Anda di halaman 1dari 22

 .

Pengertian Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu terdiri dari dua kata yaitu kata filsafat dan kata ilmu. Masing-masing memiliki makna yang berbeda
dan hakikat yang berlainan.

Kata filsafat yang berati cinta kebijaksanaan.

Kata ilmu atau science berasal dari bahasa latin scientia yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn).

Kata ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu, atau bagian dari pengetahuan.
lIlmu adalah sebagian dari pengetahuan yang memiliki persyaratan tertentu.
lSuatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.Sistematis
2.General
3.Rasional
4.Objektif
5.Menggunakan metode

Dapat dipertanggung jawabkan (Maufur, 2008: 32-34).


lMenurut Michael V. Berry, filsafat ilmu adalah penelaahan tentang logika interen dan teori-teori ilmiah, dan
hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.

lMenurut A. Cornelius Benyamin, bahwa filsafat ilmu adalah studi sistematis mengenai sifat dan hakikat ilmu,
khususnya yang berkenaan dengan metode, konsep, kedudukan di dalam skema umum disiplin intelektual.

lPengertian filsafat ilmu tercakup tiga telaah yaitu:


1.Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu.
2.Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan tentang konsep, wacana, dan postulat dan upaya untuk
membuka dasar-dasar empiris, rasional dan pragmatis.
3.Filsafat ilmu adalah studi gabungan dari berbagai macam studi untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu
tertentu.

B.Objek Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu memiliki objek material dan objek formal. lObjek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu
sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggung jawabkan secara umum.

lObjek formal filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih perhatian terhadap masalah
mendasar, sehingga perlu menjawab beberapa persoalan berikut:
1.Pertanyaan Landasan Ontologi.

Ontologi menjelaskan dan atau menjawab pertanyaan apa. Objek apa yang ditelaah ? Bagaimana wujud dan hakiki
dari objek tersebut? Bagaimana korelasi antara objek dengan daya tangkap manusia yang menghasilkan ilmu.

2.Pertanyaan Landasan Epistemologi

Epistemologi menjelaskan atau menjawab pertanyaan bagaimana. Bagaimana proses pengetahuan yang masih
berserakan itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
mendapat pengetahuan yang benar? Apa kriterianya? Cara apa yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan
yang berupa ilmu?.

3.Pertanyaan Landasan aksiologi Aksiologi menjelaskan atau menjawab pertanyaan untuk apa. Untuk apa
pengetahaun yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara pengguna tersebut dengan kaidah-
kaidah moral? Bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
korelasi antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
(Jujun S)

C.Pendekatan Filsafat Ilmu


D.Agar studi filsafat tidak menjadi historis melainkan sistematis, fungsional, dan komparatif, maka perlu
pendekatan-pendekatan sehingga membuka wawasan yang lebih luas.
E.Beberapa penulis mengomentari tentang pendekatan filsafat ilmu, seperti Parson (Ismaun: 2004) dalam studinya
melakukan lima pendekatan yaitu:

1.Pendekatan received view yang secara klasik bertumpu pada aliran potivisme yang berdasar pada fakta-fakta.
2.Pendekatan menampilkan diri dari sosok rasionality yang membuat kombinasi antara berpikir empiris dengan
berpikir struktural dalam matematika.
3.Pendekatan fenomenologik yang tidak hanya pengalaman langsung, melainkan pengalaman yang
mengimplikasikan penafsiran dan klasifikasi.

4.Pendekatan metafisik, yang bersifat intransenden. Moral merupakan sesuatu yang objektif universal.
5.Pragmatisme, meskipun bukan pendekatan tetapi menarik untuk disajikan karena dapat menyatukan antara teori
dan praktik.
lSelain itu terdapat juga pendekatan lain yang penting unutk ditelaah yaitu pendekatan deduksi dan pendekatan
induksi.

D.Lingkupan Filsafat Ilmu menurut para Filsuf

Lingkup filsafat ilmu dari para filsuf menurut The Liang Gie (2000) sebagai beriktu:
1.Peter Angeles, mengemukakan filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi yaitu:
1.Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunannya
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
2.Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangnya.
3.Telaah tentang keterkaitan di antara berbagai ilmu.
4.Telaah tentang akibat-akibat pengetahuan ilmiah yang berkaitan dengan penyerapan dan pemahaman manusia
terhadap realitas, hubungan logika dan matematika dengan realitas, entitas teoretis, sumber dan keabsahan
pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.

2.A. Cornelius Benjamin


filsuf ini membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang, sebagai berikut:
1.Telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambang ilmiah.
2.Penjelasan mengenai konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan empiris,
rasional, atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya.
3.Aneka telaah mengenai keterkaitan di antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti
idealisme, materialisme, monisme, atau pluralisme.

3.Edward Madden, merumuskan lingkup filsafat ilmu ke dalam tiga bidang kajian, yaitu: probabilitas, induksi, dan
hipotesis.
4.Ernest Nagel

Filsuf ini menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang kajian, yaitu: pola logis yang ditunjukkan oleh
penjelasan dalam ilmu, pembuktian konsep ilmiah, dan pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.

E.Permasalahan Filsaft Ilmu

Gambaran permasalahan filsafat ilmu dari beberapa filsuf ilmu adalah sebagai berkut:
1.B. Van Fraassen dan H. Margenau
Menurut kedua ahli ini, permasalahan utama dalam filsafat ilmu stelah tahun enam puluhan adalah:pembuktian
konsep ilmiah, dan pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.

a.Metodologi. Hal-hal yang diperbincangkan ialah mengenai sifat dasar dari penjelasan ilmiah, logika penemuan,
teori probabilitas, dan teori pengukuran.
b.Landasan ilmu-ilmu. Ilmu-ilmu empiris hendaknya melakukan penelitian mengenai landasannya dan mencapai
sukes seperti landasan matematika.

c.Ontologi. Permasalahan utama yang diperbincangkan ialah menyangkut konsep substansi, proses, waktu, ruang,
kausalitas, hubungan budi dan materi, serta status dari entitas teoretis (The Liang Gie, 2000:78).
2.Victor Lenzen

Filsuf ini mengajukan dua permasalahan, yaitu:


a.Struktur ilmu, yaitu metode dan bentuk pengetahuan ilmiah.
b.Pentingnya ilmu bagi paraktik dan pengetahuan tentang realitas (The Liang Gie, 2000:79).

lDari beberapa pendapat mengenai problem filsafat ilmu dapat ditarik benang merahnya, yaitu:
a.Apakah konsep dasar dari ilmu?
b.Apakah hakikat dari ilmu
c.Apakah batas-batas dari ilmu.

F.Fungsi, Arah dan Manfaat Filsafat Ilmu

Menurut Franz Magnis Suseno (199:21), fungsi filsafat ilmu sangat luas dan mendalam, yaitu: Untuk membantu
mendalami pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu atau asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung
jawabnya secara sisematis dan historis.

2.Sebagai kritik ideologi, artinya kemampuan menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi
agama, ideologi dan pandangan dunia.
3.Sebagai dasar metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam mempelajari studi-studi ilmu khusus.
4.Sebagai dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual pada umumnya dan
khususnya di lingkungan akademis.

5.Memberikan wawasan lebih luas dan kemampuan analitis dan kritis tajam untuk bergulat dengan masalah-masalah
intelektual, spiritual, dan ideologis.
lSecara singkat fungsi filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan dan sebagai peneratas pengetahuan. Artinya filsafat
telah memberi arah kepada ilmu pengetahuan dalam merumuskan konsep dan teori untuk membangun konsep
ilmiah,

lDengan filsafat telah berkembang berbagai ilmu baruyang sangat penting bagi kelangsungan dan peradaban
manusia di muka bumi.

lArah filsafat ilmu dapat dipahami dari beberapa pendapat, antara lain:
a.Filsafat ilmu diarahkan pada pembekalan pemahaman terhadap wawasan ;
b.Filsafat ilmu diarahkan untuk lebih memanusiakan diri atau membangun diri sendiri;

c.Diarahkan agar mempertahankan sikap yang objektif dan mendasarkan pendapat atas pengetahuan yang objektif ,
tidak hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan simpati dan antipati saja;
d.Agar berpikir secara holistis dalam menyelesaikan suatu permasalahan , tidak egoisme;
e.Agar dapat berpikir kritis, mandiri, dan tidak tergantung orang lain. ilmu diarahkan pada pembekalan pemahaman
terhadap wawasan ;

G.Manfaat Belajar Filsafat Ilmu

Mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap
arogansi intelektual.
lFilsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu secara umum mengandung manfaat
sebagai berikut:

1.Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah.
Artinya, seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga terhindar dari sikap
solipsistik (pendapatnya yang paling benar).

2.Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Filsafat ilmu
memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat
dipertanggung jawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum

lImplikasi mempelajari filsafat ilmu adalah sebagai berikut:


1.Bagi seseorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik
ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya para ilmuwan memiliki landasan berpikir yang kuat.
2.Menyadarkan seorang ilmuwan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading” yakni hanya berpikir
murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya (sosial kemasyarakatan).
Diposting oleh nieftezuka di 4/06/2014 06:53:00 AM Label: filsafat ilmu

Oleh Siti Arofah

BAB 1 – PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia
pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan
berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) dari
pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line”
atau saluran, (4) dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu
nyata.

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) secara umum adalah semua yang teknologi berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan
(akuisisi), pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi (Kementerian Negara
Riset dan Teknologi, 2006: 6). Tercakup dalam definisi tersebut adalah semua perangkat keras,
perangkat lunak, kandungan isi, dan infrastruktur komputer maupun (tele) komunikasi. Istilah TIK
atau ICT (Information and Communication Technology), atau yang di kalangan negara Asia berbahasa
Inggris disebut sebagai Infocom, muncul setelah berpadunya teknologi komputer (baik perangkat
keras maupun perangkat lunaknya) dan teknologi komunikasi sebagai sarana penyebaran informasi
pada paruh kedua abad ke-20. Perpaduan kedua teknologi tersebut berkembang sangat pesat, jauh
melampaui bidang-bidang teknologi lainnya. Bahkan sampai awal abad ke-21 ini, dipercaya bahwa
bidang TIK masih akan terus pesat berkembang dan belum terlihat titik jenuhnya sampai beberapa
dekade mendatang. Pada tingkat global, perkembangan TIK telah mempengaruhi seluruh bidang
kehidupan umat manusia. Intrusi TIK ke dalam bidang-bidang teknologi lain telah sedemikian jauh
sehingga tidak ada satupun peralatan hasil inovasi teknologi yang tidak memanfaatkan perangkat TIK.

Dalam makalah ini penulis membahas mengenai “Kajian Filsafat Ilmu (Epitemologi. Ontologis
dan Aksiologi) dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi”
BAB II – PERMASALAHAN

Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya pula
seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat,
menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu
terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan
kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia
mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti,
sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar.

Membicarakan pengaruh TIK pada berbagai bidang lain tentu memerlukan waktu diskusi yang sangat
panjang. Dalam makalah ini, kaitan filsafat dengan TIK akan di bahas tanpa mengecilkan pengaruh
TIK di bidang lain, bidang pembelajaran mendapatkan manfaat lebih dalam kaitannya dengan
kemampuan TIK mengolah dan menyebarkan informasi.

Permasalahan dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah landasan epistemologis dalam kajian TIK?

2. Bagaimana landasan ontologis dalam kajian TIK?

3. Bagaimanakah landasan aksiologis dalam kajian TIK?

4. Kaitan antara filsafat ilmu dengan komunikasi.

5. Pengaruh epistemologi dengan TIK.

BAB III – PEMBAHASAN

LANDASAN ONTOLOGIS DALAM TIK

Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan
hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran
manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab
akibat, dan kemungkinan.

Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang
artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang
ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan
ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi
idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik.

Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional
dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan
pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas
prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka)
menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni
realisme, naturalisme, empirisme.

LANDASAN EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN TIK

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits
of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal
dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan
ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.

Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu
episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat
diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan
yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke cabang
fisafat metodologi.

Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah


manusia dapat mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a
priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma
pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan,
kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?

Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif
memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru
berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba
memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.

C. LANDASAN AKSIOLOGI DALAM TIK


Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162).
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163)
aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan
etika; Keduei,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu
kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.

Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang
artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk
apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-
kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional?
Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.

Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation.
Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai
sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang
kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value
free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih
dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.

Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika ternyata
putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt yang nyata.
Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik dan yang
buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri,
2000:36).

KAITAN ANTARA FILSAFAT ILMU DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi
ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos
merupakan komponenfilsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normative
dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara
ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa
yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan,
yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil
suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh
argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika,
Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan
aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).

Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari
perspektif epistemology:

Ontologis: What It Is?

Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam
dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti
memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.

Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang
ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi yang
menjadi objek kajiannya?

Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi
sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak
atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda.
Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang
selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.

Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father,
Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.

Epistemologis: How To Get?

Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu
(Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi
adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what
can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi
“belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and
forgetting”.

Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana


proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya,
metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang
benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan
logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?

Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak
kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau
bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu.
Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social
yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini.
Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas
perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah
ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis
ilmu ini sendiri.

Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian
keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi
yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi
menjadi sebuah ilmu.

Aksiologis: What For?

Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan
tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri.
Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.

Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu
komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan dan
menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?

Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information,


propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis
dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.

Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat
adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri.
Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun
sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran
yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah,
sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.

Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi akan
mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak
memerlukan pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan ilmu-ilmu sosial yang
objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak,
yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk
didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu
komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna
menjelaskan objeknya yang abstrak itu.

Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana diutarakan,
objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena
objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu
tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda
berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi
syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan
dengan yang lain selain makhluk manusia.

Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan
Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari
penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang
ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi
respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan
mencederai kriteria objek keilmuannya.

Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun 1976 saja Dance dan
Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga
dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:

Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya

Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah
proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat
terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan
pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.

Tingkat kesengajaan

Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi


adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada
seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi yang
mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang
membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki
oleh dua orang atau lebih.

Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan

Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang


menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling
pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan
bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.

Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu diperlukan untuk


menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan jernih, maka pada tahun 1990-an para
teoritisi komunikasi berdebat dan mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah
komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak
sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) /
paradigma yang dapat diakomodir.

Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya,
paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek
ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak
sepakat” dari para teoritisi komunikasi:

Paradigma-1

Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan
diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan
sengaja, dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus
terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika pesan
tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi tidak ada
komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang
teman melambai pada kita tapi kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya,
karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu.

2. Paradigma-2

Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah
disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan
sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya
dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator
mengingat keduanya mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak,
yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai
semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak,
adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi
jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya, ”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi
kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan
terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.

3. Paradigma-3

Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun


derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus
disampaikan dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya,
untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target
komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini
merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak kita
terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata
kita)? Atau ada hal lainnya?
Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik
dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu
dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa
kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis,
dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.

Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan
pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan
kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang
diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu
kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.

Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang
ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi
sosial. Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah
gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.

Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle
John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-
nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama
metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi,
bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori”
pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori,
berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah
knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi)
perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial.
Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup
persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah
mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama
dalam penyajian berita infotainment di televisi.

Dalam hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya sebagai berikut:

1. Kajian Aspek Epistemologis:

Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan
jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas
peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif
yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30)
mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan
pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta
mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan
menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita &
membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara
memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan
ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.

2. Kajian Aspek Ontologis

Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita
infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia
jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya
dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan
dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan
petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan
karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William
Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”

Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan
Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada
banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak
zaman Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul
& diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor
semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers
dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada
juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain.
Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut
menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena
infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya
ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)

3. Kajian pada aspek aksiologis

Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini
menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis
jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap
sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan”
antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya
akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.

Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai
pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang
terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah
diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.

E. PENGARUH EPISTEMOLOGI TERHADAP TIK

Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah,
epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu
pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam
pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu
pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih
dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan
ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat
tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar. Perbedaan
hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para
ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam
menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan
gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat
bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu
pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.

Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang
ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang
tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan
epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam
melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya
sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan
argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa
epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal)
dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika
berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai,
bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.

Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang
dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman
seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi
sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu
fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena
sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang
berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman,
tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara
memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang, sedangkan
perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu
dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat
dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan
koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis
dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara,
karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang
pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh
kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa
pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains,
tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan
menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-
pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana
cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan
sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru,
mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses
menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-
faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan
mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun
secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut
diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains).
Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang
dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi
kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan
mutlak perlu dikuasai.

Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa
seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh
landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang
mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga dicirikan
sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan
oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan
pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh
sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap
keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya
dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien
menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai
pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap
demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada
pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem
dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai
lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).

BAB IV – PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:


Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam
dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti
memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.

Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu
(Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi
adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what
can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi
“belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and
forgetting”.

Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri.
Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan
tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri.
Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan
menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-
pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana
cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan
sesuatu itu, dan sebagainya.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan
melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi agar supaya upaya dan
usaha yang menjadi pembaharuan dalam teknologi informasi dan komunikasi pendidikan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Perkembangan teknologi yang semakin canggih hendaknya di imbangi dengan kebijaksanaan


pemakaian dan penggunaannya, jangan sampai teknologi membuat kita menjadi bermalas-malasan.

DAFTAR PUSTAKA

Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar Ruzz. 2005.

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya..2001.

Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994

Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2008.
Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan,
Jakarta

http://rahmasyilla.wordpress.com/2010/02/03/hakekat-filsafat-komunikasi/#more-192

http://defickry.wordpress.com/2007/08/23/filsafat-dan-komunikasi/

http://fajardawn.blogspot.com/2009/05/hakikat-komunikasi.html

CONTOH IMPLEMENTASI KAJIAN FILSAFAT (ontologi,


epistemologi, aksiologi)
KINERJA GURU PEMBIMBING KHUSUS DITINJAU DARI KUALIFIKASI PENDIDIKAN, MASA KERJA DAN
STATUS KEPEGAWAIAN DI SD INKLUSIF SURABAYA Oleh : Lailil Aflahkul Yaum

KAJIAN ONTOLOGI

Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani,

yaitu ontoyang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan

sebagai ilmu tentang keberadaan.

Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah

hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang

membuahkan pengetahuan dan ilmu? Sehubungan dengan hal tersebut, dilihat dari judul tesis yang

dianalisis, maka kajian ontologi atau asal-usul keilmuannya adalah dalam bidang ilmu kependidikan yaitu

ilmu pendidikan luar biasa dengan model pendekatan pendidikan inklusif. Ilmu Pendidikan Luar

Biasa dengan model pendekatan pendidikan inklusif dapat dipahami melalui objek materi dan objek

formal. Dimana dalam hal ini objek material yang akan dibahas yaitu Guru Pembimbing Khusus (GPK).

Keberadaan GPK sebagai objek material akan dipahami melalui uraian objek formal yaitu sistem

pelayanan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang mempersyaratkan agar anak luar biasa belajar bersama

dengan teman-teman mereka disekolah-sekolah terdekat, guna mengoptimalkan potensi yang dimiliki

anak luar biasa. Sesuai dengan ketetapan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU No 20/2003 tentang sistem
pendidikan nasional menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu. Dalam usaha mengoptimalkan potensi yang dimiliki ABK, maka

diperlukan strategi penanganan ABK termasuk dalam pemberian layanan yang berbaur dengan anak

normal pada umumnya.

Budiyanto, dkk (2009) menyatakan bahwa strategi penanganan ABK bersama anak-anak normal

yakni dalam tiga model pendidikan yaitu mainstreaming, integratif dan inklusi.

Sesuai dengan judul tesis yang dianalisis maka dalam hal ini lebih diperdalam mengenai pedidikan

inklusi. Shevin dalam Direktorat PLB (2005) inklusi merupakan sistem pelayanan pendidikan luar biasa

yang mempersyaratkan agar ABK bisa belajar dengan teman-teman mereka di sekolah sekolah terdekat.

Melalui pendidikan inklusi, ABK dididik bersama teman-temannya yang normal untuk mengoptimalkan

potensi yang dimilikinya.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu di

dukung oleh tenaga pendidik keahlian khusus dalam proses pembelajaran dan pembinaan anak-anak

berkebutuhan khusus secara umum. Salah satu tenaga khusus yang diperlukan adalah Guru Pembimbing

Khusus (GPK). Guru Pembimbing Khusus (GPK) adalah guru yang bertugas mendampingi di sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif dan memiliki kompetensi dalam menangani peserta didik

berkebutuhan khusus. Disamping itu, GPK mempunyai latar belakang pendidikan khusus atau pernah

mendapat pelatiha khusus tentang PLB dan ditugaskan di sekolah inklusi.

Sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar pendidikan nasional

pasal 41 tentang setiap bantuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif harus dimiliki tenaga

kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik

berkebutuhan khusus. Sehingga dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah inklusif,

diperlukan kolaborasi antar guru baik guru kelas, guru mata pelajaran, dan GPK. GPK bertugas

mendampingi guru mata pelajaran dalam pross pembelajaran, memberikan pengayaan, melakukan

terapi, dan membimbing anak-anak sesuai dengan kekhususannya. Kinerja GPK dapat ditinjau dari

kualifikasi pendidikan, masa kerja dan status kepegawaian.


Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme. Berdasarkan

judul tesis yang dianalisis “Kinerja Guru Pembimbing Khusus Ditinjau Dari Kualifikasi Pendidikan,

Masa Kerja Dan Status Kepegawaian Di SD Inklusif Surabaya”. Dari pemaparan sebelumnya mengenai

kajian ontologinya, maka dalam hal ini penulis menganut aliran realisme.

KAJIAN EPISTEMOLOGI

Kajian epistemologi atau langkah-langkah keilmiahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

menggunakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan komparatif yang bersifat ex post

facto,artinya data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dikumpulkan telah berlangsung. Dalam

penelitian komparatif ex post facto peneliti berusaha mengidentifikasi faktor utama yang menyeabkan

perbedaan tersebut. Penelitian komparatif ex post fact juga merujuk pada pengaruh dan yang

mempengaruhi telah terjadi dalam tinjauan ke belakang. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang

telah ditetapkan yaitu untuk mengetahui kinerja GPK yang dilihat dari segi kualifikasi pendidikan, masa

kerja sebagai guru, dan status kepegawaian di sekolah dasar inklusif Surabaya.

Adapun variabel penelitian kualifikasi pendidikan terdiri dari dua variasi yaitu PLB dan non PLB,

masa kerja menjadi guru terdiri dari dua variasi yaitu masa kerja kurang dari 5 tahun dan masa kerja

lebih dari atau sama dengan 5 tahun. Sedangkan status kepegawaian juga terdiri dari dua variasi yaitu

PNS dan non PNS.

Untuk mencapai tujuan penelitian yaitu mengetahui kinerja GPK ditinjau dari kualifikasi

pendidikan, masa kerja dan status kepegawaian, maka dalam hal ini prosedur kegiatan penelitian dibagi

menjadi dua langkah yaitu persiapan dan pelaksanaan. Pada langkah persiapan, hal-hal yang dilakukan

antara lain:

1. Observasi pada daerah sasaran penelitian

2. Mengidentifikasi jumlah sekolah dasar penyelenggara inklusif

3. Menentukan sampel
4. Menentukan tempat pelaksanaan penelitian

5. Merancang instrumen

6. Menyusun petunjuk instrumen

7. Uji coba instrumen

8. Review instrumen dan rancangan kembali

Sedangkan pada langkah pelaksanaan yaitu melakukan penilaian kinerja GPK berdasarkan instrumen dan

melakukan observasi. Di akhir penelitian, dlakukan pengelompokan data informasi berdasarkan

kualifikasi pendidikan, masa kerja, dan status kepegawaian, yang kemudian dianalisis secara deskriptif

dan varian (anova)

Untuk melakukan penilaian terhadap kinerja GPK, maka tentunya dibutuhkan beberapa data

sebagai bahan informasi atau keterangan baik kualitatif maupun kuantitatif yang menunjukkan fakta.

Sehingga dibutuhkan tekhnik pengumpulan data. Adapun tekhnik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah angket tertutup yang didasarkan pada pemikiran: 1) mempermudah

responden dalam menjawab pertanyaan dan jawaban lebih terarah, 2) tidak membutuhkan waktu yang

lama untuk pengisisan jawabannya, 3) dapat dibagikan secara serentak kepada banyak responden, 4)

mempermudah peneliti dalam menganalisis. Selain angket juga digunakan observasi yang dilakukan

disekolah dengan melihat GPK dalam menjalankan tugasnya.

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data, dalam

penelitian ini tekhnik analisis data yang digunakan adalah tekhnik statistik deskriptif yang digunakan

untuk memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau populasi. Untuk mencari

perbedaan antara masing-masing variabel maka digunakan tekhnik uji Analisys of

variance (ANOVA)multiple slassification, pengujian dilakukan secara serempak. Namun sebelum data

dianalisis menggunakan tekhnik uji ANOVA, terlebih dahulu melakukan uji normalitas

menggunakan kolmogrof – smirnov serta shapiro – wilk dan uji homognetas menggunakan levene’
test. Adapun pengujian normalitas dan homogenitas data juga dilakukan secara komputerisasi

menggunakan program SPSSstatistic 17.0 version.

KAJIAN AKSIOLOGI

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan beberapa hal yang

berkaitan dengan kinerja guru pembimbing khusus ditinjau dari kualifikasi pendidikan, masa kerja dan

status kepegawaian di SD penyelenggara inklusif Surabaya sebagai berikut:

1. Tidak ada pengaruh signifikan antara kualifikasi pendidikan PLB dan non PLB terhadap kinerja GPK di SD

penyelenggara inklusif Surabaya

2. Tidak ada pengaruh signifikan antara masa kerja kurang dari lima tahun dan lebih atau sama dengan

lima tahun terhadap kinerja GPK di SD penyelenggara inklusif Surabaya

3. Tidak ada pengaruh signifikan antara status kepegawaian PNS dan non PNS terhadap kinerja GPK di SD

penyelenggara inklusif Surabaya

Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan antara

kualifikasi pendidikan, masa kerja dan status kepegawaian terhadap kinerja GPK.

Dengan melihat kesimpulan dari hasil analisis penelitian yang telah dilakukan, maka kajian

aksiologi atau manfaat penelitian ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

a. Menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan dalam memahami tugas pokok dan fungsi GPK

b. Dapat mengetahui sejauh mana pengaruh kualifikasi pendidikan, masa kerja dan status kepegawaian

terhadap kinerja GPK

c. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan bahan kajian penelitian yang berkaitan dengan peningkatan kinerja

guru
2. Manfaat praktis

a. Dapat dijadkan bahan untuk melanjutkan bahan kajian penelitian lebih dalam dan sebagai bahan

perbandingan untuk penelitian selanjutnya dan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan peran dan

fungsi GPK

b. GPK dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan refleksi diri sehingga dapat mengoptimalkan

kinerja guru dalam menangani ABK pada saaat proses pembelajaran

3. Pemerintah dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam proses penentuan

kebijakan dan pembenahan konsep penyelenggara inklusif yang berkaitan dengan GPK

4. Supervisor pendidikan dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai bahan informasi bagi tindakan praktis

upaya meningkatkan kinerja GPK dan halhal apa yang harus dioptimalkan dalam meningkatkan kualitas

kinerja guru.

5. Hasil penelitian ini seharusnya menjadi gambaran dan cambuk bagi para alumni PLB untuk lebih

menunjukkan kualifikasi kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak

berlatarbelakang keilmuan PLB dalam menjalankan tugas sebagai GPK kelak.

Diposting oleh MIRNAWATI MINNA di Sabtu, Oktober 26, 2013

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Anda mungkin juga menyukai