Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat saat ini, telah berhasil menemukan
kebenaran dari berbagai permasalahan yang tidak bisa terjawab dahulu. Namun hal itu tidak
menyebabkan manusia menjadi puas dengan kebenaran tersebut. Justru manusia semakin giat dalam
mencari-mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada untuk menguji sesuatu teori
baru atau menggugurkan teori sebelumnya.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu (Vardiansyah., 2008: 3). Sedangkan pengertian dari filsafat menurut salah satu ahli yakni
Lewis White Beck adalah filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah
serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Filsafat ilmu mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang
termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Hal ini menjadikan filsafat ilmu sangat
berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan
masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai
ilmiah, bagaimana konsep, ide ataupun teori dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan,
memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi, cara menentukan validitas dari sebuah
informasi, formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan
untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri (Vardiansyah., 2008: 47). Menurut Titus filsafat ilmu telah
berkembang dan berubah menjadi filsafat modern yang dibutuhkan dalam setiap ilmu (Titus, 1959:
157).
Berdasarkan sebagian penjelasan diatas, maka pemakalah akan memaparkan sedikit tentang
“Sejarah Filsafat Ilmu” yang dimulai dari zaman purba sampai zaman modern (kontemporer)
sekarang ini.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis telah menyusun beberapa rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:
1. Apa definisi filsafat ilmu menurut para ahli?
2. Bagaimana sejarah munculnya filsafat ilmu?
3. Bagaimana perkembangan filsafat ilmu di Indonesia?

1
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan masalah ini adalah:
1. Memahami definisi filsafat ilmu menurut para ahli
2. Memahami sejarah munculnya filsafat ilmu
3. Memahami perkembangan filsafat ilmu di Indonesia

1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan masalah ini adalah :
1. Pembuatan sebuah makalah diharapkan membawa sejumlah manfaat yang baik bagi
penulisnya yakni mengembangkan kreatifitas dan menuangkan serta mempublikasikan
gagasan pemikirannya tentang suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah didalami. Di
sini penulis secara tidak langsung juga dilatih untuk menerapkan kemampuan berpikir kritis
secara logis-sistematis, kemampuan membahasakan dan kemampuan menganalisis-kritik.
2. Karya tulis ini tidak hanya berguna bagi penulis saja namun juga sebagai bahan referensi
ilmiah dan sumbangan pengetahuan kepada instansi juga kepada pembaca tentang ide penulis
melalui karya ilmiah ini.
3. Dalam bidang pengembangan pendidikan, diharapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai
tuntunan akademik bagi para akademisi yang ingin berpetualang dalam dunia pengetahuan dan
pendidikan guna studi ilmiah dan mencapai gelar ilmiah selanjutnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu diperkenalkan sekitar abad XIX oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan dari
universitas wina. Para ahli ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Moris Schlick membentuk suatu
perkumpulan yang disebut Wina circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu
(kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis.
Bidang keilmuan membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian yang lebih
spesifik. Karena itu saat ini filsafat ilmu sudah semakin berkembang dan menjadi filsafat modern yang
dibutuhkan dalam setiap ilmu (Titus, 1959: 242).
Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa itu ilmu, maka pemahaman
mengenai filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam
memaknai filsafat ilmu tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, sebab sebagai suatu istilah,
filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun telah memberikan
pengertian yang bervariasi, namun demikian pemahaman tentang makna filsafat dan makna ilmu akan
sangat membantu dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science) (Titus,
1959: 167).
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat
ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
 Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah
suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan
terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
 Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
 A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature
of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the
general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan
telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan
praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan
intelektual.)

3
 Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between
experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari
teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah.)
 May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
 Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two
sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers
them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may
be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the
elimination of inconsistency and error. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman
manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai
suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan
pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
 Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the
elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on
and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic,
practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba
pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan
perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan
telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari
epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
 Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?
(Landasan ontologis)
 Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan
4
yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu? (Landasan epistemologis)
 Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982: 49)

2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu


Perkembangan filsafat ilmu sejalan dengan perkembangan filsafat. Belajar perkembangan ilmu
dimaksudkan untuk mengetahui sejarah perkembangan pemikiran manusia. Dengan mengetahui
perkembangan pemikiran manusia, banyak manfaat yang dapat diperoleh. Tingkat peradaban
manusiapun dapat diketahui melalui sejarah perkembangan ilmu. Perkembangan ilmu meliputi zaman
Yunani kuno, zaman abad pertengahan, zaman renaissance dan modern, dan zaman kontemporer
(Banasuru, 2013: 87).
Filsafat pertama kali lahir di Yunani sekitar abad ke-7 SM. Filsafat ada ketika manusia mulai
berpikir tentang keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar. Manusia tidak lagi menggantungkan
diri kepada agama untuk mencari jawaban tentang hal-hal yang mereka pertanyakan. Mengapa filsafat
pertama kali muncul di Yunani, tidak di daerah beradab lain seperti Babilonia, Israel, atau Mesir?
Karena di Yunani tidak terdapat kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Filosof
pertama Yunani ialah Thales. Filosof- filosof terkenal Yunani ialah Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Socrates merupakan guru Plato sedngkan Aristoteles adalah murid Plato. Pengaruh Plato sangat besar
pada sejarah filsafat (Ginting, 2008: 5).
1. Filsafat ilmu pada zaman Yunani kuno (abad ke-7 SM)
Seperti telah disebut di atas, berdasarkan catatan sejarah bahwa zaman Yunani kuno
merupakan titik awal berpindahnya paradigma pemikiran dari mitosentris ke logosentris. Pada
masa ini bangsa Yunani tidak lagi mempercayai mitos-mitos dan mulai senang menyelidiki
sesuatu dengan kritis. Sikap kritis ini melahirkan beberapa filosof yang berjaya dan dikenal pada
zamannya dan sesudahnya seperti Thales, Anaximander, Heraclitos dan lain-lain. Oleh beberapa
filosof pada zaman ini filsafat diartikan sebagai bertanya secara rasional dan mencari jawaban atas
prinsip-prinsip pertama atau arkhe dari realitas. Dalam hal ini, Thales beranggapan bahwa arkhe
itu adalah air, Anaximandros mengemukakan bahwa arkhe itu adalah tidak terbatas (to apeiron),
sedangkan Heraclitos melihat bahwa arkhe adalah api, ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu
itu terus mengalir (Watloly, 2001: 58-59).
Pada tahun 470 SM lahir seorang filosof dengan metode dan sistem pemikiran yang lebih
berkembang berbanding pendahulunya, Socrates, yang bisa diketahui pemikirannya berdasarkan
naskah-naskah salah seorang muridnya, Plato yang lazimnya disebut “dialog-dialog Plato”.
5
Sebagai seorang moralis, Socrates berusaha mengembangkan sikapnya yang sangat mendasar
mengenai hakikat hidup dan kehidupan manusia. Socrates mengajarkan bahwa kebenaran dan
kepastian dapat dicapai melalui metode dialektika. Metode ini menurutnya dapat menuntun orang
untuk mempersoalkan kenyataan yang ada secara terus menerus sampai akhirnya menemukan
kepastian yang kokoh (Watloly, 2001: 62).
Berbeda dengan gurunya, Plato berkesimpulan bahwa sumber dari segala pengetahuan adalah
ide absolut. Dalam hal ini, Plato lebih menaruh perhatian pada kualitas yang abstrak. Selain Plato,
adapula Aristoteles (384-322 SM) yang namanya tidak asing lagi di telinga para kademisi. Sebagai
seorang realis ia mendasarkan pemikirannya pada pengalaman. Menurut Aristoteles, berdasarkan
pengalaman berulah selanjutnya subjek memberikan uraian mendasar mengenai data-data
pengetahuan itu. Ia memandang pengetahuan sebagai hubungan timbal balik antara subjek dan
objek dengan berbagai implikasinya (Watloly, 2001: 63).
2. Filsafat ilmu pada zaman abad pertengahan
Perkembangan filsafat ilmu pada abad pertengahan ditandai dengan kehadiran para teolog,
sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu
pada masa ini adalah ‘abadi agama’. Ajaran kristen merupakan problema kefilsafatan, karena
mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati, sedangkan kegitan
keilmuan praktis diarahkan untuk mendukung kebenaran teologi.
Menurut Aholiab, zaman ini mengalami dua periode, yakni 1) periode patristik, sebuah istilah
yang diambil dari kata pater yang bermakna bapa perintis gereja. Periode patristik ini terdiri pula
atas dua tahap, yakni permulaan agama Kristen dan Filsafat Agustinus yang melihat dogma-
dogma sebagai suatu keseluruhan. 2) periode skolastik. Periode ini berlangsung dari tahun 800-
1500 M. periode ini dibagi dalam tiga tahap, yakni (a) periode skolastik awal ditandai dengan
lahirnya metode-metode hasil dari hubungan yang rapat antara agama dan filsafat; (b) periode
puncak perkembangan skolastik ditandai dengan keadaan yang dipengaruhi oleh Aristoteles.
3. Filsafat ilmu pada zaman renaissance dan modern
Renissance berarti kebangkitan kembali, yakni kembali ke pemikiran yang bebas dari dogma-
dogma agama. Renaissance merupakan zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan
mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang
merindukan pemikiran yang bebas (Banasuru, 2013: 91).
Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat pada zaman renaissance adalah astronomi. Tokoh-
tokoh yang terkenal seperti: 1) Roger Bacon, yang berpendapat bahwa pengalaman atau empiris
menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir untuk semua ilmu pengetahuan. Matematika
merupakan syarat mutlak untuk mengelola semua pengetahuan; 2) Copernicus, yang berpendapat
bahwa bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat; 3)
Galileo Galilei, yang telah membuat teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati
beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah

6
memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari (Surajiyo.
2008: 87).
Adapun untuk zaman modern ditandai dengan penemuan berbagai bidang ilmu.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern dirintis oleh Rene Descartes dan terkenal
sebagai bapak filsafat modern. Ia seorang ahli ilmu pasti, penemuannya dalam ilmu ini adalah
sistem koordinat yang terdiri atas dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar. Selain Descartes
ada Isaac Newton (1642-1727) yang terkenal dengan teori grafitasinya. Walaupun penemuannya
terdiri atas tiga buah, yakni teori gravitasi, perhitungan calculus, dan optika, Newton pun
memaksakan pandangannya ke dalam bidang kehidupan kultural yang luas dan sampai pada
bidang psikologi. Ada pula charles darwin dengan teorinya ‘perjuangan untuk hidup’. Darwin
dikenal sebagai penganut evolusi yang fanatik. Ia mengatakan bahwa perkembangan yang terjadi
pada makhluk di bumi terjadi karena seleksi alam (Surajiyo. 2008: 88-89).
4. Filsafat ilmu pada zaman kontemporer
Perkembangan filsafat ilmu pada zaman kontemporer ditandai dengan penemuan berbagai
teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informatika termasuk salah satu yang mengalami
kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet dan
sebagainya. Akibatnya, terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Salah satu tokoh terkenal
pada zaman ini adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tidak terhingga besarnya
dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah totalitasnya atau bersifat dari waktu ke waktu.
Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta ini bersifat kekal, dengan
kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam (Banasuru, 2013: 94-95).
Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara
bidang ilmu satu dengan dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti
bioteknologi yang dikenal dengan teknologi kloning. Demikian pula dengan sintesis antara
psikologi dengan dengan linguistik yang menghasilkan psikolinguistik dan juga neurolinguistik.
Sintesis antara ilmu komputer dengan linguistik menghasilkan ilmu komputasional (Banasuru,
2013: 96-97).

2.3 Strategi Pengembangan Filsafat Ilmu di Indonesia


2.3.1 Pengertian Paradigma
Paradigma menurut Thomas S. Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum
(merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan
dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu
sendiri (Surajiyo, 2007: 157).
Thumas S. Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah bersifat revolusioner,
bukan kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh
wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh prestasi atau prkatik ilmiah konkret.

7
Menurut Khun cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam tahap
- tahap sebagai berikut (Surajiyo, 2007: 157).
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu
normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkensempatan menjabarkan dan mengembangkan
paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dlaam tahap ini para
ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama
menjalankan aktivitas ilmiah para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat
diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya,
ini dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan
antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma dipakai (Surajiyo, 2007: 157).
Tahap kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan
terhadpa paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para imuwan mulai keluar dari
jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para imuwan bisa kembali lagi pada cara - cara ilmiah yang sama dengan
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan
masalah dan membimbing akivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradima lama ke
paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilimiah (Surajiyo, 2007: 157).
Gambaran ketiga tahap tersebut dapat diskematiskan sebagai berikut.

PARADIGMA
Dalam Masa Normal Science

ANOMALI

PARADIGMA BARU
Revolusi Ilmiah

Istilah iliah paradigma berkembang dalam berbagai bidang kehiduan manusia serta ilmu
pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, seta bidang lainnya. Dalam masalah
yang populer istilah paraigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung konotasi pengertian
sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan,
perubahan, serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang pembangunan, reformasi
maupun dalam pendidikan (Surajiyo, 2007: 158).

8
2.3.2 Landasan Ontologis, Epistemologis, Axiologis, Dan Antropologis Pancasila
Landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang diterapkan pada
Pancasila. Landasan epistemologis dimaksudkan untuk mengungkapkan sumber pengetahuan dan
kebenaran tentang pancasila sebagai sistem filsafat dan ideologi. Landasan aksisologis dimaksudkan
untuk mengungkapkan jenis nilai dasar yang terkandung dalam pancasila. Landasan antropologis
dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam rangka pengembangan sistem filsafat
pancasila (Surajiyo, 2007: 158).
a. Landasan ontologis Pancasila
Istilah ontologi berasal dari kata Yunani onta yang berarti sesuatu yang sungguh – sungguh
ada, kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang berarti teori atau ilmu. Ontologi
mempelajari keberadaan dalam bentuknya yang paling abstrak. Ontologi merupakan cabang
filsafat yang membicarakan tatanan dan struktir kenyataan dalam arti yang luas (Surajiyo, 2007:
158).
Atas dasar pengertian dari ontologis tersebut, pandangan ontologi dari pancasila adalaha
Tuhan, manusai, satu, rakyat dan adil (Damardjanti Supadjar, dkk., 1996). Tuhan adalah sebab
pertama dari segala sesuatu, yang esa dan segala sesuatu bergantung kepadaNya. Manusia
memiliki susunan hakikat pribadi yang monopluralis, yakni bertubuh-berjiwa, bersifat individu-
makhluk sosial, berkedudukan sebagai pribadi berdiri sendiri-makhluk Tuhan yang
menimbulkan kebutuhan kejiwaan dan religus, yang seharusnya secara bersama-sama dipelihara
dengan baik dalam kesatuan yang seimbang, harmonis, dan dinamis. Satu secara mutlak tidak
dapat terbagi, rakyat adalah kesuluruhan jumlah semua orang, warga dalam lingkungan daerah
atau negara tertentu. Hakikat rakyat adalah pilar negara dan yang berdaulat. Adila adalah
dipenuhinya sebagai wajib segala sesuatu yang merupakan hak dalam hubungan hidup
kemanusiaan yang mencakup hubungan anatar negara dengan warga negara, hubungan warga
negara dengan negara, dan hubungan antarsesama warga negara (Surajiyo, 2007: 159).
b. Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologis adalah cabang filsafat yang menyelidiki secara kritis hakikat, landasan,
batas-batas, dan patokan kesahihan pengetahuan. Epistemologi pancasila dimaksudkan mencari
sumber-sumber-sumber pengetahuan dan kebenaran dari pancasila. Sumber pengetahuan dalam
epistemologgi ada dua aliran, yakni empirisme dan rasionalisme (Surajiyo, 2007: 159).
Pengetahuan empiris pancasila bahwa pancasila merupakan cerminan dari masyarakat
Indonesia pada saat kelahirannya digali dari kebudayaan Indonesia sendiri. Pengetahuan
rasionalis pancasila bahwa pancasila merupakan hasil perenungan yang mendalam dari tokoh-
tokoh kenegaraan Indonesia untuk mengarahkan kehidupan bangsa Indonesia dalam bernegara.
Dengan dasar perenungan dan pertimbangkan akal, lima inti kehidupan manusia yakni
berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan dengan tambahan
ciri khas bangsa Indonesia menjadi sifat kolektif, dasar hidup bangsa Indonesia dalam mencapai

9
kehidupan yang dicita-citakan, sehingga Pancasila menjadi aksioma kehidupan bangsa
Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Surajiyo, 2007: 159).
Kebenaran pancasila dapat dilihat dalam teori-teori kebenaran dalam pengetahuan yakni
teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatis. Teori koherensi yang diterapkan
dalam pancasila sebagai ideologi dan dasar negara dapat dinyatakan bahwa suatu pernyataan
atau penjabarab dalam ideologi diakui benar bila pernyataan atau penjabarab dalam ideologi
diakui benar bila pernyataan atau penjabaran itu bersifat konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Surajiyo, 2007: 159).
Pancasila sebagai ideologi negaram pernytaan-pernyataan yang merupakan penjabarannya
juga konsisten tidak ada kontradiksi dengan nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya. Hal
ini telah terbukti juga hubungan antarbagian atau antara sila dalam pancasila, maupun pancsila
sebagai asioma kehidupan dalam sistem kenegaraan dipancarkan dari keempat pokok pikiran
yang selanjutnya dijelmakan dalam pasal-pasal UUD 1945 (Surajiyo, 2007: 159).
Teori korespondensi yang diterapkan dalam pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
dapat dinyatakan bahwa suatu pernyataan dalam ideologi diakui benar jika materi pengetahuan
yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan sendiri
(Surajiyo, 2007: 159).
Pancasila dinyatakan sebagai jiwa bangsa Indonesia, sebagai kepribadian bangsa
Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dan sebagai pedoman hidup bangsa
Indonesia. Hal ini sesua dengan kenyataan sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai-nilai dalam
pancasila digali dari banga Inodensia sendiri yakni dalam nilai adat istiadat, kebudayaan dan
religi dari kehidupan bangsa Indonesia (Surajiyo, 2007: 159).
Teori pragmartis yang direpakna dalam pacasila sebagai ideologi dan dasar negara dapat
dinyatakan bahwa suatu pernyataan dalam ideologi diakui benar jika konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kehgunaan praktis dalam kehidupan manusia. Pancasila merupakan
pemersatu bangsa Indonesia. Hal inu memang dapat digunakan secara praktis, dan fakta sejarah
telah membuktikan baik sejak proses penetapan pancasila sebagai dasar negara maupun dalam
menghadapi pemberontakan yag pernah terjadi, dnega jiwa pancasila untuk mempersatuka
bangsa, semua dapaet teratasi dan semua mempunyai semangat persatuan demi kesatuan bangsa
indonesia. Semangat persatuan yang terkandung dalam ajaran pancasila dapat digunakan juga
untuk membina kerikunan umat beragama dengan asas yang mendasar yaitu tenggang rasa
(Surajiyo, 2007: 160).
c. Landasan Aksiologis Pancasila
Landasan asiologis pancasila merujuk kepada nilai-niali dasar terdapat di dalam
pembukaan UUD 1945. Nilai-nilai dasar itu harus menjiwai, menghayati nilai intrumentalnya
yang terdapat di dalam peraturan perundangan-undangan berupa UUD 1945, Ketetapan MPR,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Penggantu Undang-Undang, Pearturan pemerintah,

10
Keputuan Presiden, Peraturan Daerah. Jadi aktualisasi nilai-nilai dasar tersebut kentekstual dan
konsisten dengan perkembangan kehidupan berbagsa dan bernegara (Surajiyo, 2007: 160).
d. Landasan Antropologis Pancasila
Filsafat antropologis pancasila memnadang manusia sebagai monopluralis. Menurut
Notonagoro (1975) manusia sebagai monopluralis memiliki dimensi-dimensinya dijabarkan
sebagai berikut. Susunan kodrat, manusia terdiri atas jiwa yang terbagi menjadi beberapa nsur
seperti akal, rasa, dan karsa, raga terdiri atas unsur banda mati, unsur hewan, dan unsur
tumbuhan. Sifat kodrat manusia mencakup sifat manusai sebagai kedudukan manusia sebagai
makhluk hidup dan makhluk sosial. Kedudukan kodrat manusia mencakup kedudukan manusai
sebagai makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan (Surajiyo, 2007: 160).
Dari susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat manusai tersebut, manusia dapat
memelihara hubungannya dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dan
dengan alam sekitarnya secara serasi, selaras, dan seimbang. Aktualisasi nilai filsafat
antropologis. Pancasila dalam pembangunan diformulasikan dalam konsep pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya (Surajiyo, 2007: 160).

2.3.3 Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi


Pembangunan nasional adalah upaya bangsa untuk mencapai tujuan nasionalnya sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada hakikatnya Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek pembangunan harus mencerminkan nilai-
nilai Pancasila. Negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui prmbangunan nasional untuk
mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakikat manusia. Oleh
karena itu, pembangunan nasional harus meliputi aspek jiwa yang mencakup akal, rasa dan kehendak,
aspek raga, aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek kehidupan
ketuhanannya (Surajiyo, 2008: 161).
Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya
maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Pancasila telah
memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan iptek demi kesejahteraan hidup manusia.
Pengembangan iptek sebagai hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pada hakikatnya sila-sila Pancasila harus
merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta basis moralitas bagi pengembangan iptek (Surajiyo,
2008: 161).
Menurut Kaelan (2000) bahwa Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus
merupakan sumber nilai, kerangka pikir, serta asas moralitas bagi pembangunan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Oleh karena itu, sila-sila dalam Pancasila menunjukkan sistem etika dalam pembangunan
iptek, yakni seperti berikut.
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengimplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta,
perimbangan antara rasional dan irrasional, antara akal, rasa, dan kehendak. Berdasarkan sila
11
pertama ini iptek tidak hanya memikirkan apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan,
tetapi juga dipertimbangkan maksudnya dan akibatnya apakah merugikan manusia dengan
sekitarnya. Pengolahan diimbangi dengan pelestarian. Sila pertama menempatkan manusia di
alam semesta bukan sebagai pusatnya, melainkan sebagai bagian yang sistematik dari alam
yang diolahnya.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberikan dasar-dasar moralitas bahwa
manusia dalam mengembangkan iptek haruslah secara beradab. Iptek adalah bagian dari
proses budaya manusia yang beradab dan bermoral. Oleh sebab itu, pembangunan iptek
harus didasarkan pada hakikat tujuan demi kesejahteraan umat manusia. Iptek harus dapat
diabdikan untuk peningkatan harkat dan martabat manusia, bukan menjadikan manusia
sebagai makhluk yang angkuh dan sombong akibat dari penggunaan iptek.
3. Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia bahwa rasa
rasionalisme bangsa Indonesia akibat dari sumbangan iptek, dengan iptek persatuan dan
kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan persahabatan antar daerah
di berbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari faktor kemajuan iptek. Oleh sebab itu,
iptek harus dapat dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan
selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan masyarakat Indonesia dengan masyarakat
internasional.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan, mendasari pengembangan iptek secara demokratis. Artinya, setiap ilmuan
haruslah memiliki kebebasan untuk mengembangkan iptek. Selain itu dalam pengembangan
iptek setiap ilmuan juga harus menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan harus
memiliki sikap yang terbuka artinya terbuka untuk dikritik, dikaji ulang maupun
dibandingkan dengan penemuan teori lainnya.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemajuan iptek harus dapat menjaga
keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan keadilan dan
hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia
lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara serta manusia dengan alam
lingkungannya.
Kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional menurut Syahrial Syarbaini
(2003) harus memperhatikan konsep sebagai beriku:
1. Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam identifikasi diri sebagai bangsa. Pancasila
harus diletakkan sebagai kerangka berfikir yang objektif rasioanl dalam membangun
kepribadian bangsa. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan budaya ilmu pengetahuan dalam
memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional, perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dan bangsa akibat dari pembangunan harus semakin menempatkan nilai-nilai
Pancasila yang dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
12
3. Pancasila merupakan arah pembangunan nasional, proses pembangunan nasional tidak
terlepas dari kontrol nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, kemana arah pembangunan melalui
tahap-tahapnya tidak dapat dilepaskan dari usaha mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila,
sehingga pembangunan adalah pengalaman Pancasila.
4. Pancasila merupakan etos pembangunan nasional, untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia
masa depan diciptakan misi pengalaman Pancasila secara konsisten dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konsistensi antara teori dan kenyataan dan ucapan
dengan tindakan, merupakan paradigma baru dalam menjadikan Pancasila sebagai etika
pembangunan nasional.
5. Pancasila sebagai moral pembangunan, sebutan ini mengandung maksudagar nilai-nilai
Pancasila (norma-norma Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945) dijadikan
tolok ukur dalam melaksanakan pembangunan nasional, baik dalam perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, maupun dalam evaluasinya.

2.3.4 Visi Ilmu Di Indonesia


Visi adalah wawasan ke depan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Visi bersifat
intuitif yang menyentuh hati dan menggerakkan jiwa untuk berbuat. Visi tersebut merupakan sumber
inspirasi, motivasi, dan kreativitas yang mengarahkan proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara menuju masa depan yang dicita-citakan. Penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara diorientasikan ke arah perwujudan visi tersebut karena pada hakikatnya hal itu merupakan
penegasan cita-cita bersama seluruh rakyat (Surajiyo, 2008: 163).
Bagi Bangsa Indonesia strategi pengembangan ilmu pengetahuan yang paling tepat menurut
Koento Wibisono (1994) ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi filosofiknya diletakkan pada nilai-
nilai Pancasila di dalam mengahadapi masalah-masalah yang harus dipecahkan sebagai data atau fakta
objektif dalam satu kesatuan integratif (Surajiyo, 2008: 163).
Visi dan orientasi operasionalnya diletakkan pada dimensi-dimensi berikut:
1. Teleologis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan hanya sekedar sarana yang memang harus kita
pergunakan untuk mencapai suatu teleos (tujuan), yaitu sebagaimana merupakan ideal kita untuk
mewujudkan cita-cita sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Etis, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan harus kita operasionalisasikan untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Manusia harus berada pada tempat yang sentral. Sifat etis ini
menuntut penerapa ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab.
3. Integral atau integratif, dalam arti bahwa penerapan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan
kualitas manusia, sekaligus juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya,
sebab manusia selalu hidup dalam relasi baik dengan sesama maupun dengan masyarakat yang
menjadi ajangnya. Peningkatan kualitas manusia harus diintegrasikan ke dalam masyarakat yang
juga harus ditingkatkan kualitas strukturnya.

13
Dengan visi ilmu di atas perlu refleksi anjuran-anjuran bagaimana membangun pemikiran
ilmiah di Indonesia. Prof. T. Jacob (dalam A.H. Mintaredja, 1990) menganjurkan bahwa dalam rangka
mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi yang cenderung mengancam otonomi manusia, para
ilmuan selayaknya jika memperhatikan agama, etika, filsafat, dan sejarah ilmu. Kemudian Prof.
Poespoprojo menyarankan bahwa bagi sarjana, lebih-lebih calon doktor, harinya sudah terlalu siang
untuk tidak tahu hakikat ilmu, posisi ilmu dalam semesta tahu dan pengetahuan manusia. Abbas
Hamami Mintaredja juga menyarankan agar ilmu dapat lebih aktif dan mampu berfungsi sebagaimana
mestinya, maka hal-hal yang cukup mendasar yang perlu mendapat perhatian antara lain:
a. Ilmu harus mampu mewadahi kebudayaan masyarakat, ilmu diharapkan dapat berkembang
persis seperti yang dikehendaki masyarakat.
b. Adanya keinsyafan tidak melulu kesadaran bahwa ilmu bukan satu-satunya untuk
memperoleh kebenaran.
c. Pendidikan moral (etika) dan etika Pancasila serta moral keagamaan syarat mutlak bagi
moral para ilmuan agar memiliki etika profesional yang seimbang.
d. Perlunya pendidikan filsafat, khususnya filsafat ilmu atau epistemologi bagi Pendidikan
Tinggi.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Para ahli ilmu pengetahuan (pada abad XIX) yang dipelopori oleh Moris Schlick
membentuk suatu perkumpulan yang disebut Wina circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu
(kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis.
Para ahli telah memberikan pengertian yang bervariasi tentang filsafat ilmu, sangat membantu
dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu.
Filsafat pertama kali lahir di Yunani sekitar abad ke-7 SM. Filsafat ada ketika manusia
mulai berpikir tentang keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar (titik awal berpindahnya
paradigma pemikiran dari mitosentris ke logosentris). Tiap decade terlahir filsuf baru hingga
pada perkembangan filsafat ilmu pada abad pertengahan ditandai dengan kehadiran para teolog,
sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Pada masa ini mengalami dua
periode yaitu periode patristic dan skolastik. Peralihan kebudayaan abad pertengahan mulai
berubah menjadi suatu kebudayaan modern disebut dengan zaman renaissance di mana astronomi
mengalami perkembangan pesat. Adapun untuk zaman modern ditandai dengan penemuan
berbagai bidang ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern dirintis oleh Rene
Descartes dan terkenal sebagai bapak filsafat modern. Perkembangan filsafat ilmu pada zaman
kontemporer ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih.
Paradigma menurut Thomas S. Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang
umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta
penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri. Thumas S. Khun berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan
ilmiah bersifat revolusioner yang digambarkan pada tiga tahap, yaitu membimbing dan
mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal, menumpuknya anomali menimbulkan
krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma, memperluas dan mengembangkan
suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing akivitas
ilmiah berikutnya.
Istilah paradigma berkembang dalam berbagai bidang kehiduan manusia serta ilmu
pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, seta bidang lainnya. Ontologi
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tatanan dan struktur kenyataan dalam arti yang
luas. Landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang diterapkan
pada Pancasila. Landasan ontologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis keberadaan yang
diterapkan pada Pancasila. Landasan epistemologis dimaksudkan untuk mengungkapkan sumber
pengetahuan dan kebenaran tentang pancasila sebagai sistem filsafat dan ideologi. Landasan
aksisologis dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis nilai dasar yang terkandung dalam

15
pancasila. Landasan antropologis dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam
rangka pengembangan sistem filsafat pancasila. Pengembangan iptek sebagai hasil budaya
manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, pada hakikatnya sila-sila Pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir,
serta basis moralitas bagi pengembangan iptek. Bagi Bangsa Indonesia strategi pengembangan
ilmu pengetahuan yang paling tepat menurut ada dua hal pokok, yaitu visi dan orientasi
filosofiknya diletakkan pada nilai-nilai Pancasila di dalam mengahadapi masalah-masalah yang
harus dipecahkan sebagai data atau fakta objektif dalam satu kesatuan integratif.

3.2 Saran
Penulis dan pembaca mengkaji dan memahami lebih lanjut mengenai filsafat ilmu baik
tentang pengertian maupun sejarah perkembangan filsafat ilmu di dunia atau Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hamami M. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal Filsafat Pengetahuan).
Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM.
Banasuru, A. 2013. Filsafat dan Filsafat Ilmu dari Hakikat ke Tanggung Jawab. Bandung: Alfabeta.
Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2). Bandung: UPI.
Katar, A., 2015. Pengertian, Ruang Lingkup dan Objek Kajian Filsafat Ilmu.
(http://sosioakademika.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-ruang-lingkup-dan-objek.html)
Koento Wibisono. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Surajiyo. 2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangaanya di Indonesia Ed 1, Cet. 3. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Syarbaini, Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Titus, Harold H. 1959. Living issues in philosophy. New York: American Book.
Vardiansyah, D., 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks.
Watloly, A. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural.
Yogyakarta: Kanisius.

17

Anda mungkin juga menyukai