Anda di halaman 1dari 4

Diagnosis ADHF ditegakkan dari adanya perburukan gejala dan tanda gagal

jantung yang telah dimiliki pasien yang berlangsung secara cepat. Sesak nafas saat

aktivitas dan istirahat, takikardia, takipnu, rhonki paru, peningkatan tekanan vena

jugularis, kardiomegali dan edema perifer, merupakan gejala dan tanda khas gagal

jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020). Dua bulan yang

lalu, pasien mulai merasa sesak ketika mengerjakan pekerjaan berat (NYHA Class I atau

II), memberat sejak 2 hari sebelum ke IGD yaitu sesak saat berjalan <100meter (NYHA

Class III) yang membaik dengan istirahat. Namun pada hari pasien pergi ke IGD, sesak

pasien tidak dapat membaik dengan istirahat, bahkan saat duduk dan berbaring di IGD

(NYHA Class IV) (Theresa et al., 2021). Pasien juga menyatakan bahwa pasien memang

sering sesak dan bengkak sebelum 2 bulan ini namun sangat jarang. Hal ini menandakan

adanya perburukan tanda dan gejala gagal jantung yang telah dimiliki pasien dalam onset

yang cepat sehingga dapat didiagnosis sebagai Acute decompensated Heart Failure

(ADHF) (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020; Theresa et al.,

2021).

Pemeriksaan EKG dan Xray dada merupakan pemeriksaan penunjang yang harus

dilakukan pada semua pasien yang diduga gagal jantung. Namun diagnosis pasti gagal

jantung dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kadar BNP/NT-pro BNP dan

Ekokardiografi, untuk mengetahui etiologi dan memulai terapi yang tepat (Perhimpunan

Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020).

Tatalaksana awal untuk Acute Heart Failure (AHF) dengan kongesti yaitu diuretik.

Pemberian injeksi loop diuretic furosemide direkomendasikan dalam penanganan AHF

dengan mempertimbangkan terapi oral diuretik sebelumnya (Theresa et al., 2021). Pada

laporan kasus ini, diberikan drip furosemide 10mg/jam karena adanya tanda dan gejala

overload cairan dan kongesti tanpa ada tanda hipoperfusi. Sedangkan menurut ESC

(2021), bolus intermittent furosemide dengan dosis 20-40mg menjadi penanganan awal

AHF dengan monitoring kadar sodium setelah 2 jam sebanyak ≥50-70 mEq/L atau urin
output setelah 6 jam sebanyak ≥100-150 mL/jam. Dosis maksimal furosemide tersebut

yaitu 400-600 mg atau hingga 1000 mg pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat

(Theresa et al., 2021). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa tidak ditemukan perbedaan

signifikan pada ADHF yang diterapi dengan infus kontinyu furosemide dan bolus

intermittent furosemide dengan dosis yang sama selama 24jam (Ng & Yap et al., 2018).

Pemberian furosemide drip dipilih untuk memudahkan administrasi obat dan evaluasi

urin output sebagai balance cairan per jam.

Gambar x (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020).

Pemberian Spironolactone 25mg per hari direkomendasikan untuk pendamping

ACE-inhibitor dan beta blocker pada pasien dengan HFrEF untuk menurunkan mortalitas

dan risiko rawat inap (Theresa et al., 2021). Kecurigaan HFrEF ditentukan dari hasil EKG

yang menyatakan LVH dan adanya gambaran kardiomegali dengan apels jantung
tertanam pada Xray dada sehingga pemberian spironolactone diberikan sejak sebelum

adanya hasil ekokardiografi. Terbukti pada hasil echocardiography didapatkan LVEF

pasien pada kasus ini yaitu 24% sehingga memenuhi syarat pemberian Mineralocorticoid

Receptor Antagonist (MRA). Sedangkan pemberian beta blocker dapat ditunda pada

pasien dengan kongesti berat karena dapat memperberat kongesti, efek akut inotropik

negatif dan efek bronkokonstriksi saluran nafas sehingga dapat diberikan antihipertensi

golongan lain yaitu ACE inhibitor atau Calcium Canal Blocker (CCB dihydropyridine)

(Teerlink et al., 2015). Oleh karena itu, pada kasus ini diberikan antihipertensi berupa

ramipril 5 mg.

KESIMPULAN
Gagal jantung akut dekompensasi (ADHF) adalah onset cepat, atau perubahan,

gejala dan tanda gagal jantung kronis yang sebelumnya stabil. Diagnosis ditegakkan

melalui riwayat dan temuan gejala dan tanda khas gagal jantung. Sesak nafas saat

aktivitas dan istirahat, takikardia, takipnu, rhonki paru, peningkatan tekanan vena

jugularis, kardiomegali dan edema perifer, merupakan gejala dan tanda khas gagal

jantung. Perburukan gejala dan tanda gagal jantung dalam onset cepat merupakan dasar

diagnosis ADHF.

Analisis faktor risiko dan etiologi penyakit sangat dibutuhkan untuk mengetahui

terapi yang tepat. Pada kasus ini, pasien memiliki faktor risiko hipertensi dengan non

optimal medication oleh karena tidak kontrol rutin. Gejala dan tanda yang tampak pada

kasus ini yaitu berupa angina ekuivalen, kardiomegali, rhonki dan edema inferior.

Temuan EKG berupa LVH dan iskemik dapat menjadi penuntun dalam mengetahui faktor

pencetus (precipiting factor) kondisi akut pasien dan etiologi gagal jantungnya.

Pemeriksaan ekokardiografi dapat membantu mengetahui etiologi penyakit yaitu dengan

mengetahui fungsi jantung dan kelainan anatomis jantung.

Tentang yang NSTEMI nggun…


Tatalaksana yang diberikan berupa terapi oksigenasi dan loop diuretic diperlukan

untuk mengatasi kondisi akut pasien. Pemberian secara drip atau bolus intermiten tidak

menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan. Namun pemberian drip dapat membantu

memudahkan administrasi obat dan evaluasi urin output. Adanya gambaran perbesaran

ventrikel kiri melalui hasil EKG dan Xray dada menjadi penuntun kecurigaan HFrEF

sehingga diberikan terapi spironolactone pada pasien kasus ini. Selain itu, tatalaksana

sesuai faktor pencetus harus diberikan yaitu antihipertensi berupa ACE-Inhibitor dan

antiiskemia berupa antiplatelet, nitrat, dan antikoagulan. Pemberian beta blocker

merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi dengan gagal jantung akut

karena dapat memperburuk gejalanya. Sedangkan pada pemberian antiiskemia …. Faktor

risiko dislipidemia dan hiperurisemia juga harus diatasi untuk mengatasi gejala dan

mencegah rekurensi.

Referensi:
Ng KT, Yap JLL. (2018). Continuous infusion vs. intermittent bolus injection of
furosemide in acute decompensated heart failure: systematic review and meta-analysis of
randomised controlled trials. Anaesthesia. Feb;73(2):238-247. doi: 10.1111/anae.14038.
Epub 2017 Sep 22. PMID: 28940440.

Anda mungkin juga menyukai