Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Phytagoras (582-486 SM). Arti

filsafat pada waktu itu, kemudian filsafat itu diperjelas seperti yang banyak

dipakai sekarang ini dan juga digunakan oleh Socrates (470-390) dan filsuf

lainnya (Suaedi, 2016: 17).

Istilah filsafat sendiri banyak dijabarkan oleh para filsuf terkenal di dunia.

Plato (Suaedi, 2016: 17), berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang

mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli karena

kebenaran itu mutlak di tangan tuhan. Sedangkan Aristoteles (Suaedi, 2016: 17),

berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan yang meliputi kebenaran

yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,

estetika.

Menurut Prof. Dr. Fuad Hasan (Suaedi, 2016: 18), filsafat adalah suatu

ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksinya suatu gejala, dari

akarnya suatu hal yang hendak dipermasalahkan. Immanuel Kant (Suaedi, 2016:

18), filsuf barat dengan gelar raksasa pemikir Eropa mengatakan filsafat adalah

ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat

persoalan: (1) apa dapat kita ketahui, dijawab oleh metafisika?; (2) apa yang boleh

kita kerjakan, dijawab oleh etika; (3) apa yang dinamakan manusia, dijawab oleh

antropologi?; dan (4) sampai di mana harapan kita, dijawab oleh agama?.

Sedangkan menurut Rene Descartes (Suaedi, 2016: 18), mengatkan bahwa filsafat
2

adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakikat bagaimana alam maujud yang

sebenarnya.

Berdasarkan penjelasan beberapa filsuf tersebut di atas maka

mememberikan pemahaman bahwa filsafat adalah suatu prinsip atau asas

keilmuan untuk menelusuri suatu kebenaran objek dengan modal berpikir secara

radikal (Suaedi, 2016: 18). Oleh karenanya sebagai bagian dari ilmu, Matematika

juga memiliki banyak makna dan arti yang diberikan oleh para ahli maupun filsuf

terkenal dunia.

Pendapat para ahli terkait matematika telah muncul sejak kurang lebih 400

tahun lebih sebelum masehi, dengan tokoh-tokoh utamanya adalah Plato (427-347

SM) dan seorang muridnya Aristoteles (348-322 SM). Mereka mempunyai

pendapat yang berbeda. (Moeharti Hadiwidjoyo dalam Abdul Halim Fathani,

2009: 20).

Plato berpendapat bahwa matematika adalah identik dengan filsafat untuk

ahli pikir, walaupun mereka mengatakan bahwa matematika harus dipelajari untuk

keperluan lain. Objek matematika ada di dunia nyata, tetapi terpisah oleh akal. Ia

mengadakan perbedaan antara aritmatika (teori bilangan) dan logistik (teknik

berhitung) yang diperlukan orang. Belajar aritmatika berpengaruh positif, karena

memaksa yang belajar untuk belajar bilangan-bilangan abstrak. Dengan demikian,

dengan demikian matematika ditingkatkan menjadi mental aktivitas dan mental

abstraks pada objek-objek yang ada secara lahiriah, tetapi yang ada hanya

mempunyai representasi yang bermakna. Plato dapat disebut sebagai seorang

rasionalis (Abdul Halim Fathani, 2009: 21).


3

Sedangkan, Aristoteles mempunyai pendapat yang lain. Ia memandang

matematika sebagai salah satu dari tiga dasar yang membagi ilmu pengetahuan

menjadi fisik, matematika, dan teologi. Matematika didasarkan atas kenyataan

yang dialami, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen, observasi, dan

abstraksi. Aristoteles dikenal sebagai seorang eksperimentalis (Abdul Halim

Fathani, 2009: 21).

Berdasarkan karakteristik matematika yang abstrak tersebut maka dalam

pembelajaran matematika di sekolah guru harus pintar mengadakan atau

menerapkan strategi yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran dapat berhasil

dengan baik. Sehingga sebagai rujukan untuk menentukan strategi yang cocok

untuk diterapkan di dalam pembelajaran matematika, maka banyak ahli

matematika yang melakukan kajian atau penelitian. Di dalam meneliti atau

mengkaji sebuah masalah tersebut, maka para peneliti banyak menggunakan teori-

teori dari para ahli yang berkaitan dengan penelitian tersebut, khususnya yang

berkaitan dengan dengan dunia pendidikan matematika. Contohnya Widodo

Winarso, dengan judul penelitian Problem Solving, Creativity dan Decision

Making Dalam Pembelajaran Matematika (Widodo Sudarsono, 2014).

Dalam penelitiannya tersebut, Ia menggunakan beberapa teori dari para

ahli antara lain: untuk pemecahan masalah menggunakan teori yang dikemukakan

oleh Hamalik (1994: 551), Greeno (Matlin, 1984: 333; Jacob, 1998: 3), D’zurrilla,

T.J (1986), J.Dewey (W.Gulo, 2002: 115), W.Gulo (2002: 117), dan beberapa

pendapat ahli lainnya. Hal ini menggambarkan, bahwa untuk memperoleh hasil
4

penelitian yang baik dan berkualitas maka diperlukan kajian yang komprehensif

terhadap apa yang diteliti.

Sehingga berdasarkan latar belakang di atas maka kami merasa tertarik

untuk menulis sebuah makalah dengan judul: Kajian Filsafat Ilmu dalam

Penelitian Pendidikan Matematika.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan permasalahan penulisan kami adalah:

Bagaimana kajian filsafat ilmu dalam penelitian pendidikan matematika?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan kami adalah untuk

mengetahui kajian filsafat ilmu dalam penelitian pendidikan matematika.


5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Filsafat Ilmu

1. Pengertian filsafat ilmu

Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang

berkaitan dengan atau tentang ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat

pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu

bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk

memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka

diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus

tentang istilah tersebut. (dalam jurnal Setya Widyawati, 2013).

Para ahli telah banyak mengemukakan definisi/pengertian filsafat ilmu

dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut amat

penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna filsafat ilmu, berikut

ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu: The philosophy of science is

a part of philosophy which attempts to do for science what philosophy in general

does for the whole of human experience (Peter Caws). The philosophy of science

attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry-

observational procedures, patterns of argument, methods of representation and

calculation, metaphysical presupposition, and so on, and then to evaluate the

grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical

methodology anf metaphysics (Steven R. Toulmin). Philosophy of science

questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine
6

the value and significance of scientific enterprise as a whole (L. White Beck).

Philosophy of science... that philosophic discipline which is the systematic study

of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presupposition,

and its place in the general scheme of intelectual discipline (A. C. Benyamin).

Philosophy of science... the study of the inner logic of scientific theories, and the

relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael V.

Berry). (Suharsaputra, 2004 dalam jurnal Setya Widyawati, 2013).

Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa

ahli tentang makna filsafat ilmu. Peter Caws memberikan makna filsafat ilmu

sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam konteks

keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin (dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013) memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan

untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah,

penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar

validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta

metafisika. Sementara itu White Beck (dalam jurnal Setya Widyawati, 2013) lebih

melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk

dapat dipahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah kajian atas

metode ilmiah juga dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan

dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta hubungan antara teori dan

eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah

metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam
7

konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan). (dalam jurnal Setya Widyawati,

2013)

Filsafat ilmu (philosophy of science) adalah pemikiran reflektif terhadap

persoalan-persoalan mengenai sifat dasar landasan-landasan ilmu yang mencakup

konsep-konsep pangkal, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur-

struktur teoritis, dan ukuran- ukuran kebenaran ilmu. (The Liang Gie, 1978 dalam

jurnal Setya Widyawati, 2013). Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas,

hal yang penting untuk dipahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah

kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/ menyangkut ilmu, dan bukan kajian

di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang

dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti: Theory of science, meta science,

methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya

menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada

dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu. Meskipun filsafat ilmu mempunyai

substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran

yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan saling

pengaruh antara filsafat dan ilmu. Oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan

pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat

timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi

disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya.

(The Liang Gie, 1978 dalam jurnal Setya Widyawati, 2013).

Sementara itu Gahral Adian (dalam jurnal Setya Widyawati, 2013)

smendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji


8

ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu

selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu

seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta

apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan

ilmu, pertanyaan-pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta

mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken

forgranted). Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas

pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan

secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. (Suharsaputra, 2004 dalam

jurnal Setya Widyawati, 2013)

Spesifikasi dan kemandirian ilmu yang dihadapkan dengan semakin

banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat

menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban

substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus

mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi

secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang

kajian filsafat ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya

menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak

menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai

suatu pemahaman atas alam secara dangkal. (dalam jurnal Setya Widyawati,

2013)
9

2. Sejarah filsafat ilmu

Filsafat ilmu berasal dari zaman Yunani Kuno, di mana filsafat ilmu lahir

karena munculnya sebuah pengetahuan dari Barat. Akan tetapi, pada

perkembangannya ternyata ilmu pengetahuan di abad ke-17 mengalami

perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri. Dengan demikian, dapat

dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 ilmu identik dengan filsafat. Pendapat

tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985 dalam jurnal Syahrul

Kirom, 2011) yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari

filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang

dianut. Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah

mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon

ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. (dalam jurnal

Syahrul Kirom, 2011)

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dapat dipahami bahwa

para filsuf Yunani Kuno ternyata telah merintis tentang pengertian apa itu filsafat

ilmu dan bagaimana ilmu pengetahuan itu harus diletakkan? Ilmu pengetahuan

menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk, di

mana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan itu dikatakan oleh Robert Merton adalah

universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisisme yang terarah

(Wibisono, 2009:2 dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011).

Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin

maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula

sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih
10

khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu, tepatlah apa yang

dikemukakan oleh Van Peursen (1985 dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011), bahwa

ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat

asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat

ditentukan.

Ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan

kognitif yang terdiri dari berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah

sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-

gejala kealaman, kemasyarakatan atau perorangan untuk tujuan mencapai

kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan

penerapan. (dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011)

Francis Bacon (1561-1626 dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011)

mengembangkan semboyan Knowledge is Power yang mensinyalir bahwa

peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun

sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu, implikasi yang timbul adalah

bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan ilmu yang lain, serta

semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu

terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain

dibutuhkan satu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan

yang muncul. Filsafat mampu mengatasi hal tersebut. Ini senada dengan pendapat

Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang

mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara


11

tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari

ilmu-ilmu (the great mother of the sciences). (dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011)

Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledge

maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan.

Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya ilmu

(pengetahuan), ilmu tentang ilmu (Wibisono, 2009:13 dalam jurnal Syahrul

Kirom, 2011). Berkenaan dengan filsafat dalam konteks kearifan hidup personal

maupun kolektivitas tertentu, filsafat ilmu (Philosophy of Science) adalah sebuah

refleksi kritis secara mendasar atas perkembangan ilmu, khususnya terhadap

tendensi filsafat ilmu (Sutrisno, 2006:19 dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011), yaitu

filsafat sebagai “pandangan hidup” atau weltanschauung. Hal ini berkaitan dengan

upaya sekelompok manusia untuk merespon dan menjawab permasalahan pokok

kehidupan manusia. (dalam jurnal Syahrul Kirom, 2011)

3. Manfaat mempelajari filsafat ilmu

Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat

ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman

yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu

sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu bermanfaat

untuk: (1) Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu; (2) Melatih berfikir

reflektif di dalam lingkup ilmu; (3) Menghindarkan diri dari memutlakan

kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara

memperoleh kebenaran; (4) Menghindarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak
12

menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya. (dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013)

Dengan demikian eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang sebagai

sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya

tapi untuk memposisikan secara tepat dalam batas wilayahnya. Hal inipun dapat

membantu terhindar dari memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran

ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk

melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang

hidup dan berkembang dalam membentuk peradaban manusia. (dalam jurnal

Setya Widyawati, 2013)

Dalam hubungan ini filsafat ilmu akan membukakan wawasan tentang

bagaimana sebenarnya substansi ilmu itu. Hal ini karena filsafat ilmu merupakan

pengkajian lanjutan dan refleksi atas ilmu dengan demikian ia merupakan syarat

mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berainya

ilmu. Disamping itu untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan ilmu-ilmu yang

ada, melalui pemahaman tentang asas-asas, latar belakang serta hubungan yang

dimiliki/dilaksanakan oleh suatu kegiatan ilmiah. (dalam jurnal Setya Widyawati,

2013)

B. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pendidikan

Ruang lingkup bidang kajian filsafat ilmu mengalami perkembangan

secara terus menerus, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan

ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun

berkembang dan diantara para ahli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup
13

kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian induknya cenderung sama.

Perbedaannya lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. (dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013)

Berikut ini beberapa pendapat ahli tentang lingkup kajian filsafat ilmu.

Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu adalah:

(1) Probabilitas; (2) Induksi; (3) Hipotesis. Ernest Nagel: (1) Logical pattern

exhibited by explanation in the sciences; (2) Construction of scientific concepts;

(3) Validation of scientific conclusions. Scheffer: (1) The role of science in

society; (2) The world pictured by science; (3) The foundations of science

(Suriasumantri, 1996 dalam jurnal Setya Widyawati, 2013).

Dari tiga pendapat tersebut nampak bahwa semua itu lebih bersifat

menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu. Jujun S. Suriasumantri

menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara

spesifik mengkaji hakekat ilmu. (Suriasumantri, 1996 dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013).

Dalam ilmu pendidikan, filsafat ilmu menempati posisi secara analog

dengan ilmu pengetahuan yang lain dengan mengajukan permasalahan dalam

bentuk pertanyaan. Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan

dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses

pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh

karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah: (1) Ontologi; (2)

Epistemologi; (3) Axiologi. (dalam jurnal Setya Widyawati, 2013)


14

Memanfaatkan filsafat ilmu sebagai titik tolak membuat kita bisa

menjelajah berbagai filsafat pengetahuan lainnya termasuk di dalamnya filsafat

ilmu pendidikan. Filsafat di sini merupakan pengetahuan tentang hakikat.

Substansi dari hakikat adalah paradigma dasar dari pengetahuan. Paradigma

diartikan sebagai cara memandang sesuatu. Dalam ilmu pengetahuan dimaknai

sebagai model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomen yang dipandang

dijelaskan. Juga diartikan sebagai dasar untuk menyeleksi problem-problem dan

pola untuk memecahkan problem-problem riset. (Bagus, 1996 dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013).

Terkait dengan peranan filsafat ilmu sebagai landasan pengembangan ilmu

pendidikan maka tidak lepas dari induk telaahannya yaitu ontologi. Ontologi

berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu pendidikan, dalam kajian ini

mencakup masalah realitas pendidikan dan kenampakannya (reality and

appearance). Realitas adalah apa yang nyata atau ada eksistensinya, sedangkan

kenampakan adalah yang nampaknya saja nyata (Ali, 1987 dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013). Juga bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan

subjek/manusia. Epistemologi dipandang identik dengan teori pengetahuan. Pada

saat sekarang teori pengetahuan tidak mungkin diabaikan. Epistemologi ilmu

pendidikan berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu pendidikan,

bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar.

Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu pendidikan, bagaimana hubungan

etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu pendidikan dalam

kehidupan.
15

Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di

dalamnya sebenarnya menunjukan hal-hal yang dikaji dalam filsafat ilmu.

Masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik

kajian yang dapat masuk ke dalam salah satu lingkup filsafat ilmu pendidikan.

Adapun masalah-masalah tersebut adalah: (1) masalah-masalah metafisis; (2)

masalah-masalah epistemologis; (3) masalah-masalah metodologis; (4) masalah-

masalah logis; (5) masalah-masalah etis; (6) masalah-masalah tentang estetika.

(dalam jurnal Setya Widyawati, 2013)

Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah

metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi, karena sebenarnya

metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti

adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik

itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan

filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh

suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas

metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah

berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan

dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu,

ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah- kaidah

moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi

keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan

dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat. (dalam jurnal Setya

Widyawati, 2013)
16

C. Filsafat Ilmu Dalam Perkembangan Pendidikan Matematika

1. Pengertian Filsafat Matematika

Berdasarkan perspektif epistemologi, kebenaran matematika terbagi dalam

dua kategori, yaitu pandangan absolut dan pandangan fallibilis. Absolutis

memandang kebenaran matematika secara absolut, bahwa, ‘mathematics is the

one and perhaps the only realm of certain, unquestionable and objective

knowledge’, sedangkan menurut fallibilis ‘mathematical truth is corrigible, and

can never regarded as being above revision and correction’ (Ernest, 1991 dalam

Artikel Endang Mulyana).

Menurut Woozley (dalam Ernest, 1991 dalam Artikel Endang Mulyana),

pengetahuan terbagi dalam dua kategori, yaitu pengetahuan a priori dan

pengetahuan a posteriori (empirical). Pengetahuan a priori memuat proposisi

yang didasarkan atas, tanpa dibantu dengan observasi terhadap dunia. Penalaran di

sini memuat penggunaan logika deduktif dan makna dari istilah-istilah, secara

tipikal dapat ditemukan dalam definisi. Secara kontras pengetahuan a posteriori

memuat proposi yang didasarkan atas pengalaman, yaitu berdasarkan observasi

dunia.

Absolutis memandang pengetahuan matematika didasarkan atas dua jenis

asumsi; matematika ini berkaitan dengan asumsi dari aksioma dan definisi, dan

logika yang berkaitan dengan asumsi aksioma, aturan menarik kesimpulan dan

bahasa formal serta sintak. Ada lokal (micro) dan ada global (macro) asumsi,

seperti deduksi logika cukup untuk menetapkan kebenaran matematika. (dalam

Artikel Endang Mulyana)


17

Menurut Wilder (dalam Ernest, 1991 dalam Artikel Endang Mulyana),

pandangan absolutis menemui masalah pada permulaan permulaan abad 20, ketika

sejumlah antinomis dan kontradiksi yang diturunkan dalam matematika. Russel

telah menunjukkan bahwa sistem yang dipublikasikan Gottlob Frege tahun 1879

dan 1893 tidak konsisten. Kontradiksi lainnya muncul dalah teori himpunan dan

teori fungsi. Penemuan ini berakibat terkuburnya pandangan absolutis tentang

matematika. Jika matematika itu pasti dan semua semua teoremanya pasti,

bagaimana dapat terjadi kontradiksi di antara teorema-teorema itu.

Tesis dari fallibilis memiliki dua bentuk yang ekivalen, satu positif dan

satu negatif. Bentuk negatif berkaitan dengan penolakan terhadap absolutis;

pengetahuan matematika bukan kebenaran yang mutlak dan tidak memiliki

validitas yang absolut. Bentuk positifnya adalah pengetahuan matematika dapat

dikoreksi dan terbuka untuk direvisi terus menerus. (dalam Artikel Endang

Mulyana)

2. Aliran-aliran Filsafat Matematika

a. Formalisme

Formalis seperti David Hilbert (1642-1943 dalam Artikel Endang

Mulyana) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang

sebagai bahasa matematika. Hal ini disederhanakan sebagai deretan permainan

dengan rangkaian tanda-tanda lingistik, seperti huruf-huruf dalam alpabet

Bahasa Inggeris. Bilangan dua ditandai oleh beberapa tanda seperti 2, II atau

SS0. Pada saat kita membaca kadang-kadang kita memaknai bacaan secara
18

matematika, tetapi sebaliknya istilah matematika tidak memiliki sebarang

perluasan makna (Anglin, 1994 dalam Artikel Endang Mulyana).

Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal

yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti

aturan (Ernest, 1991 dalam Artikel Endang Mulyana). Menurut Ernest (1991

dalam Artikel Endang Mulyana) formalis memiliki dua dua tesis, yaitu:

1) Matematika dapat dinyatakan sebagai sistem formal yang tidak dapat

ditafsirkan sebarangan, kebenaran matematika disajikan melalui

teorema- teorema formal.

2) Keamanan dari sistem formal ini dapat didemostrasikan dengan

terbebasnya dari ketidak konsistenan.

Ada bermacam keberatan terhadap formalisme, antara lain; (1)

formalis dalam memahami obyek matematika seperti lingkaran, sebagai

sesuatu yang kongkrit, padahal tidak bergantung pada obyek fisik; (2) formalis

tidak dapat menjamin permainan matematika itu konsisten. Keberatan tersebut

dijawab formalis bahwa (1) lingkaran dan yang lainnya adalah obyek yang

bersifat material dan (2) meskipun beberapa permainan itu tidak konsisten dan

kadang- kadang trivial, tetapi yang lainnya tidak demikian (Anglin, 1994

dalam Artikel Endang Mulyana).

b. Intuisionisme

Intuisionisme seperti L. E. J. Brouwer (1882-1966 dalam Artikel

Endang Mulyana), berpendapat bahwa matematika suatu kreasi akal budi

manusia. Bilangan, seperti cerita bohong adalah hanya entitas mental, tidak
19

akan ada apabila tidak ada akal budi manusia memikirkannya. Selanjutnya

intuisionis menyatakan bahwa obyek segala sesuatu termasuk matematika,

keberadaannya hanya terdapat pada pikiran kita, sedangkan secara eksternal

dianggap tidak ada. Kebenaran pernyataan p tidak diperoleh melalui kaitan

dengan obyek realitas, oleh karena itu intusionisme tidak menerima kebenaran

logika bahwa yang benar itu p atau bukan p (Anglin, 1994 dalam Artikel

Endang Mulyana).

Intuisionisme mengaku memberikan suatu dasar untuk kebenaran

matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari

aksima-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang

aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang

eksklusifpada keyakinan yang subyektif. Tetapi kebenaran absolut (yang

diakui diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang

subyektif semata (Ernest, 1991 dalam Artikel Endang Mulyana).

Ada berbagai macam keberatan terhadap intusionisme, antara lain; (1)

intusionisme tidak dapat mempertanggung jawabkan bahwa obyek

matematika bebas, jika tidak ada manusia apakah 2+2 masih tetap 4; (2)

matematisi intusionisme adalah manusi timpang yang buruk dengan menolak

hukum logika p atau bukan p dan mengingkari ketakhinggaan, bahwa mereka

hanya memiliki sedikit pecahan pada matematika masa kini. Intusionisme,

menjawab keberata tersebut seperti berikut; tidak ada dapat diperbuat untuk

manusia untuk mencoba membayangkansuatu dunia tanpa manusia; (2) Lebih

baik memiliki sejumlah sejumlah kecil matematika yang kokoh dan ajeg dari
20

pada memiliki sejumlah besar matematika yang kebanyakan omong kosong

(Anglin, 1994 dalam Artikel Endang Mulyana).

c. Logisisme

Logisisme memandang bahwa matematika sebagai bagian dari logika.

Penganutnya antara lain G. Leibniz, G. Frege (1893 ), B. Russell (1919), A.N.

Whitehead dan R. Carnap(1931). Pengakuan Bertrand Russell menerima

logisime adalah yang paling jelas dan dalam rumusan yang sangat ekspilisit.

Dua pernyataan penting yang dikemukakannya, yaitu (1) semua konsep

matematika secara mutlak dapat disederhanakan pada konsep logika; (2)

semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan

melalui penarikan kesimpulan secara logika semata (Ernest, 1991 dalam

Artikel Endang Mulyana).

Menurut Ernest (1991 dalam Artikel Endang Mulyana), ada beberapa

keberatan terhadap logisisme antara lain:

1) Bahwa pernyataan matematika sebagai impilikasi pernyataan

sebelumnya, dengan demikian kebenaran-kebenaran aksioma

sebelumnya memerlukan eksplorasi tanpa menyatakan benar atau

salah. Hal ini mengarah pada kekeliruan karena tidak semua kebenaran

matematika dapat dinyatakan sebagai pernyataan implikasi.

2) Teorema Ketidaksempurnaan Godel menyatakan bahwa bukti deduktif

tidak cukup untuk mendemonstrasikan semua kebenaran matematika.

Oleh karena itu reduksi yang sukses mengenai aksioma matematika


21

melalui logika belum cukup untuik menurunkan semua kebenaran

matematika.

3) Kepastian dan keajegan logika bergantung kepada asumsi-asumsi yang

tidak teruji dan tidak dijustifikasi. Program logisis mengurangi

kepastian pengetahuan matematika dan merupakan kegagalan prinsip

dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk

pengetahuan matematika.

3. Hakikat Pembelajaran Matematika

a. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif

Matematika dikenal dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses

pengerjaan matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima

generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan

pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk membantu pemikiran pada

tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan bantuan contoh-contoh

khusus atau ilustrasi geometris. (dalam Artikel Endang Mulyana)

Perlu pula diketahui bahwa baik isi maupun metode mencari kebenaran

dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, apalagi dengan

ilmu pengetahuan umum. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh

matematika adalah ilmu deduktif, sedangkan oleh ilmu pengetahuan alam

adalah metode induktif atau eksperimen. Namun dalam matematika mencari

kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi

yang benar untuk semua keadaan harus bisa dibuktikan secara deduktif.

Dalam matematika suatu generalisasi, sifat, teori atau dalil itu belum dapat
22

diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif. Sebagai

contoh, dalam ilmu biologi berdasarkan pada pengamatan, dari beberapa

binatang menyusui ternyata selalu melahirkan. Sehingga kita bisa membuat

generalisasi secara induktif bahwa setiap binatang menyusui adalah

melahirkan. (dalam Artikel Endang Mulyana)

Generalisasi yang dibenarkan dalam matematika adalah generalisasi

yang telah dapat dibuktikan secara deduktif. Contoh: untuk pembuktian

jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pembuktian secara deduktif

sebagai berikut : andaikan m dan n sembarang dua bilangan bulat maka 2m+1

dan 2n+1 tentunya masing-masing merupakan bilangan ganjil. Jika kita

jumlahkan (2m+1) + (2n+1) = 2(m+n+1). Karena m dan n bilangan bulat

maka (m+n+1) bilangan bulat, sehingga 2(m+n+1) adalah bilangan genap.

Jadi jumlah dua bilangan ganjil selalu genap. (dalam Artikel Endang

Mulyana)

b. Matematika bersifat terstruktur

Menurut Ruseffendi (Tim MKPBM, 2001; 25 dalam Artikel Endang

Mulyana) matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur

yang terorganisasikan. Hal ini dimulai dari unsure-unsur yang tidak

terdefinisikan kemudian pada unsur yang didefinisikan, ke aksioma/postulat

dan akhirnya pada teorema. Konsep-konsep matematika tersusun secara

hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling

sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.


23

Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar

untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Ibarat membangun rumah,

maka fondasi harus kokoh. Contohnya konsep bilangan genap. Bilangan

genap adalah bilangan bulat yang habis dibagi dua. Sebelum membahas

bilangan genap, siswa harus memahami dulu konsep bilangan bulat dan

pengertian habis dibagi dua sebagai konsep prasyarat. (dalam Artikel Endang

Mulyana)

Dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi itu selanjutnya dapat dibentuk

unsur-unsur matematika yang terdefinisi. Misalnya segitiga adalah lengkungan

tertutup sederhana yang merupakan gabungan dari tiga buah segmen garis.

Dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi dan unsur-unsur yang terdefinisi dapat

dibuat asumsi-asumsi yang dikenal dengan aksioma atau postulat. Misalnya:

melalui sebuah titik sembarang hanya dapat dibuat sebuah garis kesuatu titik

yang lain. (dalam Artikel Endang Mulyana)

Tahap selanjutnya dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi, unsur-unsur

yang terdefinisi, dan aksioma atau postulat dapat disusun teorema-teorema

yang kebenarannya harus dibuktikan secara deduktif dan berlaku umum.

Misalnya: jumlah ukuran ketiga sudut dalam sebuah segitiga adalah 180

derajat. (dalam Artikel Endang Mulyana)

c. Matematika sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu

Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa

matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain dan pada

perkembangannya tidak tergantung pada ilmu lain. Dengan kata lain, banyak
24

ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari

matematika. Sebagai contoh: banyak teori-teori dan cabang-cabang dari fisika

dan kimia yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep kalkulus. Teori

mendel pada Biologi melalui konsep pada probabilitas. Teori ekonomi melalui

konsep fungsi dan sebagainya. (dalam Artikel Endang Mulyana)

Dari kedudukan matematika sebagai ratu ilmu pengetahuan matemaika

selain tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri juga untuk melayani

kebutuhan ilmu pengetahuan lainnya dalam pengembangan dan operasinya.

Cabang matematika yang memenuhi fungsinya seperti yang disebutkan

terakhir itu dinamakan dengan matematika Terapan (Applied Mathematic).

(dalam Artikel Endang Mulyana)

d. Matematika sebagai bahasa

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna

dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika

baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu

maka matematika hanyalah merupakan kumpulan unsur-unsur yang mati.

(dalam Artikel Endang Mulyana)

Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat

mengganggu karena terkadang mempunyai lebih dari satu arti. Untuk

mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling pada

matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah

bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk,

danemosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang darimatematika dibuat


25

secara ”artifisial” yakni baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan.

Dan bersifat individual yaitu berlaku khusus untuk masalahyang sedang kita

kaji. (dalam Artikel Endang Mulyana)

e. Matematika bersifat kuantitatif

Dengan bahasa verbal kita bisa membandingkan dua objek yang

berlainan umpamanya gajah dan semut, maka kita hanya bisa mengatakan

gajah lebih besar daripada semut, kalau ingin menelusuri lebih lanjut berapa

besar gajah dibandingkan dengan semut, maka kita mengalami kesulitan

dalam mengemukakan hubungan itu, bila ingin mengetahui secara eksak

berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, maka dengan bahasa

verbal tidak dapat mengatakan apa-apa. (dalam Artikel Endang Mulyana)

Matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran

dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya mampu

mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita mengetahui bahwa

sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa

mengatakan berapa besar pertambahan panjang logamnya. (dalam Artikel

Endang Mulyana)

Untuk itu matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat

pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang

sebatang logam dan berapa pertambahannya bila dipanaskan, Dengan

mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif

seperti sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, dapat diganti dengan

pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya : P1 = Po (1+n), dimana


26

P1 adalah panjang logam pada temperatur t, Po merupakan panjang logam

pada temperatur nol dan n merupakan koefisien pemuai logam tersebut.

(dalam Artikel Endang Mulyana)

D. Peran Filsafat Ilmu Dalam Penelitian Pendidikan Matematika

1. Teori-teori pendukung penelitian pendidikan matematika

Filsafat ilmu mempunyai peran yang sangat urgen dalam sebuah

penelitian. Dalam dunia pendidikan, misalnya dalam mengembangkan sebuah

strategi pembelajaran atau dalam menganalisa dan memcahkan masalah dalam

matematika, maka diperlukan adanya teori atau pendapat ahli yang mendukung

sehingga sesuai dengan kerangka penelitian yang hendak dicapai. Adapun

penggunaan teori atau pendapat ahli ditentukan berdasarkan jenis penelitian

ataupun judul penelitian.

Misalkan dalam proses pembelajaran, kita dapat menggunakan teori

Jerome S. Bruner. Menurut Bruner (Nasution, 2008; 9), dalam proses belajar

dapat dibedakan atas tiga fase atau episode, yakni (1) informasi; (2) transformasi;

(3) evaluasi. Sedangkan Robert M. Gagne (Nasution, 2008; 136) membedakan 8

type belajar : (1) signal learning (belajar Isyarat); (2) stimulus-respons learning

(belajar stimulus respon); (3) chaining (rantai atau rangkaian); (4) verbal

assosiation (asosiasi verbal); (5) discrimination learning (belajar diskriminasi);

(6) concept learning (belajar konsep); (7) rule learning (belajar aturan); (8)

problem solving (memecahkan masalah).

Selain dalam melihat proses pembelajarannya sendiri, teori juga dapat

membantu mengecek intelegensi seorang siswa, hal ini sangat membantu seorang
27

guru dalam mengklasifikasikan jenis maupun tingkat intelegensi seorang siswa.

Adapun teori intelegensi yang dimaksud antara lain: (1) teori faktor oleh

Spearman; (2) teori struktur intelegensi oleh Guilford; (3) teori multiple

intelegence oleh Gardner; (4) teori uni factor oleh Wilhem Stern; (5) teori

multifaktor oleh E. L. Thorndike; (6) teori primary mental ability oleh Thurstone;

(7) teori sampling oleh Godfrey H. Thomson.

Teori-teori tersebut di atas merupakan sedikit dari banyaknya contoh teori-

teori dari para ahli yang dikembangkan guna mendukung pengembangan dunia

pendidikan. Dari teori-teori tersebutlah muncul teori-teori baru yang semakin

memperkaya wawasan dalam melakukan sebuah kajian atau penelitian ilmiah

khususnya dalam bidang pendidikan matematika.

2. Beberapa judul penelitian dalam pendidikan matematika

a. Problem Solving, Creativity dan Decision Making Dalam Pembelajaran

Matematika, Peneliti: Widodo Winarso.

b. Hubungan Antara Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dengan

Self Confidence Siswa SMP yang menggunakan Pendekatan Pendidikan

Matematika Realistik, Peneliti: Nelly Fitriani.

c. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada Pembelajaran

Matematika Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Generatif

(Generatif Learning) di SMP, Peneliti: Siti Mawaddah dan Hana Anisah.

d. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Pembelajaran

Problem Posing Berkelompok, Peneliti: Ana Ari Wahyu Suci dan Abdul

Haris Rosyidi.
28

e. Identifikasi Kemampuan Matematis Siswa Dalam Memecahkan Masalah

Aljabar di Kelas VIII Berdasarkan Taksonomi Solo, Peneliti: Luvia

Febryani Putri dan Dr. Janet Trineke Manoy, M.Pd.

f. Pengembangan E-Modul Berorientasi Pemecahan Masalah Untuk

Meningkatkan Keterampilan Beripir Kritis Mahasiswa, Peneliti: I.M.

Suarsana dan G. A. Mahayukti.

g. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa melalui

Pembelajaran Berbasis Masalah, Peneliti: Tina Sri Sumartini.

h. Profil Intuisi Mahasiswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika

Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independent,

Peneliti: Budi Usodo.

i. Proses Berpikir Siswa Sekolah Menengah Pertama Dalam Memecahkan

Masalah Matematika Berdasarkan Langkah-langkah Polya ditinjau Dari

Adversity Quotient, Peneliti: Muhammad Yani, M. Ikhsan, dan Marwan

j. Metode Pemecahan Masalah Menurut Polya Untuk Mengembangka

Kemampuan Siswa Dalam Pemecahan Masalah Matematis di Sekolah

Menengah Pertama, Peneliti: Sutarto Hadi dan Radiyatul.

Judul-judul penelitian di atas merupakan sedikit dari banyaknya judul

penelitian yang berkaitan langsung dengan pendidikan matematika. Dalam proses

penelitiannya pun menggunakan teori-teori atau pendapat paa ahli baik dalam

bidang matematika, ataupun berkaitan dalam pembelajaran. Hal ini, secara tidak

langsung menunjukan adanya peran yang sangat vital dari para ahli atau filsafat

ilmu dalam penelitian pendidikan matematika.


29

BAB III

PENUTUP

Berdasarkan kajian pada latar belakang dan juga kajian pustaka pada bab

sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Filsafat adalah suatu prinsip atau asas keilmuan untuk menelusuri suatu

kebenaran objek dengan modal berpikir secara radikal.

2. Matematika secara umum didefenisikan sebagai berikut:

a. Matematika sebagai struktur terorganisasi

b. Matematika sebagai alat (tool)

c. Matematika sebagai pola pikir deduktif

d. Matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking)

e. Matematika sebagai bahasa artifisial

f. Matematika sebagai seni yang kreatif.

3. Peran filsafat ilmu dalam penelitian pendidikan matematika sangatlah urgen.

Hal ini dikarenakan filsafat berkaitan dengan pengembangan ilmu

pengetahuan yang menunjang dalam penelitian pendidikan matematika.

Terutama pada karakteristik objek matematika yang abstrak mengharuskan

seorang guru harus menentukan dan memilih strategi yang tepat. Untuk itu

dibutuhkan referensi berupa hasil-hasil penelitian yang pernah digunakan

sebagai pertimbangan dalam memilih strategi yang tepat.


30

DAFTAR PUSTAKA

Ag., Moch Masykur & Fathani, Abdul Halim, 2009. Mathematical Intelligence:

Cara Cerdas Melatih Otak dan Menanggulangi Kesulitan Belajar,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media).

Djaali, H. 2012. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara)

Fathani, Abdul Halim, dkk. 2009. Matematika: Hakikat & Logika, (Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media).

Kirom, Syahrul. Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila Relevansinya

Dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan, Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2,

Agustus 2011.

Mulyana, Endang. Artikel : Sejaraf dan Filsafat Matematika

Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar,

(Jakarta: PT Bumi Aksara)

Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu, (Bogor: PT Penerbit IPB Press).

Widyawati, Setya. Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu

Pendidikan, Jurnal Seni Budaya Volume 11 No. 1 Juli 2013.

Anda mungkin juga menyukai