Anda di halaman 1dari 19

RESUME 2

FILSAFAT ILMU

“Filsafat Ilmu Pengetahuan”

OLEH:

Riza Azriyanti
NIM. 22175023

DOSEN PEMBIMBING :

Dr. Fatni Mufit, S.Pd, M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
1. Dasar-Dasar Pengetahuan

Dasar-dasar pengetahuan yaitu meliputi hakikat penalaran dan logika,


sumber pengetahuan dan hakikat kebenaran.
1. Penalaran.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan
mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang
bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir
dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu
proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir
menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik dari
proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir
yang digunakan untuk analisis tersebut aalah logika penalaran yang bersangkutan,
artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu.
Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan
intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan
kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang
didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik
secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua,
pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan
atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka
kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal
dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham
empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran
deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme).
1. Logika.
Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar
pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka
proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan
kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara
tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.
2. Sumber Pengetahuan.
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. pertama, mendasarkan diri pada rasional dan
mendasarkan diri pada fakta. Disamping itu adanya intuisi dan wahyu. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu,
seperti orang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba
menemukan jawabannya.
3. Kriteria Kebenaran
Salah satu kriteria kebenaran adalah adanya konsistensi dengan pernyataan
terdahulu yang dianggap benar. Beberapa kriteria kebenaran diantaranya ialah:
a. Teori Koherensi
Yang dimaksud dengan teori koherensi ialah bahwa suatu pernyataan
dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren dan konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya ialah
matematika yang bentuk penyusunannya, pembuktiannya berdasarkan teori
koheren.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi dipelopori oleh Bertrand Russel. Dalam teori ini suatu
pernyataan dianggap benar apabila materi pengetahuan yang dikandung
berkorespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Contohnya
ialah apabila ada seorang yang mengatakan bahwa ibukota Inggris adalah London,
maka pernyataan itu benar. Sedang apabila dia mengatakan bahwa ibukota Inggris
adalah Jakarta, maka pernyataan itu salah; karena secara kenyataan ibukota
Inggris adalah London bukan Jakarta.
c. Teori Pragmatis
Tokoh utama dalam teori ini ialah Charles S Pierce. Teori pragmatis
mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Kriteria kebenaran didasarkan atas kegunaan teori tersebut. Disamping itu
aliran ini percaya bahwa suatu teori tidak akan abadi, dalam jangka waktu tertentu
itu dapat diubah dengan mengadakan revisi.
2. Cakupan Dan Permasalahan Filsafat Ilmu Pengetahuan

1. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu


Lingkupan filsafat ilmu sebagaimana telahdibahas oleh para pakar filsafat
kontemporer, dapat dikemukakan secara ringkas seperti di bawah ini.
Menurut Peter Angeles (1981: 250), filsafat ilmu mempunyai empat bidang
konsentrasi utama: (1) Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan
metode Ilmu, berikut analisis, perluasan danpenyusunannya untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat; (2) Telaah dan pembenaran mengenai
proses penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangnya; (3) Telaah
mengenai kaitan diantara berbagai ilmu; (4) Telaah mengenai akibat-akibat
pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan pencerapandan
pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematika dengan
realitas, entitasteoritis, sumber dan keabsahanpengetahuan, serta sifat dasar
kemanusiaan.
Cornelius Benjamin (Runes, ed., 1975: 284-285)membagi pokok soal filsafat
ilmu dalam tiga bidang: (1) Telaah mengenai metode ilmu, lambing ilmiah, dan
struktur logis dari sistem perlambang ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut
logika dan teori pengetahuan, dan teori umum tentang tanda; (2) Penjelasan
mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut
landasan-landasan dasar empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat
tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena
mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan,
keseberagaman alam, dan rasionalitas dari proses ilmiah; (3) Aneka telaah
mengenai saling kait diantara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori
alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme dan pluralisme.
Arthur Danto (1967: 296-297) menyatakan, “lingkupan filsafat ilmu cukup
luas mencakup pada kutub yang satu, yaitu,persoalan-persoalan konsep yang
demikian erat bertalian dengan ilmu itu sendiri, sehingga pemecahannya dapat
seketika dipandang sebagai suatu sumbangan kepada ilmu daripada kepada
filsafat, dan pada kutub yang lain persoalan-persoalan begitu umum dengan suatu
pertalian filasafati sehingga pemecahannya akan sebanyak merupakan suatu
sumbangan kepada metafisika atau epistimologi seperti kepada filsafat ilmu yang
sesungguhnya. Begitu pula, rentangan masalah-masalah yang diselidiki oleh
filsuf-filsuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkutketerangan tentang
sesuatu konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu cabang ilmu tunggal,
dan begitu umum sehingga bersangkutan dengan ciri-ciri struktural yang tetap
bagi semua cabang ilmu yang diperlakukan sebagai suatu himpunan.
Edward Madden (19968: 31) berpendapat bahwa apapun lingkup filsafat
umum, tiga bidang tentu merupakan bahan perbincangannya yaitu: (1)
Probabilitas; (2) Induksi; (3) Hipotesis. Ernest Nagel (1974: 14) menyimpulkan
bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang luas: (1) Pola logis yang ditunjukkan
oleh penjelasan dalam ilmu. (2) Pembentukan konsep ilmiah. (3) Pembuktian
keabsahan kesimpulan ilmiah.
Menurut P. H. Nidditch (1971: 2) lingkupan filsafat ilmu luas dan beraneka
ragam. Isinya dapat digambarkan dengan mendaftar serangkaian pembagian dwi
bidang yang saling melengkapi: (1) Logika ilmu yang berlawanan dengan
epistimologi Ilmu. (2) Filsafat ilmu-ilmu kealaman yang berlawanan dengan
filsafat ilmu-ilmu kemanusiaan. (3) Filsafat ilmu yang berlawanan dengan telaah
masalah-masalah filsafati dari suatu ilmu khusus. (4) Filsafat ilmu yang
berlawanan dengan sejarah ilmu. Selain itu, telaah mengenai hubungan ilmu
dengan agama juga termasuk filsafat ilmu.
Israel Scheffler (1969: 3) berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan
oleh ilmu. Lingkupannya mencakup tiga bidang: (1) Menelaah hubungan-
hubungan antara faktor-faktor kemasyarakatan dan ide-ide ilmiah. (2) Berusaha
melukiskan asal mula dan struktur alam semesta menurut teori-teori yang terbaik
dan penemuan-penemuan dalam kosmologi. (3) Menyelidiki metode umum,
bentuk logis, cara penyimpulan, dan konsep dasar dari ilmu-ilmu. J.J.C. Smart
(1968: 5) menganggap filsafat ilmu mempunyai dua komponen utama: (1) Bahan
analitis dan metodologis tentang ilmu. (2) Penggunaan ilmu untuk membantu
pemecahan problem-problem filsafati.
Menurut Marx Wartofsky (1963: vii), rentangan luas dari soal-soal
interdispliner dalam filsafat ilmu meliputi: (1) Perenungan mengenai konsep
dasar, struktur formal, dan metodologi Ilmu; (2) Persoalan-persoalan ontologi dan
epistemologi yang khas bersifat filasafati dengan pembahasan yang memadukan
peralatan analitis dari logika modern dan model konseptual dari penyelidikan
ilmiah.
Berdasarkan perkembangan filsafat ilmu sampai dewasa ini, ahli filsafat
sejarah John Loose (2001: 1-3) menyimpulkan bahwa filsafat ilmu dapat
digolongkan menjadi empat konsepsi: (1) Filsafat ilmu yang berusaha menyusun
pandangan-pandangan dunia yang sesuai atau berdasarkan teori-teori ilmiah yang
penting; (2) Filsafat ilmu yang berusaha memaparkan praanggapan dan
kecendrungan para ilmuwan (misalnya praanggapan bahwa alam semesta
mempunyai keteraturan); (3) Filsafat Ilmu sebagai suatu cabang pengetahuan yang
menganalisis dan menerangkan konsep dan teori dari ilmu; (4) Filsafat ilmu
sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu sebagai sasarannya.
Dalam tingkat konsepsi Losee pengetahuan manusia mengenal tiga tingkatan:
Tingkat 0 : Fakta-fakta
Tingkat 1 : Penjelasan mengenai fakta-fakta dan ini dijelaskan oleh ilmu
Tingkat 2 : Analisis mengenai prosedur dan logika dari penjelasan ilmiah. Ini
merupakan bidang filsafat ilmu. Filsafat ilmu sebagai pemikiran
tingkat 2 melakukan analisis-analisis terhadap ilmu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1) Ciri-ciri apakah yang membedakan penyelidikan ilmiah dari ragam-ragam
penyelidikan lainnya?
2) Prosedur apakah yang harus ditempuh para ilmuwan dalam menyelidikialam?
3) Persyaratan apakah yang harus dipenuhi agar suatu penjelasan ilmiah betul?
4) Apakah kedudukan kognitif dari dalil dan asas ilmu?
Selain pembagian filsafat ilmu menurut Losee dalam empat konsepsi tersebut
di atas, beberapa filsuf mempunyai konsepsi dikotomi yang membedakan filsafat
ilmu dalam dua bagian. Dua pembagian paling umum dikemukakan oleh antara
lain Arthur Pap (1967: vii). Menurutnya untuk menghindarkan kekacauan, filsafat
ilmu perlu dibedakan menjadi: (1) Filsafat ilmu-seumumnya. Filsafat ilmu ini
menelaah konsep-konsep dan metode-metode yang terdapat dalam semua ilmu,
misalnya pengertian penjelasan, generalisasi induktif, dan kebenaran; (2) Filsafat
ilmu-ilmu khusus, seperti misalnya filsafat fisika atau filsafat psikologi. Masing-
masingfilsafat ilmu khusus itu menangani konsep-konsep yang khusus berlaku
dalam lingkupannya masing-masing seperti misalnya unsur-unsur waktu dan gaya
dalam fisika, realitas obyektif dalam mekanika kuantum, variabel sela dalam
psikologi, dan penjelasan teologis dalam biologi.
Mirip dengan dikotomi dari Pap itu ialah dwi pembagian Michael Scriven
(1968: 84) dalam substantive philosophy of science dan structural philosophy of
science. Filsafat ilmu substansif berkaitan dengan isi masing-masing ilmu khusus,
sedangfilsafat ilmu struktural menyangkut topik-topik seperti penyimpulan ilmiah,
penggolongan, penjelasan, peramalan, pengukuran, probabilitas, dan
determinisme.
2. Permasalahan / problem dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat sebagai suatu ilmu khusus merupakan salah satu cabang dari ruang
lingkup filsafat ilmu seumumnya. Pada kelanjutannya filsafat ilmu merupakan
suatu bagian dari filsafat. Dengan demikian, pembahasan mengenai lingkupan
filsafat sesuatu ilmu khusus tidak terlepas dari kaitan dengan persoalan-persoalan
dan filsafat ilmu dan problem-problem filsafat pada umumnya. Clarence Irving
Lewis (1956) juga mengemukakan adanya dua gugus persoalan yakni, problem-
problem reflektif dalam suatu ilmu khusus yang dapat dikatakan membentuk
filsafat dari ilmu tersebut dan problem-problem mengenai asas permulaan dan
ukuran-ukuran yang berlaku umum bagi semua ilmu maupun aktivitas kehidupan
seumumnya.
Problem-problem filsafat secara umum berkisar pada enam hal pokok, yaitu
pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan.
Berdasarkan keenam sasaran itu, bidang filsafat dapat secara sistematis dibagi
dalam enam cabang pokok, yaitu epistemologi (teoripengetahuan), metafisika
(teori mengenai apa yang ada), metodologi (studi tentang metode), logika (teori
penyimpulan), etika (ajaran moralitas) dan estetika (teori keindahan). Oleh karena
filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat keseluruhan, maka problem-
problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat digolongkan menjadi
enam kelompok sesuai dengan cabang-cabang pokok filsafat itu. Dengan
demikian, seluruh problem dalam filsafat ilmu dapat ditertibkan menjadi:
a. Problem-problem epistemologis tentang ilmu
b. Problem-problem metafisis tentang ilmu
c. Problem-problem metodologis tentang ilmu
d. Problem-problem logis tentang ilmu
e. Problem-problem etis tentang ilmu
f. Problem-problem estetis tentang ilmu
g. Problem-problem estetis tentang ilmu
Menurut R. Harre (Edwards, ed., 1967: 289), problem-problem epitemologis,
metafisis, dan logis yang bertalian dengan ilmu-ilmu mulai memperoleh perhatian
para filsuf dan ilmuwan pada awal abad ke-19. Problem-problem secara
metodologis telah secara tegas disebutkan oleh D. W. Theobald dimuka sebagai
salah satu kategori problem dalam filsafat ilmu. Problem-problem etis yang
menyangkut ilmu juga telah disebutkan dimuka oleh Walter Weimer (menyangkut
kejujuran intelektual para ilmuwan dan oleh hilip Weiner (menyangkut hubungan
ilmu dengan kesusilaan sebagai suatu segi perdaban manusia). Problem-problem
estetis yang menyangkut ilmu pada dasawarsa terakhir ini dimulai menjadi topik
perbincangan oleh sebagian filsuf dan ilmuwan. Dalam tahun 1980 diadakan
sebuah konferensi para ahli yang membahas dimensi estetis dari ilmu.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan ahli di atas, maka problem filsafat ilmu
dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan
pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Secara ringkas, permasalahan atau problema filsafat ilmu mencakup:
Pertama, problem ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran ilmu
sesungguhnya bertumpu pada landasan ontologis (”apa yang terjadi” =
eksistensi suatu entitas). Kedua,problem epistemologi; adalah bahasan tentang
asal muasal, sifat alami, batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir, validitas,
reliabilitas sampai soal kebenaran (bagaimana ilmu diturunkan = metoda untuk
menghasilkankebenaran). Ketiga, Problem aksiologi; implikasi etis, aspek
estetis, pemaparan serta penafsiran mengenai peranan (manfaat) ilmu dalam
peradaban manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan ilmu.
3. Berbagai Pendekatan Ilmu Pengetahuan

Untuk mengenalkan berbagai wawasan ada dua alternatif yang dapat


diketengahkan, yaitu: memperkenalkan aliran-aliran dominan dalarn filsafat ilmu
atau memperkenalkan berbagai pendekatan yang menonjol dalam pengembangan
ilmu. Berpegang pada aliran-aliran, dikhawatirkan fungsi telaah berubah menjadi
harus menjelaskan tuntas tentang sesuatu aliran. Agar studi filsafat ilmu tidak
menjadi historis melainkan sistematis sekaligus fungsional, maka ditempuh
dengan memperkenalkan berbagai pendekatan yang lazim digunakandalam
pengembangan ilmu. Secara garis besar ada empat pendekatan dalam filsafat ilmu,
yaitu: (1) Rasionalisme, (2) Empirisme dan Positivisme, (3) Rasionalisme Kritis,
dan (4) Kontruktivisme.
1. Pandangan aliran rasionalisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan sering
dipertautkan dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme berarti anggapan
mengenai teori pengetahuan yang menekankan akal dan atau ratio, untuk
membentuk pengetahuan. Ini berarti bahwa sumbangan akal lebih besar dari
pada sumbangan sumbangan indera. Mengenai ilmu diketengahkan oleh
rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta,
data empiris, atau pengamatan.
2. Kedua, pandangan aliran empirisme dan positivisme. Pandangan aliran
empirisme memberi kelonggaran pada peranandata kenyataan untuk
mengembangkan bahkan mengubah struktur ilmu pengetahuan. Maka
empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan selalu
mengubah dan mencocokan sistem ilmu dengan data empiris. Dalam
membangun teori, empirisme memiliki siklus yang selalu dimulai dari
observasi, kemudian melahirkan hukum empiris, selanjutnya dibangun teori.
Aliran empirisme berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan
pikirannya berangkat dari yang diketahui menuju keyang tidak diketahui.
Karenailmu pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme
mengalami kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah
aliran positivisme muncul untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi
yang diperoleh dapat digunakan untuk ”menghitung”, atau melakukan
penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada aliran
rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme memberikan
kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun ilmu
pengetahuan.
3. Pandangan aliran rasionalisme kritis. Seperti penjelasan di atas, aliran
rasionalisme dan empirisme termasuk positivisme merupakan dua aliran yang
bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional
dan empiris dalam pengetahuan ilmiah.Dengan demikian ilmu pengetahuan
yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu
pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan atau pembuktian salah
(falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan
(corroborated). Selain itu itu, titik suatu ilmu terletak pada melihat situasi
permasalahan. Lewat proses trial and errordan error eliminitian, ilmu yang
dikembangkan atas permasalahan tadi, dapat mendekatan kebenaran.
4. Pandangan aliran konstruktivisme yang menekankan pada sifat kontekstual
ilmu pengetahuan, yaitu pentingnya seluruh konteks demi terjadinya suatu
sistem ilmiah. Konteks dan ilmu dapat saling mempengaruhi. Apabila ilmu
bertentangan dengan konteks atu pengalaman, maka tidak berarti bahwa ilmu
tersebut runtuh. Dalam hal terjadi pertentangan dan ketidaksesuasian tersebut,
diperlukan terjemahan untuk memperbaharui sistem ilmu tadi.
4. Sejarah Dan Perkembangan Filsafat Ilmu

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya


ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah
kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan
untuk menjawabnya. Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu
merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu
Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat
ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok
filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dengan
berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli (Mariyah,
2021).
Kata filsafat ilmu merupakan hal yang sangat penting utamanya dalam
pengkajian ilmu pengetahuan, karena filsafat ilmu merupakan keinginan
mendalam untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Berdasar
kepada pengertian filsafat tersebut, dapat didefenisikan bahwa filsafat itu memang
sudah ada sejak adanya manusia pertama yaitu nabi Adam AS. Berikut
periodesasi filsafat ilmu:

a. Pra Yunani Kuno (Abad 15-7 SM)

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Yakni ketika belum


mengenal peralatan seperti yang dipakai sekarang ini. Pada masa itu manusia
masih menggunakan batu sebagai peralatan. Masa zaman batu berkisar antara 4
juta tahun sampai 20.000 tahun sebelum masehi. Sisa peradaban manusia yang
ditemukan pada masa ini antara lain: alat-alat dari batu, tulang belulang dari
hewan, sisa beberapa tanaman, gambar-gambar digua-gua, tempat-tempat
penguburan, tulang belulang manusia purba. Evolusi ilmu pengetahuan dapat
diruntut melalui sejarah perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani,
Babilonia, Mesir, China, Timur Tengah dan Eropa.

b. Zaman Yunani kuno (Abad-7-2 SM)

Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena


pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau
pendapatnya, Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudangnya ilmu dan
filsafat. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalamanpengalaman yang
didasarkan pada sikap menerima saja (receptive attitude) tetapi menumbuhkan
anquiring attitude (senang menyelidiki secara kritis). Sikap inilah yang
menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir yang terkenal sepanjang
masa.

c. Zaman Pertengahan (Abad 2- 14 SM)

Zaman pertengahan (middle age) ditandai dengan para tampilnya theolog


di lapangan ilmu pengetahuan. Ilmuwan pada masa ini adalah hampir semuanya
para theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau
dengan kata lain kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama.
Semboyan pada masa ini adalah Anchila Theologia (abdi agama). Peradaban
dunia Islam terutama abad 7 yaitu Zaman bani Umayah telah menemukan suatu
cara pengamatan stronomi, 8 abad sebelum Galileo Galilie dan Copernicus.
Sedangkan peradaban Islam yang menaklukan Persia pada abad 8 Masehi, telah
mendirikan Sekolah kedokteran dan Astronomi di Jundis hapur.

d. Masa Renaissance (14-17 M)

Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran


yang bebas dari dogma-dogma agama, Renaissanse adalah zaman peralihan ketika
kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern.
Tokoh-tokohnya adalah: Roger Bacon, Copernicus, Tycho Brahe, yohanes
Keppler, Galilio Galilei. Yang menarik disini adalah pendapat Roger Bacon, ia
berpendapat bahwa pengalaman empirik menjadi landasan utama bagi awal dan
ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematik merupakan syarat mutlak
untuk mengolah semua pengetahuan.

Menurut Bacon, filsafat harus dipisahkan dari theologi. Agama yang lama
masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal dapat membuktikan adanya
Allah. Akan tetapi mengenai hal-hal yang lain didalam theologi hanya dikenal
melalui wahyu. Menurut dia kemenangan iman adalah besar, jika dogma-dogma
tampak sebagai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali.

Sedangkan Copernicus adalah tokoh gereja ortodok, yang menerangkan


bahwa matahari berada di pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak,
yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerakan tahunan mengelilingi
matahari. Teori ini disebut Heliosentrisme. Namun teorinya ditentang kalangan
gereja yang mempertahankan prinsip Geosentrisme yang dianggap lebih benar
dari pada prinsip Heliosentrisme. Setiap siang kita melihat semua mengelilingi
bumi. Hal ini ditetapkan Tuhan, oleh agama, karena manusia menjadi pusat
perhatian Tuhan, untuk manusia lah semuanya, paham demikian disebut
Homosentrisme. dengan kata lain prinsip Geosentrisme tidak dapat dipisahkan
dari prinsip Homosentrisme.
e. Perkembangan Filsafat Zaman Modern (17-19 M)

Zaman ini ditandai dengan berbagai dalam bidang ilmiah, serta filsafat dari
berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak secara keseluruhan bercorak sufisme
Yunani. Paham–paham yang muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme,
Idialisme, dengan Empirisme. Paham Rasionalisme mengajarkan bahwa akal
itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Ada tiga
tokoh penting pendukung rasionalisme, yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz.

Sedangkan aliran Idialisme mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa., spirit,


Para pengikut aliran/paham ini pada umumnya, sumber filsafatnya mengikuti
filsafat kritisisismenya Immanuel Kant. Fitche (1762-1814) yang dijuluki sebagai
penganut Idealisme subyektif merupakan murid Kant. Sedangkan Scelling,
filsafatnya dikenal dengan filsafat Idealisme Objektif. Kedua Idealisme ini
kemudian disintesakan dalam Filsafat Idealisme Mutlak Hegel.

Pada Paham Empirisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam


pikiran kita selain didahului oleh pengalaman. ini bertolak belakang dengan
paham rasionalisme. Mereka menentang para penganut rasionalisme yang
berdasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Pelopor aliran ini
adalah Thomas Hobes Jonh locke, dan David Hume.

f. Zaman Kontemporer

Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam kontek ini


adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang
membedakan pengamatan tentang ilmu pada zaman sekarang adalah bahwa zaman
modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15,
sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan
terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Yakni dengan berkembang pesatnya
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Yang disebabkan oleh semakin
kritisnya umat manusia era sekarang yang di bantu oleh adanya alat-alat yang
canggih.
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya
mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan
teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu
orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar
menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan (Sumarto,
2017)

5. Kajian Filosofis Atas Sejarah Dan Metodologi Ilmu Pengetahuan

Ilmu merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadabkan atau
membudayakan dirinya. Sebagaimana dikatakan Aristoteles, bahwa manusia pada
dasarnya ingin mengetahui, dapat dikatakan bahwa seluruh proses peradaban
manusia sebetulnya berhubungan dengan usahanya untuk mewujudkan
keingintahuannya tersebut. Dengan keinginan mengetahui manusia menembus ke
kedalaman sesuatu, mengungkapkan sesuatu itu dan memastikan bahwa ia
memang mengetahuinya. Oleh sebab itu tujuan akhir dari pencarian pengetahuan
tersebut tidak lain sebagai mengetahui kebenaran. Ilmu pengetahuan berkembang
dalam jalur pencapaian kebenaran ini. Ilmu-ilmu meliputi baik pengetahuan
maupun cara yang dikembangkan manusia dalam mencapai pengetahuan itu
sendiri. Baik pengetahuan (produk dari ilmu) maupun cara atau proses dari ilmu
tersebut terdiri dari berbagai jalan dan langkah.

Metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan. Cara yang
dimaksud di sini (modes) adalah rangkaian proses-proses yang diikuti sampai
pada suatu pengetahuan mengenai sesuatu. Jadi misalnya terhadap gejala air yang
mendidih pada suhu 100 derajat Celsius jika dipanaskan, subjek pengetahuan
harus masuk ke dalam proses-proses (langkah-langkah) tertentu untuk dapat
sampai pada kesimpulan mengenai fakta tersebut. Diakui bahwa proses-proses
atau langkah-langkah keilmuan dalam mencapai kebenaran merupakan sintesis
dari pendekatan rasionalisme dan pendekatan empirisme atas pengetahuan
manusia (Jena, 2015).

a. Rasionalisme Versus Empirisme


1) Pengalam inderawi bukanlah sumber kebenaran yang sesungguhnya. Peran
pengalaman inderawi tidak lebih dari merangsang ingatan kita dan
membawa kesadaran kita kepada sebuah pengetahuan yang selama ini
telah berada di dalam pikiran kita sendiri. Ini tampak jelas dalam
pemikiran Plato mengenai pengetahuan.
2) Data atau fakta atau realitas inderawi memang tidak ditolak. Yang ditolak
adalah pendapat bahwa data-data inderawi itu menjadi sumber
pengetahuan kita. Berhadapan dengan datadata inderawi ini manusia
mengoperasionalisasikan akal budinya, apa yang pada pemikiran
Descartes adalah dengan meragukannya secara radikal. Sementara pada
Plato kita melihat bahwa akal budi memiliki kemampuan untuk
menangkap bentuk-bentuk tertentu dari penampakan inderawi itu, dan
bentu-bentuk tertentu inilah pengetahuan yang sifatnya universal.
3) Rasionalisme berangkat dari suatu pernyataan atau aksioma tertentu yang
sudah pasti, di mana dari pernyataan-pernyataan atau aksioma ini akan
diturunkan pernyataan-pernyataan lainnya. Kaum rasionalis sangat
mengagung-agungkan geometri (ilmu ukur) sebagai model pengetahuan
yang andal. Salah satu aksioma geometri yang mengatakan bahwa “sebuah
garus lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik” merupakan
idea yang jelas dan tegas yang eksistensinya telah ada mendahului
tindakan mengetahui manusia

b. Empirisme versus Rasionalisme

Pemikiran empirisme berangkat dari pandangan bahwa “adalah tidak


beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi [jenis
pengetahuan ini dicari oleh rasionalisme], apalagi bila di dekat kita terdapat
kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang
meskipun bersifat lambat namun lebih dapat diandalkan.”90 Yang dimaksud
dengan kekuatan besar itu tidak lain selain fakta atau objek yang dapat ditangkap.
Bagi kaum empiris, lebih baik mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang
memiliki peluang besar untuk benar meskipun kepastian mutlak takkan pernah
dapat dijamin. Demikianlah kita melihat bahwa jika kaum rasionali
mementingkan kebenaran mutlakuniversal, maka kaum empiris mementingkan
kebenaran berdasarkan fakta-fakta empiris (dapat diinderai) dan dengan demikian
dapat diperoleh melalui pengalaman inderawi. Dari sini langsung jelas kelihatan
bahwa bagi kaum empiris pengetahuan atas suatu objek tertentu haruslah
merupakan fakta-fakta empiris, dan bahwa faktafakta empiris tersebut harus
dialami. Ada tiga prinsip yang penting dan sangat ditonjolkan dalam empirisme
yaitu prinsip pengujian public, prinsip keteraturan, prinsip keserupaan.

Aliran pemikiran empirisme berguru pada John Lock (29 Agustus 1632–
28 Oktober 1704), seorang filsuf empiris dari Inggris. Jika Rene Descartes disebut
sebagai bapak rasionalisme, maka John Locke disebut sebagai bapak empirisme.
John Lock sendiri berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap
sebagai selembar kertas lilin yang licin (tabula rasa). Ke atas kertas inilah
kemudian tergambar data-data yang ditangkap melalui panca indera. Semakin
banyak pengalaman inderawi akan semakin banyak data yang direkam pada kertas
tersebut. Pengetahuan mengenai sesuatu hal dapat dilaksanakan berkat usaha
membandingkan berbahai macam pengalaman inderawi. Pikiranlah yang
kemudian mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok dari data-data inderawi
tersebut untuk menghasilkan kebenaran mengenai mereka.

Umumnya orang beranggapan bahwa metode keilmuan pada dasarnya


adalah induktif-empiris. Pandangan populer semacam ini ada benarnya, terutama
ketika kita tahu bahwa para ilmuwan memang mengumpulkan fakta-fakta empiris,
melakukan pengamatan dan menarik kesimpulan mengenai data-data tersebut.
Pertanyaan kita adalah apakah betul bahwa metode ilmu pengetahuan memang
bersifat induktif-empiris? Memahami secara mendalam mengenai metode
keilmuan itu sendiri ternyata membawa kita kepada keyakinan bahwa metode
keilmuan sesungguhnya merupakan sintesis dari pendekatan empirisme dan
rasionalisme.

Metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan. Cara


dalam memperoleh pengetahuan ini tidak lain sebagai rangkaian prosedur yang
tertentu yang harus diikuti untuk memperoleh jawaban yang tertentu pula.
Rangkaian prosedur tersebut berupa langkah-langkah proses berpikir manusia
dalam mencari pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Terdapat 6 langkah yang
dapat dirumuskan sebagai berikut

a) Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah.


b) Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan.
c) Penyusunan atau klasifikasi data
d) Perumusan hipotesis.
e) Deduksi dan hipotesis.
f) Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis.

6. Fungsi Dan Arah Filsafat Ilmu Pengetahuan

1. Fungsi Filsafat Ilmu Pengetahuan

Fungsi filsafat ilmu adalah didasarkan pada pengertian filsafat sebagai


suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi integrasi ilmu
pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat
dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu.

a. Dalam Kehidupan Praktis

Filsafat memang abstrak, namun tidak berarti filsafat sama sekali tidak
bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari yang kongkret. Keabstrakan filsafat
tidak berarti bahwa filsafat itu tak memiliki hubungan apa pun juga dengan
kehidupan nyata setiap hari. Filsafat ilmu menggiring manusia kepengertian yang
terang dan pemahaman yang jelas. Kemudian, filsafat itu juga menuntun manusia
ketindakan dan perbuatan yang konkret berdasarkan pengertian yang terang dan
pemahaman yang jelas. Filsafat ilmu membantu kita mengerti tentang diri kita
sendiri dan dunia kita, karena filsafat mengajarkan bagaimana kita bergulat
dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar.

Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi
filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan,
yakni :

a) Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.


b) Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap
pandangan filsafat lainnya.
c) Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan
pandangan dunia.
d) Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam
kehidupan

Filsafat ilmu berfungsi untuk menjelaskan keberadaan manusia di dalam


mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan alat untuk
membuat hidup menjadi lebih baik. Filsafat ilmu memberikan kebiasaan dan
kebijaksanaan untuk memandang dan memecahkan persoalan-persoalan dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah
melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahannya. Filsafat ilmu
mengajak untuk berpikir secara radikal, holistik dan sistematis, hingga kita tidak
hanya ikut-ikutan saja, mengikuti pada pandangan umum, percaya akan setiap
semboyan dalam suratsurat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang
dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, dengan cita-cita mencari
kebenaran.

Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah


untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori
sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu:
sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif
antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya
menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana

2. Arah Filsafat Ilmu Pengetahuan

Arah-arah Filsafat Ilmu sangat berkaitan erat bahkan dapat dikatakan


terpusat pada konsep tentang manusia. Oleh karena itu arah filsafat ilmu secara
potensial turut mendorong berkembangnya pemikiran tentang hakikat manusia
sehingga menghasilkan perbaikan-perbaikan validitas dan signifikansi konsep
Filsafat Ilmu. Hal ini mengandung arti turut mendorong berkembangnya filsafat
tentang manusia atau antropologi filsafat.Sehubungan dengan ini lahirlah arah dan
konsep tentang hakikat manusia sebagai : animal rasionale, animal sociale, animal
symbolicum, homo sapiens, homo economicus, homo homini lupus, homo ludens
dan sebagainya.

Berbagai arah filsafat ilmu tersebut di atas, memberikan dampak


terciptanya konsep-konsep atau teori-teori ilmu yang beragam. Masing-masing
konsep akan mendukung filsafat ilmu tersebut. Dalam membangun teori-teori
pendidikan, filsafat ilmu juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan diatas
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori
pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.

Sumber:

Jena, Yaremies. 2015. Filsafat Ilmu Kajian Filosofis atas Sejarah dan Metodologi
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Deepublish.

Mariyah, S., Syukri, A., Badarussyamsi, B., & Fadhil Rizki, A. (2021). Filsafat
dan Sejarah Perkembangan Ilmu. Jurnal Filsafat Indonesia, 4(3), 242–246.

Sumarto. 2017. Filsafat Ilmu. Jambi. Pustaka Ma’arif Press.

Anda mungkin juga menyukai