pengetahuan
rasionalis pancasila bahwa pancasila merupakan hasil perenungan yang mendalam dari tokoh-
tokoh kenegaraan Indonesia untuk mengarahkan kehidupan bangsa Indonesia dalam bernegara.
Dengan dasar perenungan dan pertimbangkan akal, lima inti kehidupan manusia yakni
berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan dengan tambahan
ciri khas bangsa Indonesia menjadi sifat kolektif, dasar hidup bangsa Indonesia dalam mencapai
9
kehidupan yang dicita-citakan, sehingga Pancasila menjadi aksioma kehidupan bangsa
Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Surajiyo, 2007: 159).
Kebenaran pancasila dapat dilihat dalam teori-teori kebenaran dalam pengetahuan yakni
teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatis. Teori koherensi yang diterapkan
dalam pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dapat dinyatakan bahwa suatu pernyataan
atau penjabarab dalam ideologi diakui benar bila pernyataan atau penjabarab dalam ideologi
diakui benar bila pernyataan atau penjabaran itu bersifat konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Surajiyo, 2007: 159).
Pancasila sebagai ideologi negaram pernytaan-pernyataan yang merupakan penjabarannya
juga konsisten tidak ada kontradiksi dengan nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya. Hal
ini telah terbukti juga hubungan antarbagian atau antara sila dalam pancasila, maupun pancsila
sebagai asioma kehidupan dalam sistem kenegaraan dipancarkan dari keempat pokok pikiran
yang selanjutnya dijelmakan dalam pasal-pasal UUD 1945 (Surajiyo, 2007: 159).
Teori korespondensi yang diterapkan dalam pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
dapat dinyatakan bahwa suatu pernyataan dalam ideologi diakui benar jika materi pengetahuan
yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan sendiri
(Surajiyo, 2007: 159).
Pancasila dinyatakan sebagai jiwa bangsa Indonesia, sebagai kepribadian bangsa
Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai pedoman hidup bangsa
Indonesia. Hal ini sesua dengan kenyataan sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai-nilai dalam
pancasila digali dari banga Inodensia sendiri yakni dalam nilai adat istiadat, kebudayaan dan
religi dari kehidupan bangsa Indonesia (Surajiyo, 2007: 159).
Teori pragmartis yang direpakna dalam pacasila sebagai ideologi dan dasar negara dapat
dinyatakan bahwa suatu pernyataan dalam ideologi diakui benar jika konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kehgunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pancasila merupakan
pemersatu bangsa Indonesia. Hal inu memang dapat digunakan secara praktis, dan fakta sejarah
telah membuktikan baik sejak proses penetapan pancasila sebagai dasar negara maupun dalam
menghadapi pemberontakan yag pernah terjadi, dnega jiwa pancasila untuk mempersatuka
bangsa, semua dapaet teratasi dan semua mempunyai semangat persatuan demi kesatuan bangsa
indonesia. Semangat persatuan yang terkandung dalam ajaran pancasila dapat digunakan juga
untuk membina kerikunan umat beragama dengan asas yang mendasar yaitu tenggang rasa
(Surajiyo, 2007: 160).
c. Landasan Aksiologis Pancasila
Landasan asiologis pancasila merujuk kepada nilai-niali dasar terdapat di dalam
pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai dasar itu harus menjiwai, menghayati nilai intrumentalnya
yang terdapat di dalam peraturan perundangan-undangan berupa UUD 1945, Ketetapan MPR,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang, Pearturan pemerintah,
10
Keputuan Presiden, Peraturan Daerah. Jadi aktualisasi nilai-nilai dasar tersebut kentekstual dan
konsisten dengan perkembangan kehidupan berbagsa dan bernegara (Surajiyo, 2007: 160).
d. Landasan Antropologis Pancasila
Filsafat antropologis pancasila memnadang manusia sebagai monopluralis. Menurut
Notonagoro (1975) manusia sebagai monopluralis memiliki dimensi-dimensinya dijabarkan
sebagai berikut. Susunan kodrat, manusia terdiri atas jiwa yang terbagi menjadi beberapa nsur
seperti akal, rasa, dan karsa, raga terdiri atas unsur banda mati, unsur hewan, dan unsur
tumbuhan. Sifat kodrat manusia mencakup sifat manusai sebagai kedudukan manusia sebagai
makhluk hidup dan makhluk sosial. Kedudukan kodrat manusia mencakup kedudukan manusai
sebagai makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan (Surajiyo, 2007: 160).
Dari susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat manusai tersebut, manusia dapat
memelihara hubungannya dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dan
dengan alam sekitarnya secara serasi, selaras, dan seimbang. Aktualisasi nilai filsafat
antropologis. Pancasila dalam pembangunan diformulasikan dalam konsep pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya (Surajiyo, 2007: 160).
13
Dengan visi ilmu di atas perlu refleksi anjuran-anjuran bagaimana membangun pemikiran
ilmiah di Indonesia. Prof. T. Jacob (dalam A.H. Mintaredja, 1990) menganjurkan bahwa dalam rangka
mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi yang cenderung mengancam otonomi manusia, para
ilmuan selayaknya jika memperhatikan agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu. Kemudian Prof.
Poespoprojo menyarankan bahwa bagi sarjana, lebih-lebih calon doktor, harinya sudah terlalu siang
untuk tidak tahu hakikat ilmu, posisi ilmu dalam semesta tahu dan pengetahuan manusia. Abbas
Hamami Mintaredja juga menyarankan agar ilmu dapat lebih aktif dan mampu berfungsi sebagaimana
mestinya, maka hal-hal yang cukup mendasar yang perlu mendapat perhatian antara lain:
a. Ilmu harus mampu mewadahi kebudayaan masyarakat, ilmu diharapkan dapat berkembang
persis seperti yang dikehendaki masyarakat.
b. Adanya keinsyafan tidak melulu kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya untuk
memperoleh kebenaran.
c. Pendidikan moral (etika) dan etika Pancasila serta moral keagamaan syarat mutlak bagi
moral para ilmuan agar memiliki etika profesional yang seimbang.
d. Perlunya pendidikan filsafat, khususnya filsafat ilmu atau epistemologi bagi Pendidikan
Tinggi.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Para ahli ilmu pengetahuan (pada abad XIX) yang dipelopori oleh Moris Schlick
membentuk suatu perkumpulan yang disebut Wina circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu
(kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis.
Para ahli telah memberikan pengertian yang bervariasi tentang filsafat ilmu, sangat membantu
dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu.
Filsafat pertama kali lahir di Yunani sekitar abad ke-7 SM. Filsafat ada ketika manusia
mulai berpikir tentang keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar (titik awal berpindahnya
paradigma pemikiran dari mitosentris ke logosentris). Tiap decade terlahir filsuf baru hingga
pada perkembangan filsafat ilmu pada abad pertengahan ditandai dengan kehadiran para teolog,
sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Pada masa ini mengalami dua
periode yaitu periode patristic dan skolastik. Peralihan kebudayaan abad pertengahan mulai
berubah menjadi suatu kebudayaan modern disebut dengan zaman renaissance di mana astronomi
mengalami perkembangan pesat. Adapun untuk zaman modern ditandai dengan penemuan
berbagai bidang ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern dirintis oleh Rene
Descartes dan terkenal sebagai bapak filsafat modern. Perkembangan filsafat ilmu pada zaman
kontemporer ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih.
Paradigma menurut Thomas S. Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang
umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Thumas S. Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan
ilmiah bersifat revolusioner yang digambarkan pada tiga tahap, yaitu membimbing dan
mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal, menumpuknya anomali menimbulkan
krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma, memperluas dan mengembangkan
suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing akivitas
ilmiah berikutnya.
Istilah paradigma berkembang dalam berbagai bidang kehiduan manusia serta ilmu
pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, seta bidang lainnya. Ontologi
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tatanan dan struktur kenyataan dalam arti yang
luas. Landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang diterapkan
pada Pancasila. Landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang
diterapkan pada Pancasila. Landasan epistemologis dimaksudkan untuk mengungkapkan sumber
pengetahuan dan kebenaran tentang pancasila sebagai sistem filsafat dan ideologi. Landasan
aksisologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis nilai dasar yang terkandung dalam
15
pancasila. Landasan antropologis dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam
rangka pengembangan sistem filsafat pancasila. Pengembangan iptek sebagai hasil budaya
manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, pada hakikatnya sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir,
serta basis moralitas bagi pengembangan iptek. Bagi Bangsa Indonesia strategi pengembangan
ilmu pengetahuan yang paling tepat menurut ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi
filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai Pancasila di dalam mengahadapi masalah-masalah yang
harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif dalam satu kesatuan integratif.
3.2 Saran
Penulis dan pembaca mengkaji dan memahami lebih lanjut mengenai filsafat ilmu baik
tentang pengertian maupun sejarah perkembangan filsafat ilmu di dunia atau Indonesia.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hamami M. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal Filsafat Pengetahuan).
Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.
Banasuru, A. 2013. Filsafat dan Filsafat Ilmu dari Hakikat ke Tanggung Jawab. Bandung: Alfabeta.
Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2). Bandung: UPI.
Katar, A., 2015. Pengertian, Ruang Lingkup dan Objek Kajian Filsafat Ilmu.
(http://sosioakademika.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-ruang-lingkup-dan-objek.html)
Koento Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangaanya di Indonesia Ed 1, Cet. 3. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Syarbaini, Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Titus, Harold H. 1959. Living issues in philosophy. New York: American Book.
Vardiansyah, D., 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks.
Watloly, A. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural.
Yogyakarta: Kanisius.
17